Anda di halaman 1dari 18

LO 1 Memahami dan Menjelaskan tentang Eritropoiesis

Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit, pada janin dan bayi proses ini berlangsung di
limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya pada sumsum tulang.
Mekanisme Eritropoesis
Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada sumsum tulang. Sel
ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah tepI. Asal sel yang akan terbentuk
selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini akan dapat meghasilkan Unit pembentuk
koloni eritrosit (CFU-E) dan Unit granulosit dan monosit (CFU-GM).
Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas sesuai dengan rangsangan.
Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan banyak sel darah merah matur ya itu
Basofil Eritroblas. Sel ini sedikit sekali mengumpulkan hemoglobin. Selanjutnya sel ini akan
berdifferensiasi menjadi Retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi dengan hemoglobin.
Retikulosit masih mengandung sedikit bahan basofilik. Bahan basofilik ini akan menghilang
dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur.

Apabila sumsum tulang mengalami kelainan, misalnya fibrosis, eritropoesis akan terjadi di
luar sumsum tulang seperti pada lien dan hati maka proses ini disebut juga sebagai
eritropoesis ekstra medule
Faktor yang Mempengaruhi Eritropoesis
Keseimbangan jumlah eritrosit yang beredar di dalam darah mencerminkan adanya
keseimbangan antara pembentukan dan destruksi eritrosit. Keseimbangan ini sangat penting,
karena ketika jumlah eritrosit turun akan terjadi hipoksia dan ketika terjadi kenaikan jumlah
eritrosit akan meningkatkan kekentalan darah.
Untuk mempertahankan jumlah eritrosit dalam rentang hemostasis, sel-sel baru diproduksi
dalam kecepatan yang sangat cepat yaitu lebih dari 2 juta per detik pada orang yang sehat.
Proses ini dikontrol oleh hormone dan tergantung pada pasokan yang memadai dari besi,
asam amino dan vitamin B tertentu.
Hormonal Control
Stimulus langsung untuk pembentukan eritrosit disediakan oleh hormone eritropoetin ( EPO )
dan hormon glikoprotein. Ginjal memainkan peranan utama dalam produksi EPO. Ketika
sel-sel ginjal mengalami hipoksia ( kekurangan O2 ), ginjal akan mempercepat pelepasan
eritropoetin. Penurunan kadar O2 yang memicu pembentukan EPO :
1. Kurangnya jumlah sel darah merah atau destruksi eritrosit yang berlebihan
2. Kurang kadar hemoglobin di dalam sel darah merah ( seperti yang terjadi pada defisiensi
besi )
3. Kurangnya ketersediaan O2 seperti pada daerah dataran tinggi dan pada penderita
pneumonia.

Peningkatan
aktivitas
eritropoesis ini
menambah
jumlah sel darah
merah
dalam
darah, sehingga
terjadi
peningkatan
kapasitas darah
mengangkut O2
dan memulihkan
penyaluran O2
ke jaringan ke
tingkat normal.
Apabila
penyaluran O2
ke ginjal telah
normal, sekresi eritropoetin dihentikan sampai diperlukan kembali. Jadi, hipoksia tidak
mengaktifkan langsung sumsum tulang secara langsung, tapi merangsang ginjal yang
nantinya memberikan stimulus hormone yang akan mengaktifkan sumsum tulang.
Selain itu, testosterone pada pria juga meningkatkan produksi EPO oleh ginjal. Hormone sex
wanita tidak berpengaruh terhadap stimulasi EPO, itulah sebabnya jumlah RBC pada wanita
lebih rendah daripada pria.

Eritropoeitin
-

Dihasilkan oleh: sel interstisial peritubular ginjal,hati


Stimulus pembentukan eritroprotein: tekanan O2 dalam jaringan ginjal.
penyaluran O2 ke ginjal merangsang ginjal mengeluarkan hormon eritropoetin ke dalam
darah merangsang eritropoiesis di sumsum tulang dengan merangsang proliferasi dan
pematangan eritrosit jumlah eritrosit meningkatkapasitas darah mengangkut O 2 dan

