Anda di halaman 1dari 31

TL-5122 Pengelolaan Limbah B3

Tugas C-2: Basel Convention

Fildzah Raudina M. 25315312

Marita W. 25316004

Novi Kartika S. 25315313

Nia Febrianti 25315304

Deby Hajjar R. 25315314

Imam Thanthawi 25315301

Kandina Rahmadita. 25315315

Annisa Fitri Diani 25316009

Dea Putri P. 25315316

Yoanne M.S 25316013

Iva Yenis S. 25315319

Gunadi Priyambadha 25316001

Mulki Rachmawati. 25316002

PROGRAM PASCASARJANA TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat Rahmat dan HidayahNya lah sehingga makalah yang berjudul Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dapat selesai
tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan B3 (TL5122) serta menambah wawasan mahasiswa khususnya terkait dengan pengelolaan bahan dan
limbah bahan berbahaya dan beracun. Selain tujuan tersebut, penulis berharap kedepannya makalah
ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang memerlukan, baik untuk kepentingan akademik
maupun non akademik.

Pembuatan makalah ini tentunya tidak lepas dari peran banyak pihak yang membantu secara
langsung maupun tidak langsung dengan cara memberi saran, kritik, dan dukungan. Untuk itu, penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah ikut serta
berpartisipasi dalam merealisasikan makalah ini, terutama kepada Bapak Sukandar selaku Dosen
Pengajar yang telah membimbing dan membantu tim penulis dalam penyusunan makalah ini serta
dukungan penuh teman- teman Kelas Pengelolaan B3 (TL-5122). Saran, kritik dan dukungan tersebut
sangat bermanfaat bagi tim penulis.

Penulis telah berupaya menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Namun penulis menyadari
dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja karena
keterbatasan pengetahuan. Untuk itu , Tim Penulis sangat mengharapkan dan terbuka terhadap kritik
dan saran yang membangun untuk perbaikan kedepannya. Dan tentunya tim penulis sangat berharap
makalah ini bermanfaat bagi yang membaca.

Bandung, 15 Oktober 2016

Tim Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................................................ 2
BAB I.............................................................................................................................................................. 4
BAB II............................................................................................................................................................. 7
PEMBAHASAN .............................................................................................................................................. 7
2.1

Tujuan Konvensi Basel 1989 ............................................................................................................ 7

2.2

Pengaturan Konvensi Basel 1989 ..................................................................................................... 8

2.3

Klasifikasi Limbah dalam Konvensi Basel ...................................................................................... 10

2.4

Keterkaitan Produksi Bersih Dengan Konvensi Basel ................................................................... 16

2.5

Sampah Elektronik (E-Waste) dalam Basel Convention ............................................................... 17

2.6

Implementasi Konvensi Basel di Indonesia ................................................................................... 19

2.6

Kepentingan Indonesia .............................................................................................................. 21

2.7

Ketentuan Konvensi Basel ......................................................................................................... 21

2.7.1

Persyaratan Administrasi Dokumen Permohonan Notifikasi Ekspor Limbah B3 ................. 23

2.7.2

Kewajiban Bila Terjadi Perpindahan Limbah Lintas Batas Secara Illegal ............................. 27

2.7.3

Kewajiban sebagai negara Pihak ........................................................................................... 27

2.7.4

Permasalahan yang Dihadapi................................................................................................. 28

BAB III ......................................................................................................................................................... 29


Kesimpulan ................................................................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................................... 31

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kemajuan teknologi yang pesat meningkatkan pembangunan di bidang industri di dunia


baik di negara maju maupun di negara berkembang. Kegiatan pembangunan bertujuan untuk
meningkatkan kesejahtraan hidup rakyat melalui rencana pembangunaan jangka panjang yang
bertumpu pada pembangunan di bidang industri. Meningkatnya pembangunan di bidang industri
berdampak sangat besar terhadap ekonomi masyarakat. Pembangunan di bidang industri juga
akan menghasilkan barang yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pembangunan di bidang
industri di satu sisi memberi dampak yang positif bagi negara, namun di sisi lain, Pembangunan
di bidang industri juga menimbulkan dampak yang negatif, karena pembangunan di bidang
industri tentunya akan menghasilkan limbah. Di antara limbah yang dihasilkan oleh kegiatan
industri tersebut adalah limbah bahan berbahaya dan beracun atau yang lebih dikenal dengan
nama limbah B3. Berdasarkan sifat dan karakteristiknya, limbah bahan berbahaya dan beracun
memiliki dampak, bahaya yang serius dan berkepanjangan yang mengancam kesehatan manusia,
mahluk hidup lainnya serta lingkungan hidup. Oleh karenanya limbah bahan berbahaya dan
beracun perlu dikelola secara khusus.
Pembangunan di bidang industri akan menghasilkan limbah B3 sebagai sisa atau
pembuangan dari proses produksi perlu diupayakan agar penghasilan limbah B3 akibat dari
pembangunan industri dapat diminimalisir seminimal mungkin. Saat ini masalah limbah B3
bukan lagi hanya masalah regional tiap-tiap negara saja, melainkan telah menjadi masalah yang
global, menjadi ancaman yang serius bagi lingkungan global (internasional). Hal ini disebabkan
limbah B3 di suatu negara tidak hanya berasal dari pembangunan industri saja melainkan ada
juga limbah B3 yang berasal dari pembuangan oleh negara lain yang mengalir melalui laut
maupun udara.
Oleh karena itu negara-negara internasional bereaksi untuk mengatasi masalah tersebut
dengan mengadakan perundingan dan kerjasama internasional. Negara-negara sepakat untuk
4

