Anda di halaman 1dari 8

1

PENGARUH WAKTU PENANGKAPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KEPITING


BAKAU (Scylla spp.) PADA ALAT TANGKAP GILLNET DASAR YANG
DIOPERASIKAN DI MUARA SEGARA TAMBAK MEDOKAN SURABAYA
The Effect of Catching Time to Catch a Mud Crab ( Scylla spp . ) Using Bottom Gillnet That
Operated at Muara Segara Tambak Medokan Surabaya
Aris Budiadi1, Hari Subagio2, M. Arief Sofijanto3
Jurusan Perikanan, Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan, Universitas Hang Tuah-Surabaya
Jl. Arief Rahman Hakim 150, Surabaya 60111 Telp. 031-5945864
*Penulis Korespondensi, Email : aris_arm1@yahoo.co.id
ABSTRACT
udcrab(Scyllaspp.)isoneoutcomethatmanycoastalfisherieslikedthepeople,becauseit
M
hasahighnutritionalcontents.Indonesia'smudcrabisverypopularandalotofsellinginthe
markets alive (Kasry, 1996). The success of arrests using gillnets is influenced by several
factors,oneofwhichtheoperatingtimeofarrest.Soitneedstodoresearchontheeffectsof
operatingtimeofarresttocatchmudcrab(Scyllaspp.)usingbottomgillnetbasis.Theresearch
wasconductedfromJanuary2016toApril2016atMuaraSegaraTambakMedokan,Rungkut,
Surabaya.Theresearchmethodisexperimentaldataanalysisusingstatisticalvariancewiththe
test-t(comparationpairedttest).
Keywords :mudcrab(Scyllaspp.),bottomgillnet,catchingtime
ABSTRAK
Kepiting bakau (Scylla spp.) merupakan salah satu hasil perikanan pantai yang banyak disenangi
masyarakat karena memiliki kandungan gizi yang tinggi. Di Indonesia kepiting bakau ini sangat
populer dan banyak di jual di pasar-pasar dalam keadaan hidup (Kasry, 1996). Keberhasilan
penangkapan menggunakan jaring insang dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya waktu
operasi penangkapan. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh waktu operasi
penangkapan terhadap hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla spp.) menggunakan alat tangkat
jaring insang dasar (bottomgillnet). Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari 2016 hingga
bulan April 2016 bertempat di muara Segara Tambak Medokan, Kecamatan Rungkut, Surabaya.
Metode penelitian dilakukan secara eksperimental dengan analisis data menggunakan ragam
statistik dengan uji t (pairedcomparationttest).
Kata kunci: Kepiting bakau (Scylla spp.), jaring insang dasar (bottom gillnet), waktu
penangkapan

PENDAHULUAN
Sumberdaya
kelautan
Indonesia
merupakan salah satu aset pembangunan
yang penting dan memiliki peluang sangat
besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan
ekonomi bagi negeri ini. Akan tetapi
pemanfaatannya sebagai salah satu sistem
sumberdaya hingga saat ini belum optimal.
Sektor perikanan misalnya, dari 6,7 juta ton
perkiraan potensi perikanan pertahun, hanya
sekitar 65% yang sudah tereksplorasi,
walaupun di beberapa tempat kemungkinan
besar telah terjadi penangkapan secara
berlebihan (Resosudarmo etal. 2002).
Sektor perikanan di Surabaya terdiri
dari perikanan tangkap dan perikanan
budidaya. Perikanan tangkap umumnya
dilakukan oleh masyarakat nelayan yang
bermukim di wilayah pesisir Surabaya
dengan alat tangkap yang relatif sederhana.
Salah satu nelayan perikanan tangkap di
wilayah Surabaya timur yaitu para nelayan
penangkap kepiting bakau (Scylla spp.).
Kepiting
bakau
(Scylla
spp.)
merupakan salah satu komoditas perikanan
pada habitat perairan pantai, khususnya di
daerah hutan bakau (mangrove). Kawasan
hutan mangrove di seluruh wilayah pantai
nusantara yang cukup luas menjadikan
Indonesia sebagai pengekspor kepiting
bakau yang cukup besar dibandingkan
negara lain (Kanna, 2002).
Penangkapan kepiting bakau dapat
dilakukan dengan berbagai alat tangkap,
salah satunya yaitu jaring insang (gillnett).
Kelebihan alat tangkap ini yaitu memiliki
kemudahan dalam operasional penangkapan,
memiliki selektivitas dan relativitas yang
seragam,
sehingga
tidak
akan
mempengaruhi keseimbangan struktur umur
populasi ikan. Akan tetapi para nelayan
melakukan
operasi
penangkapan
berdasarkan pengalaman, sehingga belum
mengetahui waktu yang tepat agar
menghasilkan jumlah tangkapan yang
maksimal.

Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui pengaruh waktu operasi
penangkapan terhadap hasil tangkapan
kepiting bakau (Scylla spp.) menggunakan
alat tangkat jaring insang dasar (bottom
gillnet) di muara Segara Tambak Medokan
Surabaya.
METODOLOGI PENELITIAN
Materi dan Alat
Materi penelitian ini yaitu untuk
mengetahui hubungan dan pengaruh faktor
waktu operasi penangkapan terhadap hasil
tangkapan kepiting bakau (Scylla spp.)
menggunakan jaring insang dasar (bottom
gillnet) di muara Segara Tambak Medokan,
Kecamatan Rungkut, Surabaya.
Peralatan yang digunakan dalam
penelitian yaitu kapal, jaring insang dasar
(bottomgillnet), alat tulis, GPS, timbangan,
penggaris, lampu, kamera, jam, kuisioner,
program komputer.
Metodologi
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode experimental
fishing.
Pada
dasarnya
penelitian
eksperimen (experimental research) adalah
meneliti pengaruh perlakuan terhadap
perilaku yang timbul sebagai akibat
perlakuan (Alsa 2004). Jumlah trip yang
dilakukan dianggap sebagai ulangan, dimana
ulangan dilakukan sebanyak 15 kali. Dalam
penelitian ini pengoperasian alat tangkap
jaring insang dasar di bagi menjadi 4
(empat) tahap yaitu persiapan, pemasangan
(setting), perendaman, hauling.
1. Persiapan
Tahap persiapan dalam pengoperasian
jaring insang yang dilakukan adalah
mempersiapkan alat tangkap terlebih dahulu.
Setelah persiapan selesai, kemudian menuju
fishing ground dengan menggunakan
perahu.
2. Pemasangan (setting)
Penentuan
daerah
penangkapan
berdasarkan kedalaman perairan yang akan

diuji disesuaikan dengan pengalaman dari


nelayan. Daerah penangkapan kemudian diplot
menggunakan
GPS.
Operasi
penangkapan dilakukan pada waktu sebelum
tengah malam (pukul 19.00-12.00 WIB) dan
setelah tengah malam (pukul 00.01-05.00
WIB).
3. Perendaman
Setelah pemasangan sudah dilakukan
jaring insang yang dibenamkan kedalam
perairan dibiarkan terlebih dahulu selama 1
(satu) jam pada masing-masing perlakuan.
4. Pengambilan (hauling)
Pengangkatan jaring insnag dilakukan
setelah perendaman selama 1jam pada
masing-masing perlakuan. Setelah diangkat,
hasil tangkapan bubu dihitung berdasarkan
jumlah (ekor), bobot (gram), panjang dan
lebar karapas, serta jenis kelamin. Hal
tersebut diulangi setiap jam dari masingmasing ulangan.
Rancangan Percobaan
Untuk mengetahui adanyaperbedaan
perlakuan yang berbedadilakukan analisis
ragam statistik dengan uji t (Paired
comparation sample t test) Dengan rumus
sebagai berikut:
d
2
2 t
sd
d n.d
Sd
n 1
n

