Anda di halaman 1dari 8

DARI REDAKSI

Pangan dan Teknologi


Sensus Pertanian 2013 yang dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik, secara umum,
menunjukkan kurangnya ketahanan pangan
rumah tangga pada beberapa propinsi. Hal ini
dikhawatirkan, jika tidak ditindaklanjuti, akan
mengakibatkan krisis pangan. Apalagi
ditambah dengan tidak bertambahnya produksi
pangan dibandingkan dengan tingkat
konsumsi, konversi lahan pertanian pangan
untuk peruntukkan lain, dan rendahnya
produktivitas.

Akibat tidak terpenuhinya kebutuhan pangan


oleh produksi dalam negeri, Indonesia terpaksa
mengimpor bahan pangan dari negara lain.
Salah satu cara, jika tidak bisa dibilang satusatunya, untuk meningkatkan produksi pangan
adalah dengan melakukan beberapa inovasi di
bidang teknologi. Ini adalah tugas para
insinyur, terutama para insinyur di bidang
teknologi pangan, teknologi industri pertanian,
dan budidaya pertanian dalam arti yang luas.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia


dikelilingi oleh laut yang luas yang berpotensi
besar sebagai sumber pangan yang kaya. Selain
meningkatkan produksi bahan pangan yang
berbasis di daratan, para insinyur dihadapkan
pada tantangan untuk meningkatkan produksi
bahan pangan dari laut yang kebutuhannya
semakin meningkat.

Pada edisi kali ini, Engineer Weekly


menampilkan beberapa tulisan dan artikel yang
berhubungan dengan pangan dan teknologi
yang mendukungnya, seperti teknologi dan
metode untuk meningkatkan hasil tangkapan
ikan dan teknologi Green untuk pembuatan
tempe, makanan favorit sebagian masyarakat
Indonesia.

Selain itu anda juga akan disuguhi sebuah


tulisan tentang pangan dari tanaman
transgenik yang merupakan hasil rekayasa

genetik yang masih menjadi kontroversi hingga


saat ini.

Dengan memahami tentang hal-hal tersebut,


diharapkan akan memacu para insinyur untuk
melakukan inovasi di bidang pangan, sehingga
ke depannya masalah ketersediaan pangan
bukan menjadi masalah yang dapat
mengancam ketahanan nasional.

Aries R. Prima
Pemimpin Redaksi

EDITORIAL

Pangan dan Potensi Tanah Air

Rudianto Handojo
Direktur Eksekutif (PII)

Berulang kali Presiden Jokowi menekankan


pentingnya menyongsong perubahan ke depan
dengan fokus pada penguatan energi dan pangan.
Paling tidak, dua kali terekam, yaitu dalam
sambutan pada saat pembukaan Kongres PII XX
tanggal 12 Desember 2015 dan, terakhir, di depan
hadirin kuliah umum di Universitas Sebelas
Maret, Solo, pada 11 Maret 2016 lalu.

Pada kesempatan terakhir tersebut dikemukakan


bahwa pada tahun 2043 jumlah penduduk dunia
akan menjadi 12, 3 milyar. Artinya dua kali lipat
dari jumlah penduduk sekarang. Situasinya akan
mengarah pada perebutan energi dan pangan.
Untuk rebutan dua hal tersebut, ditambahkan,
kita memiliki keuntungan kompetitif karena
tanah air kita memiliki potensi, yang sayangnya,
belum terkelola baik.

Mari sekarang kita lihat datanya. Terakhir


dikabarkan pada tahun 2015 sawah kita
menghasilkan 72 juta ton gabah kering panen.
Setelah dikonversi dengan faktor 62,74% akan
menghasilkan sekitar 45,17 juta ton beras. Dari
data the Economist, Pocket World in Figures edisi
2016, Indonesia pada tahun 2013-2014 adalah
penghasil beras nomor 3 dunia dengan produksi
36,3 juta ton. Di bawah China 142,53 juta ton dan
India 106,54 juta ton. Produksi kita lebih tinggi di
banding Bangladesh 34,39 juta ton, Vietnam
28,16 juta ton, Thailand 11,95 juta ton dan
Myanmar 11,95 juta ton.

