PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengelolaan limbah ternak merupakan upaya untuk mengurangi dampak
terhadap lingkungan dan pengelolaan limbah ini sangat banyak manfaatnya. Tidak
hanya lingkungannya yang akan terjaga kebersihannya. Pengelola limbah secara
langsung akan mendapatkan keuntungan finansial dalam mengolah limbah
tersebut.
Limbah ternak merupakan sisa buangan dari kegiatan usaha pemeliharaan
ternak, rumah pemotongan ternak, serta pengolahan produk ternak. Limbah terdiri
dari bagian padat dan cair antara lain : feses, urin, sisa makanan, lemak, darah,
kuku, bulu, tanduk, tulang, isi rumen, embrio, kulit telur.
Karakteristik limbah sapi perah digunakan dalam merancang sistem
pengolahan limbah yang meliputi sifat fisik, kimia dan biologi. Secara
fisik karakteristik limbah peternakan dapat diketahui berdasarkan bentuk (padat,
semi padat dan cair), tekstur (kekompakan) dan jumlah (kg per unit ternak) yang
dihasilkan. Secara kimiawi sifat limbah ditentukan oleh komposisi zat kimia
yang terkandung dan tingkat keasaman (pH). Secara biologis sifat limbah
ditentukan oleh jenis dan populasi mikroflora-fauna yang terkandung di
dalamnya, yang biasanya dicerminkan oleh jenis dan populasi yang terdapat di
dalam sistem pencernaan hewan ternak yang menghasilkan limbah tersebut.
Karakteristik limbah sapi perah dipengaruhi oleh unit produksi, kandang,
umur dan spesies, ukuran ternak, dan bedding material. Pengaruh kandang yang
berlantai keras akan membuat limbah terakumulasi di atas lantai dan kemudian
menjadi lembab, dan bila kandang beratap, kelembaban limbah akan dipengaruhi
oleh kemiringan lantai ventilasi, temperatur dan kelembaban udara.
II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Limbah Sapi Perah
Limbah ternak yang dihasilkan pada usaha peternakan sapi perah adalah
berupa feses dan urine. Satu ekor sapi perah setiap harinya menghasilkan limbah
ternak berupa feses sebanyak 30 - 40 kg dan urine 20 - 25 kg. Feses dan urine juga
mengandung gas NH3 dan H2S yang mempunyai bau sangat menyengat, sehingga
akan dapat mengganggu lingkungan sekitarnya. ( Van Horn et al., 1994). Berikut
adalah tabel kandungan-kandungan yang terdapat di dalam limbah sapi perah :
Variabel
Produksi
RH
BOD
Zat padat total
Jumlah
36 45
85
0,6 0,78
3,0 4,7
Satuan
Kg/hari
%
Mg/l
Kg/hari
Volatile
Nitrogen total
2,6
0,17
Kg/hari
Mg/l
Amonia
0,10
Mg/l
Fosfor total
0,05
Mg/l
pH
78
Table 1. kandungan limbah sapi perah
2.2 Kompos
Kompos merupakan campuran pupuk dari bahan organik yang berasal dari
tanaman (jerami, batang jagung, sayuran, buah, sampah kota) atau hewan atau
keduanya yang telah melapuk sebagian dan dapat berisi senyawa-senyawa lain,
seperti abu dan kapur. Pengomposan merupakan suatu proses penguraian
mikrobiologis alami dari bahan buangan organik maupun dari wastewater sludge.
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena
rasio C/N bahan organik segar masih tinggi (jerami 50-70, dedaunan 50-60, kayukayuan >400). Jerami padi pada proses dekomposisi sangat baik karena pada
dasarnya pengembalian jerami padi kedalam tanah sebagai bahan organik sangat
baik karena jerami banyak mengandung unsur hara terutama hara makro seperti
N, P, K, S, Ca, dan Mg serta hara mikro seperti Cu , Mn dan Zn (Adiningsih, 1999
dikutip dari Kasli, 2008). Jerami padi mengandung senyawa N dan C yang
berfungsi sebagai substrat metabolisme bagi mikrobia tanah, termasuk gula, pati,
selulose, hemi selulose, pektin, lignin, lemak dan protein.
