Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Stroke merupakan salah satu masalah besar di bidang kesehatan masyarakat, baik di negara maju
maupun di negara berkembang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan strokesebagai
terjadinya gejala klinis yang cepat berupa gangguan fungsi serebral dengan simtom yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih tanpa adanya kausa yang jelas selain yang berasal dari
sistem vaskuler.1 Dari seluruh kondisi kronis, stroke dianggap sebagai kelainan yang paling
menyebabkan ketidak-berdayaan (disabling). Di Amerika Serikat, diperkirakan setiap tahunnya
masih terdapat 4 juta penderita pasca-stroke yang mengalami gejala sisa berupa gejala-gejala
neuropsikologis.2 Komplikasi neuropsikologis meliputi gangguan emosional, perilaku, dan
kognitif. Komplikasi ini tidak saja dapat memberi dampak negatif pada fungsi sosial penderita
stroke dan kualitas hidup mereka secara keseluruhan, tetapi juga mempunyai pengaruh. Dari
sekitar 600.000 orang Amerika laki-laki dan perempuan yang menderita stroke untuk pertama
kalinya atau pada rekurensi, 10-27% mengalami depresi berat.2,3 Umumnya gejala depresi ini
timbul dalam waktu 1-2 bulan setelah terjadinya stroke. Di antara faktor-faktor yang berperan
terhadap kejadian dan beratnya depresi pasca-stroke adalah lokasi dari lesi di otak, adanya
riwayat depresi di dalam keluarga, dan kondisi kehidupan sosial pra-stroke. Penderita-penderita
stroke yang mengalami depresi berat seringkali kurang responsif terhadap upaya rehabilitasi,
bersifat mudah marah, dan menunjukkan perubahan perilaku atau kepribadian. suatu kelainan
yang harus dilihat secara terpisah dari stroke, dan harus ditangani sedini mungkin bahkan ketika
penderita sedang menjalani proses rehabilitasi. daerah-daerah (domain) neurologis yang
mengalami gangguan akibat stroke dapat dikelompokkan dalam 5 tipe yang meliputi motor,
sensori, penglihatan, bicara dan bahasa, kognitif, dan afek. gangguan afeksi berupa depresi
adalah yang paling sering menyertai stroke. Depresi cenderung terjadi beberapa bulan setelah
serangan dan jarang pada saat akut. Gangguan afeksi yang paling sering terlewatkan adalah
depresi. Depresi adalah gangguan atau kelainan yang mengenai pikiran, perasaan dan
kemampuan untuk berfungsi di dalam kehidupan sehari-hari. 4 Depresi muncul sebagai gejalagejala berupa rasa sedih yang persisten, suasana kejiwaan yang terasa kosong, hilangnya