Tetapi kita juga konsumen beras nomor 3 dunia


dengan konsumsi 38,50 juta ton, sehingga kita
harus mengimpor kekurangan paling tidak 2,20
juta ton. Konsumen beras saat ini banyak berada
di Asia Tenggara. Urutan tujuh besar konsumen
beras berturut-turut adalah China 146,30 juta
ton, India 99,18 juta ton, Indonesia 38,50 juta
ton, Bangladesh 34,90 juta ton, Vietnam 22,00
juta ton, Filipina 12,5 juta ton dan Thailand 10,87
juta ton. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa

India, Bangladesh, Vietnam, Thailand adalah


negara surplus beras. Kita juga harusnya
demikian. Angka 2015 kita harusnya sudah
membuat kita surplus beras.

Bila merunut 5 tahun terakhir. Data dari sumber


yang sama menunjukkan bahwa produksi beras
Indonesia tahun 2012-13 sebesara 36,55 juta ton,
konsumsi 38,12 juta ton. Tahun 2011-12, 36,50
juta ton dan besar konsumsi 39,55 juta ton.
Tahun 2010-11, 35,50 juta ton dan konsumsi
39,00 juta ton. Tahun 2009-10 produksi 36,37
ton dan konsumsi 38 juta ton. Situasinya selalu
minus. Bila kita ingin surplus dan sekaligus
menjadi pemasok dunia, paling tidak produksi
beras kita harus di atas 40 juta ton. Mudahmudahan angka 2015 dengan produksi 45,17 juta
ton benar adanya dan dapat dipertahankan.

Ini tadi baru cerita beras. Masih ada kekurangan


produksi gula, dan kita adalah pengimpor
gandum. Tapi jangan berkecil hati. Masih dari
sumber yang sama Indonesia pada tahun 2013
adalah negara nomor 4 dunia dalam hasil
pertanian dengan nilai 125 miliar dolar Amerika.
Nomor 6 produsen sereal dengan produksi 89,79
juta ton. Nomor 8 penghasil buah-buahan dengan
angka 16,00 juta ton. Nomor 8 produen teh: 148
ribu ton. Nomor 4 produsen kopi: 700 ribu ton.
Nomor 3 penghasil coklat: 375 ribu ton. Sumber
lain menyatakan kita produsen kelapa sawit
nomor 1 dunia. Seperti pengelolaan sumberdaya
alam lainnya, tantangannya adalah penciptaan
nilai tambah oleh para Insinyur. Ini adalah
amanat UU No 11/2014 tentang Keinsinyuran.***

TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN

Mengamati, Kemudian Menangkap


Budhi Hascaryo Iskandar
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB
Ikan, terutama ikan laut, adalah sumber pangan
yang kaya protein, zat yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan. Dengan tingginya harga pangan
sumber protein hewani lainnya, seperti daging
sapi dan ayam, dan juga meningkatnya
kecenderungan orang untuk mengurangi asupan
lemak, menjadikan ikan sebagai makanan yang
ideal. Orang dengan aktivitas normal
membutuhkan asupan protein 0,8 kali berat
tubuhnya per hari.

Dengan tumbuhnya permintaan akan ikan segar,


maka diperlukan upaya-upaya untuk
meningkatkan hasil tangkapan ikan. Berbagai
taktik dan metode telah banyak dikembangkan
oleh akademisi dan praktisi di bidang perikanan
dan kelautan untuk keperluan ini.