membentuk konvensi mengenai pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dengan
nama Basel Convention on the Control of Transboundary Movement of Hazardous Wastes and
Their Disposal yaitu Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun pada tanggal 22 Maret 1989. Konvesi tersebut diharapkan mampu
mengurangi perpindahan limbah bahan berbahaya dan beracun serta potensi bahayanya
sehingga melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak yang ditimbulkan.
Perpindahan lintas batas limbah-limbah berbahaya bermula dari krisis energi yang dialami
negara-negara maju pada periode 1970an. Krisis energi ini mendorong para pengusaha untuk
menganggarkan biaya produksi dan konsumsi seminimal mungkin. Pada saat yang bersamaan,
terdapat pula pengetatan standar lingkungan lokal. Hal tersebut mendorong pengusaha dan
petugas (perantara untuk pembuangan limbah) untuk mencari tempat-tempat pembuangan
baru yang lebih murah biayanya. Akhirnya negara-negara dunia ketiga dijadikan sasaran untuk
membuang limbah-limbah tersebut. Oleh karena itu perlu adanya pengaturan yang mengatur
mengenai limbah bahan berbahaya dan beracun baik pencegahan/meminimalisir limbah B3
maupun ketentuan mengenai perpindahan atau pembuangan illegal limbah B3 dari suatu negara
indusutri ke yurisdiksi negara lain. Semakin lama semakin meningkat perdagangan limbah
berbahaya ke negara dunia ketiga atau negara yang sedang berkembang tersebut. Beberapa
kasus membuktikan, misalnya kasus Koko pada 1988, ketika lima kapal mengangkut 8.000 barel
limbah berbahaya dari Italia ke kota kecil Koko di Nigeria. Mereka menyewa lahan di Koko
seharga US$ 100 per bulan untuk tempat pembuangan limbah. Oleh banyak negara berkembang,
praktek ini dikenal dengan nama kolonialisasi limbah beracun.
Masyarakat internasional bereaksi terhadap masalah perpindahan limbah bahan
berbahaya dan beracun dari negara-negara maju ke negara berkembang mengigat kesadaran
masyarakat internasional terhadap lingkungan pada generasi mendatang. Selain itu juga ada
kekhawatiran akan makin meningkatnya perdagangan limbah berbahaya ke negara berkembang.
Pertimbangan masyarakat internasional terhadap lingkungan pada generasi mendatang adalah
untuk melindungi kesehatan manusia dari bahaya akibat limbah tersebut. Negara-negara
mengadakan perundingan dan kerjasama internasional yang dituangkan dalam The Basel
Convention on the Control of Transboundary Movement of Hazardous Wastes and Their Disposal
5

merupakan hasil dari sebuah konvensi khusus tentang konvensi menyeluruh mengenai
pengawasan dari pergerakkan lintas batas limbah B3 yang diselenggarakan oleh UNEP (The
United Nations Environment Programme), yaitu merupakan badan khusus PBB yang bergerak
dibidang permasalahan lingkungan hidup.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tujuan Konvensi Basel 1989
Masalah lingkungan khususnya limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) merupakan
masalah internasional. Pembangunan industri mengakibatkan adanya limbah B3 tersebut
sebagai sisa atau pembuangan dari proses produksi. Selain itu perpindahan/pembuangan limbah
bahan berbahaya dan beracun dari negara maju ke negara berkembang menimbulkan reaksi bagi
masyarakat

internasional

khususnya

negara

berkembang

sebagai

tempat

pemindahan/pembuangan limbah B3 pastinya mendapatkan kerugian dari hal tersebut.


Masalah tersebut membuat masyarakat internasional bekerjasama dalam mengatasi
masalah tersebut dengan mengadakan kerjasama dan perjanjian internasional yang dituangkan
dalam Konvensi Basel pada tahun 1989. Tujuan utama Konvensi Basel adalah untuk mencegah
penyelundupan/pemindahan limbah B3 illegal melalui pengaturan perpindahan lintas batas B3
antar negara. Selain itu, Konvensi Basel bertujuan untuk:
a. Mengurangi jumlah limbah B3 serta potensi bahayanya;
b. Melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak yang timbul oleh semakin
meningkatnya kompleksitas limbah B3, perpindahan lintas batas limbah B3 dan limbah
lainnya;
c. Mengurangi perpindahan lintas batas limbah B3 dan limbah lain;
d. Membuat negara-negara industri untuk konsisten dalam pengelolaan limbah B3, dan
membuang limbah tersebut ke negara dimana limbah dihasilkan dengan cara yang
berwawasan lingkungan;
e. Menanamkan prinsip tanggungjawab negara terhadap limbah B3 yang dihasilkan;
f. Menjamin pengawasan yang ketat atas perpindahan lintas batas limbah B3 guna
pencegahan perdagangan/pemindahan limbah illegal ke yurisdiksi negara lain;
g. Melarang pengiriman limbah B3 menuju negara yang kurang memadai dalam hal
teknologi pengelolaan secara berwawasan lingkungan;

h. Membantu negara-negara berkembang dalam ahli teknologi yang berwawasan


lingkungan untuk pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan.