perhatian dan minat, perasaan putus asa dan pesimis, rasa bersalah dan tak berguna, rasa lelah
yang berkelebihan, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, serta hilangnya nafsu makan.(7) Depresi
pasca-stroke dapat diklasifikasikan dalam 3 bentuk, yaitu: (a) ringan, (b) distimik, dan (c) berat.
Depresi berat dapat menyebabkan gangguan berupa perasaan ketidakberdayaan yang
berkepanjangan dan berlebih-lebihan sehingga mendorong penderita stroke untuk bunuh diri.(15)
Perasaan takut jatuh, terjadinya serangan stroke ulangan, dan bahkan perasaan tidak nyaman oleh
pandangan orang lain terhadap cacat dirinya dapat menyebabkan penderita stroke membatasi diri
untuk tidak keluar dari lingkungannya. Keadaan ini selanjutnya dapat mendorong penderita ke
dalam gejala depresi yang berdampak pada motivasi dan rasa percaya dirinya. Maka terjadilah
suatu lingkaran debilitatis yang tidak ada kaitannya dengan ketidakmampuan fisiknya.(16)
Ketidakmampuan fisik (physical disability) bersama-sama dengan gejala depresi dapat
menyebabkan aktivitas penderita stroke menjadi sangat terbatas pada tahun pertama, namun
dukungan sosial dapat mengurangi dampak dari ketidak-mampuan fisik serta depresi tersebut.
Ketidakmampuan fisik yang menyebabkan hilangnya peran hidup yang dimiliki penderita
sebelum sakit dapat menyebabkan gangguan persepsi akan arti diri (personal worth) yang
bersangkutan dan dengan sendirinya mengurangi kualitas hidupnya. Tampaknya, persepsi
penderita yang tidak proporsional mengenai ketidakmampuan fisiknya itu merupakan suatu
faktor kontribusi di dalam meyakini secara berlebihan seluruh cacat yang dideritanya. Rigler(17)
memperingatkan untuk mewaspadai gangguan afek yang mungkin terjadi pada periode akut dari
stroke dan perlu membedakannya dari depresi pasca-stroke yang baru akan timbul beberapa
minggu kemudian setelah stroke. Gangguan afek ini sering dikenal dengan beberapa istilah
seperti emosionalisme patologis, gejala menangis-tertawa patologis, atau labilitas emosional. 4,5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Depresi Pasca Stroke
Depresi pasca-stroke (PSD) merupakan salah satu komplikasi stroke yang ditandai oleh
abnormalitas mood, menyalahkan diri sendiri, kesedihan, dan depresi. PSD merupakan faktor
utama yang dapat menghambat penyembuhan fungsi neurologi dan aktivitas harian pada pasien
stroke, dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas. 3
2.1 Epidemiologi depresi pasca stroke
Selama 10 tahun terakhir sejumlah besar penelitian mengenai prevalensi depresi pasca-stroke
telah dilakukan.5,6 Dibandingkan dengan prevalensi depresi yang terdapat pada populasi
umumnya, prevalensi depresi pasca-stroke secara bermakna jauh lebih tinggi. Prevalensi depresi
pasca-stroke berkisar antara 11-68%, tergantung dari seleksi penderita, kriteria diagnostik yang
digunakan dan lamanya waktu pemeriksaan ulang berikutnya (follow-up) setelah terjadinya
serangan stroke.6 Prevalensi ini semakin meningkat dengan meningkatnya umur penderita. Ini
menunjukkan adanya korelasi positif antara umur dan depresi. Prevalensi yang paling tinggi
terdapat sekitar 3-6 bulan pasca-stroke dan tetap tinggi sampai 1-3 tahun kemudian, tetapi
umumnya prevalensi akan menurun sampai setengahnya setelah 1 tahun terjadinya stroke
Penderita stroke yang pada saat serangan akut tidak menunjukkan tanda-tanda depresi, pada
pemeriksaan ulang yang dilakukan 6 bulan kemudian dijumpai sekitar 30%-nya memperlihatkan
gejala depresi. Sementara setengah dari penderita yang mengalami depresi dalam waktu 2-3
bulan setelah terjadinya serangan stroke akan tetap menunjukkan tanda-tanda depresi selama
kurang lebih 1 tahun. Sedangkan depresi yang terjadi segera yaitu dalam beberapa hari setelah
stroke, acapkali berhubungan dengan remisi spontan.4,5 Selain depresi, ansietas juga sering terjadi
mengikuti serangan stroke dan prevalensinya berkisar antara 6-13%. Prevalensi ini meningkat
menjadi lebih tinggi yaitu sekitar 28% bilamana ansietas terdapat bersama-sama dengan depresi.
(10) Jenis kelamin (gender) juga memegang peranan penting di dalam risiko untuk terjadinya
stroke. Dilaporkan laki-laki memiliki risiko stroke lebih tinggi dibandingkan perempuan, tetapi
3

oleh karena usia rata-rata perempuan lebih panjang maka pada suatu tingkat usia tertentu jumlah
perempuan yang mengalami serangan stroke lebih banyak dari laki-laki.(9) Angka prevalensi
depresi pasca-stroke adalah 10-25% untuk perempuan dan 5-12% untuk laki-laki. (11) Pada
perempuan, adanya riwayat kelainan psikiatris dan kelainan kognitif sebelum terjadinya stroke
menyebabkan gejala depresi yang timbul menjadi lebih berat, sedangkan pada laki-laki depresi
pasca-stroke berhubungan dengan gangguan yang lebih besar dari aktivitas hidup sehari-hari
serta fungsi sosial.7,8
2.3 Faktor Risiko Depresi Pasca Stroke
Beberapa faktor risiko depresi pasca-stroke antara lain: 1,2
1. Riwayat depresi sebelumnya pada pasien dan keluarga
2. Gangguan fungsional
3. Menurunnya mobilitas
4. Disfungsi bicara dan bahasa, apraksia
5. Gangguan kognitif
6. Ketergantungan berat pada fungsi activity daily living (ADL)
7. Dukungan sosial buruk (isolasi sosial)
8. Lokasi lesi
9. Jenis kelamin
2.4 Patofisiologi Depresi Pasca Stroke
1) Hipotesis Lokasi Lesi
Robinson, dkk. melaporkan stroke hemisfer kiri khususnya di regio frontal kiri dan basal ganglia
secara signifi kan berhubungan dengan depresi. Tetapi beberapa studi lain menemukan hubungan
lesi hemisfer kanan dengan PSD dan penelitian lain tidak menemukan hubungan antara lokasi
lesi dan risiko PSD.8,9 Lesi frontal kiri dan basal ganglia kiri merupakan tipe lesi tersering pada
pasien depresi mayor. 7,9
2) Hipotesis Ukuran Infark
Ukuran infark berhubungan dengan timbulnya dan beratnya PSD. Infark luas menyebabkan
kerusakan berat pada area yang memodulasi perilaku emosional dan perubahan biokimia. Defisit
neurologi berat akibat infark luas dapat menjadi faktor psikologis sosial yang berhubungan
4

