Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Profil Wilayah Kecamatan Samarinda Utara
Kota Samarinda adalah salah satu kota sekaligus merupakan ibu kota provinsi
Kalimantan

Timur, Indonesia.

Seluruh

wilayah

kota

ini

berbatasan

langsung

dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Kota Samarinda dapat dicapai dengan perjalanan
darat, laut dan udara. Kota ini memiliki luas wilayah 718 kilometer persegi dan
berpenduduk 726.223 jiwa (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010), menjadikan kota ini
berpenduduk terbesar di seluruh Kalimantan.
Secara geografis, Kota Samarinda terletak di wilayah khatulistiwa dengan koordinat
diantara 0o2181-1o0916LS dan 116o1516- 117o2416 BT. Kota ini terbelah oleh
Sungai Mahakam, dan memiliki wilayah dengan luas total 71.800 Ha dengan batas-batas
wilayah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Batas Utara : Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara.


Batas Timur : Kecamatan Anggana, Muara Badak, Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara.
Batas Selatan : Kecamatan Loa Janan, Kutai Kartanegara.
Batas Barat : Kecamatan Muara Badak, Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara.

Dilihat dari garis ketinggiannya, kota Samarinda memiliki topografi yang cenderung
mendatar dan terletak di dataran rendah, terbelah oleh Sungai Mahakam. 42,77% luas
daratan Kota Samarinda terletak pada ketinggian 7-25 meter dari permukaan laut.
Secara administratif kota Samarinda terbagi menjadi sepuluh kecamatan, antara lain:
Kecamatan Loa Janan Ilir, Kecamatan Palaran, Kecamatan Samarinda Ilir, Kecamatan
Samarinda Seberang, Kecamatan Samarinda Ulu, Kecamatan Sambutan, Kecamatan
Sungai Kunjang, Kecamatan Sungai Pinang, Kecamatan Samarinda Kota, dan Kecamatan
Samarinda Utara.

Samarinda Utara merupakan salah satu kecamatan di Kota Samarinda, Kalimantan


Timur, Indonesia dengan luas area 277,80 km2. Kecamatan Samarinda Utara hasil

pemekaran dari Kecamatan Samarinda Ilir didasarkan pada Peraturan Pemerintah


Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1996 yang terdiri dari; Kelurahan Sungai Pinang,
Kelurahan Temindung Permai, Kelurahan Bandara, Kelurahan Pelita, Kelurahan
Mugirejo, Kelurahan Gunung Lingai, Kelurahan Lempake, Kelurahan Sempaja Selatan,
Kelurahan Sempaja Utara, Kelurahan Tanah Merah, dan Kelurahan Sungai Siring.

Pada tahun 2010 Kecamatan Samarinda Utara terdiri dari:


1.
2.
3.
4.
5.

Kelurahan Lempake
Kelurahan Sempaja Selatan
Kelurahan Sempaja Utara
Kelurahan Tanah Merah
Kelurahan Sungai Siring

2.2 Pengertian Sampah


Disadari atau tidak, saat ini sampah sudah menjadi satu diantara bagian penting bahkan
esensial dalam kehidupan manusia. Sampah juga semakin banyak membutuhkan ruang
dan tempat untuk pembuangannya sehingga semakin mempersempit ruang gerak yang
dibutuhkan manusia dalam melakukan kegiatan kesehariannya. Supaya keseimbangan
alami yang higienis dapat dipertahankan, persaingan ruang dan tempat antara manusia
dan sampah harus dikelola dengan sebaik-baiknya.
Dalam kegiatan kehidupan domestiknya, setiap manusia memproduksi sejumlah sampah
dalam bentuk padatan dengan volume ruang antara 3-5 liter atau sekitar 1-3 kg sampah
per hari, baik sampah organik (tinja, sisa dapur, sisa makanan) maupun sampah anorganik
(kertas, plastik, kaca, dsb.). Rasio bahan organik dengan bahan anorganik sampah adalah
antara 1:3. Jumlah tersebut tidak termasuk cairan (urin dan cairan sanitasi) yang dapat
mencapai 50-350 liter per hari.
Pengertian sampah adalah suatu yang tidak dikehendaki lagi oleh yang punya dan
bersifat padat. Sementara di dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah, disebutkan sampah adalah sisa kegiatan sehari hari manusia atau proses alam
yang berbentuk padat atau semi padat berupa zat organik atau anorganik bersifat dapat

