Anda di halaman 1dari 12

DARI REDAKSI

Pengembangan dan Pemanfaatan Gas di Indonesia

Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan


lingkungan yang bersih dan sehat, manusia terus
berupaya mengembangkan berbagai sumber energi
untuk menggantikan penggunaan energi dari minyak
bumi dan batu bara yang tidak ramah lingkungan.
Salah satunya adalah dengan meningkatkan produksi
dan penggunaan gas alam atau gas bumi.

Dalam Visi 25/25, Indonesia menargetkan


penggunaan gas sebesar 23 persen dari total
penggunaan energi nasional pada 2025. Bahkan
dalam peraturan presiden nomor 5 tahun 2006,
ditargetkan sebesar 30 persen. Kelihatannya target
Visi 25/25 bukan lah hal yang muluk, karena saat ini
saja penggunaan gas sudah mencapai sekitar 22
persen.

Saat ini gas alam digunakan sebagai bahan bakar


kendaraan dalam bentuk compressed natural gas
(CNG) dan liquefied natural gas (LNG), terutama
untuk kendaraan umum di kota-kota besar di
Indonesia, seperti Jakarta. Yang masih menjadi
masalah adalah stasiun pengisian bahan bakar gas
yang masih terbatas, sehingga kendaraan umum
hybrid masih lebih banyak menggunakan bahan
bakar minyak untuk beroperasi. Padahal jika
sebagian besar kendaraan umum menggunakan
bahan bakar gas, tingkat polusi udara Jakarta bisa
ditekan.

Selain digunakan sebagai bahan bakar untuk


kendaraan, gas alam juga dapat digunakan sebagai
sumber pembangkit listrik yang jauh lebih bersih dari
pada minyak dan batu bara, sumber bahan baku
untuk berbagai industri, seperti industri pengolahan
plastik, metanol, pupuk, dan baja. Dalam skala
rumah tangga, gas juga digunakan sebagai sumber
energi untuk memasak dan memanaskan atau
mendinginkan ruangan dan air. Bahkan gas karbon
dioksida dapat digunakan untuk merekayasa cuaca.

Gas alam biasanya ditemukan di ladang gas alam,


ladang minyak, dan di ladang batu bara. Namun, saat
ini, terutama di Amerika Serikat telah ditemukan
shale gas, yaitu gas alam yang diperoleh dari batuan
shale di kedalaman lebih dari 1.500 meter. Berbeda
dengan gas alam konvensional, untuk mengambil
shale gas diperlukan proses khusus yang disebut
rekah hidrolik, yaitu pengeboran ke dalam bumi, baik
secara vertikal maupun horisontal dengan
menggunakan air, bahan butiran seperti pasir propan
dan beberapa bahan kimia lain agar gas keluar lewat
pori-pori batuan dan mengalir menuju sumur
produksi.

Menurut beberapa kalangan, Indonesia mempunyai


potensi shale gas sebesar 1.000 2.000 tcf (trillion
cubic feet). Ini menjadikan Indonesia menjadi negara
dengan potensi shale gas terbesar di dunia. Jika
kemudian bisa dikelola dengan baik, termasuk jika
bisa meminimalisasi dampak negatif terhadap
lingkungan, Indonesia bisa keluar dari krisis energi
dan sekaligus mengurangi impor energi.

Mengingat potensi yang besar pemanfaatan gas


sebagai salah satu sumber energi yang ramah
lingkungan, pada edisi kali ini Engineer Weekly
mengetengahkan topik mengenai gas yang ditulis
oleh beberapa insinyur ahli dan praktisi yang
berpengalaman dalam bidang gas di Indonesia yang
diharapkan, ke depannya, akan mendorong
pengembangan dan pemanfaata
nnya untuk kesejahteraan
Indonesia dan umat manusia.

Selamat membaca.

Aries R. Prima
Pemimpin Redaksi

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT dan WIJAYA KARYA

GAS BUMI KITA UNTUK EKSPOR ATAU


DALAM NEGERI?

Qoyum

Dr.Ir.A. Qoyum Tjandranegara, Ing.Ec., SE, IPU

Langsung saja. Ekspor Gas Bumi (GB) ini tidak


menguntungkan Negara, tapi sebaliknya merugikan
Negara. Perubahannya terjadi setelah Indonesia
menjadi Net Oil Importer sejak tahun 1997.
Hitungannya sangat sederhana, harga GB + 55%
harga BBM. Begitu Negara mendapatkan uang hasil
ekspor (APBN) maka uang tersebut digunakan untuk
membeli BBM yang harganya lebih mahal sekitar
80% daripada harga GB.
Padahal GB dapat mengganti atau substitusi untuk
Premium, Pertalite atau Pertamax untuk
transportasi dan pengganti Solar untuk Pembangkit
Listrik dengan pembakaran yang sempurna (penuh)
100%, dengan lebih efisien 10 30% dan non
p[olutif. Jadi untuk membeli BBM itu Negara harus
keluar devisa sebesar 45% dari harga BBM itu.
Akibat lainnya adalah Indonesia memakai Energi
Mahal, sehingga menyebabkan biaya operasi
industri, biaya transportasi dan subsidi BBM dan
Listrik semakin mahal.

