Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH FITOTERAPI

RISET DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG HERBAL MEDICINE DI


INDONESIA

Disusun Oleh:
Kelompok 1
Eninta Kartagena Ginting 1306412584
Ignatia N. Wulandari

1306377386

Megawati

1306377000

Nisrina Dhia Fauziah

1306397053

Safrina

1206260116

Siti Rizky Isnaini

1306480912

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat tradisional di Indonesia sangat berperan dalam pelayanan kesehatan masyarakat di
Indonesia. Obat tradisional sudah sering dimanfaatkan sejak dulu untuk penyembuhan penyakit.
Berdasarkan undang-undah nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyebutkan bahwa obat
tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, hewan mineral, sediaan
sarian atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk
pengobatan berdasarkan pengalaman.
Kebijakan dan peraturan yang terkait mengenai obat tradisional sudah diatur sejak dulu
oleh pemerintah. Berikut ini beberapa contohnya Permenkes No. 246 tahun 1990, Permenkes No.
1076 tahun 2003, Permenkes No. 381 Tahun 2007, UU No. 36 tahun 2009, Permenkes No. 007
tahun 2012, dll.
Riset mengenai obat tradisional di Indonesia semakin berkembang. Sejak tahun 1978
peneliti telah mendirikan Himpunan Ahli Bahan Alami Indonesia (HIPBOA) yang kemudian
berubah menjadi Perhimpunan Peneliti Bahan Alam (PERHIPBA) Indonesia tahun 1980. Hingga
akhir abad 20, berbagai penelitian dilaksanakan sendiri-sendiri oleh masing-masing institusi
pendidikan atau lembaga penelitian di setiap Departemen Pemerintah. Dalam makalah ini akan
dijelaskan lebih lanjut contoh-contoh dari riset dan kebijakan pemerintah yang terkait obat
tradisional Indonesia.
1.2 Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memberikan informasi mengenai kebijakan
pemerintah terkait obat tradisional Indonesia. Selain itu makalah ini juga memberikan informasi
beberapa contoh riset di bidang obat tradisional di Indonesia.
1.3 Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah metode pustaka
dan studi literatur, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan informasi penting dari berbagai
sumber seperti buku-buku perpustakaan dan jurnal-jurnal dari website ilmiah.

2.1

BAB II
ISI
Kebijakan Pemerintah Terkait Obat Tradisional

a. Permenkes No.381 Tahun 2007 Tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional


Bab V poin g mengenai Penelitian dan Pengembangan
Sasaran :
Peningkatan

penelitian

dibidang

obat

tradisonal

untuk

menunjang

penerapan

KOTRANAS (Kebijakan Obat Tradisional Nasional)


Langkah Kebijakan :
Untuk mencapai sasaran tersebut perlu ditempuh langkah kebijakan sebagai berikut :
Pelaksanaan identifikasi penelitian yang relevan dan penyusunan prioritas dengan
mekanisme kerja yang erat antara penyelenggara upaya-upaya pengembangan di bidang
obat tradisional dan pelayanan kesehatan formal dengan penyelenggara penelitian dan

pengembangan.
Peningkatan koordinasi dan sinkronisasi penyelenggaraan penelitian termasuk penetapan

prioritas penelitian antar berbagai lembaga penelitian


Peningkatan kerjasama internasional di bidang penelitian dan pengembangan obat

tradisional
Pembinaan

penyelenggaraan

penelitian

yang

relevan

dan

diperlukan

dalam

pengembangan obat tradisional mulai dari teknologi konvensional sampai dengan

teknologi terkini
Peningkatan pembagian hasil (benefit sharing) atas perolehan HKI terhadap kearifan

lokal.
Perlu adanya regulasi yang mengatur pertukaran sumber daya alam obat tradisional dn
pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan obat tradisional di tingkat nasional dan

internasional. (Permenkes 381, 2007)


b. UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan
i. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika
ii. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
iii. Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan
cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun
secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat
Pasal 59

i.

Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi

ii.

menjadi:
i. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan
ii. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.
Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan
diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan

iii.

keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan kesehatan
tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah

i.

Pasal 100
Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan
dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan

ii.

tetap dijaga kelestariannya.


Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat
tradisional
Pasal 101

i.

Masyarakat

diberi

kesempatan

yang

seluas-luasnya

untuk

mengolah,

memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan


ii.

obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.


Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan,
meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan

Pemerintah.
c. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1076 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan
Pengobatan Tradisional
i. pengobatan tradisional merupakan salah satu upaya pengobatan dan/atau
perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan/atau ilmu keperawatan, yang
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan;
ii. pengobatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya perlu terus dibina, ditingkatkan, dikembangkan dan diawasi untuk
digunakan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal;

d. Permenkes RI 246 tahun 1990 tentang Izin Usaha Obat Tradisional


Pasal 2

i. Untuk mendirikan Usaha lndustri Obat Tradisional diperlukan izin Menteri;


ii. Untuk mendirikan Usaha Jamu Racikan dan Usaha Jamu Gendong tidak
diperlukan izin.
Pasal 3
i. Obat Tradisional yang diproduksi, diedarkan di wilayah Indonesia maupun
diekspor terlebih dahulu harus didaftarkan sebagai persetujuan Menteri;
ii. Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah obat tradisional hasil produksi : a.
lndustri Kecil Obat Tradisional dalam bentuk rajangan, pilis, tapel dan parem; b.
Usaha Jamu Racikan; c. Usaha Jamu Gendong
iii. Obat Tradisional hasil produksi lndustri Kecil Obat Tradisional di luar yang
dimaksud dalam ayat (2) huruf a dikenakan ketentuan ayat (1).
e. Kebijakan Obat Tradisional
i. Budidaya dan Konservasi Sumber Daya Obat Tradisional
ii. Keamanan dan Khasiat Obat Tradisional
iii. Mutu Obat Tradisional
iv. Aksesibilitas
v. Penggunaan Yang Tepat
vi. Pengawasan
vii. Penelitian dan Pengembangan
viii. Industrialisasi Obat Tradisional
ix. Dokumentasi dan Database
x. Pengembangan Sumber Daya Manusia
xi. Pemantauan dan Evaluasi
f. SK BPOM tentang Penandaan Obat Bahan Alam
i. Jamu harus memenuhi kriteria : a. Aman sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan; b. Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris; c. Memenuhi
persyaratan mutu yang berlaku.
ii. Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria : a. Aman sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan; b. Klaim kasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik;
c. Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
produk jadi;
iii. Fitofarmaka harus memenuhi kriteria : a. Aman sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan; b. Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik; c. Telah
dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi; d.
Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

g. Persyaratan Obat Tradisional


i. Untuk serbuk (berupa butiran homogen dengan derajat halus yang cocok; bahan
bakunya berupa simplisia/bahan kering):
1. Kadar air tidak lebih dari 10%.
2. Angka kapang (semacam jamur yang biasanya tumbuh pada permukaan
makanan yang sudah basi atau terlalu lama tidak di olah), dan khamir (ragi)
3.
4.
5.
6.

tidak lebih dari 10.


