Anda di halaman 1dari 21

Pertanyaan :

Etika Pengacara
Sebagai orang awam, saya ingin bertanya tentang etika pengacara, saya terlibat
perkara perdata di mana saya didampingi seorang pengacara sejak pengadilan
negeri hingga putusan MA, di mana saya memenangkannya semua. Namun
karena masalah pembayaran, pengacara saya ini minta mundur dan kemudian
berbalik menjadi pengacara lawan dengan mengajukan peninjauan kembali?
Apakah sebagai seorang pengacara ini dilegalkan, bung Pokrol? Jika tidak, apa
ada dalam KUHP yang mengatur tentang etika seorang pengacara, bung Pokrol?
Jika seseorang mencemarkan nama baik orang lain, itu akan dikenakan pasal
berapa dalam KUHP, Bung Pokrol? Terima kasih atas bantuannya Bung Pokrol.
Jawaban :
Untuk menjawab permasalahan di atas kita harus merujuk pada UU No. 18 Tahun
2003 tentang Advokat (UU Advokat) dan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI).

Advokat dalam menjalankan profesinya untuk membela perkara yang menjadi


tanggung jawabnya berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundangundangan (lihat pasal 15 UU Advokat). Kemudian, di dalam pasal 26 ayat (2)
UU Advokat juga diatur bahwa advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik
profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.

Hubungan yang paling mendasar dalam hubungan advokat-klien adalah saling


percaya (reciprocal trust). Dalam hubungan tersebut, klien percaya bahwa
advokat menangani dan melindungi kepentingannya (klien) dengan profesional
dan penuh keahlian, memberikan nasihat-nasihat yang benar, serta tidak akan
melakukan hal-hal yang akan merugikan kepentingannya tersebut.

Di pihak lain, advokat berharap kejujuran dari klien dalam menjelaskan semua
fakta mengenai kasus yang dihadapinya kepada advokat. Advokat juga berharap
klien mempercayai bahwa advokat menangani dan membela kepentingan klien
dengan profesional dan dengan segala keahlian yang dimilikinya.

Kepercayaan yang diperoleh advokat dari klien menerbitkan kewajiban bagi


advokat untuk menjaga kerahasiaan segala sesuatu yang diketahui atau
diperoleh dari kliennya. Kewajiban advokat untuk menjaga kerahasiaan dalam
hubungan advokat-klien diatur secara tegas baik di dalam UU Advokat (pasal 19
ayat [1]) maupun di dalam KEAI (pasal 4 huruf a).

Dalam permasalahan yang anda hadapi, berdasarkan hal-hal di atas, tindakan


advokat yang sebelumnya mewakili anda dalam suatu perkara, kemudian yang
bersangkutan mundur sebagai kuasa hukum anda dan berbalik menjadi kuasa
hukum bagi lawan berperkara anda pada kasus yang sama, boleh jadi tidak

dibenarkan secara etik. Alasannya adalah dengan menjadi kuasa hukum lawan
berperkara anda untuk kasus yang sama, maka advokat tersebut berpotensi
melanggar kewajiban menjaga rahasia klien sebagaimana diatur dalam pasal 19
ayat (1) UU Advokat dan pasal 4 huruf h KEAI.

Dalam pasal 19 ayat (1) UU Advokat dinyatakan bahwa advokat wajib


merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena
hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Pasal 4 huruf h KEAI menyatakan bahwa advokat wajib memegang rahasia


jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan
wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara advokat
dan klien itu. Jadi, kewajiban advokat untuk menjaga kerahasiaan klien tetap ada
walaupun advokat tersebut telah mundur sebagai kuasa hukum anda atau
setelah berakhir hubungan advokat-klien.

Sebagai kuasa hukum bagi klien barunya yaitu lawan berperkara anda, advokat
tersebut berpotensi menggunakan hal-hal terkait perkara tersebut yang dia
ketahui atau peroleh dari anda saat menjadi kuasa hukum anda. Advokat
tersebut berpotensi menggunakan informasi yang seharusnya dia rahasiakan
tersebut untuk keuntungan klien barunya dan mungkin akan merugikan
kepentingan anda.

Untuk memastikan apakah tindakan advokat tersebut melanggar kode etik atau
tidak, anda dapat mengajukan pengaduan kepada Dewan Kehormatan
Organisasi Advokat. Jika dalam sidang Dewan Kehormatan terbukti advokat
tersebut melanggar kode etik, maka yang bersangkutan dapat dijatuhi tindakan
mulai dari sanksi teguran, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap
dari profesi advokat (lihat pasal 26 jo pasal 7 dan pasal 8 UU Advokat).

Adapun pencemaran nama baik diatur antara lain di dalam pasal 310 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi:

(1)

Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik


seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang
supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah. Kemudian, dalam pasal 310 ayat

(2)

Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena

pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3)

Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan


jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk
membela diri.

Demikian hemat kami, semoga bermanfaat.


Dasar hukum:
1.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad


1915 No. 732)

2.

Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

3.

Kode Etik Advokat Indonesia

Etika, Moral dan Profesi Advokat

A.Pengertian Etika, Moral dan Profesi Advokat


Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos atau ta etha yang berarti tempat
tinggal, padang rumput, kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani,
Aristoteles, etika digunakan untuk menunjukkan filsafat moral yang menjelaskan
fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan
suara hati. (E.Y. Kanter 2001:2)
Kata yang agak dekat dengan pengertian etika adalah moral. Kata moral berasal
dari bahasa Latin yaitu mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan,
kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan cara hidup. Secara etimologi, kata etika
(bahasa Yunani) sama dengan arti kata moral (bahasa Latin), yaitu adat istiadat
mengenai baik-buruk suatu perbuatan.
Tetapi sebenarnya moral dan etika adalah tidak sama. Kata moral lebih mengacu
pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana
seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Sedangkan etika adalah ilmu, yakni pemikiran rasional, kritis dan sistematis
tentang ajaran-ajaran moral. Etika menuntun seseorang untuk memahami
mengapa atau atas dasar apa ia harus mengikuti ajaran moral tertentu. Dalam
artian ini, etika dapat disebut filsafat moral (E.Y. Kanter 2002:2).
Yang dimaksud etika profesi adalah norma-norma, syarat-syarat dan ketentuanketentuan yang harus dipenuhi oleh sekelompok orang yang disebut kalangan
profesional. Sementara itu orang yang menyandang suatu profesi tertentu
disebut seorang profesional.
Oemar Seno Adji mengatakan bahwa peraturan-peraturan mengenai profesi
pada umumnya mengatur hak-hak yang fundamental dan mempunyai peraturanperaturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam melaksanakan
profesinya yang dalam banyak hal disalurkan melalui kode etik (Oemar Seno Adji
1991:8).
Sedangkan yang dimaksud dengan profesi adalah suatu moral community
(masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Mereka
membentuk suatu profesi yang disatukan karena latar belakang pendidikan yang
sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain.
Dengan demikian, profesi menjadikan suatu kelompok mempunyai kekuasaan
tersendiri dan karena itu mempunyai tanggung jawab khusus.
Sementara definisi Advokat tertera dalam pasal 1 ayat 1 undang-undang nomor
18 tahun 2003 tentang Advokat yaitu : orang yang berprofesi memberi jasa
hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Masyarakat
Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia 2002 (Selanjutnya KEAI) menyatakan
bahwa advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile). Kata mobile
officium mengandung arti adanya kewajiban yang mulia atau yang terpandang
dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Serupa dengan ungkapan yang kita
kenal noblesse oblige, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable),
murah-hati (generous), dan bertanggung jawab (responsible) yang dimiliki oleh
mereka yang ingin dimuliakan. Hal ini berarti bahwa seorang anggota profesi
advokat, tidak saja harus berperilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi harus juga
mendapat kepercayaan publik, bahwa advokat tersebut akan selalu berperilaku
demikian.
Dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 2 dan 3 UU Advokat, maka
seorang sarjana hukum dapat diangkat sebagai seorang advokat dan akan
menjadi anggota organisasi advokat (admission to the bar). Dengan diangkatnya
seseorang menjadi advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia
melaksanakan pekerjaan terhormat (mobile officium), dengan hak eksklusif: (a)
menyatakan dirinya pada publik bahwa ia seorang advokat, (b) dengan begitu

berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya, dan (c) menghadap
di muka sidang pengadilan dalam proses perkara kliennya. Akan tetapi, jangan
dilupakan, bahwa hak dan kewenangan istimewa ini juga menimbulkan
kewajiban advokat kepada masyarakat, yaitu: (a) menjaga agar mereka yang
menjadi anggota profesi advokat selalu mempunyai kompetensi pengetahuan
profesi untuk itu, dan mempunyai integritas melaksanakan profesi terhormat ini,
serta (b) oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak
layak menjalankan profesi terhormat ini (to expose the abuses of which they
know that certain of their brethren are quilty).
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Pengadilan
Seorang advokat (counsel) adalah seorang pejabat pengadilan (officer of the
court) apabila dia melakukan tugasnya di pengadilan. Oleh karena itu seorang
advokat harus mendukung kewenangan (authority) pengadilan dan menjaga
kewibawaan (dignity) sidang. Untuk memungkinkan keadaan ini, maka advokat
harus patuh pada aturan-aturan sopan santun (decorum) yang berlaku dalam
melaksanakan tugasnya dan menunjukkan sikap penghargaan profesional
(professional respect) kepada hakim, advokat lawan (atau jaksa/penuntut
umum), dan para saksi. Kadang-kadang hal ini tidak mudah, dua contoh saya
ajukan di sini:
(a) Advokat yang baik berkewajiban untuk protes secara kuat, apabila dia
berpendapat bahwa pandangan atau pendapat (majelis) hakim keliru dalam
menerapkan hukum acara (misalnya mengenai pembuktian atau saksi), namun
demikian begitu (majelis) hakim telah memberi keputusan, maka advokat harus
menerimanya. Tentu dia tetap berhak untuk mempergunakan upaya hukum yang
tersedia, misalnya mengajukan banding.
(b) Ada kemungkinan seorang advokat mempunyai pengalaman dan
pengetahuan yang jauh lebih dibanding (majelis) hakim. Sehingga sering sukar
baginya untuk menahan diri melihat sikap dan putusan (majelis) hakim yang
dianggapnya keliru. Tetapi juga di sini seorang advokat harus menjaga disiplin
dirinya dan menahan diri untuk dapat tetap menjaga sopan santun sidang.
Putusan (majelis) hakim harus ditaati, bagaimanapun dirasakan keliru dan tidak
adil. Cara mengatasinya adalah hanya melalui upaya hukum yang tersedia.
Apabila seorang advokat tidak dapat mengendalikan dirinya dalam sidang, maka
dia dapat ditegur secara keras oleh (majelis) hakim. Di negara-negara dengan
common law system advokat ini dapat dituduh melakukan contempt of court
(pelecehan pengadilan). Apakah keadaan yang diuraikan di atas termasuk dalam
ketentuan KEAI, Pasal 3 alinea 8 ... harus bersikap sopan terhadap semua
pihak, namun ...? Kiranya Dewan Kehormatan Advokat akan menghadapi
pertanyaan ini di kemudian hari.
Dalam hal kewajiban advokat kepada pengadilan, ABA canon 22 menyatakan
bahwa perilaku advokat di muka sidang pengadilan dan dengan para teman
sejawatnya harus bercirikan keterbukaan (candor, frankness) dan kejujuran
(fairness). Inti dari asas ini adalah melarang advokat berperilaku curang
(mislead, deceive)terhadap (majelis) hakim dan advokat lawannya. Memang
kewajiban advokat mempunyai dua sisi: dia berkewajiban untuk loyal (setia)
pada kliennya, tetapi juga wajib beritikad baik dan terhormat dalam
berhubungan dengan pengadilan. Yang pertama adalah the duty of fidelity
kepada kliennya dan ini belum ada dalam Pasal 4 KEAI tentang hubungan
(advokat) dengan klien. Kewajiban kepada pengadilan tersebut di atas adalah
the duty of good faith dan the duty of honorable dealing. Menurut pendapat
saya KEAI juga harus menyediakan suatu bab khusus tentang hubungan advokat
dengan pengadilan. Bab baru ini harus berbeda dengan bab VI KEAI yang
mengatur tentang cara bertindak menangani perkara.
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Sejawat Profesi

Bab IV KEAI mengatur asas-asas tentang hubungan antar teman sejawat


advokat. Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kegiatan menjalankan
profesi sebagai suatu usaha, maka persaingan adalah normal. Namun
persaingan (competition) ini harus dilandasi oleh ... sikap saling menghormati,
saling menghargai, dan saling mempercayai (KEAI Pasal 5 alinea 1). Apalagi
dalam persaingan melindungi dan mempertahankan kepentingan klien, sering
antara para advokat, atau advokat dan jaksa/penuntut umum, terjadi
pertentangan (contest). Sering pula advokat terbawa oleh rasa-marah (illfeeling) antar klien mereka. Kejadian terakhir ini harus dicegah, permusuhan
yang mungkin ada di antara klien-klien kedua belah pihak tidak boleh
mempengaruhi para advokat di dalam perilakunya. Suatu ungkapan mengatan
Do as adversaries do in law: strive mightily, but eat and drink as friends.
Alinea 4 dari Pasal 5 KEAI merujuk lepada penarikan atau perebutan klien. Dalam
bahasa ABA ini dinamakan encroaching atau trespassing, secara paksa
masuk dalam hak orang lain (teman sejawat advokat). Secara gambalng
dikatakan adanya obligation to refrain from deliberately stealing each others
clients. Bagaimana dalam praktik nanti Dewan Kehormatan KEAI akan
mendefinisikan stealing of clients ini? Bagaimana akan ditafsirkan menarik
atau merebut klien itu? Kita harus menyadari bahwa adalah hak klien untuk
menentukan siapa yang akan memberinya layanan hukum; siapa yang akan
mewakilinya; atau siapa advokatnya (it is for the client to decide who shall
represent him).
Masalah lain dalam hubungan antar advokat ini adalah tentang penggantian
advokat. Advokat lama berkewajiban untuk menjelaskan pada klien segala
sesuatu yang perlu diketahuinya tentang perkara bersangkutan. Di sini perlu
diperhatikan apa yang diatur dalam Pasal 4 alinea 2 KEAI tentang pemberian
keterangan oleh advokat yang dapat menyesatkan kliennya. Advokat baru
sebaiknya menghubungi advokat lama dan mendiskusikan masalah perkara
bersangkutan dan perkembangannya terakhir. Yang perlu diperhatikan advokat
baru adalah, bahwa klien telah benar-benar mencabut kuasanya kepada advokat
lama dan klien juga telah memenuhi kewajibannya pada advokat lama (lihat
alinea 5 dan 6, Pasal 5 KEAI).
Hal yang tidak boleh dilakukan seorang advokat adalah berkomunikasi atau
menegosiasi maslah perkara, langsung dengan seseorang yang telah
mempunyai advokat, tanpa kehadiran advokat orang ini. Asas ini tercantum
dalam Canon 9 ABA. Namun demikian, asas ini tidak berlaku untuk
mewawancarai saksi (-saksi) dari pihak lawan dalam berperkara (lihat alinea 5
dan 6, Pasal 7 KEAI).
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Klien
Advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile) dan karena itu
mendapat kepercayaan penuh dari klien yang diwakilinya. Hubungan
kepercayaan ini terungkap dari kalimat the lawyer as a fiduciary dan adanya
the duty of fidelity para advokat terhadap kliennya. Akibat dari hubungan
kepercayaan dan kewajiban untuk loyal pada kliennya ini, maka berlakulah asas
tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan (lihat Pasal 4 alinea 8
KEAI).
Seorang advokat wajib berusaha memperoleh pengetahuan yang sebanyakbanyaknya dan sebaik-baiknya tentang kasus kliennya, sebelum memberikan
nasihat dan bantuan hukum. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus
terang (candid) tentang untung ruginya (merus) perkara yang akan dilitigasi dan
kemungkinan hasilnya. Dalam canon 8 ABA ini dinamakan duty to give candid
advice. Sedang dalam KEAI diperingatkan agar advokat tidak ... memberikan
keterangan yang menyesatkan dan tidak ... menjamin kepada kliennya bahwa
perkara yang ditanganinya akan menang (Pasal 4 alinea 2 dan 3).