Tingginya kandungan selulosa dan lignin menyebabkan jerami padi sulit
untuk didekomposisi oleh mikroba. Oleh karena itu diperlukan suatu dekomposer
yang memiliki aktifitas selulolitik yang tinggi dengan dikeluarkanya enzim
selulase. (Kasli, 2008).
Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik.
Pengomposan dapat dilakukan pada kondisi aerob (dengan oksigen) dan anaerob
(tanpa oksigen). Pada tahap awal dekomposisi berlangsung intensif, dihasilkan
suhu tinggi (65-70 0C) dalam waktu pendek. Proses dekomposisi menghasilkan
panas yang dapat mematikan benih gulma dan telur hama penyakit. Dekomposisi
limbah organik dilakukan oleh berbagai macam microorganism diantaranya
bakteri dan fungi. (Amsath dan Sukumaran, 2008). Waktu pengomposan
bervariasi tergantung bahan dasar. Pengomposan bahan organik terjadi secara
biofisiko-kimia, melibatkan aktivitas biologi mikroba dan mesofauna. Nitrogen
dan fosfor dibutuhkan mikroba untuk metabolisme dan pertumbuhannya (Sutedjo,
dkk., 1991; Rynk, dkk., 1992; dan Biddlestone, dkk., 1994).
Kompos yang berasal dari sumber yang berbeda dapat digunakan untuk
memperbaiki kondisi tanah, melengkapi ketersedian zat organik pada tanah
sehinnga dapat merangsang perbaikan kondisi fisik dan kimia tanah (Nourbakhsh,
2007). Pengomposan dapat dilakukan dengan cara thermophilic composting,
dengan temperatur mencapai 45-75oC, sehingga mikroorganisme thermophilic
menjadi aktif memakan bahan kompos yang ada, berkembang dengan cepat
menggantikan tugas mesophilic. Kondisi thermophilic mempunyai daya tahan
panas lebih tinggi daripada mesophilic. Kondisi thermophilic ini banyak
menyebabkan organisme patogen mati, terutama dalam temperatur 550C.
pengomposan berlangsung.
Metode Berkeley. Bahan dasar yang digunakan adalah: dua bagian bahan
organik kaya selulosa dan satu bagian bahan organik kaya nitrogen dengan
nilai rasio C/N 30:1. Bahan disusun berlapis-lapis hingga ketebalan
berukuran 2,4 x 2,2 x 1,5 m. Setelah 2-3 hari proses pengomposan berjalan
terbentuk suhu tinggi, secara berkala kompos harus dibalik. Setelah hari ke10, suhu mulai menurun dan bahan berubah menjadi remah dan berwarna
coklat gelap. Pengomposan selesai setelah 2 minggu.
dimanfaatkan oleh tanaman karena unsur - unsur di dalamnya sudah terurai dan
tidak dalam jumlah yang terlalu banyak sehingga manfaatnya lebih cepat terasa.
Bahan baku pupuk cair dapat berasal dari pupuk padat dengan perlakuan
perendaman. Setelah beberapa minggu dan melalui beberapa perlakuan, air
rendaman sudah dapat digunakan sebagai pupuk cair, sedangkan limbah padatnya
dapat digunakan sebagai kompos Penggunaan pupuk cair dapat memudahkan dan
menghemat tenaga. Keuntungan pupuk cair antara lain:
-
2.4 Biogas
Biogas merupakan salah satu jenis biofuel, bahan bakar yang bersumber dari
makhluk hidup dan bersifat terbarukan. Berbeda dari bahan bakar minyak bumi
dan batu bara, walaupun proses awal pembuatannya juga dari makhluk hidup,
namun tidak dapat diperbaharui karena pembentukan kedua bahan bakar tersebut
membutuhkan waktu jutaan tahun.
