Anda di halaman 1dari 57

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
TERAPI CAIRAN DAN TRANSFUSI

KONSEP UTAMA
1. Walaupun waktu-paruh cairan kristaloid didalam intravascular adalah 20-30
menit, kebanyakan cairan koloid mempunyai waktu paruh antara 3-6 jam
2. Pasien dengan hematocrit normal bisanya ditransfusi hanya setelah kehilangan
darah lebih dari 10-20% dari volume darahnya. Ini berdasarkan kondisi medis
pasien dan prosedur pembedahan.
3. Reaksi transfusi yang paling berat yaitu yang berhubungan dengan
inkompatibilitas ABO, antibody yang didapat secara alami dapat bereaksi
melawan antigen dalam transfusi (asing), mengaktifkan komplemen,dan
mengakibatkan hemolysis intravascular.
4.

Pada pasien yang dianestesi, manifestasi dari reaksi hemolytic akut adalah
kenaikan temperatur, tachycardia yang tak dapat dijelaskan,hypotensi,
hemoglobinuria dan oozing difus dari lapangan operasi

5. Transfusi leukocit termasuk produk darah dapat menjadi immunosuppressive.


6. Pasien immunosupresi dan Immunocompromised (misalnya,bayi premature
dan penerima transplantasi organ ) terutama peka terhadap
infeksi cytomegalovirus (CMV) yang berat melalui/sampai transfusi.
Seperti pasien yang hanya menerima CMV-NEGATIVE unit.
7. Penyebab tersering pendarahan dari transfusi darah yang massif adalah
dilutional thrombocytopenia.
8. Secara klinis hypocalcemia, menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada
pasien normal kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap 5 menit

9. Ketidakseimbangan asam basa yang paling sering setelah transfusi darah masif
adalah alkalosis metabolic post operative
Semua pasien kecuali mereka yang mengalami prosedur pembedahan minor
sebaiknya dipasang infus dan terapi cairan intravena.. Beberapa pasien dapat
memerlukan transfusi darah atau komponen darah. Pemeliharaan volume
intravascular normal adalah sangat penting pada perioperative. Anesthesiologis
harus bisa menilai volume cairan intravascular dengan akurat dan menggantikan
deficit cairan dan elektrolit ,.Kesalahan di dalam penggantian cairan atau transfusi
dapat mengakibatkan kematian.

PENILAIAN VOLUME CAIRAN INTRAVASSCULAR

Penilaian dan evaluasi

klinis volume intravascular biasanya dapat

dipercaya, sebab pengukuran volume cairan kompartemen belum ada. Volume


cairan intravascular dapat ditaksir dengan menggunakan pemeriksaan fisik atau
laboratorium atau dengan bantuan monitoring hemodynamic yang canggih.
Dengan mengabaikan metoda yang ada, evaluasi serial diperlukan untuk
mengkonfirmasikan kesan awal dan panduan terapi cairan. Lebih dari itu, perlu
melengkapi satu sama lain, sebab semua parameter tidak langsung, pengukuran
volume nonspecific; kepercayaan pada tiap parameter mungkin salah dan oleh
karena itu penuh resiko

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik preoperative adalah yang paling dapat dipercaya .Tandatanda hypovolemia ( Tabel 29-1) meliputi turgor kulit, hidrasi selaput lendir,
denyut nadi yang kuat, denyut jantung dan tekanan darah dan orthostatic berubah
dari yang terlentang ke duduk atau posisi berdiri, dan mengukur pengeluaran urin.
Banyak obat yang pakai selama pembiusan, seperti halnya efek fisiologis dari
stress pembedahan, mengubah tanda-tanda ini dan memandang tak dapat
dipercaya periode sesudah operasi. Selama operasi, denyut nadi yang kuat (radial

atau dorsalis pedis), pengeluaran urin, dan tanda tidak langsung, seperti respon
tekanan darah ke tekanan ventilasi yang positive dan vasodilatasi atau efek
inotropic negative dari anestesi, adalah yang paling sering digunakan.
Pitting edema-presacral pada pasien yang tidur atau pada pretibial pada
pasien yang dapat berjalan- peningkatan pengeluaran urin adalah tanda
hypervolemia pada pasien dengan dengan jantung, hepar, dan fungsi ginjal yang
normal. Gejala lanjut dari hypervolemia yaitu tachycardia, pulmonary crackles,
wheezing, cyanosis, dan frothy pulmonary secretion.
Table29-1. Tanda-tanda kehilangan cairan (hypovolemia).
Tanda-tanda

5%

10%

15%

Membran mukosa

Kering

Sangat kering

Parched

Sensorium

Normal

Lethargic

Obtunded

ada

Marked

Perubahan ortostatik
In heart rate

>15 x/mnt

In blood pressure

>10mmHg

Produksi Urin

sedikit berkurang

kurang

sangat kurang

Nadi

Normal/meningkat

Meningkat >100x/m

Meningkat>120

Normal

sedikit menurun

menurun

x/m
Tekanan darah

EVALUASI LABORATORIUM
Beberapa pengukuran laboratorium digunakan untuk menilai volume
intravascular dan ketercukupan perfusi.jaringan Pengukuran ini meliputi serial
hematocrits, seperti pH darah arteri, berat jenis atau osmolalitas urin, konsentrasi
klorida atau natrium dalam urin, Natrium dalam darah, dan creatinin serum, ratio
blood urea nitrogen (perbandingan BUN). Ini hanya
intravascular secara tidak langsung

pengukuran volume

dan sering tidak bisa dipercaya

selama

operasi sebab dipengaruhi oleh beberapa variabel dan hasilnya sering terlambat.
Tanda-tanda laboratorium dari dehidrasi yaitu peningkatan hematocrit progresif
acidosis metabolic yang progresif, berat jenis urin >1.010, Natrium dalam urin

<10 mEq/L, osmolalitas

>450 mOsm/kg, hypernatremia, dan ratio BUN-

-kreatinin >10:1. Tanda-tanda pada foto roentgen adalah meningkatnya


vaskularisasi paru dan interstitiel

yang ditandai dengan ( Kerly " B") atau

infiltrasi difus pada alveolar adalah tanda-tanda dari overload cairan

PENGUKURAN HEMODYNAMIC
Monitoring hemodynamik telah dibahas dalam Bab 6. Monitoring CVP
diindikasikan pada pasien dengan jantung dan fungsi paru yang normal jika status
volume sukar untuk dinilai dengan alat lain atau jika diharapkan adanya
perubahan yang cepat. Pembacaan CVP harus diinterpretasikan

nilai yang

rendah(< 5 mm Hg) mungkin normal kecuali jika ada tanda-tanda hypovolemia.


Lebih dari itu, respon dari bolus cairan ( 250 mL) yang ditandai dengan: sedikit
peningkatan ( 1-2 mm Hg) merupakan indikasi penambahan cairan, sedangkan
suatu peningkatan yang besar (> 5 mm Hg) kebutuhan cairan cukup dan evaluasi
kembali status volume cairan.. CVP yang terbaca >12 mmHg dipertimbangkan.
hypervolemia dalam disfungsi ventricular kanan, meningkatnya tekanan
intrathorakal, atau penyakit pericardial restriktif.
Monitoring tekanan arteri Pulmonary dimungkinkan jika CVP tidak
berkorelasi dengan gejala klinis atau jika pasien mempunyai kelainan primer atau
sekunder dari fungsi ventrikel kanan, kelainan fungsi tubuh; yang

juga

berhubungan dengan paru-paru atau penyakit pada ventrikel kiri. Pulmonary


Artery

Occlusion

Pressure

(PAOP)

<8

mmHg

menunjukkan

adanya

hypovolemia ,dikonfirmasi dengan gejala klinis; bagaimanapun, nilai <15 Mm Hg


berhubungan dengan pasien yang hipovolemia relative dengan compliance
ventrikel lemah. Pengukuran PAOP >18 mmHg dan biasanya menandakan beban
volume ventrikel kiri yang berlebih. Adanya penyakit katup Mitral (stenosis),
stenosis aorta yang berat, atau myxoma atrium kiri atau thrombus mengubah
hubungan yang normal antara PAOP dan volume diastolic akhir ventrikel kiri
( lihat Bab 6, 19, 20, dan 21). Peningkatan tekanan pada thorak dan tekanan pada
jalan nafas paru

terlihat adanya kesalahan; sebagai konsekwensi, semua

pengukuran tekanan selalu diperoleh pada waktu akhir expirasi .

Teknik terbaru mengukur volume ventrikel dengan transesophageal


echocardiography atau oleh radioisotop dan lebih akurat tetapi belum banyak
tersedia.

CAIRAN INTRAVENA
Terapi cairan intravena terdiri dari cairan kristaloid, koloid, atau suatu
kombinasi kedua-duanya. Solusi cairan kristaloid adalah larutan mengandung ion
dengan berat molekul rendah (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan
cairan koloid berisi ion dengan berat molekul tinggi seperti protein atau glukosa.
Cairan koloid menjaga tekanan oncotic koloid plasma ( lihat Bab 28) dan sebagian
besar ada di intravascular, sedangkan cairan

kristaloid dengan cepat

didistribusikan keseluruh ruang cairan extracellular.


Ada kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid dan kristaloid untuk
pasien dg pembedahan. Para ahli mengatakan bahwa koloid dapat menjaga plasma
tekanan oncotic plasma, koloid lebih efektif dalam mengembalikan volume
intravascular dan curah jantung.Ahli yang lain mengatakan bahwa pemberian
cairan kristaloid efektif bila diberikan dalam jumlah yang cukup. Pendapat yang
mengatakan bahwa koloid dapat menimbulkan edema pulmoner pada pasien
dengan peningkatan permeabilitas kapiler paru adalah tak benar, sebab tekanan
onkotik interstitial paru-paru sama dengan plasma ( lihat Bab 22). Beberapa
pernyataan dibawah ini yang mendukung :
1. Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah cukup sama efektifnya dengan koloid
dalam mengembalikan volume intravascular.
2. Mengembalikan deficit volume intravascular

dengan kristaloid biasanya

memerlukan 3-4 kali dari jumlah cairan jika menggunakan koloid.


3. Kebanyakan pasien yang mengalami pembedahan mengalami deficit cairan
extracellular melebihi deficit cairan intravascular..
4. Defisit cairan intravascular yang berat dapat dikoreksi dengan cepat dengan
menggunakan cairan koloid.

5. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar (> 4-5 L) dapat menimbulkan
edema jaringan.
Beberapa
mengganggu

kasus

transport

membuktikan

oksigen,

bahwa, adanya

memperlambat

edema

penyembuhan

jaringan
luka

dan

memperlambat kembalinya fungsi pencernaan setelah pembedahan..

CAIRAN KRISTALOID
Cairan kristaloid merupakan cairan untuk resusitasi awal pada pasien
dengan syok hemoragik dan septic syok seperti pasien luka bakar, pasien dengan
trauma kepala untuk menjaga tekanan perfusi otak, dan pasien dengan
plasmaphersis dan reseksi hepar. Jika 3-4 L cairan kristaloid telah diberikan, dan
respon hemodinamik tidak adekuat, cairan koloid dapat diberikan.
Ada beberapa macam cairan kristaloid yang tersedia ( Tabel 29-2).
Pemilihan cairan tergantung dari derajat dan macam kehilangan cairan. Untuk
kehilangan cairan hanya air, penggantiannya dengan cairan hipotonik dan disebut
juga

maintenance type solution. Jika hehilangan cairannya air dan elektrolit,

penggantiannya dengan cairan isotonic dan disebut juga replacement type


solution. Dalam cairan, glukosa berfungsi menjaga tonisitas dari cairan atau
menghindari ketosis dan hipoglikemia dengan cepat. Anak- anak cenderung akan
menjadi hypoglycemia(< 50 mg/dL) 4-8 jam puasa. Wanita mungkin lebih cepat
hypoglycemia jika puasa (> 24 h) disbanding pria.
Kebanyakan jenis kehilangan cairan intraoperative adalah isotonik, maka
yang biasa digunakan adalah replacement type solution, tersering adalah Ringer
Laktat. Walaupun sedikit hypotonic, kira-kira 100 mL air per 1 liter mengandung
Na serum 130 mEq/L, Ringer Laktat mempunyai komposisi yang mirip dengan
cairan extraselular dan paling sering dipakai sebagai larutan fisiologis. Laktat
yang ada didalam larutan ini dikonversi oleh hati sebagai bikarbonat. Jika larutan
salin diberikan dalam jumlah besar, dapat menyebabkan dilutional acidosis
hyperchloremic oleh karena Na dan Cl yang tinggi (154 mEq/L): konsentrasi
bikarbonat plasma menurun dan konsentrasi Clorida meningkat.

Larutan saline

baik untuk alkalosis metabolic hipokloremik dan

mengencerkan Packed Red Cell untuk transfusi. Larutan D5W digunakan untuk
megganti deficit air dan sebagai cairan pemeliharaan pada pasien dengan restriksi
Natrium. Cairan hipertonis 3% digunakan pada terapi hiponatremia simptomatik
yang berat (lihat Bab 28). Cairan 3 7,5% disarankan dipakai untuk resusitasi
pada pasien dengan syok hipovolemik. Cairan ini diberikan lambat karena dapat
menyebabkan hemolisis.