Salah satu tugas utama dari seorang advokat adalah menjaga agar dirinya tidak
menerima kasus dari klien yang menimbulkan pertentangan atau konflik
kepentingan (conflicting interest). Terutama dalam kantor hukum yang
mempekerjakan sejumlah besar advokat, maka sebelum menerima sebuah
perkara, nama calon klien dan lawan calon klien serta uraian singkat kasusnya
perlu diedarkan kepada para advokat sekantor. Ketentuan tentang hal ini, yaitu
duty not to represent conflicting interests belum ada dalam KEAI. Adapun a.l.
alasan perlunya ketentuan seperti ini, adalah asas yang telah disebut di atas
the lawyer as a fiduciary dan the duty of fidelity. Kepercayaan klien pada
advokat mungkin telah menyebabkan klien memberi advokatnya informasi
konfidensial atau pribadi. Kewajiban untuk loyal kepada klien berakibat bahwa
advokat dilarang (forbids) menerima perkara yang akan merugikan kepentingan
kliennya (forbids the acceptance in matters adversaly affecting any interest of
the client).
Mungkin terjadi keadaan, dimana dua (atau lebih) klien lama suatu kantor
advokat mempunyai kepentingan dalam perkara yang sama dan kepentingan ini
saling bertentangan. Asas pertama yang harus diperhatikan adalah tidak
mewakili kepentingan yang bertentangan (conflicting interests), kecuali dengan
persetujuan semua pihak yang berkepentingan (the consent of all concerned).
Sedangkan asas kedua adalah bahwa kecuali semua pihak memberi
persetujuan, maka hal ini berarti tidak boleh mewakili siapapun dari mereka (he
may represent no one of them).
Pasal 4 alinea 8 KEAI mengatur tentang kewajiban advokat memegang rahasia
jabatan dan ... wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan
antar advokat dan klien. Pertanyaan yang mungkin harus dijawab oleh Dewan
Kehormatan adalah: (a) apakah ketentuan ini berlaku juga bila
mempertimbangkan pengaduan tentang conflicting interests, dan (b) apakah
kewajiban not to disclose or abuse professional confidence tetap berlaku
setelah klien meninggal dunia?
Masih dalam konteks rahasia jabatan (professional confidential information),
apakah alinea 8 di atas itu mutlak? Bagaimana dengan informasi bahwa klien
akan melakukan kejahatan? Menurut saya, advokat dalam hal ini dapat
memberikan informasi secukupnya (as may be necessary) untuk mencegah
terjadinya kejahatan ataupun melindungi calon korban. Pertanyaan yang lain
adalah, bagaimana dengan informasi konfidensial klien yang mempunyai
implikasi terhadap keamanan umum (public safety) atau keamanan negara
(state security)? Di sini asas menjaga rahasia jabatan juga tidaklah mutlak.
Pendapat publik sering keliru menafsirkan kewajiban advokat menerima klien,
Pasal3 alinea 1 KEAI memberi hak kepada advokat untuk menolak menerima
perkara seorang klien, kecuali atas dasar agama, politik, atau status sosial. Ini
dinamakan the right to decline employment (canon 31 ABA). Sedangkan dalam
alinea 2, dikatakan bahwa tujuan advokat menerima perkara klien adalah
terutama ... tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan. Sedangkan dalam
Pasal 4 alinea 9 KEAI tidak dibenarkan seorang advokat melepaskan tugas yang
diberikan oleh kliennya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien. Ketiga
ketentuan di atas harus dibaca bersama. Dalam kasus dimana klien oleh publik
telah dianggap bersalah, maka berlaku asas the right of the lawyer to
undertake the defense of the person accused of crime, regardless of his personal
opinion as to the guilt of the accused (canon 5 ABA). Dalam hal kemudian
advokat ingin mengundurkan diri, maka hal itu harus dilakukan dengan good
cause (alasan yang wajar). Dikatakan a.l. oleh canon 44 ABA: the lawyer
should non throw up the unfinished task to the detriment of his client, except for
reasons of honor or self-resfect. Apa yang dimaksud dengan ini adalah
misalnya: klien memaksa agar advokat melakukan sesuatu yang tidak adil

(unjust) atau immoral dalam penanganan kasusnya. Apabila dia akan


mengundurkan diri, maka advokat harus memberikan kepada klien cukup waktu
untuk memilih advokat baru.
Sejauhmana seorang advokat boleh memperjuangkan kepentingan kliennya juga
sering disalahtafsirkan oleh publik. Hal yang sangat merugikan dan merusak
kehormatan advokat adalah pendapat yang sangat keliru: it is the duty of the
lawyer to do what ever may enable him to succeed in winning his clients cause.
Pendapat yang keliru ini bertentangan dengan sumpah atau janji advokat dalam
Pasal 4 ayat (2) UU Advokat, yang a.l. mengatakan bahwa dia (advokat) akan
bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan,
serta tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat
pengadilan, atau pejabat lainnya agar memenangkan perkara kliennya. Hal ini
dikatakan lebih jelas dalam canon 15 ABA, a.l.: ... the lawyer owes entire
devotion to the interest of the client ... and the exertion of his utmost learning
and ability. But it is ... to be borne in mind that the great trust o fthe lawyer is to
be performed within and not without the bounds of law. The office of the attorney
does not permit ... for any client, violation of law or any manner of fraud ... he
must obey his own conscience and not that of his client.
Asas terakhir yang saya kutip di atas, adalah bagaimana kita harus menafsirkan
dan menjalankan profesi advokat seperti yang diwajibkan oleh asas KEAI, Pasal 3
alinea 7: Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai
profesi terhormat (officium mobile).