Taktik dan metode penangkapan ikan tidaklah


akan berhasil bila tingkah laku renang ikan tidak
diketahui. Perancangan alat dan metode
penangkapan ikan tidak lepas dari pengetahuan
tenang hal ini. Pengamatan terhadap kebiasaan
dan kecepatan renang ikan tidak mudah
dilakukan langsung di laut, sehingga diperlukan
peralatan yang memungkinkan para peneliti
untuk melakukan pengamatan terhadap
kebiasaan dan kecepatan renang ikan.
Pengamatan tingkah laku ikan biasanya
dilakukan di flume tank. Umumnya flume tank
berkuran relatif besar sehingga diperlukan biaya
yang tidak sedikit untuk pengoperasiannya,
khususnya untuk kebutuhan air dan listrik.

Rekayasa flume tank berukuran kecil (mini flume


tank) telah dilakukan untuk kepentingan ini.
Perekayasaan dilakukan dengan membuat desain
dan konstruksi flume tank berukuran kecil yang
mudah dipindah-pindahkan sehingga
memudahkan peneliti untuk melakukan
pengamatan tingkah laku renang ikan,
khususnya pola dan kecepatan renangnya. Pada
flume tank ini kecepatan arus dapat diatur
sesuai kebutuhan penelitian dan memungkinkan
untuk merekam pola renang dan kecepatan
renang ikan.

Mini flume tank ini dirancang berdasarkan


keterbatasan yang dimiliki beberapa flume tank
di Indonesia yang digunakan untuk kepentingan
pengamatan tingkah laku renang ikan,
keterbatasan tersebut adalah sistem pengontrol
kecepatan arus yang belum baik, sebaran
kecepatan arus pada flume tank belum rata
(turbulent), banyak gelembung udara yang
mengganggu pengamatan visual, durability
(ketahanan) mesin pembangkit arus air belum
memadai.

Rancang bangun mini flume tank dibuat dengan


tipe sirkulasi air secara vertikal. Hal ini
dimaksudkan agar mini flume tank tidak
memerlukan tempat yang luas dalam
penempatannya. Dimensi utama mini flume
tank yang dibangun termasuk rangka
penyangganya mempunyai ukuran (pxlxt) 245 x
50 x 125 cm, dengan kapasitas volume air 155
liter. Pada bagian atas mini flume tank termasuk
jendela pengamatan terbuat dari bahan kaca
dengan ketebalan 10 mm. Perancanganya
sekaligus peneliti tingkah laku ikan, Wazir
Mawardi dari Dept. FPIK IPB, mendesain dengan
baik dan menghasilkan mini flume tank yang
handal. Mini flume tank ini dilengkapi dengan
observation window, meja penyangga,
pembangkit arus air (dinamo dan baling-baling),
pengatur kecepatan rpm mesin (inverter), air
bubble eliminator, filter, cermin pemantul
bidang tampak atas, dan pemerata arus.

Salah satu aplikasinya, telah diterapkan pada


pengamatan tingkah laku renang ikan air laut
(kerapu) dan ikan air tawar (mas) dengan hasil
yang baik. Adanya peralatan ini memudahkan
para peneliti yang mendalami tingkah laku
renang ikan untuk melakukan eksperimennya.
Hasilnya diharapkan dapat memberikan
kontribusi ilmu pengetahuan dan teknologi
dibidang tingkah laku ikan dan menjadi dasar
pertimbangan dalam penyempurnaan desain alat
penangkap ikan dan metode penangkapan ikan
di Indonesia.***

TEKNOLOGI PANGAN

Green Tempe, Sehat dan Bergizi


Wida Winarno
Indonesian Tempe Movement

Tempe telah dikenal masyarakat Indonesia sejak


ratusan tahun yang lalu. Tempe telah ada dalam
tulisan Serat Centini yang ditulis oleh
Pakubuwono IV pada sekitar abad ke-16. Tempe
adalah teman makan nasi yang senantiasa
membuat kangen sehingga teknologi pembuatan
tempe dilakukan turun temurun dan diajarkan
dari generasi ke generasi.

