Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER DAN METODOLOGI HUKUM ISLAM


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama
Islam

Disusun Oleh :
Muhammad Irfan
Nur Alifia Chaerunnisa
Siti Marlina
Yuri Tadashi
Dosen Pembimbing :
Muhammad Qodhafi, M.Pd.I
POLITEKNIK KESEHATAN JAKARTA II
FAKULTAS D3 FARMASI
JAKARTA
2016
DAFTAR ISI
1 | Page

COVER MAKALAH.............................................................................................. 1
DAFTAR ISI ......................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang................................................................................................ 3
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................... 4
1.3 Tujuan dan Manfaat........................................................................................ 4
BAB II

PEMBAHASAN.................................................................................... 5

2.1 Pengertian ijtihad ..............................................................................................5


2.2 Kedudukan ijtihad dalam islam ........................................................................5
2.3 Mujtahid dan persyaratannya ...........................................................................6
2.4 Muqallid dan klasifikasinya .............................................................................7
2.5 Hadis islam menghargai ijtihad ........................................................................8
2.6 Hukum ijtihad ...................................................................................................9
2.7 Metodologi ijtihad ...........................................................................................10
2.8 Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilan ijtihad ......................................11
2.9 Cara menyikapi hasil ijtihad yang berbeda-beda.............................................13
BAB III

PENUTUP.............................................................................................14

3.1 Kesimpulan......................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

2 | Page

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ijtihad adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum yang tidak
terdapat nash (teks) yang jelas ; yang tidak mengandung kecuali satu makna
tentangnya. Ijtihad merupakan salah satu sumber hukum Islam. Ijtihad dilakukan
dengan mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syara dengan berlandaskan
Al-Quran dan hadis.
Mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) ialah orang yang memiliki
keahlian dalam hal ini. Ia adalah seorang yang hafal ayat-ayat ahkam, haditshadits ahkam beserta mengetahui sanad-sanad dan keadaan para perawinya,
mengetahui nasikh dan mansukh, am dan khash, muthlaq dan muqayyad serta
menguasai betul bahasa Arab dengan sekira hafal pemaknaanpemaknaan setiap
nash sesuai dengan bahasa al Quran, mengetahui apa yang telah disepakati oleh
para ahli ijtihad dan apa yang diperselisihkan oleh mereka, karena jika tidak
mengetahui hal ini maka dimungkinkan ia menyalahi ijma' (konsensus para
ulama) para ulama sebelumnya. Lebih dari syarat-syarat di atas, masih ada sebuah
syarat besar lagi yang harus terpenuhi dalam berijtihad yaitu kekuatan
pemahaman dan nalar. Kemudian juga disyaratkan memiliki sifat adalah; yaitu
selamat dari dosa-dosa besar dan tidak membiasakan berbuat dosa-dosa. Ijzah
sanad (mata rantai) keilmuan yang telah didapat. Kemudian dalam seluruh
disiplin ilmu-ilmu Islam; mendapatkan Ijzah mmah Secara khusus; Syekh
Yasin al- Padani telah membukukan seluruh sanad beliau (ats-tsabt) diantaranya
dalam al-Iqd al-Fard Min Jawhir al-Asnd.
Rasulullah pernah menjelaskan bahwa jika seseorang berijtihad dan hasil
ijtihadnya benar akan mendapat balasan dua pahala, sebaliknya jika keliru tetap
mendapatkan pahala satu.

3 | Page

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud ijtihad dan klasifikasinya?
2. Bagaimana kedudukan ijtihad dalam islam?
3. Apa yang dimaksud mujtahid dan apa persyaratannya?
4. Apa yang dimaksud muqallid dan apa saja klasifikasinya?
5. Sebutkan hadis islam menghargai ijtihad?
6. Apa saja hukum ijtihad ?
7. Apa saja metodologi ijtihad ?
8. Apa saja Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilan ijtihad?
9. Bagaimana Cara menyikapi hasil ijtihad yang berbeda-beda?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1. Mengetahui pengertian ijtihad dan klasifikasinya.
2. Mengetahui kedudukan ijtihad dalam islam.
3. Mengetahui mujtahid dan persyaratannya
4. Mengetahui muqallid dan klasifikasinya.
5. Mengetahui hadis islam menghargai ijtihad.
6. Mengetahui hukum ijtihad.
7. Mengetahui metodologi ijtihad.
8. Mengetahui Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilan ijtihad.
9. Mengetahui Cara menyikapi hasil ijtihad yang berbeda-beda.

