Anda di halaman 1dari 19

Definisi

Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan di dalam suatu
rongga anatomis tubuh yang mempengaruhi sirkulasi dan mengancam fungsi dan kelangsungan hidup
jaringan di sekitarnya. Sindrom kompartemen abdominal (ACS) muncul bila disfungsi organ terjadi sebagai
hasil dari hipertensi intra-abdomen. Sindrom ini didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan
intra-abdomen lebih
dari 20 mmHg atau tekanan perfusi abdomen kurang dari 60 mmHg dengan disertai onset satu atau lebih
kegagalan system organ. Tekanan intra-abdomen normal antara 0 dan 5 mmHg, tapi pada pasien dewasa
yang kritis normal IAP dapat mencapai antara 5 dan 7 mmHg.
Hipertensi intra-abdomen didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen (IAP)
lebih dari 12 mmHg atau tekanan perfusi abdomen (APP) kurang dari 60 mmHg, dimana tekanan perfusi
abdomen (APP) = tekanan arteri rata-rata (MAP) tekanan intra-abdomen (IAP). Berbeda dengan hipertensi
intra-abdomen (IAH), sindrom kompartemen abdominal tidak diberi tingkatan tetapi lebih didasarkan sebagai
fenomena all or none.
B. Etiologi
Peningkatan tekanan intra abdomen terjadi pada 4 hingga 15% pasien dengan penanganan intensive bedah
pada berbagai kondisi klinis termasuk pembedahan abdomen yang lama, akumulasi ascites, trauma tumpul
abdomen, ruptur aneurisma aorta abdomen, pancreatitis hemoragik, fraktur pelvis, ileus dan obstruksi usus,
pneumoperitoneum dan syok septic.
C.

Klasifikasi

1.

Akut primer ACS

Keadaan yang berhubungan dengan cedera atau penyakit di region pelvis-abdomen yang sering memerlukan
penanganan bedah atau intervensi radiologis intervensional.

1.

Sekunder ACS

ACS yang bukan berasal dari region pelvis-abdomen

1.

Kronik

Keadaan dimana ACS kembali terjadi akibat tindakan bedah sebelumnya atau terapi medis pada primer atau
ACS sekunder
D.

Manifestasi Klinis

1.

Distensi abdomen yang berat

1.

Gagal napas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat, volume tidal yang berkurang,
tingginya tekanan puncak inspirasi.

2.

Curah jantung yang menurun

3.

Tekanan darah yang labil

4.

pH rendah yang menetap

5.

Oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional

6.

Tekanan intra abdomen yang meningkat (> 40 mm Hg)

KLIK DISINI BISNIS MUDAH DAN PRAKTIS


E.

Patofisiologi

Setiap kelainan yang meningkatkan tekanan dalam rongga perut dapat menimbulkan hipertensi intraabdomen. Dalam beberapa situasi, seperti pankreatitis akut atau pecahnya aneurisma aorta abdominal.
Obstruksi mekanis usus halus, dan pembesaran abdomen bisa menimbulkan hipertensi intra-abdomen.
Namun, trauma tumpul abdomen dengan perdarahan intra-abdomen dari lienalis, hati, dan cedera
mesenterika adalah penyebab paling umum dari hipertensi intra-abdomen. Pembedahan perut dengan
tujuan untuk mengendalikan pendarahan juga dapat meningkatkan tekanan dalam ruang peritoneal. Distensi
usus, sebagai akibat dari syok hipovolemik dan perpindahan volume yang besar, merupakan penyebab
penting hipertensi intra-abdomen, dan selanjutnya mengakibatkan ACS, pada pasien trauma.
Pada kondisi syok, vasokonstriksi dimediasi oleh sistem saraf simpatik mengakibatkan kurangnya suplai
darah ke kulit, otot, ginjal, dan saluran pencernaan, hal ini bertujuan untuk menyuplai jantung dan otak.
Redistribusi darah dari usus menghasilkan hipoksia seluler di jaringan usus. Hipoksia ini berhubungan
dengan 3 bagian penting dari perkembangan kompensasi positif yang mencirikan patogenesis hipertensi
intra-abdomen dan perkembangannya menjadi ACS:

1.

Pelepasan sitokin,

2.

Pembentukan oksigen radikal bebas,

3.

Penurunan produksi adenosin trifosfat pada sel

Sebagai respon terhadap jaringan yang mengalami hipoksia, maka sitokin dilepaskan. Molekul-molekul ini
meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler, yang mengarah pada terjadinya edema.
Setelah seluler mengalami re-perfusi, oksigen radikal bebas dihasilkan. Agen ini mempunyai efek toksik pada
membran sel yang kondisinya diperparah oleh adanya sitokin, yang merangsang pelepasan radikal lebih
banyak lagi. Selain itu, kurangnya penghantaran oksigen ke jaringan yang mengalami keterbatasan produksi
adenosine triphospat dan penurunan persediaan dari adenosin trifosfat ini tergantung pada aktivitas selular.
Yang terkena dampak adalah pompa natrium-kalium. Efisien fungsi pompa sangat penting untuk peraturan
intraselular elektrolit. Ketika pompa gagal, terjadi kebocoran natrium ke dalam sel sehingga menarik air.
Sebagai sel membengkak, selaput kehilangan integritas, menumpahkan isi intraselular ke lingkungan
ekstraselular dan lebih jauh mengakibatkan inlamasi (peradangan). Peradangan dengan cepat mengarah
pada pembentukan edema, sebagai akibat dari kebocoran kapiler, dan jaringan yang semakin membengkak
di usus akibat semakin meningkatnya tekanan intra-abdomen. Pada awal tekanan, perfusi usus terganggu,
dan siklus hipoksia selular, kematian sel, peradangan, dan edema terus berlanjut.
Jadi , pada hipertensi intra-abdomen dapat menyebabkan vasokontriksi sehingga terjadi peningkatan
tekanan intra abdomen. Apabila tekanan intra abdomen terus meningkat, dapat menyebabkan terjadinya
penurunan perfusi jaringang dan akhirnya terjadi edema yang juga dapat memperparah peningkatan
tekanan intra abdomen. Terus meningkatnya tekanan intra abdomen inilah yang akhirnya menyebabkan
Kompartement sindrom abdominal.
F.

