Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anastesi ataupun analgesia, pengawasan keselamatan
pasien yang dioperasi atau tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan
intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
Anastesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu (1) anastesi lokal, yaitu hilang rasa sakit
tanpa disertai hilang kesadaran, (2) anastesia umum, yaitu hilang rasa sakit disertai
hilang kesadaran. Anastesia umum dapat menimbulkan anesthesia atau narkosa, yakni
suatu keadaan umum yang bersifat reversibel dari berbagai pusat sususan saraf pusat,
dimana seluruh perasaan dan keadaan ditiadakan, sehingga agak mirip keadaan
pingsan (Agung Nugroho, 2011).
Tindakan pembedahan dan anestesi merupakan suatu kondisi yang dapat
memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani
pembedahan sudah tentunya dapat mengalami kecemasan, ataupun ketakutan. Respon
dari kecemasan ini dapat berupa: respon fisiologis, respon prilaku, respon kognitif
dan respon afektif. Respon fisiologis dapat menstimulasi jalur neuroendokrin
(neuroendocrinal pathway) yang pada sistem kardiovakuler akan menyebabkan
perubahan pada hemodinamik berupa peningkatan tekanan darah maupun laju denyut
nadi. Untuk mengurangi kecemasan maupun rasa takut yang dialami oleh pasien
dapat dilakukan upaya atau pendekatan non farmakologi maupun farmakologi
(Guglielminotti J dkk.,2000).

Premedikasi merupakan pendekatan farmakologi dengan pemberian obatobatan yang bertujuan untuk mengurangi rasa cemas maupun takut yang dialami
penderita disamping juga memberikan efek sedasi, analgesia, anti emetik,
menurunkan menggigil paska operasi dan juga untuk menurunkan kebutuhan obatobat anestesi. (Guglielminotti J dkk.,2000).
Obat premedikasi dapat diberikan melalui beberapa macam rute, yaitu oral,
nasal, rektal, intravena, atau intramuscular. Kebutuhan premedikasi bagi masingmasing pasien dapat berbeda.(Mira Rellytania, 2014). Rasa takut dan nyeri harus
diperhatikan betul pada kunjungan praanestasi. Dengan memberikan rasa simpati dan
pengertian kepada pasien tentang masalah yang dihadapi, maka pasien dapat dibantu
dalam menghadapi rasa sakit dan khawatir menghadapi operasi. Pemberian obat
sedatif atau penenang memberikan penurunan aktivitas mental dan berkurangnya
reaksi terhadap rangsang. Pemberian obat premedikasi berefek amnesia. Artinya,
pasien tidak dapat mengingat kejadian yang baru terjadi setelah pembedahan, selain
itu pasien dapat menerima kejadian sebelum dan sesudah pembedahan tanpa gelisah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2

2.1 Premedikasi
Kemajuan teknik anestesi saat ini telah membawa perubahan dan sekaligus
memberikan banyak tantangan bagi dokter anestesi dalam memberikan pelayanan
anestesi perioperatif yang optimal kepada pasien, mulai dari saat pemberian
premedikasi, durante operasi sampai perwatan pascaoperasi. Premedikasi merupakan
tindakan awal dengan memberikan satu obat atau kombinasi beberapa obat sesuai
dengan kebutuhan pasien. Tujuan utama pemberian premedikasi tidak hanya untuk
mempermudah induksi, mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan, namun yang
terpenting adalah mengurangi resiko morbiditas perioperatif sehingga akan
mempercepat proses pemulihan setelah anestesi dan pembedahan psikis dan
fisiologis. Hasil akhir yang diharapkan dari pemberian premedikasi adalah terjadinya
sedasi dari pasien tanpa disertai depresi dari pernapasan dan sirkulasi. Kebutuhan
premedikasi bagi masing-masing pasien dapat berbeda. Rasa takut dan nyeri harus
diperhatikan betul pada pra bedah (Mangku G dkk., 2010).
Reaksi fisiologis terhadap nyeri dan rasa takut terdiri atas bagian yaitu reaksi
somatic (voluntary) dan reaksi simpatetik (involuntary). Efek somatic ini timbul
didalam kecerdasan dan menumbuhkan dorongan untuk bertahan atau menghindari
kejadian tersebut. Kebanyakan pasien akan melakukan modifikasi terhadap
manifestasi efek somatic tersebut dan menerima keadaan yaitu dengan nampak
tenang. Reaksi saraf simpatis terhadap rasa takut atau nyeri tidak dapat
disembunyikan oleh pasien. Rasa takut dan nyeri mengaktifkan syaraf simpatis
untuk menimbulkan perubahan sistem sirkulasi dalam tubuh. Perubahan ini
disebabkan oleh stimulasi efferen simpatis yang ke pembuluh darah dan sebagian