Analisis Data
Data yang dikumpulkan di lapangan
dianalisis secara deskriptif. Tujuannya
adalah untuk menggambarkan kondisi dari
objek yang diteliti. Data hasil tangkapan
berdasarkan perlakuan di ukur bobot,
jumlah, panjang karapas, lebar karapas, dan
jenis kelamin setiap individu kepiting yang
di dapat. Analisi data dilakukan pengujian
terhadap hasil tangkapan yang meliputi

jumlah dan bobot kepiting bakau yang


tertangkap
1. Uji t terhadap jumlah hasil tangkapan
Uji t (Paired comparation sample t
test) dari kedua sampel terhadap jumlah
hasil tangkapan menggunakan selang
kepercayaan 95% ( = 0,05) memiliki
hipotesis:
H0 = Perbedaan waktu penangkapan
tidak berpengaruh terhadap
jumlah hasil tangkapan
H1 = Perbedaan waktu penangkapan
berpengaruh terhadap jumlah
hasil tangkapan
Adapun kaidah yang digunakan dalam
pengambilan keputusan adalah: jika
probabilitas > 0,05 maka H0 diterima (t
hitung < t tabel), dan jika probabilitas <
0,05, maka H0 ditolak (t hitung > t tabel) .
2. Uji t terhadap bobot hasil tangkapan
Uji t (Paired comparation sample t
test) terhadap bobot hasil
tangkapan menggunakan selang
kepercayaan 95% ( = 0,05)
memiliki hipotesis:
H0 = Perbedaan waktu penangkapan
tidak berpengaruh terhadap
bobot hasil tangkapan
H1 = Perbedaan waktu penangkapan
berpengaruh terhadap bobot
hasil tangkapan
Adapun kaidah yang digunakan dalam
pengambilan keputusan adalah: jika
probabilitas > 0,05 maka H0 diterima (t
hitung < t tabel), dan jika probabilitas <
0,05, maka H0 ditolak (t hitung > t tabel).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Penangkapan Kepiting Bakau (Scylla
spp.)
Unit penangkapan kepiting bakau
(Scylla spp.)
Kapal
yang
digunakan
dalam
pengoperasian jaring insang terbuat dari
kayu jati. Panjang kapal (LOA) berkisar 7-8
meter dengan lebar kapal (Bmax) berkisar
1,6 meter, menggunakan mesin berkekuatan

5-12 PK dengan daya angkut sebesar 1-2 ton


dan berbahan bakar bensin. Jaring gillnet
dasar yang digunakan dimodifikasi khusus
untuk tujuan penangkapan kepiting bakau
(Scyllaspp.)

Gambar 1. Modifikasi jaring insang dasar

(bottom gillnet) di Segara


Tambak Medokan, Surabaya
Metode pengoperasian alat tangkap
bottom gillnet
Metode pengoperasian jaring insang
pada dasarnya yaitu membentangkan jaring
di dasar perairan secara horisontal di mana
jaring berdiri tegak lurus terhadap dasar
perairan.
Proses
pengambilan
tangkapan
kepiting tersebut dilakukan beberapa kali
sampai hasil tangkapan di tempat tersebut
sudah sedikit, kemudian berpindah tempat
lain yang diperkirakan masih banyak
kepitingnya. Sedangkan urutan penarikan
bottom gillnet adalah kebalikan dari
penebarannya, yaitu mulai dari penarikan
tiang / tonggak bambu pada ujung jaring lalu
tali selambar belakang, kemudian jaring
bottom gillnet diikuti penarikan tali
selambar muka dan terakhir yaitu
pengangkatan tiang / tonggak bambu.
2. Hasil Tangkapan Kepiting Bakau
(Scylla spp.)
Hasil
tangkapan
berdasarkan
jumlah individu (ekor)
Data hasil penelitian pengaruh
perbedaan waktu pengoperasian terhadap
hasil tangkap kepiting bakau (Scylla spp.)
yang telah dilakukan selama 15 hari
berdasarkan jumlah individu (ekor) dapat
disajikan dalam Tabel 1. Dari tabel tersebut
dapat
dijelaskan
bahwa
waktu
pengoperasian alat tangkap bottom gillnet

