Disusun Oleh:
Kelompok 1
Eninta Kartagena Ginting 1306412584
Ignatia N. Wulandari
1306377386
Megawati
1306377000
1306397053
Safrina
1206260116
1306480912
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat tradisional di Indonesia sangat berperan dalam pelayanan kesehatan masyarakat di
Indonesia. Obat tradisional sudah sering dimanfaatkan sejak dulu untuk penyembuhan penyakit.
Berdasarkan undang-undah nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyebutkan bahwa obat
tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, hewan mineral, sediaan
sarian atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk
pengobatan berdasarkan pengalaman.
Kebijakan dan peraturan yang terkait mengenai obat tradisional sudah diatur sejak dulu
oleh pemerintah. Berikut ini beberapa contohnya Permenkes No. 246 tahun 1990, Permenkes No.
1076 tahun 2003, Permenkes No. 381 Tahun 2007, UU No. 36 tahun 2009, Permenkes No. 007
tahun 2012, dll.
Riset mengenai obat tradisional di Indonesia semakin berkembang. Sejak tahun 1978
peneliti telah mendirikan Himpunan Ahli Bahan Alami Indonesia (HIPBOA) yang kemudian
berubah menjadi Perhimpunan Peneliti Bahan Alam (PERHIPBA) Indonesia tahun 1980. Hingga
akhir abad 20, berbagai penelitian dilaksanakan sendiri-sendiri oleh masing-masing institusi
pendidikan atau lembaga penelitian di setiap Departemen Pemerintah. Dalam makalah ini akan
dijelaskan lebih lanjut contoh-contoh dari riset dan kebijakan pemerintah yang terkait obat
tradisional Indonesia.
1.2 Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memberikan informasi mengenai kebijakan
pemerintah terkait obat tradisional Indonesia. Selain itu makalah ini juga memberikan informasi
beberapa contoh riset di bidang obat tradisional di Indonesia.
1.3 Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah metode pustaka
dan studi literatur, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan informasi penting dari berbagai
sumber seperti buku-buku perpustakaan dan jurnal-jurnal dari website ilmiah.
2.1
BAB II
ISI
Kebijakan Pemerintah Terkait Obat Tradisional
penelitian
dibidang
obat
tradisonal
untuk
menunjang
penerapan
pengembangan.
Peningkatan koordinasi dan sinkronisasi penyelenggaraan penelitian termasuk penetapan
tradisional
Pembinaan
penyelenggaraan
penelitian
yang
relevan
dan
diperlukan
dalam
teknologi terkini
Peningkatan pembagian hasil (benefit sharing) atas perolehan HKI terhadap kearifan
lokal.
Perlu adanya regulasi yang mengatur pertukaran sumber daya alam obat tradisional dn
pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan obat tradisional di tingkat nasional dan
i.
ii.
menjadi:
i. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan
ii. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.
Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan
diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
iii.
i.
Pasal 100
Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan
dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan
ii.
i.
Masyarakat
diberi
kesempatan
yang
seluas-luasnya
untuk
mengolah,
Pemerintah.
c. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1076 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan
Pengobatan Tradisional
i. pengobatan tradisional merupakan salah satu upaya pengobatan dan/atau
perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan/atau ilmu keperawatan, yang
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan;
ii. pengobatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya perlu terus dibina, ditingkatkan, dikembangkan dan diawasi untuk
digunakan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal;
mutu
produk
didalam
ruangan
pembuatan
dan
ruang
i. Sk Menkes tentang Bentuk dan Tatacara Pemberian Stiker pada Obat Tradisional Asing
i. Bentuk Stiker
Bentuk stiker pendaftaran harus sesuai dengan tujuan pemasangan stiker
pendaftaran dan ukurannya harus disesuaikan dengan keadaan umum wadah dan
pembungkus obat tradisional. Disamping itu stiker harus mudah dimengerti oleh
masyarakat, dan tidak mudah dipalsukan, sehingga tujuan melindungi masyarakat
dapat terlaksana. Pada stiker pendaftaran sedikitnya harus tercantum nomor
pendaftaran dari Departemen Kesehatan sebagai identitas sudah mendapat izin
edar.
ii. Tatacara memperoleh Stiker Pendaftaran
1. Stiker Pendaftaran dapat diperoleh di Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan dan atau badan yang ditunjuk.
2. Pemohon adalah lndustri Obat Tradisional yang telah memiliki izin dan
produk yang dimintakan stiker pendaftaran harus telah mendapat persetujuan
pendaftaran atas nama industri tersebut.