karena naiknya katekolamin dalam sirkulasi. Impuls adrenergic dari rasa takut timbul
dikorteks cerebri dan dapat ditekan dengan tidur atau dengan sedativa yang
mencegah kemampuan untuk menjadi takut. Reaksi kardiovaskular secara neurologis
berbeda dengan rasa takut, karena arcus reflek yang tersangkut seluruhnya ada
dibatang otak dibawah sensorus thalamus. Ini berarti pendekatan klinis untuk
menghilangkan kedua hal tersebut harus berbeda. Tanda akhir dari reaksi adrenergic
terhadap rasa takut ialah meningkatnya detak jantung dan tekanan darah. Maka
umumnya tujuan pemberian obat premedikasi adalah menghilangkan kecemasan,
mendapat sedasi, mendapat analgesi, mendapat amnesi. Disamping itu pada keadaan
tertentu juga menaikkan pH cairan lambung, mengurangi volume cairan lambung,
dan mencegah terjadinya reaksi alergi. (G. Edward,2002).
Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan pasien yang ditetapkan
setelah kunjungan prabedah. Oleh karena itu, pemilihan obat premedikasi yang
akan digunakan harus selalu memperhitungkan umur pasien, berat badan, status
fisik, derajat kecemasan, riwayat hospitalisasi, riwayat alaergi, riwayat penggunaan
obat tertentu yang mungkin berpengaruh, perkiraan lama operasi, macam operasi,
dan rencana obat anastesi yang digunakan (Mangku G dkk., 2010).
Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obatobatan pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik,
sedasi/trankulizer dan analgetik. Premedikasi dapat menggunakan satu obat atau
kombinasi dari beberapa obat. Pemilihan obat untuk premedikasi tergantung tujuan
dari premedikasi itu sendiri (Mangku G dkk., 2010).
Tujuan pemberian premedikasi antara lain :

1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, yang meliputi bebas dari rasa takut,
cemas, bebas nyeri dan mencegah mual-muntah. Kunjungan pra anestesi dan
pemberian simpati serta sedikit pengertian dalam masalah yang dihadapi pasien
seringkali membantu pasien dalam mengatasi rasa sakit dan khawatir dalam
2

menghadapi operasi.
Memperlancar induksi anestesi ; Pemberian obat sedasi dapat menurunkan
aktifitas mental sehingga imajinasi menjadi tumpul dan reaksi terhadap
rangsangan berkurang. Obat sedasi dan asiolisis dapat membebaskan rasa takut

dan kecemasan pasien.


Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan bronkus ; Sekresi dapat terjadi selama
tindakan pembedahan dan anestesi, dapat dirangsang oleh suctioning atau
pemasangan pipa endotrakthea. Obat golongan antikholinergik seperti atropin

dan scopolamin dapat mengurangi sekresi saluran nafas.


Mengurangi kebutuhan / dosis obat anestesi ; tujuan premedikasi untuk
mengurangi metabolisme basal sehingga induksi dan pemeliharaan anestesi
menjadi lebih mudah dan diperlukan obat-obatan lebih sedikit sehingga pasien

akan sadar lebih cepat.


Mengurangi mual dan muntah paska operasi, tindakan pembedahan dan
pemberian obat opioid dapat merangsang terjadinya mual dan muntah, sehingga
diperlukan pemberian obat yang dapat menekan respon mual, muntah seperti

golongan anti histamine, kortikosteroid, agonis dopamin atau alpha-2 agonis.


Menimbulkan amnesia; obat golongan benzodiazepin banyak digunakan karena
efeknya di sistem saraf pusat pada sistem limbik dan ARAS sehingga

mempunyai efek sedasi, anti cemas dan menimbulkan amnesia anterograde.