pada pukul 19.00 hingga pukul 24.00


(sebelum tengah malam) menghasilkan
tangkapan kepiting bakau sebanyak 891
ekor dengan rata-rata 59,4 ekor/hari,
sedangkan pada waktu pengoperasian pukul
24.01 hingga pukul 05.00 (setelah tengah
malam) didapatkan jumlah kepiting bakau
sebanyak 1.101 ekor dengan rata-rata 73,4
ekor/hari.
Tabel 1. Hasil tangkapan kepiting bakau
(Scylla spp.) berdasarkan jumlah
individu (ekor)
Tangkapan (ekor)
Ulanga
Sebelum
Setelah tengah
n
tengah malam
malam
1
25
60
2
38
66
3
82
62
4
67
64
5
37
63
6
75
95
7
76
65
8
78
90
9
65
58
10
66
83
11
72
51
12
41
89
13
40
95
14
71
88
15
58
72
Total
891
1101
Ratarata
59,4
73,4
Berdasarkan hasil uji t pula diketahui
bahwa t hitung sebesar 2,357 dengan t tabel
sebesar 2,145 (lihat Lampiran 4) yang
menunjukkan bahwa t hitung > t tabel dan
berarti bahwa H0 ditolak dan menerima H1.
Sesuai dengan penelitian Setiawan (2006)
yang juga menunjukkan hasil tangkapan
kepiting bakau pada malam hari berbeda
dibandingkan sore hari dalam hal jumlah
dan bobot. Tingkah laku kepiting bakau
(Scylla spp.) yang bersifat nocturnal atau

lebih aktif dalam mencari makan pada


malam hari diduga menjadi salah satu faktor
penyebab tingginya hasil tangkapan yang
diperoleh pada waktu setelah pertengahan
malam.
Waktu penangkapan kepiting bakau
yang baik adalah saat air pasang karena
kepiting akan keluar dari sarangnya dan
bergerak aktif untuk menemukan makanan,
waktu pasang surut di alam yang selalu
berubah akan berpengaruh terhadap
pemilihaan waktu operasi yang dilakukan
nelayan. Umumnya pemasangan alat
tangkap dilakukan pada sore hari menjelang
malam dan hauling dilakukan keesokan
harinya. Pola ini telah menjadi pengetahuan
umum bagi nelayan dan dianggap
merupakan waktu paling ideal untuk
mendapatkan hasil yang optimal.
Hasil tangkapan kepiting bakau
(Scylla spp.) berdasarkan bobot
tangkapan (kg)
Data hasil penelitian pengaruh
perbedaan waktu pengoperasian terhadap
hasil tangkap kepiting bakau (Scyllaspp.)
yang telah dilakukan selama 15 hari
berdasarkan bobot (kg) dapat disajikan
dalam Tabel 2.
Berdasarkan hasil analisis statistik
dengan uji t waktu penangkapan sebelum
tengah malam dan sesudah tengah malam
memberikan pengaruh terhadap hasil
tangkapan dalam hal bobot (kg), dimana
hasil statistik memiliki nilai signifikansi
<0,05 yaitu sebesar 0,024 atau menerima H1.
Dari hasil uji t juga diperoleh t hitung
sebesar 2,524 dengan t tabel 2,145 (t hitung
> t tabel) yang berarti bahwa H 0 ditolak dan
menerima H1. Waktu penangkapan kepiting
bakau pada waktu setelah petengahan
malam lebih efektif dibandingkan pada
waktu sebelum pertengahan malam karena
menghasilkan tangkapan yang lebih banyak
dengan bobot yang lebih tinggi. Rosyid et
al. (2005) menyatakan bahwa waktu
penangkapan
yang
berbeda
akan