penyaluran O2 ke jaringan pulih ke tingkat normal stimulus awal yang mencetuskan


sekresi eritropoetin hilang sampai diperlukan kembali.
Pasokan O2 ke jaringan akibat peningkatan massa eritrosit/Hb dapat lebih mudah
melepaskan O2 : stimulus eritroprotein turun
Fungsi: mempertahankan sel-sel precursor dengan memungkin sel-sel tsb terus berproliferasi
menjadi elemen-elemen yg mensintesis Hb.
Bekerja pada sel-sel tingkat G1
Hipoksia: rangsang fisiologis dasar untuk eritropoeisis karena suplai O 2 & kebutuhan
mengatur pembentukan eritrosit.
LO 2 Memahami dan Menjelaskan tentang Hemoglobin
Hemoglobin adalah molekul protein pada sel arah merah yang berfungsi sebagai media
transport oksigen dari paru paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa karbondioksida dari
jaringan tubuh ke paru-paru. Kandungan zat besi yang terdapat dalam hemoglobin membuat
darah bewarna merah. Nilai normal hemoglobin adalah sebagai berikut:
Anak-anak
11 13 gr/dl
Lelaki dewasa
14 18 gr/dl
Wanita dewasa 12 16 gr/dl
Jika nilainya kurang dari nilai diatas bisa dikatakan anemia, dan apabila nilainya kelebihan
akan mengakibatkan polinemis.
Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu molekul
organik dengan satu atom besi. Hemoglobin tersusun dari empat molekul protein (globulin
chain) yang terhubung satu sama lain. Hemoglobin normal orang dewasa (HbA) terdiri dari 2
alpha-globulin chains dan 2 beta-globulin chains, sedangkan pada bayi yang masih dalam
kandungan atau yang sudah lahir terdiri dari beberapa rantai beta dan molekul
hemoglobinnya terbentuk dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gama yang dinamakan sebagai HbF.
Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung 4 subunit protein), yang
terdiri dari masing-masing dua subunit alfa dan beta yang terikat secara nonkovalen. Subunitsubunitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir sama.
Pada pusat molekul terdapat cincin heterosiklik yang dikenal dengan porfirin yang menahan
satu atom besi; atom besi ini merupakan situs/loka ikatan oksigen. Porfirin yang mengandung
besi disebut heme Tiap subunit hemoglobin mengandung satu heme, sehingga secara
keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat molekul oksigen. Pada molekul heme
inilah zat besi melekat dan menghantarkan oksigen serta karbondioksida melalui darah, zat
ini pula yang menjadikan darah kita berwarna merah.

Sintesis hemoglobin dimulai dalam proeritoblas dan dilanjutkan sedikit dalam reetikulosit.
Hemoglobin terdiri dari suksinil koA yang berikatan dengan glisin untuk membentuk pirol.
Kemudian 4 pirol akan bergabung membentuk protoporfirin IX yang kemudian bergabung
dengan besi membentuk Heme. Setiap molekul Heme ini akan berikatan dengan rantai
polipeptida panjang yang disebut globin. Globin disintesis oleh ribosom. Sifat rantai
hemoglobin menentukan afinitas ikatan hemoglobin terhadap oksigen.
Heme disintesis dari glisin dan suksinil KoA yang berkondensasi dalam reaksi awal
membentuk asam alfa-aminolevulinat .

Reaksi haemoglobin dengan O2 menjadikanya sebagai suatu sistem pengangkut O2 yang


tepat.Hem yang merupakan ssusunan dari porfirin dengan inti fero. Masing masing dari tiap
atom fero. Dalam pengikatan ini ion besi tetap berbentuk ferro karena itu reaksi yang terjadi
dengan O2 adalah reaksi oksigenasi.Hb4 + 4 O2 Hb4O. Reaksi pengikatan ini berlangsung
sangat cepat dan membutuhkan waktu kurang dari 0,01 detik
Pada proses pengikatan O2 terbentuklah konfigurasi rilex yang akan memaparkan lebih
banyak tempat pengikatan O2.Dapat meningkatkan affinitas terhadap O2 hingga 500 kali lipat.
Pada reaksi deoksihemoglobin unit globin akan terikat erat dalam konfigurasi tense / tegang
yang akan menurunkan affinitas terhadap O2.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengikatan antara oksigen dan hemoglobin adalah suhu,
pH, dan 2,3 bifosfogliserat. Peningkatan pada suhu dan penurunan pH akan menggeser kurva
ke kanan. Jika kurva bergeser kanan maka akan diperlukan PO 2 yang lebih tinggi agar
hemoglobin dapat mengikat sejumlah O2. Penurunan suhu dan peningkatan pH menggeser
kurva oksigen ke kiri dimana diperlukan lebih sedikit PO 2 untuk mengikat sejumlah O2.
Berkurangnya affinitas terhadap O2 ketika pH darah turun sering disebut sebagai reaksi Bohr.
2,3 bifosfogliserat banyak terdapat pada eritrosit, merupakan suatu rantai anion bermuatan
tinggi yang berikatan pada -deoksihaemoglobin. Peningkatan 2,3 bifosfogliserat akan
menggerser kurva ke kanan yang akan mengakibatkan banyak O2 yang dilepas ke jaringan.
2,3 bifosfogliserat akan menurun jika pH darah turun akibat dari terhambatnya proses
glikolisis. Hormon tiroid, pertumbuhan dan androgen akan meningkatkan kadar 2,3
bifosfogliserat
Mendaki ke prmukaan yang lebih tinggi akan meningkatkan kadar 2,3 bifosfogliserat
sehingga terjadi peningkatan penyediaan O2 pada jaringan, hal ini terjadi karena
meningkatnya pH darah.
Kadar 2,3 bifosfogliserat akan meningkat pada anemia dan penyakit yang menimbulkan
hipoksia
kronik.
Keaadaan
ini
akan
memudahkan
pengangkutan O2 ke jaringan melalui
peningkatan PO2 saat O2 dilepaskan di
kapiler perifer.