Mikroba patogennya negatif/nol.
Aflatoksin tidak lebih dari 30 bpj (bagian per juta).
Serbuk dengan bahan baku simplisia dilarang ditambahkan bahan pengawet.
Wadah tertutup baik, disimpan pada suhu kamar, ditempat kering dan

terlindung dari sinar matahari.


ii. Untuk kapsul (obat tradisional yang terbungkus cangkang keras atau lunak):
1. Waktu lunak tidak lebih dari 15 menit.
2. Isi kapsul harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
3. Kadar air isi kapsul tidak lebih dari 10%
4. Angka kapang dan khamir tidak lebih dari 10
5. Aflatoksis tidak lebih dari 30 bpj.
6. Dalam wadah tertutup baik, disimpan pada suhu kamar, ditempat kering dan
terlindung dari sinar matahari.
iii. Beberapa aturan Desain Kemasan Obat Tradisional BPOM:
1. Merek.
2. Ilustrasi.
3. Khasiat.
4. Nomor regristrasi.
5. Logo Obat Tradisional/Jamu dibagian kiri atas. Penggunaan warna logo juga
tidak bisa diubah, standar warna yang digunakan adalah warna hijau tua.
6. Nama produsen.
7. Komposisi produk.
8. Peringatan/Perhatian (optional dari BPOM).
9. Netto/Isi.
10. Khasiat produk pada kemasan obat tradisional harus sama dengan sertifikat
yang diberikan oleh BPOM. Khasiat tidak boleh dilebih-lebihkan.
11. Cantumkan cara penyimpanan agar kandungan produk tidak mudah
kadaluarsa.
12. Dosis
13. Nomor produksi dan tanggal kadaluarsa, sehingga mudah mengecek tanggal
produksi, ataupun hal lain seperti pengajuan komplain dari konsumen atas
ketidakpuasan isi produk.
14. Logo halal.

h. Pedoman Cara Produksi Obat Tradisional yang Baik (CPOTB)


i. Bangunan
1. Memenuhi persyaratan higienis dan sanitasi
2. Tahan terhadap pengaruh cuaca, serta dapat mencegah masuknya rembesan
dan masuk dan bersarangnya serangga, binatang pengerat, burung dan
binatang lainnya.
3. Memudahkan dalam pelaksanaan kerja, pembersihan dan pemeliharaan.
4. Memiliki ruangan atau tempat administrasi, ruangan atau tempat
penyimpanan simplisia yang baru diterima dari pemasok, tempat sortasi,
tempat pencucian, ruang tempat pengeringan, tempat penyimpanan simplisia
termasuk bahan baku lainnya yang telah diluluskan, tempat penimbangan,
ruang pengolahan, tempat penyimpanan produk setengah jadi, ruang
pengemasan, ruang penyimpan bahan pengemas, ruang penyimpanan produk
jadi termasuk karantina produk jadi, laboratorium atau tempat penguji mutu,
toilet, ruang serba guna.
5. Yang perlu diperhatikan antara lain:
a. Ruangan pengolahan tidak boleh digunakan untuk lalu lintas umum dan
tempat penyimpanan bahan yang tidak termasuk dalam proses
pengolahan.
b. Ruang pengolahan produk tidak digunakan untuk kegiatan lain.
c. Mempunyai sarana pembuangan dan atau pengolahan limbah yang
memadai dan berfungsi dengan baik.
d. Ventilasi udara serta pipa-pipa saluran dipasang sedemikian rupa untuk
mencegah timbulnya pencemaran terhadap produk.
e. Bebas dari retakan dan sambungan terbuka serta mudah dibersihkan dan
disanitasi.
f. Ruangan atau tempat penyimpanan hendaklah cukup luas, terang dan
memungkinkan penyimpanan bahan dan produk jadi dalam keadaan
kering, bersih dan teratur, dan lain-lain.
ii. Peralatan
1. Peralatan yang digunakan tidak menimbulkan serpihan atau akibat yang
merugikan produk.

2. Peralatan yang digunakan untuk menimbang, mengukur, menguji, dan


mencatat hendaklah diperiksa ketelitiannya secara teratur serta ditera menurut
suatu program dan prosedur yang tepat.
3. Penyaring yang menggunakan asbes tidak boleh digunakan.
4. Bahan-bahan yang diperlukan untuk tujuan khusus, seperti bahan pelumas,
bahan penyerap kelembaban, air kondensor dan sejenisnya tidak boleh
bersentuhan langsung dengan bahan yang diolah.
5. Peralatan pengolahan obat herbal berbentuk kapsul, antara lain:
a. Alat ekstraksi bahan sampai mendapat ekstrak/serbuk yang memenuhi
syarat yang ditetapkan.
b. Alat atau mesin pencampur yang dapat menghasilkan campuran yang
homogen.
c. Alat atau mesin granulasi bahan untuk sediaan kapsul, bila diperlukan.
d. Alat atau mesin pengering granul, bila diperlukan.
e. Alat atau mesin pengisi kapsul yang dapat mengisikan campuran bahan ke
dalam kapsul dengan bobot seragam.
f. Alat atau mesin pengemas primer.
iii. Karyawan
1. Hendaklah menjalani pemeriksaan kesehatan baik sebelum diterima menjadi
karyawan maupun selama menjadi karyawan yang dilakukan secara berkala.
2. Karyawan yang mengidap penyakit atau menderita luka terbuka yang dapat
menurunkan kualitas produk dilarang menangani bahan baku, bahan yang
sedang dalam proses, bahan pengemas dan produk jadi sampai sembuh
kembali.
3. Karyawan hendaklah mencuci tangan dengan sabun atau detergent lain
sebelum memasuki ruang pembuatan. Untuk tujuan itu perlu dipasang tanda
peringatan.
4. Karyawan hendaklah melaporkan kepada atasan langsung setiap keadaan
pabrik, peralatan atau personalia yang menuntut penilaian mereka dapat
menurunkan kualitas produk.
5. Karyawan hendaklah menggunakan seragam kerja, penutup rambur, masker,
sarung tangan, dan lain sebagainya yang bersih sesuai dengan tugas yang
dilaksanakan. Untuk tujuan itu disediakan tempat khusus untuk ganti pakaian.
6. Dilarang merokok, makan dan minum serta perbuatan lain yang dapat
mencemari

mutu

produk

didalam

ruangan

pembuatan

penyimpanan. Untuk tujuan ini perlu dipasang peringatan.