Pemeriksaan Diagnostik

1.

Laboratorium :

1.

Comprehensive metabolic panel (CMP)

2.

Complete blood cell count (CBC)

3.

Amylase and lipase assessment

4.

Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila pasien diberi
heparin

5.

Test untuk marker jantung

6.

Urinalisis and urine drug screen

2.

7.

Pengukuran level serum laktat

8.

Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat dan basa.

Radiografi :

1.

Abdomen serial untuk melihat udara bebas atau obstruksi usus.

2.

Radiografi polos abdomen


kompartemen abdominal.

3.

CT scan abdomen dapat memberikan banyak temuan. Pada tahun 1999 Pickhardt dkk
menemukan gambaran dibawah ini pada pasien dengan sindrom kompartemen abdominal:

sering

tidak

berguna

dalam

mengidentifikasi

sindrom

1)
Round-belly sign distensi abdomen dengan rasio diameter abdomen anteroposterior ke transversal
meningkat. (ratio >0.80; P <0.001)
2)

Kolaps vena kava

3)

Penebalan dinding usus dengan enhancement

4)

Hernia inguinal bilateral

5)

USG Abdomen

6)

Aneurisma aorta, bila besar dapat terdeteksi

7)

Gas usus atau kegemukan mempersulit pemeriksaan

G.

Penatalaksanaan

Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP. IAP kritis yang
menimbulkan berbagai disfungsi organ bergantung pada keadaan premorbid pasien. Pasien gemuk setiap
saat meningkat IAP tetapi telah terkompensasi dengan hal tersebut. Grade I IAH secara umum hanya
memerlukan resusitasi volume dengan pemantauan tekanan berkelanjutan. Beberapa pasien tidak membaik
keadaannya. Pasien dengan grade II harus ditangani berdasarkan gejalanya. Bila oliguria ringan dengan
kompresi jantung dan paru minimal, dapat diresusitasi lebih lanjut dan dilanjutkan dengan memantau
tekanan. Bila pasien mengalami cedera intra-kranial atau kompresi berat yang lebih, operasi dekompresi
harus dipikirkan. Grades III dan IV ditangani dengan operasi dekompresi. Saat ini sebagian besar penulis
menyetujui bahwa tekanan kritis untuk ACS adalah antara 20 hingga 25 mmHg.

1.

a.

Sistem grade kompartemen abdominal

Tekanan buli-buli Grade (mmHg) Rekomendasi


I 1015 Pertahankan normovolemia
II 1625 Resusitasi Hipervolemik
III 2635 Dekompresi
IV >35 Dekompresi dan re-eksplorasi
Pilihan terapi medis untuk mengurangi IAP :

1.

Memperbaiki komplians dinding abdomen

Sedasi dan analgesik

Blokade neuromuskular

Hindari ketinggian kepala tempat tidur > 30 degrees

1.

Evakuasi isi intra-lumen

Dekompresi nasogaster

Dekompresi rektum

Agent gastro-/colo-prokinetik

1.

Evakuasi kumpulan cairan abdominal

Parasentesis

Drainase perkutan

1.

Koreksi keseimbangan cairan positif

Hindari resusitasi cairan berlebih

Diuretik

Koloid / cairan hipertonik

Hemodialisis / ultrafiltrasi

1.

Organ Pendukung

Pertahankan APP > 60 mmHg dengan vasopressor

Optimalkan ventilasi, alveolar recruitment

Gunakan tekanan jalan napas transmural (tm)

Pplattm = Pplat IAP

Pikirkan untuk menggunakan volumetric preload indices

Jika menggunakan PAOP/CVP, gunakan tekanan transmural

PAOPtm = PAOP - 0.5 * IAP

CVPtm = CVP - 0.5 * IAP

Terdapat manajemen nonoperatif pada IAH/ACS yang terdiri dari lima intervensi terapi, tiap terapi
mengandung beberapa langkah tingkat terapi yang dijelaskan lebih detil pada Gambar 6.

1.

Evakuasi isi intralumen

2.

Evakuasi space-occupying lesion intra-abdomen

3.

Memperbaiki komplians dinding abdomen

4.

Optimalkan kebutuhan cairan

5.

Optimalkan perfusi jaringan regional dan sistemik

6.

Manajemen pembedahan:

13

Laparotomi dekompresi merupakan gold standard dalam penanganan pasien dengan ACS. Pendekatan
dekompresi abdomen sangat beragam. Temporary abdominal closure (TAC) telah banyak digunakan sebagai
mekanisme mengembalikan dampak akibat peningkatan IAP. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan

TAC sebagai profilaksis untuk mengurangi komplikasi post operasi dan mempermudah re-eksplorasi yang
telah direncanakan. Setelah laparotomi dekompresi, dilakukan temporer abdominal closure yang dilanjutkan
dengan permanen abdominal closure pada hari berikutnya.

1.