Mengurangi isi cairan lambung dan meningkatkan PH asam lambung; puasa dan
kecemasan dapat meningkatkan sekrisi asam lambung, hal ini akan sangat

berbahaya apabila terjadi aspirasi dari asam lambung yang dapat menyebabkan
terjadinya pneumonitis aspirasi atau mendelson sindrom, oleh karena itu
pemberian obat yang dapat mengurangi isi cairan lambung serta menurunkan PH
8

lambung dapat dipertimbangan pada pasien.


Mengurangi refleks yang tidak diinginkan Trauma bedah dapat menyebabkan
bagian tubuh bergerak, bila anestesi tidak adekuat sehingga pemberian obat
analgesia dapat ditambahkan sebelum pembedahan.

Obat-obat yang biasa digunakan sebagai obat premedikasi antara lain : Obat
golongan anti kholinergik, sedasi, analgetik narkotik (Mangku G dkk., 2010).
A. Obat Anti Kholinergik
Atropine mempunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek muskarinik
dari asetylcholin. Atropine ini dapat menembus barier lemek misalnya blood brain
barrier, plasenta barrier dan tractus gastrointestinal. Pemberian obat anti kholinergik
ini bertujuan untuk mengurangi sekresi kelenjar saliva, saluran cerna, kelenjar
saluran nafas, mencegah turunya laju nadi, mengurangi pergerakan usus, mencegah
spasme pada laring dan bronkus. Obat yang sering digunakan adalah sulfas atropine
yang dapat diberikan intramuskuler atau intravena. (Pratiwi., 2009) Efek lain yang
merugikan adalah nadi yang meningkat, midriasis, cyclopegia, kenaikan suhu,
mengeringnya secret jalan napas dan pada CNS toxicity terjadi gelisah dan agitasi.
B. Obat Sedasi
Pada kebanyakan pasien yang telah direncanakan untuk menjalani operasi
akan lebih baik jika diberikan sedasi pada malam hari sebelum hari operasi, karena
rasa cemas, hospitalisasi atau keadaan sekitar yang tidak biasa dapat menyebabkan
insomnia. Obat golongan ini berefek anti cemas dan anti takut, menimbulkan rasa
6

kantuk, memberikan suasana nyaman dan tenang sebelum pembedahan. Obat yang
sering digunakan adalah turunan fenothiazin, benzodiazepine, butirofenon, barbiturat
dan anti histamine. Turunan fenothiazin yaitu prometazin yang berhasiat sebagai
sedative, anti muntah, anti kholinergik, anti histamine. Turunan benzodiazepine yang
sering digunakan adalah diazepam yang selain sebagai sedative (penenang) juga bisa
sebagai anti kejang. Sedangkan untuk turunan butirofenon adalah dihidrobenzperidol
yang berhasiat juga sebagai anti muntah. Derivat barbiturat adalah penobarbital yang
sering digunakan pada anak-anak (Pratiwi., 2009).
1. Benzodiazepine
Berdasarkan kecepatan metabolismenya, benzodiazepine dapat dibedakan
menjadi tiga kelompok :
a. Obat-obat long acting
Klordiazepoksida, diazepam, nitrazepam, dan flurazepam.
b. Obat-obat short acting
Oksazepam, lorazepam, lormetazam, temazepam, loprazolam, dan zoplicon.
c. Obat- obat ultra short acting
Midazolam, triazolam dan estazolam.
Pengikatan benzodiazepine pada reseptornya yang hanya berada di
susunan saraf pusat (SSP) akan memacu afinitas reseptor GABA sehingga
saluran klorida yang berdekatan lebih sering terbuka. Keadaan tersebut akan
memacu hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron. Efek klinis berbagai
benzodiazepine tergantung pada afinitas ikatan obat pada kompleks saluran
ion, yaitu kompleks GABA reseptor dan klorida. Sebagian besar golongan
benzodiazepine dirubah dalam bentuk inaktif metabolit oleh kerja hati. Dua
jalur pemecahan yaitu dengan proses oksidasi oleh enzim microsomal hati dan
glukoronidase konjugasi. Pada hakikatnya semua senyawa benzodiazepine