terurai atau tidak dapat terurai yang dianggap sudah tidak berguna lagi dan dibuang ke
lingkungan (Slamet, 2002).
Secara alami, sampah organik dalam kondisi aerob (ada udara atau oksigen) dapat
tercerna kembali menjadi bahan anorganik alami (ion dan senyawa unsur-unsur kimia)
dalam waktu 3-6 bulan. Waktu cerna tersebut dalam kondisi anaerob (rapat udara) dapat
mencapai lebih dari satu tahun lebih bahkan bertahun-tahun, bergantung kepada kuantitas
dan komposisi kimia sampah organik tersebut.
Proses penguraian sampah dari bentuk organik menjadi bentuk anorganik tersebut dapat
dipercepat dengan penerapan teknologi pengomposan, melalui kegiatan aktif mikroba
aerob atau anaerob (bakteri, jamur). Prosess ini misalnya, telah sangat dipercepat dengan
menggunakan sejenis bakteri aerob yang disebut EM-4, yang dapat mengurai sampah
menjadi kompos dalam waktu 28-36 hari.

2.3 Jenis-jenis Sampah


a. Berdasarkan Sifatnya
Berdasarkan sifatnya sampah dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Sampah organik - dapat diurai (degradable)
Sampah organik yaitu sampah yang mudah membusuk seperti sisa makanan,
sayuran, daun-daun kering, dan sebagainya. Sampah ini dapat diolah lebih lanjut
menjadi kompos
2. Sampah anorganik - tidak terurai (undegradable)
Sampah anorganik yaitu sampah yang tidak mudah membusuk, seperti plastik
wadah pembungkus makanan, kertas, plastik mainan, botol dan gelas minuman,
kaleng, kayu, dan sebagainya.
b. Berdasarkan Sumbernya
Menurut sumbernya sampah dapat digolongkan sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Sampah alam
Sampah manusia
Sampah konsumsi
Sampah nuklir
Sampah industri
Sampah pertambangan.

c. Berdasarkan Bentuknya
Sampah adalah bahan baik padat atau cairan yang tidak dipergunakan lagi dan
dibuang. Menurut bentuknya sampah dapat dibagi menjadi :
1. Sampah Padat
Sampah padat adalah segala bahan buangan selain kotoran manusia, urine dan
sampah cair. Dapat berupa sampah rumah tangga: sampah dapur, sampah kebun,
plastik, metal, gelas dan lain-lain. Menurut bahannya sampah ini dikelompokkan
menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik Merupakan
sampah yang berasal dari barang yang mengandung bahan-bahan organik,
seperti sisa-sisa sayuran, hewan, kertas, potongan-potongan kayu dari peralatan
rumah tangga, potongan-potongan ranting, rumput pada waktu pembersihan
kebun

dan

sebagainya.

Berdasarkan

kemampuan

diurai

oleh

alam

(biodegradability), maka sampah dapat dibagi lagi menjadi:


-

Biodegradable: yaitu sampah yang dapat diuraikan secara sempurna oleh


proses biologi baik aerob atau anaerob, seperti: sampah dapur, sisa-sisa

hewan, sampah pertanian dan perkebunan.


Non-biodegradable: yaitu sampah yang tidak bisa diuraikan oleh proses
biologi. Dapat dibagi lagi menjadi:
Recyclable: sampah yang dapat diolah dan digunakan kembali karena

memiliki nilai secara ekonomi seperti plastik, kertas, pakaian dan lain-lain.
Non-recyclable: sampah yang tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak
dapat diolah atau diubah kembali seperti tetra packs, carbon paper,
thermo coal, dan lain-lain.

2. Sampah Cair
Sampah cair adalah bahan cairan yang telah digunakan dan tidak diperlukan
kembali dan dibuang ke tempat pembuangan sampah.
-

Sampah hitam: sampah cair yang dihasilkan dari toilet dan industri. Sampah

ini mengandung patogen yang berbahaya.


Sampah rumah tangga: sampah cair yang dihasilkan dari dapur, kamar mandi
dan tempat cucian. Sampah ini mungkin mengandung patogen.
Dalam kehidupan manusia, sampah dalam jumlah besar datang dari aktivitas

industri (dikenal juga dengan sebutan limbah), misalnya pertambangan,

manufaktur, dan konsumsi. Hampir semua produk industri akan menjadi sampah
pada suatu waktu, dengan jumlah sampah yang kira-kira mirip dengan jumlah
konsumsi. Untuk mencegah sampah cair adalah pabrik pabrik tidak membuang
limbah sembarangan misalnya membuang ke selokan.