2.2 Pengaturan Konvensi Basel 1989


Konvensi Basel terdiri dari mukadimah, 29 article (pasal) dan 6 annex (ketentuan
tambahan). Berikut adalah hal-hal penting yang diatur dalam Konvensi Basel 1989:
a) Meminimalisir produksi limbah B3
Negara-negara diminta agar meminimalisir produksi limbah B3 yang dihasilkan (Pasal 4
ayat (2a)). Pengurangan produksi limbah B3 dilakukan dengan kerjasama antar negara
dalam pengembangan teknologi yang dapat semaksimal mungkin meminimalisir produksi
limbah B3 (Pasal 10 ayat (2c)).
b) Pengelolaan limbah berbahaya yang berwawasan/ramah lingkungan
Pengelolaan limbah harus berwawasan lingkungan, berdasarkan Pasal 2 ayat (2e dan 8),
pengelolaan limbah berbahaya dan limbah lainnya yang berwawasan lingkungan adalah:
Pengambilan semua langkah praktis untuk menjamin bahwa limbah berbahaya dan
limbah lainnya dikelola dengan cara memperhatikan perlindungan bagi kesehatan
manusia dan lingkungan terhadap dampak atau pengaruh merugikan yang mungkin
ditimbulkan oleh limbah tersebut
c) Menjamin tempat pembuangan limbah sendiri dan berusaha tidak melakukan
perpindahan/mengekspor limbah ke negara lain
Setiap negara harus berusaha menjamin ketersediaan fasilitas pembuangan sendiri yang
berwawasan lingkungan, sehingga ekspor limbah dapat diminimalisir (Pasal 4 ayat (2b dan
2d)). Limbah B3 dapat diekspor hanya jika negara eksportir tidak memiliki kapasitas teknis
dan fasilitas untuk membuang limbah dengan cara yang ramah lingkungan (Pasal 4 ayat
(9a)) atau jika limbah memang diperlukan sebagai bahan baku negara importir.
(Pasal 4 ayat (9b)).
d) Perpindahan lintas batas limbah B3
Setiap perpindahan lintas batas limbah B3 harus dikelola secara ramah lingkungan,
dimanapun tempat pembuangan mereka (Pasal 4 ayat (8)). Perpindahan lintas batas
8

limbah B3 harus ditujukan kepada negara yang mampu mengelola limbah B3 tersebut
secara ramah lingkungan. Negara penghasil limbah B3 tidak diizinkan mengekspor limbah
berbahaya jika tidak ada jaminan dari negara importir untuk mengelola limbah B3 secara
ramah lingkungan (Pasal 4 ayat 2 (e)). Begitu juga sebaliknya, negara importir tidak
dizinkan mengimpor limbah B3 jika tidak akan mampu untuk mengelola limbah B3 secara
ramah lingkungan (Pasal 4 ayat 2 (g)). perpindahan lintas batas limbah B3 juga harus
dituju ke negara yang meerupakan anggota dari konvensi basel. Negara-negara dilarang
mengekspor limbah B3 ke negara non-pihak Konvensi Basel (Pasal 5). Dilarang pula
mengekspor limbah B3 ke antartika (Ps 4 ayat (6)).
e) Tata cara mengekspor limbah B3
Masing-masing negara diperlukan membentuk sistem yang berguna untuk menangani
impor/ekspor limbah B3 dari tahap awal sampai akhir. (Pasal 4 ayat (7a)). Setiap
perpindahan lintas batas limbah B3 harus diperhatikan dokumen, persyaratan,
pengemasan, pelabelan, dan transportasi yang sesuai dengan aturan/standard
internasional (Pasal 4 ayat (7b)). Eksportir bertanggung jawab atas segala tindakan
pemindahan limbah B3.
f) Perjanjian Perdagangan limbah
Masing-masing negara yang sepakat untuk melakukan kerjasama perpindahan limbah B3
dapat melakukan perjanjian sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak namun tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan pada konvensi basel.
g) Penyelesaian sengketa
Segala sengketa harus diselesaikan secara damai yang diawali dengan proses negosiasi.
Apabila tidak mendapatkan kesepakatan maka para pihak dapat membawa ke arbritase
atau Mahkamah Internasional.

2.3 Klasifikasi Limbah dalam Konvensi Basel


1. Peraturan dalam Konvensi Basel
Berdasarkan Konvensi Basel 1989, Limbah B3 didefinisikan sebagai berikut:
a) Limbah berikut yang mengalami dinamakan "limbah B3" untuk tujuan Konvensi ini.

Limbah yang termasuk kategori yang tercantum di Annex I, yang memiliki karakteristik
seperti yang tercantum di Annex III

Limbah yang tidak termasuk di bagian (a) diatas tetapi ditetapkan sebagai limbah B3 oleh
peraturan nasional negaranya

b) Limbah yang tergabung dalam kategori tercantum dalam Annex II yang mengalami Transboundary
movement dinamakan "Limbah lainnya" untuk tujuan Konvensi ini.
c)

Limbah radioaktif, yang telah diatur dalam sistem kontrol internasional lainnya, termasuk
instrumen internasional, yang menerapkan secara khusus untuk bahan radioaktif, dikecualikan
dari ruang lingkup Konvensi ini.

d) Limbah yang berasal dari operasi normal kapal, pembuangan yang diatur dengan instrumen
internasional lain, dikecualikan dari ruang lingkup Konvensi ini
Transboundary movement adalah perpindahan limbah B3 atau limbah lain dari suatu area dibawah
wilayah hukum/ yurisdiksi nasional suatu negara ke atau melalui area dibawah wilayah hukum/yuridiksi
nasional negara lain atau melalui area yang bukan dibawah wilayah hukum/ yurisdiksi nasional suatu
negara, namun perpindahannya melibatkan paling sedikit dua negara.
Annex I
Waste Streams
Y1

