Anastesia
Anastesia
PENDAHULUAN
Premedikasi merupakan pendekatan farmakologi dengan pemberian obatobatan yang bertujuan untuk mengurangi rasa cemas maupun takut yang dialami
penderita disamping juga memberikan efek sedasi, analgesia, anti emetik,
menurunkan menggigil paska operasi dan juga untuk menurunkan kebutuhan obatobat anestesi. (Guglielminotti J dkk.,2000).
Obat premedikasi dapat diberikan melalui beberapa macam rute, yaitu oral,
nasal, rektal, intravena, atau intramuscular. Kebutuhan premedikasi bagi masingmasing pasien dapat berbeda.(Mira Rellytania, 2014). Rasa takut dan nyeri harus
diperhatikan betul pada kunjungan praanestasi. Dengan memberikan rasa simpati dan
pengertian kepada pasien tentang masalah yang dihadapi, maka pasien dapat dibantu
dalam menghadapi rasa sakit dan khawatir menghadapi operasi. Pemberian obat
sedatif atau penenang memberikan penurunan aktivitas mental dan berkurangnya
reaksi terhadap rangsang. Pemberian obat premedikasi berefek amnesia. Artinya,
pasien tidak dapat mengingat kejadian yang baru terjadi setelah pembedahan, selain
itu pasien dapat menerima kejadian sebelum dan sesudah pembedahan tanpa gelisah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1 Premedikasi
Kemajuan teknik anestesi saat ini telah membawa perubahan dan sekaligus
memberikan banyak tantangan bagi dokter anestesi dalam memberikan pelayanan
anestesi perioperatif yang optimal kepada pasien, mulai dari saat pemberian
premedikasi, durante operasi sampai perwatan pascaoperasi. Premedikasi merupakan
tindakan awal dengan memberikan satu obat atau kombinasi beberapa obat sesuai
dengan kebutuhan pasien. Tujuan utama pemberian premedikasi tidak hanya untuk
mempermudah induksi, mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan, namun yang
terpenting adalah mengurangi resiko morbiditas perioperatif sehingga akan
mempercepat proses pemulihan setelah anestesi dan pembedahan psikis dan
fisiologis. Hasil akhir yang diharapkan dari pemberian premedikasi adalah terjadinya
sedasi dari pasien tanpa disertai depresi dari pernapasan dan sirkulasi. Kebutuhan
premedikasi bagi masing-masing pasien dapat berbeda. Rasa takut dan nyeri harus
diperhatikan betul pada pra bedah (Mangku G dkk., 2010).
Reaksi fisiologis terhadap nyeri dan rasa takut terdiri atas bagian yaitu reaksi
somatic (voluntary) dan reaksi simpatetik (involuntary). Efek somatic ini timbul
didalam kecerdasan dan menumbuhkan dorongan untuk bertahan atau menghindari
kejadian tersebut. Kebanyakan pasien akan melakukan modifikasi terhadap
manifestasi efek somatic tersebut dan menerima keadaan yaitu dengan nampak
tenang. Reaksi saraf simpatis terhadap rasa takut atau nyeri tidak dapat
disembunyikan oleh pasien. Rasa takut dan nyeri mengaktifkan syaraf simpatis
untuk menimbulkan perubahan sistem sirkulasi dalam tubuh. Perubahan ini
disebabkan oleh stimulasi efferen simpatis yang ke pembuluh darah dan sebagian
karena naiknya katekolamin dalam sirkulasi. Impuls adrenergic dari rasa takut timbul
dikorteks cerebri dan dapat ditekan dengan tidur atau dengan sedativa yang
mencegah kemampuan untuk menjadi takut. Reaksi kardiovaskular secara neurologis
berbeda dengan rasa takut, karena arcus reflek yang tersangkut seluruhnya ada
dibatang otak dibawah sensorus thalamus. Ini berarti pendekatan klinis untuk
menghilangkan kedua hal tersebut harus berbeda. Tanda akhir dari reaksi adrenergic
terhadap rasa takut ialah meningkatnya detak jantung dan tekanan darah. Maka
umumnya tujuan pemberian obat premedikasi adalah menghilangkan kecemasan,
mendapat sedasi, mendapat analgesi, mendapat amnesi. Disamping itu pada keadaan
tertentu juga menaikkan pH cairan lambung, mengurangi volume cairan lambung,
dan mencegah terjadinya reaksi alergi. (G. Edward,2002).
Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan pasien yang ditetapkan
setelah kunjungan prabedah. Oleh karena itu, pemilihan obat premedikasi yang
akan digunakan harus selalu memperhitungkan umur pasien, berat badan, status
fisik, derajat kecemasan, riwayat hospitalisasi, riwayat alaergi, riwayat penggunaan
obat tertentu yang mungkin berpengaruh, perkiraan lama operasi, macam operasi,
dan rencana obat anastesi yang digunakan (Mangku G dkk., 2010).
Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obatobatan pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik,
sedasi/trankulizer dan analgetik. Premedikasi dapat menggunakan satu obat atau
kombinasi dari beberapa obat. Pemilihan obat untuk premedikasi tergantung tujuan
dari premedikasi itu sendiri (Mangku G dkk., 2010).
Tujuan pemberian premedikasi antara lain :
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, yang meliputi bebas dari rasa takut,
cemas, bebas nyeri dan mencegah mual-muntah. Kunjungan pra anestesi dan
pemberian simpati serta sedikit pengertian dalam masalah yang dihadapi pasien
seringkali membantu pasien dalam mengatasi rasa sakit dan khawatir dalam
2
menghadapi operasi.
Memperlancar induksi anestesi ; Pemberian obat sedasi dapat menurunkan
aktifitas mental sehingga imajinasi menjadi tumpul dan reaksi terhadap
rangsangan berkurang. Obat sedasi dan asiolisis dapat membebaskan rasa takut
berbahaya apabila terjadi aspirasi dari asam lambung yang dapat menyebabkan
terjadinya pneumonitis aspirasi atau mendelson sindrom, oleh karena itu
pemberian obat yang dapat mengurangi isi cairan lambung serta menurunkan PH
8
Obat-obat yang biasa digunakan sebagai obat premedikasi antara lain : Obat
golongan anti kholinergik, sedasi, analgetik narkotik (Mangku G dkk., 2010).
A. Obat Anti Kholinergik
Atropine mempunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek muskarinik
dari asetylcholin. Atropine ini dapat menembus barier lemek misalnya blood brain
barrier, plasenta barrier dan tractus gastrointestinal. Pemberian obat anti kholinergik
ini bertujuan untuk mengurangi sekresi kelenjar saliva, saluran cerna, kelenjar
saluran nafas, mencegah turunya laju nadi, mengurangi pergerakan usus, mencegah
spasme pada laring dan bronkus. Obat yang sering digunakan adalah sulfas atropine
yang dapat diberikan intramuskuler atau intravena. (Pratiwi., 2009) Efek lain yang
merugikan adalah nadi yang meningkat, midriasis, cyclopegia, kenaikan suhu,
mengeringnya secret jalan napas dan pada CNS toxicity terjadi gelisah dan agitasi.
B. Obat Sedasi
Pada kebanyakan pasien yang telah direncanakan untuk menjalani operasi
akan lebih baik jika diberikan sedasi pada malam hari sebelum hari operasi, karena
rasa cemas, hospitalisasi atau keadaan sekitar yang tidak biasa dapat menyebabkan
insomnia. Obat golongan ini berefek anti cemas dan anti takut, menimbulkan rasa
6
kantuk, memberikan suasana nyaman dan tenang sebelum pembedahan. Obat yang
sering digunakan adalah turunan fenothiazin, benzodiazepine, butirofenon, barbiturat
dan anti histamine. Turunan fenothiazin yaitu prometazin yang berhasiat sebagai
sedative, anti muntah, anti kholinergik, anti histamine. Turunan benzodiazepine yang
sering digunakan adalah diazepam yang selain sebagai sedative (penenang) juga bisa
sebagai anti kejang. Sedangkan untuk turunan butirofenon adalah dihidrobenzperidol
yang berhasiat juga sebagai anti muntah. Derivat barbiturat adalah penobarbital yang
sering digunakan pada anak-anak (Pratiwi., 2009).
1. Benzodiazepine
Berdasarkan kecepatan metabolismenya, benzodiazepine dapat dibedakan
menjadi tiga kelompok :
a. Obat-obat long acting
Klordiazepoksida, diazepam, nitrazepam, dan flurazepam.
b. Obat-obat short acting
Oksazepam, lorazepam, lormetazam, temazepam, loprazolam, dan zoplicon.
c. Obat- obat ultra short acting
Midazolam, triazolam dan estazolam.
