Anda di halaman 1dari 3

Y.K.

S ( Yuk Kita Sharing / berbagi )


[ artikel bebas, merupakan pandangan pribadi bukan merupakan pandangan kelompok /
lembaga hanya atasdasar berbagi ilmu pengetahuan yang disalin dan di sadur dari berbagai
sumber ].

Kapan waktu yang tepat untuk mengajarkan anak membaca ?


Apakah usia balita anak dapat diajarkan membaca ?
Benarkah seorang anak yang biasa-biasa saja (tidak memiliki intelegensi tinggi) dapat
membaca di usia balita ?
Mengapa di Taman Kanak-Kanak ( berdasar kurikulum ) tidak diajarkan membaca ?

Sedangkan para pendidik pra sekolah dasar / guru taman kanak-kanak mungkin bertanyatanya, bukankah dalam pendidikan calon guru taman kanak-kanak ditekankan bahwa di taman
kanak-kanak tidak diperbolehkan mengajar membaca yang cenderung akademis seperti di
sekolah dasar, karena hal itu tidak akan mengembangkan kepribadian anak, tapi justru akan
menghambat, menekan dan menyulitkan anak karena belum waktunya anak belajar membaca
?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, mari kita simak pendapat-pendapat dan
hasil-hasil penelitian mengenai hal ini.
Havighurst (1967) mengemukanan bahwa mengajar seorang anak hendaklan pada masa
teachable moment ( saat tepat mengajar ). Pemberian perlakuan mengajar tidak akan
memberikan hasil maksimal dan justru berakibat negative bila diberikan sebelum atau
sesudah masa kesiapan ini ( Sumber : Crow & crow, 1989 ).
Jean Piaget seorang psikolog anak mengemukanan bahwa perkembangan kognitif anak
terdiri dari 4 (empat) stadium yaitu Stadium Sensorik Motorik (0 - 18 Bulan), Stadium Pra
Operasional (18 Bulan 7 Tahun), Stadium Operasional Konkrit (7-11 Tahun) dan Stadium
Operasional Formal (Mulai 11 Tahun). ( Sumber : Monks, Knoers, Haditono, 1988 ). Kemampuan The three
Rs Readings, Writings, Aritmatics ( Membaca, Menulis dan berhitung ) hanya bisa
dicapai setelah anak berusia 6 tahun ke atas atau pada Stadium Operasional Konkrit ( 7-11
Tahun ) ( Sumber : Rifai, 1984 ). Teori inilah yang digunakan sebagai pijakan kurikulum nasional
bahwa pada usia sekolah dasar (7-12 Tahun) seorang anak baru boleh diajari membaca. Oleh
karena itu guru taman kanak-kanak tidak diperbolehkan mengajar anak-anak membaca karena
dianggap belum waktunya dan tidak sejalan dengan taraf perkembangan anak ( Kantor Inspeksi
Depdikbud Kab. Banyumas, 1997). Benarkah teori di atas ?
Smedslund, Hamel dan Riksen, Kohnstamn (dalam Monks, Knoers, Haditono, 1988)
membuktikan bahwa Stadium Operasional Konkrit tak perlu ditunggu datangnya hingga anak
berusia 7-11 Tahun, karena anak dapat dibimbing lebih awal memasuki Stadium Operasional
Konkrit melalui latihan-latihan khusus, Berkenaan dengan kesiapan membaca pada anak,
maka hal ini dapat dipercepat dengan memberikan pengalaman pra membaca atau pre
reading experience ( Sumber : Burn, dkk, 1984 ).
Chaplin (1985) mengutip beberapa program eksperimen membaca mutakhir menyatakan
bahwa anak bisa mencapai tahapan reading readiness (kesiapan membaca) lebih awal, yaitu
pada saat anak berusia 2 (dua) tahun hingga 3 (tiga) tahun. Hal inipun sebenarnya tidak
bertentangan dengan teori Jean Piaget. Pada saat anak mencapai usia 2 (dua) tahun atau
Stadium Sensorik Motorik. Anak mengalami peningkatan kognisi sangat pesat. Piaget