BAB II

4 | Page

PENJELASAN

2.1 Pengertian Ijtihad dan Klasifikasinya


Ijtihad berasal dari kata ijtahada yang artinya bersungguh-sungguh atau
mencurahkan segala kemampuan. Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al
Quran maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih,
serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah
ditentukan.
Macam-macam Ijtihad, Dilihat dari pelaksanaannya, ijtihad dapat dibagi
kepada dua macam: Ijtihad fardhi, adalah ijtihad yang dilakukan oleh seorang
mujtahid. Ijtihad Jamai (ijma), adalah ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid
secara berkelompok
2.2 Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam
Kita telah sepakat bahwa ijtihad memiliki sumber hukum, yaitu ; pertama,
ayat al-quran baik sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh maupun satu
kesatuan surat persurat maupun secara parsial ayat perayat; kedua, hadis-hadis
nabi yang sudah melalui seleksi yang ketat tentang keshahihannya; ketiga, ijma
para sahabat nabi. Ijma, berasal dari kata jam artinya menghimpun atau
mengumpulkan. Ijma mempunyai 2 makna yaitu menyusun dan mengatur suatu
hal yang tidak teratur,oleh sebab itu berarti menetapkan dan memutuskan suatu
perkara dan berarti pula sepakat atau bersatu didalam pendapat. Menurut istilah
ulama fikih ijma berarti kesepakatan pendapat diantara para ulama fikih dari abad
tertentu mengenai masalah hukum, persetujuan ini dapat disimpulkan dengan 3
cara yaitu ucapan (qaul), perbuatan (fiil), diam (sukut).

5 | Page

Ijtihad untuk menentukan hukum dibenarkan dengan tujuan kemaslahatan


untuk menjawab setiap persoalan yang terjadi. Dengan demikian, hukum Islam
secara dinamis mampu mengantisipasi tuntutan perubahan zaman.
2.3 Mujtahid dan Persyaratannya
Mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) ialah orang yang memiliki
keahlian dalam hal ini. Mujtahid ada dua macam, pertama mujtahid mutlak dan
kedua mujtahid muttajiz. Yang dinamakan mujtahid mutlak ialah orang Islam
yang sanggup menetapkan hukum mengenai seluruh persoalan fiqh, sedang
mujtahid-muttajiz ialah orang yang berkuasa, menetapkan sesuatu hukum syara'
dalam beberapa hukum furu' fiqh. Ijtihad harus dilakukan oleh orang-orang yang
memenuhi syarat-syarat tertentu. Yusuf Qardawi dalam bukunya Al-Ijtiha - d fiasy-Syari-ah al-Isla-miyyah mengatakan bahwa ada delapan hal yang menjadi
syarat pokok untuk menjadi mujtahid. Kedelapan hal itu sebagai berikut:
1) memahami Al-Quran dengan beragam ilmu tentangnya;
2) memahami hadis dengan berbagai ilmu tentangnya;
3) mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab;
4) mengetahui tempat-tempat ijmak;
5) mengetahui usul fikih;
6) mengetahui maksud-maksud syariat;
7) memahami masyarakat dan adat istiadatnya; serta
8) bersifat adil dan takwa.
Selain delapan syarat tersebut, beberapa ulama menambah tiga syarat lainnya,
yaitu:
1) mendalami ilmu us.uluddin (pokok-pokok agama);
2) memahami ilmu mantiq (logika); dan
3) menguasai cabang-cabang fikih.