Prinsip pembuatan tempe adalah memelihara


kapang Rhizopus sp sehingga tumbuh hypha
berwarna putih dan lebat. Hypha ini akan
mengikat kacang kedelai menjadi satu sehingga
terbentuk tempe yang kompak dan padat. Untuk
membuat Rhizopus tumbuh dengan lebat maka
dikondisikan agar kapang ini mendapatkan semua
yang dibutuhkannya untuk tumbuh optimal.

Green Tempe
Pada umumnya, proses pembuatan tempe
membutuhkan banyak air, dan banyak bahan
bakar untuk proses perendaman dan pengukusan.
Dengan adanya keterbatan sumber daya alam
dimasa depan maka perlu dipikirkan bagaimana
caranya membuat tempe yang ramah lingkungan.
Indonesian Tempe Movement bersama dengan
beberapa teman dari angkatan 22 IPB
mengembangkan suatu alternatif pembuatan
tempe dimana dibutuhkan air dan bahan bakar
yang relatif lebih sedikit dan limbah yang dibuang
ke alam juga lebih sedikit, proses pembuatan
tempe tersebut dinamakan Green Tempe.

dari kotoran, ranting dan biji yang busuk.


Selanjutnya kedelai direndam dalam larutan
Palape yang berisi kombinasi bakteri
pembentuk asam selama dua hari. Larutan Palape
ini berguna untuk membuat kedelai menjadi
lunak dan kulit ari mudah terlepas, namun kedelai
tidak menjadi busuk walaupun direndam cukup
lama. Palape juga berfungsi memberikan
suasana asam bagi kedelai karena Rhizopus sp
menyukai suasana yang agak asam untuk tumbuh
dengan optimal. Setelah kulit ari terlepas dan
dicuci bersih, kedelai hanya perlu dikukus
beberapa 15 hingga 1 jam, tergantung banyaknya
kedelai. Setelah perebusan kedelai, suhunya
diturunkan kembali hingga sekitar 30C,
ditiriskan dan dikeringkan lalu dilakukan
peragian. Tahap selanjutnya adalah fermentasi.
Selama fermentasi terjadi peningkatan suhu,
kedelai akan diselimuti hypha dan terasa hangat.
Pada tahap ini penting untuk memberikan
sirkulasi udara yang cukup baik agar tidak terjadi
kondensi pada kemasan kedelai. Air yang
membasahi hypha akan menyebabkan tempe
cepat busuk.

Tempe Instan
Indonesian Tempe Movement juga
mengembangkan Tempe Instan. Tempe instan
adalah paket tempe yang terdiri dari kedelai yang
sudah diproses dan ragi masing-masing dalam
bungkus yang terpisah. Kedelai dan ragi kemudian
dikemas dalam wadah yang tahan untuk
dipanaskan dalam microwave. Konsumen hanya
Proses pembuatan ala Green Tempe adalah
perlu memanaskan kedelai dalam microwave
dengan menambahkan larutan bakteri pembentuk selama 1 menit, menurunkan suhunya hingga
asam dalam proses awal pembuatan kedelai. Pada hangat dan menaburkan ragi pada kedelai,
umumnya proses awal pembuatan kedelai adalah selanjutnya meratakan ragi dan
dengan mencuci kedelai kemudian dilakukan
menfermentasikan kedelai hingga terbentuk
perendaman semalam untuk melepaskan kulit
tempe. Setelah dua hari tempe sudah jadi dan siap
arinya. Selanjutnya kulit ari dilepaskan, dicuci
dikonsumsi.
bersih dan dilakukan perebusan kembali. Setelah
itu kedelai didinginkan suhunya dan dilakukan
Nah, silakan pilih tempe favorit anda. Apapun itu,
peragian.
tempe adalah pangan sumber protein nabati yang
sehat.
Dalam Green tempe, kedelai hanya dibersihkan

Kontroversi Tanaman Transgenik


Aries R. Prima Engineer Weekly

Krisis pangan dunia mendorong berbagai


penelitian dan rekayasa untuk menciptakan bibit
dan produk pertanian unggul. Salah satunya
adalah dengan teknologi rekayasa genetika
(transgenik).