dan

ruang

i. Sk Menkes tentang Bentuk dan Tatacara Pemberian Stiker pada Obat Tradisional Asing
i. Bentuk Stiker
Bentuk stiker pendaftaran harus sesuai dengan tujuan pemasangan stiker
pendaftaran dan ukurannya harus disesuaikan dengan keadaan umum wadah dan
pembungkus obat tradisional. Disamping itu stiker harus mudah dimengerti oleh
masyarakat, dan tidak mudah dipalsukan, sehingga tujuan melindungi masyarakat
dapat terlaksana. Pada stiker pendaftaran sedikitnya harus tercantum nomor
pendaftaran dari Departemen Kesehatan sebagai identitas sudah mendapat izin
edar.
ii. Tatacara memperoleh Stiker Pendaftaran
1. Stiker Pendaftaran dapat diperoleh di Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan dan atau badan yang ditunjuk.
2. Pemohon adalah lndustri Obat Tradisional yang telah memiliki izin dan
produk yang dimintakan stiker pendaftaran harus telah mendapat persetujuan
pendaftaran atas nama industri tersebut.
3. Jumlah dan macam stiker pendaftaran yang dimohon harus sesuai dengan obat
tradisional asing yang tertera pada LC yang disetujui oleh Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan.
j. SK Badan POM tentang Larangan Penggunaan Tanaman Tertentu
i. tanaman Aristolochia sp.
1. Melarang memproduksi dan mengedarkan obat tradisional dan suplemen
makanan yang mengandung tanaman Aristolochia sp. di Indonesia.
2. Mencabut persetujuan pendaftaran obat tradisional dan suplemen makanan
yang mengandung tanaman Aristolochia sp.
3. Menarik dari peredaran semua obat tradisional dan suplemen makanan seperti
yang dimaksud di atas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya surat
keputusan.
k. SK Badan POM 2008 tentang Peraturan Ijin-Impor Obat Tradisional Asing
Pasal 2
i. Yang berhak memasukkan obat tradisional impor ke dalam wilayah Indonesia
adalah importir, distributor, industri obat tradisional dan atau industri farmasi
yang memiliki izin impor sesuai peraturan perundang-undangan, yang diberi
kuasa oleh produsen di negara asal.

ii. Obat tradisional yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk
diedarkan adalah obat tradisional yang telah memiliki izin edar.
iii. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah obat
tradisional yang digunakan untuk uji laboratorium, sampel pendaftaran,
penelitian, pameran dan digunakan untuk kepentingan sendiri dalam jumlah
terbatas sesuai kebutuhan.
iv. Tata cara Pemasukan obat tradisional sebagaimana dimaksud ayat (3) akan diatur
tersendiri.
l. Peraturan Menkes RI No 007 Tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional
i. Izin Edar
1. Pasal 2
(1) Obat tradisional yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin
edar.
(2) Izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepala
Badan.
(3) Pemberian izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
melalui mekanisme registrasi sesuai dengan tatalaksana yang ditetapkan.
Pasal 3
Izin edar berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi
persyaratan.
Pasal 4
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
terhadap: a. obat tradisional yang dibuat oleh usaha jamu racikan dan usaha
jamu gendong; b. simplisia dan sediaan galenik untuk keperluan industri dan
keperluan layanan pengobatan tradisional; c. obat tradisional yang digunakan
untuk penelitian, sampel untuk registrasi dan pameran dalam jumlah terbatas
dan tidak diperjualbelikan. binfar.depkes.go.id
Pasal 5
Obat tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c dapat
dimasukkan ke wilayah Indonesia, melalui Mekanisme Jalur Khusus yang
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 6

(1) Obat tradisional yang dapat diberikan izin edar harus memenuhi kriteria
sebagai berikut: a. menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan
keamanan dan mutu; b. dibuat dengan menerapkan CPOTB; c. memenuhi
persyaratan Farmakope Herbal Indonesia atau persyaratan lain yang diakui; d.
berkhasiat yang dibuktikan secara empiris, turun temurun, dan/atau secara
ilmiah; dan e. penandaan berisi informasi yang objektif, lengkap, dan tidak
menyesatkan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan.

Pasal 7
(1) Obat tradisional dilarang mengandung: a. etil alkohol lebih dari 1%,
kecuali

dalam

bentuk

sediaan

tingtur

yang

pemakaiannya

dengan

pengenceran; b. bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik
berkhasiat obat; c. narkotika atau psikotropika; dan/atau d. bahan lain yang
berdasarkan

pertimbangan

kesehatan

dan/atau

berdasarkan

penelitian

membahayakan kesehatan.
(2) Bahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditetapkan dengan
Peraturan Kepala Badan. binfar.depkes.go.id Pasal 8 Obat tradisional dilarang
dibuat dan/atau diedarkan dalam bentuk sediaan: a. intravaginal; b. tetes mata;
c. parenteral; dan d. supositoria, kecuali digunakan untuk wasir.
ii. Persyaratan Registrasi
1. Bagian Kesatu Registrasi Obat Tradisional Produksi Dalam Negeri
Pasal 9
Registrasi obat tradisional produksi dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh
IOT, UKOT, atau UMOT yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Bagian Kedua Registrasi Obat Tradisional Kontrak
Pasal 10
(1) Registrasi obat tradisional kontrak hanya dapat dilakukan oleh pemberi
kontrak dengan melampirkan dokumen kontrak.