3. Jumlah dan macam stiker pendaftaran yang dimohon harus sesuai dengan obat
tradisional asing yang tertera pada LC yang disetujui oleh Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan.
j. SK Badan POM tentang Larangan Penggunaan Tanaman Tertentu
i. tanaman Aristolochia sp.
1. Melarang memproduksi dan mengedarkan obat tradisional dan suplemen
makanan yang mengandung tanaman Aristolochia sp. di Indonesia.
2. Mencabut persetujuan pendaftaran obat tradisional dan suplemen makanan
yang mengandung tanaman Aristolochia sp.
3. Menarik dari peredaran semua obat tradisional dan suplemen makanan seperti
yang dimaksud di atas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya surat
keputusan.
k. SK Badan POM 2008 tentang Peraturan Ijin-Impor Obat Tradisional Asing
Pasal 2
i. Yang berhak memasukkan obat tradisional impor ke dalam wilayah Indonesia
adalah importir, distributor, industri obat tradisional dan atau industri farmasi
yang memiliki izin impor sesuai peraturan perundang-undangan, yang diberi
kuasa oleh produsen di negara asal.
ii. Obat tradisional yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk
diedarkan adalah obat tradisional yang telah memiliki izin edar.
iii. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah obat
tradisional yang digunakan untuk uji laboratorium, sampel pendaftaran,
penelitian, pameran dan digunakan untuk kepentingan sendiri dalam jumlah
terbatas sesuai kebutuhan.
iv. Tata cara Pemasukan obat tradisional sebagaimana dimaksud ayat (3) akan diatur
tersendiri.
l. Peraturan Menkes RI No 007 Tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional
i. Izin Edar
1. Pasal 2
(1) Obat tradisional yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin
edar.
(2) Izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepala
Badan.
(3) Pemberian izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
melalui mekanisme registrasi sesuai dengan tatalaksana yang ditetapkan.
Pasal 3
Izin edar berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi
persyaratan.
Pasal 4
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
terhadap: a. obat tradisional yang dibuat oleh usaha jamu racikan dan usaha
jamu gendong; b. simplisia dan sediaan galenik untuk keperluan industri dan
keperluan layanan pengobatan tradisional; c. obat tradisional yang digunakan
untuk penelitian, sampel untuk registrasi dan pameran dalam jumlah terbatas
dan tidak diperjualbelikan. binfar.depkes.go.id
Pasal 5
Obat tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c dapat
dimasukkan ke wilayah Indonesia, melalui Mekanisme Jalur Khusus yang
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 6
(1) Obat tradisional yang dapat diberikan izin edar harus memenuhi kriteria
sebagai berikut: a. menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan
keamanan dan mutu; b. dibuat dengan menerapkan CPOTB; c. memenuhi
persyaratan Farmakope Herbal Indonesia atau persyaratan lain yang diakui; d.
berkhasiat yang dibuktikan secara empiris, turun temurun, dan/atau secara
ilmiah; dan e. penandaan berisi informasi yang objektif, lengkap, dan tidak
menyesatkan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan.
Pasal 7
(1) Obat tradisional dilarang mengandung: a. etil alkohol lebih dari 1%,
kecuali
dalam
bentuk
sediaan
tingtur
yang
pemakaiannya
dengan
pengenceran; b. bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik
berkhasiat obat; c. narkotika atau psikotropika; dan/atau d. bahan lain yang
berdasarkan
pertimbangan
kesehatan
dan/atau
berdasarkan
penelitian
membahayakan kesehatan.
(2) Bahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditetapkan dengan
Peraturan Kepala Badan. binfar.depkes.go.id Pasal 8 Obat tradisional dilarang
dibuat dan/atau diedarkan dalam bentuk sediaan: a. intravaginal; b. tetes mata;
c. parenteral; dan d. supositoria, kecuali digunakan untuk wasir.
ii. Persyaratan Registrasi
1. Bagian Kesatu Registrasi Obat Tradisional Produksi Dalam Negeri
Pasal 9
Registrasi obat tradisional produksi dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh
IOT, UKOT, atau UMOT yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Bagian Kedua Registrasi Obat Tradisional Kontrak
Pasal 10
(1) Registrasi obat tradisional kontrak hanya dapat dilakukan oleh pemberi
kontrak dengan melampirkan dokumen kontrak.