Pada umumnya semua jenis bahan organik dapat dijadikan sumber biogas,
tetapi bahan organik homogen, misal: limbah kotoran sapi, babi, dan manusia, dan
bahan organik yang memiliki rasio C/N sebesar 8-20 adalah sumber yang paling
cocok untuk dijadikan sumber biogas. Biogas tersusun atas berbagai macam gas
yang didominasi oleh gas metan (55-75 %) dan karbondioksida (25-45 %). Biogas
memiliki nilai kalori yang cukup tinggi, sebesar 6000 watt jam (setara dengan
setengah liter minyak diesel), sehingga dapat dipakai sebagai sumber energi
alternatif bagi masyarakat. (Apandi, M. 1979)
Pembentukan biogas meliputi tiga tahap proses yaitu:
(a) Hidrolisis, pada tahap ini terjadi penguraian bahan-bahan organik mudah
larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana,
perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer
(b) Pengasaman, pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana)
yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi
bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana
ini yaitu asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat,
gas karbondioksida, hidrogen dan amonia serta
(c) Metanogenik, pada tahap metanogenik terjadi proses pembentukan gas
metan. Bakteri pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini, yaitu
mereduksi sulfat dan komponen sulfur lainnya menjadi hydrogen sulfide.
Gambar 1 memperlihatkan alur proses perombakan selulosa hingga terbentuk
gas (Nurtjahya et al., 2003). Adapun bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik
ini yaitu bakteri hidrolitik yang memecah bahan organik menjadi gula dan asam
amino, bakteri fermentatif yang mengubah gula dan asam amino tadi menjadi
asam organik, bakteri asidogenik mengubah asam organik menjadi hidrogen,
karbondioksida dan asam asetat dan bakteri metanogenik yang menghasilkan
metan dari asam asetat, hidrogen dan karbondioksida . Optimisasi proses biogas
akhir-akhir ini difokuskan pada proses pengontrolan agar mikroorganisme yang
terlibat dalam keadaan seimbang, mempercepat proses dengan peningkatan desain
digester dan pengoperasian fermentasi pada temperatur yang lebih tinggi dan
peningkatan biogas yang dihasilkan dari bahan dasar biomasa lignoselulosa
melalui perlakuan awal.
dipindahkan
b) Kelemahan : waktu pakai relatif singkat dan mudah mengalami kerusakan.
(Sihombing, 1979)
2.5 Vermikompos
Vermikompos adalah kompos yang diperoleh dari hasil perombakan bahanbahan organik yang dilakukan oleh cacing tanah. Jenis cacing tanah yang dapat
digunakan adalah Eisenia foetida atau Lumbricus rubellus. Vermikompos berisi
sebagian besar nutrien yang dibutuhkan oleh tanaman dalam bentuk nitrat, fosfat,
kalsium dan potassium yang mudah larut (Azarmi et al., 2008). Analisis secara
kimia menunjukkan, bahwa kotoran cacing memiliki jumlah magnesium, nitrogen
dan potassium yang lebih tinggi dibandingkan tanah disekitarnya (Kaviraj dan
Sharma, 2003). Penambahan nitrogen berasal dari produk metabolit cacing tanah
yang dikembalikan tanah melalui kotoran, urin, mukus, dan jaringan yang berasal
dari cacing yang telah mati selama vermicomposting berlangsung (Amsath dan
Sukumaran, 2008). Vemikompos merupakan campuran kotoran cacing tanah
(casting) dengan sisa media atau pakan dalam budidaya cacing tanah. Oleh karena
itu vermikompos merupakan pupuk organik yang ramah lingkungan dan memiliki
keunggulan tersendiri dibandingkan dengan kompos lain yang kita kenal selama
ini.
Keunggulan Vermikompos :
1) Vermikompos mengandung berbagai unsur hara yang dibutuhkan tanaman
seperti N, p, K, Ca, Mg, S. Fe, Mn, AI. Na, Cu. Zn, Bo dan Mo tergantung
pada bahan yang digunakan.
2) Vermikompos merupakan sumber nutrisi bagi mikroba tanah.