LO 3 Memahami dan Menjelaskan tentang Anemia


3.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell
mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah
yang cukup ke jaringan perifer.
Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar
hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normalhemoglobin sangat
bervariasi secara fisiologis tergantung jenis kelamin, usia,kehamilan dan ketinggian tempat
tinggal.
Kriteria anemia menurut WHO adalah:
1. Laki-laki dewasa < 13 g/dl

2. Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl


3. Wanita hamil < 11 g/dl
3.2 Etiologi
1

Karena cacat sel darah merah (SDM)


Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiap-tiap komponen
ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan menimbulkan masalah bagi SDM sendiri,
sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan dengan cepat mengalami penuaan
dan segera dihancurkan. Pada umumnya cacat yang dialami SDM menyangkut senyawasenyawa protein yang menyusunnya. Oleh karena kelainan ini menyangkut protein,
sedangkan sintesis protein dikendalikan oleh gen di DNA.

Karena kekurangan zat gizi


Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh faktor
luar tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena kelainan dalam SDM
disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel tersebut. Anemia jenis ini tidak dapat
diobati, yang dapat dilakukan adalah hanya memperpanjang usia SDM sehingga mendekati
umur yang seharusnya, mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya mengurangi penyulit
yang terjadi.
3

Karena perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan kurangnya jumlah SDM
dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena perdarahan besar dan dalam waktu
singkat ini secara nisbi jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi karena kecelakaan dan
bahaya yang diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya, segala usaha akan dilakukan
untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin mengembalikan jumlah darah ke keadaan
semula, misalnya dengan tranfusi.
4. Karena otoimun
Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan menghancurkan bagianbagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini sebanarnya tidak seharusnya
terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi terhadap SDM, umur SDM akan
memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh sistem imun.
3.3 Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi morfologi
didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin.

Menurut etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu


A. Gangguan produksi sel darah merah pada sumsum tulang (hipoproliferasi)
B. Gangguan pematangan sel darah merah (eritropoiesis yang tidak efektif), dan
C. Penurunan waktu hidup sel darah merah (kehilangan darah atau hemolisis
1. Hipoproliferatif
Hipoproliferatif merupakan penyebab anemia yang terbanyak. Anemia hipoproliferatif ini
dapat disebabkan karena:
a. Kerusakan sumsum tulang
Keadaan ini dapat disebabkan oleh obat-obatan, penyakit infiltratif (contohnya: leukemia,
limfoma), dan aplasia sumsum tulang.
b. Defisiensi besi
c. Stimulasi eritropoietin yang inadekuat keadaan ini terjadi pada gangguan fungsi ginjal
d. Supresi produksi EPO yang disebabkan oleh sitokin inflamasi(misalnya: interleukin 1)
e. Penurunan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (misalnya pada keadaan hipotiroid)
Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom normositer, namun dapat pula
ditemukan gambaran eritrosit yang hipokrom mikrositer, yaitu pada defisiensi besi ringan
hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan tersebut dapat dibedakan melalui
pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat besi.