CAIRAN KOLOID
Aktifitas osmotic dari molekul dengan berat jenis besar dari cairan koloid
untuk menjaga cairan ini ada di intravascular. Walaupun waktu paruh dari cairan
kristaloid dalam intravascular 20-30 menit, kebanyakan cairan koloid mempunyai
waktu paruh dalam intravascular 3-6 jam. Biasanya indikasi pemakaian cairan
koloid adalah :
1. Resusitasi cairan pada pasien dengan deficit cairan intravascular yang
berat ( misal : syok hemoragik ) sampai ada transfusi darah.
2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat atau keadaan dimana
Kehilangan protein dalam jumlah besar seperti luka bakar. Pada pasien luka
bakar, koloid diberikan jika luka bakar >30% dari luas permukaan tubuh atau
jika > 3-4 L larutan kristaloid telah diberikan lebih dari 18-24 jam setelah
trauma.
Beberapa klinisi menggunakan cairan koloid yang dikombinasi dengan kristaloid
bila dibutuhkan cairan pengganti lebih dari 3-4 L untuk transfuse. Harus dicatat
bahwa cairan ini adalah normal saline ( Cl 145 154 mEq/L ) dan dapat juga
menyebabkan asidosis metabolic hiperkloremik.
Banyak cairan koloid kini telah tersedia. Semuanya berasal dari protein plasma
atau polimer glukosa sintetik.
Koloid yang berasal dari darah termasuk albumin ( 5% dan 25 % ) dan fraksi
plasma protein ( 5% ). Keduanya dipanaskan 60 derajat selama 10 jam untuk

meminimalkan resiko dari hepatitis dan penyakit virus lain. Fraksi plasma protein
berisi alpha dan beta globulin yang ditambahkan pada albumin dan menghasilkan
reaksi hipotensi. Ini adalah reaksi alergi yang alami da melibatkan aktivasi dari
kalikrein.
Koloid sintetik termasuk Dextrose starches dan gelatin. Gelatin berhubungan
dengan histamine mediated- allergic reaction dan tidak tersedia di United
States.Dextran terdiri dari Dextran 70 ( Macrodex ) dan Dextran 40, yang dapat
meningkatkan aliran darah mikrosirkulasi dengan menurunkan viskositas darah.
Pada Dextran juga ada efek antiplatelet. Pemberian melebihi 20 ml/kg/hari dapat
menyebabkan masa perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal.
Dextran dapat juga bersifat antigenic dan anafilaktoid ringan dan berat dan ada
reaksi anafilaksis. Dextan 1 ( Promit ) sama dengan Dextran 40 atau dextran 70
untuk mencegah reaksi anafilaxis berat.;bekerja seperti hapten dan mengikat
setiap antibody dextran di sirkulasi.
Hetastarch (hydroxyetil starch) tersedia dalam cairan 6 % dengan berat
molekul berkisar 450.000. Molekul-molekul yang kecil akan dieliminasi oleh
ginjal dan molekul besar dihancurkan pertama kali oleh amylase. Hetastarch
sangat efektif sebagai plasma expander dan lebih murah disbanding albumin..
Lebihjauh, Hetastarch bersifat nonantigenik dan reaksi anafilaxisnya jarang.
Studi masa koagulasi dan masa perdarahan umumnya tidak signifikan dengan
infus 0.5 1 L. Pasien transplantasi ginjal yang mendapat hetastarch masih
controversial. Kontroversi ini dihubungkan juga dengan penggunaan hetastarch
pada pasien yang menjalani bypass kardiopulmoner. Pentastarch, cairan starch
dengan berat molekul rendah, sedikit efek tambahannya dan dapat menggantikan
hetastarch.
TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian deficit cairan, kehilangan cairan
normal dan kehilangan cairan lewat luka operasi termasuk kehilangan darah.
KEBUTUHAN PEMELIHARAAN NORMAL

Pada waktu intake oral tidak ada, deficit cairan dan elektrolit dapat terjadi dengan
cepat karena adanya pembentukan urin yang terus berlangsung,sekresi
gastrointestinal, keringat dan insensible losses dari kulit dan paru. Kebutuhan
pemeliharaan normal dapat diestimasi dari table 29-3
Tabel 29-3. Estimasi kebutuhan cairan pemeliharaan.
Berat
10 kg pertama
10-20 kg kedua
Masing-masing kg > 20 kg

kebutuhan
4 ml/kg/jam
2 ml/kg/jam
1 ml/kg/jam

Contoh: berapa kebutuhan cairan pemeliharaan untuk anak 25 kg? Jawab:


40+20+5=65 ml/jam

PREEXISTING DEFICIT
Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan
akan menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini
dapat diperkirakan dengan mengalikan normal maintenance dengan lamanya
puasa.
Untuk 70 kg, puasa 8 jam, perhitingannya (40+20+50)ml/jam x 8 jam atau
880 ml. ( Pada kenyataannya, defisit ini dapat kurang sebagai hasil dari konservasi
ginjal)
Kehilangan cairan abnormal sering dihubungkan dengan defisit
preoperative.

Perdarahan preoperative, muntah , diuresis dan diare sering

dihubungkan.

mengarahkan dan janga waktu prosedur yang berhub. dg

pembedahan

[itu].

Pembagian

kembali

fluids-often

[yang]

internal

[disebut/dipanggil] " spacing"-can ketiga menyebabkan pergeseran cairan


raksasa(masive) dan intravascular penghabisan menjengkelkan. Traumatized,
dibuat

marah/dikobarkan,

atau

kena

infeksi/menyebar

jaringan/tisu

( [seperti/ketika] terjadi dengan membakar, pembedahan berhub. dg pembedahan


luka-luka/kerugian luas, atau radang selaput perut) dapat menyita sejumlah [yang]
besar mengalir dalam

interstitial [ruang;spasi] nya


9

dan kaleng translocate

mengalir ke seberang serosal permukaan ( ascites) atau ke dalam bowel satuan


cahaya. Hasil adalah suatu peningkatan wajib di (dalam) suatu nonfunctional
komponen extracellular kompartemen, [sebagai/ketika/sebab] cairan ini tidak siap
berimbang dengan sisa dari kompartemen [itu]. Pergeseran Cairan ini tidak bisa
dicegah dengan restriksi cairan dan kompartemen cairan intrasel dan extrasel
fungsional. Disfungsi s sebagai hasil dari hypoxia dapat menyebabkan
peningkatan volume cairan intracel, juga lebih jauh kompartemen extrasel yang
fungsional. Pada akhirnya, hilangnya cairan limfe mungkin terjadi selama diseksi
retroperitoneal luas.

Penggantian Cairan Intraoperatif


Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan
penggantian deficit cairan preoperative seperti halnya kehilangan cairan
intraoperative ( darah, redistribusi dari cairan, dan penguapan). Pemilihan jenis
cairan intravena tergantung dari prosedur pembedahan dan perkiraan kehilangan
darah. Pada kasus kehilangan darah minimal dan adanya pergeseran cairan, maka
maintenance solution dapat digunakan. Untuk semua prosedur yang lain Ringer
Lactate biasa digunakan untuk pemeliharaan cairan. Idealnya, kehilangan darah
harus digantikan dengan cairan kristaloid atau koloid untuk memelihara volume
cairan intravascular ( normovolemia) sampai bahaya anemia berberat lebih
(dibanding) resiko transfusi. Pada kehilangan darah dapat diganti dengan transfuse
sel darah merah. Transfusi dapat diberikan pada Hb 7-8 g/dL (hematocrit 2124%).
Hb <7 g/dL

cardiac output meningkat untuk menjaga agar transport

Oksigen tetap normal. Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan penyakit
yang berhubungan dengan jantung dan paru-paru. Batas lebih tinggi mungkin
digunakan jika diperkirakan ada kehilangan darah yang terus menerus. Dalam
prakteknya, banyak dokter memberi Ringer Laktat kira-kira 3-4 kali dari
banyaknya darah yang hilang, dan cairan koloid dengan perbandingan 1:1 sampai
dicapai Hb yang diharapkan.
Table 29-5. Average blood volumes.
10

Age

Blood Volume

Neonates
Premature

95 Ml/Kg

Full-Term

85 Ml/Kg

Infants

80 Ml/Kg

Adults
Men

75ml/Kg

Woman

65 Ml/Kg

Pada keadaan ini

kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red

blood cell.
Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan
dengan perkiraan volume darah ( Tabel 29-5). Pasien dengan hematocrit normal
biasanya ditransfusi hanya setelah kehilangan darah >10-20% dari volume darah
mereka. Sebenarnya tergantung daripada kondisi pasien] dan prosedur dari
pembedahan . Perlu diketahui jumlah darah yang hilang untuk penurunan
hematocrit sampai 30%, dapat dihitung sebagai berikut:

Estimasi volume darah dari Tabel 29-5.

Estimasi volume sel darah merah ( RBCV) hematocrit preoperative


( RBCVpreop).

Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga


volume darah normal .

Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika . hematocrit


30%; RBCVlost= RBCVpreop-RBCV30%.

Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3

CONTOH

11

Seorang perempuan 85 kg mempunyai suatu hematocrit preoperatif 35%.


Berapa banyak jumah darah yang hilang untuk menurunkan hematocritnya sampai
30%?
Volume Darah yang diperkirakan= 65 mL/kg x 85 kg= 5525 ml.
RBCV35%= 5525 x 35%= 1934 mL.
RBCV30%= 5525 x 30%= 1658 mL
Kehilangan sel darah merah pada 30%= 1934- 1658= 276 mL.
Perkiraan jumlah darah yang hilang = 3 x 276 mL= 828 mL.
Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien
kehilangan darah melebihi 800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan sampai
terjadi penurunan hematocrit hingga 24% ( hemoglobin< 8.0 g/dL), tetapi ini
diperlukan untuk menghitung banyaknya darah yang hilang,contoh pada penyakit
jantung dimana diberikan transfusi jika kehilangan darah 800 mL .

Table29-6. Redistribusi dan evaporasi kehilangn cairan saat pembedahan.


DERAJAT DARI TRAUMA JARINGAN

PENAMBAHAN

CAIRAN
MINIMAL (contoh hernioraphy)

0 2 ML/KG

SEDANG ( contoh cholecystectomy)

2 4 ML/KG

BERAT (contohreseksi usus)

4 8 ML/KG

Petunjuk lain yang biasa digunakan sebagai berikut: ( 1) satu unit sel darah
merah sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan hematocrit 2-3% (pada
orang dewasa); dan ( 2) 10mL/kg transfusi sel darah merah akan meningkatkan
hemoglobin 3g/dL dan hematocrit 10%.

Menggantikan hilangnya cairan redistribusi dan evaporasi

12

Sebab kehilangan cairan ini dihubungkan dengan ukuran luka dan tingkat
manipulasi dan pembedahan, dapat digolongkan menurut derajat trauma jaringan.
Kehilangan cairan tambahan ini dapat digantikan menurut Tabel 29-6, berdasar
pada apakah trauma jaringan adalah minimal, moderat, atau berat. Ini hanyalah
petunjuk, dan kebutuhan yang sebenarnya bervariasi pada masing-masing pasien

TRANSFUSI
GOLONGAN DARAH
Membran sel darah merah berisi sedikitnya 300 faktor penentu antigenic
berbeda. Sedikitnya 20 antigen golongan darah terpisah dapat dikenal; tanda dari
masing-masing adalah di bawah control genetic dari chromosom loci. Kebetulan,
hanya ABO dan Rh Sistem yang penting pada transfusi darah. Setiap orang
biasanya menghasilkan antibody ( alloantibodies). Antibodi bertanggung jawab
untuk reaksi-reaksi dari transfusi. Antibodi dapat menjadi alami atau sebagai
respon atas sensitisasi dari suatu kehamilan atau transfusi sebelumnya.
Sistem ABO
Kromosomal untuk sistem ABO ini menghasilkan dua alleles: A dan B.
Masing-masing merepresentasikan suatu enzim yang merupakan modifikasi dari
suatu permukaan sel glycoprotein, menghasilkan antigen

yang berbeda.

(Sebenarnya, ada berbagai varian A dan B.) Hampir semua individu tidak
mempunyai A atau B " natural" yang menghasilkan antibody [ sebagian besar
immu-noglobulin M ( IgM)] melawan antigens ( Tabel 29-7) di dalam tahun
pertama kehidupan. Antigen H adalah precursor dari system ABO tetapi
diproduksi oleh suatu chromosom tempat berbeda. Tidak adanya antigen H( hh
genotype, juga disebut Bombay pheno-type) mencegah munculny gen A atau B;
individu dengan kondisi sangat jarang ini akan mempunyai anti-A, anti-B, dan
anti-H antibodi.

Sistem Rh
13

Sistem Rh ditandai oleh dua gen yang menempati chromosome 1. Ada


sekitar 46 Rh-berhubungan dengan antigens, tetapi secara klinis, ada lima antigen
utama ( D, C, c, E, dan e) dan menyesuaikan dengan antibody .Biasanya, ada atau
tidak
Allele yang paling immunogenic dan umum, D antigen, dipertimbangkan. KiraKira 80-85% tentang populasi orang kulit putih mempunyai antigen D. Individu
yang kekurangan allele ini disebut Rh-Negative dan biasanya antibodi akan
melawan antigen D hanya setelah terpapar oleh ( Rh-Positive) transfusi
sebelumnya atau kehamilan ( seorang Ibu Rh-Negative melahirkan bayi RhPositive).
Sistem Lain
Sistem lain ini meliputi antigen Lewis, P, li, MNS, Kidd, Kell, Duffy,
Lutheran, Xg, Sid, Cartright, YK, dan Chido Rodgers antigens. Kebetulan, dengan
beberapa perkecualian ( Kell, Kidd, Duffy, Dan), alloantibodi melawan sistem ini
jarang menyebabkan reaksi hemolytic serius.

TES KOMPATIBILITAS
Tujuan tes ini adalah untuk memprediksi dan untuk mencegah reaksi
antigen-antibody sebagai hasil transfusi sel darah merah. Donor dan penerima
donor darah harus di periksa adanya antibody yang tidak baik.
Table29-7. Golongan darah ABO
TIPE

Adanya antibodi dalam serum

Insidensi*
A

anti B

45%

anti A

8%

AB

4%

anti A, antiB

* angka rata-rata pada orang di Eropa


TES ABO-RH
14

43%

Reaksi Transfusi yang paling berat adalah yang berhubungan dengan


inkompatibilitas ABO; antibody yang didapat secara alami

dapat bereaksi

melawan antigen dari transfusi (asing), mengaktifkan komplemen, dan


mengakibatkan hemolisis intravascular. Sel darah merah pasien diuji dengan
serum yang dikenal mempunyai antibody melawan A dan B untuk menentukan
jenis darah. Oleh karena prevalensi secara umum antibodi ABO alami, konfirmasi
jenis darah kemudian dibuat dengan menguji serum pasien melawan sel darah
merah dengan antigen yang dikenal.
Sel darah merah pasien juga diuji dengan antibody anti-D untuk
menentukan Rh. Jika hasilnya adalah Rh-Negative, adanya antibodi anti-D d dapat
diuji dengan mencampur serum pasien dengan sel darah merah Rh
(+).Kemungkinan berkembangnya antibodi anti-D setelah paparan pertama pada
antigen Rh adalah 50-70%.