dengan patogenesis PSD. Studi PSD di Cinamenunjukkan volume infark akut lebih besar pada
grup PSD dibandingkan kontrol (p=0,029), dan Nys, dkk. melaporkan PSD awal secara signifi
kan berhubungan dengan ukuran lesi (p=0,008). 9
3) Hipotesis Depresi Vaskuler
Berdasarkan hipotesis ini, lesi silent yang mengganggu jalur kortiko-striato-pallidotalamokortikal menimbulkan gejala depresif. Brodaty dan Santos menyatakan PSD berhubungan
dengan akumulasi patologi vaskuler otak atau lesi pada area kritis ini.8 Hipertensi rentan
menimbulkan kelainan neurodegeneratif melalui mekanisme stress oksidatif dan menimbulkan
gejala depresi melalui perubahan struktur limbik yang diketahui mengatur emosi dan perilaku. 5
Pada pasien hipertensi terjadi perubahan dinding pembuluh darah dan gangguan vasodilatasi
yang dimediasi oleh endotelium akibat terbentuknya kolagen sehingga menyebabkan
berkurangnya distensi pembuluh darah, mengakibatkan berkurangnya cerebral blood flow (CBF)
dan reaktivitas serebrovaskuler. Perubahan abnormal CBF regional pada pasien hipertensi terjadi
pada region subkortikal otak, yaitu struktur limbik dan paralimbik. 4,7
4) Hipotesis Neurotransmiter
Perilaku emosional diatur oleh neurotransmitter seperti monoamin, dan disfungsi monoamin
dapat menimbulkan berbagai gejala psikiatri termasuk depresi. Hipotesis ini menjelaskan
hipotesis lokasi lesi pada patogenesis PSD. Lesi serebral menyebabkan terputusnya proyeksi
ascending dari midbrain dan batang otak, melewati talamus dan basal ganglia dan mencapai
korteks frontal, menyebabkan penurunan bioavailabilitas biogenik amin termasuk serotonin (5HT), dopamin (DA) dan norepinefrin (NE) sehingga menimbulkan gejala depresi. Gao, dkk.
Mengamati penurunan konsentrasi serotonin plasma dan liquor cerebrospinal (LCS) pada pasien
PSD. Winter, dkk. menemukan bahwa lesi neuron dopaminergik pada substansia nigra pars
kompakta dan area tegmentum ventral tikus memperberat gejala perilaku seperti depresi. Selain
itu kadar reseptor 5-HT dan messenger ribonucleotide acid (mRNA) hipokampus pada model
tikus dengan PSD lebih rendah (Wang, dkk.).8,9 Menurut Robinson dan Bloom (1977), lesi
iskemik yang mengganggu akson asending mengandung biogenik amin dari batang otak ke
korteks serebri menyebabkan penurunan ketersediaan biogenik amin di struktur limbik lobus
frontal dan temporal serta basal ganglia. Teori monoamin menyatakan bahwa depresi
berhubungan dengan kadar monoamine yang rendah, khususnya 5-HT, NE dan dopamin serta
densitas tinggi reseptor global untuk monoamin oksidase (MAO-A) yang memetabolisme
5

neurotransmiter ini. Serabut serotonergik dan noradrenergik yang berasal dari nuklei batang otak
dan menginervasi sistem limbik, korteks prefrontal dan struktur lainnya berhubungan dengan
regulasi mood. Sistem kolinergik melalui reseptor asetilkolin nikotinik, diperkirakan terlibat
pada etiologi depresi mayor. Perubahan sistem dopaminergik mesolimbik menimbulkan
anhedonia. Seluruh jalur ini bisa terputus oleh lesi stroke sehingga menimbulkan depresi.7,9
5) Hipotesis Disfungsi Imun
Depresi terbukti berhubungan dengan peningkatan respons infl amasi seperti level interferon
gamma (IFN ), interleukin -1 beta (IL-1), tumor necrotizing factor alfa (TNF-), interleukin
(IL)-6, IL-1 dan penurunan IL- 10. Kerusakan jaringan dan kematian sel merupakan jembatan
antara infl amasi dan PSD. Pada model hewan depresi, terjadi peningkatan sitokin proinfl amasi
seperti IL-1 dan TNF- di hipokampus dan striatum yang merupakan area kritis kelainan mood,
dan dapat meningkatkan ukuran infark serta pembentukan edema. Sitokin infl amasi berperan
penting pada pengaturan kematian sel, termasuk apoptosis dan nekrosis, khususnya pada area
rentan seperti hipokampus. Meningkatnya kematian sel akibat perluasan infark serebri
berhubungan langsung dengan gejala depresi. Studi pada hewan depresi menunjukkan
peningkatan apoptosis pada hipokampus dan amigdala. IL-1, IL-6 dapat mengganggu sistem
metabolisme glutamat dan meningkatkan neurotoksisitas. Sitokin proinfl amasi mempengaruhi
sintesis dan metabolism neurotransmiter monoamine. 6,8
6) Hipotesis Aktivasi Aksis Hipotalamikpituitari-Adrenal (HPA)
Fungsi aksis HPA secara normal adalah untuk merespons stres lingkungan. Aktivasi aksis HPA
setelah stroke berupa peningkatan kadar glukokortikoid seperti hiperkortisolisme. Beberapa studi
menunjukkan sitokin dapat menginduksi resistensi hiperkortisolisme dan glukokortikoid melalui
inhibisi reseptor glukokortikoid. Glukokortikoid dapat meningkatkan sitokin IL-1, IL-6 dan
TNF yang terbukti berhubungan dengan PSD dan pengaturan fungsinya.8,9
7) Hipotesis Neurogenesis
Hipotesis ini menerangkan peranan kritis neuron hipokampus dalam kontrol mood. Studi pada
pasien dan hewan depresi menunjukkan penurunan neurogenesis dan volume hipokampus.
Hipokampus sangat rentan terhadap sitokin, yang dapat mengurangi neurogenesis hipokampus,
sedangkan plastisitas dan pengaturan neurogenesis penting untuk kontrol mood. Kadar BrainDerived Neurotrophic Factor (BDNF) yang rendah menyebabkan penurunan neurogenesis pada
hipokampus sehingga menimbulkan PSD.8 Antidepresan dapat meningkatkan neurogenesis pada
6

