Marita W. 25316004
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat Rahmat dan HidayahNya lah sehingga makalah yang berjudul Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dapat selesai
tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan B3 (TL5122) serta menambah wawasan mahasiswa khususnya terkait dengan pengelolaan bahan dan
limbah bahan berbahaya dan beracun. Selain tujuan tersebut, penulis berharap kedepannya makalah
ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang memerlukan, baik untuk kepentingan akademik
maupun non akademik.
Pembuatan makalah ini tentunya tidak lepas dari peran banyak pihak yang membantu secara
langsung maupun tidak langsung dengan cara memberi saran, kritik, dan dukungan. Untuk itu, penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah ikut serta
berpartisipasi dalam merealisasikan makalah ini, terutama kepada Bapak Sukandar selaku Dosen
Pengajar yang telah membimbing dan membantu tim penulis dalam penyusunan makalah ini serta
dukungan penuh teman- teman Kelas Pengelolaan B3 (TL-5122). Saran, kritik dan dukungan tersebut
sangat bermanfaat bagi tim penulis.
Penulis telah berupaya menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Namun penulis menyadari
dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja karena
keterbatasan pengetahuan. Untuk itu , Tim Penulis sangat mengharapkan dan terbuka terhadap kritik
dan saran yang membangun untuk perbaikan kedepannya. Dan tentunya tim penulis sangat berharap
makalah ini bermanfaat bagi yang membaca.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................................................ 2
BAB I.............................................................................................................................................................. 4
BAB II............................................................................................................................................................. 7
PEMBAHASAN .............................................................................................................................................. 7
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.6
2.7
2.7.1
2.7.2
Kewajiban Bila Terjadi Perpindahan Limbah Lintas Batas Secara Illegal ............................. 27
2.7.3
2.7.4
BAB I
PENDAHULUAN
membentuk konvensi mengenai pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dengan
nama Basel Convention on the Control of Transboundary Movement of Hazardous Wastes and
Their Disposal yaitu Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun pada tanggal 22 Maret 1989. Konvesi tersebut diharapkan mampu
mengurangi perpindahan limbah bahan berbahaya dan beracun serta potensi bahayanya
sehingga melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak yang ditimbulkan.
Perpindahan lintas batas limbah-limbah berbahaya bermula dari krisis energi yang dialami
negara-negara maju pada periode 1970an. Krisis energi ini mendorong para pengusaha untuk
menganggarkan biaya produksi dan konsumsi seminimal mungkin. Pada saat yang bersamaan,
terdapat pula pengetatan standar lingkungan lokal. Hal tersebut mendorong pengusaha dan
petugas (perantara untuk pembuangan limbah) untuk mencari tempat-tempat pembuangan
baru yang lebih murah biayanya. Akhirnya negara-negara dunia ketiga dijadikan sasaran untuk
membuang limbah-limbah tersebut. Oleh karena itu perlu adanya pengaturan yang mengatur
mengenai limbah bahan berbahaya dan beracun baik pencegahan/meminimalisir limbah B3
maupun ketentuan mengenai perpindahan atau pembuangan illegal limbah B3 dari suatu negara
indusutri ke yurisdiksi negara lain. Semakin lama semakin meningkat perdagangan limbah
berbahaya ke negara dunia ketiga atau negara yang sedang berkembang tersebut. Beberapa
kasus membuktikan, misalnya kasus Koko pada 1988, ketika lima kapal mengangkut 8.000 barel
limbah berbahaya dari Italia ke kota kecil Koko di Nigeria. Mereka menyewa lahan di Koko
seharga US$ 100 per bulan untuk tempat pembuangan limbah. Oleh banyak negara berkembang,
praktek ini dikenal dengan nama kolonialisasi limbah beracun.
Masyarakat internasional bereaksi terhadap masalah perpindahan limbah bahan
berbahaya dan beracun dari negara-negara maju ke negara berkembang mengigat kesadaran
masyarakat internasional terhadap lingkungan pada generasi mendatang. Selain itu juga ada
kekhawatiran akan makin meningkatnya perdagangan limbah berbahaya ke negara berkembang.