Limbah klinis dari perawatan medis di rumah sakit, pusat medis dan klinik

Y2

Limbah dari produksi dan preparasi produk farmasi

Y3

Limbah farmasi dan obat

Y4

Limbah dari produksi, formulasi dan penggunakan biocides dan phytopharmaceutical

Y5

Limbah dari pembuatan, formulasi dan penggunaan bahan kimia pengawet kayu

Y6

Limbah dari produksi, formulasi dan penggunaan pelarut organik

Y7

Limbah dari heat treatment dan proses pencampuran yang mengandung sianida

Y8

Limbah minyak mineral yang tidak cocok untuk tujuan kegunaan awal mereka

10

Y9

Limbah campuran, emulsi minyak / air, hidrokarbon / air

Y10 Zat limbah dan artikel yang mengandung atau terkontaminasi dengan polychlorinated biphenyls
(PCB) dan / atau polychlorinated terphenyls (PCT) dan / atau polybrominated biphenyls (PBBs)
Y11 Limbah residu hasil dari penyulingan, distilasi dan proses pirolitik
Y12 Limbah dari produksi, formulasi dan penggunaan tinta, pewarna, pigmen, cat, lacquer, pernis
Y13 Limbah dari produksi, formulasi dan penggunaan resin, lateks, plasticizer, lem/perekat
Y14 Limbah zat kimia hasil dari kegiatan penelitian dan pengembangan atau pengajaran yang tidak
teridentifikasi dan/atau yang baru dan efeknya pada manusia dan/atau lingkungan tidak
diketahui
Y15 Limbah bersifat eksplosif yang tidak diatur pada undang-undang lainnya
Y16 Limbah dari produksi, formulasi dan penggunaan bahan kimia dan material proses fotografi
Y17 Limbah yang dihasilkan dari pengolahan awal logam dan plastik
Y18 Residu hasil operasi pembuangan limbah industri

LImbah yang mengandung zat:


Y19 Metal carbonyls
Y20 Beryllium; senyawa beryllium
Y21 Senyawa kromium heksavalen
Y22 Senyawa tembaga
Y23 Senyawa zink
Y24 Arsen; senyawa arsen
Y25 Selenium; senyawa selenium
Y26 Cadmium; senyawa cadmium
Y27 Antimony; senyawa antimony
Y28 Tellurium; senyawa tellurium
Y29 Mercury; senyawa mercury
Y30 Thallium; senyawa thallium
Y31 Timbal; senyawa timbal
Y32 Senyawa anorganik fluor kecuali calcium fluoride
Y33 Anorgnanik sianida
Y34 Larutan asam atau asam dalam bentuk padat
11

Y35 Larutan basa atau basa dalam bentuk padat


Y36 Asbestos (dust dan fibres)
Y37 Senyawa organik fosfor
Y38 Organik sianida
Y39 Fenol; senyawa fenol termasuk chlorophenols
Y40 Eter
Y41 Pelarut organik terhalogenasi
Y42 Pelarut organik tanpa pelarut terhalogenasi
Y43 Congenor polychlorinated dibenzo-furan
Y44 Congenor polychlorinated dibenzo-p-dioxin
Y45 Senyawa organohalogen diluar zat yang tercantum di Annex ini (e.g. Y39, Y41, Y42, Y43, Y44)

LImbah yang mengandung zat:


Y46 Metal carbonyls
Y47 Beryllium; senyawa beryllium
Y48 Senyawa kromium heksavalen
Y49 Senyawa tembaga
Y50 Senyawa zink
Y51 Arsen; senyawa arsen
Y52 Selenium; senyawa selenium
Y53 Cadmium; senyawa cadmium
Y54 Antimony; senyawa antimony
Y55 Tellurium; senyawa tellurium
Y56 Mercury; senyawa mercury
Y57 Thallium; senyawa thallium
Y58 Timbal; senyawa timbal
Y59 Senyawa anorganik fluor kecuali calcium fluoride
Y60 Anorganik sianida
Y61 Larutan asam atau asam dalam bentuk padat
Y62 Larutan basa atau basa dalam bentuk padat
Y63 Asbestos (dust dan fibres)
12

Y64 Senyawa organik fosfor


Y65 Organik sianida
Y66 Fenol; senyawa fenol termasuk chlorophenols
Y67 Eter
Y68 Pelarut organik terhalogenasi
Y69 Pelarut organik tanpa pelarut terhalogenasi
Y70 Congenor polychlorinated dibenzo-furan
Y71 Congenor polychlorinated dibenzo-p-dioxin
Y72 Senyawa organohalogen diluar zat yang tercantum di Annex ini (e.g. Y39, Y41, Y42, Y43, Y44)

Annex II
Kategori Limbah yang membutuhkan pertimbangan khusus
Y73 Limbah dari rumah tangga
Y74 Residu yang timbul dari pembakaran sampah rumah tangga
Annex III
Karakteristik Limbah Berbahaya

UN Class

Kode

Karakteristik

H1

Eksplosif
Zat atau limbah eksplosif adalah zat atau limbah padat
atau liquid (atau campuran zat atau limbah) yang dengan
sendirinya mampu melakukan reaksi kimia yang
menghasilkan gas pada suhu dan tekanan tertentu dan
dengan kecepatan tertentu menyebabkan kerusakan
pada lingkungan.