(2) Pemberi kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa IOT,
UKOT, atau UMOT yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pemberi dan penerima kontrak bertanggung jawab atas keamanan,
khasiat/manfaat, dan mutu obat tradisional yang diproduksi berdasarkan
kontrak. binfar.depkes.go.id
(4) Penerima kontrak hanya dapat berupa IOT atau UKOT yang memiliki izin
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan sertifikat CPOTB untuk
sediaan yang dikontrakkan. Bagian Ketiga Registrasi Obat Tradisional Lisensi
Pasal 11
Registrasi obat tradisional lisensi hanya dapat dilakukan oleh IOT atau UKOT
penerima

lisensi

yang

memiliki

izin

sesuai

ketentuan

peraturan

perundangundangan. Bagian Keempat Registrasi Obat Tradisional Impor


Pasal 12
(1) Registrasi obat tradisional impor hanya dapat dilakukan oleh IOT, UKOT,
atau importir obat tradisional yang mendapat penunjukan keagenan dan hak
untuk melakukan registrasi dari industri di negara asal.
(2) Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan: a. memiliki fasilitas distribusi obat tradisional sesuai ketentuan
yang berlaku; dan b. memiliki penanggung jawab Apoteker.
(3) Penunjukan keagenan dan hak untuk melakukan registrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan untuk 1 (satu) nama produk
kepada 1 (satu) IOT, UKOT, atau importir.
(4) Pemenuhan persyaratan CPOTB bagi industri di luar negeri dibuktikan
dengan sertifikat cara pembuatan yang baik untuk obat tradisional dan jika
diperlukan dilakukan pemeriksaan setempat oleh petugas yang berwenang.
binfar.depkes.go.id
(5) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilengkapi dengan
data inspeksi terakhir paling lama 2 (dua) tahun yang dikeluarkan oleh pejabat
berwenang setempat.
(6) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan. Bagian Kelima Registrasi
Obat Tradisional Khusus Ekspor

Pasal 13
(1) Registrasi obat tradisional khusus ekspor dilakukan oleh IOT, UKOT, dan
UMOT yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Obat tradisional khusus ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bila ada
persetujuan tertulis dari negara tujuan
iii. Tata Cara Registrasi
1. Bagian Kesatu Umum
Pasal 14
(1) Permohonan registrasi diajukan kepada Kepala Badan.
(2) Ketentuan mengenai tata laksana registrasi ditetapkan dengan Peraturan
Kepala Badan.
(3) Dokumen registrasi merupakan dokumen rahasia yang dipergunakan
terbatas

hanya

untuk

keperluan

evaluasi

oleh

yang

berwenang.

binfar.depkes.go.id
Pasal 15
(1) Terhadap permohonan registrasi dikenai biaya sebagai penerimaan negara
bukan pajak sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Dalam hal permohonan registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditolak, maka biaya yang telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali.

2.2

Riset Herbal Indonesia

2.2.1

Aktivitas -Glukosidase Inhibitor dari Kayu Tuah

2.2.1.1 Abstrak
Ekstrak etanol dari daun dan kulit batang kayutuah dievaluasi untuk melihat aktivitas
antidiabetik dengan senyawa alfa-glukosidase inhibitor. Ekstrak etanol difraksinasi dengan nheksan. etil asetat, dan methanol. Hasil yang ditunjukkan adalah fraksi etil asetat dari kulit
batang kayutuah memiliki aktivitas alfa-glukosidase inhibitor tertinggi dengan IC50 8.06
mikrogam/mL. Fraksi etil asetat diambil dengan kromatografi kolom dan menggunakan
berbagai macam campuran pelarut organic. Dari hasil fraksinasi, diperoleh 10 sub-fraksi, di
mana pada campuran pelarut n-heksan:etil asetat (20:80) memiliki aktivitas tertinggi sebagai
anti diabetic. Selain itu, hasil fraksinasi juga mengandung tannin, saponin, terpen, dan glikosida
(Elya, 2013).
2.2.1.2

Pendahuluan
Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolism pada lemak, karbohidrat, dan

protein yang mengakibatkan kekurangan sekresi insulin, insensitivitas pada insulin, ataupun
keduanya. Untuk DM tipe 1, pengobatan dapat diberikan dengan memberikan injeksi insulin.
Sedangkan pada DM tipe 2, pengobatan umumnya diberikan insulin secara oral (Elya, 2013).
Alfa-glukosidase inhibitor merupakan agen terapi untuk mengobati gangguan
metabolism pada karbohidrat. Acarbose merupakan satu dari jenis alfa-glukosidase inhibitor,
tetapi, sinstesis alfa-glukosidase inhibitor memiliki efek samping seperti gangguan saluran cerna.

Untuk itu, diperlukan pengembangan obat dari bahan alam karena memiliki efek samping yang
relative lebih kecil jika dibandingkan dengan obat konvensional.
Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa tumbuhan dari family Euphorbiaceae
memiliki aktivitas alfa-glukosidase inhibitor, salah satunya adalah kayutuah. Berdasarkan
penelitian sebelumnya, nilai IC50 darri 80% etanol ekstrak kayutuah adalah 2.34 dan pada kulit
batang adalah 3.92 mikrogram/mL, namun masih belum diketahui fraksi mana yang memiliki
aktivitas alfa-glukosidase inhibitor yang tertinggi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui fraksi mana yang memiliki aktivitas tertinggi serta kandungan yang terdapat pada
daun dan kulit batang kayutuah (Elya, 2013).
2.2.1.3

Metode dan Material

Material test
Daun dan kulit batang dari kayutuah diambil pada bulan Januari tahun 2013 dan
diidentifikasi di Pusat Konservasi Tumbuhan dari Kebun Raya Bogor. Kemudian, specimen
disimpan di Laboratorium Farmakognosi Fakultas farmasi Universitas Indonesia. (Elya, 2013)
Chemical
n-heksan,

etil

asetat,

methanol,

alfa-glukosidase

enzim,

p-nitrofenil-alfa-D-

glukopiranosid, acarbose (Elya, 2013).


Extraction and Fractionation
Serbuk simplisia sejumlah 3 kg direfluks selama 1 jam dengan etanol sebanyak 3 kali
dan dievaporasi. Ekstrak didispersikan dalam air dengan perbandingan 1:1 dan selanjutnya
dengan liquid chromatography menggunakan pelarut n-heksan, etil asetat, dan methanol.
sejumlah 20 gram fraksi dengan aktivitas alfa-Glukosidase inhibitor tertinggi difraksinasi dengan
kromatografi kolom menggunakan fase gerak n-heksan, etil asetat, dan methanol. Kemudian,
diperoleh sub fraksi dari aktivitas alfa-Glukosidase inhibitor yang tertinggi
Uji kadar logam pada aktivitas inhibisi -Glukosidase dilakukan pada seluruh fraksi.
Prosedur uji dilakukan berdasarkan metode Kim, di mana sampel sebanyak 5 500 g/mL atau
setara dengan 30 mL ditambahkan 36 mL dapar fosfat dengan pH 6.8 dan 17 mL p-nitorfenil- -