6 | Page

2.4 Muqallid dan Klasifikasinya


Muqallid, adalah orang yang melakukan taqlid; mengikuti pendapat para
mujtahid) adalah orang yang belum sampai kepada derajat tersebut di atas.
Muqallid terbagi atas dua bahagian, pertama awam semata-mata, yaitu seseorang
yang tidak mengenai sama sekali hukum syara'. Kedua muqallid berilmu yaitu
seorang yang mempunyai ilmu tentang Islam dalam garis-garis besarnya, tetapi
tidak sanggup menetapkan sesuatu hukum dengan ijtihadnya. Dalam bertaqlid
disyaratkan dua perkara sebagai berikut :Pertama amalnya sesuai dengan fatwa
mujtahid yang diikutinya dalam beraqlid, kedua benar qasad ibadatnya untuk
berbakti kepada Tuhan dengan secara yang diputuskan mujtahid itu. Seorang
muqallid dapat mencapai fatwa yang diikutinya dengan salah satu dari pada tiga
jalan : pertama ia mendengar langsung hukum sesuatu masalah pada mujtahid itu
sendiri, kedua bahwa ada dua orang yang adil dan dapat dipercayai
menyampaikan fatwa mujtahid itu kepadanya, boleh juga hanya oleh seorang saja
yang dipercayainya sungguh-sungguh dan dapat menerangkan keyakinannya,
ketiga ia membaca sebaran tertulis, dimana diuraikan mujtahid itu dan keputusan
itu hendaknya dapat menenteramkan jiwanya tentang sahnya dan benarnya
penetapan hukum tersebut.
Dalil bahwa orang Islam terbagi kepada dua tingkatan ini
adalah hadits Nabi shallallahu 'alayhi wasallam:
" "
( " (
Maknanya : Allah memberikan kemuliaan kepada seseorang yang
mendengar perkataanKu, kemudian ia menjaganya dan
menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, betapa banyak
orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman. (H.R.
at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Bukti terdapat pada lafazh: " ""
Betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki
pemahaman.

7 | Page

Dalam riwayat lain: " " "


Betapa banyak orang yang mendengar (disampaikan
kepadanya hadits) lebih mengerti dari yang menyampaikan.
Bagian dari lafazh hadits tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa di
antara sebagian orang yang mendengar hadits dari Rasulullah shallallahu 'alayhi
wasallam, ada yang hanya meriwayatkan saja dan pemahamannya terhadap
kandungan hadits tersebut kurang dari pemahaman orang yang mendengar
darinya. Orang yang kedua ini dengan kekuatan nalar dan pemahamannya
memiliki kemampuan untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum dan
masalah-masalah (dinamakan Istinbath) yang terkandung di dalam hadits tersebut.
Dari sini diketahui bahwa sebagian sahabat Nabi ada yang pemahamannya kurang
dari para murid dan orang yang mendengar hadits darinya. Pada lafazh lain hadits
ini:
" " "
Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang
lebih paham darinya. Dua riwayat ini diriwayatkan oleh atTirmidzi dan Ibnu Hibban.
Mujtahid dengan pengertian inilah yang dimaksud oleh
hadits Nabi shallallahu 'alayhi wasallam:
" ( _ _ "
(
Maknanya: Apabila seorang Penguasa berijtihad dan benar maka
ia mendapatkan dua pahala dan bila salah maka ia mendapatkan satu
pahala. (H.R. al Bukhari)
2.5 Hadist Islam menghargai ijtihad
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu
dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:

8 | Page

( )

Artinya: Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad


dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila
seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil
ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala. (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad,
tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan
membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia.
Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

( )
Artinya: Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat (HR
Nashr Al muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma dan qiyas.
Ijmaadalah kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim
pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang
kepada hasil ijma diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan.
Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT:
Artinya: Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembaikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudiannya. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan
dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan
demikian, ijma ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam
ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya
menjadi mushaf Al Quran.

9 | Page

2.6 Hukum Ijtihad


Ulama fikih membagi hukum ijtihad menjadi tiga macam. Hukum-hukum
tersebut berkaitan dengan saat ijtihad tersebut disampaikan.

Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi
(dikerjakan), maka yang mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak

dikerjakan maka ia akan berdosa


Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan

tidak berdosa
Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak

dikerjakan atau ditinggalkan mendapat pahala


Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum

(tidak berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala


Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan.
Kalau dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.