hipokampus. 7,9
2.5 Korelasi Lesi Anatomis dan Depresi Pasca Stroke
Di antara masalah-masalah yang banyak diperdebatkan oleh para ahli dalam kaitan dengan stroke
adalah: apakah lokasi hemisfer yang mengalami kerusakan akibat stroke mempengaruhi
terjadinya depresi. Dalam dua dekade terakhir ini, para peneliti mencoba menemukan korelasi
antara lokasi lesi anatomis dan depresi pasca-stroke. Beberapa peneliti menyokong teori
hubungan lateralisasi dan depresi pasca-stroke, tetapi peneliti lain menyatakan bahwa interaksi
antara keduanya tidak signifikan.6,10 Depresi pasca-stroke mempunya etiologi yang sifatnya
multifaktorial dengan komponen reaktif dan organik.Depresi dapat terjadi sebagai akibat
langsung dari proses infark otak atau dapat terjadi sebagai reaksi akibat cacat atau ketidakberdayaan yang disebabkan oleh stroke. Pengamatan klinis oleh beberapa penelitimenunjukkan
bahwa perilaku emosional dan reaksi katastrofik lebih sering dijumpai pada penderita-penderita
yang mengalami lesi di daerah hemisfer kiri; sedangkan pada penderita dengan kerusakan
hemisfer kanan terdapat pola reaksi indiferen. Penderita dengan lesi hemisfer kiri 64%
menunjukkan gangguan depresi ringan sampai berat sedangkan kelainan ini hanya dijumpai pada
14% penderita dengan lesi hemisfer kanan. Ditemukan pula trofi subkortikal berkaitan dengan
depresi pasca-stroke. Penderita-penderita stroke dengan depresi dan ansietas lebih sering
menunjukkan lesi kortikal (sebelah kiri) dibandingkan dengan kelompok penderita stroke yang
hanya dengan depresi saja. Pada kelompok penderita stroke yang hanya dengan depresi saja ini
lebih banyak ditemukan kerusakan subkortikal, sedangkan penderita stroke dengan ansietas
sering berkaitan dengan lesi hemisfer kanan. 5
2.6 Diagnosis Depresi Pasca Stroke
Kepustakaan mengatakan bahwa gejala depresi pasca stroke sama dengan gejala depresi
fungsional seperti adanya rasa sedih atau gangguan afek, anhedonia, tidak bertenaga, sulit
konsentrasi, nafsu makan menurun, penurunan libido, gangguan tidur pada malam hari dan
adanya ide-ide bunuh diri. Duapuluh enam persen depresi pasca-stroke adalah penderita dengan
sindrom depresi berat sedang sisanya adalah dengan sindrom depresi ringan.1 Suatu penelitian
mengatakan bahwa pada pasien pascastroke yang mengalami depresi, akan terjadi peningkatan