2.4 Dampak Sampah


Sampah yang dihasilkan mempunyai dampak bagi semua aspek kehidupan. Menurut
Nur (2008), dampak dari adanya sampah dapat mengganggu kesehatan. Sampah yang
ditempatkan di suatu kawasan atau tempat yang tidak memadai dapat dijadikan tempat
berkembangnyabeberapa organisme pembawa penyakit (vektor penyakit), seperti
contoh timbulnya penyakit jamur, diare, kolera, demam berdarah (haemorhagic fever).
Selain itu juga dapat menimbulkan penyakit taenia serta keracunan akibat adanya
sampah B3. Selain berbahanya bagi kesehatan, ternyata sampah juga dapat
menyebabkan pencemaran bagi lingkungan. Sebagai contoh adanya tumpukan sampah
akan menghasilkan lindi (leachete) sehingga dapat memcemari air dan tanah yang
berada disekitarnya. Selain itu sampah yang dibuang ke dalam saluran air entah itu got,
selokan ataupun sungai dapat mengakibatkan penyumbatan aliran air, sehingga dapat
mengakibatkan pendangkalan bahkan banjir. Sampah yang dibuang sembarangan
tempat jika sudah mengering akan mudah terbakar, sehingga dapat memicu kebakaran.
Adanya sampah yang berpengaruh dalam sektor kesehatan dan lingkungan, akan
berdampak juga pada aspek sosial dan ekonomi. Lingkungan yang kotor dapat
mengakibatkan keadaan yang kurang nyaman, entah dari bau yang menyengat atau
pandangan yang tidak enak. Jika hal tersebut terjadi seperti di tempat pariwisata, maka
akan mengurangi jumlah pengunjung yang datang. Tidak hanya itu, karena sampah juga
dapat berdampak pada kesehatan, maka jika dalam suatu kawasan terserang penyakit
secara luas, maka akan ada peningkatan biaya hidup secara tidak langsung (Basriyanta,
2007).

2.5 Sistem Pengolahan Sampah

Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah,


pengolahan

sampah

adalah

kegiatan

yang

sistematis,

menyeluruh,

dan

berkesinambungan yang meliputi pengurangan sampah. Pengolahan sampah bertujuan


untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan
sampah sebagai sumber daya. Pengertian lainnya, pengolahan sampah adalah suatu
bidang yang berhubungan dengan peraturan terhadap penimbulan. Penyimpanan
(sementara), pengumpulan, pemindahan, dan pengangkutan, pemrosesan, dan
pembuangan sampah dengan suatu cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip terbaik dari
kesehatan masyarakat, ekonomi, teknik, perlindungan alam, keindahan, dan
pertimnangan lingkungan lainnya dan juga mempertimbangkan sikap masyarakat.
Berdasarkan SNI 19-2454-2002, faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pengelolaan
sampah perkotaan meliputi; Kepadatan dan penyebaran penduduk, Karakteristik fisik
lingkungan dan sosial ekonomi, Timbulan dan karakteristik sampah, Bahaya sikap dan
perilaku masyarakat, Jarak dari sumber sampah ke tempat pembuangan akhir sampah,
Rencana tata ruang dan pengembangan kota, Sarana pengumpulan, pengangkutan,
pengolahan, dan pembuangan akhir sampah, Biaya yang tersedia, dan Peraturan daerah
setempat.

2.6 Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan


Berdasarkan SNI-19-2454-2002, teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan
terdiri dari kegiatan pewadahan sampai dengan pembuangan akhir sampah harus
bersifat terpadu dengan melakukan pemilahan sejak dari sumbernya. Skema teknik
operasional pengelolaan persampahan dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini:
Timbulan Sampah
Pemilahan, Pewadahan, dan
Pengolahan di Sumber

Pengumpulan
Pemilahan dan
Pengolahan

Pemindahan
Pengangkutan

Pengelolaan dan Pemanfaatan


Pembuangan Akhir
Gambar 2.1 Diagram teknik operasional pengelolaan persampahan

2.6.1 Timbulan Sampah


Timbulan sampah adalah banyaknya sampah yang timbul dari masyarakat dalam satuan
volume maupun berat per kapita perhari, atau perluas bangunan, atau perpanjang jalan.
Tahap ini sulit dikontrol, karena setiap individu dapat bertindak sebagai penimbul
sampah akibat dari aktivitas yang berbeda atau merupakan tahap yang menentukan
berhasil atau tidaknya pengelolaan selanjutnya. Pengertian lain dari timbulan (kuantitas)
sampah merupakan volume sampah atau berat sampah yang dihasilkan dari jenis
sumber sampah di wilayah tertentu per satuan waktu (DPU, 2005).
Data ini diperlukan dalam menentukan dan mendesain jenis atau tipe peralatan yang
digunakan dalam transportasi sampah, desain sistem pengolahan persampahan, dan
desain TPA.
2.6.2 Pemilahan, Pewadahan, dan Pengolahan di Sumber
Pemilahan adalah proses pemisahan sampah berdasarkan jenis sampah yang dilakukan
sejak dari sumber sampai dengan pembuangan akhir.

