Anda di halaman 1dari 27

I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengelolaan limbah ternak merupakan upaya untuk mengurangi dampak
terhadap lingkungan dan pengelolaan limbah ini sangat banyak manfaatnya. Tidak
hanya lingkungannya yang akan terjaga kebersihannya. Pengelola limbah secara
langsung akan mendapatkan keuntungan finansial dalam mengolah limbah
tersebut.
Limbah ternak merupakan sisa buangan dari kegiatan usaha pemeliharaan
ternak, rumah pemotongan ternak, serta pengolahan produk ternak. Limbah terdiri
dari bagian padat dan cair antara lain : feses, urin, sisa makanan, lemak, darah,
kuku, bulu, tanduk, tulang, isi rumen, embrio, kulit telur.
Karakteristik limbah sapi perah digunakan dalam merancang sistem
pengolahan limbah yang meliputi sifat fisik, kimia dan biologi. Secara
fisik karakteristik limbah peternakan dapat diketahui berdasarkan bentuk (padat,
semi padat dan cair), tekstur (kekompakan) dan jumlah (kg per unit ternak) yang
dihasilkan. Secara kimiawi sifat limbah ditentukan oleh komposisi zat kimia
yang terkandung dan tingkat keasaman (pH). Secara biologis sifat limbah
ditentukan oleh jenis dan populasi mikroflora-fauna yang terkandung di
dalamnya, yang biasanya dicerminkan oleh jenis dan populasi yang terdapat di
dalam sistem pencernaan hewan ternak yang menghasilkan limbah tersebut.
Karakteristik limbah sapi perah dipengaruhi oleh unit produksi, kandang,
umur dan spesies, ukuran ternak, dan bedding material. Pengaruh kandang yang
berlantai keras akan membuat limbah terakumulasi di atas lantai dan kemudian
menjadi lembab, dan bila kandang beratap, kelembaban limbah akan dipengaruhi
oleh kemiringan lantai ventilasi, temperatur dan kelembaban udara.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana proses dekomposisi awal
2. Bagaimana cara pengolahan jerami padi Menjadi POC, Feed Additive, POP
dan Biogas secara terpadu
1.3 Tujuan
1. Mengetahui proses dekomposisi awal
2. Mengetahui cara pengolahan jerami padi Menjadi POC, Feed Additive, POP
dan Biogas secara terpadu
1.4 Waktu dan Tempat
Praktikum Pengelolaan Limbah Peternakan ini dilaksanakan pada tanggal
Senin, 03 Oktober 2016 s.d 21 November 2016 Pukul 12.30 s.d 14.30 WIB, yang
bertempat di Laboratorium Mikrobiologi dan Pengolahan Limbah, Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran.

II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Limbah Sapi Perah
Limbah ternak yang dihasilkan pada usaha peternakan sapi perah adalah
berupa feses dan urine. Satu ekor sapi perah setiap harinya menghasilkan limbah
ternak berupa feses sebanyak 30 - 40 kg dan urine 20 - 25 kg. Feses dan urine juga
mengandung gas NH3 dan H2S yang mempunyai bau sangat menyengat, sehingga
akan dapat mengganggu lingkungan sekitarnya. ( Van Horn et al., 1994). Berikut
adalah tabel kandungan-kandungan yang terdapat di dalam limbah sapi perah :
Variabel
Produksi
RH
BOD
Zat padat total

Jumlah
36 45
85
0,6 0,78
3,0 4,7

Satuan
Kg/hari
%
Mg/l
Kg/hari

Volatile
Nitrogen total

2,6
0,17

Kg/hari
Mg/l

Amonia
0,10
Mg/l
Fosfor total
0,05
Mg/l
pH
78
Table 1. kandungan limbah sapi perah
2.2 Kompos
Kompos merupakan campuran pupuk dari bahan organik yang berasal dari
tanaman (jerami, batang jagung, sayuran, buah, sampah kota) atau hewan atau
keduanya yang telah melapuk sebagian dan dapat berisi senyawa-senyawa lain,
seperti abu dan kapur. Pengomposan merupakan suatu proses penguraian
mikrobiologis alami dari bahan buangan organik maupun dari wastewater sludge.
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena
rasio C/N bahan organik segar masih tinggi (jerami 50-70, dedaunan 50-60, kayukayuan >400). Jerami padi pada proses dekomposisi sangat baik karena pada

dasarnya pengembalian jerami padi kedalam tanah sebagai bahan organik sangat
baik karena jerami banyak mengandung unsur hara terutama hara makro seperti
N, P, K, S, Ca, dan Mg serta hara mikro seperti Cu , Mn dan Zn (Adiningsih, 1999
dikutip dari Kasli, 2008). Jerami padi mengandung senyawa N dan C yang
berfungsi sebagai substrat metabolisme bagi mikrobia tanah, termasuk gula, pati,
selulose, hemi selulose, pektin, lignin, lemak dan protein.
Tingginya kandungan selulosa dan lignin menyebabkan jerami padi sulit
untuk didekomposisi oleh mikroba. Oleh karena itu diperlukan suatu dekomposer
yang memiliki aktifitas selulolitik yang tinggi dengan dikeluarkanya enzim
selulase. (Kasli, 2008).
Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik.
Pengomposan dapat dilakukan pada kondisi aerob (dengan oksigen) dan anaerob
(tanpa oksigen). Pada tahap awal dekomposisi berlangsung intensif, dihasilkan
suhu tinggi (65-70 0C) dalam waktu pendek. Proses dekomposisi menghasilkan
panas yang dapat mematikan benih gulma dan telur hama penyakit. Dekomposisi
limbah organik dilakukan oleh berbagai macam microorganism diantaranya
bakteri dan fungi. (Amsath dan Sukumaran, 2008). Waktu pengomposan
bervariasi tergantung bahan dasar. Pengomposan bahan organik terjadi secara
biofisiko-kimia, melibatkan aktivitas biologi mikroba dan mesofauna. Nitrogen
dan fosfor dibutuhkan mikroba untuk metabolisme dan pertumbuhannya (Sutedjo,
dkk., 1991; Rynk, dkk., 1992; dan Biddlestone, dkk., 1994).
Kompos yang berasal dari sumber yang berbeda dapat digunakan untuk
memperbaiki kondisi tanah, melengkapi ketersedian zat organik pada tanah
sehinnga dapat merangsang perbaikan kondisi fisik dan kimia tanah (Nourbakhsh,
2007). Pengomposan dapat dilakukan dengan cara thermophilic composting,
dengan temperatur mencapai 45-75oC, sehingga mikroorganisme thermophilic
menjadi aktif memakan bahan kompos yang ada, berkembang dengan cepat
menggantikan tugas mesophilic. Kondisi thermophilic mempunyai daya tahan
panas lebih tinggi daripada mesophilic. Kondisi thermophilic ini banyak
menyebabkan organisme patogen mati, terutama dalam temperatur 550C.

Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menggunakan bioaktivator


perombak bahan organik, seperti Trichoderma sp. Syarat-syarat pembuatan
kompos adalah, ukuran bahan mentah sekitar 5-10 cm, tinggi timbunan 1,25-2 m,
rasio C/N bahan kompos sekitar 20:1 35:1. Nilai C:N ratio ideal proses
pengomposan adalah 1:25-30. Bila lebih rendah atau tinggi maka proses tidak
berjalan maksimal (Rynk, dkk., 1992 dan Biddlestone, dkk., 1994). Bahan
kompos seperti biji-bijian yang keras dan berkayu, tanaman menjalar dan
pangkasan pohon mempunyai rasio C/N tinggi. Timbunan kompos harus lembab,
dengan kandungan air 50-60%. Selama proses dekomposisi, bahan kompos harus
dibalik. Ciri-ciri kompos yang baik adalah berwarna coklat, berstruktur remah,
berkonsistensi gembur dan berbau daun lapuk (Yuliarti, 2009).
2.2.1 Metode Pengomposan :

Metode Indore. Pengomposan dilakukan di dalam lubang, yang dibuat dekat


kandang ternak. Lubang berukuran kedalaman 1 m, lebar 1,5-2 m, panjang
lubang tergantung dari ketersediaan bahan. Bahan dasar yang digunakan
adalah campuran sisa/residu tanaman, kotoran ternak, urine ternak, abu
bakaran kayu, dan air. Bahan yang keras tidak boleh melebihi 10%. Semua
bahan yang tersedia disusun menurut lapisan-lapisan dengan ketebalan
masing-masing 15 cm, dengan total ketebalan 1,0-1,5 m. Setiap lapisan
disiram urine ternak secara merata, kelembaban tumpukan dijaga sekitar
90%. Pembalikan dilakukan 3 kali, yaitu pada 15, 30 dan 60 hari setelah

kompos mulai dibuat.


Metode Heap. Pengomposan dilakukan di permukaan tanah. Petak timbunan
dibuat berukuran lebar 2 m, panjang 2 m dan tinggi timbunan 1,5 m.
Lapisan dasar pertama adalah bahan yang kaya karbon setebal 15 cm
(dedaunan, jerami, serbuk gergaji, dan batang jagung), lapisan berikutnya
adalah bahan yang kaya nitrogen setebal 10-15 cm (residu sisa tanaman,
rumput segar, kotoran ternak, dan sampah organik). Timbunan disusun
hingga ketinggian 1,5 m. Kelembaban dijaga dengan menambahkan air

secukupnya. Pembalikan dilakukan setelah 6 dan 12 minggu setelah proses

pengomposan berlangsung.
Metode Berkeley. Bahan dasar yang digunakan adalah: dua bagian bahan
organik kaya selulosa dan satu bagian bahan organik kaya nitrogen dengan
nilai rasio C/N 30:1. Bahan disusun berlapis-lapis hingga ketebalan
berukuran 2,4 x 2,2 x 1,5 m. Setelah 2-3 hari proses pengomposan berjalan
terbentuk suhu tinggi, secara berkala kompos harus dibalik. Setelah hari ke10, suhu mulai menurun dan bahan berubah menjadi remah dan berwarna
coklat gelap. Pengomposan selesai setelah 2 minggu.

2.3 POC (Pupuk Organik Cair)


Pupuk adalah bahan yang ditambahkan kedalam tanah untuk menyediakan
esensial bagi pertumbuhan tanaman. pupuk juga merupakan Vitamin bagi tanah
yang dapat membuat tanah lebih gembur dan subur. dengan tanah yang gembur
dan subur itulah, maka tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan Buah dan Daun
yang besar, sehat, dan dalam jumlah banyak. Pupuk Organik Cair adalah jenis
pupuk yang berbentuk cair tidak padat yang mudah sekali larut pada tanah dan
membawa unsur-unsur penting guna kesuburan tanah.
Pupuk Organik Cair adalah pupuk yang dapat memberikan HARA yang
sesuai dengan Kebutuhan Tanaman pada tanah, karena bentuknya yang cair, maka
jika terjadi kelebihan kapasitas pupuk pada tanah maka dengan sendirinya
tanaman akan mudah mengatur penyerapan komposisi pupuk yang dibutuhkan.
Pupuk Organik Cair dalam pemupukan jelas lebih merata, tidak akan terjadi
penumpukan konsentrasi pupuk di satu tempat,sebab itu tadi pupuk ini 100 persen
larut dam merata. Juga Pupuk Organik Cair ini mempunyai kelebihan dapat secara
cepat mengatasi Defesiensi Hara dan tidak bermasalah dalam pencucian Hara juga
mampu menyediakan hara secara cepat. Pupuk Organik Cair tidak merusak humus
Tanah walaupun seringkali digunakan. selain itu pupuk ini juga memiliki zat
pengikat larutan hingga bisa langsung digunakan pada tanah tidak butuh interval
waktu untuk dapat menanam tanaman. Pupuk cair sepertinya lebih mudah