D-glucopiranoside dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37. Kemudian, ditambahkan 17 mL
-Glukosidase enzim (0.15 unit/mL), lalu diinkubasi kembali selama 15 menit pada suhu 37.
Setelah proses inkubasi selesai, ditambahkan 267 mM natrium karbonat untuk
menghentikan reaksi. Absorbansi larutan diukur dengan microplate reader pada lambda 405 nm.
Nilai IC50 menunjukkan bahwa ekstrak dapat menginhibisi 50% dari aktivitas -Glukosidase
Identifikasi fitokimia dilakukan pada fraksi yang memiliki aktivitas inhibisi Glukosidase tertinggi (Elya, 2013)
2.2.1.4

Hasil

Hasil uji kadar logam


Aktivitas inhibisi pada -Glukosidase diuji pada 70% ekstrak etanol dari daun dan kulit
batang kayu tuan. Tabel 1 menunjukkan bahwa fraksi etil asetat dari daun kayu tuah dari liquid
chromatography memiliki nilai IC50 sebesar 57.60 dan sub-fraksi memiliki nilai IC50 sebesar
68.30. (Elya, 2013)
Table 2 menunjukkan bahwa fraksi etil asetat dari kulit batang kayu tuah dari liquid
chromatography memiliki nilai IC50 sebesar 8.06 dan sub-fraksi memiliki nilai IC50 sebesar
5.60. (Elya, 2013)
Uji Aktifitas Inhibisi -Glukosidase
Aktifitas inhibisi -Glukosidase diuji pada 70% ekstrak etanol dari daun dan kulit
batang kayu tuah. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data bahwa fraksi etil asetat dari daun
kayu tuah dengan pemisahan kromatografi memiliki nilai IC 50 tertinggi dari fraksi daun kayu
tuah yang lain yakni sebesar 57.60 g/mL dan sub-fraksinya memiliki nilai IC 50 sebesar 68.30
g/mL. Sedangkan fraksi etil asetat dari kulit batang kayu tuah dengan pemisahan kromatografi
memiliki nilai IC50 tertinggi dari fraksi kulit batang kayu tuah lain yakni sebesar 8.06 g/mL dan
sub-fraksinya memiliki nilai IC50 sebesar 5.60 g/mL. (Elya, 2013)

(Elya, 2013)

(Elya, 2013)
Senyawa Kimia yang Ditemukan dalam Fraksi Etil Asetat
Dari hasil percobaan, senyawa kimia yang ditemukan dalam fraksi etil asetat adalah
sebagai berikut : (Elya, 2013)

2.2.1.5 Kesimpulan

Fraksi etil asetat dari kulit batang kayu tuah memiliki aktivitas -Glukosidase inhibitor

tertinggi dengan nilai IC50 8.06 g/mL.


Fraksi etil asetat dipisahkan dengan kromatografi kolom dan menggunakan berbagai
macam campuran pelarut organik. Dari hasil fraksinasi, diperoleh 10 sub-fraksi, di mana
pada campuran pelarut n-heksan:etil asetat (20:80) memiliki aktivitas tertinggi sebagai

2.2.2

antidiabetes.
Selain itu, hasil fraksinasi juga mengandung tannin, saponin, terpen, dan glikosida.
Oleh karena itu, sub-fraksi 2.E dapat digunakan sebagai senyawa baru untuk treatment
antidiabetes.
Pencegahan Resistensi Insulin dengan Ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn.
dengan Pemberian Makanan High-Fructose pada Tikus

2.2.2.1 Latar Belakang


Sindrom metabolik adalah gangguan yang terdiri dari beberapa kondisi patologis,
termasuk obesitas, resistensi insulin, dislipidemia, dan hipertensi. Penyakit ini sangat umum di
kedua negara maju dan berkembang, diprediksi penyakit ini akan terus meningkat. Oleh karena
itu, hal ini akan meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2 dan jantung koroner disease. Telah
terbukti bahwa perkembangan dan pengembangan sindrom metabolik terutama ditentukan oleh
resistensi insulin. Dengan demikian, pencegahan resistensi insulin merupakan kunci penting
untuk menghentikan perkembangan penyakit. Resistensi insulin menyebabkan glukosa darah

tidak bisa masuk ke sel target, hal ini mengakibatkan peningkatan glukosa darah. Untuk
mengimbangi ini, sel-sel beta pankreas akan meningkatkan sekresi insulin untuk menjaga
euglikemia, mengakibatkan hiperinsulinemia.. (Andraini, 2014)
Patofisiologi yang tepat dari resistensi insulin masih belum diketahui. Studi terbaru
menunjukkan bahwa obesitas, dislipidemia, dan stres oksidatif bermain peran penting dalam
menyebabkan resistensi insulin. Pendekatan untuk mencegah resistensi insulin dengan
menggunakan bahan-bahan alami yang mengandung antioksidan kuat dan efek anti-dislipidemia
adalah alternatif yang aman karena hal itu dapat menurunkan efek samping yang tidak
diinginkan. (Andraini, 2014)
Di Indonesia, salah satu herbal yang memiliki efek yang diinginkan adalah rosella atau
Hibiscus sabdariffa Linn., Juga dikenal sebagai "teh merah". Tanaman ini sering digunakan
sebagai obat tradisional dan diklaim memiliki beberapa efek positif, seperti anti-hipertensi, efek
hepatoprotektif, anti-hiperlipidemia, anti-kanker, dan antioxidant. Hibiscus sabdariffa Linn.
mengandung flavonoid, anthocyanin, alkaloid, -sitosterol, dan sitrat acid. Anthocyanin memiliki
efek antioksidan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan antioksidan lainnya, seperti vitamin
E, asam askorbat, dan -karoten. (Andraini, 2014)
Bunbupha bersama rekannya berhasil meneliti terkait tingkat gula darah puasa setelah
pengonsumsian Hibiscus sabdariffa Linn. Hasil penelitiannya melaporkan bahwa Hibiscus
sabdariffa Linn. memiliki efek menurunkan tingkat gula darah puasa pada tikus dengan resistensi
insulin. Namun, belum jelas apakah Hibiscus sabdariffa Linn. bisa mencegah resistensi insulin.
Dalam studi ini, kami ingin tahu potensi Hibiscus sabdariffa Linn. dalam mencegah resistensi
insulin dalam pada makanan tinggi fruktosa yang akan diberikan pada tikus. Ini adalah sebuah
laboratorium hewan model yang baik untuk mempelajari resistensi insulin dan faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan sindrom metabolik karena diet tinggi fruktosa berkontribusi dalam
pengembangan sindrom metabolic. (Andraini, 2014)
2.2.2.2 Metode
Hewan dan Protokol Penelitian Eksperimental
Ini merupakan studi eksperimental in vivo menggunakan Sprague Dawley-tikus jantan
berusia 10-12 minggu dengan berat badan berkisar 150-180 gram (dibeli dari Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor). ukuran sampel total adalah 25 tikus, dihitung berdasarkan