Pertimbangan masyarakat internasional terhadap lingkungan pada generasi mendatang adalah
untuk melindungi kesehatan manusia dari bahaya akibat limbah tersebut. Negara-negara
mengadakan perundingan dan kerjasama internasional yang dituangkan dalam The Basel
Convention on the Control of Transboundary Movement of Hazardous Wastes and Their Disposal
5
merupakan hasil dari sebuah konvensi khusus tentang konvensi menyeluruh mengenai
pengawasan dari pergerakkan lintas batas limbah B3 yang diselenggarakan oleh UNEP (The
United Nations Environment Programme), yaitu merupakan badan khusus PBB yang bergerak
dibidang permasalahan lingkungan hidup.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tujuan Konvensi Basel 1989
Masalah lingkungan khususnya limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) merupakan
masalah internasional. Pembangunan industri mengakibatkan adanya limbah B3 tersebut
sebagai sisa atau pembuangan dari proses produksi. Selain itu perpindahan/pembuangan limbah
bahan berbahaya dan beracun dari negara maju ke negara berkembang menimbulkan reaksi bagi
masyarakat
internasional
khususnya
negara
berkembang
sebagai
tempat
limbah B3 harus ditujukan kepada negara yang mampu mengelola limbah B3 tersebut
secara ramah lingkungan. Negara penghasil limbah B3 tidak diizinkan mengekspor limbah
berbahaya jika tidak ada jaminan dari negara importir untuk mengelola limbah B3 secara
ramah lingkungan (Pasal 4 ayat 2 (e)). Begitu juga sebaliknya, negara importir tidak
dizinkan mengimpor limbah B3 jika tidak akan mampu untuk mengelola limbah B3 secara
ramah lingkungan (Pasal 4 ayat 2 (g)). perpindahan lintas batas limbah B3 juga harus
dituju ke negara yang meerupakan anggota dari konvensi basel. Negara-negara dilarang
mengekspor limbah B3 ke negara non-pihak Konvensi Basel (Pasal 5). Dilarang pula
mengekspor limbah B3 ke antartika (Ps 4 ayat (6)).
e) Tata cara mengekspor limbah B3
Masing-masing negara diperlukan membentuk sistem yang berguna untuk menangani
impor/ekspor limbah B3 dari tahap awal sampai akhir. (Pasal 4 ayat (7a)). Setiap
perpindahan lintas batas limbah B3 harus diperhatikan dokumen, persyaratan,
pengemasan, pelabelan, dan transportasi yang sesuai dengan aturan/standard
internasional (Pasal 4 ayat (7b)). Eksportir bertanggung jawab atas segala tindakan
pemindahan limbah B3.
f) Perjanjian Perdagangan limbah
Masing-masing negara yang sepakat untuk melakukan kerjasama perpindahan limbah B3
dapat melakukan perjanjian sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak namun tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan pada konvensi basel.
g) Penyelesaian sengketa
Segala sengketa harus diselesaikan secara damai yang diawali dengan proses negosiasi.
Apabila tidak mendapatkan kesepakatan maka para pihak dapat membawa ke arbritase
atau Mahkamah Internasional.
Limbah yang termasuk kategori yang tercantum di Annex I, yang memiliki karakteristik
seperti yang tercantum di Annex III
Limbah yang tidak termasuk di bagian (a) diatas tetapi ditetapkan sebagai limbah B3 oleh
peraturan nasional negaranya
b) Limbah yang tergabung dalam kategori tercantum dalam Annex II yang mengalami Transboundary
movement dinamakan "Limbah lainnya" untuk tujuan Konvensi ini.
c)
Limbah radioaktif, yang telah diatur dalam sistem kontrol internasional lainnya, termasuk
instrumen internasional, yang menerapkan secara khusus untuk bahan radioaktif, dikecualikan
dari ruang lingkup Konvensi ini.
d) Limbah yang berasal dari operasi normal kapal, pembuangan yang diatur dengan instrumen
internasional lain, dikecualikan dari ruang lingkup Konvensi ini
Transboundary movement adalah perpindahan limbah B3 atau limbah lain dari suatu area dibawah
wilayah hukum/ yurisdiksi nasional suatu negara ke atau melalui area dibawah wilayah hukum/yuridiksi
nasional negara lain atau melalui area yang bukan dibawah wilayah hukum/ yurisdiksi nasional suatu
negara, namun perpindahannya melibatkan paling sedikit dua negara.