dimanfaatkan oleh tanaman karena unsur - unsur di dalamnya sudah terurai dan
tidak dalam jumlah yang terlalu banyak sehingga manfaatnya lebih cepat terasa.
Bahan baku pupuk cair dapat berasal dari pupuk padat dengan perlakuan
perendaman. Setelah beberapa minggu dan melalui beberapa perlakuan, air
rendaman sudah dapat digunakan sebagai pupuk cair, sedangkan limbah padatnya
dapat digunakan sebagai kompos Penggunaan pupuk cair dapat memudahkan dan
menghemat tenaga. Keuntungan pupuk cair antara lain:
-

Pengerjaan pemupukan akan lebih cepat


Penggunaanya sekaligus melakukan perlakuan penyiraman sehingga dapat

menjaga kelembaban tanah


Aplikasinya bersama pestisida organic berfungsi sebagai pencegah dan

pemberantas penggangu tanaman.


Jenis tanaman pupuk hijau yang sering digunakan untuk pembuatan pupuk
cair misalnya daun johar, gamal, dan lamtorogung (Harjono, 2000)

2.4 Biogas
Biogas merupakan salah satu jenis biofuel, bahan bakar yang bersumber dari
makhluk hidup dan bersifat terbarukan. Berbeda dari bahan bakar minyak bumi
dan batu bara, walaupun proses awal pembuatannya juga dari makhluk hidup,
namun tidak dapat diperbaharui karena pembentukan kedua bahan bakar tersebut
membutuhkan waktu jutaan tahun.
Pada umumnya semua jenis bahan organik dapat dijadikan sumber biogas,
tetapi bahan organik homogen, misal: limbah kotoran sapi, babi, dan manusia, dan
bahan organik yang memiliki rasio C/N sebesar 8-20 adalah sumber yang paling
cocok untuk dijadikan sumber biogas. Biogas tersusun atas berbagai macam gas
yang didominasi oleh gas metan (55-75 %) dan karbondioksida (25-45 %). Biogas
memiliki nilai kalori yang cukup tinggi, sebesar 6000 watt jam (setara dengan
setengah liter minyak diesel), sehingga dapat dipakai sebagai sumber energi
alternatif bagi masyarakat. (Apandi, M. 1979)
Pembentukan biogas meliputi tiga tahap proses yaitu:

(a) Hidrolisis, pada tahap ini terjadi penguraian bahan-bahan organik mudah
larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana,
perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer
(b) Pengasaman, pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana)
yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi
bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana
ini yaitu asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat,
gas karbondioksida, hidrogen dan amonia serta
(c) Metanogenik, pada tahap metanogenik terjadi proses pembentukan gas
metan. Bakteri pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini, yaitu
mereduksi sulfat dan komponen sulfur lainnya menjadi hydrogen sulfide.
Gambar 1 memperlihatkan alur proses perombakan selulosa hingga terbentuk
gas (Nurtjahya et al., 2003). Adapun bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik
ini yaitu bakteri hidrolitik yang memecah bahan organik menjadi gula dan asam
amino, bakteri fermentatif yang mengubah gula dan asam amino tadi menjadi
asam organik, bakteri asidogenik mengubah asam organik menjadi hidrogen,
karbondioksida dan asam asetat dan bakteri metanogenik yang menghasilkan
metan dari asam asetat, hidrogen dan karbondioksida . Optimisasi proses biogas
akhir-akhir ini difokuskan pada proses pengontrolan agar mikroorganisme yang
terlibat dalam keadaan seimbang, mempercepat proses dengan peningkatan desain
digester dan pengoperasian fermentasi pada temperatur yang lebih tinggi dan
peningkatan biogas yang dihasilkan dari bahan dasar biomasa lignoselulosa
melalui perlakuan awal.

Gambar 1 .alur proses perombakan selulosa hingga terbentuk gas


Komponen biogas yang paling penting adalah gas methan, selain itu juga gasgas lain yang dihasilkan dalam ruangan yang disebut digester. Biogas yang
dihasilkan oleh biodigester sebagian besar terdiri dari 54% 70% metana (CH4),
27 45% karbondioksida (CO2), 3%-5% nitrogen (N2), 1%-0% hidrogen (H2),
0,1% karbon monoksida (CO), 0,1% oksigen (O2) dan sedikit hidrogen sulfida
(H2S). Biogas dapat dihasilkan pada hari ke 45 sesudah biodigester terisi penuh,
dan mencapai puncaknya pada hari ke 2025. Akan tetapi perlu juga
dipertimbangan ketinggian lokasi pembuatannya karena pada suhu dingin
biasanya bakteri lambat berproses sehingga biogas yang dihasilkan mungkin lebih
lama. Ada tiga kelompok bakteri yang berperan dalam proses pembentukan biogas
:
1. Kelompok bakteri fermentatif, yaitu: Steptococci, Bacteriodes, dan
beberapa jenis Enterobactericeae
2. Kelompok bakteri asetogenik, yaitu Desulfovibrio,