3) Vermikompos berperan memperbaiki kemampuan menahan air, membantu
menyediakan nutrisi bagi tanaman, memperbaiki struktur tanah dan
menetralkan pH tanah.
4) Vermikompos mempunyai kemampuan menahan air sebesar 40-60%.
5) Tanaman hanya dapat mengkonsumsi nutrisi dalam bentuk terlarut.
Kelebihan vermikompos tidak hanya komposisi hara yang lebih baik, tapi juga
perannya dalam meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan hama.
(Edwards and Neuhauser, 1988)
III
ALAT, BAHAN DAN PROSEDUR KERJA
3.1 Alat
3.1.1 Proses Dekomposisi Awal
1. Karung Plastik
2. Tongkat Bambu
3. Alat Tulis
4. Karton Tebal
5. Kain
3.1.2 Pembuatan Pupuk Organik Cair (POC)
1. Timbangan
2. Kotak Plastik
3. Saringan Bertingkat
4. Alat Tulis
3.1.3 Pembuatan Probiotik (Feed Additive)
1. Ember Plastik Bertutup
2. Timbangan
3. Pengaduk
4. Lakban Ukuran Besar
5. Alat Tulis
3.1.4 Pembuatan Biogas
1. Digester Berupa Tong Plastik volume 30 L dilengkapi dengan kran gas
2. Sekang Plastik
3. Klem
4. Kompor
3.1.5 Pembuatan Pupuk Organik Padat (POP)
1. Timbangan
2. Karton Tebal
3. Kotak Plastik ukuran 30 x 40 x 14
4. Alat Tulis
3.2
Bahan
3.2.1 Proses Dekomposisi Awal
1. Feses Sapi Perah
2. Jerami Padi
3.2.2 Pembuatan Pupuk Organik Cair (POC)
1. Substrat Cair Dekomposan
2. Air Hangat
3.2.3 Pembuatan Probiotik (Feed Additive)
1. Filtrat Encer Hasil Pembuatan POC
2. Molasses
3.2.4 Pembuatan Biogas
1. Subtrat Dekomposan
2. Air
Prosedur Kerja
3.3.1
Dekomposisi Awal
3.3.4
Pembuatan Biogas
1. Menyiapkan
penampung gas.
2. Merangkai instalasi biogas yang terdiri dari digester yang dilengkapi kran
gas dibagian penutupnya.
3. Menghubungkan selang plastic kran dari digester ke lubang angin.
4. Menetukan kadar air subtract dan menghitung jumlah air yang perlu
5.
6.
7.
8.
ditambahkan.
Memasukan campuran subtract hingga mencapai dari volume tong
Menyisipkan sealer yang terbuat dari karet antara tong dan penutupnya.
Mengunci tong dan penutup dengan menggunakan klem.
Menginkubasi selama 1minggu dan mengamati setiap hari perubahannya
IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1.1
Hari, Tanggal
Selasa 04-10-2016
Rabu 05-10-2-16
Kamis 06-10-2016
Jumat 07-10-2016
Sabtu 08-10-2016
Minggu 09-10-2016
Senin 10-10-2016
Hasil
Lebih halus dari sebelumnya
Coklat tua seperti tanah
Aroma tanah
Merata
Bobot
Bobot
Tanggal
Bobot Feses
Jerami
Jerami
Total
Tambahan
04 10- 2016
24 kg
12 kg
2 kg
38 kg
10 10- 2016
2 kg
28 kg
Perhitungan :
Penyusutan bobot = Total 1 Total 2
38- 28 = 10 kg
4.1.2
4.1.3
Pengamatan
Cacing Tanah
Media Coumpos
4.1.4
4.2
4.2.1
Hasil
Hitam
Tidak Berbau
Hambar
Tidak Ada
Saat Implantasi
250g
2 kg
Setelah 1 Minggu
310 g
Terjadi penyusutan
Hasil
Tutup Digester
Karet Ban
Gas Metana
Tidak Terbentuk
Pembahasan
Proses Dekomposisi Awal
Sebelum melakukan pengomposan terlebih dahulu terjadi proses
sedangkan penambahan jerami padi kering pada alas atas untuk menyerap bau
yang timbul pada proses dekomposisi awal.