mempunyai efek utama, yaitu anxiolitis atau anti anxietas, sedative hipnotis,
anti konvulsif, dan daya relaksasi otot. (Agung Nugroho, 2011).
2. Diazepam.
Sebagai premedikasi anastesi, diazepam dapat diberikan secara oral,
intramuscular, dan intravena. Obat ini 99% terikat pada plasma albumin.
Lama pengaruh diazepam disebabkan karena lamanya waktu eksresi dan
lamanya waktu pembentukan metabolit. Diazepam akan menghambat Susunan
Saraf Pusat (SSP) dengan efek utamanya adalah sedasi, hipnotik, relaksasi
otot, dan antikonvulsi. Pemberian dalam dosis rendah bersifat sedative,
sedangkan dalam dosis besar bersifat hipnotik, diazepam bersifat mendepresi
sistem kardiovaskuler dan system respirasi. Setelah pemberian premidikasi
diazepam tekanan sistolik dan Mean Arterial Preasure (MAP) menurun secara
signifikan. (Gilman, 2001).
Diazepam dapat diberikan pada orang dewasa dengan dosis 10mg, sedang
pada anak kecil 0.2 0.5 mg/kgBB.
3. Midazolam
Obat ini mempunyai onset kerja 2-12 menit. Midazolam bekerja pada
sistem saraf pusat. Midazolam tidak menyebabkan penekanan jantung dan
tidak mengubah tahanan perifer, sedangkan terhadap pernapasan sedikit
dipengaruhi oleh obat ini. Midazolam dapat digunakann pada berbagai
keadaan klinis yang memerlukan berbagai derajat disosiasi, seperti
premedikasi, induksi anatesi dan pemeliharaan anastesi. Midazolam dapat
diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB. Penggunaan midazolam ini harus
dengan pengawasan ketat, karena kemungkinan terjadi depresi respirasi. .
4.

(Agung Nugroho, 2011).


Barbiturate

Kebanyakan pasien yang telah direncanakan untuk menjalani operasi akan


lebih baik bila diberikan hipnotik malam sebelum hari operasi, karena rasa
cemas, hospitalisasi atau keadaan sekitar yang tidak biasa dapat menyebabkan
insomnia. Untuk itu dapat digunakan golongan barbiturate per oral sebelum
waktu tidur. Selain itu barbiturate juga digunakan obat premedikasi.
Keuntungan

penggunaan

obat

ini

ialah

dpat

menimbulkan

sedasi,

efekterhadap depresi respirasi minimal (ini dibuktikan dengan tidak


berubahnya respon ventilasi terhadap CO2), depresi sirkulasi minimal dan
tidak menimbulakn efek mual dan muntah. Obat ini efektif bila diberikan
peroral. Premedikasi per oral belum dapat dibudayakan di Indonesia (terutama
bagi golongan menengah / bawah), karena masih ditakutkan bila disamping
minum obat, pasien tidak dapat menahan diri untuk tidak minum lebih banyak
(Agung Nugroho, 2011)
Kerugian penggunaan barbiturate termasuk tidak adanya efek analgesia,
terjadinya disorientasi terutama pada pasien yang kesakitan, serta tidak ada
antagonisnya. Barbiturate merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan akut
intermitten porphyria.
C. Obat Analgetik Narkotik
Obat analgetik narkotik atau opioid dapat digolongkan menjadi opioid natural
seperti morfin dan codein, turunan semisintetik seperti heroin dan turunan sintetik
seperti metadon, petidin. Opioid yang sering digunakan adalah morfin, petidin dan
fentanyl. Opioid selain memberikan analgesia juga mempunyai efek sedasi.