3. Kelompok bakteri metana, yaitu Mathanobacterium, Mathanobacillus,


Methanosacaria, dan Methanococcus.
Sedangkan terkait dengan temperatur, secara umum ada 3 rentang temperatur
yang disenangi oleh bakteri, yaitu:
1. Psicrophilic (suhu 40 200 C), biasanya untuk negara-negara subtropics
atau beriklim dingin,
2. Mesophilic (suhu 200 400 C),
3. Thermophilic (suhu 400 600 C), hanya untuk men-digesti material, bukan
untuk menghasilkan biogas.
Dengan demikian, untuk negara tropis seperti Indonesia, digunakan unheated
digester (digester tanpa pemanasan) pada kondisi kondisi temperatur tanah 20 0
300 C. Untuk memperoleh biogas dari bahan organik, diperlukan alat yaitu
Digester Biogas/Biodigester, yang bekerja dengan prinsip menciptakan suatu
tempat penampungan bahan organik pada kondisi anaerob (bebas oksigen)
sehingga bahan organik tersebut dapat difermentasi oleh bakteri metanogen untuk
menghasilkan biogas. Biogas yang timbul kemudian dialirkan ketempat
penampungan biogas sedangkan lumpur sisa aktifitas fermentasi dikeluarkan lalu
dijadikan pupuk alami yang dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian maupun
perkebunan. Digester biogas memiliki tiga (3) macam tipe dengan keunggulan
dan kelemahannya masing-masing. Ketiga tipe biogas tersebut adalah :
1. Tipe fixed domed plant
Terdiri dari digester yang memliki penampung gas dibagian atas digester.
Ketika gas mulai timbul, gas tersebut menekan lumpur sisa fermentasi (slurry) ke
bak slurry. Jika pasokan kotoran ternak terus menerus, gas yang timbul akan terus
menekan slurry hingga meluap keluar dari bak slurry. Gas yang timbul
digunakan/dikeluarkan lewat pipa gas yang diberi katup/kran.
a) Kelebihan : tidak ada bagian yang bergerak, awet (berumur panjang),
dibuat di dalam tanah sehingga terlindung dari berbagai cuaca atau
gangguan lain dan tidak membutuhkan ruangan (diatas tanah)
b) Kelemahan : rawan terjadi kertakan di bagian penampung gas, tekanan gas
tidak stabil karena tidak ada katup gas.

2. Tipe floating drum plant


Terdiri dari satu digester dan penampung gas yang bisa bergerak. Penampung
gas ini akan bergerak keatas ketika gas bertambah dan turun lagi ketika gas
berkurang, seiring dengan penggunaan dan produksi gasnya.
a) Kelebihan : konstruksi alat sederhana dan mudah dioperasikan. Tekanan
gas konstan karena penampung gas yang bergerak mengikuti jumlah gas.
Jumlah gas bisa dengan mudah diketahui dengan melihat naik turunya
drum.
b) Kelemahan : digester rawan korosi sehingga waktu pakai menjadi pendek.
3. Tipe baloon plant
Konstruksi sederhana, terbuat dari plastik yang pada ujung-ujungnya
dipasang pipa masuk untuk kotoran ternak dan pipa keluar peluapan slurry.
Sedangkan pada bagian atas dipasang pipa keluar gas.
a) Kelebihan

: biaya pembuatan murah, mudah dibersihkan, mudah

dipindahkan
b) Kelemahan : waktu pakai relatif singkat dan mudah mengalami kerusakan.
(Sihombing, 1979)
2.5 Vermikompos
Vermikompos adalah kompos yang diperoleh dari hasil perombakan bahanbahan organik yang dilakukan oleh cacing tanah. Jenis cacing tanah yang dapat
digunakan adalah Eisenia foetida atau Lumbricus rubellus. Vermikompos berisi
sebagian besar nutrien yang dibutuhkan oleh tanaman dalam bentuk nitrat, fosfat,
kalsium dan potassium yang mudah larut (Azarmi et al., 2008). Analisis secara
kimia menunjukkan, bahwa kotoran cacing memiliki jumlah magnesium, nitrogen
dan potassium yang lebih tinggi dibandingkan tanah disekitarnya (Kaviraj dan
Sharma, 2003). Penambahan nitrogen berasal dari produk metabolit cacing tanah
yang dikembalikan tanah melalui kotoran, urin, mukus, dan jaringan yang berasal
dari cacing yang telah mati selama vermicomposting berlangsung (Amsath dan
Sukumaran, 2008). Vemikompos merupakan campuran kotoran cacing tanah

(casting) dengan sisa media atau pakan dalam budidaya cacing tanah. Oleh karena
itu vermikompos merupakan pupuk organik yang ramah lingkungan dan memiliki
keunggulan tersendiri dibandingkan dengan kompos lain yang kita kenal selama
ini.
Keunggulan Vermikompos :
1) Vermikompos mengandung berbagai unsur hara yang dibutuhkan tanaman
seperti N, p, K, Ca, Mg, S. Fe, Mn, AI. Na, Cu. Zn, Bo dan Mo tergantung
pada bahan yang digunakan.
2) Vermikompos merupakan sumber nutrisi bagi mikroba tanah.
3) Vermikompos berperan memperbaiki kemampuan menahan air, membantu
menyediakan nutrisi bagi tanaman, memperbaiki struktur tanah dan
menetralkan pH tanah.
4) Vermikompos mempunyai kemampuan menahan air sebesar 40-60%.
5) Tanaman hanya dapat mengkonsumsi nutrisi dalam bentuk terlarut.
Kelebihan vermikompos tidak hanya komposisi hara yang lebih baik, tapi juga
perannya dalam meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan hama.
(Edwards and Neuhauser, 1988)