(2) Pemberi kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa IOT,
UKOT, atau UMOT yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pemberi dan penerima kontrak bertanggung jawab atas keamanan,
khasiat/manfaat, dan mutu obat tradisional yang diproduksi berdasarkan
kontrak. binfar.depkes.go.id
(4) Penerima kontrak hanya dapat berupa IOT atau UKOT yang memiliki izin
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan sertifikat CPOTB untuk
sediaan yang dikontrakkan. Bagian Ketiga Registrasi Obat Tradisional Lisensi
Pasal 11
Registrasi obat tradisional lisensi hanya dapat dilakukan oleh IOT atau UKOT
penerima
lisensi
yang
memiliki
izin
sesuai
ketentuan
peraturan
Pasal 13
(1) Registrasi obat tradisional khusus ekspor dilakukan oleh IOT, UKOT, dan
UMOT yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Obat tradisional khusus ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bila ada
persetujuan tertulis dari negara tujuan
iii. Tata Cara Registrasi
1. Bagian Kesatu Umum
Pasal 14
(1) Permohonan registrasi diajukan kepada Kepala Badan.
(2) Ketentuan mengenai tata laksana registrasi ditetapkan dengan Peraturan
Kepala Badan.
(3) Dokumen registrasi merupakan dokumen rahasia yang dipergunakan
terbatas
hanya
untuk
keperluan
evaluasi
oleh
yang
berwenang.
binfar.depkes.go.id
Pasal 15
(1) Terhadap permohonan registrasi dikenai biaya sebagai penerimaan negara
bukan pajak sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Dalam hal permohonan registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditolak, maka biaya yang telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali.
2.2
2.2.1
2.2.1.1 Abstrak
Ekstrak etanol dari daun dan kulit batang kayutuah dievaluasi untuk melihat aktivitas
antidiabetik dengan senyawa alfa-glukosidase inhibitor. Ekstrak etanol difraksinasi dengan nheksan. etil asetat, dan methanol. Hasil yang ditunjukkan adalah fraksi etil asetat dari kulit
batang kayutuah memiliki aktivitas alfa-glukosidase inhibitor tertinggi dengan IC50 8.06
mikrogam/mL. Fraksi etil asetat diambil dengan kromatografi kolom dan menggunakan
berbagai macam campuran pelarut organic. Dari hasil fraksinasi, diperoleh 10 sub-fraksi, di
mana pada campuran pelarut n-heksan:etil asetat (20:80) memiliki aktivitas tertinggi sebagai
anti diabetic. Selain itu, hasil fraksinasi juga mengandung tannin, saponin, terpen, dan glikosida
(Elya, 2013).
2.2.1.2
Pendahuluan
Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolism pada lemak, karbohidrat, dan
protein yang mengakibatkan kekurangan sekresi insulin, insensitivitas pada insulin, ataupun
keduanya. Untuk DM tipe 1, pengobatan dapat diberikan dengan memberikan injeksi insulin.
Sedangkan pada DM tipe 2, pengobatan umumnya diberikan insulin secara oral (Elya, 2013).
Alfa-glukosidase inhibitor merupakan agen terapi untuk mengobati gangguan
metabolism pada karbohidrat. Acarbose merupakan satu dari jenis alfa-glukosidase inhibitor,
tetapi, sinstesis alfa-glukosidase inhibitor memiliki efek samping seperti gangguan saluran cerna.
Untuk itu, diperlukan pengembangan obat dari bahan alam karena memiliki efek samping yang
relative lebih kecil jika dibandingkan dengan obat konvensional.
Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa tumbuhan dari family Euphorbiaceae
memiliki aktivitas alfa-glukosidase inhibitor, salah satunya adalah kayutuah. Berdasarkan
penelitian sebelumnya, nilai IC50 darri 80% etanol ekstrak kayutuah adalah 2.34 dan pada kulit
batang adalah 3.92 mikrogram/mL, namun masih belum diketahui fraksi mana yang memiliki
aktivitas alfa-glukosidase inhibitor yang tertinggi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui fraksi mana yang memiliki aktivitas tertinggi serta kandungan yang terdapat pada
daun dan kulit batang kayutuah (Elya, 2013).
2.2.1.3
Material test
Daun dan kulit batang dari kayutuah diambil pada bulan Januari tahun 2013 dan
diidentifikasi di Pusat Konservasi Tumbuhan dari Kebun Raya Bogor. Kemudian, specimen
disimpan di Laboratorium Farmakognosi Fakultas farmasi Universitas Indonesia. (Elya, 2013)
Chemical
n-heksan,
etil
asetat,
methanol,
alfa-glukosidase
enzim,
p-nitrofenil-alfa-D-
D-glucopiranoside dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37. Kemudian, ditambahkan 17 mL
-Glukosidase enzim (0.15 unit/mL), lalu diinkubasi kembali selama 15 menit pada suhu 37.