rumus Federer. Tikus diperlakukan sesuai dengan konvensi Helsinki. persetujuan etis diperoleh
dari Komite Etik Penelitian Kedokteran - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI / RSCM). (Andraini, 2014)
Tikus ditempatkan dalam kandang individu di sebuah ruangan dengan ventilasi yang
tepat, suhu kamar antara 18-26C dan kelembaban 30-70%. Pencahayaan ruangan itu diatur
terang dan gelap selama 12 jam. kandang tikus yang dibersihkan setiap hari dan kesehatan tikus
adalah terpelihara dengan baik. Setelah satu minggu aklimatisasi, tikus dibagi secara acak
menjadi 5 kelompok: kelompok 1, kelompok kontrol, diberi makan dengan diet standar (serat
5%, 21-23% protein, 5% lemak) dan diberikan air keran untuk minum; kelompok 2, tikus diberi
diet tinggi fruktosa (standar makanan dan 10% fruktosa solusi ad libitum); Kelompok 3, 4, dan 5,
tikus yang diberi makan diet tinggi fruktosa (standar makanan dan 10% larutan fruktosa ad
libitum) dan diberi ekstrak etanol berair dari Hibiscus sabdariffa Linn. dengan dosis 100, 200,
400 mg / kgBB / d oral {kelopak ekstrak etanol Hibiscus sabdariffa Linn. diperoleh dari
Laboratorium Balai Penelitian Rempah dan Obat tanaman (Balitro) Bogor}. Durasi pengobatan
adalah lima minggu untuk semua kelompok. (Andraini, 2014)
Pengukuran Glukosa Darah Puasa, Insulin Darah dan HOMA (IR)
Pada hari terakhir dari pengobatan, tikus dipuasakan selama satu malam (sekitar 12 jam).
Kemudian sampel darah yang diambil dari vena ekor tikus untuk pengukuran glukosa darah dan
dari jantung untuk pengukuran insulin. Pemeriksaan glukosa darah dilakukan dengan
menggunakan glucometer portabel (Accu-Periksa Keuntungan Kinerja, Roche Diagnostics,
Jerman), sedangkan pemeriksaan kadar insulin dilakukan dengan menggunakan ELISA kit
standar (Rat insulin ELISA, Mercodia, Swedia). Tes insulin dilakukan di laboratorium
immunoendocrinology, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Perhitungan indikator
resistensi insulin (HOMA-IR / homeostasis nilai model penilaian resistensi insulin) dilakukan
dengan menggunakan rumus:
HOMA-IR = glukosa puasa (mmol / L) x insulin puasa (IU / L) / 22,5
(Konversi insulin unit: 1 IU / mL = 6945 pmol / L).
Analisis Statistik

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS 12 (Statistik Ilmu Sosial 12).
Analisis statistic dilakukan dengan menggunakan satu arah ANOVA. Kemudian, analisis post-hoc
dilakukan. Data yang sebelumnya dianalisis normalitas dengan Shapiro-uji Wilk. (Andraini, 2014)
2.2.2.3 Hasil
Tingkat glukosa darah puasa
Tingkat glukosa darah puasa pada kelompok tikus yang diberikan diet tinggi fruktosa
secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (6,11 0,73 mmol/L vs
5,01 0,28 mmol/L, p = 0,002). Tingkat glukosa darah puasa pada tikus yang diberikan diet
tinggi fruktosa bersama dengan pemberian ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn. dengan dosis 400
mg/kgBB secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang diberikan hanya
diet tinggi fruktosa saja (4,84 0,51 mmol/L vs 6.11 0,73 mmol/L, p = 0,001). Tingkat glukosa
darah puasa pada tikus yang diberikan diet tinggi fruktosa dan ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn.
pada dosis 100 dan 200 mg/kgBB tidak berbeda secara signifikan dari kelompok yang hanya
diberikan diet tinggi fruktosa saja (masing-masing p = 0,488 dan 0,057) (Gambar 1). (Andraini,
2014)

Tingkat insulin darah puasa


Tingkat insulin darah puasa pada tikus yang diberikan diet tinggi fruktosa secara
signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (0,3 0,12 U/L vs 0,06 0,04
U/L, p = 0,002). Tingkat insulin darah puasa pada tikus yang diberikan diet tinggi fruktosa dan
ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn. pada dosis 400 mg/kgBB secara signifikan lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberikan diet tinggi fruktosa saja (0,07 0,05 U/L
vs 0,3 0,12U/L, p = 0,003). Tingkat insulin darah puasa pada tikus yang diberikan diet tinggi
fruktosa dan ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn. pada dosis 100 dan 200mg/kgBB tidak berbeda
secara signifikan dari kelompok tikus yang hanya diberikan diet tinggi fruktosa saja (masingmasing p= 0,199 dan 0,089) (Gambar 2). (Andraini, 2014)

Indeks resistensi insulin (HOMA-IR)


Indeks resistensi insulin (HOMA-IR) dalam kelompok tikus yang diberikan diet tinggi
fruktosa secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (0,08 0,03 vs

0,01 0,01, p <0,0001). HOMA-IR pada kelompok tikus yang diberikan diet tinggi fruktosa dan
ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn. pada dosis 200 dan 400 mg/kgBB secara signifikan lebih
rendah dibandingan dengan kelompok yang hanya diberikan diet tinggi fruktosa saja (0,04 0,03
dan 0,02 0,01 vs 0,08 0,03, masing-masing p= 0,021 dan 0,001). HOMA-IR pada tikus yang
diberikan diet tinggi fruktosa dan ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn. pada dosis 100 mg/kgBB
tidak berbeda secara signifikan dari kelompok tikus yang hanya diberikan diet tinggi fruktosa saja
(p= 0,101) (Gambar 3). (Andraini, 2014)