III
ALAT, BAHAN DAN PROSEDUR KERJA
3.1 Alat
3.1.1 Proses Dekomposisi Awal
1. Karung Plastik
2. Tongkat Bambu
3. Alat Tulis
4. Karton Tebal
5. Kain
3.1.2 Pembuatan Pupuk Organik Cair (POC)
1. Timbangan
2. Kotak Plastik
3. Saringan Bertingkat
4. Alat Tulis
3.1.3 Pembuatan Probiotik (Feed Additive)
1. Ember Plastik Bertutup
2. Timbangan
3. Pengaduk
4. Lakban Ukuran Besar
5. Alat Tulis
3.1.4 Pembuatan Biogas
1. Digester Berupa Tong Plastik volume 30 L dilengkapi dengan kran gas
2. Sekang Plastik
3. Klem
4. Kompor
3.1.5 Pembuatan Pupuk Organik Padat (POP)
1. Timbangan
2. Karton Tebal
3. Kotak Plastik ukuran 30 x 40 x 14
4. Alat Tulis
3.2
Bahan
3.2.1 Proses Dekomposisi Awal
1. Feses Sapi Perah
2. Jerami Padi
3.2.2 Pembuatan Pupuk Organik Cair (POC)
1. Substrat Cair Dekomposan
2. Air Hangat
3.2.3 Pembuatan Probiotik (Feed Additive)
1. Filtrat Encer Hasil Pembuatan POC
2. Molasses
3.2.4 Pembuatan Biogas
1. Subtrat Dekomposan
2. Air

3.2.5 Pembuatan Pupuk Organik Padat (POP)


1. Substrat Padat Hasil Pembuatan POC
2. Cacing Tanah L. rubellus 250g
3.3

Prosedur Kerja

3.3.1

Dekomposisi Awal

1. Menghitung perbandingan C/N = 30


2. Menghitung air dari masing-masing campuran feses dan jerami.
3. Menimbang 7,5 kg jerami padi yang telah di chopper dengan panjang 23cm.
4. Menimbang 15 kg feses sapi perah.
5. Mencampurkan sedikit demi sedikit seluruh jerami padi dan feses sapi
perah hingga homogen.
6. Memasukan jerami kering sebanyak 0,5 kg dibagian dasar jerami, lalu
campuran jerami padi dan fese kedalam karung yang telah dijahit kedua
ujungnya sehingga bisa berdiri tegak.
7. Memadatkan campuran di dalam karung.
8. Menusukan tongkat bambu untuk memasukan sebanyak-banyaknya O2 ke
dalam karung sambil memadatkan campuran jerami dan feses hingga
penuh.
9. Memasukan 0,5kg jerami kering dibagian paling atas.
10. Meletakan kardus berbentuk lingkaran dibagian atas lalu menutup karung
bagian atas.
11. Meletakan karung di tempat yang terlindung dari sinar matahari.
12. Melubangi karung di bagian atas (A), tengah (B), dan bawah (C).
13. Menyimpan dan mengamati perubahan suhu pada masing-masing titik
setiap hari selama 1 minggu.
14. Membongkar hasil dekomposisi hasil dekomposisi dan mengamati kondisi
fisik hasil dekomposisi.
15. Mengangin-angin hingga kering untuk bahan baku POC dan POP
3.3.2

Pembuatan Pupuk Organik Cair (POC)

1. Menimbang subtract yang telah dikeringkan


2. Memanaskan air hingga 80oC.
3. Merendam subrat kering dengan air panas selaman 1-2 jam

4. Menyaring subrat yang telah direndam hingga dihasilkan suspense yang


kental dan hitam pekat sebanyak 4 liter serta suspense encer sebanyak 1
liter.
5. Melakukan pengomposan dan aerasi pada suspense hingga menjadi
larutan.
3.3.3
1.
2.
3.
4.
5.
6.

3.3.4

Pembuatan Probiotik (Feed Additive)


Menimbang suspense encer hasil ekstrasi POC.
Memasukan hasil timbangan kedalam wadah fermentasi.
Menimbang molasses sebanyak 5% dari berat suspense encer.
Memasukan molasses kedalam suspense dan menghomogenisasikan.
Melakukan proses fermentasi anaerob selama 1 minggu.
Mengamati tampilan fisik, warna, dan bau setelah proses fermentasi

Pembuatan Biogas

1. Menyiapkan

instalasi biogas yang terdiri dari digester dan ban karet

penampung gas.
2. Merangkai instalasi biogas yang terdiri dari digester yang dilengkapi kran
gas dibagian penutupnya.
3. Menghubungkan selang plastic kran dari digester ke lubang angin.
4. Menetukan kadar air subtract dan menghitung jumlah air yang perlu
5.
6.
7.
8.

ditambahkan.
Memasukan campuran subtract hingga mencapai dari volume tong
Menyisipkan sealer yang terbuat dari karet antara tong dan penutupnya.
Mengunci tong dan penutup dengan menggunakan klem.
Menginkubasi selama 1minggu dan mengamati setiap hari perubahannya

berupa pembentukan gas.


9. Melakukan uji nyala api setelah inkubasi selama 1 minggu.
3.3.5

Pembuatan Pupuk Organik Padat (POP)

1. Mengangin-anginkan subtract padat hasil ekstraksi POC selama 1 minggu.


2. Menimbang 2 kg subtract lalu memasukannya kedalam wadah plastic
berukuran 30x40x14 cm.
3. Menimbang cacing tanah sebanayk 250 gram dan memasukannya ke
dalam media.
4. Menutup wadah dengan karton tebal yang telah dilubangi.

5. Menyimpang subrat yang ditambah cacing dan mengamati setelah 1


minggu saat cacing tanah dapat di panen.

IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1.1

4.1 Hasil Pengamatan


Proses Dekomposisi Awal

4.1.1.1 Tabel 2. Pengukuran Suhu


Suhu (oC)
A. 55
T. 51
B. 50
A. 54
T. 52
B. 49
A. 51
T. 50
B. 49
A. 51
T. 53
B. 50
A. 46
T. 48
B. 49
A. 40
T. 44
B. 43
A. 35
T. 39
B. 40

Hari, Tanggal
Selasa 04-10-2016
Rabu 05-10-2-16
Kamis 06-10-2016
Jumat 07-10-2016
Sabtu 08-10-2016
Minggu 09-10-2016
Senin 10-10-2016

4.1.1.2 Tabel 3. Pengecekan Pertumbuhan Kapang


Pengamatan Organoleptik
Tekstur
Warna
Bau
Pertumbuhan Kapang

4.1.1.3 Tabel 4. Penurunan Susut

Hasil
Lebih halus dari sebelumnya
Coklat tua seperti tanah
Aroma tanah
Merata

Bobot

Bobot

Tanggal

Bobot Feses

Jerami

Jerami

Total

Tambahan

04 10- 2016

24 kg

12 kg

2 kg

38 kg

10 10- 2016

2 kg

28 kg

Perhitungan :
Penyusutan bobot = Total 1 Total 2
38- 28 = 10 kg
4.1.2

Tabel 5. Pengamatan Pupuk Organik Cair


Pengamatan Organoleptik
Warna
Bau
Rasa
Endapan

4.1.3

Tabel 6. Pengamatan Pupuk Organik Padat

Pengamatan
Cacing Tanah
Media Coumpos
4.1.4

4.2
4.2.1

Hasil
Hitam
Tidak Berbau
Hambar
Tidak Ada

Saat Implantasi
250g
2 kg

Setelah 1 Minggu
310 g
Terjadi penyusutan

Tabel 7. Pengamatan Biogas


Parameter

Hasil

Tutup Digester

Menggembung dan Mengeras

Karet Ban

Keras bila ditekan

Gas Metana

Tidak Terbentuk

Pembahasan
Proses Dekomposisi Awal
Sebelum melakukan pengomposan terlebih dahulu terjadi proses

dekomposisi awal yang berguna untuk mengubah senyawa kompleks seperti


karbohidrat, protein serta lipid yang terkandung didalamnya terurai menjadi

senyawa sederhana. Sebelum melakukan dekomposisi diperlukan perhitungan


C/N ratio untuk memenuhi kebutuhan bakteri pengurai. Secara teoritis nisbah
karbon dan nitrogen yang dibutuhkan oleh mikroba adalah 30:1. (Gotaas, 1956)
dalam Marlina, 2009). Kisaran optimal dari nisbah karbon dan nitrogen adalah 2635. Nisbah C/N terlalu tinggi akan memperlambat proses pengomposan. Bila
nisbah C/N terlalu rendah mengakibatkan kehilangan nitrogen sebagai amonia.
(McGauhey dan Golueke ,1953 dalam Marlina , 2009 ).
Dalam praktikum kali ini digunakan campuran jerami padi yang telah
dicacah untuk memperluas luas permukaan. Hal tersebut untuk memudahkan
bakteri mengurainya. Partikel yang lebih kecil akan menghasilkan campuran
kompos yang lebih homogen sehingga membantu mempertahankan suhu optimum
yang diperlukan utnuk pertumbuhan optimum bakteri. Penggunaan jerami padi
berfungsi sebagai bahan yang membantu meningkatkan kadar C yang dibutuhkan
oleh bakteri. Bakteri membutuhkan karbon (C) sebagai sumber energi dan
nitrogen (N) sebagai pertumbuhan bakteri (pembentukan sel).
Jerami yang digunakan merupakan jerami yang telah dikeringkan tujuan
dari penggunaan jerami kering ini adalah untuk menjaga kelembaban dan
mengurangi kadar air yang nantinya akan menimbukan kebusukan pada kompos.
Hal tersebut juga dikuatkan dengan adanya jurnal yang menyatakan kelembaban
optimum yang menghasilkan dekomposisi terbaik berkisar antara 50-60 % (dari
asfeed). Bila terlalu tinggi menyebabkan tumpukan bahan kompos menjadi padat
dan terlalu basah sehingga jumlah udara yang tersedia bagi bakteri menjadi
berkurang dan pengomposan menjadi berlangsung anaerob yang menghasilkan
bau dan lamban. (McGauhey dan Golueke (1953), Gootas (1956) dan Wiley
(1957) dalam Marlina, 2009).
Pada proses dekomposisi awal yang berlangsung secara aerobic perlu
penambahan oksigen atau rongga udara dengan bantuan tongkat bamboo sehingga
meminimalisir terjadinya pengomposan anaerobic. Penambahan jerami padi
kering pada alas bawah untuk menyerap kelebihan air pada bahan campuran

sedangkan penambahan jerami padi kering pada alas atas untuk menyerap bau
yang timbul pada proses dekomposisi awal.
Selama proses dekomposisi terjadi peningkatan suhu hal tersebut
menunjukan bahwa bakteri sedang bekerja, selain itu kenaikan suhu akan
membunuh mikroba patogen, meningkatkan evaporasi, dan mempercepat laju
degradasi bahan organik material kompos. Pada suhu diatas 40 oC, bakteri
mesofilik akan pindah kelapisan luar dan kemudian digantikan oleh bakteri
thermofilik.
Suhu optimal berdasarkan oksidasi bahan organik menjadi CO 2 dan air
adalah 60oC (Wiley, 1957; Schulze, 1962; Bach et al., 1984; Kiyohiko et al., 1985
dalam Marlina, 2009), namun McKinley dan Vestal (1984) menyatakan suhu 55 OC
sudah cukup optimal untuk aktivitas mikroba. Jamur dapat mendekomposisi
selulosa dan hemiselulosa sekitar 50% dari total yang tersedia. Kemudian terjadi
penurunan suhu menjadi kisaran 30- 40 oC yang menunjukan bahwa proses awal
dekomposisi telah selesai.
Kompos yang dihasilkan setelah dekomposisi menjadi berwarna coklat tua
seperti tanah memiliki bau yang khas seperti aroma kapang serta terdapat warna
putih pada substrat yang merupakan ciri terdapat kapang yang

menandakan

bahwa proses dekomposisi awal berhasil. Hal tersebut dibenarkan dengan


ditemukannya jurnal yang menyatakan . Ciri-ciri kompos yang baik adalah
berwarna coklat, berstruktur remah, berkonsistensi gembur dan berbau daun lapuk
(Yuliarti, 2009).
4.2.2