Etika Profesi Advokad


PENDAHULUAN
Profesionalisme tanpa etika menjadikannya bebas sayap dalam arti tanpa
kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme
menjadikannya lumpuh sayap dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak,
(Soelaiman Soemardi: 2001). Kondisi ketergantungan tersebut pada akhirnya
menempatkan etika profesi sebagai salah satu sarana kontrol masyarakat
terhadap profesi, yang dalam hal tertentu masih dapat dinilai melalui parameter
etika yang berlaku umum dalam masyarakat.
Salah satu profesi yang keberadaannya berhubungan erat dengan kehidupan kita
semua adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan aspirasi keadilan
sosial, hak asasi manusia dan demokrasi. Istilah advokat sudah dikenal ratusan
tahun yang lalu dan identik dengan advocato, attorney, rechtsanwalt, barrister,
procureurs, advocaat, abogado dan lain sebagainya di Eropa yang kemudian
diambil alih oleh negara-negara jajahannya.
Pengertian advokat menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun
2003 Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam
maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undangundang ini. Selanjutnya dalam UU Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah
penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum
lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun demikian, meskipun sama-sama
sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu
sama lain.
Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara, maka
hakim sebagai penegak hukum menjalankan kekuasaan yudikatif, jaksa dan
polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini diperoleh gambaran hakim

mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah.


Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup kekuasaan negara (eksekutif,
legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran
dan fungsinya secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien)
dan tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif).
Sebagai konsekuensi dari perbedaan konsep tersebut, maka hakim
dikonsepsikan memiliki kedudukan yang objektif dengan cara berpikir yang
objektif pula sebab mewakili kekuasaan negara di bidang yudikatif. Oleh sebab
itu, dalam setiap memeriksa, mengadili, dan menyesesaikan perkara, seorang
hakim selain wajib mengikuti peraturan perundang-undangan harus pula
menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah
masyarakat.
Jaksa dan Polisi dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara
berpikir yang subjektif pula sebab mewakili kepentingan pemerintah (eksekutif).
Untuk itu, bila terjadi pelanggaran hukum (undang-undang), maka jaksa dan
polisi diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menindaknya tanpa
harus menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah
masyarakat. Dengan kata lain, setiap pelanggaran hukum (undang-undang),
maka akan terbuka bagi jaksa dan polisi untuk mengambil tindakan.
Sedangkan advokat dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan
cara berpikir yang objektif. Kedudukan subjektif Advokat ini sebab ia mewakili
kepentingan masyarakat (klien) untuk membela hak-hak hukumnya. Namun,
dalam membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif
menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu,
dalam kode etik ditentukan diantaranya, advokat boleh menolak menangani
perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang
memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada
klien.
Profesi advokat sejak 2000 tahun yang lalu dikenal sebagai profesi mulia
(Officium Nobile) dan sekarang seakan sedang booming di Indonesia. Hampir
setiap orang yang menghadapi suatu masalah di bidang hukum di era reformasi
ini cenderung untuk menggunakan jasa profesi advokat, mulai dari perkaraperkara besar yang melibatkan orang-orang kaya dan terkenal, seperti kasus
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), kasus perbankan, kasusnya para artis
sampai kasus yang melibatkan rakyat kecil atau orang miskin, seperti pencurian
ayam, penggusuran rumah dan lain sebagainya.
Tiap profesi, termasuk advokat menggunakan sistem etika terutama untuk
menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan
menyediakan garis batas tata nilai yang bisa dijadikan acuan para profesional
untuk menyelesaikan dilematik etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi
pengembanan profesinya sehari-hari. Hal senada diungkapkan oleh Bertens yang
menyatakan bahwa kode etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukan
arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi di dalam
masyarakat. Sedangkan Subekti menilai bahwa fungsi dan tujuan kode etik
adalah untuk menjunjung martabat profesi dan menjaga atau memelihara
kesejahteraan para anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan materil
para anggotanya. Senada dengan Bertens, Sidharta berpendapat bahwa kode
etik profesi adalah seperangkat kaedah prilaku sebagai pedoman yang harus
dipatuhi dalam mengembankan suatu profesi.
Sebenarnya kode etik tidak hanya berfungsi sebagai komitmen dan pedoman
moral dari para pengemban profesi hukum atau pun hanya sebagai mekanisme
yang dapat menjamin kelangsungan hidup profesi di dalam masyarakat. Pada
intinya, kode etik berfungsi sebagai alat perjuangan untuk mejawab persoalan-

persoalan hukum yang ada di dalam masyarakat. Perspektif ini pada umumnya
berpengaruh pada sebagian advokat yang bergerak dalam bantuan hukum,
khususnya bantuan hukum struktural. Oleh karena itu penekanan utama
pandangan ini terhadap kode etik adalah bagaimana norma-norma etis
didalamnya dapat memberikan pedoman kepada seorang advokat untuk
memperjuangkan hak-hak sosial di tengah masyarakat yang kian kompleks.
Pandangan ini juga mungkin yang menjadi landasan dari sebagian peserta dalam
menyikapi etika profesi hukum pada Musyawarah Nasional Luar Biasa Ikadin di
Surabaya pada bulan Nopember 2000 dimana sebagian peserta tersebut
bersikap bahwa pembersihan terhadap kotornya profesi hukum sekarang ini
harus diperjuangkan melalui komitmen pembenahan dari dalam diri advokat
sendiri. Hal ini juga disebabkan karena tidak adanya sistem yang mantap
berkaitan dengan pembentukan dan pengembangan etika dan profesionalisme
advokat.
Penegakan kode etik advokat adalah isu yang menjadi sorotan dari banyak
advokat dan seluruh elemen penegakan hukum di Indonesia. Penegakan kode
etik diartikan sebagai kemampuan komunitas advokat dan organisasinya untuk
memaksakan kepatuhan atas ketentuan-ketentuan etik bagi para anggotanya,
memproses dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan menindak anggota
yang melanggar ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam kode etik.
Dengan diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, LN Tahun 2003
Nomor 49, TLN Nomor 4255, maka profesi advokat di Indonesia memasuki era
baru. Suatu era yang dalam konteks ini diartikan sebagai pemacu bagi seorang
calon advokat/advokat untuk lebih baik dalam memberi pelayanan hukum
kepada masyarakat. Pentingnya mengetahui peran dan tugas advokad erat
kaitannya dengan keberhasilan pelaksanaan dalam mengontrol kesesuaian teori
dengan praktik yang dilakukan. Peran dan fungsi advokad akan dibahas pada
bab selanjutnya, dengan pembahasan secara terperinci dan menyeluruh.
PEMBAHASAN
Pelanggaran Kode Etik
Beberapa pelanggaran kode etik yang sering dilakukan oleh advokat antara lain :
1. Berkaitan dengan persaingan yang tidak sehat antar sesama advokat seperti
merebut klien, memasang iklan, menjelek-jelekkan advokat lain, intimidasi
terhadap teman sejawat ;
2. Berkaitan dengan kualitas pelayanan terhadap klien, seperti konspirasi dengan
advokat lawan tanpa melibatkan klien, menjanjikan kemenangan terhadap klien,
menelantarkan klien, mendiskriminasikan klien berdasarkan bayaran, dan lain
sebagainya;
3. Melakukan praktek curang seperti menggunakan data palsu, kolusi dengan
pegawai pengadilan dan lain-lain.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas seringkali terjadi karena kurangnya
pengetahuan dan pemahaman seorang advokat mengenai substansi kode etik
profesi advokat, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Selain itu,
apabila kita telaah kode etik advokat Indonesia, tidak ada pengaturan mengenai
sanksi dalam kode etik advokat Indonesia sehingga hal ini juga yang merupakan
hambatan pokok bagi penegakan kode etik.
Namun, bila dilihat dari sudut pandang lain, kelemahan substansi kode etik
bukan berasal dari tidak adanya sanksi, tapi lebih pada ketidakmampuan normanorma dalam kode etik tersebut untuk menimbulkan kepatuhan pada para
advokat anggotanya. Bahkan dalam kode etik sebenarnya ada bagian khusus
yang memuat pengaturan mengenai sanksi-sanksi yang dapat diberikan kepada
advokat yang melanggar kode etik, yaitu antara lain berupa teguran, peringatan,
peringatan keras, pemberhentian sementara untuk waktu tertentu,
pemberhentian selamanya dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.

