Anda di halaman 1dari 8

A.

BALITA
B. STATUS GIZI
C. PENGUKURAN STATUS GIZI
Penilaian status gizi adalah perkembangan keadaan gizi menurut hasil pengukuran
terhadap standar yang sesuai individu atau keluarga, masyarakat tertentu. Penilaian status
gizi dapat dilakukan dengan dua metode :

Ada beberapa cara mengukur status gizi anak yaitu dengan pengukuran langsung (klinis,
biokimia, biofisik, dan antropometrik) dan penilaian status gizi secra tidak langsung (survey
konsumsi pangan, sttistik vital dan ekologi). (Supariasa, 2002). Pengukuran status gizi anak
yang paling banyak digunakan adalah pengukuran antropometrik (Soekirman, 2000).
1. Pengukuran langsung
a. Pengukuran Klinis
Pengukuran klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi
masyarakat. Metode ini didasarkan pada perubahan-perubahan yang terjadi yang
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel
seperti kulit, mata, rambut, mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan
permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Metode ini umumnya diguanakan untuk survey
klinis secara cepat (repid clinical survey). Survey ini dirncang untuk mendeteksi secara
cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. (Supariasa,
2002)
b. Pengukuran Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara
laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang
digunakan antara lain : darah, urine, tinja, hati, dan otot. Metode ini digunakan untuk
peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi.
Banyak gejala klinis yang kurang spesifik,maka penentuan kimia, faali dapat lebih
banyak menolong untu menentukan kekurangan gizi yang spesifik (Supariasa,2002).

c. Pengukuran Bifisik
Penilaian status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat
kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dan jaringan.

Metode ini dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemic
(epidemic of night) . Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap (Supariasa, 2002).
d. Pengukuran Antropometrik
Secara umum antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang
gizi, maka antrropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Dalam
pengukuran antropometrik dapat dilakukan beberapa macam pengukuran yaitu
pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan sebagainya. Dari beberapa
pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas sesuai dengan usia
yang paling sering dilakukan dalam survei gizi (Soekirman, 2000). Antropometri secara
umum, digunakan untuk melihat ketdakseimbangan asupan proten dan energy. Ketidak
seimbangan itu terlihat pada pola pertumbhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti
lemak, otot dan jumlah air dalam jaringan tubuh (Supariasa 2002)
Di dalam ilmu gizi, status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB
sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri,tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat
merupakan kombinasi dari ketiganya. Masing-masing indikator mempunyai makna
sendiri-sendiri. Misalnya kombinasi BB dan umur membentuk indikator BB menurut
umur yang disimbolkan dengan BB/U. Kombinasi TB dan umur membentuk indikator
TB menurut umur yang disimbolkan dengan TB/U. Kombinasi BB dan TB membentuk
indikator BB menurut TB yang disimbolkan dengan BB/TB (Soekirman, 2000).
1) Indikator BB/U
Indikator BB/U berguna untuk mengukur status gizi saat ini. Indicator BB/U memberikan
indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang
masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif
dengan umur dan tinggi badan. (Riskesdas,2013). Cara menentukan status gizi ini adalah
dengan membandingkan BB menurut Umur yang ada pada pada table WHO 2005
a) Kelebihan indikator BB/U
Sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka pendek
Dapat mendeteksi kegemukan
Mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum
b) Kelemahan indikator BB/U
Interpretasi status gizi dapat keliru apabila terdapat pembengkakan atau oedem

Kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak tidak dilepas/dikoreksi

dan anak bergerak terus


Masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi orang tua untuk tidak
mau menimbang anaknya karena dianggap seperti barang dagangan

2) Indikator TB/U
Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat
dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat,
dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang
mengakibatkan anak menjadi pendek
a) Kelebihan indikator TB/U
Dapat memberikan gambaran riwayat keadaan gizi masa lampau
Dapat dijadikan indikator sosial ekonomi penduduk
b) Kekurangan indikator TB/U
Kesulitan untuk mengukur panjang badan pada usia balita
Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini
Kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala ukur, terutama jika dilakukan
oleh tenaga non profesional.
3) Indikator BB/TB
Merupakan pengukuran antropometrik yang terbaik. Ukuran ini dapat menggambarkan
status gizi saat ini dengan lebih sensitif. Berat badan berkorelasi linear dengan tinggi
badan artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti
pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu.Dengan demikian berat badan yang
normal akan proposional dengan tinggi badannya (Soekirman 2000).
a) Kelebihan pemakaian indikator BB/TB
Independen terhadap umur dan ras
Dapat menilai status kurus dan gemuk dan keadaan marasmus atau KEP
berat yang lain.
b) Kelemahan pemakaian indikator BB/TB
Kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak yang tidak dilepas dan

anak bergerak terus


Kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang atau tinggi badan pada
kelompok usia balita

Masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi orang tua untuk tidak mau

menimbang anaknya karena dianggap seperti barang dagangan


Kasalahan sering dijumpai pada pembacaan skala ukur,terutama jika dilakukan

oleh petugas non professional


Tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut normal, pendek atau
jangkung

Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi Menurut Indikator BB/U, TB/U dan BB/TB berdasarkan
Table WHO Antro 2005
Indeks
BB/U
Anak umur 0-5 tahun
TB/U
Anak umur 0-5 tahun
BB/TB
Anak umur 0-5 tahun

Kategori Status
Gizi
Gizi Buruk
Gizi Kurang
Gizi Baik
Gizi Lebih
Sangat Pendek
Pendek
Normal
Tinggi
Sangat Kurus
Kurus
Normal
Gemuk

Ambang Batas
(Z-Score)
< - 3 SD
-3 SD sampai dengan < -2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
< -3 SD
< -3SD sampai dengan < - SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
< -3 SD
< -3SD sampai dengan < -2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD

2. Pengukuran secara tidak langsung


Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak
langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi (Supariasa,2002).
Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi
berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat
mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi. Metode survei konsumsi makanan
untuk individu antara lain :
1) Metode recall 24 jam;
2) Metode estimated food record;
3) Metode penimbangan makanan (food weighing);

4) Metode dietary history;dan


5) Metode frekuensi makanan (food frequency)
b. Statistik vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data
beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka
kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan
dengan gizi. Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak
langsung pengukuran status gizi masyarakat (Supariasa,2002)
c. Faktor ekologi
Bengoa menungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai
hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan
yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi, dan
lain-lain. Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui
penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program
intervensi gizi (Supariasa,2002)

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi Status Gizi


Menurut UNICEF (1998) status gizi pada anak balita disebabkan oleh beberapa faktor
yang kemudian diklasifikasikan sebagai penyebab langsung, penyebab tidak langsung,
pokok masalah dan akar masalah.
1. Penyebab Langsung

1. Kejadian Infeksi
Penyakit infeksi akan menyebabkan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu
menghilangkan bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare. Selain itu
penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernapasan dapat juga menurunkan
nafsu makan (Arisman, 2004). Beberapa penyakit infeksi yang mempengaruhi
terjadinyagizi buruk adalah Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas (ISPA) dan
diare. (Iqbal Kabir, dkk. 1994). Menurut Ezzel dan Gordon,(2000) penyakit paruparu kronis juga dapat menyebabkan gizi buruk.
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas) adalah penyakit yang dengan
gejala batuk, mengeluarkan ingus, demam, dan tanpa sesak napas (Priyanti Z,
1996). Diare adalah penyakit dengan gejala buang air besar 4 kali sehari
dengan konsistensi cair dengan atau tanpa muntah (Suandi, 1998).
2. Tingkat Konsumsi Zat Gizi
Gizi kurang merupakan keadaan tidak sehat karena tidak cukup makan dalam
jangka waktu tertentu (Winarto, 1990).Menurut Arnelia & Sri Muljati (1991),
kurangnya jumlah makanan

yang dikonsumsi baik secara kualitas maupun kuantitas dapat menurunkan


status gizi. Konsumsi makanan yang mengandung berbagai zat gizi makro dan mikro sangat
dibutuhkan balita untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Balita akan tumbuh secara
optimal jika asupan makannya dalam jumlah yang cukup, bergizi dan seimbang (Aini dkk,
2013). Anak yang makanannya tidak cukup maka daya tahan tubuhnya akan

melemah dan mudah terserang infeksi.


3. Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan Dasar
Status gizi anak berkaitan dengan keterjangkauan terhadap pelayanan
kesehatan dasar. Anak balita sulit dijangkau oleh berbgai kegiatan perbaikan gizi
dan kesehatan lainnya karena tidak dapat datang sendiri ke tempat berkumpul
yang ditentukan tanpa
diantar (Sediaoetama, 2000). Beberapa aspek pelayanan kesehatan dasar yang
berkaitan
dengan status gizi anak antara lain: imunisasi, pertolongan persalinan,
penimbangan anak, pendidikan kesehatan anak, serta sarana kesehatan seperti
posyandu, puskesmas, rumah sakit, praktek bidan dan dokter. Makin tinggi
jangkauan masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan dasar tersebut di
atas, makin kecil risiko terjadinya penyakit gizi kurang.
4. Ketersediaan Pangan
Penyebab masalah gizi yang pokok di tempat paling sedikit dua pertiga dunia
adalah kurang cukupnya pangan untuk pertumbuhan normal, kesehatan, dan
kegiatan normal. Kurang cukupnya pangan berkaitan dengan ketersediaan
pangan dalam keluarga. Tidak tersedianya pangan dalam keluarga yang terjadi
terus menerus akan menyebabkan terjadinya penyakit kurang gizi (Winarto,
1990).
5. Higiene Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan yang buruk akan menyebabkan anak
lebih mudah terserang penyakit infeksi yang akhirnya dapat
mempengaruhi status gizi (Poedjiadi, 1994). Sanitasi lingkungan
sangat terkait dengan ketersediaan air bersih, ketersediaan
jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makan pada
setiap keluarga. Makin tersedia air bersih untuk kebutuhan seharihari,
makin kecil risiko anak terkena penyakit kurang gizi
(Soekirman, 2000).
6. Pola Pengasuhan Anak
Pola pengasuhan anak adalah kemampuan keluarga dan
masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan
terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya
secara fisik, mental, dan sosial. Bentuk kongkrit pola pengasuhan
anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal
kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat,
menjaga kebersihan, memberikan kasih sayang, dan sebagainya.

Hal tersebut sangat berkaitan dengan kesehatan ibu, status gizi


42
ibu, pendidikan, pengetahuan, dan adat kebiasaan (Soekirman
2000).
7. Jumlah Anggota Keluarga
Keluarga miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan
makanannya jika yang diberi makan jumlahnya sedikit. Pangan
yang tersedia pada sebuah keluarga yang besar mungkin hanya
cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga
tersebut. Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin
merupakan kelompok paling rawan kurang gizi di antara anggota
keluarganya. Anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh
oleh kekurangan pangan. Seandainya anggota keluarga
bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang. Usia 1 -6
tahun merupakan masa yang paling rawan. Kurang energi protein
berat akan sedikit dijumpai pada keluarga yang jumlah anggota
keluarganya lebih kecil (Winarno, 1990).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dini Latief, dkk (2000)
menunjukkan adanya penurunan rata-rata intake energi dan protein
selama terjadi krisis moneter. Distribusi pangan yang dikonsumsi
semakin memburuk pada rumah tangga yang mempunyai anggota
yang cukup besar. Pada rumah tangga yang beranggotakan 6
orang atau lebih menunjukkan tingkat konsumsi pangan yang
memburuk. Pada rumah tangga yang beranggotakan 3 5 orang
43
rata-rata intake energi dan protein masih mendekati nilai yang
dianjurkan.
Selain itu banyak penemuan yang menyatakan bahwa
budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di
berbagai masyarakat dan negara. Unsur-unsur budaya manusia
menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang kadangkadang
bertentangan dengan prinsip gizi. Dalam hal pangan, ada
budaya yang memprioritaskan keluarga tertentu untuk
mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan yaitu
kepala keluarga. Anggota keluarga lain menempati prioritas
berikutnya dan yang paling umum mendapatkan prioritas terakhir
adalah ibu rumah tangga. Apabila hal demikian masih dianut oleh
suatu budaya, maka dapat saja terjadi distribusi pangan yang tidak
baik di antara anggota keluarga. Apabila keadaan tersebut
berlangsung dalam waktu yang lama dapat berakibat timbulnya
masalah gizi kurang di dalam keluarga yang bersangkutan. Apabila
keluarga itu terdiri dari individu-individu yang termasuk dalam
golongan yang rawan gizi seperti ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan
anak-anak balita maka kondisi tersebut akan lebih mendukung
timbulnya gizi kurang (Sayogjo, 1978 ; Tabor, S Steven, dkk, 2000 ;
Oakley, CB, 1997).
44
8. Tingkat Pendapatan

Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi


pertama pada kondisi yang umum di masyarakat. Masalah utama
penduduk miskin pada umumnya sangat tergantung pada
pendapatan per hari yang pada umumnya tidak dapat mencukupi
kebutuhan dasar secara normal. Penduduk miskin cenderung tidak
mempunyai cadangan pangan karena daya belinya rendah. Pada
Tahun 1998, ada 51,0 % rumah tangga di daerah perkotaan dan
47,5 % rumah tangga di daerah pedesaan mengalami masalah
kekurangan konsumsi pangan (Dini Latief, dkk 2000).
Batas kriteria miskin menurut BPS untuk daerah pedesaan
adalah Rp 72.780,00 /kapita/bulan sedangkan untuk daerah
perkotaan Rp 96.959,00 /kapita/bulan (Irawan, 2000).

Anda mungkin juga menyukai