Annex I
Waste Streams
Y1
Limbah klinis dari perawatan medis di rumah sakit, pusat medis dan klinik
Y2
Y3
Y4
Y5
Limbah dari pembuatan, formulasi dan penggunaan bahan kimia pengawet kayu
Y6
Y7
Limbah dari heat treatment dan proses pencampuran yang mengandung sianida
Y8
Limbah minyak mineral yang tidak cocok untuk tujuan kegunaan awal mereka
10
Y9
Y10 Zat limbah dan artikel yang mengandung atau terkontaminasi dengan polychlorinated biphenyls
(PCB) dan / atau polychlorinated terphenyls (PCT) dan / atau polybrominated biphenyls (PBBs)
Y11 Limbah residu hasil dari penyulingan, distilasi dan proses pirolitik
Y12 Limbah dari produksi, formulasi dan penggunaan tinta, pewarna, pigmen, cat, lacquer, pernis
Y13 Limbah dari produksi, formulasi dan penggunaan resin, lateks, plasticizer, lem/perekat
Y14 Limbah zat kimia hasil dari kegiatan penelitian dan pengembangan atau pengajaran yang tidak
teridentifikasi dan/atau yang baru dan efeknya pada manusia dan/atau lingkungan tidak
diketahui
Y15 Limbah bersifat eksplosif yang tidak diatur pada undang-undang lainnya
Y16 Limbah dari produksi, formulasi dan penggunaan bahan kimia dan material proses fotografi
Y17 Limbah yang dihasilkan dari pengolahan awal logam dan plastik
Y18 Residu hasil operasi pembuangan limbah industri
Annex II
Kategori Limbah yang membutuhkan pertimbangan khusus
Y73 Limbah dari rumah tangga
Y74 Residu yang timbul dari pembakaran sampah rumah tangga
Annex III
Karakteristik Limbah Berbahaya
UN Class
Kode
Karakteristik
H1
Eksplosif
Zat atau limbah eksplosif adalah zat atau limbah padat
atau liquid (atau campuran zat atau limbah) yang dengan
sendirinya mampu melakukan reaksi kimia yang
menghasilkan gas pada suhu dan tekanan tertentu dan
dengan kecepatan tertentu menyebabkan kerusakan
pada lingkungan.
H3
13
H4.1
4.2
H4.2
4.3
H4.3
5.1
H5.1
Oksidator
Zat atau limbah yang tidak mudah terbakar, namun
dapat menghasilkan oksigen yang dapat berkontribusi
untuk pembakaran material lain
5.2
H5.2
Peroksida Organik
Zat atau limbah organik yang mengandung struktur
bivalen, struktur yang secara termal tidak stabil dan
mengalami exothermic self-accelerating decomposition.
14
6.1
H6.1
Beracun (Akut)
Zat atau limbah yang dapat menyebabkan kematian atau
luka serius atau membahayakan kesehatan jika tertelan
atau kontak dengan kulit
6.2
H6.2
Senyawa infeksius
Zat atau limbah yang mengandung mikroorganisme
hidup
atau
toksinnya
diketahui
atau
dicurigai
H8
Korosif
Zat atau limbah yang, dengan reaksi kimia, akan
menyebabkan kerusakan parah ketika kontak dengan
jaringan makhluk hidup, atau, dalam kasus kebocoran,
akan merusak material saat proses transport, dan juga
menyebabkan bahaya
H10
H11
H12
Ecotoksik
Zat dan limbah yang apabila dilepaskan ke lingkungan
akan langsung, dan atau beberapa waktu kemudian
dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan
dengan cara bioakumulasi dan / atau efek toksik
pada sistem biotic
15
H13
seperti
lindi,
yang
memiliki
karakteristik-
16
Sampah elektronik mengandung unsur-unsur yang bahayanya kompleks seperti Pb, Cd, Be, Hg,
dan Br yang dapat berbahaya bagi lingkungan jika sampah tersebut tidak diperbaharui atau di
daur ulang.