Pengikatan benzodiazepine pada reseptornya yang hanya berada di
susunan saraf pusat (SSP) akan memacu afinitas reseptor GABA sehingga
saluran klorida yang berdekatan lebih sering terbuka. Keadaan tersebut akan
memacu hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron. Efek klinis berbagai
benzodiazepine tergantung pada afinitas ikatan obat pada kompleks saluran
ion, yaitu kompleks GABA reseptor dan klorida. Sebagian besar golongan
benzodiazepine dirubah dalam bentuk inaktif metabolit oleh kerja hati. Dua
jalur pemecahan yaitu dengan proses oksidasi oleh enzim microsomal hati dan
glukoronidase konjugasi. Pada hakikatnya semua senyawa benzodiazepine
mempunyai efek utama, yaitu anxiolitis atau anti anxietas, sedative hipnotis,
anti konvulsif, dan daya relaksasi otot. (Agung Nugroho, 2011).
2. Diazepam.
Sebagai premedikasi anastesi, diazepam dapat diberikan secara oral,
intramuscular, dan intravena. Obat ini 99% terikat pada plasma albumin.
Lama pengaruh diazepam disebabkan karena lamanya waktu eksresi dan
lamanya waktu pembentukan metabolit. Diazepam akan menghambat Susunan
Saraf Pusat (SSP) dengan efek utamanya adalah sedasi, hipnotik, relaksasi
otot, dan antikonvulsi. Pemberian dalam dosis rendah bersifat sedative,
sedangkan dalam dosis besar bersifat hipnotik, diazepam bersifat mendepresi
sistem kardiovaskuler dan system respirasi. Setelah pemberian premidikasi
diazepam tekanan sistolik dan Mean Arterial Preasure (MAP) menurun secara
signifikan. (Gilman, 2001).
Diazepam dapat diberikan pada orang dewasa dengan dosis 10mg, sedang
pada anak kecil 0.2 0.5 mg/kgBB.
3. Midazolam
Obat ini mempunyai onset kerja 2-12 menit. Midazolam bekerja pada
sistem saraf pusat. Midazolam tidak menyebabkan penekanan jantung dan
tidak mengubah tahanan perifer, sedangkan terhadap pernapasan sedikit
dipengaruhi oleh obat ini. Midazolam dapat digunakann pada berbagai
keadaan klinis yang memerlukan berbagai derajat disosiasi, seperti
premedikasi, induksi anatesi dan pemeliharaan anastesi. Midazolam dapat
diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB. Penggunaan midazolam ini harus
dengan pengawasan ketat, karena kemungkinan terjadi depresi respirasi. .
4.
penggunaan
obat
ini
ialah
dpat
menimbulkan
sedasi,
Penggunaan narkotik harus berhati-hati pada anak-anak dan orang tua karena bisa
menimbulkan depresi pusat nafas (Pratiwi., 2009)
1. Petidin
Morfin dan pethidin merupakan narkotik yang paling sering digunakan
untuk premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini ialahmemudahkan induksi,
mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesi pra dan pasca bedah,
memudahkan melakukan pemberian pernapasan buatan, dapat diantagonisisr
dengan naloxon. Narkotik ini dapat menyeabkan vasodilatasi perifer, sehingga
dapat menyebaabkan hipotensi ortostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila
digunakan pada pasien dengan hipovolemia. Berlawanan dengan barbiturate,
narkotik ini dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan di medulla yang dapat
ditunjukkan dengan turunnya respon terhadap CO2. Mual dan muntah
menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah di medulla. Bila
pasien dalam posisi tidur akan mengurangi efek tersebut. Morfin diberikan
dengan dosis 0,1 0,2 mg/kbBB, sedang petidin dengan dosis 1 2 mg/kgBB.
Pada orang tua dan anak-anak diberikan dosis lebih kecil.
Potensi petidin kira-kira 1/10 dari morfin. Mulai kerja lebih cepat dan
durasinya lebih singkat Setelah injeksi Petidin, absorbsi terjadi secara cepat dan
komplit. Petidin mampu menggantikan histamin dari ikatannya di sel mast dan
histamin dilepaskan ke dalam sirkulasi yang akan menyebabkan vasodilatasi
perifer dan hipotensi. Jumlah dari pelepasan histamin dan derajat hipotensi
mungkin dihubungkan oleh dosis, khususnya saat disuntikkan secara intravena.
Hipotensi yang dihasilkan dari pelepasan histamin pada induksi opioid dapat
dihambat dengan kombinasi H1-H2-antihistamin. Petidin menurunkan cardiac
10
lambung dengan pH yang rendah dapat menimbulkan apa yang dinamakan acid
aspiration syndrome atau disebut juga Mendelson syndrome. Yang dianjurkan ialah
preparat yang mengandung Mg trisiklat.