Selama proses dekomposisi terjadi peningkatan suhu hal tersebut
menunjukan bahwa bakteri sedang bekerja, selain itu kenaikan suhu akan
membunuh mikroba patogen, meningkatkan evaporasi, dan mempercepat laju
degradasi bahan organik material kompos. Pada suhu diatas 40 oC, bakteri
mesofilik akan pindah kelapisan luar dan kemudian digantikan oleh bakteri
thermofilik.
Suhu optimal berdasarkan oksidasi bahan organik menjadi CO 2 dan air
adalah 60oC (Wiley, 1957; Schulze, 1962; Bach et al., 1984; Kiyohiko et al., 1985
dalam Marlina, 2009), namun McKinley dan Vestal (1984) menyatakan suhu 55 OC
sudah cukup optimal untuk aktivitas mikroba. Jamur dapat mendekomposisi
selulosa dan hemiselulosa sekitar 50% dari total yang tersedia. Kemudian terjadi
penurunan suhu menjadi kisaran 30- 40 oC yang menunjukan bahwa proses awal
dekomposisi telah selesai.
Kompos yang dihasilkan setelah dekomposisi menjadi berwarna coklat tua
seperti tanah memiliki bau yang khas seperti aroma kapang serta terdapat warna
putih pada substrat yang merupakan ciri terdapat kapang yang
menandakan
dilakukan
secara
perlahan
karena
apabila
ditekan
akan
Feed Additive
Feed additive merupakan bahan bukan pakan yang ditambahkan pada
pakan dalam jumlah sedikit dengan tujuan tertentu. Terdapat lalat buah yang
datang yang dapat menandakan juga bahwa proses pembuatan feed aditif tersebut
berhasil. Bisa dibuktikan dengan cara meminum filtrat tersebut dan tidak terjadi
apapun pada orang yang sudah meminumnya.
4.2.4
Biogas
Dalam praktikum kali ini biogas dibuat menggunakan substrat hasil
dekomposan. Gas bio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas
yang merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan
gas yang dominan adalah gas metan (CH 4) dan gas karbondioksida (CO2).
(Simamora ,1989).
potensial untuk pembuatan gas bio, tetapi yang paling baik untuk dikembangkan
di masyarakat adalah ternak sapi potong atau sapi dan kerbau, karena jumlah
produksi feses per hari cukup banyak (Sihombing, 1979). Komponen biogas yang
paling penting adalah gas methan.
Dalam praktikum kali ini biogas yang kelompok kami buat tidak
menunjukan terbentuknya gas methan hal tersebut dibuktikan dengan tidak
adanya nyala api ketika dilakukan pengujian keberhasilan biogas. Kegagalan
proses pencernaan anaerobik dalam digester biogas bisa dikarenakan tidak
seimbangnya populasi bakteri metanogenik terhadap bakteri asam yang
menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam (pH kurang dari 7) yang
selanjutnya menghambat kelangsungan hidup bakteri metanogenik. Kondisi
keasaman yang optimal pada pencernaan anaerobic yaitu sekitar pH 6,8 sampai 8,
laju pencernaan akan menurun pada kondisi pH yang lebih tinggi atau rendah.
4.2.5
bahan yang bernutrisi. Untuk menguraikannya menjadi pupuk organik padat yang
siap digunakan diperlukan penguraian dengan bantuan seperti cacing tanah.
Cacing tanah dapat memakan semua jenis bahan organik. Kotoran cacing yang
biasa disebut casting ini kaya akan nitrogen, fosfor, kalium, kalsium dan
magnesium dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman, serta mengandung vitamin,
enzim dan mikroorganisme yang baik bagi kesuburan tanah. Cacing tanah yang
digunakan dalam vermikompos terdiri dari Lumbricus rubellus, Eisenia fetida,
Pheretima asiatica dan Perionyx excavatius.