Jadi untuk apa diekspor lagi kalau hanya merugikan


Negara dan yang akibatnya menyengsarakan
masyarakat Indonesia. Dalam posisi harga minya
kini USD 40.0/bbl, maka harga ekspor LNG adalah
USD 4.4/mmbtu. Padahal harga rata-rata dalam
negeri sekitar USD 6.5/mmbtu di hulu. Dihilir
harganya dapat di atas USD 10.0/mmbtu.
Jadi kenapa cadangan di IDD Chevron dan Jangkrik
ENI harus diekspor, padahal Offtaker-nya sudah
ada, yaitu Konsorsium Pertamina, PLN dan PGN.

Mengenai masalah GB sebagai lifting minyak


mentah (CRUDE OIL /CO, selama ini banyak
pengamat Migas menyatakan bahwa memproduksi
CO dengan membakar GB adalah menguntungkan.
Pendapat tersebut tidak benar. Untuk memperoleh
BBM dari CO memerlukan proses yang biayanya bisa
mencapai 40% dari harga CO, sedangkan GB bisa
langsung mengganti BBM secara penuh.

Artinya GB dapat mengganti premium untuk


transportasi dan mengganti solar secara penuh
(100%) untuk pembangkt listrik.

Kalau Investor datang dari Jepang atau China untuk


membuat LNG maka pasti LNG tersebut akan
diekspor ke negara tersebut. Mereka sangat
berkepentingan. Kalau memang tidak dapat
dimanfaatkan untuk dalam negeri (domestik) maka
sebaiknya cadangan GB tersebut disimpan saja
dalam perut bumi. GB Masela itu sebaiknya
digunakan di dalam negeri sebagai bahan baku
untuk Pusat Kilang Petrokimia yang nilainya bisa
5-10 kali lebih tinggi daripada dijual sebagai energy
(LNG).
Dari GB Masela diusulkan dibuat 2.5 mtpa LNG
yang dipasarkan domestik atau sekitar 360 mmscfd.
Sisanya 360 mmscfd untuk pembuatanbahan baku
petrokimia selama 50 tahun, yang nilainya 2,5 harga
LNG untuk memproduksi Olefin, Amonia dan
Methanol. Prinsipnya jangan dijual rugi. Kalau dijual
harus ke domestik.

Indonesia harus menjadi negara yang maju dan


mandiri dengan membuat Aturan atau Kebijakan
yang kuat keberpihakannya kepada kepentingan
nasional. Jangan lagi mengekspor GB dan sebagai
gantinya impor BBM yang harganya 45% lebih
mahal. Jangan negara asing memakai energy murah
dan Indonesia memakai energy mahal.
Mengelola MIGAS membutuhkan TEROBOSAN.
Kebutuhan BBM untuk transportasi 50 juta kl/thn,
kalau mau diganti dengan gas separuhnya akan
dibutuhkan 2.500 mmscfd. Jika listrik 35.000 MW
juga 50%nya dengan GB maka kebutuhan GB 5
sampai 7 tahun ke depan bisa mencapai + 4.000
mmscfd.
Dari mana GB-nya kalau terus diekspor?.

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT dan WIJAYA KARYA

POTENSI SHALE GAS SEBAGAI PENGGANTI


GAS KONVENSIONAL
Ir. Iin A. Takhyan, ME
Ketua Badan Kejuruan Perminyakan, Persatuan Insinyur Indonesia
Sumber Daya Alam Konvensional adalah potensi
alam yang berasal atau diambil dari alam dengan
teknologi yang biasa digunakan (natural), seperti
minyak bumi, gas alam, panas bumi, dan batubara.
Sedangkan sumber daya alam nonkonvensional
adalah potensi alam yang banyak berasal dari temuan
atau pengembangan teknologi seperti accu (aki) atau
baterai, nuklir, solar cell dan sejenisnya. Sumberdaya
nonkonvensional tetap menggunakan bahan baku
atau bahan yang bersumber dari alam juga, hanya
saja diproses dan diubah dalam bentuk yang lebih
praktis untuk siap digunakan.

Migas Nonkonvensional

Migas nonkonvensional bukanlah suatu hal yang


baru. Potensi ini sudah teridentifikasi, namun masih
banyak diabaikan karena rendahnya permeabilitas
untuk mengalirkan migas tersebut. Contohnya yaitu
shale oil, oil sand, shale gas, tight sand dan coal-bed
methane (gas metana batu bara). Pada dasarnya
sumber migas nonkonvensional ini sangat besar bila
dibandingkan dengan migas konvensional. Aplikasi
teknologi perekahan (fracturing) dan pemboran
horizontal yang umum digunakan pada sumur migas
konvensional, merupakan terobosan dalam rangka
memproduksikan akumulasi migas nonkonvensional.