E. Histamine H-reseptor antagonis
Obat ini akan melawan kemepuan histamine dalam meningkatkan sekresi
cairan lambung yang mengandung ion H tinggi. Dari kepustakaan disebutkan bahwa
pemberian cimetidine oral 300 mg, 1 1,5 jam pra induksi dapat menaikkan pH
cairan lambung diatas ,5 sebanyak lebih dari 80% pasien. Dapat pula diberikan
secara intravena dengan dosis yang sama 2 jam sebelum induksi dimulai.
F. Antihistamin.
Dari golongan ini yang sering digunakan sebagai obat premedikasi ialah
promethazin (phenergen) dengan dosis 12,5 25 mg i.m pada orang dewasa.
Digunakan pada pasien dengan riwayat asma bronkiale.
Golongan Obat
Barbiturate
Narkotik
Benzodiazepine
Butyrophenon
Antihistamin
Antasida
Anticholinergik
H2 receptor antagonis
Contoh
Luminal
Petidin
Morfin
Diazepam
Midazolam
Dehydrobenperidol
Prometazine
Gelusil
Atropine
Cimetidin
13
lahan
persepsinya.
Mampu
menghadapi
situasi
yang
bemasalah, dapat mengintegrasikan pengalaman masa lalu, saat ini dan yang
akan datang. Perasaan relatif aman dan nyaman. Tanda-tanda vital normal,
14
ketegangan otot minimal. Pupil normal atau kontriksi. Pada tingkat ini dapat
memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Pada
kecemasan sedang, persepsi sempit dan terfokus pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih
terarah, kesulitan dalam berkonsentrasi, membutuhkan usaha yang lebih
dalam belajar. Pandangan pengalaman pada saat ini berkaitan dengan masa
lalu. Mungkin mengabaikan kejadian dalam situasi tertentu; kesulitan dalam
beradaptasi dan menganalisa. Tanda-tanda vital normal atau sedikit
meningkat, tremor, bergetar. Kecemasan berat sangat mengurangi lahan
persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu
yang terkini dan spesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua
perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan
banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.
Pembelajaran
sangat
terganggu;
sangat
kebingungan,
tidak
mampu
15
sistem
saraf
otonom,
serabut
parasimpatis
dan
simpatis
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pembahasan
Berdasarkan skala hars yang digunakan untuk mengukur tingkat
kecemasan saat premedikasi pada tiga puluh pasien RSU Haji Surabaya didapatkan
bahwa pasien yang tidak mengalami kecemasan sebanyak lima orang, pasien yang
mangalami tingkat kecemasan ringan sebanyak lima belas orang, pasien yang
mengalami tingkat kecemasan berat sebanyak delapan orang. Pasien yang
mengalami tingkat kecemasan sangat sangat berat dua orang.
Pada pengukuran tekanan darah dan nadi yang dilihat dari dua puluh satu
pasien saat premedikasi didapatkan tekanan darah sistole >140 mmHg dan diastole
lebih dari >90 mmHg sebanyak delapan orang, tekanan darah sistole antara 120-139
mmHg dan diastole antara 80-89 mmHg sebanyak sembilan orang dan tekanan
darah
sistole
Sedangkan untuk nadi >60 sebanyak lima belas orang dan nadi >100 sebanyak
enam orang.
Dari hasil pengamatan tersebut dapat dilihat bahwa respon setiap individu
berbeda saat premedikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pratiwi, Komang, 2009. Premedikasi sebelum Pembedahan
http://www.balispot.com/mediadetail.php?
module=detailberitaminggu&kid=24&id=25304
2. Nugroho, Agung, 2011, Perbandingan Perubahan Hemodinamik antara FentanilDiazepam dan Fentanil-Midazolam Sebagai Premedikasi Anestesi Umum di
RSUD Dr Moewardi Surakarta, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
3. Guglielminotti J, Descraques C, Petitmaire S, Almenza L, Grenapi O, Mantz J.
2000. Effect of Premedication on Dose Requirements for Propofol: Comparison
of Clonidine and Hydroxyzine. British Journal of Anesthesia: 80.733-36
4. Mangku G, Senapathi T. 2010. Buku Ajar Anestesi dan Reaminasi, Cetakan 1.
Jakarta; Indeks Jakarta.
5. Mira Rellytania dkk, 2014. Perbandingan Pengaruh Premedikasi per Rektal antara
Klonidin 5 g/ kgBB dan Ketamin 10 mg/kgBB pada Anak Usia 25 Tahun pada
Skala
Pemisahan Prabedah dan Skala Kemudahan Induksi, Jurnal Anestesi Perioperatif,
Universitas Padjajaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
19
20