Proses pembuatan vermikompos dilakukan dengan tiga tahapan yaitu
pengadaan bahan organik, perbanyakan cacing tanah dan proses pengomposan.
Bahan organik yang digunakan adalah substrat hasil POC karena masih
terkandungnya bahan organik yang tidak ikut terlarut dalam air, kemudian
ditambahkan cacing tanah dan disimpan kurang lebih 1 minggu. Setelah 1 minggu
proses pengomposan dapat terlihat kondisi cacing yang ada sudah mulai
membesar dalam hal ukuran tubuhnya, kemudian hasil dari proses vermikompos
yaitu tidak adanya bau dan warnanya sudah coklat kehitaman. Kemudian
didiamkan kembali selama satu minggu dan tidak terdapat perubahan. Hal tersebut
sudah tergolong kedalam klasifikasi pupuk organik padat yang sudah matang
sehingga bisa untuk siap pakai.
V
KESIMPULAN
terdapat warna putih pada substrat dan sudah tidak berbau feses lagi.
Pembuatan Pupuk Organik Cair diawali denngan merendam substrat
dengan air panas selama 1-2 jam. Kemudian disaring pada bak penyaring
nyala api.
Pembuatan Pupuk Organik Padat dibantu oleh cacing, untuk mempercepat
proses pemecahan bahan organik. Dengan menambahkan 250 gram cacing
dalam kurang lebih 3,5 kg substrat dan disimpan dalam 2 minggu. Pupuk
Organik Padat yang baik mempunyai ciri warna sudah seperti warna tanah
dan sudah tidak berbau feses.
DAFTAR PUSTAKA
Amsath, K.M. and M. Sukumaran. 2008. Vermicomposting of Vegetable Wastes
Using Cow Dung. E-Journal of Chemistry. Vol. 5. No. 4. pp. 810- 813
Apandi, M. 1979. Pemanfaatan Instalasi Gas Bio dalam Bidang Peternakan.
Kertas Kerja Seminar Nasional Lembaga Penelitian Peternakan.
Azarmi R, Sharifi Ziveh P, Satari MR (2008). Effect of vermicompost on growth,
yield and nutrient status of tomato (Lycopersicom esculentum). Pak. J.
Biol. Sci. 1(14): 1797-1802
Biddlestone, A.J., K.R. Gray, and K. Thayanithy. 1994. Composting and Reed
Beds for Aerobic Treatment of Livestock Wastes. In: Pollution in
Livestock Production Systems. Edited by Ap Dewi, I., R.F.E. Axford, I.
F. M. Marai, and H.M. Omed. Cab International. Wallingford, Oxon
Ox10 8DE, UK. Pp. 345-360.
Edwards, C.A. and E. F. Neuhauser. 1988. Earthworms in waste and
environmental management. SPB Academic Publishing. The Hague, The
Netherlands.
Harahap, F., Apandi, M. dan Ginting, S. 1978. Teknologi Gas Bio. Pusat Teknologi
Pembangunan. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Isroi dan N. Yuliarti. 2009. Kompos. Penerbit ANDI, Yogyakarta.
Junus, Mohammad. 1995. Teknik Membuat dan Memanfaatkan Unit Gas Bio.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Kasli. 2008. Pembuatan Pupuk Hayati Hasil Dekomposisi Beberapa Limbah
Organik dengan Dekomposernya. Jerami Volume 1 Agroekoteknologi.
Fakultas Pertanian. Universitas Andalas. Padang.
Kaviraj, and S. Sharma. 2003. Municipal Solid Waste Management Through
Vermicomposting Employing Exotic and Local Species of Earthworms.
Bioresource Technology. 90 : 169-173
Marlina, Eulis Tanti. 2009. Biokonversi Limbah Industri Peternakan. UNPAD
Press. Bandung.
Nourbakhsh, F. 2007. Influence of Vermicomposting on Solid Waste
Decomposition Kinetics in soil. J Zhejiang Univ Sci B. 8(10) : 725-730