Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit, pada janin dan bayi proses ini berlangsung di
limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya pada sumsum tulang.
Mekanisme Eritropoesis
Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada sumsum tulang. Sel
ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah tepI. Asal sel yang akan terbentuk
selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini akan dapat meghasilkan Unit pembentuk
koloni eritrosit (CFU-E) dan Unit granulosit dan monosit (CFU-GM).
Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas sesuai dengan rangsangan.
Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan banyak sel darah merah matur ya itu
Basofil Eritroblas. Sel ini sedikit sekali mengumpulkan hemoglobin. Selanjutnya sel ini akan
berdifferensiasi menjadi Retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi dengan hemoglobin.
Retikulosit masih mengandung sedikit bahan basofilik. Bahan basofilik ini akan menghilang
dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur.
Apabila sumsum tulang mengalami kelainan, misalnya fibrosis, eritropoesis akan terjadi di
luar sumsum tulang seperti pada lien dan hati maka proses ini disebut juga sebagai
eritropoesis ekstra medule
Faktor yang Mempengaruhi Eritropoesis
Keseimbangan jumlah eritrosit yang beredar di dalam darah mencerminkan adanya
keseimbangan antara pembentukan dan destruksi eritrosit. Keseimbangan ini sangat penting,
karena ketika jumlah eritrosit turun akan terjadi hipoksia dan ketika terjadi kenaikan jumlah
eritrosit akan meningkatkan kekentalan darah.
Untuk mempertahankan jumlah eritrosit dalam rentang hemostasis, sel-sel baru diproduksi
dalam kecepatan yang sangat cepat yaitu lebih dari 2 juta per detik pada orang yang sehat.
Proses ini dikontrol oleh hormone dan tergantung pada pasokan yang memadai dari besi,
asam amino dan vitamin B tertentu.
Hormonal Control
Stimulus langsung untuk pembentukan eritrosit disediakan oleh hormone eritropoetin ( EPO )
dan hormon glikoprotein. Ginjal memainkan peranan utama dalam produksi EPO. Ketika
sel-sel ginjal mengalami hipoksia ( kekurangan O2 ), ginjal akan mempercepat pelepasan
eritropoetin. Penurunan kadar O2 yang memicu pembentukan EPO :
1. Kurangnya jumlah sel darah merah atau destruksi eritrosit yang berlebihan
2. Kurang kadar hemoglobin di dalam sel darah merah ( seperti yang terjadi pada defisiensi
besi )
3. Kurangnya ketersediaan O2 seperti pada daerah dataran tinggi dan pada penderita
pneumonia.
Peningkatan
aktivitas
eritropoesis ini
menambah
jumlah sel darah
merah
dalam
darah, sehingga
terjadi
peningkatan
kapasitas darah
mengangkut O2
dan memulihkan
penyaluran O2
ke jaringan ke
tingkat normal.
Apabila
penyaluran O2
ke ginjal telah
normal, sekresi eritropoetin dihentikan sampai diperlukan kembali. Jadi, hipoksia tidak
mengaktifkan langsung sumsum tulang secara langsung, tapi merangsang ginjal yang
nantinya memberikan stimulus hormone yang akan mengaktifkan sumsum tulang.
Selain itu, testosterone pada pria juga meningkatkan produksi EPO oleh ginjal. Hormone sex
wanita tidak berpengaruh terhadap stimulasi EPO, itulah sebabnya jumlah RBC pada wanita
lebih rendah daripada pria.
Eritropoeitin
-
Sintesis hemoglobin dimulai dalam proeritoblas dan dilanjutkan sedikit dalam reetikulosit.
Hemoglobin terdiri dari suksinil koA yang berikatan dengan glisin untuk membentuk pirol.
Kemudian 4 pirol akan bergabung membentuk protoporfirin IX yang kemudian bergabung
dengan besi membentuk Heme. Setiap molekul Heme ini akan berikatan dengan rantai
polipeptida panjang yang disebut globin. Globin disintesis oleh ribosom. Sifat rantai
hemoglobin menentukan afinitas ikatan hemoglobin terhadap oksigen.