Masing-masing sanksi ditentukan oleh berat ringannya pelanggaran yang


dilakukan oleh advokat dan sifat pengulangan pelanggarannya.
Faktor lain yang menentukan efektivitas penegakan kode etik adalah budaya
advokat Indonesia dalam memandang dan menyikapi kode etik yang
diberlakukan terhadapnya. Budaya solidaritas korps disinyalir merupakan salah
satu penghambat utama dari tidak berhasilnya kode etik ditegakkan secara
efektif. Solidaritas ini lebih dikenal dengan Spirit of the Corps yang bermakna
luas sebagai semangat untuk membela kelompok atau korpsnya. Selain
semangat membela kelompok, ada faktor perilaku advokat yang dipandang lebih
menonjol ketika ia menemukan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
teman sejawatnya atau oleh aparat penegak hukum lainnya, yakni budaya
skeptis. Kecenderungan untuk berperilaku tidak acuh tampak jelas. Hal ini
disebabkan karena berkembangnya ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan
yang sudah sangat korup dan rasa segan untuk bertindak heroik secara
individual dalam tekanan suatu komunitas yang justru seringkali bergantung
pada rusaknya sistem peradilan itu sendiri. Akibatnya, para advokat cenderung
untuk berpraktek di luar pengadilan dan/atau membentuk kelompoknya sendiri.
Kendala Yang Dihadapi Advokat Suatu negara hukum (rechtstaat) baru tercipta
apabila terdapat pengakuan terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam
negara hukum, negara dan individu berada dalam kedudukan yang sejajar,
kekuasaan negara dibatasi oleh hak asasi manusia agar tidak melanggar hak-hak
individu. Jaminan terhadap pelaksanaan HAM diperlukan dalam rangka
melindungi serta mencegah penyalah gunaan wewenang (detournement de
pouvoir) dan kekuasaan yang dimiliki oleh negara (abuse of power) terhadap
warga negaranya.
Persamaan dihadapan hukum dan hak untuk dibela advokat atau penasehat
hukum adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka pencapaian
keadilan sosial, juga sebagai salah satu cara mengentaskan masyarakat dari
kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum.
Pelaksanaan bantuan hukum sangatlah diperlukan untuk menjamin dan
mewujudkan persamaan dihadapan hukum bagi setiap orang terutama fakir
miskin. Hal ini juga dimaksudkan guna terciptanya prinsip fair trial dimana
bantuan hukum yang dilaksanakan oleh seorang advokat dalam rangka proses
penyelesaian suatu perkara, baik dari tahap penyidikan maupun pada proses
persidangan, amat penting guna menjamin terlaksananya proses hukum yang
sesuai dengan aturan yang ada, terlebih lagi ketika ia mewakili kliennya dalam
beracara dipersidangan untuk memberikan argumentasi hukum guna membela
kliennya.
Namun dalam pelaksanaan di lapangan bantuan hukum cuma-cuma yang
diberikan oleh advokat tidaklah mudah dilakukan, banyak kendala-kendala yang
dihadapi oleh advokat ketika mereka memberikan bantuan hukum tersebut.Ada
beberapa kendala yang dialami oleh advokat dalam menangani kasus yang
menghambat mereka antara lain bahwa kendala yang sering dihadapi ketika
memberikan bantuan hukum cuma-cuma adalah kendala dana, dimana hal ini
dikarenakan kondisi ekonomi klien yang tidak mampu menyebabkan advokat
yang menangani perkaranya tersebut harus rela tidak mendapat uang
jasa/transport dari klien, bahkan dia harus rela juga mengeluarkan uang
pribadinya untuk membiayai perkara tersebut. Keadaan ini terjadi karena biaya
perkara pidana yang diberikan oleh pemerintah di Pengadilan Negeri rata-rata
hanya sebesar Rp. 300.000,- per kasus sering tidak sampai kepada orang yang
membutuhkan. Kalaupun dana tersebut turun, biasanya hanya setengahnya saja
itupun dengan prosedur pengurusan yang berbelit-belit di Pengadilan Negeri,
sehingga banyak advokat lebih rela mengeluarkan dana pribadinya ketika
menangani perkara prodeo dari pada harus mengurus dana prodeo dari

pemerintah di Pengadilan Negeri yang berbelit-belit.


Tidak hanya itu saja terjadi para advokat, kendala yang dihadapi ketika
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma adalah kurangnya koordinasi
dan dukungan dari aparat penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, hakim
dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma. Hal ini dapat dilihat dari
jarangnya permintaan kepada advokat oleh aparat penegak hukum baik polisi
maupun jaksa untuk memberikan bantuan hukum ketika ada klien yang tidak
mampu secara ekonomi dihadapkan dengan perkara pidana dengan ancaman
pidana 5 (lima) tahun lebih. Penyidik lebih suka tersangka tidak didampingi oleh
advokat dan hal ini biasanya diligitimasi dengan pernyataan klien yang tidak
mau didampingi oleh advokat ketika disidik, kalaupun klien tersebut mau
didampingi oleh advokat, biasanya aparat penegak hukumnya yang
menunjukkan sikap kurang bersahabat dengan advokat yang mendampinginya.
SANKSI-SANKSI
Pasal 16
1. Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:
a. Peringatan biasa.
b. Peringatan keras.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
2. Dengan pertimbangan atas berat atau ringannya sifat pelanggaran Kode Etik
Advokat
dapat dikenakan sanksi:
a. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat.
b. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena
mengulangi
kembali melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan
yang
pernah diberikan.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat
pelanggarannya
berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan kode etik atau
bilamana setelah mendapat sanksi berupa peringatan keras masih mengulangi
melakukan pelanggaran kode etik.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan
pelanggaran
kode etik dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kehormatan
profesi Advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan
terhormat.
3. Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu harus
diikuti larangan
untuk menjalankan profesi advokat diluar maupun dimuka pengadilan.
4. Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu
tertentu
dan atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada
Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam daftar Advokat.
KESIMPULAN
Advokad mempunyai peranan yang beragam dan kompleks dalam sistim hukum
yang berlaku di negara kita. Peranan itu hendaknya di singkronkan dengan etika
dan tanggung jawab profesi dari para advokad yang mengacu pada nilai luhur
yang dilaksanakan demi kemaslahatan umat. Negara kita adalah negara yang
besar dan masih ingin lagi melakukan sejumlah besar perubahan termasuk
dalam penyelenggaraan hukum yang melindungi segenap bangsa sesuai amanat
konstitusi, advokad adalah salah satu elemen yang termasuk didalamnya,