H3

Liquid Mudah Terbakar


Liquid Mudah Terbakar merupakan liquid atau campuran
liquid, atau liquid yang mengandung padatan dalam
larutan atau suspensi (contoh: cat, pernis, lacquer, dan

13

lain-lain, tetapi tidak termasuk zat atau limbah kecuali


diklasifikasikan karena karakteristik berbahaya mereka)
yang mengeluarkan uap yang mudah terbakar pada suhu
tidak lebih dari 60.5oC pada closed-cup test, atau tidak
lebih dari 65.6oC pada open-cup test.
4.1

H4.1

Padatan Mudah Terbakar


Padatan, atau limbah padat, selain yang digolongkan
sebagai eksplosif , yang dalam kondisi saat di transport
dapat sangat mudah terbakar, atau dapat menyebabkan
atau berkontribusi menghasilkan api melalui gesekan.

4.2

H4.2

Zat atau limbah yang menyebabkan kebakaran konstan


Zat atau limbah yang dapat menyebabkan pemanasan
secara spontan di bawah kondisi normal saat transport,
atau menjadi panas saat kontak dengan udara dan
kemudian mudah menangkap api

4.3

H4.3

Zat atau limbah yang bila kontak dengan air akan


mengeluarkan gas
Zat atau limbah yang apabila berinteraksi dnegan air,
akan secara spontan menjadi mudah terbakar atau
menghasilkan gas mudah terbakar di kuantitas yang
membahayakan

5.1

H5.1

Oksidator
Zat atau limbah yang tidak mudah terbakar, namun
dapat menghasilkan oksigen yang dapat berkontribusi
untuk pembakaran material lain

5.2

H5.2

Peroksida Organik
Zat atau limbah organik yang mengandung struktur
bivalen, struktur yang secara termal tidak stabil dan
mengalami exothermic self-accelerating decomposition.
14

6.1

H6.1

Beracun (Akut)
Zat atau limbah yang dapat menyebabkan kematian atau
luka serius atau membahayakan kesehatan jika tertelan
atau kontak dengan kulit

6.2

H6.2

Senyawa infeksius
Zat atau limbah yang mengandung mikroorganisme
hidup

atau

toksinnya

diketahui

atau

dicurigai

menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia


8

H8

Korosif
Zat atau limbah yang, dengan reaksi kimia, akan
menyebabkan kerusakan parah ketika kontak dengan
jaringan makhluk hidup, atau, dalam kasus kebocoran,
akan merusak material saat proses transport, dan juga
menyebabkan bahaya

H10

Penghasil gas toksik yang dapat menyebar ke udara atau


air
Zat atau limbah yang apabila berinteraksi dengan air
atau udara, akan menghasilkan gas toksik dengan
kuantitas yang membahayakan

H11

Toksik (delayed atau kronis)


Zat atau limbah yang jika terhirup atau tertelan atau jika
terpenetrasi ke kulit, dalam beberapa waktu akan
menghasilkan efek kronis, termasuk karsinogen

H12

Ecotoksik
Zat dan limbah yang apabila dilepaskan ke lingkungan
akan langsung, dan atau beberapa waktu kemudian
dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan
dengan cara bioakumulasi dan / atau efek toksik
pada sistem biotic
15

H13

Zat yang setelah dihasilkan akan menghasilkan material


lain,

seperti

lindi,

yang

memiliki

karakteristik-

karakteristik seperti di atas

2.4 Keterkaitan Produksi Bersih Dengan Konvensi Basel


Produksi bersih memiliki peranan untuk:
1. Metodologi Produksi Bersih untuk mengidentifikasi peluang di industry untuk mengurangi
terbentuknya limbah B3;
2. Persyaratan-persyaratan Konvensi Basel digunakan sebagai pendorong untuk industri dan
pemerintah untuk bisa lebih aktif menggunakan Probuksi Bersih sebagai alat dan metodelogi;
3. Menghubungkan antara sektor swasta dan perorangan;
4. Membangun kekuatan Produksi Bersih di Basel Convention Regional Centers (BCRC) sehingga
dapat mempromosikan Produksi Bersih di tingkat Pusat;
5. Menciptakan sinergi antara praktisi Produksi Bersih dengan BCRC.
Praktisi Produksi Bersih banyak menawarkan kepada industri dan pemerintah dalam hal dukungan praktis
untuk mengurangi limbah dalam industri di tingkat produksinya. Produksi bersih adalah alat yang
sempurna untuk mengidentifikasi peluang untuk minimisasi limbah. Dengan menghubungkan Produksi
Bersih dengan Konvensi Basel dan berbagai produsen, praktisi Produksi Bersih dapat memberikan
dukungan pelaksanaan pada saat yang sama sebagai peningkatan perhatian dan dukungan kepada
pendekatan Produksi Bersih baik di pemerintah maupun di industri. Bekerja secara langsung dengan
industri dan pemerintah, sama baiknya dengan BCRC adalah suatu hal penting penting dan dapat
memperkuat promosi Produksi Bersih.
Peranan praktisi produksi bersih:
1. Mempromosikan pedoman Produksi Bersih untuk menangani aliran limbah;
2. Mengembangkan bahan baru yang disesuaikan dengan kebutuhan Konvensi;
3. Memberikan pengetahuan tentang sumber-sumber informasi di Environmentally Sound
Management (ESM) untuk aliran limbah yang relevan;
4. Mengadakan project demonstrasi untuk ESM di negara-negara di sektor pembangkit limbah;

16

5. Pengadakan pelatihan ESM disesuaikan dengan kondisi setempat;


6. Menyediakan layanan bantuan teknis;
7. Memberikan saran kebijakan dan lobi terkait kebijakan Produksi Bersih dan undang-undang.