Heme disintesis dari glisin dan suksinil KoA yang berkondensasi dalam reaksi awal
membentuk asam alfa-aminolevulinat .
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengikatan antara oksigen dan hemoglobin adalah suhu,
pH, dan 2,3 bifosfogliserat. Peningkatan pada suhu dan penurunan pH akan menggeser kurva
ke kanan. Jika kurva bergeser kanan maka akan diperlukan PO 2 yang lebih tinggi agar
hemoglobin dapat mengikat sejumlah O2. Penurunan suhu dan peningkatan pH menggeser
kurva oksigen ke kiri dimana diperlukan lebih sedikit PO 2 untuk mengikat sejumlah O2.
Berkurangnya affinitas terhadap O2 ketika pH darah turun sering disebut sebagai reaksi Bohr.
2,3 bifosfogliserat banyak terdapat pada eritrosit, merupakan suatu rantai anion bermuatan
tinggi yang berikatan pada -deoksihaemoglobin. Peningkatan 2,3 bifosfogliserat akan
menggerser kurva ke kanan yang akan mengakibatkan banyak O2 yang dilepas ke jaringan.
2,3 bifosfogliserat akan menurun jika pH darah turun akibat dari terhambatnya proses
glikolisis. Hormon tiroid, pertumbuhan dan androgen akan meningkatkan kadar 2,3
bifosfogliserat
Mendaki ke prmukaan yang lebih tinggi akan meningkatkan kadar 2,3 bifosfogliserat
sehingga terjadi peningkatan penyediaan O2 pada jaringan, hal ini terjadi karena
meningkatnya pH darah.
Kadar 2,3 bifosfogliserat akan meningkat pada anemia dan penyakit yang menimbulkan
hipoksia
kronik.
Keaadaan
ini
akan
memudahkan
pengangkutan O2 ke jaringan melalui
peningkatan PO2 saat O2 dilepaskan di
kapiler perifer.
Karena perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan kurangnya jumlah SDM
dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena perdarahan besar dan dalam waktu
singkat ini secara nisbi jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi karena kecelakaan dan
bahaya yang diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya, segala usaha akan dilakukan
untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin mengembalikan jumlah darah ke keadaan
semula, misalnya dengan tranfusi.
4. Karena otoimun
Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan menghancurkan bagianbagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini sebanarnya tidak seharusnya
terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi terhadap SDM, umur SDM akan
memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh sistem imun.
3.3 Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi morfologi
didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin.
2. Gangguan pematangan
Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang rendah, gangguan
morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks eritrosit yang abnormal. Gangguan
pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu:
a. Gangguan pematangan inti
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik. Penyebab dari
Gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, obat-obatan
yang mempengaruhi metabolisme DNA (seperti metotreksat, alkylating agent), dan
myelodisplasia. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan
ini lebih disebabkan oleh defisiensi asam folat.
b. Gangguan pematangan sitoplasma
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan hipokromik.
Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah defisiensi besi yang berat, gangguan
sintesa globin (misalnya pada thalasemia), dan gangguan sintesa heme (misalnya pada
anemia sideroblastik)
3. Penurunan waktu hidup sel darah merah
Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada kedua keadan
ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat terjadi secara
akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan peningkatan retikulosit yang bermakna
karena diperlukan waktu untuk terjadinya peningkatan eritropoietin dan proliferasi sel dari
sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis gambarannya akan Menyerupai anemia
defisiensi besi.
Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun kronis. Pada
anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien datang bukan karena
keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi yang ditimbulkan oleh pemecahan
sel darah merah dalam jangka waktu lama, seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu
empedu. Pada keadaan yang disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat terjadi secara
episodik (self limiting).
3.4 Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah :
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia hipokrom mikrositer dengan
penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC dan MCH
menurun. MCH < 70 fl hanya didapatkan pada anemia difisiensi besi dan thalassemia mayor.