Penggunaan narkotik harus berhati-hati pada anak-anak dan orang tua karena bisa
menimbulkan depresi pusat nafas (Pratiwi., 2009)
1. Petidin
Morfin dan pethidin merupakan narkotik yang paling sering digunakan
untuk premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini ialahmemudahkan induksi,
mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesi pra dan pasca bedah,
memudahkan melakukan pemberian pernapasan buatan, dapat diantagonisisr
dengan naloxon. Narkotik ini dapat menyeabkan vasodilatasi perifer, sehingga
dapat menyebaabkan hipotensi ortostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila
digunakan pada pasien dengan hipovolemia. Berlawanan dengan barbiturate,
narkotik ini dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan di medulla yang dapat
ditunjukkan dengan turunnya respon terhadap CO2. Mual dan muntah
menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah di medulla. Bila
pasien dalam posisi tidur akan mengurangi efek tersebut. Morfin diberikan
dengan dosis 0,1 0,2 mg/kbBB, sedang petidin dengan dosis 1 2 mg/kgBB.
Pada orang tua dan anak-anak diberikan dosis lebih kecil.
Potensi petidin kira-kira 1/10 dari morfin. Mulai kerja lebih cepat dan
durasinya lebih singkat Setelah injeksi Petidin, absorbsi terjadi secara cepat dan
komplit. Petidin mampu menggantikan histamin dari ikatannya di sel mast dan
histamin dilepaskan ke dalam sirkulasi yang akan menyebabkan vasodilatasi
perifer dan hipotensi. Jumlah dari pelepasan histamin dan derajat hipotensi
mungkin dihubungkan oleh dosis, khususnya saat disuntikkan secara intravena.
Hipotensi yang dihasilkan dari pelepasan histamin pada induksi opioid dapat
dihambat dengan kombinasi H1-H2-antihistamin. Petidin menurunkan cardiac
10

output sampai 30%, disamping menurunkan stroke volume. Petidin juga


mengakibatkan kenaikan denyut jantung (Agung Nugroho, 2011).
2. Fentanyl
Berbeda dengan dengan petidin, fentanil menghasilkan efek anestesi
yang maksimum dengan pengeluaran histamin yang lebih sedikit, depresi kardiak
secara langsung, serta serangan atau kejang pada grand mal . Fentanil menekan
pusat respirasi, menekan reflek batuk, dan kontraksi pupil, serta penurunan pada
laju nadi. Pada dosis terapi, fentanil relative tidak berefek banyak dalam sistem
kardiovaskuler. Tetapi, beberapa pasien menunjukkan hipotensi ortostatik dan
pingsan. Fentanil terutama bekerja sebagai agonis reseptor . Sistem
kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung
maupun tonus otot pembuluh darah. Tahanan pembuluh darah biasanya akan
menurun karena terjadi penurunan aliran 16 simpatis medulla. Dapat meyebabkan
penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan frekuensi nafas, dengan
jumlah volume tidal yang menurun. Menyebabkan penurunan peristaltik sehingga
pengosongan lambung juga terhambat. Fentanil mampu menekan respon sistem
hormonal dan metabolik akibat stress anesthesia dan pembedahan, sehingga kadar
hormon katabolik dalam darah relatif stabil. Pemberian dosis terapi Fentanil pada
pasien yang berbaring relatif tidak mempengaruhi kardiovaskular, tidak
menghambat kontraksi miokard dan tidak mengubah gambaran EKG. (Anisa
Fadhlina, 2010).
D. Antasida
Pemberian antasida 15 30 menit prainduksi hamper 100% efektif untuk
menaikkan pH asam lambung diatas 2,5. Seperti diketahui, aspirasi cairan asam
11

lambung dengan pH yang rendah dapat menimbulkan apa yang dinamakan acid
aspiration syndrome atau disebut juga Mendelson syndrome. Yang dianjurkan ialah
preparat yang mengandung Mg trisiklat.
E. Histamine H-reseptor antagonis
Obat ini akan melawan kemepuan histamine dalam meningkatkan sekresi
cairan lambung yang mengandung ion H tinggi. Dari kepustakaan disebutkan bahwa
pemberian cimetidine oral 300 mg, 1 1,5 jam pra induksi dapat menaikkan pH
cairan lambung diatas ,5 sebanyak lebih dari 80% pasien. Dapat pula diberikan
secara intravena dengan dosis yang sama 2 jam sebelum induksi dimulai.
F. Antihistamin.
Dari golongan ini yang sering digunakan sebagai obat premedikasi ialah
promethazin (phenergen) dengan dosis 12,5 25 mg i.m pada orang dewasa.
Digunakan pada pasien dengan riwayat asma bronkiale.
Golongan Obat

Barbiturate
Narkotik
Benzodiazepine
Butyrophenon
Antihistamin
Antasida
Anticholinergik
H2 receptor antagonis

Contoh

Luminal
Petidin
Morfin
Diazepam
Midazolam
Dehydrobenperidol
Prometazine
Gelusil
Atropine
Cimetidin