Di Amerika Serikat (AS), sejak tahun 2006, produksi


shale gas meningkat luar biasa. Hal ini berakibat
turunnya harga gas secara dramatis di sana. Harga
gas spot Henry-Hub, tahun 2006 mencapai 13 $ per
mmbtu (million british thermal unit), saat ini
hanya berharga antara 2 3$ per mmbtu.

yang sedang melakukan investasi besar besaran.


Impor LNG dari shale gas di AS diperkirakan akan
lebih murah karena harganya mengacu kepada
Henry-Hub yang merupakan harga patokan gas di
Amerika Serikat. Sementara harga LNG tradisional
umumnya mengacu kepada harga minyak.
Sementara untuk minyak nonkonvensional,
tambahan pasokan berasal dari shale/tight oil di AS
dan oil sand/tar sand di Kanada. Akibatnya,
sebagaimana diperkirakan oleh pakar migas
Leonardo Maugeri, produksi minyak AS dalam satu
dekade ke depan akan mendekati 12 juta barel per
hari, nomor dua di dunia setelah Saudi Arabia. Begitu
pula dengan Kanada, tambahan produksi minyak
akibat kegiatan migas non-konvensional akan
meningkat signifikan, mereka akan menjadi salah
satu dari 5 besar produsen minyak dunia. Sementara
Brazil, melalui produksi dari wilayah Laut Dalam,
produksi minyak (konvensional) mereka akan sedikit
diatas 4 juta barel per hari, meningkat 100% dari
produksi saat ini.
Tambahan produksi minyak dunia ke depan akan
didominasi oleh empat negara, tiga dari wilayah
Amerika (AS, Kanada dan Brazil), ditambah Irak yang
mewakili wilayah klasik Timur Tengah melalui
tambahan produksi dari sumur-sumur minyak yang
di rehabilitasi akibat kerusakan pada masa perang.
Meningkatnya aktivitas minyak nonkonvensional di
AS ini akan secara dramatis mengurangi kebutuhan
impor minyak negara tersebut.
Sumberdaya (resources) migas nonkonvensional di
dunia sangat melimpah, pertanyaannya: apakah
kesuksesan pengembangannya di AS dan Kanada
dapat dengan mudah di copy paste oleh negara
lain? Jawabannya: tidak, khususnya dalam jangka
pendek.

Adanya revolusi gas nonkonvensional ini sedikit


banyak akan memengaruhi geo politik energi.
Tambahan produksi gas nonkonvensional pada masa
yang akan datang akan berpengaruh terhadap rute
perdagangan LNG global. Majalah Petroleum
Economist (edisi April 2012) menulis ancaman serius
(lanjut ke halaman 5)
shale gas dari AS akan dirasakan oleh LNG Australia

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT dan WIJAYA KARYA

Kesuksesan industri migas nonkonvensional di kedua


negara tersebut disamping karena tersedianya
sumberdaya migas nonkonvensional yang sangat
besar, juga didukung oleh adanya akses terhadap
sistem pipanisasi lokal, faktor jarak yang relatif dekat
antara lokasi proyek dengan konsumen, ditambah
lagi dengan banyaknya perusahaan penyedia jasa
untuk kegiatan hulu migas dan ketersediaan
infrastruktur. Adanya kompetisi sesama perusahaan
yang terlibat dalam pengembangan gas
nonkonvensional mendorong terjadinya penurunan
biaya. Disamping itu di AS agak unik, berbeda
dengan negara lain dimana migas merupakan
kekayaan yang dikuasai negara, di AS migas
merupakan kepemilikan privat (private ownerhip of
mineral rights). Tentu saja faktor harga gas domestik
yang tinggi selama periode 2005 - 2008 juga menjadi
pendorong sehingga proyek menjadi ekonomis.
Shale Gas di Indonesia
Menurut Kementerian ESDM, Indonesia tengah
mengembangkan gas unconventional selain gas
metana batu bara (CBM) yaitu shale gas. Potensi
shale gas Indonesia diperkirakan sekitar 574 TSCF
(trillion standard cubic feet). Lebih besar jika
dibandingkan CBM yang sekitar 453,3 TSCF dan gas
bumi 334,5 TSCF.

teknologi, hal tersebut dapat dilakukan. Yang dulu


kita tidak bisa memerkirakan (dapat dilakukan),
ternyata bisa. Dulu itu kita tidak memerkirakan
orang bisa ke bulan, ternyata ke bulan, tutur
Widjajono.
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang
telah lebih dulu mengembangkan shale gas. Dampak
dari pengembangan itu, harga gas di AS turun tajam
karena ketersediaan gas yang melimpah dari shale
gas. Turunnya harga gas AS, tak ayal menarik
perhatian negara lain termasuk juga Indonesia. PT
Pertamina berencana mengimpor gas dari negara
tersebut.
Hingga saat ini, pemerintah telah menerima
pengajuan permintaan joint study untuk shale gas
lebih dari 10 investor. Dalam melakukan joint study
tersebut, investor akan bekerja sama dengan 5
perguruan tinggi yang telah ditunjuk pemerintah
yaitu ITB, UGM, UPN, Universitas Trisakti dan
Universitas Padjajaran.

Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan


pemerintah, hingga saat ini terdapat 7 cekungan di
Indonesia yang mengandung shale gas dan 1
berbentuk klasafet formation. Cekungan terbanyak
berada di Sumatera yaitu berjumlah 3 cekungan,
seperti Baong Shale, Telisa Shale dan Gumai Shale.
Mantan Wakil Menteri ESDM, mendiang Widjajono Sedangkan di Pulau Jawa dan Kalimantan, shale gas
Partowidagdo, pernah mengemukakan, potensi shale masing-masing berada di 2 cekungan. Di Papua,
gas Indonesia tersebut termasuk besar. Shale gas
berbentuk klasafet formation.
yang diperoleh dengan cara merekahkan batuan
induk, bisa dikembangkan lantaran kemajuan
Shale gas adalah gas yang diperoleh dari serpihan
teknologi. Jadisekarang orang cari gas tidak hanya
batuan shale atau tempat terbentuknya gas bumi.
di batuan reservoar, tapi juga di batuan induknya. Itu Proses yang diperlukan untuk mengubah batuan
semua karena kemajuan teknologi, tambahnya.
shale menjadi gas, sekitar 5 tahun. Pemerintah saat
Pengembangan shale gas, lanjut Widjajono,
ini tengah menyusun aturan hukum pengembangan
merupakan sesuatu hal yang tidak terpikirkan
shale gas.
sebelumnya. Namun dengan adanya kemajuan

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT dan WIJAYA KARYA

Teknologi Pengolahan Gas Alam


Angelika Permatasari, Faisal Harris, Utik Dwi Pratiwi
(PT Rekayasa Industri)
Sejarah gas alam dan potensinya
Gas alam pada awalnya tidak diakui sebagai sumber
energi tetapi dianggap sebagai gangguan karena
sering ditemukan selama proses menggali sumur
untuk air atau air garam di akhir 1800-an. Gas alam
kemudian mulai dikenal di benua Amerika diawal
abad 20 ketika digunakan sebagai pengganti "coal
gas" (gas yang diproduksi dari pemanasan batubara)
untuk bahan bakar sistem pemanas ruangan.
Penemuan pipa seamless sebagai bahan pipa dan
aplikasi metode pengelasan pipa telah mengatasi
masalah dalam transportasi gas alam. Kemajuan
teknologi untuk eksplorasi, eksploitasi dan
pengolahan gas alam juga telah menjadi pemicu
pertumbuhan penggunaan gas alam terutama untuk
kebutuhan pembangkit tenaga listrik, industri
domestik, transportasi, pupuk, dan sebagainya.
Penggunaan gas alam di Indonesia sendiri dimulai
tahun 1974 di Cirebon oleh Perusahaan Gas Negara
(PGN) sebagai penganti coal gas untuk sektor
rumah tangga, komersial dan industri.

Berdasarkan data dari data Badan Pusat Statistik


(BPS) tahun 104 menunjukkan Indonesia memiliki

cadangan gas alam mencapai 103,3 triliun kaki kubik


atau setara dengan 2,9 triliun liter bahan bakar
minyak (BBM). Data dari BP Statistical Review of
World Energy tahun 2015, kapasitas produksi
gas alam indonesia pada tahun 2014 adalah 73.4
milyar m3 dengan konsumsi indonesia 38.4 milyar
m3.

Pengolahan gas alam


Gas alam terdiri dari gas-gas hidrokarbon seperti
metana, etana, propana, butana, dan sejumlah kecil
hidrokarbon yang lebih berat. Gas-gas lain seperti
karbon dioksida, hidrogen sulfida, nitrogen oksida,
merkaptan, uap air dan beberapa jejak senyawa
organik dan anorganik juga hadir dalam gas alam.
Pengolahan gas alam diperlukan untuk mendapatkan
spesifikasi gas alam sesuai dengan persyaratan
produk yang baku, melindungi peralatan pengolahan
gas alam serta memastikan gas buang dari
pengolahan gas alam tidak merusak lingkungan.
(Lanjut ke halaman 7)