Crossmatching
Suatu crossmatch transfusi: sel donor dicampur dengan serum penerima.
Crossmatch mempunyai tiga fungsi: ( 1) Konfirmasi jenis ABO dan Rh ( kurang
dari 5 menit), ( 2) mendeteksi antibodi pada golongan darah lain , dan ( 3)
mendeteksi antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi aglutinasi mudah. Yang
dua terakhir memerlukan sedikitnya 45 menit.

Screening Antibodi
Tujuan test ini adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi
yang biasanya dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Test ini ( dikenal
juga Coombs Tes tidak langsung) memerlukan 45 menit dan dengan mencampur
serum pasien dengan sel darah merah dari antigen yang dikenal; jika ada antibodi
spesifik, membran sel darah merah dilapisi, dan penambahan dari suatu antibodi
antiglobulin menghasilkan aglutinasi sel daraah. Screening ini rutin dilakukan
pada seluruh donor darah dan dilakukan untuk penerima donor sebagai ganti dari
crossmatch .

15

Type & Crossmatch versus Type & Screen


Timbulnya suatu reaksi hemolytic yang serius setelah transfusi dari ABOdan Rh-Compatible Transfusi dengan screening negatif tetapi tanpa crossmatch
kurang dari 1%. Crossmatching, bagaimanapun, meyakinkan pentingnya kemanan
yang optimal dan mendeteksi adanya antibody yang lain yang muncul dalam
screening. Crossmatch kini dilakukan hanya untuk prosedur operasi elektif dg
kemungkinan transfusi darah. Oleh karena waktunya sekitar 45 menit jika
sebelumnya prosedur dua type dan screen telah didokumentasikan, pada beberapa
Center telah memulai crossmatch secara komputer.
Pemesanan darah untuk operasi
Kebanyakan rumah sakit menyusun daftar operasi yang akan dilakukan
dan yang maksimum jumlah unit yang dapat dicrossmatch preoperati. Seperti
pada praktek mencegah berlebihan Crossmatching darah. Daftar pada umumnya
didasarkan pada masing-masing pengalaman institusi. Suatu crossmatch-totransfusion perbandingan kurang dari 2.5:1 dipertimbangkan bisa diterima. Hanya
suatu type and screen dilakukan jika timbulnya transfusi untuk suatu prosedur
kurang dari 10%. Jika transfusi diperlukan, dilakukan cross-match . Pinjaman
secara khas dibuat untuk pasien anemic dan mereka yang mempunyai kelainan
pembekuan.

TRANSFUSI DALAM KEADAAN DARURAT


Ketika pasien sedang exsanguinating, kebutuhan transfusi terjadi sebelum
penyelesaian suatu crossmatch, penyaringan , atau bahkan identifikasi tipe darah.
Jika jenis darah pasien sudah dikenal, dilakukan crossmatch kurang dari 5menit,
akan mengkonfirmasikan kompatibilitas ABO. Jika jenis darah penerima tidak
dikenal dan transfusi harus dimulai sebelum penentuan, jenis O Rh-Negative
darah mungkin bias digunakan,
BANK DARAH

16

Darah dari pendonor disaring untuk mengeluarkan zat-zat yang dapat


mempengaruhi kondisi medis yang kurang baik bagi penerima donor. Hematocrit
ditentukan, jika >37% untuk allogeneic atau 32% untuk donor autologous, darah
dikumpulkan, diidentifikasi, disaring untuk antibodi, dan dilakukan pengujian
adanya Hepatitis B, Hepatitis C, sipilis,human T cell leukemia virus ( HTLV)-1
dan HTLV-2, dan Human immunodeficiency virus ( HIV)-1 dan HIV-2.
Kebanyakan pusat penelitian sedang melakukan tes terhadap asam nucleat virus
RNA untuk mendeteksi Hepatitis B dan C dan virus HIV ,dan sedang melakukan
deteksi terhadap West Nile Virus. Ada test yang sangat sensitif, dan mereka perlu
membatasi virus dengan window positif tetapi test negatif.
Pertama, darah dikumpulkan kemudian tambahkan larutan anticoagulant.
Larutan yang paling umum digunakan adalah CPDA-1, yang berisi sitrat sebagai
antikoagulan (berikatan dengan Calcium), fosfat sebagai buffer, dextrose sebagai
sumber energi sel darah merah, dan adenosine sebagai precursor dari sintesa ATP.
Darah dengan CPDA-1- dapat disimpan untuk 35 hari, setelah kelangsungan
hidup sel darah merah dengan cepat berkurang. Sebagai alternatif, penggunaan
AS-1 ( Adsol) atau AS-3 ( Nutrice) meluas umur rata-rata 6 minggu.
Semua unit yang dikumpulkan dipisahkan ke masing-masing komponen,
yang diberi nama, sel darah merah, platelets, dan plasma.
Ketika disentrifuge, 1 unit Whole blood utuh menghasilkan sekitar 250
mL packed red blood cel ( hematocrit 70%); mengikuti penambahan larutan
saline, volume suatu unit packed red cell sering mencapai 350 mL. Sel darah
merah secara normal disimpan pada 1-6C. Sel darah merah dapat dibekukan
dalam larutan glycerol hypertonis sampai 10 tahun. Teknik yang belakangan pada
umumnya disediakan untuk penyimpanan darah dengan phenotypes jarang.
Supernatant disentrifuge untuk menghasilkan platelets dan plasma.

1 Unit

platelets yang diperoleh biasanya berisi 50-70 mL plasma dan dapat disimpan
pada 20- 24C untuk 5 hari. Sisa plasma supernatant diproses dan dibekukan
untuk menghasilkan Fresh frozen plasma; pembekuan cepat mencegah inaktifasi
faktor pembekuan ( V dan VIII). Pencairan yang lambat dari Fresh frozen plasma
menghasilkan suatu gelatin presipitat ( cryo-precipitate) yang berisi faktor VIII

17

dan fibrinogen dengan konsentrasi tinggi. Ketika dipisahkan, cryoprecipitate ini


dapat dibekukan kembali untuk disimpan. Satu unit darah menghasilkan sekitar
200 mL plasma, yang mana dapat dibekukan untuk disimpan; sekali ketika, harus
ditransfusi dalam 24 jam. Platelets boleh sebagai alternatif untuk mencapai
plateletpheresis, yang ekuivalen dengan enam unit reguler dari pasien .

TRANSFUSI INTRAOPERATIVE
Packed Red Blood Cells
Transfusi darah sebaiknya diberikan packed red cell, dan dapat
mengoptimalkan penggunaan dan pemanfaatan bank darah. Packed Red Blood
Cell ideal untuk pasien yang

memerlukan sel darah merah tetapi tidak

penggantian volume ( misalnya, pasien anemia dengan congestive heart failure).


Pasien yang dioperasi memerlukan cairan seperti halnya sel darah merah;
kristaloid dapat diberikan dengan infuse secara bersama-sama dengan jalur
intravena yang kedua untuk penggantian volume cairan.
Sebelum transfusi, masing-masing unit harus diperiksa secara hati-hati
dicek dengan kartu dari bank darah dan identitas dari penerima donor darah.
Tabung transfusi berisi 170-J.m untuk menyaring gumpalan atau kotoran. Dengan
ukuran sama dan saringan berbeda digunakan untuk mengurangi leukocyte isi
untuk mencegah febrile reaksi transfusi febrile pada pasien yang sensitif. Darah
untuk transfusi intraoperative harus dihangatkan sampai 37C. terutama jika lebih
dari 2-3 unit yang akan ditransfusi; jika tidak akan menyebabkan hypothermia.
Efek tambahan hypothermia dan secara khas 2,3-diphosphoglycerate ( 2,3-DPG)
konsentrasi rendah dalam darah yang disimpan dapat menyebabkan suatu
pergeseran kekiri ditandai hemoglobin-oxygen kurva-disosiasi ( lihat Bab 22) dan,
menyebabkan hipoxia jaringan. Penghangat darah harus bisa menjaga suhu darah
> 30C bahkan pada aliran rata-rata sampai 150 ml/menit

Fresh Frozen Plasma

18

Fresh Frozen Plasma (FFP) berisi semua protein plasma, termasuk semua
factor pembekuan. Transfusi FFP ditandai penanganan defisiensi faktor terisolasi,
pembalikan warfarin therapy, dan koreksi coagulopathy berhubungan dengan
penyakit hati. Masing-Masing unit FFP biasanya meningkatkan faktor pembekuan
2-3% pada orang dewasa. Pada umumnya dosis awal 10-15 mL/kg. Tujuannya
adalah untuk mencapai 30% dari konsentrasi faktor pembekuan yang normal.
FFP boleh digunakan pada pasien yang sudah menerima transfusi darah
masive. Pasien dengan defisiensi ANTI-THROMBIN III atau purpura
thrombocyto-penic thrombotic dapat diberikan FFP transfusi.
Masing-Masing unit FFP membawa resiko cepat menyebar yang sama
sebagai unit darah utuh. Sebagai tambahan, pasien dapat menjadi peka terhadap
protein plasma. ABO-COMPATIBLE biasanya diberi tetapi tidak wajib. Seperti
butir-butir darah merah, FFP biasanya dihangatkan 37C sebelum transfusi.

Platelets.
Transfusi Platelet harus diberikan kepada pasien dengan thrombocytopenia
atau dysfunctional platelets dengan pendarahan. Profilaxis Transfusi trombosit
dapat diberikan pada pasien dengan hitung trombosit 10,000-20,000 oleh karena
resiko perdarahan spontan.
Hitung trombosit kurang dari 50,000 x 109/L dihubungkan dengan
peningkatan perdarahan selama pembedahan. Pasien dengan thrombocytopenia
yang mengalami pembedahan atau prosedur invasive harus diberikan profilaxis
transfusi trombosit sebelum operasi, hitung trombosit harus meningkat diatas
100,000 x 109/L. Persalinan pervaginam dan prosedur bedah minor dapat
dilakukan pada pasien dengan hitung trombosit yang agak rendah tapi fungsi
trombosit normal dan hitung trombosit >50,000 x 109/L.
Masing-Masing unit platelets mungkin diharapkan untuk meningkatkan
10,000-20,000 x 109/L dari trombosit. Plateletpheresis unit berisi yang sejenisnya
enam unit donor tunggal. Peningkatan lebih sedikit dapat diharapkan pasien
dengan suatu sejarah platelet transfusi. Disfungsi dapat meningkatkan perdarahan

19

pada pembedahan bahkan ketika trombosit normal dan dapat didiagnosa


preoperative dengan memeriksa masa perdarahan. . Transfusi. Platelet
diindikasikan pada pasien dengan disfungsi trombosit dan meningkatkan
perdarahan pada pembedahan. ABO-compatible platelet transfusi adalah
diinginkan tetapi tidak perlu. Transfused Platelets biasanya survive hanya 1-7 hari
yang mengikuti transfusi. ABO kompatibel dapat meningkatkan platelet survival.
Rh sensitisasi dapat terjadi di Rh-Negative donor dalam kaitan dengan adanya
beberapa butir-butir darah merah di (dalam) Rh-Positive platelet Unit. Lebih dari
itu, anti-A atau anti-B zat darah penyerang kuman di (dalam) yang 70 mL plasma
pada setiap platelet unit dapat menyebabkan suatu reaksi hemolytic melawan
terhadap butir-butir darah merah penerima ketika sejumlah besar ABOincompatible platelet unit diberi. Administrasi Rh immuno-globulin ke RhNegative Individu dapat melindungi dari Rh sensitisasi yang mengikuti RhPositive platelet Transfusi. Pasien yang kembang;kan zat darah penyerang kuman
melawan terhadap HLA antigens lymphocytes di (dalam) platelet berkonsentrasi)
atau platelet spesifik antigens memerlukan HLA-COMPATIBLE atau singledonor unit. Penggunaan plateletpheresis transfusi boleh ber/kurang kemungkinan
sensitisasi.

Transfusi Granulocit
Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan
pada pasien neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan
antibiotik. Transfusi granulosit mempunyai masa hidup dalam sirkulasi sangat
pendek, sedemikian sehingga sehari-hari transfusi 1010 granulocytes pada
umumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit menurunkan insiden timbulnya
reaksi graft-versus-host , kerusakan endothelial berhubungan dengan paru-paru,
dan lain permasalahan berhubungan dengan transfusi leukosit ( lihat di bawah),
tetapi mempengaruhi fungsi granulosit. Ketersediaan filgrastim ( granulocyte
colony-stimulating faktor, atau G-CSF) dan sargramostim ( granulocytemacrophage colony-stimulating faktor, atau GM-CSF) telah sangat mengurangi
penggunaan transfusi granulosit.

20

KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH

Komplikasi imun
Komplikasi imun setelah transfusi darah terutama berkaitan dengan sensitisasi
donor ke sel darah merah, lekosit, trombosit atau protein plasma.

1. Reaksi Hemolytic
Reaksi Hemolytic pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel
darah merah yang ditransfusikan oleh antibody resipien. Lebih sedikit biasanya,
hemolysis sel darah merah resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibody sel
darah merah.Trombosit konsentrat yang inkompatible, FFP, clotting faktor, atau
cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan anti-A atau anti-B ( atau
kedua-duanya) alloantibodies. Transfusi dalam jumlah besar . dapat menyebabkan
hemolisis intravascular.
Reaksi Hemolytic biasanya digolongkan

akut ( intravascular) atau

delayed ( extravascular).