perubahan yang di buat para advokad kita menentukan keberlangsungan


perbaikan sistim hukum dalam teori dan praktiknya/pelaksaannya.
Harapan besar tentunya tidak boleh hanya disandarkan pada advokad dan
pemerintah saja, namun sinergitas para aparat penegak hukum dan akademisi
perlu juga memberikan masukan-masukan yang membangun selama proses
pembenahan hukum di negara kita.
Masyarakat tidak kalah mempunyai peranan yang amat besar pula, perilaku taat
hukum memulai keseriusan pelaksanaan hukum menuju tertib hukum. Harapan
kita ketakutan akan hukum yang disandarkan selama ini berubah menjadi
kesadaran (patuh karena kesadaran bukan keterpaksaan). Semoga dalam masamasa mendatang hukum di negara ini mampu dilaksanakan sebaik penerimaan
masyarakat dan semulia tugas aparat dan pemerintahannya.
Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik yang membebankan
kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada setiap
anggotanya dalam menjalankan profesinya.
Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan
profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik,
memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian
Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan
Keterbukaan.
Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan
instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling
menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya.
Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat
kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah
Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu
lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat
dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada
saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya
terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.
Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi
dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun
membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung
jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau
masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.
http://4iral0tus.blogspot.co.id/2010/02/etika-moral-dan-profesi-advokat.html?m=
MANUSIA, ETIKA, MORAL, AGAMA, DAN HUKUM
MANUSIA, ETIKA, MORAL, AGAMA, DAN HUKUM
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
"Etika Profesi Hukum"

Oleh: ADDINDA ANANDA


Pembimbing:
Dr. Iskandar Mudah, SH.

FAKULTAS HUKUM
JURUSAN HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA SURABAYA
2011
KATA PENGANTAR
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Alhamdulillah segala puji atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan tepat waktu. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan ajaran agama islam
kepada umat manusia.
Makalah ini diajukan dengan dasar memenuhi tuntutan program Sistem Kredit
Semester (SKS). Dan dengan tujuan melatih mahasiswa agar dapat membuat
Karya Ilmiah dengan baik dan benar.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah
berjasa dalam penyusunan makalah ini, diantaranya :
1. Kepada Bapak Dr. Iskandar Ritongan, M.Ag, selaku dosen pembimbing mata
kuliah Etika Profesi Hukum.
2. Kepada Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah yang telah memberikan
beberapa ilmu pengetahuan sehingga dapat menunjang tersusunnya makalah
ini.
3. Kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan makalah ini yang tidak
dapat penulis sebut satu persatu.
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya
dan pembaca pada umumnya. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga Allah SWT membalas
kebaikan mereka yang telah berjasa tersebut diatas dengan balasan yang lebih
banyak. Amin
Surabaya, 01 Oktober 2011
PENULIS
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
WJS.poerwadarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia mengemukakan
bahwa pengertian etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak
( moral ). Dalam istilah lain ethos atau itikos selalu disebut dengan mos sehingga
dari perkataan tersebut lahirlah moralitas atau yang sering diistilahkan dengan
perkataan moral.
Namun demikian apabila di bandingkan dalam pemakaian yang lebih luas
perkataan etika di pandang sebagai lebih luas dari perkataan moral, sebab
terkadang istilah moral sering di pergunakan hanya untuk menerangkan sikap
lahiriyah seseorang yang biasa dinilai dari wujud tingkah laku atau perbuatannya
saja.
Dalam bahasa agama islam istilah etika ini adalah merupakan bagian dari
akhlak. Dikatakan merupakan bagian dari akhlak, karna akhlak bukanlah sekedar

menyangkut prilaku manusia yang bersifat lahiriyah saja, akn tetapi mencakup
hal-hal yang lebih luas.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian manusia?
2. Apa pengertian etika?
3. Apa pengertian moral?
4. Apa pengertian agama?
5. Apa pngertian hukum?
BAB II
Pembahasan
A. Manusia
Manusia itu hakekatnya adalah makhluk sosial, mempunyai keinginan untuk
hidup bermasyarakat dengan manusia-manusia lain. Artinya setiap manusia
mempunyai keinginan untuk berkumpul dan mengadakan hubungan satu sama
lain sesamanya.
Kumpulan atau persatuan manusia-manusia yang saling mengadakan hubungan
satu sama lain dinamakan masyarakat
Orang yang belum dewasa dan orang yang ditaruh dibawah pengampuan dalam
melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, walinya, atau
pengampunya. Sedangkan penyelesaian hutang piutang orang yang dinyatakan
pailit dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan.
Sebagai negara hukum, Negara Indonesia mengakui setiap orang sebagai
manusia terhadap undang-undang artinya bahwa setiap orang diakui sebagai
subjek hukum oleh undang-undang.
B. Etika
Etika (Etimologik), berasala dari kata Yunani Ethos yang berarti watak
kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia yang baru, etika
dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) Ilmu yang baik dan apa yang buruk
dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) 2) kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak. 3) nilai mengenai dasar dan salah yang di anut suatu
golongan atau masyarakat.
Dengan demikian kita sampai pada tiga arti berikut: Pertama, kata etika bisa
dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku. Kedua, etika
berarti juga kumpulan asas atau nilai moral. Ketiga, etika mempunyai arti lagi
ilmu tentang baik dan buruk.
Objek etika (menurut Franz Von Magnis) adalah pernyataan moral. Apabila
diperiksa segala macam moral, pada dasarnya hanya dua macam: pernyataan
tentang tindakan manusia dan pernyataan tentang manusia sendiri atau tentang
unsur-unsur pribadi manusia seperti maksud dan watak.
C. Moral
Moral berasal dari kata latin Mos yang dalam bentuk jamaknya Mores yang
berarti adat atau cara hidup.
Moralitas (dari kata sifat latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama
dengan moral. Hanya ada nada lebih abstrak. Kita berbicara tentang moralitas
suatu perbuatan artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya,.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan
dengan baik dan buruk.
1. Moral dan agama
Tidak bisa disangkal, agama mempunyai hubungan erat dengan moral. Setiap
agama mengandung suatu ajaran moral. Ajaran moral yang terpendam dalam