2. Gangguan pematangan
Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang rendah, gangguan
morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks eritrosit yang abnormal. Gangguan
pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu:
a. Gangguan pematangan inti

Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik. Penyebab dari
Gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, obat-obatan
yang mempengaruhi metabolisme DNA (seperti metotreksat, alkylating agent), dan
myelodisplasia. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan
ini lebih disebabkan oleh defisiensi asam folat.
b. Gangguan pematangan sitoplasma
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan hipokromik.
Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah defisiensi besi yang berat, gangguan
sintesa globin (misalnya pada thalasemia), dan gangguan sintesa heme (misalnya pada
anemia sideroblastik)
3. Penurunan waktu hidup sel darah merah
Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada kedua keadan
ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat terjadi secara
akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan peningkatan retikulosit yang bermakna
karena diperlukan waktu untuk terjadinya peningkatan eritropoietin dan proliferasi sel dari
sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis gambarannya akan Menyerupai anemia
defisiensi besi.
Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun kronis. Pada
anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien datang bukan karena
keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi yang ditimbulkan oleh pemecahan
sel darah merah dalam jangka waktu lama, seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu
empedu. Pada keadaan yang disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat terjadi secara
episodik (self limiting).
3.4 Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah :
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia hipokrom mikrositer dengan
penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC dan MCH
menurun. MCH < 70 fl hanya didapatkan pada anemia difisiensi besi dan thalassemia mayor.
RDW (red cell
distribution width) meningkat yang menandakan adanya anisositosis.Indeks eritrosit sudah
dapa mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin sering
turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang mencolok karena anemia timbul
perlahan-perlahan. Apusan darah menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis,
poikilositosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan
mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Leukosit
dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan derajat anemia. Pada kasus
ankilostomiasis sering dijumpai eosinofilia.
2. Apus sumsum tulang : Hiperplasia eritropoesis, dengan kelompok kelompok normo-blast
basofil. Bentuk pronormoblast-normoblast kecilkecil, sideroblast.
3. Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat >350
mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.
4. Feritin serum. Sebagian kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum, konsentrasinya
sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya retikuloendotel. Pada anemia defisensi
besi, kadar feritin serum sangat rendah, sedangkan feritin serum yang meningkat
menunjukkan adanya kelebihan besi atau pelepasan feritin berlebihan dari jaringan yang

rusak atau suatu respons fase akut, misalnya pada inflamasi. Kadar feritin serum normal atau
meningkat pada anemia penyakit kronik.
5. TIBC (Total Iron Banding Capacity) meningkat.
6. Feses : Telur cacing Ankilostoma duodenale / Necator americanus.
7. Pemeriksaan lain : endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in loop,
pemeriksaan ginekologi.
LO 4 Memahami dan Menjelaskan tentang Anemia Defisiensi Besi
4.1 Etiologi
Total besi dalam tubuh manusia dewasa sehat berkisar antara 2 gram (pada wanita) hingga 6
gram (pada pria) yang tersebar pada 3 kompartemen,
1). Besi fungsional, seperti hemoglobin, mioglobin, enzim sitokrom, dan katalase,
merupakan 80 % dari total besi yang terkandung jaringan tubuh.
2). Besi cadangan, merupakan 15-20% dari total besi dalam tubuh, seperti feritin dan
hemosiderin.
3). Besi transport, yakni besi yang berikatan pada transferin.
Sumber besi dalam makanan terbagi ke dalam 2 bentuk:
1. Besi heme, terdapat dalam daging dan ikan. Tingkat absorpsinya tinggi (25% dari
Kandungan besinya dapat diserap) karena tidak terpengaruh oleh faktor penghambat.
2. Besi non-heme, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tingkat absorpsi rendah (hanya 1-2% dari
kandungan besinya yang dapat diserap). Mekanisme absorpsinya sangat rumit dan belum
sepenuhnya dimengerti. Absorpsi sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pemacu absorpsi
(meat factors, vitamin C) dan faktor penghambat (serat, phytat, tanat).

Besi, yang didapatkan dari makanan, memiliki nilai Recommended Dietary Allowance
(RDA) 10 mg untuk pria dewasa dan wanita pascamenopause, serta 15 mg untuk wanita
pramenopause.Besi dalam daging berada dalam bentuk hem, yang mudah diserap. Besi
nonhem dalam tumbuhan tidak mudah diserap, sebagian karena tumbuhan seringkali
mengandung oksalat, fitat, tannin, dan senyawa fenolik lain yang membentuk kelat atau
presipitat dengan besi yang tidak dapat larut, sehingga mencegah penyerapAnnya.
Di pihak lain, vitamin C (asam askorbat) meningkatkan penyerapan besi non-hem dari
saluran cerna. Penyerapan besi juga meningkat pada waktu dibutuhkan dengan mekanisme