Perkembangan teknologi transgenik bermula pada


1953 ketika ditemukan bahwa makhluk hidup
memiliki deoxyribonucleic acid (DNA). Kemudian
pada 1973 ditemukan cara mengisolasi gen ini,
dan pada 1980-an dirintis teknik memindahkan
gen pembawa sifat tertentu dari satu makhluk
hidup ke makhluk lainnya.

Di tengah pro dan kontra, komersiali sasi produk


tanaman transgenik dimulai pada 1996 dengan
luas area tanam 1,7 juta hektar dan meningkat
menjadi sekitar 148 juta hektar pada 2010 yang
tersebar di 29 negara dengan nilai ekonomi
ditaksir mencapai US$14 miliar. Pada 2012, luas
lahan tanaman transgenik menjadi 160 juta
hektar.

Pro kontra tanaman transgenik di Indonesia


bermula pada 1999 ketika PT Monagro Kimia
melakukan uji coba penanaman kapas transgenik
di atas lahan seluas 10.000 hektar di Sulawesi
Selatan. Saat itu Monagro berencana menebar
benih kapas transgenik Bolgart (Bt-cotton)
produksi Monsanto, perusahaan agribisnis yang
berpusat di Creve Coeur, Missouri, AS.

Kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)


memprotes rencana tersebut dan akhirnya
rencana tinggal rencana. Monagro tak kehilangan
akal. Kampanye besar-besaran untuk menerima
kapas transgenik dilakukan dengan melibatkan
petani kapas dan pakar di dalam dan luar negeri,
tentu yang pro terhadap tanaman transgenik.
Namun itu juga tak membuahkan hasil sampai
akhirnya pada Desember 2003 pemerintah
menghentikan komersialisasi kapas transgenik.
Pada 2007 Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian Departemen Pertanian melakukan riset


terhadap tanaman pertanian transgenik,
khususnya padi dan ja gung. Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian (BBBiogen) diketahui juga telah
membuat rekayasa genetik untuk padi, kedelai,
pepaya, kentang, ubi jalar dan tomat. Di
Indonesia, produk pertanian atau pangan
transgenik masih berada di tataran riset dan
pengembangan, belum pada tataran
komersialisasi secara besar-besaran. Padahal di
dalam UU No.7/1996 tentang Pangan disebutkan
penggunaan produk pangan transgenik
diperbolehkan di Indonesia. UU itu bahkan
diperkuat dengan PP No.69/1999 tentang Label
dan Iklan Pangan juga PP No.28/2004 tentang
Keamanan Mutu dan Gizi Pangan yang
menjelaskan definisi produk pangan transgenik,
pemeriksaan keamanan, serta persyaratan dan
tata cara pemeriksaan pangan produk rekayasa
genetika.

Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan


(BPOM) hingga kini belum ada produk makanan
olahan di Indonesia yang mengandung bahan
transgenik, meski bahan pangan hasil rekayasa
genetika banyak beredar di pasaran, terutama
komoditas kedelai dan jagung impor. BPOM
mensyaratkan produk makanan olahan yang
mengandung bahan transgenik di atas 5% wajib
mencantumkan kode Pangan Rekayasa Genetika
(PRG).

Dengan pencantuman kode PRG, masyarakat


sebagai konsumenseperti diberi hak untuk
memilih, mau produk makanan transgenik atau
yang non-transgenik. Lantas bagaimana dengan
keamanan makanan itu? Menurut Ketua Komisi
Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik
(KKH-PRG) Agus Pakpahan, masyarakat tak perlu
khawatir dengan keamanan produk pangan
transgenik. Berdasarkan riset produk ini ternyata
aman digunakan atau dikonsumsi manusia,
ujarnya.

BIODIVERSITAS

Rayap, Pangan Sumber Protein

Aries R. Prima Engineer Weekly

Selain sebagai kawasan lindung dan penghasil


tanaman industri, saat ini hutan juga dapat
berperan sebagai sumber pangan. Salah satunya
dengan mengolah rayap (infraordo Isoptera),
yang jumlahnya berlimpah di hutan untuk
dijadikan bahan makanan yang kaya protein.