suatu agama dapat dipelajari secara kritis, metodis, dan sistematis dengan tetap
tinggal dalam konteks agama itu.
Ajaran moral yang terkandung dalam suatu agama meliputi dua macam
peraturan. Di satu pihak ada macam-macam peraturan yang kadang-kadang
agak mendetail tentang makanan yang haram, puasa, ibadat, dan sebagainya.
Peraturan seperti itu sering berbeda dengan agama yang berlain-lainan. Di lain
pihak ada peraturan etis lebih umum yang melampaui kepentingan agama
tertentu saja, seperti: jangan membunuh, jangan berdusta, jangan berzina,
jangan mencuri.
Bila agama berbicara tentang topik-topik etis, pada umumnya ia berkhotbah,
artinya ia berusaha memberikan motivasi serta inspirasi, supaya umatnya
mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang sudah diterimanya berdasarkan
iman.
2. Moral dan hukum.
Sebagaimana terdapat hubungan erat antara moral dan agama, demikian juga
antara moral dan hukum. Kita mulai saja dengan memandang hubungan ini dari
segi hukum. Hukum membutuhkan moral. Dalam kekaisaran Roma sudah
terdapat pepatah Quid leges sine moribus? Apa artinya undang-undang jika
tidak disertai dengan moralitas?Hukum tidak berarti banyak, kalau tidak dijiwai
oleh moralitas. Tanpa moralitas, hukum akan kosong. Kualitas hukum sebagian
besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu hukum selalu diatur dengan
norma moral. Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum. Moral akan
mengawang-awang saja, kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam
masyarakat. Dengan demikian hukum bisa meningkatkan dampak sosial dan
moralitas.
Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit
perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai,
sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada.
D. Agama
Agama [Sanskerta, a = tidak; gama = kacau] artinya tidak kacau; atau adanya
keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu. Religio
[dari religere, Latin] artinya mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan
saksama; jadi agama adalah tindakan manusia untuk mengembalikan ikatan
atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi.
Dari sudut sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan pada suatu sistem sosial
dalam diri orang-orang yang percaya pada suatu kekuatan tertentu [yang supra
natural] dan berfungsi agar dirinya dan masyarakat keselamatan. Agama
merupakan suatu sistem sosial yang dipraktekkan masyarakat; sistem sosial
yang dibuat manusia [pendiri atau pengajar utama agama] untuk berbhakti dan
menyembah Ilahi. Sistem sosial tersebut dipercayai merupakan perintah, hukum,
kata-kata yang langsung datang dari Ilahi agar manusia mentaatinya. Perintah
dan kata-kata tersebut mempunyai kekuatan Ilahi sehingga dapat difungsikan
untuk mencapai atau memperoleh keselamatan [dalam arti seluas-luasnya]
secara pribadi dan masyarakat.
Dari sudut kebudayaan, agama adalah salah satu hasil budaya. Artinya, manusia
membentuk atau menciptakan agama karena kemajuan dan perkembangan
budaya serta peradabannya. Dengan itu, semua bentuk-bentuk penyembahan
kepada Ilahi [misalnya nyanyian, pujian, tarian, mantra, dan lain-lain] merupakan
unsur-unsur kebudayaan. Dengan demikian, jika manusia mengalami kemajuan,
perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan kebudayaan, maka agama pun
mengalami hal yang sama. Sehingga hal-hal yang berhubungan dengan ritus,

nyanyian, cara penyembahan [bahkan ajaran-ajaran] dalam agama-agama perlu


diadaptasi sesuai dengan sikon dan perubahan sosio-kultural masyarakat.
Sedangkan kaum agamawan berpendapat bahwa agama diturunkan TUHAN
Allah kepada manusia. Artinya, agama berasal dari Allah; Ia menurunkan agama
agar manusia menyembah-Nya dengan baik dan benar; ada juga yang
berpendapat bahwa agama adalah tindakan manusia untuk menyembah TUHAN
Allah yang telah mengasihinya. Dan masih banyak lagi pandangan tentang
agama, misalnya,
1. Agama ialah [sikon manusia yang] percaya adanya TUHAN, dewa, Ilahi; dan
manusia yang percaya tersebut, menyembah serta berbhakti kepada-Nya, serta
melaksanakan berbagai macam atau bentuk kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan tersebut
2. Agama adalah cara-cara penyembahan yang dilakukan manusia terhadap
sesuatu Yang Dipercayai berkuasa terhadap hidup dan kehidupan serta alam
semesta; cara-cara tersebut bervariasi sesuai dengan sikon hidup dan kehidupan
masyarakat yang menganutnya atau penganutnya
3. Agama ialah percaya adanya TUHAN Yang Maha Esa dan hukum-hukum-Nya.
Hukum-hukum TUHAN tersebut diwahyukan kepada manusia melalui utusanutusan-Nya; utusan-utusan itu adalah orang-orang yang dipilih secara khusus
oleh TUHAN sebagai pembawa agama.
-->
Agama dan semua peraturan serta hukum-hukum keagamaan diturunkan TUHAN
[kepada manusia] untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat
Jadi, secara umum, agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan
menyembah Ilahi [yang dipercayai dapat memberi keselamatan serta
kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada manusia]; upaya tersebut dilakukan
dengan berbagai ritus [secara pribadi dan bersama] yang ditujukan kepada Ilahi.
Secara khusus, agama adalah tanggapan manusia terhadap penyataan TUHAN
Allah. Dalam keterbatasannya, manusia tidak mampu mengenal TUHAN Allah,
maka Ia menyatakan Diri-Nya dengan berbagai cara agar mereka mengenal dan
menyembah-Nya. Jadi, agama datang dari manusia, bukan TUHAN Allah. Makna
yang khusus inilah yang merupakan pemahaman iman Kristen mengenai Agama.
E. Hukum
Sebagaimana didefinisikan dalam oxford english dictionary, hukum adalah
kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari
kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat tertentu mengaku terikat
sebagai anggota atau sebagai subjeknya.
Hukum ada (baik dibuat ataupun lahir dari masyarakat) pada dasarnya berlaku
untuk ditaati, dengan demikian akan tercipta ketentraman dan ketertiban. Pada
dasarnya hukum bertujuan untuk mencapai kepastian hukum, yaitu untuk
mengayomi masyarakat secara adil dan damai sehingga mendatangkan
kebahagiaan bagi masyarakat.
Istilah istilah dan pengertian dalam ilmu hukum:
1. Subjek hukum
Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan Bahasa Belanda rechtsubject atau
law of subject (Inggris). Secara umum rectsubject diartikan sebagai pendukung
hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum.
Subject hukum memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam
bidang hukum, khususnya hukum keperdataan karena subject hukum tersebut
yang dapat mempunyai wewenang hukum.
2. Objek hukum