Gambar 1 Area Hubungan Produksi Bersih dan Konvensi Basel

2.5 Sampah Elektronik (E-Waste) dalam Basel Convention


Sampah elektronik tercantum dalam Basel Convention yaitu pada Annex VIII (entri A1180,A1150, dan
A2010) dan Annex IX(B1110) dari Basel Convention. Sampah elektronik pun merupakan prioritas
utama dari Basel Convention Strategic Plan (2000 2010).
Urgensi dari pengelolaan sampah elektronik adalah
-

Sampah elektronik mengandung unsur-unsur yang bahayanya kompleks seperti Pb, Cd, Be, Hg,
dan Br yang dapat berbahaya bagi lingkungan jika sampah tersebut tidak diperbaharui atau di
daur ulang.

Sampah elektronik bertambah setiap tahunnya 3-5%, tiga kali lebih cepat dari limbah biasa

Semakin banyak sampah elektronik, semakin banyak material berbahaya yang disebarkan ke
lingkungan

Sampah elektronik dalam jumlah besar di ekspor ke berbagai negara akibat lemahnya regulasi
dan infrastruktur, fasilitas perbaikan sampah, dan meningkatnya resiko kesehatan dan
lingkungan.

Telepon seluler yang sudah tidak terpakai merupakan sampah yang paling banyak saat ini, laju
pertambahannya meningkat sekitar 650 juta unit pertahun. Pada tingkat internasional, Basel
17

Convention menetapkan bahwa telepon seluler merupakan sampah yang menjadi prioritas utama.
Pemerintah Swiss mendirikan suatu kerjasama yaitu MPPI (Mobile Phone Partnership Initiative) pada
tahun 2002. MPPI bertujuan untuk meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan, mempengaruhi
kebiasaan konsumen dan institusi politik dan mempromosikan sustainabilitas lingkungan terhadap
ponsel yang tidak terpakai.
MPPI memiliki empat proyek yaitu Mobile Phone refurbishment, aturan pengumpulan dan
pemindahan antar batas, recovery dan daur ulang material, dan pertimbangan desain. Setiap proyek
memiliki panduan masing-masing yang membentuk dasar dari persetujuan dari pembangunan dan
implementasi dari sustainabilitas untuk ponsel dalam proses industrialisasi dan negara-negara
berkembang.
Basel Convention pun melakukan inisiasi untuk personal komputer yang disebut dengan e2e yang
bertujuan untuk menghubungkan pihak manufaktur dan perusahaan yang bergerak di bidang
elektronik untuk meningkatkan daur ulang personal komputer termasuk komponen keyboard, mouse,
printer, laptop dan speaker.
Pada tingkat regional, Basel convention menyiapkan suatu inovasi yang disebut Environtmentally
Sound Management of Electrical and Electronic Waste in Asia and Pacific. Proyek ini merupakan
program 4 tahun yang fokus pada isu E-waste dan konsekuensinya untuk wilayah Asia dan Pasific.
Negara negara di Asia Pasifik mengidentifikasi E-Waste sebagai prioritas, menemukan informasi
tentang know-how dalam teknologi bersih, dan daur ulang dari limbah peralatan elektronik. Proyek
dikembangkan oleh negara-negara Asia dan Pasifik seperti China, Indonesia, dan negara-negara
Pasifik Selatan. Tujuan dari program ini adalah
-

Mendukung pihak nasional dan local untuk memulai mengalihkan sampah elektronik dari
landfill menuju proses daur ulang untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.

Menyediakan assessment dari kondisi regional, sebagai alat untuk membangun kebijakan
nasional untuk melakukan re-use, memperbaiki, dan mendaur ulang.

Meningkatkan kepedulian public terhadap lingkungan dari sampah elektronik.

18

2.6 Implementasi Konvensi Basel di Indonesia


Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993, Pemerintah
Republik Indonesia meratifikasi konvensi Basel karena:
1. Bahwa secara geografis wilayah Republik Indonesia terdiri dari pulau-pulau dengan
perairan terbuka, oleh karena itu sangat potensial sebagai tempat pembuangan limbah
berbahaya dan beracun secara illegal dari luar negeri;
2. Untuk memelihara kelestarian lingkungan serta mencegah agar wilayah Republik
Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan limbah berbahaya, dipandang perlu
menjadi pihak pada Convention tersebut.