persentase mortalitas, bahkan pada pasien yang lebih muda dan tidak mempunyai penyakit
kronis yang terlalu banyak dibanding pasien yang tidak depresi, angka kematian tetap tinggi pada
pasien depresi pasca-stroke dan yang didiagnosis gangguan jiwa lain akibat stroke.Tidak mudah
mendiagnosis depresi pada penderita pasca-stroke terutama jika pasien tersebut mengalami
afasia. Adanya ekspresi kesedihan akibat kelemahan otot wajah, apatis yang disebabkan lesi pada
hemisfer kanan atau adanya aprosodi akan menyesatkan diagnosis pada stroke.Diagnosis PSD
menggunakan kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, TextRevision (DSM
IV TR). Berdasarkan kriteria depresi menurut DSM IV TR, depresimayor adalahjika terdapat
lebih dariatau sama dengan lima gejala depresidan depresi minor jika terdapatdua gejala yang
menetap selama lebih dari 2 minggu, dan menimbulkanhendayasepertigangguan sosial,
pekerjaan, dan area fungsional lainnya sertatidak disebabkan oleh efekfisiologi langsung, seperti
substansi (penyalahgunaan obat) ataukondisi medis umum (seperti hipotiroid). 2,8
Gejala-gejala depresi:
1. Mood depresi sepanjang hari, hampir setiap hari, dari laporan subjektif maupunobservasi
yang dilihat orang lain, pada anak dan remajaberupa mood iritabel.
2. Hilangnya minat dan/atau kesenangan hampir seluruh hariatau
terhadapaktivitas secara subjektif atau observasi.
3. Penurunan berat badan yang signifikan tanpa
4.
5.
6.
7.
8.
9.

diet

atau

setiap

peningkatan

hari
berat

badanlebihdari5% dalam satu bulan.


Insomnia/hipersomnia setiap hari.
Agitasi/retardasi psikomotor setiap hari.
Kelelahan/hilangnya tenaga hampir setiap hari.
Rasa tak berguna/rasa bersalah yang berlebih.
Menurunnya kemampuan berpikir/konsentrasi/tidak tegas.
Berulangnya pikiran untuk mati, ide bunuh diri tanpa rencana atau dengan rencana
spesifik.

Selaindari anamnesis jugadapatdilakukanpemeriksaandengan alat skrining diagnosis depresi


seperti PHQ 2, PHQ 9, Geriatric Depression Scale, HospitalAnxiety and Depression Scale,
Stroke Aphasia Depression Questionnaire-10, AphasiaDepression Rating Scale11 dan Visual
Analog Mood Scale (VAMS). 2,5
2.7 Penatalaksanaan Depresi Pasca Stroke
1) Nonfarmakologi:
1. ECT (electroconvulsive therapy)
8

ECT digunakan sebagai terapi depresi beratyang gagal dengan terapi antidepresandan
untuk mencapai perbaikan cepat dalamjangka pendek pada pasien depresi beratyang tidak
membaik dengan terapi obat.ECTkurang direkomendasikan untuk pasien strokedengan
depresi karena efek samping sepertikomplikasi kardiak, hilangnya memori dandelirium,
terutama pada pasien PSD berusia lanjut. 3
2. Transcranial magnetic stimulation (TMS)
Studi

TMS

frekuensi

tinggi

(5-10Hz)pada

korteks

prefrontal

dorsolateral

kirimenunjukkan efek antidepresan, tetapimemiliki efek samping berupa mudahkejang.


Stimulasi korteks prefrontal kananfrekuensi rendah (1 Hz) juga memilikiefek
antidepresan

melalui

inhibisi

korteksprefrontal

kanan

yang

akan

mengkoreksiketidakseimbangan aktivitas interhemisferkorteks prefrontal dorsolateral


pada depresi.TMS diberikan 1-2 kali seminggu. 3,4
3. Psikoterapi (individual/grup)
Adanya gangguan kognitif, perjalananpenyakit yang kronis dan perawatan berulangdi
rumah

sakit

dapat

menimbulkangangguan

memerlukandukunganserta

perbaikan

emosional

mekanismedan

sehingga

kemampuan

pasien
mentolerir

ketidakmampuandan ketergantungannya. Terapisdapat memberikan terapi suportif


sepertimengangkat kembali harga diri pasien yangmenurun dan meningkatkan fungsi
keluargapasien pasca-stroke. Tujuan terapi keluargaadalah untuk mengurangi disfungsi
tingkahlaku anggota keluarga dalam berhubungandengan pasien. 4,6
4. Cognitive behavioral therapy (CBT)
CBTdigunakan

untuk

pasien

dengan

disfungsipikiran

atau

kepercayaan

yang

berhubungandengan mood yang rendah dan membangunlebih banyak pikiran fungsional


ataukepercayaan pasien. Terapi ini tidak cocokuntuk pasien dengan gangguan
kognitifdan/atau afasia. CBT memberikan insight kearah psikoedukasi, kolaborasi
empirisme,problem solving aktif, penatalaksanaankualitas dukungan dan perbaikan
adaptasigaya hidup baru setelah stroke. CBT dengan 6-8 sesi selama 10-12 minggu,
menghasilkanperbaikan mood dan/atau berkurangnyagejala depresi setelah 2 bulan. 4,5
5. Motivational interviewing
Merupakan collaborative person-centered formof guiding untuk menimbulkan dan
memperkuatmotivasi pasien untuk berubah.Motivational interviewing merupakan

