Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan di dalam suatu
rongga anatomis tubuh yang mempengaruhi sirkulasi dan mengancam fungsi dan kelangsungan hidup
jaringan di sekitarnya. Sindrom kompartemen abdominal (ACS) muncul bila disfungsi organ terjadi sebagai
hasil dari hipertensi intra-abdomen. Sindrom ini didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan
intra-abdomen lebih
dari 20 mmHg atau tekanan perfusi abdomen kurang dari 60 mmHg dengan disertai onset satu atau lebih
kegagalan system organ. Tekanan intra-abdomen normal antara 0 dan 5 mmHg, tapi pada pasien dewasa
yang kritis normal IAP dapat mencapai antara 5 dan 7 mmHg.
Hipertensi intra-abdomen didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen (IAP)
lebih dari 12 mmHg atau tekanan perfusi abdomen (APP) kurang dari 60 mmHg, dimana tekanan perfusi
abdomen (APP) = tekanan arteri rata-rata (MAP) tekanan intra-abdomen (IAP). Berbeda dengan hipertensi
intra-abdomen (IAH), sindrom kompartemen abdominal tidak diberi tingkatan tetapi lebih didasarkan sebagai
fenomena all or none.
B. Etiologi
Peningkatan tekanan intra abdomen terjadi pada 4 hingga 15% pasien dengan penanganan intensive bedah
pada berbagai kondisi klinis termasuk pembedahan abdomen yang lama, akumulasi ascites, trauma tumpul
abdomen, ruptur aneurisma aorta abdomen, pancreatitis hemoragik, fraktur pelvis, ileus dan obstruksi usus,
pneumoperitoneum dan syok septic.
C.
Klasifikasi
1.
Keadaan yang berhubungan dengan cedera atau penyakit di region pelvis-abdomen yang sering memerlukan
penanganan bedah atau intervensi radiologis intervensional.
1.
Sekunder ACS
1.
Kronik
Keadaan dimana ACS kembali terjadi akibat tindakan bedah sebelumnya atau terapi medis pada primer atau
ACS sekunder
D.
Manifestasi Klinis
1.
1.
Gagal napas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat, volume tidal yang berkurang,
tingginya tekanan puncak inspirasi.
2.
3.
4.
5.
6.
Patofisiologi
Setiap kelainan yang meningkatkan tekanan dalam rongga perut dapat menimbulkan hipertensi intraabdomen. Dalam beberapa situasi, seperti pankreatitis akut atau pecahnya aneurisma aorta abdominal.
Obstruksi mekanis usus halus, dan pembesaran abdomen bisa menimbulkan hipertensi intra-abdomen.
Namun, trauma tumpul abdomen dengan perdarahan intra-abdomen dari lienalis, hati, dan cedera
mesenterika adalah penyebab paling umum dari hipertensi intra-abdomen. Pembedahan perut dengan
tujuan untuk mengendalikan pendarahan juga dapat meningkatkan tekanan dalam ruang peritoneal. Distensi
usus, sebagai akibat dari syok hipovolemik dan perpindahan volume yang besar, merupakan penyebab
penting hipertensi intra-abdomen, dan selanjutnya mengakibatkan ACS, pada pasien trauma.
Pada kondisi syok, vasokonstriksi dimediasi oleh sistem saraf simpatik mengakibatkan kurangnya suplai
darah ke kulit, otot, ginjal, dan saluran pencernaan, hal ini bertujuan untuk menyuplai jantung dan otak.
Redistribusi darah dari usus menghasilkan hipoksia seluler di jaringan usus. Hipoksia ini berhubungan
dengan 3 bagian penting dari perkembangan kompensasi positif yang mencirikan patogenesis hipertensi
intra-abdomen dan perkembangannya menjadi ACS:
1.
Pelepasan sitokin,
2.
3.
Sebagai respon terhadap jaringan yang mengalami hipoksia, maka sitokin dilepaskan. Molekul-molekul ini
meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler, yang mengarah pada terjadinya edema.