Pewadahan sampah adalah tahapan awal setelah dilakukan pemilahan dalam proses
pengelolaan sampah yang merupakan usaha menempatkan sampah dalam suatu wadah
atau tempat agar tidak berserakan, mencemari lingkungan, mengganggu kesehatan
masyarakat, serta untuk tujuan menjaga kebersihan dan estetika. Alatnya dinamakan
tempat sampah. Pewadahan ini dapat bersifat individual dan komunal (dipakai untuk
umum).
Pewadahan yang bersifat individual biasanya diterapkan di daerah komersial,
perkantoran, dan pemukiman yang teratur. Peralatan yang dipergunakan bisa bermacammacam, misalnya ban, plastik, drum (tong), wadah kayu, kardus atau pasangan batu bata
di pagar rumah (perumahan elite). Pengadaan wadah sampah ini dilakukan oleh masingmasing individu pemilik bangunan atau rumah tersebut. Untuk penyeragaman tong
sampah di sepanjang trotoar, Pemda setempat menyediakan tong sampah yang seragam
yang kemudian dibagikan kepada masyarakat. Pewadahan komunal diterapkan di daerah
pemukiman yang tidak teratur (dari segi bangunan dan jalan), pemukiman yang masih
jarang penduduknya, dan di pasar. Peralatan yang dipergunakan adalah bak sampah dari
pasangan batu bata atau kontainer plastik yang besar.

2.6.3 Pengumpulan
Pengumpulan sampah adalah aktivitas penanganan yang tidak hanya mengumpulkan
sampah dari wadah individual dan atau dari wadah komunal melainkan juga
mengangkutnya ke tempat terminal tertentu, baik dengan pengangkutan langsung
maupun tidak langsung.
Pengumpulan individual artinya petugas pengumpulan mendatangi dan mengambil
sampah dan setiap rumah tangga, toko, atau kantor di daerah pelayanannya. Peralatan
yang dipergunakan untuk aktivitas pengumpulan ini adalah truk ataupun gerobak.
Sedangkan pengumpulan komunal berarti tempat pengumpulan sampah sementara. Ini

merupakan wadah dari sampah yang didapat dari rumah-rumah yang dibawa oleh
gerobak. Sedangkan pengumpulan sampah di jalan-jalan besar dilakukan oleh petugas
Dinas Kebersihan dengan pengambilan sampah dari rumah ke rumah.
Pola pengumpulan sampah terdiri dari:
a. Pola individual langsung adalah kegiatan pengambilan sampah dari rumah-rumah
sumber sampah dan diangkut langsung ke TPA tanpa melalui kegiatan pemindahan,
dengan persyaratan sebagai berikut:
1) Kondisi topografi bergelombang (>15 - 40%), hanya alat pengumpul mesin yang
2)
3)
4)
5)

dapat beroperasi.
Kondisi jalan cukup lebar dan operasi tidak mengganggu pemakai jalan lainnya.
Kondisi dan jumlah alat memadai.
Jumlah timbunan sampah >0.3 m3/hari.
Bagi penghuni yang berlokasi di jalan protokol

b. Pola individual tidak langsung adalah kegiatan pengambilan sampah dari masingmasing sumber sampah dibawa ke lokasi pemindahan untuk kemudian diangkat ke
TPA, dengan persyaratan sebagai berikut:
1) Bagi daerah yang partisipasi masyarakat pasif.
2) Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia.
3) Bagi kondisi topografi relatif datar (rata-rata <5%) dapat menggunakan alat
pengumpul non mesin.
4) Alat pengumpul masih dapat menjangkau secara langsung.
5) Kondisi lebar gang dapat dilalui alat pengumpul tanpa mengganggu pemakai jalan
lainnya.
6) Harus ada organisasi pengelola pengumpulan sampah.
c. Pola komunal langsung adalah kegiatan pengambilan sampah dari masing-masing
titik komunal dan diangkut ke TPA, dengan persyaratan sebagai berikut:
1) Bila alat angkut terbatas.
2) Bila kemampuan pengendaliaan personil dan peralatan relatif rendah.
3) Alat pengumpul sulit menjangkau sumber-sumber sampah individual (kondisi
daerah berbukit, gang/jalan sempit).
4) Peran serta masyarakat tinggi.
5) Wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan lokasi yang mudah
dijangkau oleh alat pengangkut (truk).
6) Untuk permukiman tidak teratur.