2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat


1. Usia
Meruapakan variable yang penting dalam kerja obat. Sesudah usia 40
tahun, efek narkotika dan sedative meninggi karena rasa nyeri berkurang
12

dengan peningkatan usia. Fenomena ini disebabkan oleh karena penurunan


kepekaan terhadap rangsangan sensorik. Dengan pertambahan usia tidak
hanya penurunan persepsi nyeri, tetapi juga penurunan aktifitas reflex jalan
nafas.
2. Suhu
Setiap kenaikan suhu 1 derajat fahrenhait, laju metabolism basal naik sebesar
7%.
3. Emosi
Mungkin merupakan penyebab terbanyak kenaikan laju metabolism basal pra
anesthesia. Takut dan ketegangan merupakan faktor utama dan keduanya
meninggikan kepekaan terhadap rasa nyeri.
4. Penyakit
Pasien harus dinilai sehubungan dengan penyakit dan terapinya. Pada pasien
penyakit kronis seperti osteomyelitis dengan gizi buruk, morfin dapat lebih
mudah toksik , karena hati yang tidak dapat mengolah morfin dalam dosis
besar. Pada pasien anemia, pemakaian opioid atau depresan sebaiknya dosis
dikurangi. (Arief Mansjoer, 2000).
2.3 Kecemasan
Kecemasan (ansietas) adalah respon psikologik terhadap stres yang
mengandung komponen fisiologik dan psikologik. Reaksi fisiologis terhadap
ansietas merupakan reaksi yang pertama timbul pada sistem saraf otonom,
meliputi peningkatan frekuensi nadi dan respirasi, pergeseran tekanan darah
dan suhu, relaksasi otot polos pada kandung kemih dan usus, kulit dingin dan
lembab. Manifestasi yang khas pada ansietas tergantung pada masing-masing
individu dan dapat meliputi menarik diri, membisu, mengumpat, mengeluh,
dan menangis. Respon psikologis secara umum berhubungan adanya ansietas

13

menghadapi anestesi, diagnose penyakit yang belum pasti, keganasan, nyeri,


ketidaktahuan tentang prosedur operasi dan sebagainya.
Kecemasan bersifat kompleks dan abstrak seperti yang telah ditulis
oleh Freud bertahun-tahun yang lalu. Ansietas adalah keadaan suasana
perasaan (mood) yang ditandai oleh gejala-gejala jasmaniah seperti
ketegangan fisik dan kekhawatiran tentang masa depan (Barlow, 2002).
Tindakan operasi atau pembedahan merupakan pengalaman yang
bisa menimbullkan kecemasan, oleh karena itu berbagai kemungkinan buruk
bisa terjadi yang akan membahayakan pasien. Kecemasan biasanya
berhubungan dengan segala macam prosedur asing yang harus dijalani pasien
dan juga ancaman terhadap keselamatan jiwa akibat prosedur pembedahan
dan tindakan pembiusan.
Gejala kecemasan meliputi fisik,emosi dan kognitif. Gejala fisik
meliputi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah, susah
tidur, mual dan muntah, kelelahan, telapak tangan berkeringat serta gemetar.
Respon emosional meliputi rasa lelah, mudah tersinggung, merasa perlu
bantuan, menangis dan depresi. Gejala kognitif meliputi ketidakmampuan
berkonsentrasi , mudah lupa, tidak perhatian terhadap lingkungan. Respon
kecemasan terjadi dalam sebuah rentang. Peplau (1963) membagi dalam
empat tingkat yaitu ringan, moderat, berat, dan panik. (Barlow, 2002).
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam
kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meningkatkan

lahan

persepsinya.

Mampu

menghadapi

situasi

yang

bemasalah, dapat mengintegrasikan pengalaman masa lalu, saat ini dan yang
akan datang. Perasaan relatif aman dan nyaman. Tanda-tanda vital normal,

14

ketegangan otot minimal. Pupil normal atau kontriksi. Pada tingkat ini dapat
memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Pada
kecemasan sedang, persepsi sempit dan terfokus pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih
terarah, kesulitan dalam berkonsentrasi, membutuhkan usaha yang lebih
dalam belajar. Pandangan pengalaman pada saat ini berkaitan dengan masa
lalu. Mungkin mengabaikan kejadian dalam situasi tertentu; kesulitan dalam
beradaptasi dan menganalisa. Tanda-tanda vital normal atau sedikit
meningkat, tremor, bergetar. Kecemasan berat sangat mengurangi lahan
persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu
yang terkini dan spesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua
perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan
banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.
Pembelajaran

sangat

terganggu;

sangat

kebingungan,

tidak

mampu

berkonsentrasi. Pandangan pengalaman saat ini dikaitkan pada masa lalu.