meghasilkan perbedaan pula pada hasil


tangkapan. Kepiting bakau (Scylla spp.)
akan
keluar
dari persembunyiannya
beberapa saat setelah matahari terbenam dan
bergerak sepanjang malam terutama untuk
mencari makan. Ketika matahari akan terbit,
kepiting bakau kembali membenamkan diri.
Tabel 2. Hasil tangkapan kepiting bakau
(Scylla serrata) berdasarkan bobot
(kg)
Bobot tangkapan (kg)
Ulangan
Sebelum
Sesudah
tengah malam tengah malam
1
5.66
14.08
2
8.52
15.07
3
18.55
14.35
4
15.25
14.10
5
8.62
14.02
6
17.31
22.03
7
17.55
15.25
8
18.04
21.21
9
13.78
12.95
10
15.51
19.28
11
16.85
12.55
12
9.22
20.97
13
9.13
21.23
14
16.76
21.78
15
13.81
16.47
Total
204.54
255.35
Rata-rata
13.64
17.02
Dari data bobot penangkapan kepiting
bakau didapatkan juga variasi kisaran bobot
pada masing-masing waktu pengoperasian.
Kisaran bobot kepiting bakau hasil
tangkapan pada waktu pengoperasian
sebelum dan sesudah tengah malam
disajikan dalam Tabel 3.
Ukuran
bobot
kepiting
yang
diperbolehkanuntuk ditangkap telah diatur
dalam Surat Edaran Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 18/MEN-KP/1/2015 tentang
penangkapan lobster (Panulirus spp.),
kepiting (Scylla spp.) dan rajungan
(Portunus spp.) yang menyatakan bahwa
sejak Januari 2015 hingga Desember 2015,

ukuran bobot kepiting yang boleh ditangkap


adalah lebih dari 200 g. Berdasarkan
peraturan tersebut. kepiting bakau yang
layak tangkap sebelum tengah malam
sebanyak 526 ekor atau 26% dan tangkapan
setelah tengah malam sebanyak 659 atau
33.08% dari jumlah total seluruh tangkapan.
Tabel 3. Kisaran bobot hasil tangkapan
kepiting bakau (Scylla spp.) yang
tertangkap
Jumlah tangkapan (ekor)
Bobot
Sesudah
Sebelum
(gr)
tengah
tengah malam
malam
107-167
164
212
168-228
264
306
229-289
274
363
290-350
189
220
Bobot kepiting bakau yang tertangkap
kemungkinan besar dipengaruhi beberapa
faktor diantaranya jenis kelamin, banyaknya
jumlah hasil tangkapan, padat tidaknya
daging yang terkandung dan laju
pertumbuhan kepiting bakau tersebut.
Menurut Hartnoll (1982) yang diacu dalam
Anggraini (1991) menjelaskan bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan pada crustacea meliputi dua
factor, yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Faktor
instrinsik meliputi ukuran, jenis kelamin,
tingkat kedewasaan dan cacat tubuh.
Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor
ekstrinsik adalah ketersediaan makanan,
suhu lingkungan dan parasit.
Hasil tangkapan kepiting bakau
(Scylla spp.) berdasarkan panjang
dan lebar karapas
Dari hasil penelitian yang dilakukan di
muara segara Tambak Medokan Surabaya
jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada
waktu sebelum tengah malam dan sesudah
tengah malam memiliki variasi panjang dan
lebar karapas yang bervariasi. Panjang
karapas dari kepiting bakau yang tertangkap
berkisar antara 44-75 mm. Variasi panjang

karapas kepiting bakau yang tertangkap dari


hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4. Variasi panjang karapas kepiting
bakau (Scyllaspp.) yang tertangkap
Jumlah tangkapan (ekor)
Panjang
Sebelum
Sesudah
karapas (mm)
tengah
tengah
malam
malam
44-51
306
356
52-59
279
348
60-67
138
141
68-75
168
256
Sedangkan variasi lebar karapas dari
kepiting bakau yang tertangkap berkisar dari
94-156 mm. Variasi panjang karapas
kepiting bakau yang tertangkap dari hasil
penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Variasi lebar karapas kepiting bakau