2. Reaksi Hemolytic Akut


Hemolisis Intravascular akut pada umumnya berhubungan dengan
Inkompatibilitas ABO dan frekwensi yang dilaporkan kira-kira 1:38,000 transfusi.
Penyebab yang paling umum adalah misidentifikasi suatu pasien, spesimen darah,
atau unit transfusi. Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi hemolytic
fatal terjadi 1 dalam 100,000 transfusi. Pada pasien yang sadar, gejala meliputi
rasa dingin, demam, nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang dianestesi,
manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut adalah suhu meningkat, tachycardia
tak dapat dijelaskan , hypotensi, hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari
lapangan operasi. Disseminated Intravascular Coagulation , shock,, dan penurunan
fungsi ginjal dapat berkembang dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali

21

tergantung pada berapa banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan.
Gejala yang berat dapat terjadi setelah infuse 10 15 ml darah yang ABO
inkompatibel.
Manajemen reaksi hemoiytic dapat simpulkan sebagai berikut;

Jika dicurigai suatu reaksi hemolytic, transfusi harus dihentikan dengan


segera.

Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.

Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.

Osmotic diuresis harus diaktipkan dengan mannitol dan cairan kedalam


pembuluh darah.

Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP

3. Reaksi hemolytic lambat


Suatu reaksi hemolytic lambat biasanya disebut hemolysis extravascular
biasanya ringan dan disebabkan oleh antibody non D antigen Sistem Rh atau ke
asing alleles di system lain seperti Kell, Duffy, atau Kidd antigens. Berikut suatu
transfusi ABO dan Rh D-compatible,pasien mempunyai 1-1.6% kesempatan
membentuk antibody untuk melawan antigen asing. Pada saat itu
sejumlah antibody ini sudah terbentuk ( beberapa minggu sampai beberapa
bulan), tranfusi sel darah telah dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari itu, titer
antibody menurun dan mungkin tidak terdeteksi.

Terpapar kembali dengan

antigen asing yang sama selama transfuse sel darah, dapat mencetuskan respon
antibody melawan antigen asing. Peristiwa ini dilihat jelas dengan Sistem Kidd
antigen. Reaksi hemolytic pada tipe lambat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan
gejala biasanya ringan, terdiri dari malaise, jaundice, dan demam. Hematocrit
pasien tidak meningkat setelah transfusi dan tidak adanya perdarahan. Serum
bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil pemecahan hemoglobin.
Diagnosa antibody - reaksi hemolytic lambat mungkin difasilitasi oleh
antiglobulin (Coombs) Test. Coombs test mendeteksi adanya antibody di

22

membrane sel darah. Test ini tidak bisa membedakan antara membrane antibody
resipien pada sel darah merah dengan membrane antibody donor pada sel darah
merah. Jadi, ini memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang lebih terperinci
pretransfusi pada kedua spesimen : pasien dan donor.
Penanganan reaksi hemolytic lambat adalah suportif. Frekwensi reaksi
transfusi hemolytic lambat diperkirakan kira-kira 1:12,000 transfusi. Kehamilan
( terpapar sel darah merah janin) dapat juga menyebabkan pembentukan alloantibodies pada seldarah merah.

4. Reaksi Imun Nonhemolytic


Reaksi imun Nonhemolytic adalah dalam kaitan dengan sensitisasi dari
resipien ke donor lekosit, platelets, atau protein plasma.

5. Febrile Reaksi
Sensitisasi lekosit atau Platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi
febrile. Reaksi ini umumnya ( 1-3% tentang episode transfusi) dan ditandai oleh
suatu peningkatan temperatur tanpa adanya hemolysis. Pasien dengan suatu
riwayat febrile berulang harus menerima tranfusi lekosit saja. Transfusi sarah
merahh dapat dibuat leukositnya kurang dengan sentrifuge, filtration, atau teknik
freeze-thaw.

6. Reaksi Urtikaria
Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh erythema, penyakit gatal
bintik merah dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada
umumnya ( 1% tentang transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi
pasien ke transfusi protein plasma. Reaksi Urticaria dapat diatasi dengan obat
antihistamine ( H, dan mungkin H2 blockers) dan steroids.
7. Reaksi Anaphylactic

23

Reaksi Anaphylactic jarang terjadi(kurang lebih 150,000 transfusi). Reaksi


ini berat dan terjadi setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi, secara khas
pada IgA- Pasien dengan Deficiensi anti-IgA yang menerima tranfusi darah yang
berisi IgA. Prevalensi defisiensi IgA diperkirakan 1:600-800 pada populasi yang
umum. Reaksi ini diatasi dengan pemberian epinephrine, cairan, corticosteroids,
dan H1, dan H2 blockers. Pasien dengan defisiensi IgAperlu menerima Washed
Packed Red Cells, deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free blood Unit .

8. Edema Pulmonary Noncardiogenic


Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury
[ TRALI]) merupakan komplikasi yang jarang terjadi(< 1:10,000). Ini berkaitan
dengan transfusi antileukocytic atau anti-HLA antibodi yang saling berhubungan
dan

menyebabkan

sel

darah

putih

pasien

teragregasi

di

sirkulasi

pulmoner.Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan leukoaglutinin.


Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan Acute Respiratory distress syndrome
( ARDS) ( lihat Bab 49), tetapi dapat sembuh dalam 12-48 jam dengan therapy
suportif.

9. Graft versus Host Disease


Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk
sel darah berisi lymfosit mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter
leukosit khusus sendiri tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-versushost; iradiasi ( 1500-3000 cGy) sel darah merah, granulocyte, dan transfusi
platelet secara efektif menginaktifasi lymfosit tanpa mengubahefikasi dari
transfusi.

10. Purpura Posttranfusi

24

Thrombocytopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini berkaitan


dengan berkembangnya alloantibody trombosit. Karena alasan yang tidak jelas,
antibodi menghancurkan trombosit. Hitung trombosit secara jelas menurun 1
minggu setelah tranfusi. Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan.

11. Imun Supresi


Transfusi

leukosit-merupakan

produk

darah

dapat

sebagai

immunosuppressi. Ini adalah terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana
transfusi darah preoperatif nampak untuk meningkatkan survival dari graft.
Beberapa studi menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhan malignan mungkin
lebih mirip pada pasien yang menerima transfusi darah selamapembedahan. Dari
kejadian yang ada juga menyatakan bahwa tranfusi leukocyte allogenic dapat
mengaktifkan virus laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat
meningkatkan timbulnya infeksi yang serius setelah pembedahan atau trauma.

KOMPLIKASI INFEKSI

INFEKSI VIRUS

A. HEPATITIS
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi timbulnya
hepatitis setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah
dalam kaitan dengan hepatitis C virus. Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab
1:63,000 dan 1:1,600,000; 75% tentang kasus ini adalah anicteric, dan sedikitnya
50% berkembang;menjadi penyakit hati kronis. Lebih dari itu, tentang kelompok
yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang menjadi cirrhosis.

25

B. ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SINDROM ( AIDS )


Virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui
transfusi darah. Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1 dan - 2
antibodi. Dengan adanya FDA yang menguji asam nukleat memperkecil waktu
kurang dari satu minggu dan menurunkan resiko dari penularan HIV melalui
tranfusi 1:1.900.000 tranfusi.

C. INFEKSI VIRUS LAIN


Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-BarrVirus umumnya menyebabkan
penyakit sistemik ringan atau asimptomatik.Yang kurang menguntungkan, pada
beberapa individu menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah
dari

donor

dapat

menularkan

virus.

Pasien

immunosupresi

dan

Immunocompromise (misalnya, bayi prematur dan penerima transplantasi organ)


peka terhadap infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya, pasien- pasien
menerima hanya CMV negative. Bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan
bahwa resiko transmisi CMV dari transfusi dari darah yang leukositnya berkurang
sama dengan tes darah yang CMV negative. Oleh karena itu, pemberian darah
dengan leukosit yang dikurangi secara klinis cocok diberikan pada pasien seperti
itu. Human T sel virus lymphotropic I dan II (HTLV-1 dan HTLV-2) adalah
leukemia dan lymphoma virus, kedua-duanya telah dilaporkan ditularkan melalui
transfusi darah; leukemia dihubungkan dengan myelopathy. Penularan Parvovirus
telah dilaporkan setelah transfusi faktor pembekuan. dan dapat mengakibatkan
krisis transient aplastic pada pasient immunocompromised. Penggunaan filter
leukosit khusus nampaknya mengurangi tetapi tidak mengeliminasi timbulnya
komplikasi di atas.

INFEKSI PARASIT
Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti malaria,
toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi.

26

INFEKSI BAKTERI
Kontaminasi bakteri dalam adalah penyebab kedua kematian melalui
transfusi. Prevalensi kultur positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000
trombosit sampai 1/7000 untuk pRBC. Prevalensi sepsis oleh karena transfusi
darah berkisar dari 1/25,000 tromobosit sampai 1/250,000 untuk pRBC. Angkaangka ini secara relatif besar dibandingkan ke resiko HIV atau hepatitis, yang
adalah di sekitar 1/1-2 juta. Baik bakteri gram-positive ( Staphylococus) dan
bakteri gram-negative ( Yersinia dan Citrobacter) jarang mencemari transfusi
darah dan menularkan penyakit. Untuk mencegah kemungkinan kontaminasi dari
bakteri, darah harus berikan dalam waktu kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri
yang ditularkan melalui transfusi darah dari donor meliputi sifilis, brucellosis,
salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam rickettsia.

TRANSFUSI DARAH MASIF

Transfusi darah masif umumnya didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi satu


sampai dua kali volume darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent
dengan 10-20 unit.
Koagulopati
Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah
dilutional thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari factor koagulasi tidak biasa
terjadi pada pasien normal. Studi Koagulasi dan hitung trombosit, jika tersedia,
idealnya menjadi acuan transfusi trombosit dan FFP. Analisa Viscoelastic dari
pembekuan darah (thromboelastography dan Sonoclot Analisa) juga bermanfaat.
Keracunan Sitrat
Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat
menjadi penting setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis
hypocalcemia penting, karena menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada

27

pasien normal kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap-tiap 5 menit. Sebab


metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien dengan penyakit atau disfungsi hepar
( dan kemungkinan pada pasien hipothermi) memerlukan infuse calcium selama
transfusi massif ).
Hypothermia
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua
produk darah cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Arhitmia
Ventricular dapat menjadi fibrilasi ,sering terjadi pada temperatur sekitar 30C.
Hypothermia dapat menghambat resusitasi jantung. Penggunaan alat infus cepat
dengan pemindahan panas yang efisien sangat efisien telah sungguh mengurangi
timbulnya insiden hypothermia yang terkait dengan transfusi.
Keseimbangan asam basa
Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan
antikoagulan asam sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merahs
(carbondioxida dan asam laktat), berkenaan dengan metabolisme

acidosis

metabolik yang berkaitan dengan transfusi tidaklah umum. Yang terbanyak dari
kelainan asam basa setelah tranfusi darah massif adalah alkalosis metabolic
postoperative.Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolic berakhir dan
alkalosis metabolic progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi dan
cairan resusitasi diubah menjadi bikarbonat oleh hepar.
Konsentrasi Kalium Serum
Konsentrasi kalium Extracellular dalam darah yang disimpan meningkat
dengan waktu. Jumlah kalium extracellular yang transfusi pada unit masingmsaing kurang dari 4 mEq perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan
mengabaikan umur darah ketika transfusi melebihi 100 mL/min. Penanganan
hyperkalemia dibahas Bab 28. Hypokalemia biasanya ditemui sesudah operasi,
terutama sekali dihubungkan dengan alkalosis metabolisme ( lihat Bab 28 dan 30).

28

STRATEGI ALTERNATIF UNTUK PENANGANAN KEHILANGAN


DARAH SELAMA PEMBEDAHAN

Transfusi Autologous
Pasien yang mengalami prosedur pembedahan elektif dengan suatu
kemungkinan tinggi untuk transfusi dapat mendonorkan darah mereka sendiri
untuk digunakan selama operasi. Darah ini dapat dikumpulkan mulai 4-5 minggu
sebelum operasi. Pasien diperbolehkan untuk mendonorkan satu kantong darah
sepanjang hematokrit kurang lebih 34% atau hemoglobin sekitar 11 g/dl.
Kebutuhan pemakaian darah minimum 72 jam antara mendonorkan darah dan
membuat volume plasma kembali normal. Dengan suplementasi besi dan terapi
eritropoetin rekombinan ( 400 U perminggu), sedikitnya tiga atau empat unit
pada umumnya dikumpulkan sebelum operasi. Beberapa studi menyatakan bahwa
transfusi darah autologous tidak mempunyai efek tambahan yang mempengaruhi
survival pada pasien yang mengalami operasi untuk kanker. Walaupun transfusi
autologous

mungkin mengurangi resiko infeksi dan reaksi transfusi, mereka

tidaklah dengan sepenuhnya bebas dari resiko. Resiko meliputi reaksi immunologi
yang berhubungan dengan n kesalahan pekerjaan karyawan dalam pengumpulan
dan label, pencemaran, dan gudang/penyimpanan yang tidak benar. Reaksi alergi
dapat terjadi dalam kaitan dengan allergen ( misalnya, ethylen oksida), dapat
masuk kedalam darah dari tempat pengumpulan dan gudang/penyimpanan.
Pengumpulan darah preoperative

autologous dilakukan dengan frekwensi

berkurang.

Penyimpanan Darah & Pemberian Cairan Melalui Infus Berulang


Teknik ini umumnya digunakan pada bedah jantung, vascular dan bedah
tulang ( lihat Bab 21). Darah di aspirasi intraoperatif bersama-sama dengan suatu
pencegah pembekuan darah ( heparin) ke dalam suatu reservoir. Setelah jumlah
darah cukup dikumpulkan, sel darah yang merah di konsentratkan dan dicuci
untuk dimurnikan dari kotoran dan zat pembeku kemudian di transfusikan
kembali ke dalam pasien. Konsentrat darah tersebut umumnya mempunyai
29

hematocrits 50-60%. Untuk digunakan secara efektif, teknik ini memerlukan


kehilangan darah lebih besar dari 1000-1500 mL. Kontrainidikasi meliputi
pencemaran dari luka yang busuk dan tumor malignan, meskipun demikian
kekhawatiran tentang kemungkinan reinfusi sel malignan via teknik tills tidak
dibenarkan. Sistem lebih modern dan sederhana memungkinkan rein-fusion darah
tanpa centrifugae.