Dengan meratifikasi konvensi Basel, maka memasukkan limbah B3 kedalam wilayah


Republik Indonesia harus izin terlebih dahulu kepada Pemerintah Indonesia secara tertulis dan
harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh undang-undang nasional. Karena apabila
itu dilanggar dapat dianggap sebagai suatu kejahatan, maka Indonesia dapat mengambil tindakan
atau menerapkan hukuman yang diatur oleh Indonesia. Selain meratifikasi dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993, dalam rangka menegakkan hukum mengenai
pengelolaan limbah B3 di Indonesia juga dibuat pula berbagai macam peraturan perundangundangan tentang pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Ketentuan tersebut diatur oleh Peraturan
Pemerintah sebagai peraturan pelaksana yang berkaitan dengan limbah bahan berbahaya dan
beracun.
Peraturan Pemerintah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan
Beracun;
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Perubahan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan
Beracun;

19

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Bahan Berbahaya dan Beracun;
Selain diatur dengan Peraturan Pemerintah, Badan Pengendalian Dampak Lingkungn
(BAPEDAL), juga telah mengeluarkan keputusan-keputusan mengenai pengelolaan limbah B3,
yaitu:
1. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 68 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Memperoleh
Penimpanan, Pengumpulan, Pengoperasian Alat Pengolahan dan Penimbunan Akhir
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
2. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 1 Tahun 1995 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis
Penyimpanan Dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
3. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 2 Tahun 1995 Tentang Dokumen Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;
4. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan nomor 3 Tahun 1995 Tentang
Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
5. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 4 Tahun 1995 Tentang Tata Cara Pesyaratan Penimbunan
Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan, dan Lokasi Bekas Penimbunan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
6. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 5 Tahun 1995 Tentang Simbol dan label Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;
7. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 2 Tahun 1998 Tentang Tata Laksana Pengawasan
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
8. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 3 Tahun 1998 Tentang Program Kemitraan dalam
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

20

2.6 Kepentingan Indonesia


Indonesia memiliki kepentingan dengan Konvensi Basel antara lain sebagai berikut ini:

Mencegah Indonesia menjadi tempat pembuangan limbah, Indonesia merupakan negara transit;

Indonesia merupakan eksportir limbah B3;

Indonesia masih membutuhkan peningkatan kapasitas pengelolaan limbah B3 yang


berwawasan lingkungan (Environmental Sound Management);

Indonesia masih memerlukan rujukan secara internasional dalam melakukan pengelolaan


Limbah B3 dan mengidentifikasi limbah B3.

2.7 Ketentuan Konvensi Basel


Tahap 1 Notifikasi

21

Tahap 2: Persetujuan dan Penerbitan Dokumen Perpindahan

Tahap 3: Implementasi Perpindahan Lintas Negara untuk Limbah B3

22

2.7.1 Persyaratan Administrasi Dokumen Permohonan Notifikasi Ekspor Limbah B3


1. Formulir Aplikasi (yang dikeluarkan oleh KLH) yang berisi tentang data eksportir, sumber
penghasil limbah B3, negara tujuan, data importir berikut rencana pengolahn limbah, negara
transit bila dilalui, deskripsi limbah B3 yang akan diekspor, rencana ekspor (jumlah limbah dan
jadwal pengiriman), nama pelabuhan untuk pengiriman barang, nama kapal, dan nama
transporter;
2. Formulir Notifikasi (sesuai lampiran V Konvensi Basel) memuat detail sebagaimana formulir
Aplikasi hanya dengan format berbeda serta tandatangan otoritas dari negara ekportir
(Indonesia);
3. Formulir Transboundary Movement (sesuai lampiran pada Konvensi Basel) selain penjelasan
tentang limbah B3, keterangan pelaku ekspor-impor juga memuat tandatangan dari otoritas
negara eksportir dan otoritas negara importir sebagai bukti limbah B3 yang dikirm sudah diterima
di negara tujuan;
4. Hasil analisa laboratorium untuk mengetahui kandungan bahan kimia dalam limbah B3 yang akan
diekspor;
5. Informasi data dan karakteristik limbah B3;
6. Surat Asuransi untuk menjelaskan tanggung jawab terhadap kemungkinan potensi pencemaran
yang terjadi dalam kegiatan perpindahan limbah termasuk jika limbah B3 tersebut harus
direekspor;
7. Surat Persetujuan dari penghasil limbah yang memuat tentang (jenis limbah, jumlah limbah,
nama pemilik, nama eksportir yang ditunjuk, kesedian untuk menyerahkan limbah);
8. Surat keterangan kerjasama dengan importir negara tujuan ekspor (jenis limbah, jumlah limbah,
nama pemilik, nama eksportir yang ditunjuk, kesedian untuk menerima limbah);
9. Dokumen lainnya: SIUP, NPWP, akta Pendirian Perusahaan, Kesesuaian Nomor HS

23

Gambar 2 Aplikasi Permohonan Ekspor Limbah B3

24

Gambar 3 Notification Form

25

26

2.7.2 Kewajiban Bila Terjadi Perpindahan Limbah Lintas Batas Secara Illegal
1. Negara pengekspor menjamin limbah akan diambil kembali oleh pihak pengekspor atau pihak
penghasil
2. Negara pengekspor menjamin limbah dibuang sesuai dengan ketentuan Konvensi dengan cara
yang berwawasan lingkungan
3. Dalam 90 hari setelah negara pengekspor mendapat pemberitahuan tentang lalu lintas illegal
atau dalam jangka waktu lain yang mendapat persetujuan negara yang berkepentinga, maka
negara yang berkepentingan tidak dapat menolak mengenai pengembalian limbah tersebut
4. Dalam pengiriman limbah tanpa adanya notifikasi sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi
bagi semua negara-negara yang berkepentingan
5. Tanpa persetujuan negara terkait
6. Persetujuan yang diperoleh dari negara yang berkepentingan melalui pemalsuan,
pemberitahuan yang salah atau kecurangan
7. Limbah yang dikirim tidak sesuai dengan manifest/dokumen
8. Pembuangan limbah yang bertentangan dengan konvensi dan prinsip-prinsip umum hukun
Internasional