Setelah proses inkubasi selesai, ditambahkan 267 mM natrium karbonat untuk
menghentikan reaksi. Absorbansi larutan diukur dengan microplate reader pada lambda 405 nm.
Nilai IC50 menunjukkan bahwa ekstrak dapat menginhibisi 50% dari aktivitas -Glukosidase
Identifikasi fitokimia dilakukan pada fraksi yang memiliki aktivitas inhibisi Glukosidase tertinggi (Elya, 2013)
2.2.1.4
Hasil
(Elya, 2013)
(Elya, 2013)
Senyawa Kimia yang Ditemukan dalam Fraksi Etil Asetat
Dari hasil percobaan, senyawa kimia yang ditemukan dalam fraksi etil asetat adalah
sebagai berikut : (Elya, 2013)
2.2.1.5 Kesimpulan
Fraksi etil asetat dari kulit batang kayu tuah memiliki aktivitas -Glukosidase inhibitor
2.2.2
antidiabetes.
Selain itu, hasil fraksinasi juga mengandung tannin, saponin, terpen, dan glikosida.
Oleh karena itu, sub-fraksi 2.E dapat digunakan sebagai senyawa baru untuk treatment
antidiabetes.
Pencegahan Resistensi Insulin dengan Ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn.
dengan Pemberian Makanan High-Fructose pada Tikus
tidak bisa masuk ke sel target, hal ini mengakibatkan peningkatan glukosa darah. Untuk
mengimbangi ini, sel-sel beta pankreas akan meningkatkan sekresi insulin untuk menjaga
euglikemia, mengakibatkan hiperinsulinemia.. (Andraini, 2014)
Patofisiologi yang tepat dari resistensi insulin masih belum diketahui. Studi terbaru
menunjukkan bahwa obesitas, dislipidemia, dan stres oksidatif bermain peran penting dalam
menyebabkan resistensi insulin. Pendekatan untuk mencegah resistensi insulin dengan
menggunakan bahan-bahan alami yang mengandung antioksidan kuat dan efek anti-dislipidemia
adalah alternatif yang aman karena hal itu dapat menurunkan efek samping yang tidak
diinginkan. (Andraini, 2014)
Di Indonesia, salah satu herbal yang memiliki efek yang diinginkan adalah rosella atau
Hibiscus sabdariffa Linn., Juga dikenal sebagai "teh merah". Tanaman ini sering digunakan
sebagai obat tradisional dan diklaim memiliki beberapa efek positif, seperti anti-hipertensi, efek
hepatoprotektif, anti-hiperlipidemia, anti-kanker, dan antioxidant. Hibiscus sabdariffa Linn.
mengandung flavonoid, anthocyanin, alkaloid, -sitosterol, dan sitrat acid. Anthocyanin memiliki
efek antioksidan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan antioksidan lainnya, seperti vitamin
E, asam askorbat, dan -karoten. (Andraini, 2014)
Bunbupha bersama rekannya berhasil meneliti terkait tingkat gula darah puasa setelah
pengonsumsian Hibiscus sabdariffa Linn. Hasil penelitiannya melaporkan bahwa Hibiscus
sabdariffa Linn. memiliki efek menurunkan tingkat gula darah puasa pada tikus dengan resistensi
insulin. Namun, belum jelas apakah Hibiscus sabdariffa Linn. bisa mencegah resistensi insulin.