bentukevidence-based style of partnering pada pasiendengan keunggulan memberikan


nasehat. 3,5
6. Community based groups/support groups
Tujuan terapi kelompok adalah untukmengurangi isolasi dan mendorong hubunganinter
personal. Terapi ini dapat memperbaikiharga diri, orientasi, tingkah laku,pemecahan
masalah, mengurangi depresidan ansietas. Terapi kelompok yang efektifditandai dengan
terbentuknya lingkunganterapeutik yang kohesif dan berkembangnyahubungan saling
mendukung sehingga dapatmemberi kesempatan perbaikan adaptasiterhadap disabilitas
yang menimbulkangangguan emosi. 5
7. Terapi musik
Beberapa studi menemukan penurunangejala depresi pada pasien yang menerimaterapi
musikdibandingkan dengan yangtidak. Intervensi terapi berupa mendengarkanmusik
dalam kelompok, pergerakan tubuhdan melukis dengan musik serta improvisasi
menyanyi. 5,6
8. Ecosystem focused therapy
Ecosystem focused therapy (EFT) merupakansuatu intervensi sistematik yang
bertujuanuntuk meningkatkan kemampuan pasienPSD dan ekosistemnya untuk
melakukanpsychosocial storm sehingga terapi dapatbermanfaat secara efektif dan
efisien. 6,7
9. Akupunktur
Studi

intervensi

terapikonvensional,

akupuntur
meningkatkan

menunjukkanhasil
perbaikanrespons

lebih
klinis

baik
dan

dibandingkan
gejala

depresi.

Terapiakupuntur juga menguntungkan dalammeningkatkan rehabilitasi stroke dan


pengobatankelainan neurologi pasca-stroke,seperti disabilitas ekstremitas, afasia,
disfagia,inkontinensia urin dan defekasi. 6
10. Latihan/exercise
Aktivitas fisik dan latihan menginduksiadaptasi neurogenesis. Menurut Ernst, dkk.latihan
dapat menurunkan gejala depresidengan meningkatkan neurogenesis otakmelalui
peningkatan -endorphin, vascularendothelial growth factor, brain derivedneurotrophic
factor dan serotonin. Mekanismelain yang mungkin adalah latihan fisikmampu
memperbaiki mood dengan meningkatkankadar endocannabinoids yangberhubungan
10

dengan analgesia, ansiolitik,dan perasaan sejahtera. Perubahan aksis HPAtermasuk


peningkatan adrenokortikotropin(ACTH) dan penurunan produksi kortisolberefek baik
pada mood. Latihan memperbaikikonsep diri pasien depresi sehinggamenyebabkan
penurunan gejala depresif.Aktivitas fisik intensitas sedang sepertiberjalan selama 30
menit hampir setiap hariper minggu dianjurkan pada pasien stroke. 6
2) Farmakologi:
Antidepresan digunakan untuk mencegah munculnya PSD atau pengobatan kasusbaru.
Pengobatan PSD menggunakanselective serotonin reuptake inhibitor (SSRI),serotonine and
norepinephrine

reuptakeinhibitor

(SNRI),

tricyclic

antidepresant

(TCA),stimulan

methylphenidate, suplemen herbal.Antidepresan dapat juga mengurangi sekuelepasca-stroke,


meningkatkan penyembuhan pasca-stroke dengan gangguan ADL dankognisi, dan mengurangi
agresivitas sertairitabilitas beberapa bulan pertama pasca stroke.Penggunaan antidepresan
dimulai dosis keciluntuk meminimalkan efek samping. TCAmenimbulkan efek samping
kardiovaskulersedikit lebih besar dibandingkan SSRI, seperti palpitasi jantung, nyeri dada,
angina, aritmia,hipertensi dan sinkop hipotensi. SSRI paling direkomendasikan karena
tolerabilitasnya(efek samping kardiovaskuler rendah dankurangnya efek antikolinergik), tetapi
dapat menyebabkan disfungsi seksual,peningkatan berat badan dan gangguan tidur selama terapi
jangka panjang. Efekterapi antidepresan tampak dalam 3-4minggu dan rekomendasi lama
pemberianselama 8 minggu sampai 6 bulan. 4,9
Pengobatan antidepresan harus dilanjutkan paling sedikit 4 bulan setelah penyembuhan
awal,tetapi harus diganti jika tidak adarespons setelah 6 minggu. Terapi antidepresan dilanjutkan
minimum 6 bulan pada pasien yang menunjukkan respons, kemudian diturunkan perlahan-lahan,
pada kasus relaps bisa dilanjutkan lebih lama. Antidepresan diberikan pada pasien depresi sedang
sampai berat sebelum intervensi psikologi, dilanjutkan selama 4-6 minggu. 4,10
2.8 Rehabilitasi dan Psikoterapi Depresi Pasca Stroke
Psikoterapi dan rehabilitasi adalah upaya penting untuk membantu penderita mengatasi keadaan
sakitnya. Penderita stroke acapkali memerlukan rehabilitasi yang sifatnya kompleks karena
adanya berbagai gejala ikutan seperti misalnya depresi dan ansietas. Depresi sendiri merupakan
suatu faktor penyulit (complicating) terhadap proses rehabilitasi, dan penderita depresi umumnya
menunjukkan reaksi penyembuhan yang buruk dari kelainan yang dialami akibat stroke.(19)
11

