Makalah Anter
Makalah Anter
EbbAllergic Response
(Tugas Anorganik Terapan)
Oleh
1317011011
13170110 22
1317011058
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016
I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kacang merupakan sumber yang kaya protein nabati, harganya murah dan
berlimpah di alam. Protein kacang dapat menimbulkan respon imunogenik
hipersensitif pada individu tertentu. Beberapa kontaminasi dapat
menyebabkan reaksi alergi yang kuat dan bahkan kematian. Banyak
prosedur pretreatment kimia telah dikembangkan dan diresepkan
sebelumnya untuk menghilangkan alergenitas ini. Adapun banyak tipe
algenitas pada kacang salah satunya yaitu alerginitas tipe satu. Alerginitas
tipe satu merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap makanan protein
kacang yang menyebabkan over-reaksi dari sistem kekebalan tubuh pada
beberapa orang dan dapat menyebabkan reaksi parah seperti anaphylaxis
dan bahkan kematian. Tingkat alergisitas (200 g) kacang tanah dapat
menyebabkan reaksi alergi yang serius pada orang yang memiliki alergi
kacang. Olahan makanan sering mengandung sejumlah kacang dari
kontaminasi silang, terutama dalam produk yang dibuat di fasilitas yang
juga memproses kacang. Hal ini bermanfaat untuk meminimalkan
kontaminasi silang dan mencegah konsumen mengalami alergi dari
Untuk saat ini, beberapa fraksi protein telah diidentifikasi sebagai kacang
alergen (kacang yang dapat menyebabkan alergi), yang paling umum
adalah tipe Arah 1 ke Ara h 8, di antaranya Arah 1 (vicilin, juga dikenal
sebagai conarachin) dan arah 2 (conglutin)dianggap alergen utama karena
mereka menyebabkan reaksi di 70-90% dari individu peka (Burks,
Sampson, & Bannon,1998). Arah 3 (protein glycinin), dianggap sebagai
kacang denmgan tingkat alergen yang kecil karena hanya 45% pasien
dengan alergi ini menunjukkan spesifik imunoglobulin E (IgE) dalam
tubuh mereka (Rabjohn et al., 1999). Adapun kacang lain yang
menunujukkan tingkat alergen kecil adalah kacang tipe Ara h 4 (diganti
sebagai Ara h 3.02) (Glycinin), Ara h 5 (profilin), Ara h 6 / Ara h 7
(conglutinin), dan Ara h 8 (Bet v 1) (Mittag et al., 2004). Arah 3 dan arah 4
adalah sama-sama dikenal sebagai arachin (Jedrichowsky & Vichers,
2010). Hal ini diyakini bahwa hanya dengan penghapusan utama alergen
B. Tujuan Penulisan
tabung eppendorf hingga habis (Monteiro & Prakash, 1994). Masingmasing sampel 2 ml tersebut dianalisi menggunakan spectra UV-Vis
untuk menentukan konsentrasi protein. Fraksi setelah volume kosong yang
mengandung berat molekul tinggi merupakan fraksi conarachin II
dikumpulkan. Sisa dari fraksi yang mengandung conarachin I
dikumpulkan setelah itu. Larutan protein yang terkonsentrasi
menggunakan kolom berkonsentrasi (Pall Corporation Macrosep Advance
Centrifugal Device) untuk menghilangkan buffer. Konsentrasi larutan
protein yang dihasilkan diukur dengan metode Bradford (Bradford, 1976).
B. Pemisahan arachin dari kacang tanah
Lemak dari tepung kacang dihomogenasikan dengan buffer fosfat 0,01 M
(saline) dan distirer selama 1 jam. Larutan tersebut disentrifugasi selama
30 menit pada suhu 27 oC dan pada kecepatan 3500g. Untuk
menghilangkan supernatant ditambahkan (NH4)2SO4 hingga mengendap
18% dan disimpan pada suhu 4oC selama 2 jam, lalu disentrifugasi lagi
selama 30 menit. Pelet itu kemudian dilarutkan dalam EB, sampai jenuh
9% dengan (NH4)2SO4 dan disimpan pada suhu 4oC selama 1 jam.
Kemudian larutan disentrifugasi lagi dan pelet itu dilarutkan dalam EB dan
didialisis dengan EB untuk menghilangkan kelebihan garam (Monteiro &
Prakash, 1994). Konsentrasi protein diukur dengan metode Bradford.
C. Studi Spektral
Conarachin II (0,9 mg / mL), conarachin I (0,8 mg / mL) dan arachin (0,76
mg / mL) diambil dalam buffer asetat (0,1 M, pH = 4.8) dan larutan garam
Mn (II) / Zn (II) / Ni (II) / Cr (III) / Co (II) / Fe (III) / Cu (II) (1 mM
F. Uji ELISA untuk conarachin II, conarachin I dan arachin dengan Fe (III)
Allerbind sebagai kit induk alergi untuk kacang tanah dipilih untuk
penelitian. Wells dilapisi dengan anti IgE untuk kacang tanah yang
disediakan oleh Lilac Medicare. Pada wells tersebut ditambahkan
kalibrator yang telah diketahui mengandung konsentrasi IgE tertentu.