yang belum diketahui. Besi diserap dalam bentuk fero (Fe2+) .Karena bersifat toksik, di
dalam tubuh besi bebas biasanya terikat ke protein . Besi diangkut di dalam darah (sebagai Fe
3+ ) oleh protein, apotransferin. Besi membentuk kompleks dengan apotransferin menjadi
transferin. Besi dioksidasi dari Fe 2+ menjadi Fe 3+ oleh feroksidase yang dikenal sebagai
seruloplasmin (enzim yang mengandung tembaga). Tingkat saturasi transferin oleh besi
biasanya hanya sepertiga. Kapasitas total darah mengikat besi, yang terutama disebabkan
oleh kandungan transferinnya, adalah sekitar 300 g/dL.Penyimpanan besi terjadi di
sebagian besar sel tetapi terutama di hati, limpa, dan sumsum tulang. Dalam sel-sel ini,
protein penyimpan, apoferitin, membentuk kompleks dengan besi (Fe 3+) yang dikenal
sebagai feritin. Dalam keadaan normal, hanya terdapat sedikit feritin di dalam darah. Namun,
jumlah ini meningkat seiring dengan peningkatan simpanan besi. Dengan demikian, jumlah
feritin di dalam darah adalah indicator paling peka mengenai jumlah besi yang tersimpan di
dalam tubuh. Besi dapat diambil dari simpanan feritin, diangkut dalam darah sebagai
transferin, dan disera oleh sel yang memerlukan besi melalui proses endositosis yang
diperatarai oleh resptor (misalnya oleh retikulosit yang sedang membentuk hemoglobin).
Apabila terjadi penyerapan besi berlebihan dari makanan, kelebihan tersebut disimpan
sebagai hemosiderin, suatu bentuk feritin yang membentuk kompleks dengan besi tambahan
yang tidak mudah dimobilisasi segera.
1.

Kebutuhan meningkat secara fisiologis


a.

Pertumbuhan

b.

Periode pertumbuhan cepat pada umur 1 tahun hingga masa remaja.

c.

Menstruasi

d.

Peningkatan kebutuhan besi selama masa kehamilan (meningkatnya volume darah,


pembentukan plasenta, tali pusat, janin dan mengimbangi darah yang hilang selama
persalinan)

e.

Asupan besi tidak memadai (bayi diet susu selama 12-24 bulan)

f.

Vegetarian ketat

g.

Gangguan absorpsi setelah gastrektomi

h.

Kehilangan darah menetap (perdarahan saluran cerna)

2.

3.

Kurangnya besi yang diserap


a.

Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat.

b.

Malabsopsi besi (perubahan histologi dan fungsional pada mukosa usus)


Perdarahan
Kehilangan 1 ml darah akan mengakibatkan kehilangan besi 0.5 mg, sehingga
kehilangan darah 3-4 ml / hari (1.5-2 mg besi) dapat mengakibatkan ketidakseimbangan
besi. Pendarahan dapat beruapa pendarahan saluran cerna, milk induced enteropathy,
ulkus peptikum, obat-obatan (asam asetil salisilat, kortikosteroid, indometasin, OANIS)
dan infeksi cacing (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus).

4.

Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB pada akhir masa
fetus dan awal neonatus.

5.

Hemoglobinuria
Biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup jantung buatan, kehilangan besi
melalui urin rata-rata 1.8 7.8 mg/hari

6.

Latrogenic blood loss


Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium beresiko
ADB

7.

Idiopathic pulmonary hemosiderosis


Jarang terjadi, ditandai dengan perdarahan paru hebat dan berulang serta adanya infiltrat
pada paru yang hilang timbul sehingga menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga
1.5 3 g/dL dalam 24 jam.

8.

Latihan berlebihan
Pada atlet olahraga berat (lintas alam), 40% remaja perempuan dan 17% remaja laki-laki
kadar feritin serumnya < 10 ug/dL. Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak akibat
ishcemia yang hilang timbul pada usus selama latihan berat terjadi pada 50% pelari.

