Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Definisi
Asal kata Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun
1846. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan
kelompok ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Bergantung pada
dalamnya pembiusan, anestetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya
sensasi nyeri atau efek anesthesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran,
sedangkan anestetik lokal hanya menimbulkan efek analgesia. Anestesi umum bekerja di
Susunan Saraf Pusat, sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada Serabut Saraf di
Perifer. (2)
Anestesi umum (General Anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose Umum
(NU). Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidak
sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien.
(1)

Dengan anestesi, akan diperoleh triad (trias) anestesia, yaitu : (1)

Hipnosis (tidur)
Analgesia (bebas dari nyeri)
Relaksasi otot
Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran, isofluran,

sevofluran). Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu. Obat-obat
tertentu misalnya thiopental hanya menyebabkan tidur tanpa relaksasi atau analgesia,
sehingga hanya baik untuk induksi. Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi
modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka trias anestesi diperoleh dengan
menggabungkan berbagai macam obat. Eter menyebabkan tidur, analgesia dan relaksasi,
tetapi karena baunya tajam dan kelarutannya dalam darah tinggi sehingga agak mengganggu
dan lambat (meskipun aman) untuk induksi. Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat
pelemas otot (muscle relaxant). Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus

otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan. Obat-obat opium seperti morfin
dan petidin akan menyebabkan analdesia dengan sedikit perubahan pada tonus otot atau
tingkat kesadaran. Kombinasi beberapa teknik dan obat dapat dipergunakan untuk mencapai
tujuan ini dan kombinasi ini harus dipilih yang paling sesuai untuk pasien. (1)

I.1. KONSEP NYERI

Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan.
Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu :

Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan,


berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang
nyata (pain with nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut.

Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan kerusakan
jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut
sebagai nyeri kronis.
Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi,

defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri


memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri
sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme
defensif, memungkinkan untuk immobilsasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau
patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan.
Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya nyeri
pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui, misalnya, nyeri
yang dirasakan oleh seorang pada daerah perut kanan bawah, kemungkinan pasien tersebut
menderita radang usus buntu. Contoh lain, misalnya seorang ibu hamil cukup bulan,
mengalami rasa nyeri di daerah perut, kemungkinan merupakan tanda bahwa proses
persalinan sudah dimulai.
Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah menyebar ke
berbagai jaringan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang, nyeri yang dirasakanya tidak lagi
berperan sebagai mekanisme proteksi, defensif atau diagnostik, tetapi akan menambah
penderitaannya semakin berat.
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang mengakibatkan
penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya tidak saja tertuju pada usaha untuk
mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau mutu

kehidupan pasien, sehingga ia dapat menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga
maupun lingkungannya.
I.2. DEFINISI NYERI
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya
diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International
Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang
tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Dari definisi dan konsep nyeri
di atas dapat di tarik dua kesimpulan. Yang pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi
yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan
yang nyata. Jadi nyeri terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with
nociception). Yang kedua, perasaan yang sama juga dapat timbul tanpa adanya kerusakan
jaringan yang nyata. Jadi nyeri dapat terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata
(pain without nociception).

BAB II
PEMBAHASAN

KLASIFIKASI NYERI
Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu :
1. Menurut Jenisnya : nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri psikogenik.
2. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronis.
3. Menurut penyebabnya : nyeri onkologik dan nyeri non onkologik.
4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang dan berat.
Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik
Nyeri akut
- Lamanya dalam hitungan menit

Nyeri kronik
- Lamannya

sampai

hitungan

Sensasi tajam menusuk

Dibawa oleh serat A-delta

Sensasi terbakar, tumpul, pegal

Ditandai peningkatan BP, nadi,

Dibawa oleh serat C

dan respirasi

Fungsi fisiologi bersifat normal

Kausanya

Kausanya

spesifik,

bulan

dapat

diidentifikasi secara biologis


-

Respon pasien : Fokus pada


nyeri,

menangis

dan

Tingkah

laku

Tidak ada keluhan nyeri, depresi


dan kelelahan

menggosok

bagian yang nyeri


-

jelas

mungkin tidak

mengerang, cemas
-

mungkin

Respon terhadap analgesik


meredakan nyeri secara efektif

Tidak ada aktifitas fisik sebagai


respon terhadap nyeri

Respon terhadap analgesik :


sering kurang meredakan nyeri

Menurut derajat nyerinya


Berdasarkan derajat nyerinya diklasifikasikan menjadi 3 kriteria, yaitu :

1. Nyeri ringan : adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan aktifitas
sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
2. Nyeri sedang : adalah nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang hanya
hilang jika penderita tidur.
3. Nyeri berat : adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari, penderita
tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.