Setelah seluler mengalami re-perfusi, oksigen radikal bebas dihasilkan. Agen ini mempunyai efek toksik pada
membran sel yang kondisinya diperparah oleh adanya sitokin, yang merangsang pelepasan radikal lebih
banyak lagi. Selain itu, kurangnya penghantaran oksigen ke jaringan yang mengalami keterbatasan produksi
adenosine triphospat dan penurunan persediaan dari adenosin trifosfat ini tergantung pada aktivitas selular.
Yang terkena dampak adalah pompa natrium-kalium. Efisien fungsi pompa sangat penting untuk peraturan
intraselular elektrolit. Ketika pompa gagal, terjadi kebocoran natrium ke dalam sel sehingga menarik air.
Sebagai sel membengkak, selaput kehilangan integritas, menumpahkan isi intraselular ke lingkungan
ekstraselular dan lebih jauh mengakibatkan inlamasi (peradangan). Peradangan dengan cepat mengarah
pada pembentukan edema, sebagai akibat dari kebocoran kapiler, dan jaringan yang semakin membengkak
di usus akibat semakin meningkatnya tekanan intra-abdomen. Pada awal tekanan, perfusi usus terganggu,
dan siklus hipoksia selular, kematian sel, peradangan, dan edema terus berlanjut.
Jadi , pada hipertensi intra-abdomen dapat menyebabkan vasokontriksi sehingga terjadi peningkatan
tekanan intra abdomen. Apabila tekanan intra abdomen terus meningkat, dapat menyebabkan terjadinya
penurunan perfusi jaringang dan akhirnya terjadi edema yang juga dapat memperparah peningkatan
tekanan intra abdomen. Terus meningkatnya tekanan intra abdomen inilah yang akhirnya menyebabkan
Kompartement sindrom abdominal.
F.
Pemeriksaan Diagnostik
1.
Laboratorium :
1.
2.
3.
4.
Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila pasien diberi
heparin
5.
6.
2.
7.
8.
Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat dan basa.
Radiografi :
1.
2.
3.
CT scan abdomen dapat memberikan banyak temuan. Pada tahun 1999 Pickhardt dkk
menemukan gambaran dibawah ini pada pasien dengan sindrom kompartemen abdominal:
sering
tidak
berguna
dalam
mengidentifikasi
sindrom
1)
Round-belly sign distensi abdomen dengan rasio diameter abdomen anteroposterior ke transversal
meningkat. (ratio >0.80; P <0.001)
2)
3)
4)
5)
USG Abdomen
6)
7)
G.
Penatalaksanaan
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP. IAP kritis yang
menimbulkan berbagai disfungsi organ bergantung pada keadaan premorbid pasien. Pasien gemuk setiap
saat meningkat IAP tetapi telah terkompensasi dengan hal tersebut. Grade I IAH secara umum hanya
memerlukan resusitasi volume dengan pemantauan tekanan berkelanjutan. Beberapa pasien tidak membaik
keadaannya. Pasien dengan grade II harus ditangani berdasarkan gejalanya. Bila oliguria ringan dengan
kompresi jantung dan paru minimal, dapat diresusitasi lebih lanjut dan dilanjutkan dengan memantau
tekanan. Bila pasien mengalami cedera intra-kranial atau kompresi berat yang lebih, operasi dekompresi
harus dipikirkan. Grades III dan IV ditangani dengan operasi dekompresi. Saat ini sebagian besar penulis
menyetujui bahwa tekanan kritis untuk ACS adalah antara 20 hingga 25 mmHg.
1.
a.
1.
Blokade neuromuskular
1.
Dekompresi nasogaster
Dekompresi rektum
Agent gastro-/colo-prokinetik
1.
Parasentesis
Drainase perkutan
1.
Diuretik
Hemodialisis / ultrafiltrasi
1.