4.2 Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan terutama di
negara berkembang. Penyebabnya antara lain:
o
Faktor nutrisi: rendahnya asupan besi total dalam makanan atau bioavailabilitas besi
yang dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat,rendah daging, dan rendah
vitamin C).
o
Kebutuhan yang meningkat, seperti pada bayi prematur, anak dalam pertumbuhan, ibu
hamil dan menyusui.
o
Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, colitis kronik, atau achlorhydria.
o
Kehilangan besi akibat perdarahan kronis, misalnya: perdarahan tukak peptik,
keganasan lambung/kolon, hemoroid, infeksi cacing tambang,menometrorraghia,
Hematuria, atau hemaptoe
METABOLISME BESI
Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase:
o Fase Luminal
Besi dalam makanan diolah oleh lambung (asam lambung menyebabkan heme terlepas dari
apoproteinnya) hingga siap untuk diserap.
o Fase Mukosal
Proses penyerapan besi di mukosa usus. Bagian usus yang berperan penting pada absorpsi
besi ialah duodenum dan jejunum proksimal. Namun sebagian kecil juga terjadi di gaster,
ileum dan kolon. Penyerapan besi dilakukan oleh sel absorptive yang terdapat pada puncak
vili usus. Besi heme yang telah dicerna oleh asam lambung langsung diserap oleh sel
absorptive, sedangkan untuk besi nonheme mekanisme yang terjadi sangat kompleks.
etidaknya terdapat 3 protein yang terlibat dalam transport besi non heme dari lumen usus ke
sitoplasma sel absorptif. Luminal mucin berperan untuk mengikat besi nonheme agar tetap
larut dan dapat diserap meskipun dalam suasana alkalis duodenum. Agar dapat memasuki sel,
pada brush border sel terjadi perubahan besi feri menjadi fero oleh enzim feri reduktase yang
diperantarai oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor 10 melalui
membrane difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT-1 atau Nramp-2). Sesampainya di
sitoplasma sel usus, protein sitosol (mobilferrin) menangkap besi feri. sebagian besar besi
akan disimpan dalam bentuk feritin dalam mukosa sel usus, sebagian kecil diloloskan ke
dalam kapiler usus melalui basolateral transporter (ferroportin atau IREG 1). Besi yang

diloloskan akan mengalami reduksi dari molekul fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase,
kemudian berikatan dengan apotransferin dalam kapiler usus.
o Fase corporeal
Meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel yang membutuhkan,
dan penyimpanan besi di dalam tubuh. Dalam sirkulasi, besi tidak pernah berada dalam
bentuk logam bebas, melainkan berikatan dengan suatu glikoprotein (-globulin) pengikat
besi yang diproduksi oleh hepar (transferin). Besi bebas memiliki sifat seperti radikal bebas
dan dapat merusak jaringan. Transferin berperan mengangkut besi kepada sel yang
membutuhkan terutama sel progenitor eritrosit (normoblas) pada sumsum tulang. Permukaan
normoblas memiliki reseptor transferin yang afinitasnya sangat tinggi
terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke dalam sel melalui proses
endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan baku pembentukan
hemoglobin. Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks
besiapoferitin) dan hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum
tulang, dan otot skelet. Pada hepar feritin terutama berasal dari transferin dan tersimpan pada
sel parenkimnya, sedangkan pada organ yang lain, feritin terutama terdapat pada sel fagosit
mononuklear (makrofag monosit) dan berasal dari 11 pembongkaran eritrosit. Bila jumlah
total besi melebihi kemampuan apoferitin untuk menampungnya maka besi disimpan dalam
bentuk yang tidak larut (hemosiderin).
Bila jumlah besi plasma sangat rendah, besi sangat mudah dilepaskan dari feritin, tidak
demikian pada hemosiderin. Feritin dalam jumlah yang sangat kecil terdapat dalam plasma,
bila kadar ini dapat terdeteksi menunjukkan cukupnya cadangan besi dalam tubuh.
Berdasarkan beratnya kekurangan besi dalam tubuh, defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3
tingkatan:
1. Deplesi besi (iron depleted state)
Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis belum
terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan absorpsi besi dari usus,
dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang.
2. Iron deficient Erythropoiesis
Cadangan besi dalam tubuh kosong, tetapi belum menyebabkan anemia secara laboratorik
karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang melakukan mekanisme
mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-cabik,
bahkan ditemukan normoblas yang tidak memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu
kelainan pertama yang dapat dijumpai adalah penigkatan kadar free protoporfirin dalam
eritrosit, saturasi transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat.
Parameter lain yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.
3. Anemia defisiensi besi
Bila besi terus berkurang eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga kadar hemoglobin
menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya terjadi anemia hipokrom mikrositer.
Pada saat ini terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan beberapa enzim sehingga
menimbulkan berbagai gejala.
Beberapa dampak negatif defisiensi besi, disamping terjadi anemia, antara lain:
1. Sistem neuromuskuler
Terjadi penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan gliserofosfat oksidase yang
menyebabkan gangguan glikolisis sehingga terjadi penumpukan asam laktat yang
mempercepat kelelahan otot.
2. Gangguan perkembangan kognitif dan non kognitif pada anak
Terjadi karena gangguan enzim aldehid oksidase dan monoamin oksidase, sehingga
mengakibatkan penumpukan serotonin dan katekolamin dalam otak.