Fisiologi dan Anatomi Nyeri


Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi tentang
ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan
nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus
pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai
beberapa komponen
a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi dan
menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.(orde 1)
b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke CNS.
c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara serat
aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara lokal
eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.
d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan
ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus. (orde 2)
e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay
sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3)
Patofisiologi Nyeri
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti pembedahan akan
menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat kimia bersifat

algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. akan terjadi pelepasan
beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain,
seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat
menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik 3,4

Tabel 2.1 Zat-zat yang timbul akibat nyeri


Zat

Sumber

Kalium

Sel-sel rusak

Seroronin

Trombosis

Bradikinin

Kininogen plasma

Histramin

Sel-sel mast

Prostaglandin Asam arakidonat dan sel rusak


Lekotrien

Asam arakidonat dan sel rusak

Substansi P

Aferen primer

Menimbulkan nyeri Efek pada aferen primer


++
++
+++
+

Mengaktifkan
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Sensitisasi
Sensitisasi
Sensitisasi

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan
nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses
nosisepsi yaitu:3,4
1. Tranduksi

Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-ujung
saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien,
substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau
mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung
bebas serat-serat afferent A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan
kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A
delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik
nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan
reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
2. Transmisi
Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang menyusul proses
tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke
medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi
meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai
diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih
cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medulla
spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron
nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent A-delta dan C
diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-lateral dan sebagian lagi
ke sel-sel neuron yang berada di kornua anterior medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di
kornua antero-lateral akan menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis
dengan segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua
anterior medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera
dengan segala akibatnya.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan input
nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta
dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medulla spinalis tidak semuanya
diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara
impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem
inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih

dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi
yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks,
termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensibel nyeri.

Proses perjalanan nyeri

Respon Tubuh Terhadap Stres Nyeri


Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam tubuh. Impuls nyeri oleh serat
afferent selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis, juga
akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral dan kornu anterior medulla spinalis.6
Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin yang sesuai
dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri melalui serat saraf
afferent diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis dan
juga diteruskan melalui sel-sel dikornu anterolateral dan kornu anterior medulla spinalis
memberikan respon segmental seperti peningkatan muscle spasm (hipoventilasi dan
penurunan aktivitas), vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi fungsi organ visera (distensi
abdomen, gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga mempengaruhi respon
suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal, metabolik dan imunologi yang
menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon terjadap psikologis pasien seperti
interpretasi nyeri, marah dan takut.4,5
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan mengaktifkan sistem
simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem simpatis akan teraktifkan. Nyeri
akut baik yang ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada tubuh seperti :
a. Sistem respirasi
Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek segmental, dan
hormon seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan kebutuhan
oksigen tubuh dan produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan
ventilasi permenit sehingga meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini menyebabkan
peningkatan kerja sistem pernafasan, khususnya pada pasien dengan penyakit paru.
Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan volume tidal dan kapasitas residu
fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis, intrapulmonary shunting,
hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi hipoventilasi.
b. Sistem kardiovaskuler
Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi, hipoksia
jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa peningkatan

produksi katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik hormon (ADH) sehingga
mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan
resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang normal cardiac output akan
meningkat tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantung akan mengalami
penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk keadaanya. Karena
nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen myocard, sehingga nyeri dapat
menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.
c. Sistem gastrointestinal
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan menurunkan motilitas
saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan
menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas usus, potensial
menyebabkan pasien mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah, dan konstipasi
sering terjadi. Distensi abdomen memperberat hilangnya volume paru dan pulmonary
dysfunction.
d. Sistem urogenital
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih dan
menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.
e. Sistem metabolisme dan endokrin
Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin. Metabolisme
otot jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Respon hormonal
terhadap nyeri meningkatkan hormon-hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol
dan glukagon dan menyebabkan penurunan hormon anabolik seperti insulin dan
testosteron. Peningkatan kadar katekolamin dalam darah mempunyai pengaruh pada
kerja insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan gangguan metabolisme
glukosa. Kadar gula darah meningkat. Hal ini mendorong pelepasan glukagon.
Glukagon memicu peningkatan proses glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri
akan menimbulkan keseimbangan negative nitrogen, intoleransi karbohidrat, dan
meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol bersamaan dengan peningkatan

renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon antidiuretik yang menyebabkan retensi


natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari ruangan ekstraseluler.
f. Sistem hematologi
Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan
hiperkoagulopati.
g. Sistem imunitas
Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat mendepresi
sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan pasien beresiko menjadi
mudah terinfeksi.
h. Efek psikologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety), ketakutan,
agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri berkepanjangan dapat
menyebabkan depresi.
i. Homeostasis cairan dan elektrolit
Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon aldosterom berupa
retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan
penurunan produksi urine. Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan
berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.