Selain subjek hukum, dikenal objek hukum sebagai lawan dari subjek hukum.
Objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum (manusia
atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok (objek) suatu hubungan
hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek hukum.
Objek hukum biasanya disebut juga dengan benda atau segala sesuatu yang
dibendakan. Pengertian benda secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat
dihaki atau menjadi objek hak milik (Pasal 499 BW).
Oleh karena itu yang dimaksud dengan benda menurut undang-undang hanyalah
segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat dimiliki orang. Maka segala
sesuatu yang tidak dapat dimiliki orang bukanlah termasuk pengertian benda
(menurut BW) seperti bulan, matahari, bintang, laut, dan lain-lain.
3. Lembaga hukum
Lembaga hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hukum yang
mengandung beberapa persamaan atau bertujuan mencapai suatu objek yang
sama. Oleh karena itu ada humpinan peraturan-peraturan hukum yang mengatur
mengenai perkawinan lembaga hukum perkawinan himpunan peraturanperaturan yang mengatur tentang perceraian dinamakan lembaga hukum
perceraian, demikian seterusnya. Dengan demikian dalam hukum positif
terdapat banyak sekali lembaga-lembaga hukum itu seperti lembaga hukum jual
beli, tukar menukar, dan sebagainya, yang tidak hanya diatur dalam hukum
perdata barat, melainkan terdapat dalam hukum adat maupun hukum islam.
4. Asas hukum
Untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan diperlukan asas
hukum, karena asas hukum ini memberikan pengarahan terhadap perilaku
manusia di dalam masyarakat. Asas hukum merupakan pokok pikiran yang
bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang kongkrit
( hukum positif ).
Asas-asas hukum yang diperlukan bagi pembentukan peraturan perundangundangan. Dapat dibedakan ke dalam:
a. Asas hukum yang menentukan politik hukum.
b. Asas hukum yang menyangkut proses pembentukan peraturan perundangundangan.
c. Asas hukum yang menyangkut aspek-aspek
formal/struktural/organisatoris/dari tata hukum nasional.
d. Asas hukum yang menentukan ciri dan jiwa tata hukum nasional.
e. Asas hukum yang menyangkut substansi peraturan perundang-undangan.
Beberapa macam asas hukum nasional dijelaskan sebagai berikut: asas manfaat,
asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas demokrasi, asas adil dan merata,
asas perikehidupan dalam keseimbangan, asas kesadaran hukum, asas
kepercayaan pada diri sendiri.
KESIMPULAN
Manusia itu hakekatnya adalah makhluk sosial, mempunyai keinginan untuk
hidup bermasyarakat dengan manusia-manusia lain. Artinya setiap manusia
mempunyai keinginan untuk berkumpul dan mengadakan hubungan satu sama
lain sesamanya.
Etika (Etimologik), berasala dari kata Yunani Ethos yang berarti watak
kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia yang baru, etika
dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) Ilmu yang baik dan apa yang buruk
dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) 2) kumpulMoral berasal dari kata
latin Mos yang dalam bentuk jamaknya Mores yang berarti adat atau cara
hidup.

Moralitas (dari kata sifat latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama
dengan moral. Hanya ada nada lebih abstrak. Kita berbicara tentang moralitas
suatu perbuatan artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya,.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan
dengan baik dan burukan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. 3) nilai
mengenai dasar dan salah yang di anut suatu golongan atau masyarakat
Kumpulan atau persatuan manusia-manusia yang saling mengadakan hubungan
satu sama lain dinamakan masyarakat.
agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah Ilahi [yang
dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan
kehidupan kepada manusia]; upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritus
[secara pribadi dan bersama] yang ditujukan kepada Ilahi.
hukum adalah kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal
maupun dari kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat tertentu
mengaku terikat sebagai anggota atau sebagai subjeknya.
DAFTAR PUSTAKA
Zubair, Charris. 1995. Kuliah Etika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Poedjawiyatna. 2003. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta.
Bertens. Etika. 1994. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Held, Virginia. 1991. Etika Moral. Jakarta: Erlangga.
http://makalah-update.blogspot.co.id/2012/11/manusia-etika-moral-agama-danhukum.html?m=

Perbedaan Pengertian Etika, Etiket , Moral, Hukum dan Agama


Perbedaan
Etika
dan
Etiket
:
Seringkali dua istilah tersebut disamakan artinya, padahal perbedaan antara
keduanya sangat mendasar. Dari asal katanya saja berbeda, yakni Ethics dan
Ethiquetle. Etika berarti moral sedangkan Eiket berarti sopan santun.
Namun meskipun berbeda, ada persamaan antara keduanya, yaitu :

Keduanya menyangkut perilaku manusia

Etika dan eiket mengatur perilkau manusia secara normative, artinya


memberi norma bagi perilku manusia dan dengan demikian menyatakan apa
yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.

Perbedaannya yang penting antara lain yaitu :

Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia.


Diantara beberapa cara yang mungkin, etiket menunjukkan cara yang
tepat, artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu
kalangan tertentu.

Etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan. Etika


menyangkut pilihan yaitu apakah perbuatan boleh dilakukan atau tidak.

Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada saksi mata, maka
maka etiket tidak berlaku.

Etika selalu berlaku meskipun tidak ada saksi mata, tidak tergantung
pada ada dan tidaknya seseorang.

Etiket bersifat relatif artinya yang dianggap tidak sopan dala suatu
kebudayaan, isa saja diangap sopan dalam kebudayaan lain.

Etika jauh lebih bersifat absolut. Prinsip-prinsipnya tidak dapat


ditawar lagi.

Etiket
hanya
memadang
mausiadari
segi
lahiriah
saja.
Etika menyangkutmanusia dari segi dalam. Orang yang bersikap etis
adalah orang yang sungguh-sungguh baik.

Perbedaan
Moral
dan
Hukum
:
Sebenarnya ataa keduanya terdapat hubungan yang cukup erat. Karena anatara
satu dengan yang lain saling mempegaruhi dan saling membutuhkan. Kualitas
hukum ditentukan oleh moralnya. Karena itu hukum harus dinilai/diukur
dengan norma moral. Undang-undang moral tidak dapat diganti apabila dalam
suatu masyarakat kesadaran moralnya mencapai tahap cukup matang. Secaliknya
moral pun membutuhkan hukum, moral akan mengambang saja apabil atidak
dikukuhkan, diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian
hukum
dapat
meningkatkan
dampak
social
moralitas.
Walaupun begitu tetap saja antara Moral dan Hukum harus dibedakan.
Perbedaan tersebut antara lain :

Hukum bersifat obyektif karena hukum dituliskan dan disusun dalam


kitab undang-undang. Maka hkum lebih memiliki kepastian yang lebih
besar.

Norma bersifat subyektif dan akibatnya seringkali diganggu oleh


pertanyaan atau diskusi yang menginginkan kejelasan tentang etis dan
tidaknya.

Hukum hanya membatasi ruang lingkupnya pada tingkah laku lahiriah


manusia saja.

Sedangkan moralitas menyangkut perilaku batin seseorang.

Sanksi hukum bisanya dapat dipakasakan.

Sedangkan sanksi moral satu-satunya adalah pada kenyataan bahwa hati


nuraninya akan merasa tidak tenang.

Sanksi hukum pada dasarnya didasarkan pada kehendak masyarakat.

Sedangkan moralitas tidak akan dapat diubah oleh masyarakat

Perbedaan
Etika
dan
Agama
:
Etika mendukung keberadaan Agama, dimana etika sanggup membantu manusia
dalam
menggunakan
akal
pikiran
untuk
memecahkan
masalah.

Perbedaan antara etika dan ajaran moral agama yakni etika mendasarkan diri
pada argumentasi rasional. Sedangkan Agama menuntut seseorang untuk
mendasarkan diri pada wahtu Tuhan dan ajaran agama.
Etika
dan
Moral
Etika lebih condong kearah ilmu tentang baik atau buruk. Selain itu etika
lebih
sering
dikenal
sebagai
kode
etik.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan atau nilai yang
berkenaan
dengan
baik
buruk.
Dua kaidah dasar moral adalah :

Kaidah Sikap Baik. Pada dasarnya kita mesti bersikap baik terhadap
apa saja. Bagaimana sikap baik itu harus dinyatakann dalam bentuk
yang kongkret, tergantung dari apa yang baik dalam situasi kongkret
itu.

Kaidah Keadilan. Prinsip keadilan adalah kesamaan yang masih tetap


mempertimbangkan kebutuhan orang lain. Kesamaan beban yang terpakai
harus dipikulkan harus sama, yang tentu saja disesuaikan dengan kadar
angoota masing-masing.

http://etika-kita.blogspot.co.id/2008/04/perbedaan-pengertian-etika-etiketmoral.html?m

Anda mungkin juga menyukai