3. Defisiensi besi menyebabkan aktivitas enzim mieloperoksidase netrofil berkurang sehingga


menurunkan imunitas seluler. Terutama bila mengenai ibu hamil, akan meningkatkan risiko
prematuritas dan gangguan partus.
4.3 Manifestasi Klinik
Gejala anemia dapat dibagi menjadi 3 jenis gejala yaitu :
a. gejala anemia umum
disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada
setiap kasus anemia setelah penuruan hemoglobin sampai kadar tertentu ( Hb<7 g/dL ).
Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendengin (tinnitus), mata
berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan disepsia. Pada pemeriksaan pasien
tampak pucat yang dapat dilihat dari konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan
bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit
di luar anemia dan tidak sensitive karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat
( Hb<7 g/dL ).
b. Gejala khas anemia

Anemia defisiensi besi


- Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris garis
vertical dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok
- Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil
lidah menghilang
- Stomatitis angularis (cheilosis) : adanya keradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
- Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
- Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhlorida
- Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah liat, es, lem
dan lain-lain
Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologic pada defisiensi vitamin B12
Anemia hemolitik : icterus, splenomegaly dan hepatomegaly
Anemia aplastic : perdarahan dan tanda-tanda infeksi

c. Gejala Penyakit Dasar


gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi
tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang :
sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu
sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit
kronik oleh karena artritis rheumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia
untuk mengaarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan
pemeriksaan laboratorium.

4.4 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas.
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB:
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
1.
2.
3.
4.

Kadar HB kurang dari normal sesuai usia.


Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (N:32-25%)
Kadar Fe serum < 50 ug/dl (N:80-180ug/dl)
Saturasi Transferin < 15% (N:20-50%)

Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen


1.
2.
3.
4.

Anemia hipokrom mikrositik


Saturasi transferin < 16%
Nilai FEP > 100% Ug/dl eritrosit
Kadar feritin serum < 12 ug/dl

Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, feritin serum dan FEP) harus
dipenuhi.
Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui:
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar
MCV, MCH, dan MCHC yang menurun Red cell distribution width (RDW) > 17%
2. FEP meingkat
3. Feritin serum menurun
4. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 16%
5. Respon terhadap pemberian preparat besi
Retikulosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian besi
Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dl/hari atau PCV meningkat
1%/hari
6. Sumsum tulang
Tertundanya maturasi sitoplasma
Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang
Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat besi.
Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat respons
hemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 6
mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl maka dapat
dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.
Diagnosis banding
Pemeriksaan lab

ADB

MCV

Fe serum

TIBC

Saturasi transferin

FEP

Feritin serum

*FEP : Free Erithrocyte Protophoyrin

Thalasemia minor

N
N
N
N
N

Anemia
kronik
N/

N/

penyakit

Diagnosis banding yang lainnya adalah dengan anemia sideroblastik dan keracunan
timbal. Cara membedakan ADB dengan thalasemia salah satunya dengan

MCV
Eritrosit
Jika hasilnya : < 13 menunjukkan thalasemia minor

> 15 menunjukkan ADB

4.5 Pemeriksaan Fisik


Ditemukannya :

Pucat

Bentuk kuku spoon shaped nail (koilonikia)

Atropi papila lidah

Stomatitis angularis

Penurunan aktivitas kerja dan daya tahan tubuh

Termogenesis tidak normal (ketidakmampuan mempertahankan suhu tubuh saat udara


dingin)

Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun (fungsi leukosit tidak normal)

Rambut rapuh

4.6 Pemeriksaan Penunjang


a. Darah tepi lengkap
jenis,danretikulosit)