Dalam studi ini, kami ingin tahu potensi Hibiscus sabdariffa Linn. dalam mencegah resistensi
insulin dalam pada makanan tinggi fruktosa yang akan diberikan pada tikus. Ini adalah sebuah
laboratorium hewan model yang baik untuk mempelajari resistensi insulin dan faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan sindrom metabolik karena diet tinggi fruktosa berkontribusi dalam
pengembangan sindrom metabolic. (Andraini, 2014)
2.2.2.2 Metode
Hewan dan Protokol Penelitian Eksperimental
Ini merupakan studi eksperimental in vivo menggunakan Sprague Dawley-tikus jantan
berusia 10-12 minggu dengan berat badan berkisar 150-180 gram (dibeli dari Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor). ukuran sampel total adalah 25 tikus, dihitung berdasarkan
rumus Federer. Tikus diperlakukan sesuai dengan konvensi Helsinki. persetujuan etis diperoleh
dari Komite Etik Penelitian Kedokteran - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI / RSCM). (Andraini, 2014)
Tikus ditempatkan dalam kandang individu di sebuah ruangan dengan ventilasi yang
tepat, suhu kamar antara 18-26C dan kelembaban 30-70%. Pencahayaan ruangan itu diatur
terang dan gelap selama 12 jam. kandang tikus yang dibersihkan setiap hari dan kesehatan tikus
adalah terpelihara dengan baik. Setelah satu minggu aklimatisasi, tikus dibagi secara acak
menjadi 5 kelompok: kelompok 1, kelompok kontrol, diberi makan dengan diet standar (serat
5%, 21-23% protein, 5% lemak) dan diberikan air keran untuk minum; kelompok 2, tikus diberi
diet tinggi fruktosa (standar makanan dan 10% fruktosa solusi ad libitum); Kelompok 3, 4, dan 5,
tikus yang diberi makan diet tinggi fruktosa (standar makanan dan 10% larutan fruktosa ad
libitum) dan diberi ekstrak etanol berair dari Hibiscus sabdariffa Linn. dengan dosis 100, 200,
400 mg / kgBB / d oral {kelopak ekstrak etanol Hibiscus sabdariffa Linn. diperoleh dari
Laboratorium Balai Penelitian Rempah dan Obat tanaman (Balitro) Bogor}. Durasi pengobatan
adalah lima minggu untuk semua kelompok. (Andraini, 2014)
Pengukuran Glukosa Darah Puasa, Insulin Darah dan HOMA (IR)
Pada hari terakhir dari pengobatan, tikus dipuasakan selama satu malam (sekitar 12 jam).
Kemudian sampel darah yang diambil dari vena ekor tikus untuk pengukuran glukosa darah dan
dari jantung untuk pengukuran insulin. Pemeriksaan glukosa darah dilakukan dengan
menggunakan glucometer portabel (Accu-Periksa Keuntungan Kinerja, Roche Diagnostics,
Jerman), sedangkan pemeriksaan kadar insulin dilakukan dengan menggunakan ELISA kit
standar (Rat insulin ELISA, Mercodia, Swedia). Tes insulin dilakukan di laboratorium
immunoendocrinology, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Perhitungan indikator
resistensi insulin (HOMA-IR / homeostasis nilai model penilaian resistensi insulin) dilakukan
dengan menggunakan rumus:
HOMA-IR = glukosa puasa (mmol / L) x insulin puasa (IU / L) / 22,5
(Konversi insulin unit: 1 IU / mL = 6945 pmol / L).
Analisis Statistik
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS 12 (Statistik Ilmu Sosial 12).
Analisis statistic dilakukan dengan menggunakan satu arah ANOVA. Kemudian, analisis post-hoc
dilakukan. Data yang sebelumnya dianalisis normalitas dengan Shapiro-uji Wilk. (Andraini, 2014)
2.2.2.3 Hasil
Tingkat glukosa darah puasa
Tingkat glukosa darah puasa pada kelompok tikus yang diberikan diet tinggi fruktosa
secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (6,11 0,73 mmol/L vs
5,01 0,28 mmol/L, p = 0,002). Tingkat glukosa darah puasa pada tikus yang diberikan diet
tinggi fruktosa bersama dengan pemberian ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn. dengan dosis 400
mg/kgBB secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang diberikan hanya
diet tinggi fruktosa saja (4,84 0,51 mmol/L vs 6.11 0,73 mmol/L, p = 0,001). Tingkat glukosa
darah puasa pada tikus yang diberikan diet tinggi fruktosa dan ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn.