Diagram alir proses


pengolahan gas alam

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT dan WIJAYA KARYA

Proses pemisahan dari gas pengotor atau purifikasi


sekitar 5 % -vol sampai lebih dari 30 %-vol.
antara lain meliputi:
Produk yang diinginkan
Pemisahan fasa cair dari gas umpan,
Produk akhir dari pengolahan gas alam tergantung
Pemisahan fasa cair dari gas alam dilakukan untuk
pada lokasi pengguna dan jenis penggunaanya
menghindari cairan pengotor dan atau condensate
sehingga metoda transportasi menjadi hal yang
masuk dalam unit pemisahan gas asam karena akan penting. Metoda transportasi yang umum adalah
mengakibatkan foaming. Pemisahan pada
peyaluran melalui jalur perpipaan (pipeline),
umumnya dilakukan dengan menggunakan 2 phase
transportasi dalam bentuk Liquefied Natural Gas
vessel separator, cooler, scubber, dan atau filter.
(LNG) dengan kapal tanker LNG untuk
Fasa cair hasil dari pemisahan selanjutnya
pengangkutan jarak jauh dan transportasi dalam
dipisahkan antara fasa air dan fasa minyak, dimana
bentuk Compressed Natural Gas (CNG) dengan
masing-masing selanjutnya diolah dalam unit
road tanker atau kapal tanker CNG, untuk jarak
pengolahan air terproduksi (produced water
dekat dan menengah (antar pulau).
treatment) dan pengolahan kondensat (condensate
treatment) untuk mencapai spesifikasi yang
disyaratkan oleh lingkungan maupun pemilik
proyek
Pemisahan gas asam/acid gas (pada umumnya
meliputi CO2 serta sulfur komponen meliputi
antara lain H2S dan mercaptan) dari gas alam.
Pemisahan air dari gas alam,
Pemisahan pengotor lainnya apabila ada (mercury,
RSH, COS, CS2).
Sulfur recovery . Acid gas (CO2 dan H2S) dari hasil Skema proses
pemisahan gas pengotor dari gas alam selanjutnya
Berbagai teknologi tersedia untuk pengolahan gas
diolah dalam sulfur recovery unit untuk
alam mulai dari teknologi yang sudah umum dan
memisahkan H2S dari acid gas dan mengolahnya
proven sampai yang baru dan berlisensi. Teknologi
menjadi sulfur element baik dalam bentuk cake
yang akan digunakan harus disesuaikan dengan
maupun pellet.
kondisi umpan dan juga produk serta limbah yang
Selanjutnya gas CO2 yang masih mengandung
dihasilkan.
sebagian H2S dibakar dalam thermal oxidizer unit
Utilitas
untuk meyakinkan bahwa kandungan H2S sudah
Sistem pengolahan gas memerlukan sistem utilitas
cukup aman bagi lingkungan.
sebagai pendukung nya. Jenis utilitas yang
digunakan sangat bergantung pada skema proses
Penentuan teknologi pengolahan yang akan
yang digunakan, ketersediaan bahan baku utilitas,
diaplikasikan dalam suatu pabrik pengolahan gas
dan nilai ekonomis.
dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini:
Keekonomisan
Komposisi gas pengotor
Nilai ekonomi suatu pengolahan gas alam
Komposisi gas pengotor gas di Indonesia sangat
merupakan gabungan dari CAPEX (Capital
bervariasi tergantung pada reservoirnya. Sebagai
Expenditure) dan OPEX (Operating Expenditure)
contoh kadar CO2 di Indonesia bisa bervariasi dari
fasilitas tersebut.

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT dan WIJAYA KARYA

Penurunan Harga Migas, Untuk Siapa?

Oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyad, IPU *)

Dilema. Itulah yang dihadapi masyarakat dunia


umumnya dan Indonesia pada khususnya
sehubungan dengan penurunan harga minyak dan
gas bumi. Sebagaimana publik telah mahfum, sejak
akhir tahun 2014 hingga sekarang ini trend
penurunan harga minyak mentah (crude oil) terus
berlangsung, dari semula mendekati $100 per barel,
terus meluncur turun hingga pernah mencapai $27
per barrel. Tanda-tanda kenaikan pernah muncul,
namun berhenti di kisaran $32. Sebagian praktisi
dan ekonom migas memprediksi kenaikan kembali
harga minyak mentah hingga mencapai posisinya
seperti di awal 2015 belum terwujud hingga akhir
2016. Kondisi semacam ini menimbukan pertanyaan,
untuk siapa penurunan harga migas ini? Siapa yang
dirugikan dan diutungkan? Apa dampak terhadap
perekonomian Indonesia dalam jangka pendek dan
panjang?

Produksi Bertambah, Semakin Merugi


Dalam suatu presentasi publik beberapa waktu lalu,
Kepala SKK Migas Amin Sunaryadi menayangkan
rerata biaya produksi minyak di berbagai negara,
paling rendah dimiliki negara-negara Timur Tengah
berkisar antara $6 - 12 per barrel. Indonesia $29 per
barrel. Artinya, bagi negara negara Timur Tengah
penghasil minyak seperti Arab Saudi, Emirat Arab,
Irak, Iran Oman, meski harga turun hingga $27
secara teoretis mereka masih meraih untung.
Makanya, terlepas dari alasan politik dan keamanan
regional, mereka terus memompa minyak dari perut
bumi. Sebaliknya bagi Indonesia, semakin banyak
berproduksi, rugi yang ditanggung akan semakin
besar.

Hal inilah yang menjelaskan mengapa terhitung


mulai awal Maret 2016 kegiatan eksplorasi minyak
bumi di hampir semua Kontraktor Production
Sharing Company (PSC) dihentikan. Jika data yang

kami miliki tak keliru, saat ini tinggal 1 (satu) rig


pengeboran (drilling rig) yang masih aktif
beroperasi, itupun konon akan segera diakhiri. Bagi
Kontraktor PSC, jelas penurunan harga minyak
merupakan bencana. Komitmen lifting tak akan
terpenuhi, investasi yang bersumber dari hutang
kepada perbankan beresiko tak akan kembali, atau
mungkin bahkan alami default. Lebih jauh,
perusahan tidak beroperasi penuh, atau bahkan
tutup sama sekali, pemutusan hubungan kerja
terhadap para pegawai membayangi di hari-hari
kelabu ini.

Band Wagon Effect


Apakah bencana ini hanya dialami oleh Kontraktor
PSC? Ternyata tidak. Ada band wagon effect.
Industri penunjang operasi dan produksi Migas
merupakan sektor kedua yang terkena efek
penurunan harga minyak bumi. Untuk dapat
beroperasi dengan baik, Kontraktor PSC
membutuhkan dukungan dan kemitraan dengan
penyedia barang dan atau jasa yang bentuk dan
jenisnya luas sekali, mulai dari jasa geologi,
pengeboran, Engineering Procurement Construction
(EPC), fabrikasi, penyedia komponen utama
produksi seperti pompa, pipa, valve, pembangkit
listrik, jasa transportasi, pengelasan, pelatihan SDM,
jasa medis, dan perawatan fasilitas produksi hingga
penyediaan akomodasi dan makanan-minuman
(catering) untuk para pegawai. Mereka semua ini,
besar atau kecil, dalam skala usaha masing-masing,
terkena dampak. Sebagian dari mereka terpaksa
gulung tikar, sebagian lainnya masih bertahan
karena keberadaannya tidak bisa absen dari proses
produksi yang masih berlangsung, dan sebagian lagi
mulai alihkan bisnis ke sektor lain yang masih
memberi harapan.

(lanjut ke halaman 9)

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT dan WIJAYA KARYA

Sambungan: Penurunan Harga Migas, Untuk Siapa?

Mereka Gembira
Bila ada yang kesusahan, mungkinkah ada pihak
yang bahagia dengan adanya penurunan harga
minyak bumi ini? Semua manusia membutuhkan
energi. Ketika harga minyak turun, harga energi juga
turun. Apalagi bagi Indonesia, untuk memenuhi
kebutuhan minyak bumi, pasokan dari impor lebih
besar dari pada pasokan produksi dalam negeri. Wal
hasil, rumah tangga dan industri pengguna minyak
bumi diuntungkan. Sebagai konsumen Bahan Bakar
Minyak (BBM), rakyat senang karena harganya
turun, industri nonmigas tersenyum karena biaya
produksi terpangkas antara 3-8%.

Namun benarkah kegembiraan ini sudah


sepenuhnya dirasakan? Belum. BBM merupakan
komoditi yang harganya diatur Pemerintah. Meski
harga pasar dunia menurun tak berarti harga di
SPBU otomatis juga menurun. Ada regulasi koreksi
harga yang mestinya secara semi otomatis
menghasilkan koreksi harga. Inipun masih
dipengaruhi oleh ada tidaknya keengganan penyedia
BBM untuk melaksanakannya atau menundanya
sepanjang masih memungkinkan.

Solusi Kebijaksanaan
Penurunan harga minyak bumi secara bersamaan
memberi dua implikasi, ada yang alami bencana, dan
ada yang gembira. Hanya itu? Masih ada yang lain.
Jika mencermati kondisi di sekeliling kita, rasanya
penurunan harga minyak tidak atau belum
meresahkan masyarakat luas. Jikapun ada
keresahan, masih terbatas pada mereka yang
berhubungan langsung dengan industri minyak
bumi. Buktinya, mall masih ramai, jalanan tak
berkurang macetnya, perbincangan di media sosial
lebih banyak tentang isu-isu politik dan hal-hal
sepele lainnya. Semua ini mengindikasikan bahwa
perekonomian Indonesia sudah tidak lagi didominasi
oleh produktivitas sektor migas. Kebijaksanaan
ekonomi pemerintahan di masa lalu, untuk tidak

mengandalkan pada sektor migas, telah berhasil di


masa kini.

Jika demikian, apakah kita akan membiarkan saja


penurunan harga minyak bumi? Toh ada yang
berbahagia dan ada yang berhasil? Lihat sisi jangka
panjangnya. Membiarkan harga minyak bumi terus
berada pada posisi yang tidak memberi keuntungan
bagi para produsennya, sama saja memotong satu
anggota badan. Sebagai manusia, kita masih tetap
hidup, tetapi alami disfungsi. Begitupun negara ini,
satu sektor akan alami disfungsi. Ketergantungan
energi kepada negara lain akan lebih besar, ditinjau
dari perspektif geopolitik, negara akan hadapi
ancaman serius.

Siapa yang punya kemampuan untuk


menyelamatkan keluar dari dilema ini? Pertama
tentu para pelaku industri migas sendiri. Pola kerja
tidak efisien yang diduga masih menjadi ciri selama
ini perlu segera diperbaharui. Kedua, perlu
keterlibatan serius dari Pemerintahan yang dipilih
oleh rakyat. Apa yang diharapkan dari Pemerintah?
Segera gunakan kewenangannya untuk terbitkan
kebijaksanan intervensi, menetapkan harga crude oil
nasional. Harga yang memberi motivasi positif untuk
berproduksi dan terjangkau oleh konsumen BBM
nasional. Lho, harga minyak kan ditentukan oleh
mekanisme pasar? Betul, tetapi ini urusan hidup
mati negara, bangsa dan rakyat, kita sendiri yang
mengaturnya, bukan pemimpin negara lain. *****

*) Praktisi Bisnis, WaKa-Komtap Industri Penunjang


Migas Kadin Indonesia, Pengurus Persatuan Insinyur
Indonesia.

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT dan WIJAYA KARYA

Strategi Pengembangan Gasifikasi Batubara


Kalori Rendah di Indonesia
Habibie Razak
Batubara kita bertebaran di beberapa pulau besar
seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua.
Menurut kementerian ESDM, pada 2011, deposit
batubara Indonesia lebih dari 21 Milyar Ton dan total
sumberdaya batubara lebih dari 105 Milyar Ton.
Batubara yang diekspor, digunakan untuk produksi baja
dan bahan bakar pembangkit listrik dimana batubara
seperti ini dikategorikan sebagai batubara kalori tinggi
dan menengah yang memiliki calorific value (CV) lebih
dari 4500 Kcal/Kg dan water content-nya kurang dari
30 persen. Tipe atau jenis batubara yang lain adalah
batubara kalori rendah atau biasa disebut sebagai
lignite. Karena batubara kualitas rendah ini tidak
ekonomis untuk diekspor, Pemerintah Indonesia
menggiatkan batubara ini agar tetap digunakan di
dalam negeri. Solusi batubara jenis ini dapat
dimanfaatkan adalah dengan melakukan gasifikasi.
Definisi gasifikasi yang dibahas di sini adalah bahan
bakar mentah dalam hal ini batubara dioksidasi secara
parsial untuk menghasilkan produk yang diberinama
combustible gas. Produk utama dari hasil gasifikasi
adalah synthesis gas atau syngas, terdiri dari karbon
monoksida (CO), hidrogen (H2), metana (C1), karbon
dioksida (CO2) dan nitrogen (N2). Secara umum,
teknologi gasifikasi pada dasarnya dibagi dalam 3 jenis
yaitu fixed bed, fluidized bed dan entrained-flow
(slurry dan dry feed). Dari 3 jenis teknologi gasifikasi,
ada beberapa technology provider yang sejak 1980-an
atau sebelumnya digunakan untuk aplikasi coal
gasification antara lain digunakan di Shell, GE, Lurgi,
Mitsubishi Japan dan Siemens. Output/kualitas dari
syngas ini juga sangat ditentukan oleh seleksi teknologi
dari beberapa technology provider yang disebutkan
tadi.
Seleksi teknologi gasifikasi ini harus memerhatikan
beberapa hal antara lain: 1) karakteristik batubara yang
akan digasifikasi seperti CV, water content, ash content
dan sifat-sifat lainnya 2) produk hilir yang akan
dihasilkan dan aplikasinya. Syngas dapat diproses lagi
untuk membuat gas metana (SNG) yang kemudian bisa
untuk aplikasi LNG, methanol untuk kemudian bisa
dibuat olefin (polyethylene product), ammonia untuk
kemudian bisa dibuat urea, atau syngas ini bisa juga

digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit


listrik (IGCC), gasoline dan beberapa produk turunan
lainnya. 3) Skala pabrik dan tingkat reliabilitas yang
diharapkan. Besar kecilnya pabrik yang diinginkan dan
juga intensitas operasional pabrik juga sangat
dipertimbangkan di dalam memilih teknologi gasifikasi
yang ada , 4) Investasi kapital (capital investment),
sampai di mana tingkat kesiapan client/investor dan
jumlah dana yang tersedia untuk membangun coal
gasification plant ini. Coal gasification adalah medium
to high business investment scale, 5) Harga batubara
juga menentukan di dalam penentuan jenis teknologi
gasifikasi, dimana harga teknologi ini sangat bervariasi,
mulai dari produk China yang relatif murah sampai
produk-produk lebih mahal dari Amerika dan Eropa.

Kelayakan di Indonesia
Berbicara tentang layak atau tidaknya, ada 3 hal yang
menjadi pertimbangan yaitu: pertama, bisa atau
tidaknya dilakukan dengan pendekatan engineering.
Kedua, efek sosial dan lingkungan. Ketiga, aspek
komersial. Studi-studi kelayakan yang dilakukan oleh
konsultan internasional beberapa tahun terakhir
menunjukkan bahwa investasi gasifikasi batubara
cukup atraktif untuk dilakukan.
Strategi yang semestinya dilakukan oleh para
pengusaha batubara, termasuk pemilik tambang, adalah
membangun coal gasification plant di mulut tambang
untuk menghasilkan syngas atau turunannya yang
dijual di pasar domestik. Dengan asumsi harga
batubara kalori rendah (lignite) USD 40 per Metric Ton
atau kurang, memungkinkan buat kita membangun
coal gasification plants di beberapa daerah yang
memiliki cadangan batubara yang cukup besar seperti
di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Pemerintah sebagai regulator sudah semestinya
memulai menggalakan proses gasifikasi, mengubah low
rank coal ini menjadi sesuatu yang bermanfaat, yang
bernilai tambah (value added) yaitu gas untuk
kebutuhan bahanbakar kendaraan, pupuk, olefin,
pembangkit listrik dan berbagai macam produk lainnya.
Dengan demikian, kemandirian energi yang dicitacitakan dapat terwujud.

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT dan WIJAYA KARYA

10

Teori Terbentuknya Minyak dan Gas

Aries R. Prima Engineer Weekly

Ada dua aliran pendapat atau teori mengenai


terbentuknya minyak dan gas (migas) di Bumi, yaitu
aliran teori anorganik dan teori organik. Kalangan
penganut paham teori anorganik atau disebut juga
abiotik, memercayai bahwa migas terbentuk dari
proses alam biasa dan sudah ada sejak terbentuknya
Bumi. Sebaliknya penganut paham organik meyakini
bahwa migas terbentuk dari jasad makhluk hidup
purba yang mengalami tekanan tinggi di bawah
lapisan tanah dan telah mengalami proses alami
dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Namun dari berbagai literatur dan diskusi, lebih


banyak kalangan yang memercayai teori organik
dibandingkan dengan teori anorganik. Menurut
perhitungan, seorang ilmuwan dari universitas Utah,
Jeffrey S. Dukes, memerkirakan bahwa 1 galon
minyak mentah memerlukan 90 ton tumbuhan
sebagai bahan pembuatnya. Artinya untuk
mendapatkan 1 liter minyak mentah dibutuhkan
sekitar 23, 5 ton tumbuhan.

Makhluk hidup yang mati itu akan lapuk dan terurai,


karena tidak langsung terkubur. Namun tidak
semuanya akan berubah menjadi migas dalam
ratusan juta tahun kemudian. Hanya kurang dari
1/10.000 yang akan berubah menjadi energi fosil.
Banyak ilmuwan meyakini bahwa tumbuhan tingkat
tinggi akan lebih banyak menghasilkan migas, karena
rangkaian karbonnya yang lebih kompleks.

Selain tumbuhan, banyak juga ilmuwan yang


memercayai bahwa migas juga dibentuk oleh hewan
yang mati beratus juta tahun lalu atau pada jaman
Paleozic. Hewan yang dimaksud adalah palnkton
yang merupakan makanan hewan purba lainnya
seperti trilobite, crinoid dan brachiopoda.

Binatang yang mati akan terkubur dalam lumpur


atau pasir yang kemudian tertimbun oleh berbagai

material akibat peristiwa alami. Ini menyebabkan


hewan-hewan tersebut mendapat tekanan dan panas
yang semakin tinggi. Setelah ratusan juta tahun
tertimbun dengan tekanan dan panas yang tinggi,
binatang yang disebut fosil ini berubah menjadi
hidrokarbon.

Penemuan Minyak Bumi dan Gas


Menurut Ensiklopedia Britannica, minyak bumi
pertama kali ditemukan pada 5.000 tahun sebelum
masehi (SM) oleh bangsa Asyiria, Sumeria, dan
Babilonia kuno. Pada waktu itu mereka mendapatkan
minyak bumi di permukaan tanah, bukan dibor
seperti sekarang. Mereka meanfatakannya sebagi
obat luka, pencahar, dan pembasmi kutu.

Kemudian, pada abad pertama, bangsa Arab dan


Persia berhasil menciptakan teknologi destilasi
minyak bumi, yang menjadikannya menjadi mudah
terbakar. Saat itu lah pertama kali minyak bumi
digunakan sebagai bahan bakar. Pada jaman Harun
Al Rasyid, minyak bumi sebagai bahan bakar disebut
Naphta. Gas bumi ditemukan pada jaman berikutnya
yang muncul dan terbakar di atas permukaan tanah.

Sejarah mencatat bahwa pengeboran minyak bumi


pertama kali dilakukan di Pennsylvania, Amerika
Serikat di tambang milik Edwin L. Drake pada 1859.
Mulai abad ke-19, industri minyak modern muncul di
Amerika Serikat, yang kemudian diikuti oleh negaranegara Eropa dan Asia dan dikomersialisasikan.

Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung

IKPT dan WIJAYA KARYA

11

Engineer Weekly
Pelindung: A. Hermanto Dardak, Heru Dewanto Penasihat: Bachtiar Siradjuddin Pemimpin
Umum: Rudianto Handojo, Pemimpin Redaksi: Aries R. Prima, Pengarah Kreatif: Aryo
Adhianto, Pelaksana Kreatif: Gatot Sutedjo,Webmaster: Elmoudy, Web Administrator:
Zulmahdi, Erni Alamat: Jl. Bandung No. 1, Menteng, Jakarta Pusat Telepon: 021- 31904251-52.
Faksimili: 021 31904657. E-mail: info@pii.or.id
Engineer Weekly adalah hasil kerja sama Persatuan Insinyur Indonesia dan Inspirasi Insinyur.

Anda mungkin juga menyukai