Pada dasarnya, kemajuan dan kesembuhan penderita sifatnya unik dan individual karena sangat
tergantung dari kemauan dan semangat masingmasing individu yang sakit. Rehabilitasi stroke
secara tipikal meliputi beberapa hal yaitu pencegahan rekurensi stroke, penanganan penyakit komorbid, pelatihan kemandirian individu secara maksimal, dan upaya peningkatan kualitas hidup.
Tujuan rehabilitasi adalah agar supaya penderita mampu untuk belajar dan menyerap (retain)
cara-cara baru di dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Rehabilitasi di rumah (homebased rehabilitation) dianggap lebih murah dan sangat dianjurkan untuk penderita dengan
gangguan disabilitas ringan. Lagipula, perawatan jenis ini dianggap lebih memberikan kemajuan
dan meningkatkan kepuasan penderita. Pada stroke yang sedang (moderate) dan berat,
rehabilitasi yang dilakukan pada unit perawatan rawat inap lebih dianjurkan, terlebih bilamana
perlu suatu rehabilitasi khusus (20). Sekitar 50% kesembuhan fungsional akan terjadi di dalam
waktu satu bulan pertama pasca-stroke, dalam 3 bulan berikutnya penderita-penderita akan
menunjukkan 75% kesembuhan fungsional dan 100% kesembuhan fungsional akan tercapai pada
akhir tahun pertama. 7,9
2.8 Prognosis Depresi Pasca Stroke
Terdapat beberapa penelitian tentang prognosis pasiendepresi pasca-stroke. Penelitian di rumah
sakittidak menunjukkanprognosis yang baik, tetapi menurut penelitiankomunitas didapatkan
perbaikan setelah 1 tahun. Penelitianlain mengatakan penderita stroke dengan depresi selama
1tahun

akan

sulitmengalami

perbaikan.Peningkatan

angka

kematian

pada

penderita

depresipasca-stroke juga berhubungan dengan ketidakpatuhanpasien dalam rangka pengobatan


untuk keadaan akibatstrokenya.Pasien juga terkadang enggan dalam melakukanupaya promosi
kesehatan untuk mencegah terjadinyakeberulangan stroke. Apalagi jika terdapat penyakit
penyertalain seperti diabetes melitus, pasienbiasanya mempunyaikepatuhan yang kurang untuk
menerapkan dietnya dalamrangka mengontrol gula darah sehingga peningkatan guladarah
menjadi tidak terkontrol dan komplikasi kardiovaskulerlebihmudah terjadi. Dengan demikian
prognosis juga menjadi kurang baik. 6,9
Peranan keluarga maupun pengertian dari penderita sendiri mengenai stroke akan mempengaruhi
prognosis,terutama pengertian tentang serangan stroke yang tiba-tiba dan kondisi penyembuhan
yang terjadi sangat lambat perlu diterima dengan lapang dada oleh penderita dan keluarganya.
pembelajaran, latihan dan kembalinya kepercayaan diri. Meskipun upaya rehabilitasi banyak
12

difokuskan ke arah kesembuhan fungsi dasar motorik untuk mengembalikan aktivitas hidup
sehari-hari, hasil penelitian menunjukkan akan adanya suatu kebutuhan yang kritis terhadap
penanganan aspek psikososial dari kualitas hidup pasca-stroke. Karena kualitas hidup adalah
sesuatu yang sifatnya subyektif dan tidak dapat didefinisikan secara empiris, maka elemen yang
merupakan kepuasan yang menyangkut masalah kualitas hidup bagi satu penderita dan penderita
lainnya sangat bervariasi. Kebanyakan elemen-elemen kualitas hidup tersebut oleh penderita
diukur menurut situasi sebelum terjadi stroke dan bukan oleh pulihnya kemampuan fisik setelah
terjadinya stroke. Di antara masalah-masalah kualitas hidup yang paling banyak muncul adalah
kemampuan untuk kembali bekerja seperti sebelum terjadinya serangan stroke. Lebih dari 70%
penderita stroke adalah mereka yang termasuk dalam kelompok usia di atas 65 tahun yang pada
umumnya sudah tidak lagi aktif bekerja, dan hanya 4% yang berusia 45 tahun ke bawah yang
merupakan kelompok usia yang masih aktif bekerja. Meskipun jumlah penderita dalam
kelompok usia ini tidak besar, namun masalah dapat kembali bekerja adalah masalah yang
sangat penting dan dapat menjadi sumber ansietas pada penderita tersebut. 4,8
Berbagai penelitian menguraikan tentang efek depresi pasca-stroke terhadap kesembuhan
penderita terutama yang menyangkut aktivitas hidup sehari-hari dan kualitas hidupnya. Ternyata
depresi merupakan penyulit bagi penderita untuk mengatasi ketidak-berdayaan fisiknya. Depresi
pasca-stroke menyebabkan dampak negatif terhadap pulihnya aktivitas sehari-hari penderita
stroke, sebaliknya penanganan yang efektif terhadap gejala depresi menunjukkan perbaikan yang
nyata pada aktivitas hidup penderita. Pemberian antidepresan sangatmembantu dalam
memperbaiki perasaan dasar (mood) dan fungsi-fungsi kognitif penderita sehingga dapat
memperbaiki performance aktivitas seharihari.