pada dosis 100 dan 200 mg/kgBB tidak berbeda secara signifikan dari kelompok yang hanya
diberikan diet tinggi fruktosa saja (masing-masing p = 0,488 dan 0,057) (Gambar 1). (Andraini,
2014)
0,01 0,01, p <0,0001). HOMA-IR pada kelompok tikus yang diberikan diet tinggi fruktosa dan
ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn. pada dosis 200 dan 400 mg/kgBB secara signifikan lebih
rendah dibandingan dengan kelompok yang hanya diberikan diet tinggi fruktosa saja (0,04 0,03
dan 0,02 0,01 vs 0,08 0,03, masing-masing p= 0,021 dan 0,001). HOMA-IR pada tikus yang
diberikan diet tinggi fruktosa dan ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn. pada dosis 100 mg/kgBB
tidak berbeda secara signifikan dari kelompok tikus yang hanya diberikan diet tinggi fruktosa saja
(p= 0,101) (Gambar 3). (Andraini, 2014)
2.2.2.4 Pembahasan
Tingkat glukosa darah puasa, tingkat insulin darah puasa, dan HOMA-IR pada tikus
yang diberikan diet tinggi fruktosa yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol menunjukkan bahwa pemberian 10% diet tinggi fruktosa selama 5 minggu
telah menyebabkan perkembangan resistensi insulin. Hasilnya konsisten dengan penelitian lain
yang menggunakan model diet tinggi fruktosa, dimana induksi resistensi insulin menggunakan
fruktosa dapat dicapai dalam waktu 4 sampai 14 minggu. (Andraini, 2014)
Tikus yang diberikan diet tinggi fruktosa bersama dengan ekstrak Hibiscus sabdariffa
Linn. dengan dosis 400 mg/kgBB memiliki tingkat glukosa darah puasa, tingkat insulin darah
puasa, dan HOMA-IR yang rendah dibandingkan dengan kelompok tikus yang hanya diberikan
diet tinggi fruktosa saja. Hasil ini jelas menunjukkan bahwa Hibiscus sabdariffa Linn. mampu
mencegah terjadinya resistensi insulin. Walaupun administrasi ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn.
pada dosis 100 dan 200 mg/kgBB tidak memberikan hasil yang signifikan dibandingkan dengan
kelompok yang hanya diberikan diet tinggi fruktosa saja, ada kecenderungan penurunan dalam
tingkat glukosa darah puasa, tingkat insulin darah puasa, dan HOMA-IR. Hasil ini menunjukkan
bahwa Hibiscus sabdariffa Linn. mencegah resistensi insulin dengan bekerja tergantung pada
dosis. (Andraini, 2014)
Zat aktif pada Hibiscus sabdariffa Linn. yang memiliki efek pencegahan resistensi insulin
sebagai mekanisme kerjanya belum sepenuhnya diketahui. Namun, kemungkinan bahwa efek ini
dimediasi melalui antioksidan dan efek hipolipidemia tidak dapat dikesampingkan. Bahan aktif
yang paling mungkin dan telah diidentifikasi adalah antosianin. Kemungkinan ini diambil dari
analogi studi yang dilakukan oleh Guo, et al, yang menunjukkan bahwa antosianin dalam Oryza
sativa L dapat mencegah peningkatan produksi asam lemak dan radikal bebas pada tikus yang
diberikan diet tinggi fruktosa. Penelitian sebelumnya pada manusia menunjukkan bahwa ekstrak
Hibiscus sabdariffa menjanjikan untuk pengobatan hiperlipidemia. Dalam uji coba klinis secara
acak, konsumsi harian teh atau ekstrak yang dihasilkan dari Hibiscus sabdariffa calyxes memiliki
efek yang menguntungkan pada profil lemak/lipid termasuk mengurangi kolesterol total, LDL-C,
trigliserida, serta peningkatan HDL-C. Mekanisme molekuler yang tepat dari Hibiscus
sabdariffa Linn. dalam mencegah terjadinya resistensi insulin dan manfaatnya pada manusia
masih perlu diteliti lebih lanjut. (Andraini, 2014)
2.2.2.5 Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn. dapat
mencegah resistensi insulin terkait dengan diet tinggi fruktosa, yang efeknya tergantung pada
dosis. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan mekanisme molekuler dan dosis optimum
dari Hibiscus sabdariffa Linn. untuk digunakan pada manusia untuk pencegahan resistensi
insulin. (Andraini, 2014)
BAB III
3.1
Kesimpulan
1. Kebijakan pemerintah terkait obat tradisional terdapat pada UU No.36 tahun 2009
tentang Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1076 Tahun 2003 tentang
Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, Permenkes RI 246 tahun 1990 tentang Izin
Usaha Obat Tradisional, SK BPOM tentang Penandaan Obat Bahan Alam, Peraturan
Menkes RI No 007 Tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional
2. Contoh riset herbal Indonesia yaitu Aktivitas -Glukosidase Inhibitor dari Kayu Tuah
dan Pencegahan Resistensi Insulin dengan Ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn.
dengan Pemberian Makanan High-Fructose pada Tikus
3.2
Saran
Obat tradisional merupakan warisan budaya sehingga perlu dilakukan penelitian dan
pengembangan
DAFTAR PUSTAKA
Andraini, T. & Yolanda, S. (2014). Prevention of insulin resistance with Hibiscus sabdariffa
Linn. extract in high-fructose fed rat. Med J Indones, 23(4): 192-196.