2.2.2.4 Pembahasan
Tingkat glukosa darah puasa, tingkat insulin darah puasa, dan HOMA-IR pada tikus
yang diberikan diet tinggi fruktosa yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol menunjukkan bahwa pemberian 10% diet tinggi fruktosa selama 5 minggu
telah menyebabkan perkembangan resistensi insulin. Hasilnya konsisten dengan penelitian lain
yang menggunakan model diet tinggi fruktosa, dimana induksi resistensi insulin menggunakan
fruktosa dapat dicapai dalam waktu 4 sampai 14 minggu. (Andraini, 2014)

Tikus yang diberikan diet tinggi fruktosa bersama dengan ekstrak Hibiscus sabdariffa
Linn. dengan dosis 400 mg/kgBB memiliki tingkat glukosa darah puasa, tingkat insulin darah
puasa, dan HOMA-IR yang rendah dibandingkan dengan kelompok tikus yang hanya diberikan
diet tinggi fruktosa saja. Hasil ini jelas menunjukkan bahwa Hibiscus sabdariffa Linn. mampu
mencegah terjadinya resistensi insulin. Walaupun administrasi ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn.
pada dosis 100 dan 200 mg/kgBB tidak memberikan hasil yang signifikan dibandingkan dengan
kelompok yang hanya diberikan diet tinggi fruktosa saja, ada kecenderungan penurunan dalam
tingkat glukosa darah puasa, tingkat insulin darah puasa, dan HOMA-IR. Hasil ini menunjukkan
bahwa Hibiscus sabdariffa Linn. mencegah resistensi insulin dengan bekerja tergantung pada
dosis. (Andraini, 2014)
Zat aktif pada Hibiscus sabdariffa Linn. yang memiliki efek pencegahan resistensi insulin
sebagai mekanisme kerjanya belum sepenuhnya diketahui. Namun, kemungkinan bahwa efek ini
dimediasi melalui antioksidan dan efek hipolipidemia tidak dapat dikesampingkan. Bahan aktif
yang paling mungkin dan telah diidentifikasi adalah antosianin. Kemungkinan ini diambil dari
analogi studi yang dilakukan oleh Guo, et al, yang menunjukkan bahwa antosianin dalam Oryza
sativa L dapat mencegah peningkatan produksi asam lemak dan radikal bebas pada tikus yang
diberikan diet tinggi fruktosa. Penelitian sebelumnya pada manusia menunjukkan bahwa ekstrak
Hibiscus sabdariffa menjanjikan untuk pengobatan hiperlipidemia. Dalam uji coba klinis secara
acak, konsumsi harian teh atau ekstrak yang dihasilkan dari Hibiscus sabdariffa calyxes memiliki
efek yang menguntungkan pada profil lemak/lipid termasuk mengurangi kolesterol total, LDL-C,
trigliserida, serta peningkatan HDL-C. Mekanisme molekuler yang tepat dari Hibiscus
sabdariffa Linn. dalam mencegah terjadinya resistensi insulin dan manfaatnya pada manusia
masih perlu diteliti lebih lanjut. (Andraini, 2014)
2.2.2.5 Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn. dapat
mencegah resistensi insulin terkait dengan diet tinggi fruktosa, yang efeknya tergantung pada
dosis. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan mekanisme molekuler dan dosis optimum
dari Hibiscus sabdariffa Linn. untuk digunakan pada manusia untuk pencegahan resistensi
insulin. (Andraini, 2014)

BAB III
3.1

Kesimpulan
1. Kebijakan pemerintah terkait obat tradisional terdapat pada UU No.36 tahun 2009
tentang Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1076 Tahun 2003 tentang
Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, Permenkes RI 246 tahun 1990 tentang Izin
Usaha Obat Tradisional, SK BPOM tentang Penandaan Obat Bahan Alam, Peraturan
Menkes RI No 007 Tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional
2. Contoh riset herbal Indonesia yaitu Aktivitas -Glukosidase Inhibitor dari Kayu Tuah
dan Pencegahan Resistensi Insulin dengan Ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn.
dengan Pemberian Makanan High-Fructose pada Tikus

3.2

Saran
Obat tradisional merupakan warisan budaya sehingga perlu dilakukan penelitian dan

pengembangan

DAFTAR PUSTAKA
Andraini, T. & Yolanda, S. (2014). Prevention of insulin resistance with Hibiscus sabdariffa
Linn. extract in high-fructose fed rat. Med J Indones, 23(4): 192-196.
Elya, B., Katrin, B. & Utami, N.F. (2013). Aktivitas -Glukosidase Inhibitor dari Kayu Tuah.
International Research Journal of Pharmacy. 4(11), pp.3032.
http://aero.pom.go.id/bantuan/Per_KBPOM.pdf
http://binfar.depkes.go.id/dat/lama/1206328790_Buku%20Kebijakan%20Obat%20Tradisional
%20Nasional%20Tahun%202007.pdf
http://sireka.pom.go.id/requirement/PMK-7-2012-Registrasi-Obat-Tradisional.pdf
http://sireka.pom.go.id/requirement/UU-36-2009-Kesehatan.pdf
http://binfar.depkes.go.id/dat/lama/1206328790_Buku%20Kebijakan%20Obat%20Tradisional
%20Nasional%20Tahun%202007.pdf
http://jdih.pom.go.id/produk/Keputusan%20Menteri/10_1990_246-Menkes-Per-V-1990_ot.pdf
Pekembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka. (2007). Majalah Kedokteran
Indonesia, 57(7).

LAMPIRAN
Pertanyaan
1. Bagaimana perkembangan riset herbal di Indonesia secara umum? (Bu Berna)
1978 pakar jamu mendirikan Himpunan Ahli Bahan Alami Indonesia (HIPBOA).
Pendirinya umumnya apoteker, dan hanya beberapa dokter.
1980 HIPBOA berubah menjadi Perhinpunan Peneliti Bahan Alam (PERHIPBA)
Akhir abad 20 penelitian bahan alam Indonesia dilaksanakan sendiri-sendiri oleh masing
masing institusi pendidikan atau lembaga penelitian di setiap departemen pemerintah.
Kurangnya perhatian pemerintah dalam perlindungan hak kekayaan intelektual dan hak paten
kepada para peneliti Indonesia menyebabkan banyak tanaman asli Indonesia dipantenkan
diluar negeri, misalnya xanthorrizol dari Curcuma xanthorriza
Tahun 2002 badan POM melakukan pemetaan penelitian obat herbal yang telah dilakukan
perguruan tinggi, lembaga penelitian, industri, dan pemerintah, mulai dari budidaya hingga
uji klinik.
Tahun 2008 Hari kebangkitan jamu di Indonesia diresmikan oleh bapak Susilo Bambang
Yudoyono.