Temporary abdominal closure

Beberapa metode dari temporary abdominal closure dapat digunakan. Keputusan pertama yang harus dibuat
adalah apakah menutup fascia dengan bahan sintetis atau membiarkannya terbuka. Fascia tidak boleh
ditutup primer, ini berkaitan dengan tingginya tingkat rekuren dari ACS. Jika fascia ditutup dengan bahan
sintetis, berbagai bahan (absorbable/nonabsorbable; porous/nonporous) bisa digunakan. Berbagai tipe dari
mesh dapat digunakan termasuk polyglycolic acid (Vicryl), polypropylene (Marlex), atau
polytetrafluoroethylene (PTFE). Bahan yang dapat diserap lebih dipilih. Penutup dengan alat burr artificial
(Velcro-like), kantung cairan intravena (Bogot bag), kantung kaset x-ray steril, dan kertas Silastic telah
digunakan.
Jika fasia dibiarkan terbuka dan abdomen penuh, kulit bisa tertutup atau dibiarkan terbuka. Kulit bisa ditutup
menggunakan jahitan, penjepit kain, perban lateks Esmarch atau mesh. Jika mesh dijahit ke kulit, akan
ditutup dengan adesif drape yang steril dan drape(Vi-drape or Steri Drape). Menjahit bahan sintetis ke
kulit bukan ke fasia, mempersiapkan fasia untuk definitive closure berikutnya. Jika penutupan kulit saja
menyebabkan peningkatan IAP, kulit dibiarkan terbuka. Usus ditutupi dengan nonadhesive, nonporous materi
(seperti tas atau perekat usus terlipat menggantungkan dirinya sendiri sehingga sisi perekat menempel pada
dirinya sendiri).
Tepi bahan nonadhesive, nonporous diselipkan di bawah tepi dinding abdomen anterior untuk mencegah
pengeluaran isi dari usus. Selanjutnya, handuk steril ditempatkan, diikuti oleh tirai perekat (Vidrape atau
tirai Steri ) yang menempel pada dinding perut dan mencegah lebih lanjut pengeluaran isi, pengeringan
dari usus, dan cairan kerugian dari perut yang terbuka. Aplikasi langsung dari tirai perekat ke usus
meningkatkan risiko enterocutaneous fistula dan tidak disarankan.
Sebuah cairan irigasi urologis tas dijahit ke kulit dan saluran eksternal ditempatkan untuk mengontrol dan
kuantifikasi dari kebocoran cairan atau perdarahan.

1.

Permanent abdominal closure.

Penutupan perut permanen dilakukan setelah hipovolemia, hipotermia, coagulapathy, dan asidosis telah
diperbaiki; yang biasanya tiga sampai empat hari setelah dekompresi abdomen. Beberapa metode
penutupan perut telah dideskripsikan. Primer penutupan fasia dapat dilakukan atau cangkok kulit dapat
ditempatkan diikuti oleh dinding perut tertunda rekonstruksi.
Setelah mobilisasi signifikan cairan, dimungkinkan untuk menutup fasia tanpa ketegangan yang signifikan.
Namun, sebuah "pemisahan bagian" teknik mungkin diperlukan untuk reapproximate fasia.
Jika mesh ditempatkan sebagai perut sementara penutupan (sebaiknya bahan yang diserap), jala dapat
dibiarkan in situ selama dua minggu kemudian ditutup dengan kulit ketebalan parsial grafts ke jaringan
granulasi yang mendasarinya. Jala biasanya akan dimasukkan ke dalam jaringan granulasi pada titik waktu
ini. Jika fasia tidak ditutup dan pasien yang tersisa dengan cacat dinding perut, dinding perut rekonstruksi
dapat dilakukan enam hingga dua belas bulan kemudian.
Berbagai metode rekonstruksi telah dijelaskan, termasuk medial bilateral kemajuan abdominus rektus otot
dan fasia dengan atau tanpa sayatan kulit-relaksasi. Expanders jaringan subkutan diikuti oleh flaps kemajuan
myocutaneous bilateral juga telah digunakan. Garis tengah perut flap cacat mungkin memerlukan
rekonstruksi atau rekonstruksi dengan nonabsorbable mesh.
KLIK DISINI BISNIS MUDAH DAN PRAKTIS..buruan!!
H.

Komplikasi

1)
Necrosis jaringan abdomen, akibat gagal mengurangi tekanan yang meningkat dan penurunan perfusi
kapiler yang menyebabkan hipoksia pada jaringan tersebut.
2)

Volkmanns contracture yang mempengaruhi anggota tubuh

3)

Rhabdomyolysis

4)

Gagal jantung

I. Prognosis
Tingkat kematian dengan kasus ACS dilaporkan 10-68% dari pasien yang mengalaminya.
Prosentase klien yang dapat bertahan hidup dengan kasus ACS sekitar 53%. Jika sudah diketahui ada tandatanda mengalami ACS, maka penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah dekompresi laparotomi.
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1.

Nyeri berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan intra abdomen yang mengakibatkan
iskemik jaringan

2.

Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen yang mengakibatkan penekanan
diafragma (penghambatan relaksasi diafragma)

3.

Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan

4.

Syok hipovelemik berhubungan dengan defisit volume cairan

5.

Gangguan perfusi serebri berhubungan dengan penurunan suplai O 2 ke otak

6.

Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguri

7.

Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan menurun akibat adanya
mual dan muntah

K. INTERVENSI

1.

Syok hipovelemik berhubungan dengan defisit volume cairan

Tujuan: Mempertahankan tingkat kesadaran yang baik


Kriteria hasil: Menunjukkan tingkat kesadaran yang baik, fungsi kognitif dan motorik, mendemonstrasikan
tanda-tanda vital stabil dan tidak adanya tanda-tanda peningkatan TIK.
Kriteria Hasil :

Intervensi

Pantau

Rasional

tanda-tanda

vital

dan

CVP

,perhatikan adanya / derajat perubahan


tekanan
darah
postural
.Observasi
terhadap peningkatan suhu / demam .
Palpasi nadi perifer. Perhatikan pengisian
kapiler , warna / suhu kulit ; kaji status
mental

Hipotensi
ortostatikdapat
terjadi
dengan risiko jatuh atau cedera segera
setelah perubahan posisi.

Indikator keadekuatan volume sirkulasi.

Pasien

tidak

mengkonsumsi

cairan.

Oliguria bisa terjadi dan toksin dalam


sirkulasi mempengaruhi antibiotik.

Awasi jumlah dan tipe masukan cairan


.Ukur , haluran urin dengan akurat .

Timbang berat badan badan setiap hari


dan bandingkan dengan keseimbangan
cairan 24 jam.

1.

Memberikan

informasi

tentang

keadekuatan masukan diet/penentuan


kebutuhan nutrisi.

Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguri

Tujuan: mengembalikan pola eliminasi urin normal.


Kriteria hasil: Klien menunjukkan pola pengeluaran urin yang normal, klien menunjukkan pengetahuan yang
adekuat tentang eliminasi urin.