2.7 Metodologi Ijtihad


Para Imam Mujtahid mutlak berhasil mengembangkan metodologi ijtihad,
diantaranya yang paling utama, yaitu :
Qiyas, makna aslinya mengukur atau membandingkan atau menimbang dengan
membandingkan sesuatu , Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian
yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena
antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya.


(90 )
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya ( minum) khamr, berjudi,
menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah
suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hedaknlah kamu jauhi
agar kamu mendapat keberuntungan (QS.5:90)
Antara minum khamr dengan minum narkotika dan MIRAS yang sejenis ada
persamaan illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya ,
sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan illat itu ditetapkanlah
hukum minum narkotika yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.

10 | P a g e

Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya


mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:

Dasar (dalil)
Masalah yang akan diqiyaskan
Hukum yang terdapat pada dalil
Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang

diqiyaskan
Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak
dijelaskan secara kongret dalam Al Quran dan hadits yang didasarkan
atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau unutk
kepentingan keadilan.
Contoh penggunaan istihsan dalam jual-beli.Islam hanya
membenarkan transaksi jual-beli jika barangnya sudah nyata-nyata
ada. Praktek salam, yakni jual-beli dengan cara bayar duluan
sementara barangnya belakangan, dilarang oleh Islam. Tentu saja
maksudnya agar tidak terjadi kecurangan. Tapi zaman berkembang dan
sistem transaksi bisnis bergerak lebih cepat. Sering kali produsen tidak
sanggup menyediakan barang yang dibutuhkan pelanggan karena
keterbatasan modal. Atas dasar kebutuhan dan kepercayaan, pelanggan
akhirnya membayar duluan, sementara barang yang dipesannya baru
diproduksi setelah pelanggan membayar (penuh ataupun sebagian) dari
keseluruhan harga barang yang dipesannya. Pembayaran secara salam
tersebut merupakan "kekecualian" dari salam yang umum.
Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan
telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah
kedudukan dari hukum tersebut
Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak
disebutkan secara kongkret dalam Al Quran dan hadits dengan
didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan
masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum
agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum
agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan
tidak bertentangan dengan ajaran Al Quran dan hadits
Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak
yang tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas

11 | P a g e

dari maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang


mengganti atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena
kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
Al Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam
perkembangan hidupnya
Zarai, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai
mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.
2.8 Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilan ijtihad
Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya dan maksudnya
menunjukkan kepada hukum itu Hukum seperti ini tetap, tidak berubah
dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim, tidak seorangpun berhak
membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu, zakat, puasa, haji dan
syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafiie berpendapat apabila ada
ketentuan hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian, setiap muslim
wajib mengikutinya.
Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya terhadap
hukum-hukum itu. Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk
berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para mujtahid boleh
mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum dengan
ijtihadnya.
Hukum yang tidak ada nas, baik secara qai (pasti) maupun zanni
(dugaan), tetapi pada suatu masa telah sepakat (ijma) mujtahidin atas
hukum-hukumnya. Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya
perkawinan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak
ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap muslim wajib mengakui untuk
menjalankannya. Karena hukum yang telah disepakati oleh mujtahdidin itu
adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu menurut Rasulullah SAW
tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin merupakan ulil
amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah SWT menyuruh
hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul
mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma (sepakat) ulama
12 | P a g e

