Anda di halaman 1dari 3

SEJARAH MAKAM-MAKAM RAJA IMOGIRI

Ketika Sinuhun Hanyokrowati (Sinuhun Sedo Krapyak) meninggal, maka puteranya Kanjeng
Gusti Pangeran Adipati Anom pada waktu sedo itu sedang pergi tirakat ke pegunungan Selatan.
Sehingga sebagai wakil pemegang pemerintahan ialah Gusti Pangeran Martopuro. Sesudah
setahun lamanya ia bertirakat, maka ia pulang dari pegunungan tersebut sebab sudah sedikit lama
dicari-cari oleh penghulu Katangan, tapi sebelum menjadi penghulu. Pada tahun 1627, ia masuk
ke kerajaan dan pemegang kekuasaan Mataram saat itu ialah Prabu Hanyokrokusumo.
Sesudah itu Pangeran Martopuro pergi meninggalkan kerajaan menuju Ponorogo. Atas
permintaan rakyat maka wakil dari Pangeran Adipati Anom, yaitu Pangeran Purboyo
memerintahkan penghulu Ketegan untuk mencari Pangeran Adipati Anom.
Akhirnya terdapatlah Pangeran Adipati Anom sedang bertapa di Gunung Kidul, kemudian ia
dibawa pulang ke kerajaan.
Sesudah itu, Pangeran Adipati Anom diangkat menjadi Raja Kerajaan Mataram. Ia adalah raja
yang cerdik dan pandai sehingga rakyatnya maupun makhluk halus serta jin takluk dan tunduk
atas kekuasaannya dan Negeri Mataram terkenal sebagai pelindung penyakit.
Karena bijaksananya, maka setiap hari Jumat, ia dapat pergi sujud ke Mekkah dengan secepat
kilat. Sesudah 5 tahun ia memerintah, kerajaannya dipindahkan ke Kerta-Plered dan selanjutnya
Kanjeng Sultan ingin memulai membuat makam di Pegunungan Girilaya yang terletak di sebelah
Timur Laut Imogiri yang dipergunakan sebagai makam raja. Tetapi sebelum makam itu selesai,
pamannya yaitu Gusti Pangeran Juminah lebih dulu mengajukan permintaan. Kemudian Sinuhun
merasa kecewa.
Tidak lama kemudian, pamannya meninggal seketika. Sesudah pamannya meninggal, Kanjeng
Sultan Agung melemparkan pasir yang berasal dari Mekkah yang akhirnya pasir tersebut jatuh di
Pegunungan Merak dan seterusnya Sinuhun segera membuat makam raja di pegunungan yang
besar dan tinggi tersebut.

Permakaman Imogiri pada tahun 1890

Sultan Agung pada tahun 1890

SEJARAH CANDI GANJURAN


Tanah yang sedang digunakan untuk gereja Ganjuran dulunya bagian dari pabrik gula milik
saudara Joseph dan Julius Schmutzer, dua orang Belanda. Pada tahun 1912 mereka mulai
menjaga hak buruh sebagaimana ditentukan dalam Rerum Novarum;[2] mereka juga mulai
mendirikan sarana pendidikan di wilayah tersebut, dengan tujuh sekolah untuk laki-laki dibuka
pada tahun 1919 dan sekolah perempuan dibuka pada tahun 1920.[7] Mereka juga mendorong
staff mereka untuk masuk agama Katolik.[6] Dengan hasil dari pabrik mereka, keluarga
Schmutzer mendirikan Ruma Sakit St Elisabeth Hospital di Ganjuran.[8] Mereka juga mendirikan
Onder de Bogen (kini Rumah Sakit Umum Panti Rapih) di kota Yogyakarta.[7] St Elisabeth
sedang diurus oleh Orda Carolus Borromeus.[8]
Juga pada tahun 1920, Pr. van Driessch, seorang Yesuit yang pernah mengajar di Kolese
Xaverius di Muntilan, mulai berkhotbah di Ganjuran dan mendirikan komunitas Katolik di sana.
Hingga tahun 1922 ada sebanyak 22 orang Katolik keturunan Jawa di sana; jumlah ini meningkat
dengan cepat.[9] Pada tanggal 16 April 1924 keluarga Schmutzers mendirikan gereja di tanah
mereka, dengan van Driessch sebagai pastor pertama.[10] Ukiran dan bagian gereja lain dikerjakan
oleh seorang seniman Jawa yang bernama Iko.[6]

Patung Yesus sebagai raja Jawa


Tiga tahun kemudian masyarakat mulai membangun sebuah candi setinggi 10 meter, mirip candi
yang ada di Prambanan;[7][11] Iko membuat patung Maria dan Yesus yang menggambarkan

mereka sebagai penguasa dan guru Jawa. Patung ini diukir dengan motif batik.[6] Batu diambil
dari kaki Gunung Merapi di bagian utara, sementara pintu masuk diarahkan ke Selatan; orientasi
ini mencerminkan kepercayaan orang Jawa pada harmoni utara dan selatan.[12] Candi ini
diresmikan pada tanggal 11 Februari 1930 oleh Uskup Batavia Antonius van Velsen.[10]
Van Driessch meninggal pada tahun 1934[13] dan diganti oleh Pr. Albertus Soegijapranata;[10]
Soegijapranata bertugas sekalian sebagai pastor Ganjuran dan Bintaran. Pada tahun ini jumlah
orang Katoliknya sudah mencapai 1.350 orang.[8] Keluarga Schmutzer kembali ke Belanda pada
tahun yang sama. Selama Revolusi Nasional Indonesia pabrik gula dibakar habis, tetapi sekolah,
gereja, dan rumah sakit selamat. Pada tahun 1947 Pr. Justinus Darmojuwono mulai menjabat; dia
menjadi pastor sampai tahun 1950.[10]
Pada tahun 1981 pastoran diperluas di bawah Pr. Suryosudarmo,[10] dan tujuh tahun kemudian, di
bawah Pr. Gregorius Utomo, gereja ini mulai lebih menekankan pengaruh Jawanya. Pada tahun
1990 Konferensi Federasi Uskup Asia mengadakan sebuah seminar mengenai masalah pertanian
dan petani di Gereja Ganjuran. Sejak 1995 Gereja lebih menekankan pembangunan candinya,
dan dengan sumbangan dari masyarakat sudah menambahkan 15 relief yang menggambarkan
Jalan Salib;[14] relief ini awalnya dirancang oleh keluarga Schmutzer.[4] Setelah gereja lama
dihancurkan oleh gempa bumi besar pada bulan Mei 2006, gereja ini dibangun ulang dengan
gaya Jawa.[1] Pembangunan ulang ini menghabiskan sebanyak Rp 7 miliar.[3]
Program gereja termasuk missa, bakti sosial, dan perayaan khusus.[15] Liturginya bisa dalam
bahasa Jawa atau bahasa Indonesia, dan kadang-kadang baju Jawa diwajibkan.[1] Ada pula musik
gamelan serta kroncong.[3]

NAMA:ANGELICA PUTRI RISA VIOLINTIA


KELAS:6B
ABSEN:3

Anda mungkin juga menyukai