Tindakan/intervensi

1.

2.

Rasional

Pengeluaran urine mungkin sedikit dan


pekat karena penurunan perfusi ginjal.
Posisi
terlentang
membantu
diuresis
pengeluaran
urine
dapat
Pantau pengeluaran urine, catat jumlahsehingga
ditingkatkan
selama
tirah
baring.
dan warna saat dimana diuresis terjadi.

Terapi diuretic dapat disebabkan oleh


kehilangan
cairan
tiba-tiba/berlebihan
(hipovolemia)
meskipun
edema/asites
Pantau/hitung keseimbangan pemaukanmasih ada.
dan pengeluaran selama 24 jam

Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal


dan menurunkan produksi ADH sehingga
meningkatkan dieresis.

3.

Pertahakan

duduk

atau

tirah

baring

dengan posisi semifowler selama fase


akut.

1.

4.

Pantau TD dan CVP (bila ada)

Hipertensi
dan
peningkatan
CVP
menunjukkan kelebihan cairan dan dapat
menunjukkan
terjadinya
peningkatan
kongesti paru, gagal jantung.

Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut)


dapat
mengganggu
fungsi
gaster/intestinal.

5.

Kaji bisisng usus. Catat keluhan anoreksia,


mual, distensi abdomen dan konstipasi.

Nyeriberhubungan dengan peningkatan tekanan intra abdomen

Tujuan: Nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien
Kriteria hasil:
-

Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi

Klien tidak merasa kesakitan.

Dapat mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah

Intervensi

Rasional

1.

Berikan
kesempatan
waktu
istirahat bila terasa nyeri dan
berikan posisi yang nyaman.

1.

Istirahat akan merelaksasi semua


jaringan
sehingga
akan
meningkatkan kenyamanan.

1.

Mengajarkan tehnik relaksasi dan


metode distraksi

1.

Akan melancarkan peredaran darah,


dan dapat mengalihkan perhatian
nyerinya
ke
hal-hal
yang
menyenangkan

1.

Beritahu
pasien
untuk
menghindari
mengejan,
meregang,
batuk,
dan
mengangkat benda yang berat.
Ajarkan pasien untuk menekan
insisi dengan tangan atau bantal
selama
episode
batuk;
ini
khususnya
penting
selama
periode pascaoperasi awal dan
selama
6
minggu
setelah
pembedahan.

1.

Menghindari adanya tekanan intra


abdomen

1.

Analgesik memblok lintasan nyeri,


sehingga nyeri berkurang

1.

Pengkajian yang optimal akan


memberikan perawat data yang
objektif
untuk
mencegah
kemungkinan
komplikasi
dan
melakukan intervensi yang tepat.

1.

Kolaborasi analgesic

1.

Observasi
tingkat
nyeri
dan
respon motorik klien, 30 menit
setelah
pemberian
analgesik
untuk mengkaji efektivitasnya dan
setiap 1-2 jam setelah tindakan

perawatan selama 1-2 hari.

1.

Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan distensi abdomen

Tujuan

: Dalam waktu 3x 24 jam tidak terjadi perubahan pola napas. Klien dapat bernapas normal.

Kriteria hasil

: Klien tidak sesak napas, RR dalam batas normal16- 20x/ menit, ekspansi dada normal

INTERVENSI

irama,

RASIONAL

1.

Kaji
frekuensi,
pernafasan.

kedalaman

1.

Auskultasi bunyi nafas.

1.

Pantau penurunan bunyi nafas.

1.

Pastikan kepatenan O2 binasal

1.

Frekuensi, irama, dan kedalaman napas yang


normal menunjukkan pola napas yang efektif.

2.

Mendengarkan suara napas klien normal atau


tidak.

3.

Penurunan bunyi napas klien menunjukkan


adanya gangguan pada jalan napas.

4.

Memenuhi kebutuhan oksigenasin klien.

5.

Posisi

semi

fowler

mempermudah

udara

1.

Berikan posisi yang nyaman : semi fowler

1.

Berikan instruksi untuk latihan nafas


dalam

1.

Catat kemajuan yang ada pada klien


tentang pernafasan

masuk sehingga klien dapat bernapas dengan


optimal.

6.

Dengan latihan napas yang rutin, klien dapat


terbiasa untuk napas dalam yang efektif.

7.

Sebagai indikator efektif atau tidakkah


intervensi yang dilakukan perawat pada klien.