d. Pola komunal tidak langsung adalah kegiatan pengambilan sampah dari masingmasing titik pewadahan komunal ke lokasi pemindahan untuk diangkut selanjutnya
ke TPA dengan persyaratan sebagai berikut:
1) Peran masyarakat tinggi.
2) Wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan lokasi yang mudah
dijangkau alat pengumpul.
3) Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia.
4) Bagi kondisi topografi relatif datar (rata-rata <5%) dapat menggunakan alat
pengumpul non mesin, bagi kondisi topografi >5% dapat menggunakan cara
laain seperti pikulan, kontainer kecil beroda.
5) Lebar jalan dapat dilalui alat pengumpul tanpa mengganggu tanpa mengganggu
pemakai jalan lainnya.
6) Harus ada organisasi pengelola sampah.
2.6.4 Pemindahan
Pemindahan sampah adalah kegiatan memindahkan sampah hasil pengumpulan ke
dalam alat pengangkut alat untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir. Pemilahan di
lokasi pemindahan dapat dilakukan dengan cara manual oleh petugas kebersihan dan
atau masyarakat yang berminat, sebelum dipindahkan ke alat pengangkut sampah.
Cara pemindahan dapat dilakukan dengan cara manual, mekanis, dan atau gabungan
manual dan mekanis, yaitu pengisian kontainer dilakukan secara manual oleh petugas
pengumpul, sedangkan pengangkutan kontainer ke atas truk dilakukan secara mekanis
(load haul). Lokasi pemindahan adalah sebagai berikut:
a. Harus mudah keluar masuk bagi sarana pemngumpul dan pengangkut sampah
b. Tidak jauh dari sumber sampah
c. Berdasarkan tipe, lokasi pemindahan terdiri dari transfer depo tipe I (terpusat) atau
transfer depo tipe II dan III (tersebar).
d. Jarak antara tranfer depo untuk tipe I dan tipe II adalah 1,0 - 1,5 km
Tabel 2.3 Tipe pemindahan (transfer)

No

Uraian

Transer Depo
Tipe II
Tipe III
2
2
60 m - 200 m
10 - 20 m2
pertemuan -Tempat pertemuan - Tempat pertemuan

Tipe I
1
2

Luas lahan
Fungsi

200 m2
-Tempat

peralatan pengumpul peralatan


dan

dan kontainer (6 - 10 m2)

pengangkutan pengumpul

sebelum pemindahan

pengangkutan

- Lokasi penempatan

-Tempat penyimpanan sebelum

kontainer komunal

atau kebersiham

pemindahan

(1 - 10 m3)

-Bengkel sederhana

-Kantor wilayah

gerobak

mendapat lahan yang

-Tempat pemilahan

kosong dan daerah

/pengendali

gerobak dan

Tempat

parkir - Daerah yang sulit

-Tempat pemilahan

yang protokol

Daerah

-Tempat pengomposan
Baik sekali untuk

Daerah yang sulit

pemakai

daerah yang mudah

mendapat lahan yang

mendapat lahan

kosong dan daerah


protokol

Sumber : SNI, 2002


2.6.5 Pengolahan
Pengolahan sampah adalah suatu proses untuk mengurangi volume sampah dan atau
mengubah bentuk sampah menjadi yang bermanfaat. Teknik-teknik pengolahan sampah
dapat berupa :
a. Pengomposan
i.
Berdasarkan kapasitas (individual, komunal, skala lingkungan).
ii.
Berdasarkan proses (alami, biologis dengan cacing, biologis
b.
c.
i.
ii.
d.
e.

dengan

mikroorganisme tambahan).
Insinerasi yang Berwawasan Lingkungan.
Daur ulang
Sampah anorganik disesuaikan dengan jenis sampah.
Menggunakan kembali sampah organik sebagai makanan ternak.
Pengurangan volume sampah dengan pencacahan atau pemadatan.
Biogasifikasi (pemanfaatan energi hasil pengolahan sampah).