Hampir tidak mampu mengerti situasi yang dihadapi saat ini. Tanda-tanda
vital meningkat, diaphoresis, ingin kencing, nafsu makan turun, pupil dilatasi,
otot-otot tegang, pandangan menurun, sensasi nyeri meningkat. Tingkat panik
dari kecemasan berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror.
Rincian terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali,
orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun
dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Dengan
panik, terjadi peningkatan aktifitas motorik, menurunnya kemampuan untuk

15

berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan


pemikiran yang rasional. Seseorang mungkin menjadi pucat, tekanan darah
menurun, hipotensi, koordinasi otot-otot lemah, nyeri, sensasi pendengaran
minimal. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan dan jika
berlangsung terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan yang sangat
bahkan kematian. Menurut Peplau kecemasan dapat dikomunikasikan secara
interpersonal karena itu perawat harus memperhatikan dan sekaligus
mengatasi kecemasan personal Kesadaran diri juga penting untuk mencegah
perawat larut dalam kecemasan klien. Tingkat kecemasan pasien dapat diukur
dengan menggunakan skala hars. Dengan skala hars bisa diketahuin derajat
kecemasan seseorang (Wahyu Purwaningsih, 2010).
2.4 Tekanan Darah
Blood Pressure adalah tekanan darah pada dinding arteri yang
terjadi akibat kontraksi otot jantung. Tergantung pada kekuatan gerak jantung,
kelenturan dinding arteri volume dan viskositas darah, serta hambatan pada
pembuluh darah (Dorland, 2006). Tekanan darah merupakan manifestasi dan
cardiac output dan resisteni pembuluh darah sistemik
Segera setelah teranestesi, tekanan darah akan turun dengan cepat
karena vasodilatasi. Hal ini menimbulkan timbunan darah di perifer dan
mengurangi aliran balik vena sehingga menyebabkan turunnya curah jantung.
Pasien dapat mengalami kerusakan organ akibat perfusi yang kurang, bahkan
dapat terjadi henti jantung karena kurangnya perfusi coroner. Penurunan
tekanan darah berhubungan dengan penurunan curah jantung, resistensi
pembuluh sistemik, hambatan mekanisme baroreseptordepresi kontraktilitas
miokard, penurunan aktivitas simpatik dan efek inotropik negative. Efek
16

depresi miokard dan vasodilatasi terjadi tergantung dosis. Vasodilatasi terjadi


akibat penurunan aktivitas simpatik dan efek langsung mobilisasi Ca pada
interseluler otot polos (Reves, 2000)
Petidin dan fentanil mempunyai efek hipotensi karena mengakibatkan
vasodilatasi. (Saputro, 2009). Petidin dapat menyebabkan hipotensi karena
penurunan curah jantung. Pada pasien hipovolemi, fentanil menyebabkan
penurunan stroke volume, penurunan heart rate, dan penurunan cardiac output
sehingga menyebabkan hipotensi.Tekanan darah bisa dirumuskan (TD) :
TD = curah jantung (cardiac output) x tahanan perifer
2.5 Frekuensi Denyut Jantung
Frekuensi denyut jantung adalah jumlah denyut jantung permenit atau
jumlah kontraksi jantung tiap menit dapat dijadikan sebagai parameter
sederhana yang mudah diukur dan cukup informative untuk faal
kardiovaskuler
Saat jantung berdenyut, maka pembuluh nadi pun ikut berdenyut
akibat tekanan darah yang terpompa. Bagian jantung normal bedenyut dalam
rangkain teratur, yaitu kontraksi atrium (sistol atrium) diikuti oleh kontraksi
ventrikel (sistol ventrikel) dan selama diastole keempat ruang relaksasi
Pada setiap jantung berdenyut terdapat gelombang darah baru yang
mengisi arteri. Akibat distentibilitas sistem arteri, darah yang mengalir melalui
jaringan hanya terjadi selama sistol jantung, sehingga tidak ada darah yang
mengalir selama diastole. (Nugroho, Agung, 2011)
Frekuensi denyut jantung sebagian besar berada dibawah pengaturan
eksentrik