Askep 2
Sindroma Kompartemen
I. PENDAHULUAN
Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan intertisial di dalam ruangan yang terbatas,
yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di
dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut berisi otot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia
serta otot-otot individual yang dibungkus oleh epimisium. Ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat,
disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak. Paling sering
disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas
Sindroma Kompartemen dapat di klasifikasikan berdasarkan etiologinya yaitu penurunan volume kompartemen dan
peningkatan tekanan struktur kompartemen serta lamanya gejala yaitu akut dan kronik. Penyebab umum terjadinya
sindroma kompartemen akut adalah fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan pada arteri dan luka bakar. Sedangkan
sindroma kompartemen kronik biasa terjadi akibat melakukan aktivitas yang berulang-ulang, misalnya pelari jarak jauh,
pemain basket, pemain sepak bola dan militer.
II. INSIDEN
Di Amerika, ektremitas bawah distal anterior adalah yang paling banyak dipelajari untuk sindrom kompartemen. Dianggap
sebagai yang kedua paling sering untuk trauma sekitar 2-12%. Dari penelitian McQueen (2000), sindrom kompartemen lebih
sering didiagnosa pada pria dari pada wanita, tapi hal ini memiliki bias, dimana pria lebih sering mengalami luka trauma.
McQueen memeriksa 164 pasien yang didiagnosis sindrom kompartemen, 69% berhubungan dengan fraktur dan sebagian
adalah fraktur tibia. Ellis pada tahun 1958 melaporkan bahwa 2 % iskemi. kontraktur terjadi pada fraktur tibia. Detmer dkk
melaporkan bahwa sindrom kompartemen bilateral terjadi pada 82% pasien yang menderita sindrom kompartemen kronis.
Sindrom kompartemen akut sering terjadi akibat trauma, terutama di daerah tungkai bawah dan tungkai atas. Pada tahun
1981, Delee dan Stiehl menemukan bahwa 6 % pasien dengan fraktur tibia terbuka berkembang menjadi sindrom
kompartemen, sedangkan 1,2 % fraktur tibia tertutup.
III. ANATOMI
Kompartemen adalah merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang, interosseus membran, dan fascia, yang
melibatkan jaringan otot, syaraf dan pembuluh darah. Otot mempunyai perlindungan khusus yaitu fascia, dimana fascia ini
melindungi semua serabut otot dalam satu kelompok. Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota
gerak. Terletak di lengan atas (kompartemen anterior dan posterior), dilengan bawah (yaitu kompartemen flexor superficial,
fleksor profundus, dan kompartemen ekstensor). Di anggota gerak bawah, terdapat : tiga kompartemen ditungkai atas
(kompartemen anterior, medial, dan kompartemen posterior), empat ditungkai bawah (kompartemen anterior, lateral,
posterior superfisial, posterior profundus). Sindrom kompartemen yang paling sering di daerah tungkai bawah (yaitu
kompartemen anterior, lateral, posterior superficial, dan posterior profundus) serta lengan atas (kompartemen volar dan
dorsal).
Setiap kompartemen pada tungkai bawah memiliki satu nervus mayor. Kompartemen anterior memiliki nervus peroneus
profundus, kompartemen lateral memiliki nervus peroneus superficial, kompartemen posterior profunda memiliki nervus
tibialis posterior dan kompartemen posterior superficial memiliki nervus suralis. Ketika tekanan kompartemen meningkat,
suplai vaskuler ke nervus akan terpengaruh menyebabkan timbulnya paresthesia
IV. ETIOLOGI
Ada banyak penyebab yang dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian menyebabkan sindrom
kompartemen. Apapun penyebab peningkatan tekanan lokal jaringan berpotensi menyebabkan sindrom kompartemen.
Penurunan volume kompartemen :
Penutupan defek fascia
Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
Peningkatan tekanan struktur compartemen:
Pendarahan atau Trauma vaskuler
Peningkatan permeabilitas kapiler
Penggunaan otot yang berlebihan
Luka bakar
Operasi
Gigitan ular
Obstruksi vena
Sindrom nefrotik
Infus yang infiltrasi
Hipertrofi otot
Peningkatan tekanan eksternal

Balutan yang terlalu ketat


Berbaring di atas lengan
Gips.
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur,
dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah.
VI. PATOGENESIS
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang menyebabkan peningkatan tekanan
jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.
Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang
tertutup. Peningkatan tekanan terus meningkat hingga tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak
ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler, menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, sehingga tekanan (pressure)
dalam kompartemen makin meningkat. Penekanan saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat. Metsen
menpelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui
kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan
(pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel
komponen tersebut.
Ada 3 teori tentang penyebab iskemia, yaitu :
1. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
2. Theori of critical closing pressure.Akibat diameter yang kecil dan tekanan mural arteriol yang tinggi, tekanan transmural
secara signifikan berbeda ( tekanan arteriol-tekanan jaringan) ini dibutuhkan untuk memelihara patensi. Bila tekanan
jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun perbedaan tidak ada, yaitu critical closing pressure dicapai, arteriol akan
menutup.
3. Karena dinding vena yang tipis, vena akan kolaps bila tekanan jaringan melebihi tekanan vena. Bila darah mengalir
secara kontinyu dari kapiler, tekanan vena secara kontinyu akan meningkat pula sampai melebihi tekanan jaringan dan
drainase vena dibentuk kembali.
Sedangkan respon otot terhadap iskemia yaitu dilepaskannya histamine like substans mengakibatkan dilatasi kapiler dan
peningkatan permeabilitas endotel. Ini berperan penting pada transudasi plasma dengan endapan sel darah merah ke
intramuscular dan menurunkan mikrosirkulasi. Otot bertambah berat (peningkatan lebih dari 50%).
McQueen dan Court-Brown berpendapat bahwa perbedaan tekanan diastolik dan tekanan kompartemen yang kurang dari
30 mmHg mempunyai korelasi klinis dengan sindrom kompartemen.
Patogenesis dari sindroma kompartemen) kronik telah digambarkan oleh Reneman. Otot dapat membesar sekitar 20%
selama latihan dan akan menambah peningkatan sementara dalam tekanan intra kompartemen. Kontraksi otot berulang
dapat meningkatkan tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi iskemia berulang. Sindroma kompartemen
kronik terjadi ketika tekanan antara kontraksi yang terus - menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebagaimana
terjadinya kenaikan tekanan, aliran arteri selama relaksasi otot semakin menurun, dan pasien akan mengalami kram otot.
Kompartemen anterior dan lateral dari tungkai bagian bawah biasanya yang kena
VII. DIAGNOSIS
Pada umumnya diagnosis dibuat dengan melihat tanda dan gejala sindrom kompartemen dan pengukuran tekanan secara
langsung.
Gejala klinisnya di kenal dengan 5 P, yaitu:
1. Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri
merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada
anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada
kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
2. Pallor
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )
4. Parestesia
5. Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi.
Pasien dengan sindroma kompartemen kronik mempunyai gejala yang khas. Gejala utama berupa nyeri yang ditimbulkan
akibat berolah raga. Biasanya hal ini muncul setelah sekitar 20 menit berlari sebelum dirasakan semakin nyeri hingga
dimana orang tersebut tidak dapat melanjutkan aktivitasnya. Nyeri dirasakan seperti kram dimana akibat dari vasokonstriksi
pembuluh darah sehingga darah dan oksigen tidak dapat mencapai otot-otot tersebut. Hal ini dapat menyebabkan
kerusakan permanent pada jaringan. Biasanya, nyeri bersifat sementara atau tidak menetap dan akan sembuh dengan
beristirahat dalam waktu 15-30 menit dari penghentian latihan. Parestesia dari saraf pada kompartemen bilateral pada
sekitar 82 % pasien. Dapat juga terjadi kelemahan dan atrofi otot. Regangan pasif pada otot yang terkena setelah latihan
dapat meningkatkan nyeri. Dan yang paling pasti bahwa dapat terjadi peningkatan tekanan kompartemen.
Pengukuran tekanan
Pengukuran tekanan secara langsung merupakan cara yang objektif untuk menegakkan diagnosa sindroma kompartemen.
Pengukuran intra kompartemen ini diperlukan pada pasien-pasien yang tidak sadar, pasien yang tidak kooperatif, seperti
anak-anak, pasien yang sulit berkomunikasi dan pasien-pasien dengan multiple trauma seperti trauma kepala, medulla
spinalis atau trauma saraf perifer.
Normalnya tekanan kompartemen adalah nol. Perfusi yang tidak adekuat dan iskemia relative ketika tekanan meningkat