(hemoglobin,

hematokrit,

lekosit,

trombosit,

hitung

b. Mean
corpuscular
volume
(MCV),
mean
corpuscularhemoglobin
(MCH),meancorpuscular hemoglobin (MCHC),dan red cells distribution width

c.
Gambaran apus darah

tepi
Menunjukan

hipokromik
mikrositer,
anisositosis,
dan
berat derajat anemia semakin berat derajat
terjadi

dan mikrositosis ekstrim,

anemia
polikilositosis. Semakin
hipokromia.
Jika

hipokromia
maka sel tampak sebagai
sebuah

cincin sehingga disebut sel cincin (ring cell) atau memanjang seperti elips yang
disebut sebagai sel pensil. Kadang-kadang dijumpai sel target.
4.7 Penatalaksanaan
1. Terapi kausal: tergantung penyebab penyakitnya, misalnya: pengobatan cacing tambang,
pengobatan hematoid. Terapi ini harus dilakukan, apabila tidak dilakukan maka anemia
akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk pengganti kekurangan besi dalam tubuh:
a) Besi peroral

ferrous sulphat dosis 3 x 200 mg (murah)

ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferros succinate (lebih
mahal)

Sebaiknya diberikan pada saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih banyak dibanding
setelah makan. Efek sampingnya yaitu mual, muntah, serta konstipasi. Pengobatan diberikan
selama 6 bulan setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Kalau
tidak, maka akan kembali kambuh.
b) Besi parenteral
Efek sampingnya lebih berbahaya, dan harganya lebih mahal, indikasi:

Intoleransi oral berat

Kepatuhan berobat kurang

Kolitis ulserativa

Perlu peningkatan Hb secara cepat

Preparat yang tersedia: iron dextran complex, iron sorbital citric acid complex diberikan
secara intramuskuler atau intravena pelan.
Efek samping: reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut,
dan sinkop.
c) Pengobatan lain

Diet: makanan bergizi dengan tinggi protein (protein hewani)

Vitamin c: diberikan 3 x 100 mg perhari untuk meningkatan absorpsi besi

Transfusi darah: jarang dilakukan

4.7 Komplikasi
Komplikasi seperti pada anemia yang lain apabila anemianya berat maka akan timbul
komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa dekompensatio cordis. Komplikasi lain yang
mungkin terjadi adalah komplikasi dari traktus gastrointestinal berupa keluhan epigastric
distress atau stomatis.
4.9 Pencegahan
Beberapa tindakan penting yang dapat dilakukan untuk mencegah kekurangan besi pada awal
kehidupan adalah sebagai berikut :

Meningkatkan pemberian ASI eksklusif.

Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun.

Memberi bayi makanan yang mengandung besi serta makanan yang kaya dengan asam
askorbat (jus buah).

Memberi suplemen Fe pada bayi kurang bulan.

Pemakaian PASI yang mengandung besi.


Diprioritaskan pada kelompok rawan yaitu, balita, anak sekolah, ibu hamil, wanita menyusui,
wanita usia subur, remaja putri dan wanita pekerja.
Diet :
Makanan yang mengandung Fe sebanyak 8 10 mg Fe perhari dan hanya sebesar 5 10%
yang diabsrobsi.

Pada anak Fe berasal dari ASI dan penyerapannya lebih efisien daripada Fe yang
berasal dari susu sapi (ditunda hingga umur 1 tahun dikarenakan perdarahan saluran
cerna yang tersamarkan)

Pemberian makanan kaya vitamin C dan memperkenalkan makanan padat mulai pada
usia 4-6 bulan

Pemberiam suplemen Fe pada bayi prematur

Pemakaian susu formula yang mengandung besi (PASI)

Makanan yang dapat mempengaruhi penyerapan zat besi, yaitu :

Meningkatkan penyerapan

Asam askorbat, daging, ikan, dan unggas, dan HCl

Menurunkan penyerapan
Asam tanat (teh dan kopi), kalsium, fitat, beras, kunung telur, polifenol, oksalat, dan
obat-obatan (antasid, tetrasiklin, dan kolestiramin)

Penyuluhan kesehatan

Kesehatan lingkungan (penggunaan jamban, pemakaian alas kaki)

Gizi (mengkonsumsi makanan bergizi)

Konsneling pada ibu atau orang sekitar untuk memilih bahan makanan dengan kadar
besi cukup sejak bayi sampai remaja

Pemberantasan infeksi cacing tambang

Suplementasi besi pada populasi rentan (ibu hamil dan anak balita)

Fortifikasi bahan makanan dengan besi

Skirining anemia

pemeriaksaan hb, ht pada bayi baru lahir dan pada bayi kurang bulan ( prematur )

Sebaiknya dilakukan pada usia 12 bulan dengan pemeriksaan hemoglobin (Hb) dan
penilaian risiko defisiensi besi atau anemia defisiensi besi.

Anda mungkin juga menyukai