Normovolemic Hemodilusi
Hemodilution normovolemic akut bergantung pada pendapat bahwa jika
konsentrasi sel darah merah dikurangi, total kehilangan sel darah merah dapat
dikurangi apabila darah dalam jumlah besar ditumpahkan; lebih dari itu, cardiac
output tetap normal sebab volume intravascuiar terkontrol. Darah umumnya
dikeluarkan sebelum operasi melalui kateter intravena yang besar dan digantikan
dengan cairan kristaloid dan koloid, supaya pasien tetap normovolemic tetapi
dengan hematocrit 21-25%. Darah yang dikeluarkan disimpan dalam kantong
CPD pada suhu sampai 6 jam untuk menjaga fungsi dari trombosit; darah di
transfusikan kembali ke pasien setelah kehilangan darah atau lebih cepat jika
diperlukan.

Donor - Transfusi Langsung


Pasien dapat meminta donor darah dari anggota keluarga atau teman yang
mengandung ABO kompatibilitas. Kebanyakan bank darah tidak menyarankan hal
ini dan umumnya memerlukan donor kurang lebih 7 hari sebelum operasi untuk
memproses darah dan mengkonfirmasikan kompatibilitas.
Studi yang membandingkan keamanan dari pendonor-langsung dengan donor
secara random tidak ada perbedaan, ataupun bank darah lebih aman.

30

Cairan tubuh terdiri dari air dan elektrolit. Cairan tubuh dibedakan atas
cairan ekstrasel dan intrasel. Cairan ekstrasel meliputi plasma dan cairan
interstisial. Beberapa contoh kation dalam tubuh adalah natrium (Na +), kalium
(K+), kalsium (Ca2+), magnesium (Mg2+). Sedangkan anion adalah klorida (Cl-),
HCO3-, HPO4-, SO4-. Dalam keadaan normal, kadar kation dan anion ini sama
besar sehingga potensial listrik cairan tubuh bersifat netral. Pada cairan ektrasel,
kation utama adalah Na+ sedangkan anion utamanya adalah Cl- sedangkan di
intrasel kation utamanya adalah kalium (K+). Distribusi elektrolit pada cairan
intrasel dan ekstrasel dapat dilihat pada Gambar 1.1

Gambar 1. Kation dan Anion Utama dalam Cairan Intrasel dan Ekstrasel
Disamping sebagai penghantar aliran listrik, elektrolit mempunyai banyak
manfaat, tergantung dari jenisnya, seperti:
Natrium

: sebagai penentu utama osmolaritas dalam darah dan pengaturan


volume ekstra sel

Kalium

: mempertahankan membran potensial elektrik dalam tubuh dan


mempunyai peranan penting dalam sel syaraf

Klorida

: mempertahankan tekanan osmotik, distribusi air pada berbagai


cairan tubuh dan keseimbangan anion dan kation dalam cairan
ekstrasel

Magnesium

: berperan dalam aktivitas elektrik jaringan, mengatur pergerakan


Ca2+ ke dalam otot serta memelihara kekuatan kontraksi jantung
dan kekuatan pembuluh darah tubuh, serta berperan dalam proses
31

keseimbangan asam basa


Kalsium

: penting dalam fungsi sel untuk depolarisasi, sebagai penggerak


dari otot-otot, deposit utamanya berada di tulang dan gigi, apabila
diperlukan, kalsium ini dapat berpindah ke dalam darah. 2

1. Fisiologi Natrium
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa
mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 1014
mEq/L) berada dalam cairan intrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan
ekstrasel ditentukan oleh garam yang mengandung natrium, khususnya dalam
bentuk natrium klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat (NaHCO3) sehingga
perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan perubahan
konsentrasi natrium. 1
Perbedaan kadar natrium intravaskuler dan interstitial disebabkan oleh
keseimbangan GibbsDonnan, sedangkan perbedaan kadar natrium dalam cairan
ekstrasel dan intrasel disebabkan oleh adanya transpor aktif dari natrium keluar sel
yang bertukar dengan masuknya kalium ke dalam sel (pompa Na+ K+). 3
Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan antara
natrium yang masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan natrium yang
berasal dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi dan
pengeluarannya melalui ginjal atau saluran cerna atau keringat di kulit. Pemasukan
dan pengeluaran natrium perhari mencapai 48-144 mEq. Tabel 1 menunjukkan
kadar elektrolit dalam cairan intrasel dan ekstrasel. 1

Tabel 1. Kadar Elektrolit dalam Cairan Ekstrasel dan Intrasel


Cairan
Plasma
Na
140
K+
4,5
2+
Ca
5,0
2+
Mg
1,7
Cl
104
HCO3
24
2+
SO4
1,0
2PO4
2,0
Protein
15
Anion Organik 5,0

Cairan

Interstitial Intraseluler
148
5,0
4,0
1,5
115
27
1,2
2,3
8
5,0

13
140
1x10-7
7,0
3,0
10
-- 32
107
40
--

mEq/L
mEq/L
+

mEq/L

Jumlah natrium yang keluar dari traktus gastrointestinal dan kulit kurang
dari 10%. Cairan yang berisi konsentrasi natrium yang berada pada saluran cerna
bagian atas hampir mendekati cairan ekstrasel, namun natrium direabsorpsi
sebagai cairan pada saluran cerna bagian bawah, oleh karena itu konsentrasi
natrium pada feses hanya mencapai 40 mEq/L. Keringat adalah cairan hipotonik
yang berisi natrium dan klorida. Kandungan natrium pada cairan keringat orang
normal rerata 50 mEq/L.
Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini
dilakukan untuk mempertahankan homeostasis natrium, yang sangat diperlukan
untuk mempertahankan volume cairan tubuh. Natrium difiltrasi bebas di
glomerulus, direabsorpsi secara aktif 60-65% di tubulus proksimal bersama
dengan H2O dan klorida yang direabsorpsi secara pasif, sisanya direabsorpsi di
lengkung henle (25-30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes (4%). Sekresi
natrium di urine <1%. Aldosteron menstimulasi tubulus distal untuk mereabsorpsi
natrium bersama air secara pasif dan mensekresi kalium pada sistem reninangiotensin-aldosteron untuk mempertahankan elektroneutralitas. 1
Nilai Rujukan Natrium
Nilai rujukan kadar natrium pada:
serum bayi
- serum anak dan dewasa
urine anak dan dewasa

: 134-150 mmol/L
: 135-145 mmol/L
: 40-220 mmol/24 jam

33

cairan serebrospinal : 136-150 mmol/L


feses

: < 10 mmol/hari

1.1. Hiponatremia
a. Definisi
Hiponatremia didefinisikan sebagai serum Na 135 mmol/l. Hiponatremia
dilaporkan memiliki insiden dalam praktek klinis antara 15 dan 30%. 2
b. Etiologi dan Klasifikasi
Penyebab hiponatremia diklasifikasikan menurut status cairan pasien
(euvolemik,hipovolemik, atau hypervolaemic). Pseudohiponatremia ditemukan
ketika ada pengukuran natrium rendah karena lipid yang berlebihan atau protein
dalam plasma, atau karena hiperglikemia, dimana pergerakan air bebas terjadi ke
dalam ruang ekstraselular dalam menanggapi akumulasi glukosa ekstraseluler. 3
Ada tiga penyebab utama hypervolaemic hiponatremia: congestive cardiac
failure (CCF), gagal ginjal dan sirosis hati. Dalam kasus ini jumlah natrium tubuh
meningkat tetapi jumlah total air dalam tubuh tidak proporsional lebih besar
mengarah ke hiponatremia dan edema. Penurunan curah jantung di CCF
menyebabkan penurunan aliran darah ginjal, merangsang produksi ADH dan
resorpsi air di collecting ducts. Penurunan aliran darah ginjal juga merangsang
sistem reninangiotensin, menyebabkan retensi natrium dan air. Hiponatremia di
CCF juga dapat diperburuk oleh penggunaan diuretik. Ini telah ditunjukkan dalam
beberapa penelitian bahwa hiponatremia di CCF adalah faktor prognosis yang
buruk. 2
Sirosis hati merupakan salah satu faktor menyebabkan hiponatremia. Ini
termasuk pengurangan volume sirkulasi, hipertensi portal menyebabkan ascites,
dan kegagalan hati untuk metabolisme zat vasodilatasi. Perubahan ini
mengakibatkan stimulasi sistem renin-angiotensin dan retensi natrium dan air.
Hiponatremia terjadi karena konsumsi berlebihan air dan ekskresi natrium yang
relatif lebih rendah (seperti pada pelari maraton), tetapi mekanisme lain yang
dijelaskan dalam literature lain meliputi peningkatan ADH, dan menurunnya
motilitas usus. 4

34

Tabel 2. Klasifikasi hiponatremia


Euvolaemic
Hypovolaemic

Hypervolaemic

Other
Hyperglycaemia
Mannitol
administration

SIADH

GIT loss:

CCF

Psychogenic
polydipsia

Diarrhoea and

Liver cirrhosis
Nephrotic
syndrome

vomiting
Bowel
obstruction
sepsis
Renal loss:
Addisons disease
Renal tubular
acidosis
Salt wasting
nephropathy
Diuretic use
cerebral salt
wasting

c. Manifestasi klinis
Gejala-gejala dan tanda-tanda hiponatremia dapat sangat halus dan non
spesifik (lihat Tabel 3). Hal ini penting untuk menentukan apakah hiponatremia ini
akut (memburuk dalam 48 jam) atau kronis (memburuk dalam 48 jam).
Tingkat toleransi natrium jauh lebih rendah jika hiponatremia berkembang
menjadi kronis. Etiologi hiponatremia harus dipertimbangkan ketika melakukan
anamnesa dan melakukan pemeriksaan pasien, misalnya cedera kepala, bedah
saraf, abdominal symptoms and signs, pigmentasi kulit (terkait dengan penyakit
Addison), riwayat obat, dll. Status cairan pasien sangat penting untuk diagnosis
dan pengelolaan selanjutnya. 2
Tabel 3. Gambaran klinis dari hiponatremia
Severity
Expected
plasma
sodium

35

Clinical features

Mild

130 135 mmol/ l

Often

no

features,

or,

anorexia, headache, nausea,


vomiting, lethargy
Moderate

120 129 mmol/ l

Muscle

cramps,

weakness,

muscle

confusion,

ataxia, personality change


Severe

120 mmol /l

Drowsiness,

reduced

reflexes, convulsions, coma,


death
d. Tatalaksana
Tatalaksana hiponatremia harus dipertimbangkan dari kronisitasnya,
keseimbangan cairan pasien, dan potensi etiologinya. Dalam hiponatremia akut
(durasi 48 jam), pengobatan yang cepat dan koreksi natrium disarankan untuk
mencegah edema serebral. Hal ini berbeda dengan hiponatremia kronis, di mana
koreksi harus lambat untuk mencegah central pontine myelinolysis yang dapat
menyebabkan kerusakan saraf permanen. Target yang harus dicapai untuk
meningkatkan natrium ke tingkat yang aman ( 120 mmol / l). Natrium tidak
harus mencapai level normal dalam 48 jam pertama.
Central pontine myelinolysis adalah suatu kondisi dimana terjadi
demielinasi fokus di daerah pons dan extrapontine. Hal ini menyebabkan dampak
serius dan ireversibel gejala sisa neurologis yang cenderung dilihat satu sampai
tiga hari setelah natrium telah diperbaiki.
Pada pasien dengan hiponatremia akut dan gejala sisa neurologis (kejang
atau koma) pengobatan dapat dimulai dengan 3% saline. Tidak ada konsensus
universal untuk penggunaan atau dengan rezim yang harus diberikan: bisa dimulai
pada 1-2 ml / kg / jam dengan pengukuran rutin natrium serum, urin dan status
kardiovaskular. Disarankan agar natrium dikoreksi tidak lebih dari 8 mmol dalam
24 jam. Furosemide juga dapat digunakan untuk mengeluarkan air yang
berlebihan.
Hiponatremia hipovolemik terkait penyakit Addison harus ditangani
dengan saline isotonik dan menggunakan hormon pengganti dengan hidrokortison.
Pasien-pasien ini dapat memerlukan sejumlah besar penggantian cairan ketika
mereka berada dalam keadaan krisis. Hiponatremia kronis dapat diobati dengan
36

menghilangkan penyebab (misalnya diuretik) dan pembatasan cairan menjadi


sekitar 500-800 ml / hari. Vasopresin antagonis reseptor adalah kelompok baru
obat untuk pengobatan hiponatremia. Mereka bekerja dengan menghalangi
pengikatan ADH (AVP - arginin vasopressin) di nefron distal, sehingga
mempromosikan ekskresi air bebas. Tolvaptan adalah salah satu obat tersebut dan
telah terbukti efektif meningkatkan natrium serum pada euvolemik atau
hypervolaemic hiponatremia kronis. 2
Dapat diberikan NaCl:
Na+ > 125 mg/L -> restriksi cairan
Na+ < 120 mg/L -> NaCl 3%: (140-X) x BB x 0,6= mEq
Pediatrik: 1,5-2,5 mg/kgBB
1.2. Hipernatremia
a. Definisi
Hipernatremia didefinisikan sebagai natrium serum lebih besar dari 145
mmol/l dan selalu dikaitkan dengan keadaan hiperosmolar. Ada morbiditas dan
mortalitas yang signifikan terkait dengan hipernatremia yang sulit untuk dihitung
karena hubungannya dengan komorbiditas serius lainnya. Beberapa studi telah
mengutip angka kematian setinggi 75% akibat hipernatremia. 3
Hipernatremia menyebabkan dehidrasi sel yang menyebabkan sel-sel
menyusut. Sel-sel merespon dengan mengangkut elektrolit melintasi membran sel
dan mengubah potensial membran menjadi istirahat. Sekitar satu jam kemudian
jika masih ada hipernatremia, larutan organik intraseluler dibentuk untuk
mengembalikan volume sel dan mencegah kerusakan struktural. Oleh karena itu
ketika

mengganti

air

harus

dilakukan

dengan

sangat

perlahan

untuk

memungkinkan akumulasi zat terlarut untuk menghindari edema serebral. 4


Jika hipernatremia berlanjut dan sel-sel mulai menyusut, perdarahan otak
dapat terjadi karena peregangan dan pecahnya pembuluh darah (subdural,
subarachnoid atau intraserebral). 4