sistem

saraf

otonom,

serabut

parasimpatis

dan

simpatis

mempersarafi nodus SA dan AV, mempengaruhi kecepatan dan frekuensi


hantaran impuls. Stimulasi serabut parasimpatis akan mengurangi frekuensi
17

denyut jantung, sedangkan stimulasi simpatis akan mempercepat denyut


jantung. (Nugroho, Agung, 2011)
Pada petidin dapat mengakibatkan kenaikan denyut jantung
dikarenakan strukturnya mirip atropin. Fentanil menyebabkan bradikardi
karena peningkatan tonus vagal secara sentral dan depresi nodus SA dan AV.
Pada pasien hipovolemi, fentanil menyebabkan penurunan stroke volume,
penurunan heart rate, dan penurunan cardiac output sehingga menyebabkan
denyut jantung menurun, tetapi irama jantung tidak berubah (Annisa Fadhlina,
2010)

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pembahasan
Berdasarkan skala hars yang digunakan untuk mengukur tingkat
kecemasan saat premedikasi pada tiga puluh pasien RSU Haji Surabaya didapatkan
bahwa pasien yang tidak mengalami kecemasan sebanyak lima orang, pasien yang
mangalami tingkat kecemasan ringan sebanyak lima belas orang, pasien yang
mengalami tingkat kecemasan berat sebanyak delapan orang. Pasien yang
mengalami tingkat kecemasan sangat sangat berat dua orang.
Pada pengukuran tekanan darah dan nadi yang dilihat dari dua puluh satu
pasien saat premedikasi didapatkan tekanan darah sistole >140 mmHg dan diastole
lebih dari >90 mmHg sebanyak delapan orang, tekanan darah sistole antara 120-139
mmHg dan diastole antara 80-89 mmHg sebanyak sembilan orang dan tekanan
darah

sistole

<120 mmHg dan diastole <80 mmHg sebanyak empat orang.


18

Sedangkan untuk nadi >60 sebanyak lima belas orang dan nadi >100 sebanyak
enam orang.
Dari hasil pengamatan tersebut dapat dilihat bahwa respon setiap individu
berbeda saat premedikasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pratiwi, Komang, 2009. Premedikasi sebelum Pembedahan
http://www.balispot.com/mediadetail.php?
module=detailberitaminggu&kid=24&id=25304
2. Nugroho, Agung, 2011, Perbandingan Perubahan Hemodinamik antara FentanilDiazepam dan Fentanil-Midazolam Sebagai Premedikasi Anestesi Umum di
RSUD Dr Moewardi Surakarta, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
3. Guglielminotti J, Descraques C, Petitmaire S, Almenza L, Grenapi O, Mantz J.
2000. Effect of Premedication on Dose Requirements for Propofol: Comparison
of Clonidine and Hydroxyzine. British Journal of Anesthesia: 80.733-36
4. Mangku G, Senapathi T. 2010. Buku Ajar Anestesi dan Reaminasi, Cetakan 1.
Jakarta; Indeks Jakarta.
5. Mira Rellytania dkk, 2014. Perbandingan Pengaruh Premedikasi per Rektal antara
Klonidin 5 g/ kgBB dan Ketamin 10 mg/kgBB pada Anak Usia 25 Tahun pada
Skala
Pemisahan Prabedah dan Skala Kemudahan Induksi, Jurnal Anestesi Perioperatif,
Universitas Padjajaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
19

6. G. Edward Morgan, Jr., Mageds, Mikail. Clinical Anastesiology. Mc Graw-Hill


Companies New York: 2002,
7. Anisa Fadhlina, 2010, Perbandingan Perubahan Tekanan Darah dan Laju Nadi
antara Pemberian Petidin dan Fentanil Sebagai Premedikasi Anastesi. Fakultas
Kedokteran Univesitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Arief Mansjoer, Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan, 2000.
Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
9. Wahyu Purwaningsih, 2010, Derajat Kecemasan Pasien Dengan Tindakan
Operatif Dapat Diminimalisir Dengan Persiapan Preoperatif Yang Matang.
Surakarta.

20

Anda mungkin juga menyukai