2.7.3 Kewajiban sebagai negara Pihak


Pelaporan kegiatan pengelolaan limbah B3 nasional (National Reporting) kepada secretariat setiap tahun
dengan menyampaikan:
1. Data pengolahan
2. Data pemanfaatan
3. Data landfill
4. Data ekspor
5. Data impot
6. Data fasilitas pengelolaan limbah B3

27

2.7.4 Permasalahan yang Dihadapi


1. Adanya perbedaan persepsi bahwa suatu limbah yang akan diekpor secara peraturan yang berla
ku nasional merupakan limbah B3 tetapi dinegara lainnya tidak termasuk dalam kategori limbah
B3 (misal : katalis bekas);
2. Lamanya jawaban persetujuan dari negara tujuan dan adanya perbedaan kode HS;
3. Lampiran surat kerjasama dengan importir tidak dibuat dalam bahasa Indonesia;
4. Lampiran surat kerjasama dengan penghasil tidak menunjukkan bahwa pihak eksportir sudah p
asti akan mendapatkan limbah yang akan diekspor;
5. Pengumpul sebagai eksportir tidak didukung oleh keterangan/manifest yang detail;
6. Setelah notifikasi dikirimkan ke negara tujuan, pihak eksportir banyak melakukan perubahan mi
salkan jumlah limbah yang dikirim, jenis limbah yang dikirim dan importir yang dituju sehingga h
arus mengajukan notifikasi baru;
7. Permasalahan di pelabuhan : adanya penyimpanan limbah B3 sebelum loading;

28

BAB III
Kesimpulan

1. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, Konvensi Basel adalah perjanjian
internasional yang diadakan untuk tentang mengawasi perpindahan

lintas batas limbah

bahan berbahaya dan beracun. Konvensi Basel mengatur pencegahan, penyelundupan


/pemindahan limbah B3 illegal melalui pengaturan perpindahan lintas batas B3 antar negara.
Selain itu, Konvensi Basel mengatur tentang:
a.

Pengurangan jumlah limbah B3 serta potensi bahayanya;

b.

Perlindungan kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak yang timbul oleh semakin
meningkatnya kompleksitas limbah B3, perpindahan lintas batas limbah B3;

c.

Meminimalisir perpindahan lintas batas limbah B3 ke yurisdiksi negara lain;

d.

Konsistensi dalam pengelolaan limbah B3, dan membuang limbah tersebut ke negara
dimana limbah dihasilkan dengan cara yang berwawasan lingkungan;

e.

Menanamkan prinsip tanggungjawab negara terhadap limbah B3 yang dihasilkan;

f.

Menjamin pengawasan yang ketat atas perpindahan lintas batas limbah B3 guna
pencegahan perdagangan/pemindahan limbah illegal ke yurisdiksi negara lain;

g.

Melarang pengiriman limbah B3 menuju negara yang kurang memadai dalam hal
teknologi pengelolaan secara berwawasan lingkungan;

h.

Membantu negara-negara berkembang dalam ahli teknologi yang berwawasan


lingkungan untuk pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan.

2. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, Indonesia adalah salah satu negara yang
meratifikasi Konvensi Basel 1989 yang diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993. Dengan meratifikasi konvensi Basel, maka
memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Republik Indonesia harus izin terlebih dahulu
kepada Pemerintah Indonesia secara tertulis dan harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang
29

diatur oleh undang-undang nasional. Selain meratifikasi dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 61 Tahun 1993, dalam rangka menegakkan hukum mengenai pengelolaan
limbah B3 di Indonesia juga dibuat pula berbagai macam peraturan perundang-undangan
tentang pengelolaan limbah B3 di Indonesia.

Adanya ancaman terhadap pencemaran lingkungan akibat perpindahan atau pembuangan


limbah dari negara lain kedalam negeri Indonesia adalah negara yang melarang impor limbah
B3 atau tindakan memasukkan limbah B3 ke dalam batas wilayah NKRI. Namun Larangan
impor limbah B3 atau tindakan memasukkan limbah B3 ke dalam batas wilayah NKRI
mempunyai hambatan. Hambatan tersbut antara lain:
1. Keterbatasan petugas dan fasilitas pengamanan contohnya laboratorium pemeriksaan
2. Tawaran dana yang menggiurkan bagi pemerintah daerah agar mau menerima
pembuangan limbah B3
3. Pengetahuan tentang potensi bahaya limbah B3 dan pemahaman terhadap kebijakan
pelarangan impor limbah B3 yang rendah
4. Perjanjian bilateral mengenai impor limbah B3 yang telah diadakan oleh Indonesia.

30

DAFTAR PUSTAKA
Alamendah.org, Bahan Berbahaya dan Beracun, 2014. [http://alamendah.org/2014/10/05]
Basel Convention, Annex I
[www.basel.int/Portals/4/Basel%20convention/docs/text/BaselConventionText-e.pdf]
Basel Convention, Annex III
[www.basel.int/Portals/4/Basel%20convention/docs/text/BaselConventionText-e.pdf]
Danar Anindito, Skripsi, Tinjauan Hukum Internasional terhadap Ekspor-Impor Limbah B3 yang
Disepakati dalam Indonesia-Japan Economic Partnership, 2012.
Djatmiko, Margono, Wahyono., 2000, Pendayagunaan Industrial Waste Management (Kajian
Hukum Lingkungan Indonesia), Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm 3
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun

31

Anda mungkin juga menyukai