Organ Pendukung
Terdapat manajemen nonoperatif pada IAH/ACS yang terdiri dari lima intervensi terapi, tiap terapi
mengandung beberapa langkah tingkat terapi yang dijelaskan lebih detil pada Gambar 6.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Manajemen pembedahan:
13
Laparotomi dekompresi merupakan gold standard dalam penanganan pasien dengan ACS. Pendekatan
dekompresi abdomen sangat beragam. Temporary abdominal closure (TAC) telah banyak digunakan sebagai
mekanisme mengembalikan dampak akibat peningkatan IAP. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan
TAC sebagai profilaksis untuk mengurangi komplikasi post operasi dan mempermudah re-eksplorasi yang
telah direncanakan. Setelah laparotomi dekompresi, dilakukan temporer abdominal closure yang dilanjutkan
dengan permanen abdominal closure pada hari berikutnya.
1.
Beberapa metode dari temporary abdominal closure dapat digunakan. Keputusan pertama yang harus dibuat
adalah apakah menutup fascia dengan bahan sintetis atau membiarkannya terbuka. Fascia tidak boleh
ditutup primer, ini berkaitan dengan tingginya tingkat rekuren dari ACS. Jika fascia ditutup dengan bahan
sintetis, berbagai bahan (absorbable/nonabsorbable; porous/nonporous) bisa digunakan. Berbagai tipe dari
mesh dapat digunakan termasuk polyglycolic acid (Vicryl), polypropylene (Marlex), atau
polytetrafluoroethylene (PTFE). Bahan yang dapat diserap lebih dipilih. Penutup dengan alat burr artificial
(Velcro-like), kantung cairan intravena (Bogot bag), kantung kaset x-ray steril, dan kertas Silastic telah
digunakan.
Jika fasia dibiarkan terbuka dan abdomen penuh, kulit bisa tertutup atau dibiarkan terbuka. Kulit bisa ditutup
menggunakan jahitan, penjepit kain, perban lateks Esmarch atau mesh. Jika mesh dijahit ke kulit, akan
ditutup dengan adesif drape yang steril dan drape(Vi-drape or Steri Drape). Menjahit bahan sintetis ke
kulit bukan ke fasia, mempersiapkan fasia untuk definitive closure berikutnya. Jika penutupan kulit saja
menyebabkan peningkatan IAP, kulit dibiarkan terbuka. Usus ditutupi dengan nonadhesive, nonporous materi
(seperti tas atau perekat usus terlipat menggantungkan dirinya sendiri sehingga sisi perekat menempel pada
dirinya sendiri).
Tepi bahan nonadhesive, nonporous diselipkan di bawah tepi dinding abdomen anterior untuk mencegah
pengeluaran isi dari usus. Selanjutnya, handuk steril ditempatkan, diikuti oleh tirai perekat (Vidrape atau
tirai Steri ) yang menempel pada dinding perut dan mencegah lebih lanjut pengeluaran isi, pengeringan
dari usus, dan cairan kerugian dari perut yang terbuka. Aplikasi langsung dari tirai perekat ke usus
meningkatkan risiko enterocutaneous fistula dan tidak disarankan.
Sebuah cairan irigasi urologis tas dijahit ke kulit dan saluran eksternal ditempatkan untuk mengontrol dan
kuantifikasi dari kebocoran cairan atau perdarahan.
1.
Penutupan perut permanen dilakukan setelah hipovolemia, hipotermia, coagulapathy, dan asidosis telah
diperbaiki; yang biasanya tiga sampai empat hari setelah dekompresi abdomen. Beberapa metode
penutupan perut telah dideskripsikan. Primer penutupan fasia dapat dilakukan atau cangkok kulit dapat
ditempatkan diikuti oleh dinding perut tertunda rekonstruksi.
Setelah mobilisasi signifikan cairan, dimungkinkan untuk menutup fasia tanpa ketegangan yang signifikan.
Namun, sebuah "pemisahan bagian" teknik mungkin diperlukan untuk reapproximate fasia.