Pupuk Organik Cair (POC)


Dalam pembuatan Pupuk Organik Cair ini terlebih dahulu mengangin

anginkan substrat hasil dekomposisi awal. Substrat tersebut perlu direndam


selama beberapa menit dalam air panas untuk menghasilkan filtrat. Setelah
substrat tersebut terlarut, dilakukan penyaringan untuk mengambil filtrat tersebut.
Penyaringan

dilakukan

secara

perlahan

karena

apabila

ditekan

akan

mengakibatkan terjadinya pemampatan susbtrat. Filtrat tersebut masih berupa


starter yang belum siap jadi untuk dijadikan pupuk organik cair. Perlu adanya

proses fermentasi sehingga memunculkan starter berupa gumpalan kuning


(orange) pada bagian atas poc yang dapat digunakan sebagai starter bahan pakan
ternak. Pada proses fermentasi filtrate perlu ditutup menggunakan plastic wrap
yang dimaksudkan agar tidak filtrate terkena cahaya matahari secara langsung dan
tidak ada mikroorganisme lain yang masuk dan menempel yang nantinya akan
mengganggu proses fermentasi. Pada pengamatan secara organoleptic pupuk cair
yang kelompok kami hasilkan memeiliki warna hitam pekat, tidak berbau dan
tidak terjadi gumpalan yang artinya pupuk cair tersebut berhasil.
Pupuk Organik cair yang dihasilkan dari percobaan kali ini adalah 4 liter
dari 3,5 kg berat substrat dan 10 liter air.Kualitas hasil pembuatan pupuk cair pada
prinsipnya ditentukan oleh bahan baku, mikroorganisme pengurai, proses
pembuatan , produk akhir dan pengemasan. Bahan baku dengan konsisi yang
masih segar dan semakin beragamnya jenis mikroorganisme maka akan membuat
kualitas pupuk cair organik yang dihasilkan menjadi semakin baik kandungannya.
( Widyatmoko dan Sitorini , 2001). Salah satu faktor yang dapat menyebabkan
pembuatan pupuk organik cair gagal dibuat adalah terkena sinar matahari
langsung. Karena sinar matahari dapat membunuh mikroorganisme yang
membantu proses fermentasi dalam pembuatan pupuk organik cair tersebut.
4.2.3

Feed Additive
Feed additive merupakan bahan bukan pakan yang ditambahkan pada

pakan dalam jumlah sedikit dengan tujuan tertentu. Terdapat lalat buah yang
datang yang dapat menandakan juga bahwa proses pembuatan feed aditif tersebut
berhasil. Bisa dibuktikan dengan cara meminum filtrat tersebut dan tidak terjadi
apapun pada orang yang sudah meminumnya.
4.2.4

Biogas
Dalam praktikum kali ini biogas dibuat menggunakan substrat hasil

dekomposan. Gas bio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas
yang merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan
gas yang dominan adalah gas metan (CH 4) dan gas karbondioksida (CO2).
(Simamora ,1989).

Feses dari semua ternak ruminansia pada hakekatnya

potensial untuk pembuatan gas bio, tetapi yang paling baik untuk dikembangkan
di masyarakat adalah ternak sapi potong atau sapi dan kerbau, karena jumlah
produksi feses per hari cukup banyak (Sihombing, 1979). Komponen biogas yang
paling penting adalah gas methan.
Dalam praktikum kali ini biogas yang kelompok kami buat tidak
menunjukan terbentuknya gas methan hal tersebut dibuktikan dengan tidak
adanya nyala api ketika dilakukan pengujian keberhasilan biogas. Kegagalan
proses pencernaan anaerobik dalam digester biogas bisa dikarenakan tidak
seimbangnya populasi bakteri metanogenik terhadap bakteri asam yang
menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam (pH kurang dari 7) yang
selanjutnya menghambat kelangsungan hidup bakteri metanogenik. Kondisi
keasaman yang optimal pada pencernaan anaerobic yaitu sekitar pH 6,8 sampai 8,
laju pencernaan akan menurun pada kondisi pH yang lebih tinggi atau rendah.
4.2.5

Pupuk Organik Padat (POP)


Substrat hasil ekstrasi dari pupuk organik cair masih mengandung bahan-

bahan yang bernutrisi. Untuk menguraikannya menjadi pupuk organik padat yang
siap digunakan diperlukan penguraian dengan bantuan seperti cacing tanah.
Cacing tanah dapat memakan semua jenis bahan organik. Kotoran cacing yang
biasa disebut casting ini kaya akan nitrogen, fosfor, kalium, kalsium dan
magnesium dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman, serta mengandung vitamin,
enzim dan mikroorganisme yang baik bagi kesuburan tanah. Cacing tanah yang
digunakan dalam vermikompos terdiri dari Lumbricus rubellus, Eisenia fetida,
Pheretima asiatica dan Perionyx excavatius.
Proses pembuatan vermikompos dilakukan dengan tiga tahapan yaitu
pengadaan bahan organik, perbanyakan cacing tanah dan proses pengomposan.
Bahan organik yang digunakan adalah substrat hasil POC karena masih
terkandungnya bahan organik yang tidak ikut terlarut dalam air, kemudian
ditambahkan cacing tanah dan disimpan kurang lebih 1 minggu. Setelah 1 minggu
proses pengomposan dapat terlihat kondisi cacing yang ada sudah mulai
membesar dalam hal ukuran tubuhnya, kemudian hasil dari proses vermikompos

yaitu tidak adanya bau dan warnanya sudah coklat kehitaman. Kemudian
didiamkan kembali selama satu minggu dan tidak terdapat perubahan. Hal tersebut
sudah tergolong kedalam klasifikasi pupuk organik padat yang sudah matang
sehingga bisa untuk siap pakai.