Sampah elektronik bertambah setiap tahunnya 3-5%, tiga kali lebih cepat dari limbah biasa
Semakin banyak sampah elektronik, semakin banyak material berbahaya yang disebarkan ke
lingkungan
Sampah elektronik dalam jumlah besar di ekspor ke berbagai negara akibat lemahnya regulasi
dan infrastruktur, fasilitas perbaikan sampah, dan meningkatnya resiko kesehatan dan
lingkungan.
Telepon seluler yang sudah tidak terpakai merupakan sampah yang paling banyak saat ini, laju
pertambahannya meningkat sekitar 650 juta unit pertahun. Pada tingkat internasional, Basel
17
Convention menetapkan bahwa telepon seluler merupakan sampah yang menjadi prioritas utama.
Pemerintah Swiss mendirikan suatu kerjasama yaitu MPPI (Mobile Phone Partnership Initiative) pada
tahun 2002. MPPI bertujuan untuk meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan, mempengaruhi
kebiasaan konsumen dan institusi politik dan mempromosikan sustainabilitas lingkungan terhadap
ponsel yang tidak terpakai.
MPPI memiliki empat proyek yaitu Mobile Phone refurbishment, aturan pengumpulan dan
pemindahan antar batas, recovery dan daur ulang material, dan pertimbangan desain. Setiap proyek
memiliki panduan masing-masing yang membentuk dasar dari persetujuan dari pembangunan dan
implementasi dari sustainabilitas untuk ponsel dalam proses industrialisasi dan negara-negara
berkembang.
Basel Convention pun melakukan inisiasi untuk personal komputer yang disebut dengan e2e yang
bertujuan untuk menghubungkan pihak manufaktur dan perusahaan yang bergerak di bidang
elektronik untuk meningkatkan daur ulang personal komputer termasuk komponen keyboard, mouse,
printer, laptop dan speaker.
Pada tingkat regional, Basel convention menyiapkan suatu inovasi yang disebut Environtmentally
Sound Management of Electrical and Electronic Waste in Asia and Pacific. Proyek ini merupakan
program 4 tahun yang fokus pada isu E-waste dan konsekuensinya untuk wilayah Asia dan Pasific.
Negara negara di Asia Pasifik mengidentifikasi E-Waste sebagai prioritas, menemukan informasi
tentang know-how dalam teknologi bersih, dan daur ulang dari limbah peralatan elektronik. Proyek
dikembangkan oleh negara-negara Asia dan Pasifik seperti China, Indonesia, dan negara-negara
Pasifik Selatan. Tujuan dari program ini adalah
-
Mendukung pihak nasional dan local untuk memulai mengalihkan sampah elektronik dari
landfill menuju proses daur ulang untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.
Menyediakan assessment dari kondisi regional, sebagai alat untuk membangun kebijakan
nasional untuk melakukan re-use, memperbaiki, dan mendaur ulang.