37

b. Etiologi dan Klasifikasi


Penyebab hipernatremia dapat dibagi menjadi tiga kategori besar seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 4. Ini sering memiliki penyebab iatrogenik dan yang
paling berisiko pada pasien yang diintubasi, bayi yang hanya meminum susu
formula, atau orang tua dan orang-orang dalam perawatan yang tidak memiliki
cairan yang tersedia bagi mereka atau mereka yang memiliki penurunan reseptor
kehausan. 2
Tabel 4. Penyebab hipernatremia
Reduced water intake
Unwell infants e.g. with
diarrhoea and vomiting
Intubated patients
Institutionalised elderly

Loss of free water

Sodium gain

1. Extra-renal:
Dehydration
Burns
Exposure
Gastrointestinal losses

Primary
hyperaldosteronism
(Conns)
Secondary
hyperaldosteronism e.g.
CCF, liver cirrhosis, renal
2. Renal:
failure, nephrotic
Osmotic diuretics
e.g. syndrome
Glucose, urea, mannitol,
Sodium-bicarbonate
diabetes insipidus
administration
Hypertonic saline
administration

c. Manifestasi klinis
Gambaran klinis hipernatremia non spesifik seperti anoreksia, mual,
muntah, kelelahan dan mudah tersinggung. Seperti natrium meningkat akan ada
perubahan dalam fungsi neurologis yang lebih menonjol jika natrium telah
meningkat pesat dan tingkat tinggi. Bayi cenderung menunjukkan takipnea,
kelemahan otot, gelisah, tangisan bernada tinggi, dan kelesuan menyebabkan
koma. Diagnosis diferensial utama untuk gejala-gejala tersebut pada populasi ini
adalah sepsis yang bisa diperparah oleh hipernatremia. 1
d. Tatalaksana
Manajemen terdiri dari mengobati penyebab yang mendasari dan
memperbaiki hipertonisitas tersebut. Seperti dengan hiponatremia, aturan umum
adalah untuk memperbaiki tingkat natrium pada tingkat di mana ia naik. Jika
natrium tersebut diperbaiki terlalu cepat ada risiko mengakibatkan edema serebral.
Saran yang baik adalah bertujuan untuk 0,5 mmol/l/jam dan maksimal 10 mmol/l/

38

hari dalam semua kasus kecuali onsets sangat akut. Dalam hipernatremia akut (
48 jam) natrium dapat diperbaiki dengan cepat tanpa menimbulkan masalah.
Namun, jika ada keraguan untuk tingkat onset, natrium harus diperbaiki perlahan
selama setidaknya 48 jam. 2
Dapat diberikan:
Kelebihan cairan: (X-140) x BB x 0,6=mg
Defisit cairan: {(X-140) x BB x 0,6} : 140=L
2. Fisiologi Kalium
Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada di dalam cairan intrasel.
Konsentrasi kalium intrasel sekitar 145 mEq/L dan konsentrasi kalium ekstrasel
4-5 mEq/L (sekitar 2%). Jumlah konsentrasi kalium pada orang dewasa berkisar
50-60 per kilogram berat badan (3000-4000 mEq). Jumlah kalium ini dipengaruhi
oleh umur dan jenis kelamin. Jumlah kalium pada wanita 25% lebih kecil
dibanding pada laki-laki dan jumlah kalium pada orang dewasa lebih kecil 20%
dibandingkan pada anak-anak.
Perbedaan kadar kalium di dalam plasma dan cairan interstisial
dipengaruhi oleh keseimbangan Gibbs-Donnan, sedangkan perbedaan kalium
cairan intrasel dengan cairan interstisial adalah akibat adanya transpor aktif
(transpor aktif kalium ke dalam sel bertukar dengan natrium).
Jumlah kalium dalam tubuh merupakan cermin keseimbangan kalium yang
masuk dan keluar. Pemasukan kalium melalui saluran cerna tergantung dari
jumlah dan jenis makanan. Orang dewasa pada keadaan normal mengkonsumsi
60-100 mEq kalium perhari (hampir sama dengan konsumsi natrium). Kalium
difiltrasi di glomerulus, sebagian besar (7080%) direabsorpsi secara aktif maupun
pasif di tubulus proksimal dan direabsorpsi bersama dengan natrium dan klorida di
lengkung henle. Kalium dikeluarkan dari tubuh melalui traktus gastrointestinal
kurang dari 5%, kulit dan urine mencapai 90%.1

Nilai Rujukan Kalium


Nilai rujukan kalium serum pada:
- serum bayi
- serum anak

: 3,6-5,8 mmol/L
: 3,5-5,5 mmo/L
39

- serum dewasa
- urine anak
- urine dewasa

: 3,5-5,3 mmol/L
: 17-57 mmol/24 jam
: 40-80 mmol/24 jam

- cairan lambung

: 10 mmol/L

2.1. Hipokalemia
a. Definisi
Hipokalemia (kadar kalium yang rendah dalam darah) adalah suatu
keadaan dimana konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3.8 mEq/L darah. 3
b. Etiologi
Ginjal yang normal dapat menahan kalium dengan baik. Jika konsentrasi
kalium darah terlalu rendah, biasanya disebabkan oleh ginjal yang tidak berfungsi
secara normal atau terlalu banyak kalium yang hilang melalui saluran pencernaan
(karena diare, muntah, penggunaan obat pencahar dalam waktu yang lama atau
polip usus besar). Hipokalemia jarang disebabkan oleh asupan yang kurang karena
kalium banyak ditemukan dalam makanan sehari-hari. Kalium bisa hilang lewat
air kemih karena beberapa alasan. Yang paling sering adalah akibat penggunaan
obat diuretik tertentu yang menyebabkan ginjal membuang natrium, air dan
kalium dalam jumlah yang berlebihan.
Pada sindroma Cushing, kelenjar adrenal menghasilkan sejumlah besar
hormon kostikosteroid termasuk aldosteron. Aldosteron adalah hormon yang
menyebabkan ginjal mengeluarkan kalium dalam jumlah besar. Ginjal juga
mengeluarkan kalium dalam jumlah yang banyak pada orang-orang yang
mengkonsumsi sejumlah besar kayu manis atau mengunyah tembakau tertentu.
Penderita sindroma Liddle, sindroma Bartter dan sindroma Fanconi
terlahir dengan penyakit ginjal bawaan dimana mekanisme ginjal untuk menahan
kalium terganggu. Obat-obatan tertentu seperti insulin dan obat-obatan asma
(albuterol, terbutalin dan teofilin), meningkatkan perpindahan kalium ke dalam sel
dan mengakibatkan hipokalemia. Tetapi pemakaian obat-obatan ini jarang menjadi
penyebab tunggal terjadinya hipokalemia. 2

40

c. Manifestasi Klinis
Hipokalemia ringan biasanya tidak menyebabkan gejala sama sekali.
Hipokalemia yang lebih berat (< 3 mEq/L darah) bisa menyebabkan kelemahan
otot, kejang otot dan bahkan kelumpuhan. Irama jantung menjadi tidak normal,
terutama pada penderita penyakit jantung. 2
d. Tatalaksana
Penanganan hipokalemia tergantung dari adanya dan beratnya disfungsi
organ yang terlibat.5 Hipokalemia sekunder akibat redistribusi akut tidak selalu
membutuhkan terapi. Pada hipokalemia ringan dan sedang (3-3.5 mEq/L), terapi
pengganti kalium tidak perlu dilakukan segera, khususnya apabila hipokalemia
tersebut asimptomatik dan terjadi secara kronis. 6 Pada pasien dengan perubahan
gambaran EKG yang signifikan seperti perubahan segmen ST atau aritmia,
diperlukan pemantauan EKG, khususnya selama terapi kalium intravena.
Kekuatan otot juga sebaiknya diperiksa pada pasien dengan kelemahan otot.5
Terapi oral dengan cairan kalium klorida (60-80 mEq/hari) umumnya
adalah yang paling aman. Terapi hipokalemia biasanya memerlukan waktu
beberapa hari. Terapi kalium klorida secara intravena biasanya hanya dilakukan
pada pasien dengan atau yang memiliki risiko kelainan jantung serius atau
kelemahan otot. Tujuan terapi intravena adalah untuk menyelamatkan pasien dari
bahaya yang mengancam; bukan untuk mengoreksi defisit kalium. Terapi
intravena melalui kateter perifer tidak boleh melebihi 8 mEq/jam karena kalium
memiliki efek iritasi pada vena perifer. Cairan yang mengandung dekstrosa
sebaiknya dihindari karena dapat mengakibatkan hiperglikemia dan sekresi insulin
sekunder dapat mengurangi kadar kalium plasma. Terapi intravena secara cepat
(10-20 mEq/jam) memerlukan kateter vena sentral dan pemantauan EKG. Terapi
yang lebih cepat paling aman melalui kateter femoralis, karena konsentrasi kalium
yang sangat tinggi di dalam jantung dapat terjadi apabila dilakukan melalui kateter
vena sentral standar.5 Pemberian kalium melalui vena cava superior tidak
direkomendasikan apabila kecepatan terapi melebihi 20 mEq/jam karena

41

peningkatan kalium plasma mendadak di ruang jantung kanan dapat menyebabkan


asistol.7 Terapi kalium intravena tidak boleh melebihi 240 mEq/ hari.5
Kalium klorida merupakan garam kalium pilihan apabila terdapat alkalosis
metabolik karena dapat mengoreksi defisit klorida. Kalium bikarbonat atau yang
setara (kalium asetat atau kalium sitrat) merupakan pilihan utama pada pasien
dengan asidosis metabolik. Kalium fosfat merupakan alternatif yang dapat dipilih
pada pasien ketoasidosis diabetikum (pada ketoasidosis diabetikum terjadi
hipofosfatemia).5
Dapat juga diberikan dengan KCl:
K+ > 3 mEq/L via oral atau NGT: 20-40 mmol
K+ < 3 mEq/L -> (4,5 X) x BB x 0,3=mEq
2.2. Hiperkalemia
a. Definisi
Secara teknis, hiperkalemia berarti tingkat potassium dalam darah yang
naiknya secara abnormal. Kadar potassium dalam darah yang normal adalah
3.55.0 milliequivalents per liter (mEq/L). Kadar potassium antara 5.1 mEq/L
sampai 6.0 mEq/L mencerminkan hyperkalemia yang ringan. Kadar potassium
dari 6.1 mEq/L sampai 7.0 mEq/L adalah hyperkalemia yang sedang, dan tingkattingkat potassium diatas 7 mEq/L adalah hyperkalemia yang berat/parah. 1
b. Manifestasi Klinis
Hiperkalemia dapat menjadi asimptomatik. Adakalanya, pasien-pasien
dengan hyperkalemia melaporkan gejala-gejala yang samar-samar termasuk:
mual
lelah
kelemahan otot, atau
perasaan-perasaan kesemutan
Gejala-gejala hyperkalemia yang lebih serius termasuk denyut jantung
yang perlahan dan nadi yang lemah. Hyperkalemia yang parah dapat berakibat
pada berhentinya jantung yang fatal. Umumnya, tingkat potassium yang naiknya
secara perlahan (seperti dengan gagal ginjal kronis) ditolerir lebih baik daripada
tigkat-tingkat potassium yang naiknya tiba-tiba. Kecuali naiknya potassium adalah
sangat cepat, gejala-gejala dari hyperkalemia adalah biasanya tidak jelas hingga

42

tingkat-tingkat potassium yang sangat tinggi (secara khas 7.0 mEq/l atau lebih
tinggi). 2
c. Etiologi
Penyebab-penyebab utama dari hyperkalemia adalah disfungsi ginjal,
penyakit-penyakit dari kelenjar adrenal, penyaringan potassium yang keluar dari
sel-sel kedalam sirkulasi darah, dan obat-obat.

Disfungsi ginjal
Potassium nornmalnya disekresikan (dikeluarkan) oleh ginjal-ginjal, jadi
penyakit-penyakit yang mengurangi fungsi ginjal-ginjal dapat berakibat pada
hyperkalemia. Ini termasuk:
gagal ginjal akut dan kronis,
glomerulonephritis,
lupus nephritis,
penolakan transplant,
penyakit-penyakit yang menghalangi saluran urin (kencing), seperti urolithiasis
(batu-batu dalam saluran kencing).
Lebih jauh, pasien-pasien dengan disfungsi-disfungsi ginjal terutama
adalah sensitif pada obat-obat yang dapat meningkatkan tingkat-tingkat potassium
darah. Contohnya, pasien-pasien dengan disfungsi-disfungsi ginjal dapat
mengembangkan perburukan hyperkalemia jika diberikan pengganti-pengganti
garam yang mengandung potassium, jika diberikan suplemen-suplemen potassium
(secara oral atau intravena), atau obat-obat yang dapat meningkatkan kadar
potassium darah. Contoh-contoh dari obat-obat yang dapat meningkatkan kadar
potassium darah termasuk:
ACE inhibitors,
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs),
Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs)
Diuretics hemat potassium

43

Penyebab lain:
Luka-luka bakar,
Trauma
Operasi,
Hemolysis (disintegrasi atau kehancuran sel-sel darah merah),
Massive lysis dari sel-sel tumor, dan
Rhabdomyolysis (kondisi yang melibatkan kehancuran sel-sel otot yang
adakalanya dihubungkan dengan luka otot, alkoholisme, atau penyalahgunaan
obat). 2
d. Tatalaksana
Suplemen-suplemen potassium,

pengganti-pengganti

garam

yang

mengandung potassium dan obat-obat lain dapat menyebabkan hyperkalemia.