RDW (red cell
distribution width) meningkat yang menandakan adanya anisositosis.Indeks eritrosit sudah
dapa mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin sering
turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang mencolok karena anemia timbul
perlahan-perlahan. Apusan darah menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis,
poikilositosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan
mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Leukosit
dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan derajat anemia. Pada kasus
ankilostomiasis sering dijumpai eosinofilia.
2. Apus sumsum tulang : Hiperplasia eritropoesis, dengan kelompok kelompok normo-blast
basofil. Bentuk pronormoblast-normoblast kecilkecil, sideroblast.
3. Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat >350
mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.
4. Feritin serum. Sebagian kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum, konsentrasinya
sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya retikuloendotel. Pada anemia defisensi
besi, kadar feritin serum sangat rendah, sedangkan feritin serum yang meningkat
menunjukkan adanya kelebihan besi atau pelepasan feritin berlebihan dari jaringan yang
rusak atau suatu respons fase akut, misalnya pada inflamasi. Kadar feritin serum normal atau
meningkat pada anemia penyakit kronik.
5. TIBC (Total Iron Banding Capacity) meningkat.
6. Feses : Telur cacing Ankilostoma duodenale / Necator americanus.
7. Pemeriksaan lain : endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in loop,
pemeriksaan ginekologi.
LO 4 Memahami dan Menjelaskan tentang Anemia Defisiensi Besi
4.1 Etiologi
Total besi dalam tubuh manusia dewasa sehat berkisar antara 2 gram (pada wanita) hingga 6
gram (pada pria) yang tersebar pada 3 kompartemen,
1). Besi fungsional, seperti hemoglobin, mioglobin, enzim sitokrom, dan katalase,
merupakan 80 % dari total besi yang terkandung jaringan tubuh.
2). Besi cadangan, merupakan 15-20% dari total besi dalam tubuh, seperti feritin dan
hemosiderin.
3). Besi transport, yakni besi yang berikatan pada transferin.
Sumber besi dalam makanan terbagi ke dalam 2 bentuk:
1. Besi heme, terdapat dalam daging dan ikan. Tingkat absorpsinya tinggi (25% dari
Kandungan besinya dapat diserap) karena tidak terpengaruh oleh faktor penghambat.
2. Besi non-heme, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tingkat absorpsi rendah (hanya 1-2% dari
kandungan besinya yang dapat diserap). Mekanisme absorpsinya sangat rumit dan belum
sepenuhnya dimengerti. Absorpsi sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pemacu absorpsi
(meat factors, vitamin C) dan faktor penghambat (serat, phytat, tanat).
Besi, yang didapatkan dari makanan, memiliki nilai Recommended Dietary Allowance
(RDA) 10 mg untuk pria dewasa dan wanita pascamenopause, serta 15 mg untuk wanita
pramenopause.Besi dalam daging berada dalam bentuk hem, yang mudah diserap. Besi
nonhem dalam tumbuhan tidak mudah diserap, sebagian karena tumbuhan seringkali
mengandung oksalat, fitat, tannin, dan senyawa fenolik lain yang membentuk kelat atau
presipitat dengan besi yang tidak dapat larut, sehingga mencegah penyerapAnnya.