V
KESIMPULAN

Proses dekomposisi awal diawali dengan mencampur jerami dengan feses


sapi perah agar homogen, kemudian disimpan dalam karung selama satu
minggu dan dicatat suhunya. Hasil dekomposisi awal yang baik yaitu

terdapat warna putih pada substrat dan sudah tidak berbau feses lagi.
Pembuatan Pupuk Organik Cair diawali denngan merendam substrat
dengan air panas selama 1-2 jam. Kemudian disaring pada bak penyaring

yang akan menghasilkan filtrat.


Pembuatan feed additive yaitu melakukan filtrasi terlebih dahulu
kemudian menambahkan molasse sebanyak 5% pada filtrat. Hasil dari feed
additive yang baik adalah memiliki bau yang wangi, ada lalat buah yang

datang menuju ember.


Pembuatan biogas diawali dengan menimbang substrat dan disimpan
dalam tong selama 1 minggu. Biogas yang baik memiliki ciri
menggelembung pada bagian tutup tong dan berhasil pada saat pengujian

nyala api.
Pembuatan Pupuk Organik Padat dibantu oleh cacing, untuk mempercepat
proses pemecahan bahan organik. Dengan menambahkan 250 gram cacing
dalam kurang lebih 3,5 kg substrat dan disimpan dalam 2 minggu. Pupuk
Organik Padat yang baik mempunyai ciri warna sudah seperti warna tanah
dan sudah tidak berbau feses.

DAFTAR PUSTAKA
Amsath, K.M. and M. Sukumaran. 2008. Vermicomposting of Vegetable Wastes
Using Cow Dung. E-Journal of Chemistry. Vol. 5. No. 4. pp. 810- 813
Apandi, M. 1979. Pemanfaatan Instalasi Gas Bio dalam Bidang Peternakan.
Kertas Kerja Seminar Nasional Lembaga Penelitian Peternakan.
Azarmi R, Sharifi Ziveh P, Satari MR (2008). Effect of vermicompost on growth,
yield and nutrient status of tomato (Lycopersicom esculentum). Pak. J.
Biol. Sci. 1(14): 1797-1802
Biddlestone, A.J., K.R. Gray, and K. Thayanithy. 1994. Composting and Reed
Beds for Aerobic Treatment of Livestock Wastes. In: Pollution in
Livestock Production Systems. Edited by Ap Dewi, I., R.F.E. Axford, I.
F. M. Marai, and H.M. Omed. Cab International. Wallingford, Oxon
Ox10 8DE, UK. Pp. 345-360.
Edwards, C.A. and E. F. Neuhauser. 1988. Earthworms in waste and
environmental management. SPB Academic Publishing. The Hague, The
Netherlands.
Harahap, F., Apandi, M. dan Ginting, S. 1978. Teknologi Gas Bio. Pusat Teknologi
Pembangunan. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Isroi dan N. Yuliarti. 2009. Kompos. Penerbit ANDI, Yogyakarta.
Junus, Mohammad. 1995. Teknik Membuat dan Memanfaatkan Unit Gas Bio.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Kasli. 2008. Pembuatan Pupuk Hayati Hasil Dekomposisi Beberapa Limbah
Organik dengan Dekomposernya. Jerami Volume 1 Agroekoteknologi.
Fakultas Pertanian. Universitas Andalas. Padang.
Kaviraj, and S. Sharma. 2003. Municipal Solid Waste Management Through
Vermicomposting Employing Exotic and Local Species of Earthworms.
Bioresource Technology. 90 : 169-173
Marlina, Eulis Tanti. 2009. Biokonversi Limbah Industri Peternakan. UNPAD
Press. Bandung.
Nourbakhsh, F. 2007. Influence of Vermicomposting on Solid Waste
Decomposition Kinetics in soil. J Zhejiang Univ Sci B. 8(10) : 725-730

Nurtjahya, E., S .D . Rumentor, J .F . Salamena, E. Hernawan, S . Darwati Dan


S .M. Soenarmo . 2003 . Pemanfaatan Limbah Ternak ruminansia untuk
mengurangi pencemaran lingkungan . Makalah Pengantar Falsafah Sains
. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Rynk, R., M. van de Kamp, G.B. Wilson, T.L. Richard, J.J. Kolega, F. R. Gouin,
L. Laliberty, Jr., D. Kay, D.W. Murphy, H.A.J. Hoitink, and W.F.
Brinton. 1992. On-farm Composting Handbook. Editor R. Rynk.
Northeast Regional Agricultural Engineering Service, U.S. Department
of Agriculture. Ithaca, N.Y., Pp. 1-13.
Sihombing, D. T. H. 1979. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha
Peternakan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Simamora, S. 1989. Pengelolaan Limbah Peternakan (Animal Waste
Management). Teknologi Energi Gasbio. Fakultas Politeknik Pertanian
IPB. Bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen P dan K.
Sutedjo, M.M., A.G. Kartasapoetra, dan RD. S. Sastroatmodjo. 1991.
Mikrobiologi Tanah. Cetakan pertama. Rineka Cipta. Jakarta. Hal. 1105.
Sutedjo,M,M. , Kartasapoetra, A, G. ,Sastroatmodjo, S. Mikrobiologi Tanah,1996.
PT. Rhineka Cipta,Jakarta.
Van Horn, H. H., A. C. Wilkie, W. J. Powers, and R. A. Nordstedt. 1994b.
Components of dairy manure management systems. J. Dairy Sci.
77:2008.
Widyatmoko, H., Sintorini. 2001. Menghindar, Mengolah dan Menyingkirkan
Sampah. Jakarta : PT. Dinastindo Adiperkasa Internasional.

Anda mungkin juga menyukai