2.6.6 Pola Pengangkutan


Pengangkutan sampah berkaitan dengan kegiatan membawa sampah dari lokasi
pemindahan ke lokasi pembuangan akhir. Syarat alat pengangkut sampah :

a. Alat pengangkut sampah harus dilengkapi dengan penutup sampah, minimal dengan
b.
c.
d.
e.

jaring.
Tinggi bak maksimum 1,6 meter.
Sebaiknya ada alat ungkit.
Kapasitas disesuaikan dengan kelas jalan yang akan dilalui.
Bak truk/dasar kontainer sebaiknya dilengkapi pengaman air sampah

2.6.6.1 Pengangkutan Sampah dengan Sistem Pengumpulan Individual Langsung


Pengangkutan sampah dengan sistem pengumpulan individual langsung (door to door).
a. Truk pengangkut sampah dari pool menuju titik sumber sampah pertama untuk
mengambil sampah,
b. Selanjutnya meengambil sampah pada titik-titik sumber sampah berikutnya sampai
truk penuh sesuai dengan kapasitasnya,
c. Selanjutnya diangkut ke TPA sampah,
d. Setelah pengosongan di TPA, truk menuju lokasi sumber sampah berikutnya,
Sampai terpenuhi ritasi yang telah ditetapkan.
2.6.6.2 Pengumpulan Sampah melalui Sistem Pemindahan di Transfer Depo Tipe I
dan II
a. Kendaraan pengangkut sampah keluar dari pool langsung menuju lokasi
pemindahan di transfer depo untuk mengangkut sampah ke TPA.
b. Dari TPA, Kendaraan tersebut kembali ke transfer depo untuk pengangmbilan pada
rit berikutnya:
Untuk pengumpulan sampah dengan sistem kontainer (transfer tipe III), pola
pengangkutan adalah sebagai berikut:
- Kendaraan dari pool menuju kontainer isi pertama untuk mengangkut sampah ke
TPA
- Kontainer kosong dikembalikan ketempat semula
- Menuju ke kontainer isi berikutnya untuk diangkut ke TPA
- Kontainer kosong dikembalikan ketempat semula, dan
- Demikian seterusnya sampai rit terakhir.
Pola pengangkutan sistem pengosongan kontainer cara II (SNI, 2002)

Kendaraan dari pool menuju kontainer isi pertama untuk mengangkut sampah ke
TPA
Dari TPA kendaraan tersebut dengan kontainer kosong menuju lokasi ke-2 untuk
menurunkan kontainer kosong dan membawa kontainer isi untuk diangkut ke TPA
Demikian seterusnya sampai rit terakhir.
Pada rit terakhir, dengan kontainer kosong, dari TPA menuju ke lokasi kontainer
pertama, kemudian truk kembali ke pool tanpa kontainer
Sistem ini diberlakukan pada kondisi tertentu (misal: pengambilan pada jam tertentu,
atau mengurangi kemacetan lalu lintas)
Pola pengangkutan sistem pengosongan kontainer cara III (SNI, 2002)
Kendaraan dari pool dengan membawa kontainer kosong menuju ke lokasi kontainer
isi untuk mengganti/mengambil dan langsung membawa ke TPA,
Kendaraan dengan menbawa kontainer kosong ke TPA menuju ke kontainer isi
berikutnya, dan
Demikian seterusnya sampai rit terakhir.
c. Pola pengangkutan sampah dengan sistem kontainer tetap biasanya diterapkan
untuk kontainer kecil serta alat angkut berupa truk pemadat atau dump truck atau
truk.
2.6.7

Pengelolaan dan Pemanfaatan Sampah

Pada umumnya proses pengelolaan sampah di perkotaan terdiri atas beberapa tahapan
proses, antara lain:
1. Pewadahan di tempat timbulan
2. Pengumpulan dari wadah tempat timbulan ke tempat pemindahan (tempat
3.
4.
5.
6.

spembuangan sementara)
Pemindahan dari wadahnya di alat pengangkut
Pengangkutan ke tempat pembuangan atau ke tempat pengolahan
Pengolahan sampah untuk dimanfaatkan
Pembuangan akhir.

Kegiatan pengolahan dan pemanfaatan sampah ini ditujukan untuk mendaur ulang
sampah yang ada untuk kegunaan yang lain. Pengolahan sampah dapat dilakukan
dengan proses pengomposansampah organik (Composting), yang menghasilkan

kompos, proses pengepakan sampah (Packing) anorganik dan proses pembakaran


(Inceneration), yang dapat dimanfaatkan energi panasnya.
Proses pengomposan adalah seluruh operasi yang memungkinkan dihasilkan kompos
dengan karakter seperti tanah yang berguna untuk tanaman (DPU, 1996). Proses dasar
yang terjadi pada pengomposan disebut proses aerobik, atau proses penguraian bahanbahan organik oleh mikroorganisme dengan menggunakan oksigen.
2.6.8 Pembuangan Akhir Sampah
Pembuangan akhir sampah merupakan tempat proses terakhir dalam siklus pengelolaan
persampahan formal. Fase ini dapat menggunakan berbagai metode dari yang sederhana
hingga tingkat teknologi tinggi. Secara umum teknologi pengolahan sampah dibedakan
menjadi 3 metode yaitu:
1. Open Dumping
Metode open dumping ini