Di pihak lain, vitamin C (asam askorbat) meningkatkan penyerapan besi non-hem dari
saluran cerna. Penyerapan besi juga meningkat pada waktu dibutuhkan dengan mekanisme
yang belum diketahui. Besi diserap dalam bentuk fero (Fe2+) .Karena bersifat toksik, di
dalam tubuh besi bebas biasanya terikat ke protein . Besi diangkut di dalam darah (sebagai Fe
3+ ) oleh protein, apotransferin. Besi membentuk kompleks dengan apotransferin menjadi
transferin. Besi dioksidasi dari Fe 2+ menjadi Fe 3+ oleh feroksidase yang dikenal sebagai
seruloplasmin (enzim yang mengandung tembaga). Tingkat saturasi transferin oleh besi
biasanya hanya sepertiga. Kapasitas total darah mengikat besi, yang terutama disebabkan
oleh kandungan transferinnya, adalah sekitar 300 g/dL.Penyimpanan besi terjadi di
sebagian besar sel tetapi terutama di hati, limpa, dan sumsum tulang. Dalam sel-sel ini,
protein penyimpan, apoferitin, membentuk kompleks dengan besi (Fe 3+) yang dikenal
sebagai feritin. Dalam keadaan normal, hanya terdapat sedikit feritin di dalam darah. Namun,
jumlah ini meningkat seiring dengan peningkatan simpanan besi. Dengan demikian, jumlah
feritin di dalam darah adalah indicator paling peka mengenai jumlah besi yang tersimpan di
dalam tubuh. Besi dapat diambil dari simpanan feritin, diangkut dalam darah sebagai
transferin, dan disera oleh sel yang memerlukan besi melalui proses endositosis yang
diperatarai oleh resptor (misalnya oleh retikulosit yang sedang membentuk hemoglobin).
Apabila terjadi penyerapan besi berlebihan dari makanan, kelebihan tersebut disimpan
sebagai hemosiderin, suatu bentuk feritin yang membentuk kompleks dengan besi tambahan
yang tidak mudah dimobilisasi segera.
1.
Pertumbuhan
b.
c.
Menstruasi
d.
e.
Asupan besi tidak memadai (bayi diet susu selama 12-24 bulan)
f.
Vegetarian ketat
g.
h.
2.
3.
b.
4.
Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB pada akhir masa
fetus dan awal neonatus.
5.
Hemoglobinuria
Biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup jantung buatan, kehilangan besi
melalui urin rata-rata 1.8 7.8 mg/hari
6.
7.
8.
Latihan berlebihan
Pada atlet olahraga berat (lintas alam), 40% remaja perempuan dan 17% remaja laki-laki
kadar feritin serumnya < 10 ug/dL. Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak akibat
ishcemia yang hilang timbul pada usus selama latihan berat terjadi pada 50% pelari.
4.2 Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan terutama di
negara berkembang. Penyebabnya antara lain:
o
Faktor nutrisi: rendahnya asupan besi total dalam makanan atau bioavailabilitas besi
yang dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat,rendah daging, dan rendah
vitamin C).
o
Kebutuhan yang meningkat, seperti pada bayi prematur, anak dalam pertumbuhan, ibu
hamil dan menyusui.
o
Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, colitis kronik, atau achlorhydria.
o
Kehilangan besi akibat perdarahan kronis, misalnya: perdarahan tukak peptik,
keganasan lambung/kolon, hemoroid, infeksi cacing tambang,menometrorraghia,
Hematuria, atau hemaptoe
METABOLISME BESI
Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase:
o Fase Luminal
Besi dalam makanan diolah oleh lambung (asam lambung menyebabkan heme terlepas dari
apoproteinnya) hingga siap untuk diserap.
o Fase Mukosal
Proses penyerapan besi di mukosa usus. Bagian usus yang berperan penting pada absorpsi
besi ialah duodenum dan jejunum proksimal. Namun sebagian kecil juga terjadi di gaster,
ileum dan kolon. Penyerapan besi dilakukan oleh sel absorptive yang terdapat pada puncak
vili usus. Besi heme yang telah dicerna oleh asam lambung langsung diserap oleh sel
absorptive, sedangkan untuk besi nonheme mekanisme yang terjadi sangat kompleks.
etidaknya terdapat 3 protein yang terlibat dalam transport besi non heme dari lumen usus ke
sitoplasma sel absorptif. Luminal mucin berperan untuk mengikat besi nonheme agar tetap
larut dan dapat diserap meskipun dalam suasana alkalis duodenum. Agar dapat memasuki sel,
pada brush border sel terjadi perubahan besi feri menjadi fero oleh enzim feri reduktase yang
diperantarai oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor 10 melalui
membrane difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT-1 atau Nramp-2). Sesampainya di
sitoplasma sel usus, protein sitosol (mobilferrin) menangkap besi feri. sebagian besar besi
akan disimpan dalam bentuk feritin dalam mukosa sel usus, sebagian kecil diloloskan ke
dalam kapiler usus melalui basolateral transporter (ferroportin atau IREG 1). Besi yang
diloloskan akan mengalami reduksi dari molekul fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase,
kemudian berikatan dengan apotransferin dalam kapiler usus.