2. Apa syarat dan data yang harus diberikan ke BPOM untuk registrasi obat ? (Meidha)
Obat tradisional yang dapat diberikan izin edar harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu; b. dibuat dengan
menerapkan CPOTB; c. memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia atau
persyaratan lain yang diakui; d. berkhasiat yang dibuktikan secara empiris, turun temurun,
dan/atau secara ilmiah; dan e. penandaan berisi informasi yang objektif, lengkap, dan tidak
menyesatkan.
Berkas Registrasi (Keputusan Kepala BPOM tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi
Obat)
Pasal 19
(1) Berkas registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) terdiri atas formulir
registrasi dengan dokumen administratif dan dokumen penunjang.
(2) Dokumen administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dokumen yang
harus dilengkapi untuk registrasi obat sesuai Lampiran 4.
Pasal 20
Dokumen penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) terdiri atas :
a. Dokumen mutu dan teknologi untuk menjamin mutu obat sesuai Lampiran 9;

b.

Dokumen

uji

preklinik

yang

dapat

menggambarkan

profil

farmakodinamik,

farmakokinetik maupun toksisitas yang aman, sebelum diuji coba pada manusia, dengan
rincian sesuai Lampiran 10 dan matriks laporan uji preklinik sesuai Lampiran 11;
c. Dokumen uji klinik harus dapat membuktikan efikasi dan keamanan obat jadi secara
meyakinkan dengan rincian sesuai Lampiran 12 dan matriks laporan uji klinik sesuai
Lampiran 13.
Pasal 21
(1) Formulir registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) harus dilengkapi
dengan : a. Rancangan kemasan yang meliputi etiket, dus/bungkus luar, strip/blister, catch
cover, ampul/vial, dan kemasan lain sesuai ketentuan tentang pembungkusan dan penandaan
yang berlaku, yang merupakan rancangan kemasan obat yang akan diedarkan dan dapat
dilengkapi dengan rancangan warna; b. Brosur yang merupakan informasi mengenai obat.
(2) Rancangan kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a khusus untuk obat
generik, sesuai dengan ketentuan mengenai spesifikasi baku obat generik.
(3) Informasi minimal yang harus dicantumkan pada rancangan kemasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) sesuai Lampiran 14.
(4) Informasi minimal yang harus dicantumkan dalam brosur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b adalah sesuai Lampiran 15.
Pasal 22
(1) Untuk registrasi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), berkas yang
diserahkan terdiri atas disket yang telah diisi sesuai data pada Formulir A serta berkas
Formulir A, Formulir B1, Formulir B2, Formulir B3, Formulir B4, Formulir C1, Formulir
C2, Formulir C3, Formulir D, dan dokumen penunjang registrasi baru untuk masingmasing
kategori sesuai Lampiran 16.
(2) Berkas registrasi obat copy dengan zat aktif yang telah ada Standar Informasi Elektronik
(STINEL), terdiri atas disket yang telah diisi sesuai data pada Formulir A dan Formulir B2113, serta berkas Formulir A, Formulir B1, Formulir B214, Formulir B3, Formulir B4,
Formulir C1 dan Formulir D.
(3) Berkas registrasi obat copy dengan zat aktif yang belum ada STINEL terdiri atas disket
yang telah diisi sesuai data pada Formulir A serta berkas Formulir A, Formulir B1, Formulir
B2, Formulir B3, Formulir C1 dan Formulir D. Pasal 23 Untuk registrasi variasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), berkas yang diserahkan terdiri atas disket yang telah diisi

sesuai data pada Formulir A serta berkas formulir dan dokumen penunjang registrasi variasi
untuk masingmasing kategori sesuai Lampiran 17.
3. Perbedaan cara pengobatan ketrampilan dan ramuan ? (Muthia)
Pengobatan tradisional ketrampilan adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan/atau
perawatan tradisional berdasarkan ketrampilan fisik dengan menggunakan anggota gerak
dan/atau alat bantu lain. Sedangkan pengobatan tradisional ramuan adalah seseorang yang
melakukan pengobatan dan/atau perawatan tradisional dengan menggunakan obat / ramuan
tradisional yang berasal dari tanaman ( flora ), fauna, bahan mineral, air, dan bahan alam lain
4. Kenapa tanaman Aristolochia dilarang ? (Fani)
bahwa telah dilaporkan terjadinya efek samping gagal ginjal stadium lanjut akibat
penggunaan obat tradisional yang mengandung tumbuhan Aristolochia sp. karena
mengandung Asam Aristolokat (Aristolochic Acid) yang berpotensi karsinogenik. Semua
produk yang mengandung Aristolochia sp. telah dilarang untuk diedarkan antara lain :
Inggris, Amerika Serikat, Jerman dan Malaysia;
5. Bagaimana cara penggunaan dari ekstrak bahan alam yang ada di jurnal yang kalian bahas?
(Sindu)
Berdasarkan kedua jurnal yang kami bahas, ekstrak bahan alam yang ada di jurnal tersebut
masih berada dalam tahap preklinis, dimana ekstrak tersebut baru diuji kepada hewan. Maka
dari itu belum ada dosis/cara penggunaan yang pasti untuk digunakan oleh manusia.
6. Jamu syaratnya adalah bukti empiris, lalu bagaimana untuk masalah perijinannya? (Hafidz)
Untuk masalah perijinan jamu untuk dapat diedarkan, diatur dalam Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.41.1384 tentang
Kriteria dan Tatalaksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan
Fitofarmaka. Dalam Peraturan Kepala BPOM tersebut dijabarkan secara lengkap semua
mekanisme perijinan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka, mulai dari
kriterianya, pendaftar, tanggung jawab pendaftar, kategori pendaftaran, tata laksana
memperoleh izin edar, pelaksanaan izin edar, penilaian kembali, pembatalan, larangan, dan
sanksi.
Salah satu pasal yang terdapat dalam Peraturan Kepala BPOM:
Pasal 4

Untuk dapat memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 obat tradisional, obat
herbal terstandar dan fitofarmaka harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi persyaratan mutu,
keamanan dan kemanfaatan / khasiat;
b. dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang
Baik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik yang berlaku;
c. penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan
obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka secara tepat, rasional dan aman sesuai
dengan hasil evaluasi dalam rangka pendaftaran.

Anda mungkin juga menyukai