(Scylla spp.) yang tertangkap


Jumlah tangkapan (ekor)
Lebar
Sebelum
Sesudah
karapas
tengah
tengah
(mm)
malam
malam
73-93
353
369
94-114
177
235
115-135
227
318
136-156
134
179
Tiku (2004) menyatakan bahwa
panjang karapas kepiting bakau matang
gonad adalah 42.7 mm. Larosa etal. (2013)
menyatakan bahwa panjang karapas kepiting
bakau yang layak tangkap berkisar 54-123
mm. Menurut Wijaya etal. (2010) kepiting
bakau dikatakan telah dewasa kelamin jika
memiliki ukuran lebar karapas lebih dari 100
mm. sedangkan lebar kepiting yang
berukuran kurang dari 100 mm dikatakan
belum dewasa.
Sesuai dengan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. 1/PER/MENKP/1/2015 kepiting (Scylla spp.) yang
diperbolehkan untuk dilakukan penangkapan
harus memiliki lebar karapas >15 cm atau >
150 mm.

Hasil tangkapan kepiting bakau


(scylla spp.) berdasarkan jenis
kelamin
Total keseluruhan dari 1.992 ekor
kepiting bakau yang tertangkap juga
memiliki variasi jenis kelamin. Dari data
tersebut dapat dilihat bahwa jumlah kepiting
bakau yang tertangkap pada waktu sebelum
tengah malam yang berjenis kelamin jantan
dan betina masing-masing sejumlah 480
ekor dan 411 ekor. Sedangkan pada waktu
setelah tengah malam masing-masing
sebanyak 566 ekor dan 535 ekor. Data
jumlah kepiting bakau yang tertangkap
berdasarkan jenis kelamin disajikan pada
Tabel 6.
Tabel 4.6 Jumlah hasil tangkapan kepiting
bakau (Scylla spp.) berdasarkan
jenis kelamin
Waktu penangkapan
Ulanga
Sebelum
Sesudah tengah
n
tengah malam
malam
Jantan Betina Jantan Betina
1
13
12
36
24
2
18
20
38
28
3
48
34
32
30
4
31
36
31
33
5
17
20
29
34
6
49
26
57
38
7
41
35
43
22
8
37
41
44
46
9
39
26
24
34
10
43
23
47
36
11
40
32
25
26
12
16
25
47
42
13
21
19
41
54
14
37
34
44
44
15
30
28
28
44
Jumlah
480
411
566
535
Menurut
Siahainenia
(2008),
berdasarkan daur hidup dan tingkah lakunya,
kepiting bakau betina dewasa cenderung
akan
bergerak
meninggalkan
hutan
mangrove menuju ke laut dalam proses
migrasi reproduksi untuk mencari perairan
dengan kondisi parameter lingkungan yang

relatif stabil. Hal ini sesuai dengan


pernyataan Hill (1975) yang diacu dalam
Herliany dan Zamdial (2015) yang
menjelaskan bahwa dominasi jantan dapat
terjadi karena adanya pola migrasi pada
kepiting bakau.
Kepiting
bakau
melangsungkan
perkawinan di perairan mangrove dan secara
berangsur-angsur
sesuai
dengan
perkembangan telurnya. Kepiting betina
akan beruaya (berenang) ke laut dan
memijah. Sedangkan kepiting jantan tetap di
perairan hutan bakau atau muara sungai.
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan laporan
penelitian, dapat disimpulkan bahwa:
a. Waktu penangkapan sebelum tengah
malam dan sesudah tengah malam
memberikan
pengaruh
terhadap
jumlah tangkapan kepiting bakau
(Scyllaspp.).
b. Waktu penangkapan sebelum tengah
malam dan sesudah tengah malam
memberikan pengaruh terhadap bobot
tangkapan kepiting bakau (Scylla
spp.).
c. Hasil
tangkapan
yang
didapat
memiliki bobot.lebar karapas.panjang
karapas. dan jenis kelamin yang
bervariasi.
SARAN
a. Para nelayan penangkap kepiting
bakau
seharusnya
melakukan
penangkapan setelah tengah malam,
supaya
mendapatkan
jumlah
tangkapan yang maksimal.
b. Para nelayan penangkap kepiting
bakau diharapkan tetap menjaga
kelestarian kepiting bakau dengan
melakukan
penangkpaan
sesaui
dengan peraturan yang berlaku.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan kepada Ir.
Hari Subagio, M. Si selaku pembimbing I
dan Ir. M. Arief Sofijanto, M. Si selaku