o Fase corporeal
Meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel yang membutuhkan,
dan penyimpanan besi di dalam tubuh. Dalam sirkulasi, besi tidak pernah berada dalam
bentuk logam bebas, melainkan berikatan dengan suatu glikoprotein (-globulin) pengikat
besi yang diproduksi oleh hepar (transferin). Besi bebas memiliki sifat seperti radikal bebas
dan dapat merusak jaringan. Transferin berperan mengangkut besi kepada sel yang
membutuhkan terutama sel progenitor eritrosit (normoblas) pada sumsum tulang. Permukaan
normoblas memiliki reseptor transferin yang afinitasnya sangat tinggi
terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke dalam sel melalui proses
endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan baku pembentukan
hemoglobin. Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks
besiapoferitin) dan hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum
tulang, dan otot skelet. Pada hepar feritin terutama berasal dari transferin dan tersimpan pada
sel parenkimnya, sedangkan pada organ yang lain, feritin terutama terdapat pada sel fagosit
mononuklear (makrofag monosit) dan berasal dari 11 pembongkaran eritrosit. Bila jumlah
total besi melebihi kemampuan apoferitin untuk menampungnya maka besi disimpan dalam
bentuk yang tidak larut (hemosiderin).
Bila jumlah besi plasma sangat rendah, besi sangat mudah dilepaskan dari feritin, tidak
demikian pada hemosiderin. Feritin dalam jumlah yang sangat kecil terdapat dalam plasma,
bila kadar ini dapat terdeteksi menunjukkan cukupnya cadangan besi dalam tubuh.
Berdasarkan beratnya kekurangan besi dalam tubuh, defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3
tingkatan:
1. Deplesi besi (iron depleted state)
Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis belum
terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan absorpsi besi dari usus,
dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang.
2. Iron deficient Erythropoiesis
Cadangan besi dalam tubuh kosong, tetapi belum menyebabkan anemia secara laboratorik
karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang melakukan mekanisme
mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-cabik,
bahkan ditemukan normoblas yang tidak memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu
kelainan pertama yang dapat dijumpai adalah penigkatan kadar free protoporfirin dalam
eritrosit, saturasi transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat.
Parameter lain yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.
3. Anemia defisiensi besi
Bila besi terus berkurang eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga kadar hemoglobin
menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya terjadi anemia hipokrom mikrositer.
Pada saat ini terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan beberapa enzim sehingga
menimbulkan berbagai gejala.
Beberapa dampak negatif defisiensi besi, disamping terjadi anemia, antara lain:
1. Sistem neuromuskuler
Terjadi penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan gliserofosfat oksidase yang
menyebabkan gangguan glikolisis sehingga terjadi penumpukan asam laktat yang
mempercepat kelelahan otot.
2. Gangguan perkembangan kognitif dan non kognitif pada anak
Terjadi karena gangguan enzim aldehid oksidase dan monoamin oksidase, sehingga
mengakibatkan penumpukan serotonin dan katekolamin dalam otak.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas.
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB:
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
1.
2.
3.
4.
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, feritin serum dan FEP) harus
dipenuhi.
Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui:
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar
MCV, MCH, dan MCHC yang menurun Red cell distribution width (RDW) > 17%
2. FEP meingkat
3. Feritin serum menurun
4. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 16%
5. Respon terhadap pemberian preparat besi
Retikulosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian besi
Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dl/hari atau PCV meningkat
1%/hari
6. Sumsum tulang
Tertundanya maturasi sitoplasma
Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang
Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat besi.
Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat respons
hemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 6
mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl maka dapat
dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.