18
19
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Bahan Berbahaya dan Beracun;
Selain diatur dengan Peraturan Pemerintah, Badan Pengendalian Dampak Lingkungn
(BAPEDAL), juga telah mengeluarkan keputusan-keputusan mengenai pengelolaan limbah B3,
yaitu:
1. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 68 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Memperoleh
Penimpanan, Pengumpulan, Pengoperasian Alat Pengolahan dan Penimbunan Akhir
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
2. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 1 Tahun 1995 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis
Penyimpanan Dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
3. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 2 Tahun 1995 Tentang Dokumen Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;
4. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan nomor 3 Tahun 1995 Tentang
Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
5. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 4 Tahun 1995 Tentang Tata Cara Pesyaratan Penimbunan
Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan, dan Lokasi Bekas Penimbunan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
6. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 5 Tahun 1995 Tentang Simbol dan label Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;
7. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 2 Tahun 1998 Tentang Tata Laksana Pengawasan
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
8. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 3 Tahun 1998 Tentang Program Kemitraan dalam
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
20
Mencegah Indonesia menjadi tempat pembuangan limbah, Indonesia merupakan negara transit;
21
22
23
24
25
26
2.7.2 Kewajiban Bila Terjadi Perpindahan Limbah Lintas Batas Secara Illegal
1. Negara pengekspor menjamin limbah akan diambil kembali oleh pihak pengekspor atau pihak
penghasil
2. Negara pengekspor menjamin limbah dibuang sesuai dengan ketentuan Konvensi dengan cara
yang berwawasan lingkungan
3. Dalam 90 hari setelah negara pengekspor mendapat pemberitahuan tentang lalu lintas illegal
atau dalam jangka waktu lain yang mendapat persetujuan negara yang berkepentinga, maka
negara yang berkepentingan tidak dapat menolak mengenai pengembalian limbah tersebut
4. Dalam pengiriman limbah tanpa adanya notifikasi sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi
bagi semua negara-negara yang berkepentingan
5. Tanpa persetujuan negara terkait
6. Persetujuan yang diperoleh dari negara yang berkepentingan melalui pemalsuan,
pemberitahuan yang salah atau kecurangan
7. Limbah yang dikirim tidak sesuai dengan manifest/dokumen
8. Pembuangan limbah yang bertentangan dengan konvensi dan prinsip-prinsip umum hukun
Internasional
27
28
BAB III
Kesimpulan
1. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, Konvensi Basel adalah perjanjian
internasional yang diadakan untuk tentang mengawasi perpindahan
b.
Perlindungan kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak yang timbul oleh semakin
meningkatnya kompleksitas limbah B3, perpindahan lintas batas limbah B3;
c.
d.
Konsistensi dalam pengelolaan limbah B3, dan membuang limbah tersebut ke negara
dimana limbah dihasilkan dengan cara yang berwawasan lingkungan;
e.
f.
Menjamin pengawasan yang ketat atas perpindahan lintas batas limbah B3 guna
pencegahan perdagangan/pemindahan limbah illegal ke yurisdiksi negara lain;
g.
Melarang pengiriman limbah B3 menuju negara yang kurang memadai dalam hal
teknologi pengelolaan secara berwawasan lingkungan;
h.
2. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, Indonesia adalah salah satu negara yang
meratifikasi Konvensi Basel 1989 yang diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993. Dengan meratifikasi konvensi Basel, maka
memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Republik Indonesia harus izin terlebih dahulu
kepada Pemerintah Indonesia secara tertulis dan harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang
29
diatur oleh undang-undang nasional. Selain meratifikasi dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 61 Tahun 1993, dalam rangka menegakkan hukum mengenai pengelolaan
limbah B3 di Indonesia juga dibuat pula berbagai macam peraturan perundang-undangan
tentang pengelolaan limbah B3 di Indonesia.
30
DAFTAR PUSTAKA
Alamendah.org, Bahan Berbahaya dan Beracun, 2014. [http://alamendah.org/2014/10/05]
Basel Convention, Annex I
[www.basel.int/Portals/4/Basel%20convention/docs/text/BaselConventionText-e.pdf]
Basel Convention, Annex III
[www.basel.int/Portals/4/Basel%20convention/docs/text/BaselConventionText-e.pdf]
Danar Anindito, Skripsi, Tinjauan Hukum Internasional terhadap Ekspor-Impor Limbah B3 yang
Disepakati dalam Indonesia-Japan Economic Partnership, 2012.
Djatmiko, Margono, Wahyono., 2000, Pendayagunaan Industrial Waste Management (Kajian
Hukum Lingkungan Indonesia), Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm 3
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
31