Wells dicuci tiga kali untuk membuang kelebihan kalibrator yang tidak
terikat. Terbiotinilasi alergen kacang dicampur dengan larutan berbeda
(protein + penyangga + logam) yang berbeda konsentrasinya pada rasio
80 L: 20 L dan ditambahkan ke wells. Logam yang mengikat protein
dan menghilangkan alergenitas tidak akan mengikat epitop IgE (situs
untuk mengikat antibodi). Sebaliknya, logam yang tidak mengikat protein
akan memungkinkan protein untuk melekat pada IgE, dan bersaing dengan
allergen terbiotinilasi yang diketahui. Streptavidin HRP kemudian
ditambahkan. Antigen terbiotinilasi mengikat streptavidin HRP dan
terakumulasi pada plate. Jika ada protein logam yang efisien berikatan
dengan resultan penghancur alergenisitas, tidak ada persaingan dan HRP
akan lebih terikat. 100 L TMB substrat ditambahkan sehingga dihasilkan
warna biru setelah 30 menit diinkubasi dalam gelap. Kemudian
ditambahkan stop solutions dan warnanya berubah menjadi kuning.
Absorbansi diukur pada 450 nm untuk larutan kuning ini setelah 5 menit
dari menambahkan stop solution.
Gambar. 2a. Pola SDS-PAGE dari fraksi conarachin II dan fraksi arachin.
A. Spektrum absorbansi
Panjang gelombang serapan maksimum conarachin II dan arachin sekitar
280 nm dan bahwa dari conarachin yang ditemukan berada di 265 nm.
Absorbansi pada posisi K max masing-masing tetap tidak berubah pada
interaksi dengan garam Mn (II) / Zn (II) / Ni (II) / Cr (III) / Co (II). Namun
ada perubahan besar dengan Fe (III) dan Cu (II). Konstanta ikatan untuk
kompleks conarachin II, conarachin I dan arachin dengan Fe (III) dan Cu
(II) yang ditentukan dari plot Benesi Hildebrand. Konstanta ikatan dan
perubahan energi bebas karena asosiasi fraksi protein dengan ion logam
dihitung dengan menggunakan persamaan berikut dari data absorbansi dan
tercantum dalam Tabel 2 (Ghatak, Dey, Sen, & Sen, 2013):
fenilalanin. Band sekitar 990 cm-1 muncul untuk ikatan C-N-H2 di ketiga
protein. Sebuah perubahan drastis diamati dalam kompleks protein-Fe
(III).
B. Spektra fluroresensi
Emisi diamati setelah eksitasi pada 280 nm dan emisi maksimum untuk
conarachin II ditemukan pada 365 nm, untuk conarachin I di 425 nm dan
untuk arachin di 340 nm. Emisi tetap tidak berubah pada interaksi dengan
garam Mn (II) / Zn (II) / Ni (II) / Cr (III) / Co (II). Namun ada perubahan
besar dengan Fe (III) dan Cu (II). Konstanta pendinginan (KSV) dari
kompleks protein -Fe (III) dan protein-Cu (II) dihitung dari Data
fluoresensi dan ditabulasi pada Tabel 2. Nilai KSV dihitung dengan
menggunakan persamaan:
F0 / F = 1 + KSV (M)
C. Spektrum CD
Spektrokopis CD memberikan informasi mengenai struktur sekunder atas
interaksi protein dengan entitas asing. Spektrum CD dari ketiga protein,
conarachin II, conarachin I dan arachin menunjukkan bentuk yang khas
sesuai dengan struktur -helix pada dua minima di ~208 nm dan ~222 nm.
Efek interaksi protein dengan besi dipantau menggunakan spektrum CD.
D. Spektrum Raman
Spektrum Raman dari conarachin II, conarachin I dan arachin protein dan
kompleks dengan Fe (III) telah ditunjukkan dalam gambar. 3. Intens band
di sekitar 1000 cm-1, hadir di semua protein yang menunjukkan adanya
cincin benzena, yang merupakan puncak karakteristik fenilalanin. Intens
band di sekitar 990 cm-1 muncul karena adanya ikatan C-N-H2 di semua
protein. Terdapat perubahan drastis dalam spektrum Raman untuk
kompleks protein-Fe (III) yakni adanya pergeseran posisi puncak dari
protein bebas. Hal ini mungkin karena konformasi dan / atau orientational
perubahan protein karena mengikat dengan Fe.
E. Uji ELISA
Bagian 2), jelas bahwa untuk kompleks conarachin I-Fe dan arachin-Fe
lebih rendah respon alerginya dibandingkan protein bebas. Mungkin
karena itu diprediksi bahwa alergenisitas yang berasal dari fraksi
conarachin I dan arachin kacang tanah dapat dikurangi menggunakan
reaksi kompleksasi dengan Fe (III). Namun kompleks conarachin II-Fe
tidak memberikan perubahan alergenitas pada saat sebelum dan sesudah
kompleksasi di konsentrasi tertentu dari kalibrator (50 IU / mL).
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil diskusi jurnal ini, maka dapat disimpulkan bahwa protein pada
kacang seperti conarachin II, conarachin I dan arachin dapat mengikat Fe (III) dan
Cu (II) pada konsentrasi logam yang sedikit. Uji immun menggunakan teknik
ELISA in vitro kompetitif menunjukkan bahwa kompleksasi Fe (III) dengan
protein conarachin I dan arachin memberikan hasil yang cukup baik untuk
menurunkan respon alergi sampai batas tertentu. Cara baru terhadap penghapusan
respon alergi protein kacang yang dilakukan ini memiliki keuntungan yaitu biaya
yang efektif dan sederhana dalam perawatan dibandingkan dengan metode yang
telah ada.