antara 10-30 mmHg dari tekanan diastolic. Tidak ada perfusi yang efektif ketika tekanannya sama dengan tekanan diastolic.
Prosedur pengukuran tekanan kompartemen antara lain :
a. Teknik pengukuran langsung dengan teknik injeksi
Teknik adalah criteria dignostik standard seharusnya menjadi prioritas utama jika diagnosis masih penuh tanda tanya.
Tonometer tekanan stryker banyak digunakan untuk mengukur tekanan jaringan yang tidak membutuhkan alat khusus. Alat
yang dibutuhkan spoit 20 cc, three way tap, tabung intra vena, normal saline sterile, manometer air raksa untuk mengukur
tekanan darah. Pertama, atur spoit dengan plunger pada posisi 15 cc. Tandai saline sampai mengisi setengah tabung , tutup
three way tap tahan normal saline dalam tabung. Kedua, anestesi local pada kulit, tapi tidak sampai menginfiltrasi otot.
Masukkan jarum 18 kedalam otot yang diperiksa, hubungkan tabung dengan manometer air raksa dan buka three way tap.
Ketiga, Dorong plunger dan tekanan akan meningkat secara lambat. Baca manometer air raksa. Saat tekanan
kompartemen tinggi, tekanan air raksa akan naik.
b. Teknik Wick kateter
Teknik menggunakannya adalah:
- Pertama, masukkan kateter dengan jarum ke dalam otot
- Kedua, tarik jarum dan masukkan kateter wick melalui sarung plastik
- Dan ketiga, balut wick kateter ke kulit, dan dorong sarung plastik kembali, isi system dengan normal saline yang
mengandung heparine dan ukur tekanan kompartemen dengan transducer recorder. Periksa ulang patensi kateter dengan
tangan menekan pada otot. Hilangkan semua tekanan external pada otot yang diperiksa dan ukur tekanan kompartemen,
jika tekanan mencapai 30 mmHg, indikasi fasciotomi.
Tekanan arteri rata-rata yang normal pada kompartemen otot adalah 8,5+6 mmHg. Selama tekanan pada salah satu
kompartemen kurang dari 30 mmHg (tekanan pengisian kapiler diastolic), kita tidak perlu khawatir tentang sindroma
kompartemen. Tekanan lebih dari 10 mmHg dalam kompartemen yang baru bisa menimbulkan sindroma kompartemen, dan
berarti memerlukan terapi yang segera.
VIII. TERAPI
Tujuan dari terapi sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan
aliran darah lokal, biasanya dengan bedah dekompresi. Tindakan nonoperatif tertentu mungkin bisa berhasil, seperti
menghilangkan selubung eksternal. Jika hal tersebut tidak berhasil maka tindakan operasi dekompresi perlu
dipertimbangkan. Indikasi mutlak untuk operasi dekompresi sulit untuk ditentukan, tiap pasien dan tiap sindrom
kompartemen memiliki individualitas yang berpengaruh pada cara untuk menindakinya.
Berbeda dengan kompleksitas diagnosis, terapi kompartemen sindrom sederhana yaitu fasciotomi kompartemen yang
terlibat. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih
diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan
fasciotomi.
Penanganan sindroma kompartemen meliputi :
1. Terapi Medikal/non operatif
Pemilihan secara medical terapi digunakan apabila masih menduga suatu sindroma kompartemen, yaitu :
- Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari
karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia.
- Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut kontriksi dilepas.
- Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat perkembangan sindroma kompartemen.
- Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
- Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol
mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis
melalui kemampuan dari radikal bebas.
2. Terapi pembedahan / operatif
Terapi operatif untuk sindroma kompartemen apabila tekanan intrakompartemen lebih dari 30 mmHg memerlukan tindakan
yang cepat dan segera dilakukan fasciotomi. Tujuannya untuk menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot.
Apabila tekanannya kurang dari 30 mmHg, tungkai dapat diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam
berikutnya, kalau keadaan tungkai itu membaik, evaluasi klinik yang berulang-ulang dilanjutkan hingga bahaya telah
terlewati. Kalau tidak ada perbaikan, atau kalau tekanan kompartemen meningkat, fasiotomi harus segera dilakukan.
Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Ada dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal
dan insisi ganda. Tidak ada keuntungan yang utama dari kedua teknik ini. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering
digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko
kerusakan arteri dan vena peroneal. Pada tungkai bawah, fasiotomi dapat berarti membuka ke empat kompartemen, kalau
perlu dengan mengeksisi satu segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan
debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit ( tanpa regangan ), atau dilakukan pencangkokan kulit.
Terapi untuk sindrom kompartemen akut maupun kronik biasanya adalah operasi. Insisi panjang dibuat pada fascia untuk
menghilangkan tekanan yang meningkat di dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan pembalut steril) dan
ditutup pada operasi kedua, biasanya 5 hari kemudian. kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen, kalau
jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan ), atau skin graft mungkin diperlukan untuk menutup luka ini.
Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi antara lain:

1. Adanya tanda-tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat dan


2. Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi (pasien koma, pasien dengan masalah psikiatrik, dan dibawah
pengaruh narkotik) dengan tekanan jaringan lebih dari 30 mmHg pada pasien yang diharapkan memiliki tekanan jaringan
yang normal.
Bila ada indikasi, operasi dekompresi harus segera dilakukan karena penundaan akan meningkatkan kemungkinan
kerusakan jaringan intrakompartemen sebagaimana terjadinya komplikasi.
Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen. Kerusakan nervus permanen mulai setelah 6 jam
terjadinya hipertensi intrakompartemen. Jika dicurigai adanya sindrom kompartemen, pengukuran tekanan dan konsultasi
yang diperlukan harus segera dilakukan secepatnya.
Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk semua sindrom kompartemen akut. Prosedur ini
dilakukan tanpa torniket untuk mencegah terjadinya periode iskemia yang berkepanjangan dan operator juga dapat
memperkirakan derajat dari sirkulasi lokal yang akan didekompresi. Setiap yang berpotensi membatasi ruang, termasuk
kulit, dibuka di sepanjang daerah kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi setelah prosedur selesai.
Debridemant otot harus seminimal mungkin selama operasi dekompresi kecuali terdapat otot yang telah nekrosis.
Fasciotomi untuk sindrom kompartemen akut
Fasciotomi tungkai atas
Teknik Tarlow :
Insisi lateral dibuat mulai dari distal garis intertrocanterik sampai ke epikondilus lateral. disesksi subkutaneus digunakan
untuk mengekspos daerah iliotibial dan dibuat insisi lurus sejajar dengan insisi kulit sepanjang fascia iliotibial. Perlahanlahan dibuka sampai vastus lateralis dan septum intermuskular terlihat, perdarahan ditangani bila ada. Insisi 1-5 cm dibuat
pada septum intermuskular lateral, perpanjang ke proksimal dan distal. Setelah kompartemen anterior dan posterior
terbuka, tekanan kompartemen medial diukur. Jika meningkat, dibuat insisi setengah medial untuk membebaskan
kompartemen adductor.
Ada 3 pendekatan fasciotomi untuk kompartemen tungkai bawah: fibulektomy, fasciotomi insisi tunggal perifibular, dan
fasciotomi insisi ganda. Fibulektomi adalah prosedur radikan dan jarang dilakukan, dan jika ada, termasuk indikasi pada
sindrom kompartemen akut. Insisi tunggal dapat digunakan untuk jaringan lunak pada ektremitas. Teknik insisi ganda lebih
aman dan efektif.
Fasciotomi insisi tunggal (davey, Rorabeck, dan Fowler) :
Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai dari distal caput fibula sampai 3-4 cm proksimal
malleolus lateralis. Kulit dibuka pada bagian anterior dan jangan sampai melukai nervus peroneal superficial. Dibuat
fasciotomy longitudinal pada kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit dibuka ke bagian posterior dan dilakukan
fasciotomi kompartemen posterior superficial. Batas antara kompartemen superficial dan lateral dan interval ini diperluas ke
atas dengan memotong soleus dari fibula. Otot dan pembuluh darah peroneal ditarik ke belakang. Kemudian diidentifikasi
fascia otot tibialis posterior ke fibula dan dilakukan inisisi secara longitudinal.
Insisi sepanjang 20-25 cm dibuat pada kompartemen anterior, setengah antara fibula dan caput tibia. Diseksi subkutaneus
digunakan untuk mengekspos fascia kompartemen. Insisi tranversal dibuat pada septum intermuskular lateral dan
identifikasi nervus peroneal superficial pada bagian posterior septum. Buka kompartemen anterior kearah proksimal dan
distal pada garis tibialis anterior. Kemudian dilakukan fasciotomi pada kompartemen lateral ke arah proksimal dan distal
pada garis tubulus fibula.
Insisi kedua dibuat secara longiotudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia. Digunakan diseksi subkutaneus yang luas
untuk mengidentifikasi fascia. Vena dan nervus saphenus ditarik ke anterior. Dibuat insisi tranversal untuk mengidentifikasi
septum antara kompartemen posterior profunda dan superficial. Kemudian dibuka fascia gastrocsoleus sepanjang
kompartemen. Dibuat insisi lain pada otot fleksor digitorum longus dan dibebaskan seluruh kompartemen posterior
profunda. Setelah kompartemen posterior dibuka, identifikasi kompartemen otot tibialis posterior. Jika terjadi peningkatan
tekanan pada kompartemen ini, segera dibuka.
fasciotomi pada lengan bawah
pendekatan volar (Henry)
Dekompresi kompartemen fleksor volar profunda dan superficial dapat dilakukan dengan insisi tunggal. Insisi kulit dimulai
dari proksimal ke fossa antecubiti sampai ke palmar pada daerah tunnel carpal. Tekanan kompartemen dapat diukur selama
operasi untuk mengkonfirmasi dekompresi. Tidak ada penggunaan torniket. Insisi kulit mulai dari medial ke tendon bicep,
bersebelahan dengan siku kemudian ke sisi radial tangan dan diperpanjang kea rah distal sepenjang brachioradialis,
dilanjutkan ke palmar. Kemudian kompartemen fleksor superficial diinsisi, mulai pada titik 1 atau 2 cm di atas siku kearah
bawah sampai di pergelangan.
Kemudian nervus radialis diidentifikasi dibawah brachioradialis, keduanya kemudian ditarik ke arah radial, kemudian fleksor
carpi radialis dan arteri radialis ditarik ke sisi ulnar yang akan mengekspos fleksor digitorum profundus fleksor pollicis
longus, pronatus quadratus, dan pronatus teres. Karena sindrom kompartemen biasanya melibatkan kompartemen fleksor
profunda, harus dilakukan dekompresi fascia disekitar otot tersebut untuk memastikan bahwa dekompresi yang adekuat
telah dilakukan.
Pendekatan Volar Ulnar

Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan Henry. Lengan disupinasikan dan insisi
mulai dari medial bagian atas tendon bisep, melewati lipat siku, terus ke bawah melewati garis ulnar lengan bawah, dan
sampai ke carpal tunnel sepanjang lipat thenar. Fascia superficial pada fleksor carpi ulnaris diinsisi ke atas sampai ke
aponeurosis siku dan ke carpal tunnel ke arah distal. Kemudian dicari batas antara fleksor carpi ulnaris dan fleksor digitorum
sublimis. Pada dasar fleksor digitorum sublimis terdapat arteri dan nervus ulnaris, yang harus dicari dan dilindungi. Fascia
pada kompartemen fleksor profunda kemudian diinsisi.
Pendekatan Dorsal
Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah didekompresi, harus diputuskan apakah perlu
dilakukan fasciotomi dorsal (ekstensor). Hal ini lebih baik ditentukan dengan pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif
setelah dilakukan fasciotomi kompartemen fleksor. Jika terjadi peningktan tekanan pada kompartemen dorsal yang terus
meningkat, fasciotomi harus dilakukan dengan posisi lengan bawah pronasi. Insisi lurus dari epikondilus lateral sampai garis
tengah pergelangan.Batas antara ekstensor carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum komunis diidentifikasi kemudian
dilakukan fasciotomi.
Fasciotomi untuk sindrom kompartemen kronik
fasciotomi insisi tunggal : Teknik Fronek
Dibuat sebuah insisi 5 cm pada pertengahan fibula dan kaput tibia atau melalui defek fascia jika terdapat hernia muskuler
pada daerah keluarnya nervus peroneal. Nervus peroneal segera dicari dan lewatkan fasciotom ke kompartemen anterior
pada garis otot tibialis anterior. Pada kompartemen lateral, fasciotome diarahkan ke posterior nervus peroneal superficial
pada garis fibular. Tutup kulit dengan cara biasa dan pasang pembalut steril.
Fasciotomi insisi ganda: Teknik Rorebeck
Dibuat 2 insisi pada tungkai bawah 1 cm dibelakang garis posteromedial tibia. Kemudian dicari vena saphenus pada insisi
proksimal dan tarik ke anterior bersama dengan saraf. Masuk dan dibuka kompartemen superficial. Fascia profunda
kemudian diinsisi. Kompartemen profunda diekspos, termasuk otot digitorum longus dan tibialis posterior dangan merobek
sambungan soleus. Kumparan neurovaskuler dan tendo tibialis posterior kemudian diinsisi ke proksimal dan distal fascia
pada terdon tersebut. Tibialis posterior adalah kunci dekompresi kompartemen posterior dan biasanya berkontraksi ke
proksimal antara fleksor hallucis longus, lebarkan batas antaranya untuk memeriksa kontraksinya. Tutup luka diatas drain
untuk meminimalkan pembentukan hematom.
Perawatan pasca operasi:
Luka harus dibiarkan terbuka selama 5 hari, kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen, kalau jaringan itu
sehat, luka dapat dijahit (tanpa tegangan), atau dilakukan pencangkokan kulit atau dibiarkan sembuh dengan intensi
sekunder.(11)
IX. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis yang paling sering membingungkan dan sangat sulit dibedakan dengan sindrom kompartemen adalah oklusi
arteri dan kerusakan saraf primer, dengan beberapa ciri yang sama yang ditemukan pada masing-masingnya
Pada sindroma kompartemen kronik di dapatkan nyeri yang hilang timbul, dimana nyeri muncul pada saat berolah raga dan
berkurang pada saat beristirahat. Sindroma kompartemen kronik dibedakan dengan claudikasio intermitten yang merupakan
nyeri otot atau kelemahan otot pada tungkai bawah karena latihan dan berkurang dengan istirahat, biasanya nyeri berhenti
2-5 menit setelah beraktivitas. Hal ini disebabkan oleh adanya oklusi atau obstruksi pada arteri bagian proksimal, tidak ada
peningkatan kompartemen dalam hal ini. Sedangkan sindroma kompartemen kornik adanya kontraksi otot berulang-ulang
yang dapat meningkatkan tekanan intramuskuler sehingga menyebabkan iskemia kemudian menurunkan aliran darah dan
otot menjadi kram.
X. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat trauma permanen yang mengenai otot dan syaraf yang dapat mengurangi fungsinya. Apabila
sindrom kompartemen lebih dari 8 jam dapat mengakibatkan nekrosis dari syaraf dan otot dalam kompartemen. Syaraf
dapat beregenerasi sedangkan otot tidak sehingga jika terjadi infark tidak dapat pulih kembali dan digantikan dengan
jaringan fibrosa yang tidak elastis yaitu kontraktur iskemik Volkmann, yaitu kelanjutan dari sindrom kompartemen akut yang
tidak mendapat terapi selama lebih dari beberapa minggu atau bulan. Kira-kira 1-10% dari semua kasus sindrom
kompartemen berkembang menjadi kontraktur volkmann.
Kontraktur Volkmann
Iskemia berat yang berlangsung selama 6-8 jam dapat menyebabkan kematian otot dan nervus, yang kemudian
menyebabkan terjadinya kontraktur Volkmann.
Kontraktur Volkmann adalah deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan
bawah. Disebabkan oleh iskemia yang biasanya disebabkan oleh peningkatan tekanan (sindrom kompartemen). Trauma
vaskuler menyebabkan infark otot dan kematian serat otot, kemudian otot digantikan oleh jaringan ikat.
Sedangkan komplikasi sistemik yang dapat timbul dari sindroma kompartemen meliputi gagal ginjal akut, sepsis dan acute
respiratory distress syndrome (ARDS) yang fatal jika terjadi sepsis kegagalan organ secara multi sistem.
XI. PROGNOSIS
Sindroma kompartemen akut cenderung memiliki hasil akhir yang jelek, toleransi otot untuk terjadinya iskemia adalah 4 jam.

Kerusakan irreversible terjadi bila lebih dari 8 jam. Jika diagnosa terlambat dapat menyebabkan trauma syaraf dan
hilangnya fungsi otot. Walaupun fasciotomi dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien mengalami deficit motorik
dan sensorik yang persisten.

Anda mungkin juga menyukai