Anda di halaman 1dari 3

Guru sebagai Aktor (Utama) Pendidikan

A Ilyas Ismail ; Dosen UIN Syarif Hidayatullah/Dekan FAI-UIA Jakarta


MEDIA INDONESIA, 17 April 2015

DALAM acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan yang belum lama berselang,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengetengahkan pandangannya
tentang penguatan aktor pendidikan yang dinilai sebagai salah satu faktor kunci paling
berpengaruh dalam kemajuan pendidikan. Yang dimaksud dengan aktor pendidikan ialah
guru, murid, kepala sekolah, pengawas, juga orangtua.
Penggunaan term `aktor pendidikan' tergolong baru karena selama ini istilah yang umum
digunakan ialah pelaku pendidikan atau guru sebagai pusat (bukan aktor) pembelajaran atau
kelompok kepentingan terkait pendidikan alias stakeholder baik internal (guru, murid, kepala
sekolah, tenaga kependidikan, dan lain-lain) maupun eksternal (orangtua, alumni, pengguna
jasa pendidikan, dan lain-lain).
Penggunaan term baru ini, guru sebagai aktor, bisa dipahami dalam arti positif dan negatif.
Dalam KBBI, term `aktor' menunjuk pada orang atau tokoh yang berperan sebagai pelaku
dalam pementasan cerita di panggung, da lam sinetron, sandiwara, dan atau film. Dalam
dunia sinetron atau film, seorang aktor atau aktris tidak memerankan dirinya sendiri. Ia
bekerja dan memerankan untuk orang lain sebagai orang dengan karakter baik (protagonis)
atau seorang dengan karakter jahat (antagonis). Tidak demikian dengan guru. Guru tidak
memerankan orang lain, tetapi memerankan dirinya sendiri, karena ia teladan, orang yang
digugu dan ditiru.
Barangkali itu alasannya, mengapa selama ini guru tidak disebut aktor. Penulis sendiri lebih
suka menyebut guru sebagai `sumber' atau `inspirator' pendidikan. Dalam pengertiannya yang
positif, penggunaan term baru, guru sebagai aktor, kelihatannya sengaja dipilih untuk
menunjukkan makna tertentu yang mesti diperhatikan dalam pendidikan baik secara filosofis,
metodologis, maupun sosiologis.
Secara filosofis, dengan aktor pendidikan, kita diingatkan bahwa pendidikan sesungguhnya
merupakan masalah atau proses yang melibatkan manusia. Dalam pendidikan, manusia
adalah sentral, ka rena subjek maupun objkenya ialah manusia. Pendidikan, seperti berulang
kali dikemukakan Pak Anies, sejatinya ialah interhuman relation, interaksi antarmanusia,
yakni interaksi antara guru dan murid, antara orangtua dan anak, serta antara lingkungan dan
para pembelajar. Oleh sebab itu, tanpa memperhatikan faktor manusia, pendidikan tidak akan
pernah mencapai kemajuan.
Secara metodologis, kita diingatkan agar proses pembelajaran dilakukan secara aktif, kreatif,
inovatif, dan menyenangkan dalam arti menarik minat siswa untuk semangat dan passion,
kasmaran belajar. Jadi, sebagai aktor, guru, murid, kepala sekolah, dan orangtua mesti
berperan aktif dalam proses pembelajaran sehingga pendidikan mencapai sasaran dan tujuan
seperti diharapkan.