Jika mesh ditempatkan sebagai perut sementara penutupan (sebaiknya bahan yang diserap), jala dapat
dibiarkan in situ selama dua minggu kemudian ditutup dengan kulit ketebalan parsial grafts ke jaringan
granulasi yang mendasarinya. Jala biasanya akan dimasukkan ke dalam jaringan granulasi pada titik waktu
ini. Jika fasia tidak ditutup dan pasien yang tersisa dengan cacat dinding perut, dinding perut rekonstruksi
dapat dilakukan enam hingga dua belas bulan kemudian.
Berbagai metode rekonstruksi telah dijelaskan, termasuk medial bilateral kemajuan abdominus rektus otot
dan fasia dengan atau tanpa sayatan kulit-relaksasi. Expanders jaringan subkutan diikuti oleh flaps kemajuan
myocutaneous bilateral juga telah digunakan. Garis tengah perut flap cacat mungkin memerlukan
rekonstruksi atau rekonstruksi dengan nonabsorbable mesh.
KLIK DISINI BISNIS MUDAH DAN PRAKTIS..buruan!!
H.
Komplikasi
1)
Necrosis jaringan abdomen, akibat gagal mengurangi tekanan yang meningkat dan penurunan perfusi
kapiler yang menyebabkan hipoksia pada jaringan tersebut.
2)
3)
Rhabdomyolysis
4)
Gagal jantung
I. Prognosis
Tingkat kematian dengan kasus ACS dilaporkan 10-68% dari pasien yang mengalaminya.
Prosentase klien yang dapat bertahan hidup dengan kasus ACS sekitar 53%. Jika sudah diketahui ada tandatanda mengalami ACS, maka penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah dekompresi laparotomi.
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
Nyeri berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan intra abdomen yang mengakibatkan
iskemik jaringan
2.
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen yang mengakibatkan penekanan
diafragma (penghambatan relaksasi diafragma)
3.
4.
5.
6.
7.
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan menurun akibat adanya
mual dan muntah
K. INTERVENSI
1.
Intervensi
Pantau
Rasional
tanda-tanda
vital
dan
CVP
Hipotensi
ortostatikdapat
terjadi
dengan risiko jatuh atau cedera segera
setelah perubahan posisi.
Pasien
tidak
mengkonsumsi
cairan.
1.
Memberikan
informasi
tentang
Tindakan/intervensi
1.
2.
Rasional
3.
Pertahakan
duduk
atau
tirah
baring
1.
4.
Hipertensi
dan
peningkatan
CVP
menunjukkan kelebihan cairan dan dapat
menunjukkan
terjadinya
peningkatan
kongesti paru, gagal jantung.
5.
Tujuan: Nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien
Kriteria hasil:
-
Dapat mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah
Intervensi
Rasional
1.
Berikan
kesempatan
waktu
istirahat bila terasa nyeri dan
berikan posisi yang nyaman.
1.
1.
1.
1.
Beritahu
pasien
untuk
menghindari
mengejan,
meregang,
batuk,
dan
mengangkat benda yang berat.
Ajarkan pasien untuk menekan
insisi dengan tangan atau bantal
selama
episode
batuk;
ini
khususnya
penting
selama
periode pascaoperasi awal dan
selama
6
minggu
setelah
pembedahan.
1.
1.
1.
1.
Kolaborasi analgesic
1.
Observasi
tingkat
nyeri
dan
respon motorik klien, 30 menit
setelah
pemberian
analgesik
untuk mengkaji efektivitasnya dan
setiap 1-2 jam setelah tindakan
1.
Tujuan
: Dalam waktu 3x 24 jam tidak terjadi perubahan pola napas. Klien dapat bernapas normal.
Kriteria hasil
: Klien tidak sesak napas, RR dalam batas normal16- 20x/ menit, ekspansi dada normal
INTERVENSI
irama,
RASIONAL
1.