membagi Stadium ini menjadi 6 (enam) Sub Stadium. Pada Sub Stadium terakhir, menjelang
usia 2 (dua) tahun, anak mulai memiliki kemampuan untuk member nama-nama benda
( sumber : Zimbardo, 1985 ). Kemampuan untuk menamakan merupakan bekal awal untuk membaca.
Bila anak dapat memberika nama sebuah benda bulat yang dapat menggelinding dengan
nama BOLA, maka tidak mustahil bila melihat bentuk tertentu anak dapat menyebut
namanya dengan a,i,u,e,o,b,d,g dan seterusnya.
Bila sekitar usia 2 (dua) atau 3 (tiga) tahun seorang anak dapat diajar membaca, mengapa
anak didik taman kanak-kanak di Indonesia tidak diajarkan membaca huruf latin ? Dari
paparan di atas sebenarnya alas an pertama pertanyaan di atas yaitu membaca hanya boleh
diberikan pada usia kira-kira 7 (tujuh) tahun sebenarnya sudah tidak relevan lagi.
Bahkan kurikulum yang dipakai pada saat ini, yaitu kurikulum berbasis kompetensi telah
memberikan ruang gerak yang lebih leluasa kepada para praktisi pendidikan untuk
mengembangkan kepandaian, kreatifitas dan kepribadian anak secara optimal dengan
memperhatikan perbedaan setiap individu dalam hal ini anak didik.
Jadi dapat diartikan bahwa semestinya pelarangan pemberian pelajaran membaca tidaklan
bersifat mutlak bagi taman kanak-kanak yang mampu menyelenggarakan tentunya tidak perlu
dijadikan masalah. Ada pemikiran dan perbandingan yang dapat dinilai ganjil tentang hal ini.
Alangkah aneh bila dilarang mengajarkan membaca huruf latin pada anak usia taman kanakkanak namun justru di masyarakat beragama tertentu belajar membaca huruf Arab di usia
yang sama, bukankan sama-sama belajar membaca ? Padahal bila dibandingkan,
sebenarnya membaca huruf Arab jauh lebih sulit dari membaca huruf latin. Kenyataannya
anak-anak yang belajar membaca huruf Arab banyak yang berhasil tanpa menimbulkan
masalah apapun. Masihkah mempelajari huruf latin perlu di tunda-tunda lagi ?
Mari kita tenggok dan bandingkan sejenak materi pelajaran kelas 1 SD ketika kita masih
sekolah dan saat ini. Kita dahulu ketika kelas 1 SD mempelajari angka 1 sampai 10 namun
anak-anak kita sekarang sudah harus menguasai angka 1 sampai 100. Dahulu kelas 1 SD
belajar menulis abjad A sampai Z maka anak-anak kelas 1 SD sekarang dituntut sudah mampu
menulis halus / haruf tegak bersambung (yang dahulu baru diajarkan di kelas 4). Bila kita
dahulu sudah dianggap pintar bila kita bisa membaca ini budi, ini ibu budi, ini bapak
budi,wati kakak budi,iwan adik budi maka saat ini anak-anak kita harus belajar keras agar
dapat membaca semua kata karena pelajaran-pelajaran lain tidak hanya bahasa Indonesia
menuntu penguasaan mambaca tersebut.
Menghadapi lonjakan target pelajaran sekarang yang melaju cepat antara 2 (dua) hingga 3
(tiga) kelas disbanding saat kita masih sekolah, apakah kita akan membiarkan saja kurikukum
taman kanak-kanak jalan ditempat ? tegakah kita melihat anak-anak kita tersengal-sengal
mengejar ketertinggalannya ? Sebagai orang tua hanya ada satu jawaban. Kita harus
membantu anak-anak kita. Itu berarti, dengan inisiatif sendiri kita perlu mengajarkan
membaca pada anak kita.
Tidakkah sangat sulit mengajarkan anak membaca pada usia taman kanak-kanak ? mari
kita bandingkan dengan analogi berikut ini :
Dapatkah anak usia taman kanak-kanak memakai sepatu dan baju sendiri ? jawabannya
adalah merekan akan kesulitan dan kemungkinan gagal memakai sepatu dan baju sendiri bila
bentuknya rumit, banyak tali yang harus diikatkan atau dengan kancing / resleting di
belakang. Anak akan sedikit kesulitan bila baju dan sepatu tersebut berkancing di depan
karena harus memasukkan kancing ke lobangnya. Namun anak pada usia taman kanak-kanak

dengan mudah dapat memakai baju dan sepatu sendiri bila bentuknya simple / sederhana
sejenis kaos dan sepatu pantofel. Demikian pula dengan membaca, anak-anak akan kesulitan
belajar membaca bila membaca bila metode yang kita ajarkan adalah yang rumit dan
tentunya mereka akan mudah belajar membaca bila metode / cara yang diajarkan adalah
sederhana dan mudah.
Sumber : anak islam suka membaca pustaka amanah
[ Disebarkan untuk kalangan sendiri ]

Anda mungkin juga menyukai