merupakan sistem pegolahan sampah dengan hanya

membuang/menimbun sampah disuatu tempat tanpa ada perlakuan khusus atau sistem
pengolahan yang benar, sehingga sistem open dumping menimbulkan gangguan
pencemaran lingkungan.
2. Controlled Landfill
Metode controlled landfill adalah sistem open dumping yang diperbaiki yang
merupakan sistem pengalihan open dumping dan sanitary landfill yaitu dengan
penutupan sampah dengan lapisan tanah dilakukan setelah TPA penuh yang dipadatkan
atau setelah mencapai periode tertentu.
3. Sanitary Landfill
Metode pembuangan akhir sampah yang dilakukan dengan cara ditimbun dan
dipadatkan, kemudian di tutup dengan tanah sebagai lapisan penutup. Pekerjaan
pelapisan tanah penutup di lakukan setiap hari pada akhir jam operasi.

2.7 Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)


Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap
terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan,
pemindahan atau pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan. TPA merupakan tempat
dimana sampah secara diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan
terhadap lingkungan sekitarnya. Karenanya, diperlukan penyediaan fasilitas dan
perlakuan yang benar dan baik.
Berdasarkan data SLHI tahun 2007 tentang kondisi TPA di Indonesia, sebagian besar
merupakan tempat penimbunan sampah terbuka (open dumping) sehingga menimbulkan
masalah pencemaran pada lingkungan. Data menyatakan bahwa 90% TPA dioperasikan
dengan open dumping dan hanya 9% yang dioperasikan dengan controlled landfill dan
sanitary landfill. Perbaikan kondisi TPA sangat diperlukan dalam pengelolaan sampah
pada skala kota.

2.7.1 Perencanaan TPA


Adanya ketentuan-ketentuan dalam merancang TPA baik ketentuan umum maupun
ketentuan teknis.
1. Ketentuan Umum
a. Pemilihan lokasi TPA sampah perkotaan harus sesuai dengan ketentuan yang ada
(SNI 03-3241- 1994 tentang tata cara pemiilihan lokasi TPA)
b. Perencanaan TPA sampah perkotaan perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Rencana pengembangan kota dan daerah, tata guna lahan serta rencana
pemanfaatan lahan bekas TPA
2. Kemampuan ekonomi pemerintah daerah setempat dan masyarakat, untuk
menentukan teknologi sarana dan prasarana TPA yang layak secara
ekonomis, teknis dan lingkungan.
3. Kondisi fisik dan geologi seperti topografi, jenis tanah, kelulusan tanah,
kedalaman air tanah, kondisi badan air sekitamya, pengaruh pasang surut,
angin, iklim, curah hujan, untuk menentukan metode pembuangan akhir
sampah.

4. Rencana pengembangan jaringan jalan yang ada, untuk menentukan rencana


jalan masuk TPA.
5. Rencana TPA didaerah lereng agar memperhitungkan masalah kemungkinan
terjadinya longsor
c. Tersedianya biaya operasi dan pemeliharaan TPA
d. Sampah yang dibuang ke TPA harus telah melalui pengurangan volume sampah
(program 3 M) sedekat mungkin dengan sumbernya
e. Sampah yang dibuang dilokasi TPA adalah hanya sampah perkotaan yang bukan
berasal dari industri, rumah sakit yang mengandung B3
f. Kota-kota yang sulit mendapatkan lahan TPA di wilayahnya, perlu
melaksanakan model TPA regional serta perlu adanya institusi pengelola
kebersihan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan TPA tersebut secara
memadai.
2.

Ketentuan Teknis
a. Harus ada pengendalian leahcate, yang terbentuk dari proses dekomposisi
sampah agar tidak mencemari tanah, air tanah maupun badan air yang ada.
b. Harus ada pengendalian gas dan bau hasil dekomposisi sampah, agar tidak
mencemari udara, menyebabkan kebakaran atau bahaya asap dan menyebabkan
efek rumah kaca.
c. Harus ada pengendalian vektor penyakit.

