Disusun Oleh:
Nama
NPM
: 11213507
Kelas
: 4EA32
UNIVERSITAS GUNADARMA
2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Tindak Pidana Pencucian Uang adalah proses atau perbuatan yang menggunakan uang hasil
tindak pidana. Dengan perbuatan itu, uang disembunyikan atau dikaburkan asal usulnya oleh si
pelaku, sehingga kemudian seolah-olah muncul uang yang sah atau yang halal dengan kata lain,
pencucian uang adalah proses untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang
diperoleh dari hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan dan penyitaan. Pencucian uang
merupakan salah satu kejahatan yang sering dibicarakan dewasa ini, perbuatan pencucian uang
sangat merugikan masyarakat, juga negara, karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas
perekonomian nasional khususnya keuangan negara.
Dana-dana yang berasal dari berbagai macam kejahatan pada umumnya tidak langsung
dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan. Sebab konsekuensinya akan mudah
dilacak oleh aparat penegak hukum mengenai sumber memperolehnya. Biasanya, dana yang
terbilang besar dari hasil kejahatan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam sistem keuangan,
terutama dalam sistem perbankan. Model perbankan inilah yang sangat menyulitkan untuk
dilacak oleh penegak hukum, para pelaku kejahatan tersebut seringkali menanamkan uang hasil
kejahatannya ke dalam berbagai macam bisnis legal, seperti cara-cara membeli saham
perusahaan-perusahaan besar di bursa efek yang tentu memiliki keabsahan yuridis dalam
operasionalnya seolah-olah terlihat bahwa kekayaan para penjahat yang diputar melalui prosesproses sepertinya menjadi sah adanya.
1.2.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.3.
Rumusan Masalah
Apa pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang dan bagaimana pengaturan hukum
TPPU?
Bagaimana Proses Pencucian Uang?
Sanksi apa saja yang dijatuhkan pada pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang?
Apa saja kewajiban Penyedia Jasa Keuangan?
Apa saja peranan PPATK terkait Tindak Pidana Pencucian Uang?
Bagaimana perlindungan bagi pelapor dan saksi?
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui segala sesuatu yang
berhubungan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang dan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah
Aspek Hukum dalam Bisnis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Pengaturan
2.1.1
Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang
Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan
atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana
yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.
Sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang No.8 Tahun 2010, Harta Kekayaan yang diketahui atau
patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk
kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak
pidana
Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang serius terhadap stabilitas sistem
keuangan maupun perekonomian secara keseluruhan. Tindak pidana pencucian uang merupakan
tindak pidana multi-dimensi dan bersifat transnasional yang seringkali melibatkan jumlah uang
yang cukup besar.
2.1.2
Pengaturan
Pada tahun 1988, United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and
Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106 negara,
dan Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang kemudian baru meratifikasi melalui UU
No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.
Selanjutnya pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7
melahirkan The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang bertujuan
mendorong Negara-negara agar menyusun peraturan perundang-undangan untuk mencegah
mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik baik melalui bank maupun lembaga keuangan
bukan bank. Pada bulan April 1990, FATF memperluas pesertanya mencakup pusat keuangan 15
negara yang kemudian mengeluarkan rekomendasi yang paralel dengan UN Drug Convention
agar Negara-negara menciptakan peraturan perundang-undangan mengawasi money laundering.
Upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius ini diikuti dengan upaya pemberantasan
pencucian uang dalam skala internasional karena kegiatan pencucian uang kerap kali digunakan
untuk menutupi hasil perdagangan obat bius yang diwujudkan dalam pembentukan konvensi The
International Anti-Money Laundering Legal Regime. Konvensi ini mewajibkan Negara-negara
penandatangan menjadikan pencucian uang sebagai suatu tindakan kriminal dan tergolong
kejahatan berat. Selanjutnya pada tahun 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations
dan Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilanperwakilan Bank Sentral dan badan-badan
pengawas negara-negara industri, dimana bank harus mengambil langkah-langkah yang masuk
akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your-Customer Rule.
Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah kedua kali dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003.
Walaupun secara de jure BI telah mengeluarkan peraturan BI No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18
Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah namun peraturan ini sulit diterapkan
untuk memberantas transaksi money laundering. Penerapan ini dibatasi oleh UU No. 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank wajib
merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali untuk
kepentingan perpajakan, untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, untuk kepentingan peradilan
dalam perkara pidana, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang
dibuat secara tertulis, atau dalam hal si nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah
wajib diberitahukan mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan. Akan tetapi, penerbitan
Peraturan Bank Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF untuk menanggulangi pencucian
uang. FATF sendiri sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan praktek
pencucian uang. Rekomendasi tersebut mempunyai tiga ruang lingkup yaitu mengenai
peningkatan sistem hukum nasional, peningkatan peranan system finansial, dan memperkuat
kerjasama internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi standar internasional untuk
mengukur apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi itu dan memberikan usulanusulan untuk perbaikan upaya pemberantasan pencucian uang, dan Indonesia dipandang belum
mendukung upaya pemberantasan pencucian uang.
Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara wilayah yang tidak bekerjasama Non
Cooperative Countries and Teritories (NCCTs) pada bulan Juni 2001 oleh Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD) dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai
dengan Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam
memerangi pencucian uang, yang dibuktikan dengan belum adanya program penegakan hokum
pencucian yang efektif, belum ada tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan money
laundering, belum adanya peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi praktek
money laundering, belum adanya sistem yang mewajibkan pelaporan transaksi keuangan yang
mencurigakan, belum adanya kerja sama dengan Negara-negara lain, institusi-institusi
internasional atau belum adanya identifikasi nasabah dan belum ada perangkat hukum untuk
mengatasi praktek money laundering yang dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang
Anti Pencucian Uang.
Baru pada Februari 2005, Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam setelah FTAF mengadakan
review langsung ke Indonesia dengan mengadakan wawancara dengan para pemimpin instansi
yang menangani money laundering, kemudian Presiden mengutus beberapa Menteri ke Negara
Amerika, Inggris, Perancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan keseriusan Pemerintah
Indonesia menangani kasus money laundering. Pada tanggal 17 April 2002 telah diundangkan
UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran Negara No.
30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pencucian uang, hanya dalam
penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini
dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).
Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 UndangUndang ini yakni harta kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau
lebih atau nilai setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan korupsi;
penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan imigran;
perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan senjata
gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan, yang dilakukan baik di wilayah
RI atau di luar wilayah RI dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum
Indonesia.
Berbeda dengan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, perubahan
UU ini yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi tentang pencucian uang
mendefinisikan pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri,
menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamar asal
usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1).
Perubahan dalam UU No. 25 Tahun 2003 antara lain meliputi :
a. Pengertian Penyedia Jasa Keuangan yang diperluas meliputi jasa lainnya yang terkait
dengan keuangan guna mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang
memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada di masyarakat namun belum
diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan munculnya bentuk penyedia
jasa keuangan baru.
Hal ini tampak dari ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2002:
Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang
keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan,
perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan
perusahaan asuransi, yang kemudian diubah menjadi Pasal 1 angka 5 UU No. 25
Tahun 2003 :
Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang
keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak
terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana,
custodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta
asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.
b. Perluasan definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan, yakni:
Pasal 1 angka 6 UU No. 15 Tahun 2002:
Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil
dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan,
termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib
dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang
ini, menjadi:
Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003:
Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang
wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini; atau
transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana.
c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana dihapus karena
penentuan suatu perbuatan dapat dipidana tidak bergantung besar kecilnya hasil tindak
pidana yang diperoleh, sebagaimana diatur berdasarkan:
Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002:
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara
langsung atau tidak langsung dari kejahatan: korupsi, penyuapan, penyelundupan
barang, penyelundupan tenaga kerja, penyeludupan imigran, perbankan,
narkotika, psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perdagangan
senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan.
d. Ruang lingkup tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah
berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku tindak
pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana
namun perbuatan tersebut tidak dipidana. Berbagai peraturan perundang-undangan yang
terkait yang mempidana tindak pidana asal antara lain:
UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
berkesinambungan. Pemilihan modus operandi pencucian uang tergantung dari kebutuhan pelaku
tindak pidana.
2.3 Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang
Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap Orang yang menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga
atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap orang yang menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan
yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun dan dendapaling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap orang yang menerima atau
menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran,
atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2.4 Kewajiban Penyedia Jasa Keuangan
Penyedia Jasa Keuangan terbagi menjadi :
a. Perbankan
Perbankan merupakan suatu bentuk usaha yang memiliki keleluasaan dalam menghimpun
dan menyalurkan dana, sehingga sangat strategis untuk digunakan sebagai sarana
pencucian uang baik melalui placement, layering maupun integration. Selain itu transfer
dana secara elektronis juga dapat dimanfaatkan oleh pencuci uang untuk mengalihkan
dana secara cepat dan relatif murah serta aman ke rekening pihak lain, baik di dalam
maupun di luar negeri.
b. Lembaga Keuangan Non Bank
Perhatian terhadap PJK yang berbentuk asuransi dan usaha investasi lainnya diperlukan
sebagai upaya untuk memastikan tidak dimanfaatkannya produk dan jasa PJK tersebut
untuk kegiatan pencucian uang.
BAB III
PENUTUP
Dengan dikeluarkannya UU No. 25 tahun 2003 tentang pencucian uang, berarti menganggap
perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana (kejahatan) yang harus ditindak tegas oleh para
penegak hukum yang berwenang
Dengan adanya perangkat hukum yang tegas hal ini bisa dijadikan sebagai perwujudan rasa
keadilan. Sanksi tindak pidana pencucian uang berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Selain itu pihak yang terlibat seperti pelapor dan saksi memiliki perlindungan hukum dari
kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya.
Dalam kasus money laundering kepolisian dan penuntut umum juga memiliki kesulitan dalam
membuktikan terjadinya tindak pidana pencucian uang karena modusnya yang bervariasi dan
biasanya tidak ditemukan adanya cukup alat bukti.