Upaya ini digagas oleh Edhi Sandra, seorang


pengajar di Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan Institut Pertanian Bogor
(IPB) yang melihat potensi pemanfaatan dalam
pengembangan Mega Biodiversity Indonesia
sebagai sumber bahan organik yang tidak
ternilai.

Awalnya ide ini muncul ketika Edhi


berkesempatan berkunjung ke pasar tradisional
di Thailand dan menyaksikan banyak sekali
makanan yang berasal dari ulat bambu,
belalang, cacing, lipan, ulat sagu, laron, hingga
kalajengking. Kita juga bisa menggunakan dan
mengolah pangan yang kaya protein dari
berbagai binatang itu yang berlimpah di sekitar
kita, katanya. Ia juga menambahkan bahwa
sebetulnya ini bukan makanan aneh untuk kita,
terutama suku Jawa yang dikenal sudah
mengonsumsi laron. Di IPB sendiri pernah
dibuat permen dengan rayap sebagai salah satu
bahan pembuatnya.

Dalam prosesnya, pada tahap awal, harus


diseleksi hewan apa saja yang bisa dimakan,
tidak beracun, dan juga diperbolehkan dimakan
oleh penganut agama tertentu. Untuk tahap ini
bisa dilakukan pendekatan ilmiah maupun
empiris (telah dilakukan turun-temurun).
Kemudian, pada proses pengolahannya, harus
dilakukan pencegahan kontaminasi mikroba
yang bersifat toksik. Artinya proses harus
dilakukan di lingkungan bersih atau steril.

Sering terjadi kesalahan persepsi di masyarakat


awam bahwa mikroba akan mati dengan hanya

memasak atau menyeduh bahan makanan


tersebut. Hal ini tidak tepat, karena ada
beberapa jenis mikroba yang tidak mati dengan
proses tersebut. Biasanya digunakan autoclave
untuk membuat steril bahan makanan dengan
baik.Materi ini saya berikan kepada mahasiswa
bidang konservasi yang berkaitan dengan
pemanfaatan biodiversity. Dan juga kepada
siswa SMK yang melakukan praktik kerja di
Esha Flora, jelas Edhi. Berbagai produk pangan
inovatif telah dihasilkan oleh Esha Flora,
lembaga yang didirikan Edhi bersama istrinya
pada tahun 2000. Salah satunya adalah telur
dadar rayap. Rasanya seperti rebon, begitu
tambahnya.

Selain itu rayap ini bisa disubtitusi ke dalam


berbagai bentuk makanan, seperti bubur, biskuit
dan dodol. Artinya, kandungan protein
makanan tersebut akan meningkat dengan
harga yang relatif murah dan aman dimakan.

Masih banyak yang dapat dikembangkan dan


dapat dikonversi ke berbagai produk pangan,
pakan dan pupuk organik yang dapat menjadi
sumber pemasukan baru. Ke depannya,
budidaya rayap ini diharapkan akan
berkembang, bahkan dalam skala industri.***

Engineer Weekly
Pelindung: A. Hermanto Dardak, Heru Dewanto Penasihat: Bachtiar Siradjuddin Pemimpin
Umum: Rudianto Handojo, Pemimpin Redaksi: Aries R. Prima, Pengarah Kreatif: Aryo
Adhianto, Pelaksana Kreatif: Gatot Sutedjo,Webmaster: Elmoudy, Web Administrator:
Zulmahdi, Erni Alamat: Jl. Bandung No. 1, Menteng, Jakarta Pusat Telepon: 021- 31904251-52.
Faksimili: 021 31904657. E-mail: info@pii.or.id
Engineer Weekly adalah hasil kerja sama Persatuan Insinyur Indonesia dan Inspirasi Insinyur.

Anda mungkin juga menyukai