2.7.2 Sarana dan Prasarana TPA


Sarana dan prasarana TPA yang dapat mendukung prinsip tersebut diatas adalah sebagai
berikut:
1. Fasilitas umum (jalan masuk, kantor/pos jaga, saluran drainase dan pagar)
2. Fasilitas perlindungan lingkungan (lapisan kedap air, pengumpul leachate, pengolahan
leachate, ventilasi gas, daerah penyangga, tanah penutup)
3. Fasilitas penunjang (air bersih, jembatan timbang dan bengkel)
4. Fasilitas operasional (alat besar dan truk pengangkut tanah)

Berdasarkan petunjuk teknis operasi pemeliharaan sarana dan prasarana persampahan


maka lahan di lokasi TPA yang direncanakan biasanya dibagi menjadi (Litbang
Pemukiman, 2009):
Lahan Efektif : bagian lahan yang digunakan sebagai lokasi pengurugan atau
penimbunan sampah. Lahan efektif direncanakan sebesar 70% dari luas total
keseluruhan TPA
Lahan Utilitas : bangunan atau sarana lain di TPA khususnya agar pengurugan dan
kegiatan lainnya dapat berlangsung, seperti jalan, jembatan timbang, bangunan
kantor, hanggar 3R, bangunan pengolah leachate, bangunan pencucian kendaraan,
daerah buffer (pohon-pohon) lingkungan, dan sebagainya. Lahan utilitas
direncanakan luasnya mencapai sekitar 30% dari lahan yang tersedia. Lahan utilitas
ini akan mengakomodasi berbagai sarana dan prasarana penunjang yang diperlukan
dalam pengelolaan site.
(Anonim, 2011)

2.11 Sanitary Landfill


Landfill merupakan suatu kegiatan penimbunan sampah padat pada tanah. Jika tanah
memiliki muka air yang cukup dalam, tanah bisa digali, dan sampah bisa ditimbun
didalamnya. Metode ini kemudian dikembangkan menjadi sanitary landfill yaitu
penimbunan sampah dengan cara yang sehat dan tidak mencemari lingkungan. Sanitary
landfill didefinisikan sebagai sistem penimbunan sampah secara sehat dimana sampah
dibuang di tempat yang rendah atau parit yang digali untuk menampung sampah, lalu
sampah ditimbun dengan tanah yang dilakukan lapis demi lapis sedemikian rupa
sehingga sampah tidak berada di alam terbuka. Pada prinsipnya landfill dibutuhkan
karena:
Pengurangan limbah di sumber, daur ulang atau minimasi limbah tidak dapat
menyingkirkan seluruh limbah
Pengolahan limbah biasanya menghasilkan residu yang harus ditangani lebih lanjut
Kadangkala limbah sulit diuraikan secara biologis, sulit diolah secara kimia, atau sulit
untuk dibakar. Beberapa hal yang sangat diperhatikan dalam operasional sanitary
landfill adalah adanya pengendalian pencemaran yang mungkin timbul selama
operasional dari landfill seperti adanya pengendalian gas, pengolahan leachate dan
tanah penutup yang
berfungsi mencegah hidupnya vektor penyakit.

Berdasarkan peletakkan sampah di dalam sanitary landfill, maka klasifikasi dari landfill
dapat dibedakan menjadi (Gambar1):
a. Mengisi Lembah atau cekungan.
Metode ini biasa digunakan untuk penimbunan sampah yang dilakukan pada daerah
lembah, seperti tebing, jurang, cekungan kering, dan bekas galian. Metode ini
dikenal dengan depression method. Teknik peletakan dan pemadatan sampah
tergantung pada jenis material penutup yang tersedia, kondisi geologi dan hidrologi
lokasi, tipe fasilitas pengontrolan leachate dan gas yang digunakan, dan sarana
menuju lokasi.
b. Mengupas Lahan secara bertahap
Pengupasan membentuk parit-parit tempat penimbunan sampah dikenal sebagai
metode trench. Metode ini digunakan pada area yang memiliki muka air tanah yang
dalam. Area yang digunakan digali dan dilapisi dengan bahan yang biasanya terbuat
dari membran sintetis, tanah liat dengan permeabilitas yang rendah (lowpermeability clay), atau kombinasi keduanya, untuk membatasi pergerakan leachate
dan gasnya.
c. Menimbun Sampah di atas lahan.
Untuk daerah yang datar, dengan muka air tanah tinggi, dilakukan dengan cara
menimbun sampah di atas lahan. Cara ini dikenal sebagai metode area. Sampah
dibuang menyebar memanjang pada permukaan tanah, dan tiap lapis dalam proses
pengisian (biasanya per 1 hari), lapisan dipadatkan, dan ditutup.

Anda mungkin juga menyukai