pemimbing II yang telah memberikan


masukan, saran dan kritik dalam penelitian
dan penyusunan skripsi ini dan semua pihak
yang terlibat dalam penyusunan laporan
skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alsa. A. 2004. Pendekatan Kuantitatif
Kualitatif dalam Penelitian Psikologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anggraini E. 1991. Regenerasi alat gerak,
pertambahan bobot tubuh pasca lepas
cangkang dan kajian morfometrik
kepiting bakau (Scylla serrata.
Forskal) di Rawa Payau Muara Sungai
Cikaso.
Kabupaten
Sukabumi
[Skripsi].
Jurusan
Manajemen
Sumberdaya
Perairan.
Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 111 hlm
Herliany. N. E. dan Zamdial. 2015.
Hubungan Lebar Karapas dan Berat
Kepiting Bakau (Scylla spp.) Hasil
Tangkapan di Desa Kahyapu Pulau
Enggano Provinsi Bengkulu. Jurnal
Kelautan. 8 (2): 89-94
Kanna. I. 2002. Budi Daya Kepiting Bakau
Pembesaran
dan
Pembenihan.
Kanisius. Yogyakarta. 80 hlm.
Diponegoro. Semarang.
Kasry. A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau
dan Biologi Ringkas. Bhratara.
Jakarta. 107 hal.
Larosa R. Hendrato B dan Nitisupardjo M.
2013.
Identifikasi
Sumberdaya
Kepiting Bakau (Scylla sp.) yang
Didaratkan di TPI Kabupaten Tapanuli
Tengah. Journal of Management of
AquaticResources(2): 180-189.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan.
2015. Nomor 1/PERMEN-KP Tentang
Penangkapan Lobster (Panulirus
spp.). Kepiting (Scylla spp.) dan
Rajungan (Portunus spp.). Jakarta.
Resosudarmo. B. P. P. Hartanto. D. Ahmad.
T. Nina. I. L. Subimah. Olivia dan A.

Noegroho. 2002. Analisa Penentuan


Sektor Prioritas di Kelautan dan
Pendahuluan Perikanan Indonesia.
Jakarta: Jurnal Perikanan dan
Kelautan. Vol. 4. No. 3. hal 30-45
Rosyid A. Jayanto. B. B. dan Amaludin A.
2005. Pengaruh Perbedaan Waktu
Penangkapan dan Jenis Umpan
Terhadap Hasil Tangkapan Kepiting
Bakau dengan Alat Tangkap Wadong.
Prosidding Seminar Perikanan
Tangkap 15. Universitas Diponegoro.
Semarang. hal 1-7.
Setiawan.P.A.K. 2006. Perbandingan Hasil
Tangkapan Bubu Bambu dan Bubu
Lipat di Perairan Pelabuhan Ratu.
Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.
[Skripsi]. Program Studi Pemanfaatan
Sumberdaya
Perikanan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. hal 26-30.
Siahainenia. L. (2008). Bioekologi Kepiting
Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem
Mangrove Kabupaten Subang Jawa
Barat
[Disertasi]
Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Surat Edaran Menteri Kelautan dan
Perikanan. 2015. SE Nomor. 18/MENKP/1 Tentang Penangkapan Lobster
(Panulirus spp.). Kepiting (Scylla
spp.) dan Rajungan (Portunus spp.).
Jakarta.
Wijaya.N.I.. Yulianda.F.. Boer. M dan
Juwana.S. 2010. Biologi Populasi
Kepiting Bakau (Scyllaserrata F.) di
Habitat Magrove Taman Nasional
Kutai Kabupaten Kutai Timur. Jurnal
Oseanografi dan Limnologi di
Indonesia(3): 443-461.

Anda mungkin juga menyukai