8,9

Secara teoritis, terapi dasar yang ada dan

berlaku untuk penderita depresi pada umumnya juga berlaku untuk penderita depresi pascastroke. Cognitive behavioral therapy merupakan terapi yang efektif untuk penderita-penderita
depresi pasca-stroke. Menurut Lincoln dan Flannaghan, cognitive behavioral therapy dapat
mengurangi gejala depresi pada beberapa penderita stroke dan sangat bermanfaat untuk
digunakan pada kelompok kasus-kasus tersebut. Penelitian eksperimental secara acak
menggunakan kontrol membandingkan dua metode psikoterapi yaitu nondirective counselling
dan cognitive-behavioral therapy pada penderita depresi. Hasil penelitian menunjukkan kedua
metode sama efektifnya meskipun pada suatu tatanan khusus (special settings) cognitivebehavioral therapy terbukti memberikan hasil yang lebih efektif dan lebih cepat. 5,10
13

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
14

Faktor risiko depresi pasca-stroke antara lain riwayat depresi sebelumnya pada pasien dan
keluarga, gangguan fungsional, menurunnya mobilitas, disfungsi bicara dan bahasa, apraksia,
gangguan kognitif, ketergantungan ADL besar, dukungan sosial buruk, lokasi lesi dan jenis
kelamin.11 Penatalaksanaan PSD berupa nonfarmakologi seperti electroconvulsive therapy
(ECT), transcranial magnetic stimulation (TMS), psikoterapi (individual/grup), cognitive
behavioral therapy (CBT), motivational interviewing, community-based groups/support groups,
terapi musik, ecosystem focused therapy, akupunktur, latihan/exercise dan farmakologi seperti
antidepresan, yaitu selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), serotonin and norepinephrine
reuptake inhibitor (SNRI), tricyclic antidepresant (TCA), stimulan methylphenidate,11 serta
prevensi sekunder.22 Prognosis PSD baik, perbaikan terjadi setelah 1 tahun. Peningkatan angka
kematian pada penderita depresi pasca-stroke berhubungan dengan ketidakpatuhan pengobatan
strokenya dan adanya penyakit penyerta.
3.2 Saran
Penting untuk mendiagnosis dini depresi pasca-stroke agar dapat dilakukan penatalaksanaan
dini sehingga memperbaiki prognosis dan keluaran klinis pasien stroke.

DAFTAR PUSTAKA

15

Loubinoux I, Kronenberg G, Endres M, Bard P S, Freret T, Filipkowski RK, et al (2012). Pasca


stroke depression: mechanisms, translation and therapy. 2002; 33: 1838-44.

Steffens DC, Krishnan RR, Crump C, Burke GL. Cerebrovascular disease and evolution of
depressive symptoms in the cardiovascular health study. Stroke 2002; 33: 1838-44.
Robinson RG. Post-stroke depression: prevalence, diagnosis, treatment, and disease progression.
Biol Psychiatry 2003; 54: 376-87.
Turner-Stokes L, Hassan N. Depression after stroke: a review of the evidence. Clin Rehabil
2002; 16: 231-47.
Berg A, Polamaki H, Lehtihalmes M, Lonngvist J, Kaste M. Post-stroke depression in acute
phase after stroke. Cerebrovasc Dis 2001; 12: 14-20.
Whyte EM, Mulsant BH. Post-stroke depression: epidemiology, pathophysiology, and biological
treatment. Biol Psychiatry 2002; 52: 253-64.
Bruce M. Depression and disability in late life: direction for future research. Am J Geriatr
Psychitry 2001; 9: 102-12.
Lincoln NB, Flannaghan T. Cognitive Behavioral psychotherapy for depression following stroke:
a randomized controlled trial. Stroke 2003; 34: 111-5.
Chemerinski E, Robinson RG. Theneuropsychiatry of stroke. Psychosomatics 2000; 41: 5-14. 15.
Schulz R,
Bogousslavsky J, William Feinberg Lecture 2002: emotion, mood, and behavior after stroke.
Stroke 2003; 34: 1046-50.

16

Anda mungkin juga menyukai