Elya, B., Katrin, B. & Utami, N.F. (2013). Aktivitas -Glukosidase Inhibitor dari Kayu Tuah.
International Research Journal of Pharmacy. 4(11), pp.3032.
http://aero.pom.go.id/bantuan/Per_KBPOM.pdf
http://binfar.depkes.go.id/dat/lama/1206328790_Buku%20Kebijakan%20Obat%20Tradisional
%20Nasional%20Tahun%202007.pdf
http://sireka.pom.go.id/requirement/PMK-7-2012-Registrasi-Obat-Tradisional.pdf
http://sireka.pom.go.id/requirement/UU-36-2009-Kesehatan.pdf
http://binfar.depkes.go.id/dat/lama/1206328790_Buku%20Kebijakan%20Obat%20Tradisional
%20Nasional%20Tahun%202007.pdf
http://jdih.pom.go.id/produk/Keputusan%20Menteri/10_1990_246-Menkes-Per-V-1990_ot.pdf
Pekembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka. (2007). Majalah Kedokteran
Indonesia, 57(7).
LAMPIRAN
Pertanyaan
1. Bagaimana perkembangan riset herbal di Indonesia secara umum? (Bu Berna)
1978 pakar jamu mendirikan Himpunan Ahli Bahan Alami Indonesia (HIPBOA).
Pendirinya umumnya apoteker, dan hanya beberapa dokter.
1980 HIPBOA berubah menjadi Perhinpunan Peneliti Bahan Alam (PERHIPBA)
Akhir abad 20 penelitian bahan alam Indonesia dilaksanakan sendiri-sendiri oleh masing
masing institusi pendidikan atau lembaga penelitian di setiap departemen pemerintah.
Kurangnya perhatian pemerintah dalam perlindungan hak kekayaan intelektual dan hak paten
kepada para peneliti Indonesia menyebabkan banyak tanaman asli Indonesia dipantenkan
diluar negeri, misalnya xanthorrizol dari Curcuma xanthorriza
Tahun 2002 badan POM melakukan pemetaan penelitian obat herbal yang telah dilakukan
perguruan tinggi, lembaga penelitian, industri, dan pemerintah, mulai dari budidaya hingga
uji klinik.
Tahun 2008 Hari kebangkitan jamu di Indonesia diresmikan oleh bapak Susilo Bambang
Yudoyono.
2. Apa syarat dan data yang harus diberikan ke BPOM untuk registrasi obat ? (Meidha)
Obat tradisional yang dapat diberikan izin edar harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu; b. dibuat dengan
menerapkan CPOTB; c. memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia atau
persyaratan lain yang diakui; d. berkhasiat yang dibuktikan secara empiris, turun temurun,
dan/atau secara ilmiah; dan e. penandaan berisi informasi yang objektif, lengkap, dan tidak
menyesatkan.
Berkas Registrasi (Keputusan Kepala BPOM tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi
Obat)
Pasal 19
(1) Berkas registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) terdiri atas formulir
registrasi dengan dokumen administratif dan dokumen penunjang.
(2) Dokumen administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dokumen yang
harus dilengkapi untuk registrasi obat sesuai Lampiran 4.
Pasal 20
Dokumen penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) terdiri atas :
a. Dokumen mutu dan teknologi untuk menjamin mutu obat sesuai Lampiran 9;
b.
Dokumen
uji
preklinik
yang
dapat
menggambarkan
profil
farmakodinamik,
farmakokinetik maupun toksisitas yang aman, sebelum diuji coba pada manusia, dengan
rincian sesuai Lampiran 10 dan matriks laporan uji preklinik sesuai Lampiran 11;
c. Dokumen uji klinik harus dapat membuktikan efikasi dan keamanan obat jadi secara
meyakinkan dengan rincian sesuai Lampiran 12 dan matriks laporan uji klinik sesuai
Lampiran 13.
Pasal 21
(1) Formulir registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) harus dilengkapi
dengan : a. Rancangan kemasan yang meliputi etiket, dus/bungkus luar, strip/blister, catch
cover, ampul/vial, dan kemasan lain sesuai ketentuan tentang pembungkusan dan penandaan
yang berlaku, yang merupakan rancangan kemasan obat yang akan diedarkan dan dapat
dilengkapi dengan rancangan warna; b. Brosur yang merupakan informasi mengenai obat.