PENILAIAN NYERI
Derajat Nyeri
Berbagai cara dipakai untuk mengukur derajat nyeri, cara yang sederhana dengan
menentukan derajat nyeri secara kualitatif sebagai berikut :
1. Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan aktivitas
sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
2. Nyeri sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas terganggu, yang hanya hilang
apabila penderita tidur.
3. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari, pendeita
tidak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri waktu tidur.
Pada saat ini banyak yang menentukan derajat nyeri secara semi-kuantitatif dengan
menggunakan penggaris yang diberi angka pada skala 0 yang berarti tidak nyeri sampai 10
untuk nyeri yang maksimal. Cara ini popular disebut Numerical Rating Score (NRS). Disini
secara subyektif penderita diberi penjelasan terlebih dahulu bahwa bila tidak ada nyeri diberi
angka 0, sedang nyeri terhebat yang tak tertahankan lagi diberi angka 10. Kemudian
penderita diminta menentukan derajat nyerinya dalam cakupan 0 sampai 10. Untuk
mempermudah biasanya disodorkan gambar skala dari 0-10 pada penderita untuk diminta
menentukan tempat derajat nyeri yang dideritanya.

Cara lain yang sudah popular terlebih dahulu adalah mempergunakan Visual
Analogue Scale.
Walaupun menilai nyeri merupakan hal yang sangat subyektif, penderitaan nyeri
pasien perlu dievaluasi secara berkala.

Diagnostik Nyeri
Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini diagnostik nyeri sesuai
dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Langkah ini meliputi langkah
anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan kalau perlu pemeriksaan
radiologi serta pemeriksaan imaging dan lain-lain. Dengan demikian diagnostik terutama
ditujukan untuk mencari penyebab. Dengan menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan
mereda atau hilang. Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnosa nyeri
tidak ada.2,3
Pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan seksama yng dilakukan sebelum
pengobatan dimulai, secara teratur setelah pengobatan dimulai, setiap saat bila ada laporan
nyeri baru dan setelah interval terapi 15-30 menit setelah pemberian parenteral dan 1 jam
setelah pemberian peroral.
a. Anamnesis yang teliti
Dalam melakukan anamnesis terhadap nyeri kita harus mengatahui bagaimana
kualitas nyeri yang diderita meliputi awitan, lama, dan variasi yang ditimbulkan untuk
mengetahui penyebab nyeri. Selain itu, kita juga harus mengetahui lokasi dari nyeri
yang diderita apakah dirasakan diseluruh tubuh atau hanya pada bagian tubuh tertentu.
intensitas nyeri juga penting ditanyakan untuk menetapkan derajat nyeri. Tanyakan
pula keadaan yang memperberat atau memperingan nyeri. Tanyakan pula tentang
penyakit sebelumnya, penggobatan yang pernah dijalani, dan alergi obat.7
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan patofisiologi
nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk mendapatkan
hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan stimulus simpatik
seperti takikardia, hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan Glasgow come scale
rutin dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada proses patologi di intracranial.
Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting
dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia,

hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting menggambarkan kemungkinan
nyeri neurogenik.
c. Pemeriksaan psikologis
Mengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri yang
subjektife, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang harus
dilakukan dengan seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor kejiwaan yang
menyertai.Test yang biasanya digunakan untuk menilai psikologis pasien berupa the
Minnesota

Multiphasic

Personality

Inventory

(MMPI).

Dalam

menetahui

permasalahan psikologis yang ada maka akan memudahkan dalam pemilihan obat
yang tepat untuk penaggulangan nyeri.
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengatahui penyebab dari
nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan imaging
seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan.

PENATALAKSANAAN NYERI
Prinsip Umum Penatalaksanaan Nyeri
Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus memahami
tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan nyeri ini terdapat
prinsip-prinsip umum yaitu :
1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama
2. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat
3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga
4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan
5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesarbesarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua metode umum untuk
terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologik dan non farmakologik.
Pendekatan Farmakologik
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder6.
Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan obat
opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga,
disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri
kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1

Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat pembantu.
Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-masing taraf
penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas analgesik,
memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan untuk bertindak sebagai obat
tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.
Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan. Terdapat tiga
kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik opioid dan antagonis dan agonisantagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut adjuvan atau koanalgesik. Penatalaksanaan
farmakologik dengan obat-obat analgesik harus digunakan dengan menerapkan pendekatan

bertahap. Ada pula mengatasi nyeri secara terpadu yaitu bila pada proses transduksi diberikan
NSAID, bila pada proses transmisi diberikan anestesi lokal, dan bila pada proses modulasi
diberikan narkotik.
1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai
sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen (tylenol) dan OAINS.
Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi
(kecuali asetaminofen). OAINS yang sering digunakan adalah asam asetil salisilat
(aspirin) dan ibuprofen (advil). OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat
ringan, penyakit meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.

Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid

OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui


inhibisi

sintesis

prostaglandin

dari

prekursor

asam

arakidonat.

Prostaglandin

mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan produk inflamatorik lain di
tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin, untuk menimbulkan hiperalgesia.
Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor dengan
menghambat sintesis prostaglandin.

Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau toleransi


fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis melebihi kadar tertentu tidak
menambah efek analgesik. Penyulit yang tersering berkaitan dengan pemberian OAINS
adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu pendarahan, pengelihatan kabur,
perubahan minor uji fungsi hati, dan berkurangnya fungsi hati, dan berkurangnya fungsi
ginjal.
2. Analgesik opioid
Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan digunakan dalam
pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini merupakan patokan dalam
pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah suatu alkaloid
yang berasal dari getah tumbuhan

opium poppy yang telah dikeringkan dan telah

digunakan sejak berabad-abad yang lalu karena efek analgesik, sedatif dan euforiknya.
Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat
dan masih standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain.
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek
analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak
penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem limbik, talamus, PAG, substansia
gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid endogen seperti morfin menimbulkan efek
dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa dengan opioid endogen (endorfinenkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan
mengikat reseptor opioid di nukleus modulasi-nyeri di batang otak, morfin menimbulkan
efek pada sistem-sistem desenden yang menghambat nyeri.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua
opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan (adiksi).
Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut diberikan dalam
jangka panjang, misalnya pada terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi silang yang
cukup luas diantara obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah komplete. Misalnya codein,
tramadol, morfin solutio.

Mekanisme kerja obat untuk nyeri


3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid
Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan mengikat
reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu antagonis opioid
murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid. Nalokson digunakan untuk
melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang paling serius adalah depresi nafas dan
sedasi.
Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti pentazosin (talwin)
dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien yang bergantung pada narkotik,
maka obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus obat. Agonis-antagonis opioid
adalah analgetik efektif apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (misalnya depresi pernafasan)
dibandingkan dengan antagonis opioid murni.
4. Adjuvan atau koanalgesik
Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula dikembangkan untuk
tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki sifat analgetik
atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat
ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespon
terhadap opioid.
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti efektif
untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. Anti kejang ini
efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel saraf
dan menekan respon akhir di saraf.

Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah analgetik yang


sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang menimbulkan
nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pasca herpes, invasi
struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis reumatoid. Pada
pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik yang
independen dari aktivitas antidepresan.
Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin
(vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif apabila
diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam (valium), yang digunakan
untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya
dexametason, yang telah digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan
kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker.
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa (misalnya,
agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan opioid
atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan secara
sistemis karena memulihkan respons adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor
sentral dan perifer. Antagonis

alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan dalam

penatalaksanaan nyeri yang disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping utama dari
obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang diinduksi oleh
opioid.

Pendekatan Nonfarmakologik
Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien dan
dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak terkait
keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode nonfarmakologik
untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku.
Sebagian dari modalitas ini mungkin berguna walaupun digunakan secara tersendiri atau
digunakan sebagai adjuvan dalam penatalaksanaan nyeri.
1. Terapi dan Modalitas Fisik
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit
(pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur, aplikasi panas atau dingin,
olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat non-nosiseptif yang berdiameter

besar untuk menutup gerbang bagi serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan
nyeri sehingga nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahwa stimulasi kulit juga dapat
menyebabkan tubuh

mengeluarkan endorfin dan neurotransmiter lainnya yang

menghambat nyeri.
Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan adalah
pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah tekanan dan stimulasi
yang bervariasi terhadap berbagai titik diseluruh tubuh. Pijat akan melemaskan
ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi lokal. Pijat punggung memiliki efek
relaksasi yang kuat dan apabila dilakukan oleh individu yang penuh perhatian maka akan
menghasilkan efek emosional yang positif.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri dari suatu alat
yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik lemah melalui elektroda yang
diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya diletakkan diatas atau dekat dengan
bagian yang nyeri. TENS digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri
pascaoperasi, nyeri punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer dan artritis
rematoid.
Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke dalam
berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode noninvasif lain
untuk merangsang titik-titik pemicu adalah memberi tekanan dengan ibu jari, suatu
teknik yang disebut akupresur.
Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat digunakan untuk
melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri yang berkaitan dengan
kekakuan dan imobilitas.
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama dikeketahui sebagai
metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas dapat disalurkan
melalui konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik, lampu, kompres basah
panas), konveksi (whirpool, sitz bath, berendam air panas), konversi (ultrasonografi,
diatermi). Nyeri akibat memar, spasme otot, dan artritis berespon baik terhadap panas.
Karena melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah lokal, panas jangan
digunakan setelah cidera traumatik saat masih ada edema dan peradangan. Karena
meningkatkan aliran darah, panas mungkin meredekan nyeri dengan menyingkirkan
produk-produk inflamasi seperti bradikinin, histamin, dan prostaglandin yang
menimbulkan nyeri lokal.

Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi dingin
efektif untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar, tersayat, terkilir). Dingin
dapat disalurkan dlam bentuk berendam atau komponen air dingin, kantung es,
aquamatic K pads, dan pijat es. Aplikasi dingin mengurangi aliran darah ke suatu bagian
dan mengurangi edema serta perdarahan. Diperkirakan bahwa terapi dingin
menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga
impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja
bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi nyeri.
2. Strategi kognitif-perilaku
Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien terhadap
nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang lebih mampu untuk
mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan
(imagery), hipnosis, dan biofeedback. Walaupun sebagian

besar metode kognitif-

perilaku menekankan salah satu relaksasi atau pengelihatan, pada praktik keduanya tidak
dapat dipisahkan.
Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan bernafas dalam,
meditasi dan mendengarkan musik-musik yang menenangkan. Teknik-teknik relaksasi
akan mengurangi rasa cemas, ketegangan otot, dan stress emosi sehingga memutuskan
siklus nyeri-stress-nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat.
Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan perhatian pasien
pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton televisi, membaca buku, mendengar
musik, dan melakukan percakapan.
Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk pengalihan fasilator yang
mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau memikirkan pemandangan atau sensasi
yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian menjauhi nyeri. Tehnik ini sering
dikombinasikan dengan relaksasi.
Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada bagaimana
memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini juga bergantung pada
kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian pasien ke bayangan-bayangan yang
paling konstruktif.
Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada kemampuan untuk
memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter fisiologik tertentu kepada pasien

sehingga pasien dapat belajar mengendalikan parameter tersebut termasuk suhu kulit,
ketegangan otot, kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan gelombang otak.

BAB III
PENUTUP
Nyeri merupakan hal seringkali kita jumpai pada dunia praktek kedokteran yang sampai saat
ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran Nyeri merupakan manifestasi dari suatu
proses patologis yang terjadi di dalam tubuh. Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang
mempunyai manfaat. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan
dengan baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik. Beberapa prinsip dalam
diagnosis dan penatalaksanaan nyeri sebagai berikut :

Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa nyeri. Mereka perlu
didengarkan dan dipercaya.

Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan untuk membuktikan
bahwa seseorang sedang berpura-pura nyeri.

Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan analgesia yang bervariasi
pada berbagai pasien.

Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara berbeda oleh pasien.

Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan adiksi obat.

Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah. Cari sebab-sebab nyeri yang bisa
diatasi, tetapi jangan tunda analgesia dengan alasan takut menyelubungi tanda-tanda
bedah.

Dosis tepat dari analgesik opioid adalah cukup dan sering cukup

Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit sering diperoleh dengan
kombinasi berbagai obat dengan cara pemberian berbeda (misal opioid dan AINS dan
anestesi lokal)

Diagnostik nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri
Penyebabnya biasanya lebih mudah dapat ditentukan, sehingga penanggulangannya biasanya

lebih mudah pula. Nyeri akut ini akan mereda dan hilang seiring dengan laju proses
penyembuhan jaringan yang sakit.
Diagnosa penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih dahulu. Bersamaan dengan usaha
mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan nyeri penderita juga diatasi.Pengobatan yang
direncanakan untuk menangulangi nyeri harus diarahkan kepada proses penyakit yang
mendasarinya untuk mengendalikan nyeri tersebut. Pemahaman tentang patofisiologi
terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh
penderita.

DAFTAR PUSTAKA
1
2

Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi. EGC, Jakarta , 1994
Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy Pharmacology). Alih

Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, 1995.


Mangku, G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, 2002.


Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi dan Terapi

Intensif FK UI, Jakarta, 2001.


Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Manajemen nyeri akut, in Kedokteran Perioperatif,

Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 14, 57-69.


Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nd ed. Stamford: Appleton

and Lange, 1996, 274-316.


Hamill, R.J., The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain Management,
New York, McGrow-Hill Inc, 1994, 13-25

Anda mungkin juga menyukai