Diagnosis banding
Pemeriksaan lab
ADB
MCV
Fe serum
TIBC
Saturasi transferin
FEP
Feritin serum
Thalasemia minor
N
N
N
N
N
Anemia
kronik
N/
N/
penyakit
Diagnosis banding yang lainnya adalah dengan anemia sideroblastik dan keracunan
timbal. Cara membedakan ADB dengan thalasemia salah satunya dengan
MCV
Eritrosit
Jika hasilnya : < 13 menunjukkan thalasemia minor
Pucat
Stomatitis angularis
Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun (fungsi leukosit tidak normal)
Rambut rapuh
(hemoglobin,
hematokrit,
lekosit,
trombosit,
hitung
b. Mean
corpuscular
volume
(MCV),
mean
corpuscularhemoglobin
(MCH),meancorpuscular hemoglobin (MCHC),dan red cells distribution width
c.
Gambaran apus darah
tepi
Menunjukan
hipokromik
mikrositer,
anisositosis,
dan
berat derajat anemia semakin berat derajat
terjadi
anemia
polikilositosis. Semakin
hipokromia.
Jika
hipokromia
maka sel tampak sebagai
sebuah
cincin sehingga disebut sel cincin (ring cell) atau memanjang seperti elips yang
disebut sebagai sel pensil. Kadang-kadang dijumpai sel target.
4.7 Penatalaksanaan
1. Terapi kausal: tergantung penyebab penyakitnya, misalnya: pengobatan cacing tambang,
pengobatan hematoid. Terapi ini harus dilakukan, apabila tidak dilakukan maka anemia
akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk pengganti kekurangan besi dalam tubuh:
a) Besi peroral
ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferros succinate (lebih
mahal)
Sebaiknya diberikan pada saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih banyak dibanding
setelah makan. Efek sampingnya yaitu mual, muntah, serta konstipasi. Pengobatan diberikan
selama 6 bulan setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Kalau
tidak, maka akan kembali kambuh.
b) Besi parenteral
Efek sampingnya lebih berbahaya, dan harganya lebih mahal, indikasi:
Kolitis ulserativa
Preparat yang tersedia: iron dextran complex, iron sorbital citric acid complex diberikan
secara intramuskuler atau intravena pelan.
Efek samping: reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut,
dan sinkop.
c) Pengobatan lain
4.7 Komplikasi
Komplikasi seperti pada anemia yang lain apabila anemianya berat maka akan timbul
komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa dekompensatio cordis. Komplikasi lain yang
mungkin terjadi adalah komplikasi dari traktus gastrointestinal berupa keluhan epigastric
distress atau stomatis.
4.9 Pencegahan
Beberapa tindakan penting yang dapat dilakukan untuk mencegah kekurangan besi pada awal
kehidupan adalah sebagai berikut :
Memberi bayi makanan yang mengandung besi serta makanan yang kaya dengan asam
askorbat (jus buah).
Pada anak Fe berasal dari ASI dan penyerapannya lebih efisien daripada Fe yang
berasal dari susu sapi (ditunda hingga umur 1 tahun dikarenakan perdarahan saluran
cerna yang tersamarkan)
Pemberian makanan kaya vitamin C dan memperkenalkan makanan padat mulai pada
usia 4-6 bulan
Meningkatkan penyerapan
Menurunkan penyerapan
Asam tanat (teh dan kopi), kalsium, fitat, beras, kunung telur, polifenol, oksalat, dan
obat-obatan (antasid, tetrasiklin, dan kolestiramin)
Penyuluhan kesehatan
Konsneling pada ibu atau orang sekitar untuk memilih bahan makanan dengan kadar
besi cukup sejak bayi sampai remaja
Suplementasi besi pada populasi rentan (ibu hamil dan anak balita)
Skirining anemia
pemeriaksaan hb, ht pada bayi baru lahir dan pada bayi kurang bulan ( prematur )
Sebaiknya dilakukan pada usia 12 bulan dengan pemeriksaan hemoglobin (Hb) dan
penilaian risiko defisiensi besi atau anemia defisiensi besi.