mujtahidin. Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan


yang tidak berdasarkan penelitian.
Hukum yang tidak ada dari nas, baik qati ataupun zanni, dan tidak pula
ada kesepakatan mujtahidin atas hukum itu. Seperti yang banyak terdapat
dalam kitab-kitab fiqih mazhab. Hukum seperti ini adalah hasil pendapat
seorang mujtahid. Pendapat menurut cara yang sesuai denngan akal
pikirannya dan keadaan lingkungannya masing-masing diwaktu terjadinya
peristiwa itu. Hukum-hukum seperti itu tidak tetap, mungkin berubah
dengan berubahnya keadaan atau tinjauannya masing-masing. Maka
mujtahid dimasa kini atau sesduahnya berhak membantah serta
menetapkan hukum yang lain. Sebagaimana mujtahid pertama telah
memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya. Ia pun dapat pula
mengubah hukum itu dengan pendapatnya yang berbeda dengan tinjauan
yang lain, setelah diselidiki dan diteliti kembali pada pokok-pokok
pertimbangannya. Hasil ijtihad seperti ini tidak wajib dijalankan oleh
seluruh muslim. Hanya wajib bagi mujtahid itu sendiri dan bagi orangorang yang meminta fatwa kepadanya, selama pendapat itu belum
diubahnya.
2.9. Cara menyikapi hasil ijtihad yang berbeda-beda
Pengambilan makna dari nash Al-quran (termasuk dari hadis),
mengandung kemungkinan hasil yang berbeda. Oleh karea itu, sikap kita
yang sangat penting terhadap ijtihad hendaknya senantiasa bijaksana. Artinya,
pertama, perbedaan itu harus disadari keberadaannya; kedua, perbedaan itu
dipengaruhi oleh kultur, kondisi, situasi,ruang, dan waktu; ketiga, karena hasil
ijtihad dipengaruhi ruang dan waktu, maka ia belum tentu cocok untuk masa
sekarang. Sama halnya, hasil ijtihad sekarang juga belum tentu cocok untuk
masa yang akan datang dan seterusnya.

13 | P a g e

BAB III
PENUTUP

2.9 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ijtihad ialah berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya,
baik dalam Al Quran maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang
sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukumhukumyang telah ditentukan.
ijtihad memiliki sumber hukum, yaitu ; pertama, ayat al-quran; kedua,
hadis-hadis nabi yang sudah melalui seleksi yang ketat tentang keshahihannya;
ketiga, ijma. Ijtihad untuk menentukan hukum dibenarkan dengan tujuan
kemaslahatan untuk menjawab setiap persoalan yang terjadi.

14 | P a g e

Mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) ialah orang yang memiliki


keahlian dalam hal ini. Mujtahid ada dua macam, pertama mujtahid mutlak dan
kedua mujtahid muttajiz.
Hukum ijtihad Wajib, Sunah, Haram, Makruh,Mubah. Metodologi ijtihad
Istihsan/Istislah, Istishab,Istidlal, Maslahah mursalah, Al Urf, Zarai.
Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilan ijtihad, Hukum yang diambil
dari nash yang tegas, Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya
terhadap hukum-hukum itu, Hukum yang tidak ada nas, baik secara qai (pasti)
maupun zanni (dugaan), tetapi pada suatu masa telah sepakat (ijma) mujtahidin
atas hukum-hukumnya, Hukum yang tidak ada dari nas, baik qati ataupun zanni,
dan tidak pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum itu.
Cara menyikapi hasil ijtihad yang berbeda-beda. Pengambilan makna dari
nash Al-quran (termasuk dari hadis), mengandung kemungkinan

hasil yang

berbeda. Oleh karea itu, sikap kita yang sangat penting terhadap ijtihad hendaknya
senantiasa

bijaksana.

Artinya,

pertama,

perbedaan

itu

harus

disadari

keberadaannya; kedua, perbedaan itu dipengaruhi oleh kultur, kondisi,


situasi,ruang, dan waktu; ketiga, karena hasil ijtihad dipengaruhi ruang dan waktu,
maka ia belum tentu cocok untuk masa sekarang. Sama halnya, hasil ijtihad
sekarang juga belum tentu cocok untuk masa yang akan datang dan seterusnya

DAFTAR PUSTAKA
Prof. DR. H. Aboebakar Atjeh. 1977. Ilmu Fiqh Islam dalam Lima
Mahzab. Jakarta: Islamic Research Institute
H. Kholil Abou Fateh. 2011. Masa-Il Diniyyah 1. Jakarta: Kompilasi Ebook

15 | P a g e

M. Asad, S.Ag. 2013. Modul Agama. Jakarta:


Husni Tohyar. 2011. Pendidikan Agama Islam untuk SMA kelas X. Jakarta : Pusat
Kurikulum dan Pembukuan
Maulana Muhammad Ali. 1935. Islamologi. Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah

16 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai