Asma adalah gangguan pada bronkus yang di tandai adanya bronkospasme periodik
yang reversibel (kontraksi berkepanjangan saluran napas bronkus). Asma sering disebut juga
dengan penyakit saluran napas reaktif. Gangguan ini melibatkan beberapa faktor antara lain
biokimia, imunologis, endokrin, infeksi, otonom, dan psikologis. Pada tahun 2005, hampir
2,2 juta warga Amerika didiagnosis asma dan 12,2 juta orang mengalami serangan asma.
Efek finansial untuk penyakit asma hampir mencapai 16,1 milyar dolar untuk perawatan dan
kehilangan produktivitasnya.
Etiologi dan Faktor Risiko
Asma terjadi pada keluarga yang menunjukan bahwa asma merupakan gangguan
yang diturunkan. Tampaknya, faktor lingkungan (misal, infeksi virus, alergen, polutan)
berinteraksi dengan faktor keturunan mengakibatkan penyakit asma. Faktor lain yang
memicu termasuk keadaan pemicu (stres, tertawa, menangis), olahraga, perubahan suhu, dan
bau-bau yang menyengat. Asma termasuk sebagai komponen dari triad penyakit, yaitu asma,
polip nasal, dan alergen aspirin.
Patofisiologi
Asma melibatkan proses peradangan kronik yang menyebabkan edema mukosa,
sekrei mukus, dan peradangan saluran napas. Ketika orang dengan asma terpapar oleh alergen
ekstrinsik dan iritan (misalnya, debu, serbuk sari, asap, tungau, obat-obatan, makanan, infeksi
saluran napas) saluran napasnya akan meradang yang menyebabkan kesulitan bernapas, dada
terasa sesak dan mengi. Manifestasi klinis awal, disebut reaksi fase cepat (early-phase),
berkembang dengan cepat dan bertahan sekitar satu jam.
Ketika seorang klien terpapar sebuah alergen, imunoglobulin E (IgE) akan
diproduksi oleh limfosit B. Antibodi IgE akan melekat pada sel mast dan basofil di dinding
bronkus. Sel mast akan mengosongkan dirinya melepaskan mediator peradangan kimia,
seperti histamin, bradikinin, prostaglandin, dan substansi reaksi lambat (slow-reacting
substance/SRS-A). Zat-zat tersebut menginduksi dilatasi kapiler yang menyebabkan edema
saluran napasdalam usaha untuk menyingirkan alergen. Merekajuga menginduksi kontriksi
saluran napas untuk menutupnya sehingga tidak menghirup alergen lebih banyak lagi.
Sekitar setengah dari seluruh klien asma mengalami reaksi fase lambat (late-phase).
Meskipun manifestasi klinis yang dihasilkan sama dengan pada fase awal, reaksi fase lambat
akan dimulai 4-8 jam setelah paparan dan daya bertahan selama beberapa jam atau hari.
Pada kedua fase, pelepasan media mediatorkimia menghasilkan respons pada saluran
napas. Pada respons fase lambat, mediator menarik sel-sel radang lainnya dan membuat
siklus obstruksi, serta inflamasi, yang terus menerus. Peradangan kronis ini menyebabkan
saluran napas menjadi hiperresponsif. Saluran napas yang hiperresponsif ini menyebabkan
episode berikutnya berespons tidak hanya pada antigen spesifik, tetapi pada rangsangan
seperti kelelahan fisik dan menghirup udara dingin. Frekuensi dan keparahan dari gejala
klinis yang ada dapat meningkat.
Reseptor alfa-adrenergik dan beta-adrenergik dan sistemsaraf simpatis dapat
ditemukan pada bronkus. Rangsangan terhadap reseptor alfa-adrenergik menyebabkan
konstriksi bronkus, sebaliknya rangsangan pada respons beta-adrenergik menyebabkan
dilatasi bronkus.adenosis monofosfat siklik (cAMP) merupakan penyeimbang antara kedua
reseptor trsebut. Beberapa teori menyatakan bahwa asma merupakan hasil dari kurangnya
rangsangan terhadap reseptor beta-adrenergik.
Manifestasi Klinis
Pada serangan asma, klien mengalami kesulitan bernapas danmemerlukan usha
untuk bernapas. Tanda usaha untuk bernapas antara lain cuping hidung, bernapas melalui
mulit, dan penggunaan otot bantu pernapasan. Sianosis merupakan gejala lanjutan.
Pada auskultasi iasanya didapatkan mengi terutama pada ekspirasi. Tidak
terdengarnya mengi pada klien asma dengan distres napas akut merupakan pertanda buruk.
Hal tersebut mengindikasikan saluran napas yang mengecil berkonstriksi terlalu kuat
sehingga tidak ada udara yang dapat melewatinya. Klien tersebut membutuhkan intervensi
medis agresif secepatnya. Gejala tambahan dan yang dapat ditemukan pada spsme bronkus
adalah hasil berkelanjutan dalam upaya untuk mengeluarkan udara dan membersihkan
saluran pernapasan.
Diagnosis asma dibuat berdasarkan manifestasi klinis, hasil spirometri, dan respons
terhadap terapi. Spirometri menunjukkan penurunan aliran udara ekspirasi puncak (peak
expiration flow rate [PEFR]), volume ekspirasi paksa ( forced expiratory volume [FEV]), dan
kapasitas vital paksa (functional vital capacity [FVC]), Kapasitas residu fungsional
(functional residual capacity [FRC]), volume residual (residual volume [RV]) meningkat
Episode serangan asma berat merupakan kegawatdaruratan medis. Tujuan utama dari
intervensi medis saat terjadi serangan berat adalah sebagai berikut.
Menjaga kepatenan jalan napas dengan mengendurkan spasme bronkus dan
membersihkan sekret yang berlebihan maupun tertahan
Menjaga pertukaran udara yang efektif
Mencegah komplikasi, seperti status asmatikus dan gagal napas akut
Manajemen kegawatdaruratan pada klien dimulai dengan inhalasi agen agonis beta2.
Agonis beta 2 akan menstimulasi reseptor beta adrenergik dan mendilatasi saluran napas. Bila
spasme tidak berkurang (mislanya, FEV1 masih < 50% di bawah perkiraan), atropin sulfat
dapat diberikan baik melalui nebulisasi maupun intravena (IV). Atropin merupakan agen
antikolinergik yang bekerja dengan cara menghambat efek sistem parasimpatis. Tonus otot
polos pada bronkus akan meningkat bila nervus vagus terangsang.bila terapi ini tidak
mengurangi manifestasi klinis, klien harus dibawa ke rumah sakit untuk terapi lebih lanjut.
Jika klien mengalami serangan asma akut dan tidak ada obat-obatan
didekatnya, serangan kadang dapat berkurang dengan pernapasan mengerucutkan
bibir (pursed-lip breathing) yang dapat meningkatkan tekanan dalam jalan napas
sehingga tetap terbuka dan udara yang terjebak dapat dikeluarkan dengan lebih
mudah.
Suplementasi oksigen dibutuhkan bila PaO2 turun hingga di bawah 60 mmHg. Awasi
munculnya gejala klinis, seperti meningkatnya kecemasan, meningkatnya usaha untuk
bernapas, dan gejala kelelahan. Intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik mungkin
dibutuhkan. Sedasi hingga obat paralitik kadang dibutuhkan untuk menghambat usaha
respirasi klien sehingga mencegah udara terjebak lebih banyakdan tekanan udara meningkat
di paru. Status asmatikus ditangani dengan penggunaan kortikosteroid IV secara agresif dan
pemberian obat beta-adrenergik hirup untuk mencegah intubasi dan ventilasi mekanik.
Kontrol Inflamasi
Inflamasi mukosa dikontrol melalui penggunaan kortikosteroid hirup. Steroid
mencegah pengosongan sel mast sehingga dapat mengurangi edema dan spasme.
Agen stabilisator sel mast dan pengubahan leukotrien dapat digunakan pada kondisi
khusus. Agen stabilisator sel mast,seperti kromolin (Nasalcrom, Intal) dan nedokromil
(Tilade), menekan pelepasan zat-zat yang menyebabkan bronkokonstriksi pada reaksi
antiden-antibodi. Pengubah leukotrien digunakan baik pada asma akut maupun kronis.
Pelepasan leukotrien pada saluran napas asmatikus akan menyebabkan konstriksi otot polos,
meningkatkan permeabilitas vaskular, edema mukosa jalan napas, pelepasan mukus, dan
menghambat pembersihan mukus. Leukotrien juga menarik eosinofil masuk ke mukosa
saluran napas sehingga akan memicu inflamasi. Obat penghambat reseptor leukotrien akan
membantu kerja leukotrien dan berfungsi sebagai obat tambahan bagi tetapi lainnya saat
eksaserbasi. Pengubah leukotrien merupakan salah satu komponen penting dalam terapi asma
kronis, sebagai kelas terapi lain untuk kontrol asma jangka panjang. Semakin banyak bukti
menunjukkan bahwa pengubah leukotrien sebagai agen yang efektif, ditoleransi dengan baik
dan memiliki risiko rendah terhadap efek samping. Uji klinis menunjukkan efektivitas obat
ini pada klien dengan asma. Terapi ini juga menunjukkan perbaikan pada FEV1, penurunan
kebutuhan terhadap inhaler, dan perbaikan pada gejala asma. Pengubah leukotrien tidak
terdaftar sebagai terapi lini pertama, tetapi memiliki peran potensial dalam terapi asma pada
semua tingkat keparahan. Konsep terapi menggunakan anti-IgE masih terus diteliti seperti
terapi-terapi lain, karena eratnya kaitan asma dengan atopi, dan IgE merupakan peran utama
dalam patogenesis atopi. Meski begitu belum ada rekomendasi formal yang telah dibuat.