(2) Rancangan kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a khusus untuk obat
generik, sesuai dengan ketentuan mengenai spesifikasi baku obat generik.
(3) Informasi minimal yang harus dicantumkan pada rancangan kemasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) sesuai Lampiran 14.
(4) Informasi minimal yang harus dicantumkan dalam brosur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b adalah sesuai Lampiran 15.
Pasal 22
(1) Untuk registrasi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), berkas yang
diserahkan terdiri atas disket yang telah diisi sesuai data pada Formulir A serta berkas
Formulir A, Formulir B1, Formulir B2, Formulir B3, Formulir B4, Formulir C1, Formulir
C2, Formulir C3, Formulir D, dan dokumen penunjang registrasi baru untuk masingmasing
kategori sesuai Lampiran 16.
(2) Berkas registrasi obat copy dengan zat aktif yang telah ada Standar Informasi Elektronik
(STINEL), terdiri atas disket yang telah diisi sesuai data pada Formulir A dan Formulir B2113, serta berkas Formulir A, Formulir B1, Formulir B214, Formulir B3, Formulir B4,
Formulir C1 dan Formulir D.
(3) Berkas registrasi obat copy dengan zat aktif yang belum ada STINEL terdiri atas disket
yang telah diisi sesuai data pada Formulir A serta berkas Formulir A, Formulir B1, Formulir
B2, Formulir B3, Formulir C1 dan Formulir D. Pasal 23 Untuk registrasi variasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), berkas yang diserahkan terdiri atas disket yang telah diisi
sesuai data pada Formulir A serta berkas formulir dan dokumen penunjang registrasi variasi
untuk masingmasing kategori sesuai Lampiran 17.
3. Perbedaan cara pengobatan ketrampilan dan ramuan ? (Muthia)
Pengobatan tradisional ketrampilan adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan/atau
perawatan tradisional berdasarkan ketrampilan fisik dengan menggunakan anggota gerak
dan/atau alat bantu lain. Sedangkan pengobatan tradisional ramuan adalah seseorang yang
melakukan pengobatan dan/atau perawatan tradisional dengan menggunakan obat / ramuan
tradisional yang berasal dari tanaman ( flora ), fauna, bahan mineral, air, dan bahan alam lain
4. Kenapa tanaman Aristolochia dilarang ? (Fani)
bahwa telah dilaporkan terjadinya efek samping gagal ginjal stadium lanjut akibat
penggunaan obat tradisional yang mengandung tumbuhan Aristolochia sp. karena
mengandung Asam Aristolokat (Aristolochic Acid) yang berpotensi karsinogenik. Semua
produk yang mengandung Aristolochia sp. telah dilarang untuk diedarkan antara lain :
Inggris, Amerika Serikat, Jerman dan Malaysia;
5. Bagaimana cara penggunaan dari ekstrak bahan alam yang ada di jurnal yang kalian bahas?
(Sindu)
Berdasarkan kedua jurnal yang kami bahas, ekstrak bahan alam yang ada di jurnal tersebut
masih berada dalam tahap preklinis, dimana ekstrak tersebut baru diuji kepada hewan. Maka
dari itu belum ada dosis/cara penggunaan yang pasti untuk digunakan oleh manusia.
6. Jamu syaratnya adalah bukti empiris, lalu bagaimana untuk masalah perijinannya? (Hafidz)
Untuk masalah perijinan jamu untuk dapat diedarkan, diatur dalam Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.41.1384 tentang
Kriteria dan Tatalaksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan
Fitofarmaka. Dalam Peraturan Kepala BPOM tersebut dijabarkan secara lengkap semua
mekanisme perijinan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka, mulai dari
kriterianya, pendaftar, tanggung jawab pendaftar, kategori pendaftaran, tata laksana
memperoleh izin edar, pelaksanaan izin edar, penilaian kembali, pembatalan, larangan, dan
sanksi.
Salah satu pasal yang terdapat dalam Peraturan Kepala BPOM:
Pasal 4
Untuk dapat memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 obat tradisional, obat
herbal terstandar dan fitofarmaka harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi persyaratan mutu,
keamanan dan kemanfaatan / khasiat;
b. dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang
Baik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik yang berlaku;
c. penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan
obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka secara tepat, rasional dan aman sesuai
dengan hasil evaluasi dalam rangka pendaftaran.