Kaji
frekuensi,
pernafasan.
kedalaman
1.
1.
1.
1.
2.
3.
4.
5.
Posisi
semi
fowler
mempermudah
udara
1.
1.
1.
6.
7.
Askep 2
Sindroma Kompartemen
I. PENDAHULUAN
Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan intertisial di dalam ruangan yang terbatas,
yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di
dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut berisi otot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia
serta otot-otot individual yang dibungkus oleh epimisium. Ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat,
disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak. Paling sering
disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas
Sindroma Kompartemen dapat di klasifikasikan berdasarkan etiologinya yaitu penurunan volume kompartemen dan
peningkatan tekanan struktur kompartemen serta lamanya gejala yaitu akut dan kronik. Penyebab umum terjadinya
sindroma kompartemen akut adalah fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan pada arteri dan luka bakar. Sedangkan
sindroma kompartemen kronik biasa terjadi akibat melakukan aktivitas yang berulang-ulang, misalnya pelari jarak jauh,
pemain basket, pemain sepak bola dan militer.
II. INSIDEN
Di Amerika, ektremitas bawah distal anterior adalah yang paling banyak dipelajari untuk sindrom kompartemen. Dianggap
sebagai yang kedua paling sering untuk trauma sekitar 2-12%. Dari penelitian McQueen (2000), sindrom kompartemen lebih
sering didiagnosa pada pria dari pada wanita, tapi hal ini memiliki bias, dimana pria lebih sering mengalami luka trauma.
McQueen memeriksa 164 pasien yang didiagnosis sindrom kompartemen, 69% berhubungan dengan fraktur dan sebagian
adalah fraktur tibia. Ellis pada tahun 1958 melaporkan bahwa 2 % iskemi. kontraktur terjadi pada fraktur tibia. Detmer dkk
melaporkan bahwa sindrom kompartemen bilateral terjadi pada 82% pasien yang menderita sindrom kompartemen kronis.
Sindrom kompartemen akut sering terjadi akibat trauma, terutama di daerah tungkai bawah dan tungkai atas. Pada tahun
1981, Delee dan Stiehl menemukan bahwa 6 % pasien dengan fraktur tibia terbuka berkembang menjadi sindrom
kompartemen, sedangkan 1,2 % fraktur tibia tertutup.
III. ANATOMI
Kompartemen adalah merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang, interosseus membran, dan fascia, yang
melibatkan jaringan otot, syaraf dan pembuluh darah. Otot mempunyai perlindungan khusus yaitu fascia, dimana fascia ini
melindungi semua serabut otot dalam satu kelompok. Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota
gerak. Terletak di lengan atas (kompartemen anterior dan posterior), dilengan bawah (yaitu kompartemen flexor superficial,
fleksor profundus, dan kompartemen ekstensor). Di anggota gerak bawah, terdapat : tiga kompartemen ditungkai atas
(kompartemen anterior, medial, dan kompartemen posterior), empat ditungkai bawah (kompartemen anterior, lateral,
posterior superfisial, posterior profundus). Sindrom kompartemen yang paling sering di daerah tungkai bawah (yaitu
kompartemen anterior, lateral, posterior superficial, dan posterior profundus) serta lengan atas (kompartemen volar dan
dorsal).
Setiap kompartemen pada tungkai bawah memiliki satu nervus mayor. Kompartemen anterior memiliki nervus peroneus
profundus, kompartemen lateral memiliki nervus peroneus superficial, kompartemen posterior profunda memiliki nervus
tibialis posterior dan kompartemen posterior superficial memiliki nervus suralis. Ketika tekanan kompartemen meningkat,
suplai vaskuler ke nervus akan terpengaruh menyebabkan timbulnya paresthesia
IV. ETIOLOGI
Ada banyak penyebab yang dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian menyebabkan sindrom
kompartemen. Apapun penyebab peningkatan tekanan lokal jaringan berpotensi menyebabkan sindrom kompartemen.
Penurunan volume kompartemen :
Penutupan defek fascia
Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
Peningkatan tekanan struktur compartemen:
Pendarahan atau Trauma vaskuler
Peningkatan permeabilitas kapiler
Penggunaan otot yang berlebihan
Luka bakar
Operasi
Gigitan ular
Obstruksi vena
Sindrom nefrotik
Infus yang infiltrasi
Hipertrofi otot
Peningkatan tekanan eksternal
antara 10-30 mmHg dari tekanan diastolic. Tidak ada perfusi yang efektif ketika tekanannya sama dengan tekanan diastolic.
Prosedur pengukuran tekanan kompartemen antara lain :
a. Teknik pengukuran langsung dengan teknik injeksi
Teknik adalah criteria dignostik standard seharusnya menjadi prioritas utama jika diagnosis masih penuh tanda tanya.
Tonometer tekanan stryker banyak digunakan untuk mengukur tekanan jaringan yang tidak membutuhkan alat khusus. Alat
yang dibutuhkan spoit 20 cc, three way tap, tabung intra vena, normal saline sterile, manometer air raksa untuk mengukur
tekanan darah. Pertama, atur spoit dengan plunger pada posisi 15 cc. Tandai saline sampai mengisi setengah tabung , tutup
three way tap tahan normal saline dalam tabung. Kedua, anestesi local pada kulit, tapi tidak sampai menginfiltrasi otot.
Masukkan jarum 18 kedalam otot yang diperiksa, hubungkan tabung dengan manometer air raksa dan buka three way tap.
Ketiga, Dorong plunger dan tekanan akan meningkat secara lambat. Baca manometer air raksa. Saat tekanan
kompartemen tinggi, tekanan air raksa akan naik.
b. Teknik Wick kateter
Teknik menggunakannya adalah:
- Pertama, masukkan kateter dengan jarum ke dalam otot
- Kedua, tarik jarum dan masukkan kateter wick melalui sarung plastik
- Dan ketiga, balut wick kateter ke kulit, dan dorong sarung plastik kembali, isi system dengan normal saline yang
mengandung heparine dan ukur tekanan kompartemen dengan transducer recorder. Periksa ulang patensi kateter dengan
tangan menekan pada otot. Hilangkan semua tekanan external pada otot yang diperiksa dan ukur tekanan kompartemen,
jika tekanan mencapai 30 mmHg, indikasi fasciotomi.
Tekanan arteri rata-rata yang normal pada kompartemen otot adalah 8,5+6 mmHg. Selama tekanan pada salah satu
kompartemen kurang dari 30 mmHg (tekanan pengisian kapiler diastolic), kita tidak perlu khawatir tentang sindroma
kompartemen. Tekanan lebih dari 10 mmHg dalam kompartemen yang baru bisa menimbulkan sindroma kompartemen, dan
berarti memerlukan terapi yang segera.
VIII. TERAPI
Tujuan dari terapi sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan
aliran darah lokal, biasanya dengan bedah dekompresi. Tindakan nonoperatif tertentu mungkin bisa berhasil, seperti
menghilangkan selubung eksternal. Jika hal tersebut tidak berhasil maka tindakan operasi dekompresi perlu
dipertimbangkan. Indikasi mutlak untuk operasi dekompresi sulit untuk ditentukan, tiap pasien dan tiap sindrom
kompartemen memiliki individualitas yang berpengaruh pada cara untuk menindakinya.
Berbeda dengan kompleksitas diagnosis, terapi kompartemen sindrom sederhana yaitu fasciotomi kompartemen yang
terlibat. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih
diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan
fasciotomi.
Penanganan sindroma kompartemen meliputi :
1. Terapi Medikal/non operatif
Pemilihan secara medical terapi digunakan apabila masih menduga suatu sindroma kompartemen, yaitu :
- Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari
karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia.
- Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut kontriksi dilepas.
- Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat perkembangan sindroma kompartemen.
- Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
- Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol
mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis
melalui kemampuan dari radikal bebas.
2. Terapi pembedahan / operatif
Terapi operatif untuk sindroma kompartemen apabila tekanan intrakompartemen lebih dari 30 mmHg memerlukan tindakan
yang cepat dan segera dilakukan fasciotomi. Tujuannya untuk menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot.
Apabila tekanannya kurang dari 30 mmHg, tungkai dapat diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam
berikutnya, kalau keadaan tungkai itu membaik, evaluasi klinik yang berulang-ulang dilanjutkan hingga bahaya telah
terlewati. Kalau tidak ada perbaikan, atau kalau tekanan kompartemen meningkat, fasiotomi harus segera dilakukan.
Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Ada dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal
dan insisi ganda. Tidak ada keuntungan yang utama dari kedua teknik ini. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering
digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko
kerusakan arteri dan vena peroneal. Pada tungkai bawah, fasiotomi dapat berarti membuka ke empat kompartemen, kalau
perlu dengan mengeksisi satu segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan
debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit ( tanpa regangan ), atau dilakukan pencangkokan kulit.
Terapi untuk sindrom kompartemen akut maupun kronik biasanya adalah operasi. Insisi panjang dibuat pada fascia untuk
menghilangkan tekanan yang meningkat di dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan pembalut steril) dan
ditutup pada operasi kedua, biasanya 5 hari kemudian. kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen, kalau
jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan ), atau skin graft mungkin diperlukan untuk menutup luka ini.
Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi antara lain:
Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan Henry. Lengan disupinasikan dan insisi
mulai dari medial bagian atas tendon bisep, melewati lipat siku, terus ke bawah melewati garis ulnar lengan bawah, dan
sampai ke carpal tunnel sepanjang lipat thenar. Fascia superficial pada fleksor carpi ulnaris diinsisi ke atas sampai ke
aponeurosis siku dan ke carpal tunnel ke arah distal. Kemudian dicari batas antara fleksor carpi ulnaris dan fleksor digitorum
sublimis. Pada dasar fleksor digitorum sublimis terdapat arteri dan nervus ulnaris, yang harus dicari dan dilindungi. Fascia
pada kompartemen fleksor profunda kemudian diinsisi.
Pendekatan Dorsal
Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah didekompresi, harus diputuskan apakah perlu
dilakukan fasciotomi dorsal (ekstensor). Hal ini lebih baik ditentukan dengan pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif
setelah dilakukan fasciotomi kompartemen fleksor. Jika terjadi peningktan tekanan pada kompartemen dorsal yang terus
meningkat, fasciotomi harus dilakukan dengan posisi lengan bawah pronasi. Insisi lurus dari epikondilus lateral sampai garis
tengah pergelangan.Batas antara ekstensor carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum komunis diidentifikasi kemudian
dilakukan fasciotomi.
Fasciotomi untuk sindrom kompartemen kronik
fasciotomi insisi tunggal : Teknik Fronek
Dibuat sebuah insisi 5 cm pada pertengahan fibula dan kaput tibia atau melalui defek fascia jika terdapat hernia muskuler
pada daerah keluarnya nervus peroneal. Nervus peroneal segera dicari dan lewatkan fasciotom ke kompartemen anterior
pada garis otot tibialis anterior. Pada kompartemen lateral, fasciotome diarahkan ke posterior nervus peroneal superficial
pada garis fibular. Tutup kulit dengan cara biasa dan pasang pembalut steril.
Fasciotomi insisi ganda: Teknik Rorebeck
Dibuat 2 insisi pada tungkai bawah 1 cm dibelakang garis posteromedial tibia. Kemudian dicari vena saphenus pada insisi
proksimal dan tarik ke anterior bersama dengan saraf. Masuk dan dibuka kompartemen superficial. Fascia profunda
kemudian diinsisi. Kompartemen profunda diekspos, termasuk otot digitorum longus dan tibialis posterior dangan merobek
sambungan soleus. Kumparan neurovaskuler dan tendo tibialis posterior kemudian diinsisi ke proksimal dan distal fascia
pada terdon tersebut. Tibialis posterior adalah kunci dekompresi kompartemen posterior dan biasanya berkontraksi ke
proksimal antara fleksor hallucis longus, lebarkan batas antaranya untuk memeriksa kontraksinya. Tutup luka diatas drain
untuk meminimalkan pembentukan hematom.
Perawatan pasca operasi:
Luka harus dibiarkan terbuka selama 5 hari, kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen, kalau jaringan itu
sehat, luka dapat dijahit (tanpa tegangan), atau dilakukan pencangkokan kulit atau dibiarkan sembuh dengan intensi
sekunder.(11)
IX. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis yang paling sering membingungkan dan sangat sulit dibedakan dengan sindrom kompartemen adalah oklusi
arteri dan kerusakan saraf primer, dengan beberapa ciri yang sama yang ditemukan pada masing-masingnya
Pada sindroma kompartemen kronik di dapatkan nyeri yang hilang timbul, dimana nyeri muncul pada saat berolah raga dan
berkurang pada saat beristirahat. Sindroma kompartemen kronik dibedakan dengan claudikasio intermitten yang merupakan
nyeri otot atau kelemahan otot pada tungkai bawah karena latihan dan berkurang dengan istirahat, biasanya nyeri berhenti
2-5 menit setelah beraktivitas. Hal ini disebabkan oleh adanya oklusi atau obstruksi pada arteri bagian proksimal, tidak ada
peningkatan kompartemen dalam hal ini. Sedangkan sindroma kompartemen kornik adanya kontraksi otot berulang-ulang
yang dapat meningkatkan tekanan intramuskuler sehingga menyebabkan iskemia kemudian menurunkan aliran darah dan
otot menjadi kram.
X. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat trauma permanen yang mengenai otot dan syaraf yang dapat mengurangi fungsinya. Apabila
sindrom kompartemen lebih dari 8 jam dapat mengakibatkan nekrosis dari syaraf dan otot dalam kompartemen. Syaraf
dapat beregenerasi sedangkan otot tidak sehingga jika terjadi infark tidak dapat pulih kembali dan digantikan dengan
jaringan fibrosa yang tidak elastis yaitu kontraktur iskemik Volkmann, yaitu kelanjutan dari sindrom kompartemen akut yang
tidak mendapat terapi selama lebih dari beberapa minggu atau bulan. Kira-kira 1-10% dari semua kasus sindrom
kompartemen berkembang menjadi kontraktur volkmann.
Kontraktur Volkmann
Iskemia berat yang berlangsung selama 6-8 jam dapat menyebabkan kematian otot dan nervus, yang kemudian
menyebabkan terjadinya kontraktur Volkmann.
Kontraktur Volkmann adalah deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan
bawah. Disebabkan oleh iskemia yang biasanya disebabkan oleh peningkatan tekanan (sindrom kompartemen). Trauma
vaskuler menyebabkan infark otot dan kematian serat otot, kemudian otot digantikan oleh jaringan ikat.
Sedangkan komplikasi sistemik yang dapat timbul dari sindroma kompartemen meliputi gagal ginjal akut, sepsis dan acute
respiratory distress syndrome (ARDS) yang fatal jika terjadi sepsis kegagalan organ secara multi sistem.
XI. PROGNOSIS
Sindroma kompartemen akut cenderung memiliki hasil akhir yang jelek, toleransi otot untuk terjadinya iskemia adalah 4 jam.
Kerusakan irreversible terjadi bila lebih dari 8 jam. Jika diagnosa terlambat dapat menyebabkan trauma syaraf dan
hilangnya fungsi otot. Walaupun fasciotomi dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien mengalami deficit motorik
dan sensorik yang persisten.