Sementara itu secara sosial dan kultural, kita diingatkan agar pendidikan yang dilakukan
membawa kemajuan bagi masyarakat dan bangsa. Para aktor pedidikan, tidak boleh lupa,
bahwa pendidikan adalah suatu proses pembudayaan (enculturation) dan pemberdayaan
(empowerment) sekaligus. Dengan pembudayaan, pendidikan dilakukan untuk memberi
wawasan, makna, dan pewarisan terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Pemberdayaan, pendidikan, juga pembangunan, seperti dikemukakan Amartya Sen,
dimaksudkan untuk mempertinggi keberdayaan dan kebebasan (freedom) sehingga tingkat
pendidikan berkorelasi secara positif dengan kemajuan dan kemakmuran secara ekonomi.
Sang pencerah
Persoalan guru seolah belum beranjak dari tiga masalah pokok yang menjadi perbincangan
selama ini hampir sepanjang waktu. Meskipun guru dipandang penting dan kunci kemajuan
pendidikan, pemerintah dari satu orde ke orde yang lain, dari mendikbud yang satu ke
mendikbud berikutnya, tak pernah tuntas menangani dan menyelesaikan pesoalan guru.
Tiga persoalan itu ialah pemerataan dan distribusi guru, kemampuan (kompetensi) guru, dan
kesejahteraan guru. Soal pertama, pemerataan, pemerintah selama ini cenderung berkelit di
balik faktor alam, yakni kenyataan bahwa Indonesia ialah negara dengan geografis yang
selain sangat luas, juga terpencarpencar di berbagai pulau besar daan kecil. Alasan klasik itu
mestinya tak lagi bisa diterima karena pada era sekarang dunia tak lagi menganal jarak
(spaceless)--malah kata Thomas Friedman, dunia sudah rata, tak lagi ada penghalang (the
world is flat).
Soal kedua, kemampuan (kompetensi) guru, lebih rumit lagi. Kalau dasarnya ijazah, data
Kemendikbud dua tahun lalu menunjukkan bahwa hanya 27% guru layak mengajar di SD,
58% di SMP, 65% di SMA, dan 56% di SMK. Kalau dasarnya uji kompetensi, data
menunjukkan bahwa hasil uji kompetensi awal (UKA) 2012 memperlihatkan hanya 42,25
(skala 100) yang dinyatakan kompeten; sementara nilai uji kompetensi guru (UKG) 2014
rata-rata 47,6. Ini berarti, secara umum kualitas guru kita masih rendah. Upaya peningkatan
kualitas guru yang dilakukan, antara lain melalui sertifikasi, kelihatannya belum terlalu
berpengaruh terhadap kualitas guru ataupun kualitas hasil belajar.
Soal ketiga, kesejahteraan guru, sudah ada peningkatan meski belum pada tingkat yang ideal
seperti diharapkan.
Upaya memperbaiki kesejahteraan guru ini mendapat tantangan lantaran besarnya anggaran
yang perlu disediakan, sebab dari sekitar 4 juta PNS, separuh lebih (2,9 juta) ialah guru.
Sejahtera tidak sama dengan kaya raya, tetapi berkecukupan (al-kifayah), sehinga dalam me
laksanakan tugas pokoknya para guru tidak diganggu oleh impitan kebutuhan hidup yang
besifat basic needs.
Selain ketiga problem klasik itu, menurut penulis, ada satu lagi problem guru yang mesti
segera diperbaiki, yakni soal mentalitas guru. Sebagai pendidik, guru mesti memiliki `jiwa
mengabdi'. Jangan sampai profesionalisme guru yang belakangan ini digembargemborkan
tereduksi maknanya hanya pada uang dan roti. Setiap profesi sejatinya mengandung unsur
dan nilai pengabdian, dan bagi guru, jiwa pengabdian itu adalah pangkal, hal yang pertama

dan utama, di atas segala-galanya.


Sebagai pendidik dan aktor utama pembelajaran, guru pada hakikatya adalah pencerah dan
pembangun karakter bangsa.Sebagai pencerah, ia ibarat lampu (the light of the darkness),
menerangi masyarakat, dan menginspirasi mereka pada kemuliaan dan keadaban. Inilah yang
dimaksud oleh William Arthur Ward`The mediocre teacher tells. The good teacher explains.
The superior teacher demonstrates. The great teacher inspires'. Wallahu a'lam!

Anda mungkin juga menyukai