Pada individu-individu yang normal, ginjal-ginjal yang sehat dapat
beradaptasi

pada

pemasukan

potassium

oral

yang

berlebihan

dengan

meningkatkan ekskresi potassium urin, jadi mencegah perkembangan dari


hyperkalemia. Bagaimanapun, memasukan terlalu banyak potassium (melalui
makanan-makanan, suplemensuplemen, atau pengganti-pengganti garam yang
mengandung potassium) dapat menyebabkan hyperkalemia jika ada disfungsi
ginjal atau jika pasien meminum obat-obat yang mengurangi ekskresi potassium
urin seperti ACE inhibitors dan diuretics hemat potassium. Contoh-contoh dari
obat-obat yang mengurangi ekskresi potassium urin termasuk:
ACE inhibitors,
ARBs,
NSAIDs,
Diuretics hemat potassium seperti: Spironolactone (aldactone), triamterene
(dyrenium), dan trimethoprim-sulfamethoxazole (bactrim).
Meskipun hyperkalemia yang ringan adalah umum dengan obat-obat ini,
hyperkalemia yang parah biasanya tidak terjadi kecuali obat-obat ini diberikan
pada pasien-pasien dengan disfungsi ginjal. 2
Apabila:
ECG abnormal: CaCl2 10% 5-10 ml perlahan
Redistribusi kalium: insulin 10 unit dari 5% dextrose 500 ml iv; natrium
bikarbonat 1 mEq/kg iv pelan-pelan
44

Eksresi kalium: loop diuretik (Lasix), dialisa


Hiperventilasi sehingga CO2 menurun: alkalosis respirstorik -> K+ masuk intrasel
3. Fisiologi Magnesium
Magnesium merupakan ko-faktor dalam berbagai proses enzimatik dan
menjadi ko-faktor penting dalam pembuatan adenosine triphosphate (ATP). 50%
magnesium dalam tubuh terdapat di dalam tulang sedangkan 1-2% terdapat di
dalam serum. Kadar normal magnesium dalam serum yaitu 1,8-3 mg/dl.
Magnesium diserap di usus dan disimpan di ginjal. Apabila kadar
magnesium abnormal reabsorpsi magnesium ditingkatkan oleh ginjal dibantu
dengan peranan PTH. 4
3.1. Hipomagnesemia
a. Etiologi
Hipomagnesemia sering terjadi, khususnya pada pasien kritis. Defisiensi
magnesium umumnya merupakan akibat dari asupan yang kurang, penurunan
absorpsi gastrointestinal, atau peningkatan ekskresi ginjal. Agonis reseptor B
dapat menyebabkan hipomagnesemia transien karena ion yang ditangkap oleh
jaringan adiposa. Obat-obatan yang dapat menyebabkan pembuangan magnesium
dari ginjal diantaranya etanol, teofilin, diuretik, cysplatin, aminogkikosida,
siklosforin, amphotericin B, pentanidin, dan granulocyte stimulating factor. 5
b. Manifestasi Klinis
Sebagaian besar pasien dengan hipomagnesemia tidak menimbulkan
gejala, tetapi anoreksia, fasikulasi, parestesi, kebingungan, ataksia, dan kejang
dapat terjadi. Hipomagnesemia sering kali dihubungksn dengan hipokalsemia
(gangguan sekresi hormon parstiroid) dan hipokalemia (akibat pembuangan
kalium dari ginjal). Manifestasi pada jantung yaitu iritabilitas elektrik dan
potensiasi dari toksisitas digoxin; keduanya diperparah oleh hipokalemia.
Hipomagnesemia dengan peningkatan kejadian atrial fibrilasi. Pemanjangan PR
dan interval QT juga dapat terjadi dan biasanya berhubungan hipokalsemia. 5

45

c. Tatalaksana
Pemberian kalsium oral dapat diberikan ketika gejala yang timbul
minimal. Pada pasien yang menunjukan gejala, airway, breathing, dan circulation
harus dipastikan. Pasien disritmia atau kejang harus diberikan magnesium
intravena; pada kasus pasien dengan fungsi renal normal dapat diberikan 25-50
mg/kgBB dapat diberikan 30-60 menit. Pemberian secara bolus dapat
menyebabkan bradikardi, hipotensi, dan heart block sehingga harus diberikan
secara hati-hati pada oasien dengan gangguan tersebut. Dikarenakan magnesium
pada umumnya dieksresikan melalui urin, pengembalian kadar magnesium total
menjadi normal dapat memakan waktu beberapa hari. 4
3.2. Hipermagnesemia
a. Etiologi
Peningkatan kadar megnesium plasma hampir selalu disebabkan oleh
asupan berlebih (antasida dan laxative yang mengandung magnesium), gangguan
ginjal (GFR <30 ml/menit), atau keduanya. Hipermagnesemia iatrogenik juga
dapat terjadi selama terapi hipertensi gestasional denganmagnesium sulfat baik
pada ibu dan janin. Penyebab lain yang lebih jarang ditenukan yaitu insufisiensi
adrenal, hipotiroidisme, rhabdomyolisis, penggunaan lithium. 5
b. Manifestasi Klinis
Hipermagnesemia simptomatik muncul dengan manifestasi neurologis,
neuromuskular, dan jantung. Hiporefleks, sedasi, dan kelemahan otot skeletal
merupakan gejala khas. Hipermagnesemia mengganggu pelepasan asetilkolin dan
menurunkan sensitivitas motor end-plate terhadap asetilkolin pada otot.
Vasodilatasi, bradikardi, dan depresi miokardium dapat mengakibatkan hipotensi
pada tingkat > 10mmol/dL ( >24 mg/dL). Gambaran EKG tidak konsisten namun
sering terjadi pemanjangan interval PR dan pelebaran kompleks QRS.
Hipermagnesemia yang jelas dapat mengakibatkan henti napas. 5
c. Tatalaksana

46

Tatalaksana meliputi pengurangan kandungan magnesium dan forced


diuresis. Pada kasus-kasus berat, pemberian kalsium secara intravena adalah lini
pertama agar tercapainya stabilitas membrane. Dialisis merupakan tatalaksana
definitif pada pasien gangguan ginjal, disritma, dan instabilitas hemodinamik
persisten. 4
4. Fisiologi Kalsium
Kadr normal kalsium dalam darah yaitu 8,5-10,5 mg/dl. Absorbsi Ca
terjadi di usus halus. Terdapat dua jalur dalam uptake kalsium dalam tubuh. Jalur
transeluler terjadi pada proksimal intestinal terutama pada duodenum. Jalur
paraseluller terjadi di sepanjang usus kecil terutama pada ileum dan jejunum.
Suatu senyawa organikt dapat menurunkan absorpsi kalsium, karena menurunkan
waktu transit makanan dalam saluran cerna, sehingga menurunkan kesempatan
untuk absorpsi. Contohnya adalah serat, asam oksalat dan asam fitat. Kalsium
dan asam okasalat akan membentuk garam kalsium oksalat yang tidak larut. Asam
oksalat banyak ditemukan dalam bit yang masih hijau, bayam rhubarb dan coklat.
Asam fitat banyak terkandung dalam bekatul gandum merah. Penyerapan kalsium
dipengaruhi umur dan kondisi tubuh. Pada usia kanak-kanak atau masa
pertumbuhan, sekitar 50-70% kalsium yang dicerna dan diserap. Tetapi pada usia
dewasa, hanya sekitar 10-40% yang mampu diserap tubuh. 4
4.1. Hipokalsemia
a. Etiologi
Hipokalsemia mengacu pada konsentrasi serum kalsium yang lebih rendah
dari normal, yang terjadi dalam beragam situasi klinis. Bila kadar kalsium < 8,5
mg/dl dikatakan hipokalsemia.
Hipoparatiroidisme primer terjadi dalam gangguan ini, seperti yang terjadi
pada hipoparatiroidisme bedah. Hipoparatiroidisme akibat bedah sangat sering
terjadi. Tidak hanya berkaitan dengan bedah tiroid dan paratiroid, tetapi hal ini
juga dapat terjadi setelah diseksi leher radikal dan paling sering terjadi dalam 24
jam sampai 48 jam setelah pembedahan. Hipokalsemia transien dapat terjadi
dengan pemberian darah bersitrat (seperti pada transfusi tukar pada bayi baru

47

lahir), karena sitrat dapat bergabung dengan kalsium berionisasi dan secara
sementara membuangnya dari sirkulasi.
Inflamsi pankreas menyebabkan pecahnya protein dan lemak. Ada dugaan
bahwa ion kalsium bergabung dengan asam lemak yang dilepaskan oleh hipolisis,
membentuk sabun. Sebagai hasil dari proses ini, hipokalsemia terjadi dan umum
dalam

pankreatitis.

Juga

menjadi

dugaan

dalam

bahwa

hipokalsemia

kemungkinan berkaitan dengan sekresi glukagon yang berlebihan dari pankreas


yang mengalami inflamasi, sehingga mengakibatkn peningkatan sekresi kalsitosin
(suatu hormon yang menurunkan ion kalsium).
Hipoklasemia umumnya terjadi pada pasien dengan gagal ginjal karena
pasien ini sering mengalami kenaikan kadar serum fosfat. Hiperfosfatemia
biasanya menyebabkan penurunan resiprokal dalam kadar serum kalsium.
Penyebab lain hipokalsemia dapat mencakup konsumsi vitamin D yang tidak
adekuat, defisiensi magnesium, karsinoma medula tiroid, kadar albumin serum
yang rendah, dan alkalosis. Medikasi yang dapat memprediposisi kepada
hipokalsemia termasuk antasid yang mengandung aluminium, aminoglikosida,
kafein, sisplatin, kortikosteroid, mitramisin, fosfat, isoniasid, dan diuretik loop.
Osteoporosis berkaitan dengan masukan kalsium rendah dalam waktu
yang lama dan menunjukan kekurangan kalsium tubuh total, meskipun kadar
kalsium serum biasanya normal. Gangguan ion banyak menyerang orang Amerika
terutama wanita pascamenopause. Gangguan ini di tandai dengan kehilangan
massa tulang, yang menyebabkan tulang menjadi berongga dan rapuh, dan
karenaya rentan terhadap fraktur. 2
b. Manifestasi Klinis
Tetani merupakan manisfestasi yang paling khas dari hipokalsemia. Tetani
mengacu pada kompleks gejala keseluruhan yang di induksi oleh eksatibilitas
neural yang meningkat. Gejalagejala ini adalah akibat lepasan secara spontan
baik serabut motorik dan sensorik pada saraf perifer. Sensasi semutan dapat terjadi
pada ujung jarijari, sekitar mulut, dan yang jarang terjadi adalah pada kaki.
Dapat terjadi spasme otot ekstremitas dan wajah. Nyeri dapat terjadi sebagai
akibat dari spasme ini.

48

Kejang dapat terjadi karena hipokalsemia meningkatkan iritabilitas sistem


saraf pusat juga saraf ferifer. Perubahan lain yang termasuk dengan hipokalsemia
termasuk perubahanperubahan mental seperti depresi emosional, kerusakan
memori, kelam pikir, delirium, dan bahkan halusinasi. Interval QT yang
memanjang tampak pada gambar EKG karena elongasi segmen ST; bentuk
takikardia ventrikular yang di sebut Torsades de Pointes dapat terjadi.
Gejala lain yang dapat timbul antara lain karies dentis, pertumbuhan
tulang yang tidak sempurna, gangguan penggumpalan darah. 1,2
c. Tatalaksana
Hipokalsemia simtomatik adalah kedaruratan, membutuhkan pemberian
segera kalsium intravena. Garam kalsium parenteral termasuk kalsium glukonat,
kalsium klorida dan kalsium gluseptat. Meskipun kalsium klorida menghasilkan
kalsium berionisasi yang secara signifikan lebih tinggi dibanding jumlah
akuimolar kalsium glukonat, cairan ini tidak sering digunakan karena cairan
tersebut lebih mengiritasi dan dapat menyebabkan peluruhan jaringan jika
dibiarkan menginfiltrasi. Pemberian infus intravena kalsium yang terlalu cepat
dapat menginduksi henti jantung, yang didahului oleh brakikardia. Pemberian
kalsium intavena terutama bahaya pada pasien yang mendapat digitalis karena ion
kalsium mengeluarkan suatu efek yang serupa dengan efek yang dimiliki digitalis
dan dapat menyebabkan toksisitas digitalis dengan efek jantung yang merugikan. 2
Terapi vitamin D dapat dilakukan untuk meningkatkan absorbsi ion
kalsium dari traktus GI. Antasid hidroksida alumunium dapat diresepkan untuk
menurunkan kadar fosfor yang meningkat sebelum mengobati hipokalsemia. Dan
terakhir, menigkatkan masukan diet kalsium sampai setidaknya 1000 hingga 1500
mg/hari pada orang dewasa sangat di anjurkan (produk dari susu; sayuran berdaun
hijau, salmon kaleng, sadin, dan oyster segar). Jika tetani tidak memberikan
respons terhadap kalsium IV maka kadar magnesium yang rendah sebagai
kemungkinan penyebab tetani.

Dapat diberikan CaCl2 10%: 3-4 ml atau Ca

glukonas 10% : 10 ml.


4.2. Hiperkalsemia

49

a. Etiologi
Hiperkalsemia (kadar kalsium darah yang tinggi) adalah suatu keadaan
dimana konsentrasi kalsium dalam darah lebih dari 10,5 mg/dL darah.
Hiperkalsemia didefinisikan sebagai kadar kalsium serum > 10,6 mg/dL atau
ketika kalsium ion > 1,38 mmol/L. Penyebab umum hiperkalsemia adalah:
hiperparatiroid
penyakit neuroplastik malignan
imobilisasi lama
penggunaan berlebih suplemen kalsium
kelebihan vitamin D
b. Manifestasi Klinis
Konsumsi kalsium yang berlebihan dapat menyebabkan sulit buang air
besar (konstipasi) dan menggnggu penyerapan mineral seperti zat besi, seng, dan
tembaga. Kelebihan kalsium jangka panjang akan menyebabkan resiko
hiperkalsemia, batu ginjal dan gangguan fungsi ginjal. Oleh karena itu konsumsi
kalsium dianjurkan tidak lebih dari 2500 mg/hari. Gejala lain yan dapat terjadi
yaitu:
nyeri epigastrik
kelemahan otot
anoreksia
mual/Muntah
gangguan mental
dan penurunan berat badan
c. Tatalaksana
Terapi pada kasus hipokalsemia dapat dilihat pada Tabel 5. Pasien dengan
hiperkalsemia berat atau dengan dehidrasi harus segera ditangani. Pada
insufisiensi adrenal dapat juga diberikan glukokortikoid. 4

50

Dapat diberikan:
NaCl 0,9% + loop diuretik (furosemid)
NaCl: perbaiki volume intravaskuler -> perfusi jaringan dan aliran darah ke ginjal
adekuat
Diuretika: meningkatkan eksresi kalium
5. Fisiologi Klorida
Klorida merupakan anion utama dalam cairan ekstrasel. Jumlah klorida
pada orang dewasa normal sekitar 30 mEq per kilogram berat badan. Sekitar 88%
klorida berada dalam cairan ekstraseluler dan 12% dalam cairan intrasel.
Konsentrasi klorida pada bayi lebih tinggi dibandingkan pada anak-anak dan
dewasa.
Keseimbangan Gibbs-Donnan mengakibatkan kadar klorida dalam cairan
interstisial lebih tinggi dibanding dalam plasma. Klorida dapat menembus
membran sel secara pasif. Perbedaan kadar klorida antara cairan interstisial dan
cairan intrasel disebabkan oleh perbedaan potensial di permukaan luar dan dalam
membran sel.
Jumlah klorida dalam tubuh ditentukan oleh keseimbangan antara klorida
yang masuk dan yang keluar. Klorida yang masuk tergantung dari jumlah dan
jenis makanan. Kandungan klorida dalam makanan sama dengan natrium. Orang
dewasa pada keadaan normal rerata mengkonsumsi 50-200 mEq klorida per hari,
dan ekskresi klorida bersama feses sekitar 1-2 mEq perhari. Drainase lambung
atau usus pada diare menyebabkan ekskresi klorida mencapai 100 mEq perhari.
51

Kadar klorida dalam keringat bervariasi, rerata 40 mEq/L. Bila pengeluaran


keringat berlebihan, kehilangan klorida dapat mencapai 200 mEq per hari.
Ekskresi utama klorida adalah melalui ginjal. 1
Nilai Rujukan Klorida
- serum bayi baru
- serum anak
- serum dewasa
- keringat anak
- keringat dewasa
- urine
- feses

: 94-112 mmol/L
: 98-105 mmol/L
: 95-105 mmol/L
: <50 mmol/L
: <60 mmol/L
: 110-250 mmol/24 jam
: 2 mmol/24 jam

5.1. Hipoklorinemia
a. Etiologi
Hipokloremia (serum [Cl-] < 95 mmol/L) terjadi jika pengeluaran klorida
melebihi pemasukan.1 Hipokloremia dapat disebabkan oleh dilusi dan menyertai
penyakit tertentu. Hipoklorinemia juga dapat terjadi pada gangguan yang
berkaitan dengan retensi bikarbonat, contohnya pada asidosis respiratorik kronik
dengan kompensasi ginjal.1 Hipokloremia dapat disebabkan oleh:6
Alkalosis metabolik
Asidosis respiratorik (kronis)
Overhidrasi dengan cairan hipotonis
Terapi diuretik
Pelepasan ADH yang tidak sesuai
Luka bakar

5.2. Hiperklorinemia
a. Etiologi
Hiperklorinemia terjadi jika pemasukan melebihi pengeluaran pada
gangguan

mekanisme

homeostasis

dari

klorida.

Umumnya

penyebab

hiperklorinemia sama dengan hipernatremia. Hiperklorinemia dapat dijumpai pada


kasus dehidrasi, asidosis tubular ginjal, gagal ginjal akut, asidosis metabolik yang
disebabkan karena diare yang lama dan kehilangan natrium bikarbonat, diabetes
insipidus, hiperfungsi status adrenokortikal, alkalosis respiratorik, intoksikasi
52

bromida dan penggunaan larutan salin hipertonis atau larutan normal salin yang
berlebihan.1,6 Asidosis hiperklorinemia dapat menjadi petanda pada gangguan
tubulus ginjal yang luas.1 Gangguan klorida seringkali merupakan pertanda
abnormalitas lain pada penyakit serius dan biasanya ada indikasi penanganan
khusus. Akan tetapi, penting untuk menentukan penyebab gangguan klorida dan
menangani penyebabnya.6
6. Fisiologi Fosfat
Fosfor, dalam bentuk fosfat inorganik didistribusikan dalam konsentrasi
yang serupa di cairan intraseluler dan ekstraseluler. Dari total fosfor, 90% terdapat
di tulang, 10% intraseluler, serta sisanya <1% ditemukan di cairan ekstraseluler.
Fosfat di dalam tubuh ditemukan dalam bentuk ion bebas (55%), ion kompleks
(33%), dan protein-bound (12%). 7
Kadar fosfat dalam darah bervariasi; rentang normal dari total fosfat
inorganik pada orang dewasa berkisar antara 2,7-4,5 mg/dL. Regulasi fosfat
inorganik dicapai dengan perubahan ekskresi ginjal dan redistribusi dalam
kompartemen tubuh. Absorpsinya terjadi di duodenum dan jejunum.7
Reabsorpsi fosfat di ginjal utamanya diatur oleh PTH, asupan diet, dan
insulin-like growth factor. Fosfat secara bebas difiltrasi di glomerulus dan
konsentrasinyadi glomerular ultrafiltrate mirip dengan plasma. Fosfat yang sudah
difiltrasi kemudian direabsorpsi di tubulus proksimal dan kemudian di
kotransportasikan bersama dengan natrium. Reabsorpsi fosfat di tubulus
proksimal terjadi dengan cara kotransport pasif dengan natrium. Kontransport
diatur oleh masukan fosfor dan PTH. Ekskresi fosfat meningkat pada ekspansi
volum dan menurun pada alkalosis respiratorik.7
Fosfat menyediakan ikatan energi pada ATP dan fosfat kreatinin. Oleh
karena itu, kurangnya fosfat yang berlebihan berakibat pada penurunan energi
seluler. Fosfor merupakan elemen penting dalam system second messenger,
termasuk cAMP dan fosfoionositid, dan merupakan komponen mayor dari asam
nukleat,

fosfolipid,

diphosphoglycerate,

dan

membrane

sel.

fosfat

membantu

pelepasan

53

Sebagai

bagian

oksigen

dari

dari

2,3-

molekul

hemoglobin. Fosfor juga berfungsi pada fosforilasi protein dan berperan sebagai
buffer urin.7
6.1 Hipofosfatemia
a. Etiologi
Penyebab utama hipofosfatemia:8
Alkoholisme kronik dan alcohol withdrawal
Defisiensi diet dan penggunaan antasida
Luka bakar termal berat
Penyembuhan ketoasidosis diabetikum, alkalosis respiratorik
Neuroleptic malignant syndrome
Transplantasi ginjal, gagal ginjal akut
b. Manifestasi Klinis
Manifestasi neurologis dari hipofosfatemia adalah parestesi, miopati,
ensefalopati, delirium, kejang, dan koma. Kelainan hematologi yang dapat terjadi
adalah disfungsi eritrosit, trombosit, dan leukosit. Karena hipofosfatemia
membatasi kemampuan aktivitas kemotaksis, fagositik, dan bakterisidal dari
granulosit, disfungsi imunitas dapat berkontribusi terhadap terjadinya sepsis pada
pasien hipofosfatemia. Kelemahan otot dan malaise sering ditemukan. Kegagalan
otot-otot pernapasan dan dan disfungsi miokardium dapat terjadi. Rhabdomyolisis
merupakan komplikasi dari hipofosfatemia berat.7
c. Tatalaksana
Sebelum memulai terapi, penyebab hipofosfatemia harus diidentifikasi
melalui pemeriksaan analisa gas darah dan konsentrasi ion kalsium, magnesium,
kalium, serta fosfor serum dan urin. Garam fosfat seperti fosfat natrium dan
kalium tersedia untuk pemberian oral dan intravena. Volume distribusi (400
mL/kg) dikalikan dengan kadar fosfat anorganik yang diinginkan untuk
menentukan jumlah total fosfat yang akan diberikan. Kecepatan pemberian
melalui intravena tidak boleh melebihi 0.25 mmol/kg dalam waktu 4-6 jam untuk
mencegah hipokalsemia dan kerusakan jaringan. Suplementasi oral seringkali

54

terbatas dalam 30 mmol/hari (1g/hari) karena induksi diare. Hiperfosfatemia harus


dihindari karena dapat menyebabkan hipokalsemia dan deposisi Kristal pada
mata, jantung, paru-paru, pembuluh darah, dan ginjal. Setelah kadar fosfat serum
normal tercapai, konsentrasi serum fosfat anorganik dan ion kalsium dan sampel
urin 24 jam harus dimonitor untuk memastikan keseimbangan sudah tercapai.8
6.2 Hiperfosfatemia
a. Etiologi
Hiperfosfatemia berat terjadi setelah kerusakan jaringan atau kematian sel.
Hiperfosfatemia derajat sedang atau berat dapat disebabkan oleh gangguan
ekskresi fosfor akibat gagal ginjal. Dengan memburuknya gagal ginjal,
glomerular filtration rate turun hiingga kurang dari 25 mL/menit, dan
hiperfosfatemia terjadi. Peningkatan turnover sel dapat terjadi akibat keganasan
atau destruksi sel akibat kemoterapi.8
Hipoparatiroidisme dapat menyebabkan hiperfosfatemia pada fungsi ginjal
normal. Peningkatan serum fosfat yang cepat dapat menyebabkan hipokalsemia
berat.

Hipokalsemia

terjadi

akibat

penurunan

produksi

kalsitriol

yang

menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di traktus gastrointestinal. Ketika


produk kalsium-fosfor melebihi 70 mg/dL 2, resiko kalsifikasi abnormal
meningkat. Peningkatan kadar kalsium dan fosfor menandakan control fosfat yang
buruk dan seringkali dihubungkan dengan kalsifikasi jaringan metastatik.8\
Mechanism

Clinical Syndromes

Binding to serum
Including plasma cell dyscrasias
proteins
Renal insufficiency, hypoparathyroidism,
pseudohypoparathyroidism types I and II, tumoral calcinosis,
Decreased renal
pseudoxanthoma elasticum, infantile hypophosphatasia,
excretion
hyperostosis, hyperthyroidism, adrenal insufficiency,
bisphosphonate therapy
Increased
intestinal
absorption

Phosphorus-containing cathartics; medication with vitamin D


compounds; granulomatous disease producing vitamin D,
including sarcoidosis and tuberculosis

Internal
redistribution

Acute metabolic or respiratory acidosis, reduced insulin level,


clonidine administration

55

Mechanism

Clinical Syndromes

Cellular release

Rhabdomyolysis; organ infarction; tumor lysis, as in Burkitt's or


lymphoblastic lymphomas or metastatic small cell carcinoma

Parenteral
administration

Intravenous phosphate salts, lipid (phospholipid) infusion

b. Manifestasi Klinis
Meskipun hiperfosfatemia sendiri tidak bertanggungjawab secara langsung
terhadap gangguan fungsional apapun, efek sekundernya terhadap kalsium plasma
sangat penting. Hiperfosfatemia yang bermakna menurunkan kadar kalsium
plasma dengan presipitasi dan deposisi kalsium fosfat di tulang dan jaringan lunak
c. Tatalaksana
Hiperfosfatemia dikoreksi dengan mengeliminasi penyebab peningkatan
ion fosfat dan koreksi hipokalsemia. Suplementasi kalsium pada pasien
hipokalsemia harus ditunda sampai kadar serum fosfat kurang dari 2.0 mmol/L
(6.0 mg/dL). Konsentrasi serum ion fosfat dikurangi dengan membatasi asupan,
emingkatkan ekskresi urin dengan saline dan asetazolamid (500 mg tiap 6 jam),
dan meningkatkan ekskresi melalui gastrointestinal dengan pemberian aluminium
hidroksida (30-45 mL tiap 6 jam). Aluminium hidroksida menyerap ion fosfat
yang diekskresikan ke lumen usus. Hemodialisa dan dialisa peritoneal efektif
dalam mengeliminasi ion fosfat pada pasien dengan gagal ginjal.7

Bacaan Yang Disarankan


1. Boldt J: New light on intravascular volume replacement regimens: what did
we learn from the past three years? Anesth Analg 2003;97:1595. Metaanalysis

56

of 40 studies of intraoperative intravascular volume resuscitation.


2. Mollison PL, Engelfriet CP, Contreras M: Blood Transfusion in Clinical
Medicine, 10th ed. Blackwell Science, 1997.
3. Pestana C: Fluids and Electrolytes in the Surgical Patient, 5th ed. Lippincott,
Williams & Wilkins, 2000.
4. Practice Guidelines for blood component therapy: a report by the American
Society of Anesthesiologists Task Force on Blood Component Therapy. Park
Ridge,

IL:

American

Society

of

Anesthesiologists.

Anesthesiology

1996;84:732.
5. University Hospital Consortium Clinical Practice Advancement Center:
Technology assessment: albumin, nonprotein colloid, and crystalloid
solutions. Oak Brook, IL, May 2000. Excellent evidence-based guidelines
useful for guiding intravenous fluid therapy during the perioperative period.
6. van Hilten JA, van de Watering LMG, van Bockel JH, et al: Effects of
transfusion with red cells filtered to remove leucocytes: randomised controlled
trial in patients undergoing major surgery. BMJ 2004;328:1281. Good review
of the effects of transfusing leukocyte-poor RBCs.

57

Anda mungkin juga menyukai