Anda di halaman 1dari 24

TUGAS 3-3 KASUS ILLEGAL TRAFFIC LIMBAH B3

Laporan ini ditujukan untuk memenuhi tugas 3 mata kuliah TL-3204 Pengelolaan B3

Dosen: Dr. Sukandar S.Si, MT

Kelompok 3:
Hellen Putri 15313039
Aditya Reyhan 15314027
Prillya Agusti 15314036
Windy Chyntia Dewi 15314030
Dharmawan Phanjaya 15314087
Siti Aisya 15314095
Stephanie Waringga 15314089
Indang Fauziah Hafid 15314031
Ella Rosida Anggraini 15314038
Jeremias Dhiyas 15314084
Dini Widyani Aghnia 15314098
Muhammad Haykal 15314094
Radiyah Ramadhani 15314079
Lafidya Mugni 15314035
Kinanti Nabilah 15314047
Noeril Fathih 15314086
Febriansyah 15314048

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu usaha
dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan
atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain. Definisi limbah B3 berdasarkan
BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang
mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity,
dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.
Berbagai macam industri terutama di negara maju banyak menggunakan B3, sehingga
menghasilkan pula limbah B3. Setiap negara memiliki peraturan mengenai bahan ataupun limbah
B3. Industri diharuskan untuk mengelola dan mengolah B3 ataupun limbah B3 yang dihasilkan.
Saat ini masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh industri-industri penghasil B3 atau
limbah B3 khususnya di negara maju. Salah satunya adalah pengiriman atau penjualan limbah
B3 ke negara berkembang. Hal tersebut disebabkan karena ketatnya standar lingkungan di negara
maju, sehingga biaya pengolahan B3 dan limbah B3 juga meningkat. Untuk mengurangi biaya
pengolahan tersebut, maka penghasil limbah memilih untuk mengekspor limbahnya ke negara
berkembang. Sedangkan untuk negara penghasil limbah B3 yang tidak memiliki fasilitas
pengolahan limbah yang memadai akan berupaya untuk mengekspor limbahnya ke negara lain,
atau negara asal limbah mengalami kesulitan tempat untuk pembuangan akhir.
Pengamanan perbatasan darat dan laut di Indonesia menyebabkan Indonesia menjadi salah
satu negara tujuan bagi pembuangan limbah B3. Oleh karena itu pada 10 Mei 2013 di Jenewa,
Swiss diselenggarakan Tiga Konvensi B3 dalam satu pertemuan internasional, yaitu Konvensi
Basel, Rotterdam, dan Stockholm. Konvensi Basel mengatur tentang ekspor dan impor limbah
B3 (transboundary of hazardous waste) dan pengelolaannya.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui kasus lintas –batas (transboundary) illegal bahan/limbah B3 di dunia
2. Mengetahui kasus masuknya bahan/limbah B3 ke Indonesia secara illegal
3. Mengetahui prosedur kontrol lintas-batas menurut Konvensi Basel
4. Mengetahui prosedur notifikasi lintas-batas menurut peraturan di Indonesia

1.3 Ruang Lingkup


1. Kasus lintas-batas illegal bahan/limbah B3 di dunia
2. Kasus masuknya bahan/limbah B3 ke Indonesia secara illegal
3. Pemecahan kasus lintas-batas illegal di Indonesia
4. Prosedur kontrol lintas-batas menurut Konvensi Basel
5. Prosedur notifikasi lintas-batas menurut peraturan di Indonesia

1.4 Metodologi
Penulisan laporan dilakukan secara kualitatif yaitu pengumpulan data melalui studi literatur.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kasus Lintas Batas Illegal Bahan/Limbah B3 di Dunia


Salah satu dampak dari pengembangan sektor industri adalah timbulnya limbah, termasuk
limbah bahan berbahaya dan beracun, baik limbah padat, cair maupun gas. Banyak negara yang
tidak menghendaki keberadaan limbah B3 ini, sehingga mendorong mereka untuk mengekspor
atau memperdagangkan limbah untuk tujuan daur ulang dan/atau pembuangan limbah. Dalam
kenyataannya, perdagangan limbah antar negara merupakan suatu industri yang bernilai sangat
tinggi. Contohnya ekspor dan impor limbah logam berharga di Amerika saja bernilai jutaan dolar
per tahunnya. Amerika Serikat dan Canada mengekspor kurang lebih 200.000 ton limbah.
Menurut statistik yang dibuat Pemerintah Amerika pada tahun 1990, Amerika Serikat
mengekspor 139.000 ton limbah berbahaya, sebanyak 96% tetap disimpan di Amerika Utara.
Sedangkan UNEP memperkirakan bahwa saat ini negara-negara di Eropa saling mengekspor
kurang lebih 700.000 ton limbah berbahaya dan mengekspor kurang lebih 120.000 ton limbah
berbahaya ke negara-negara berkembang.

Sebagian perdagangan limbah tersebut terjadi antara negara-negara yang telah


mempunyai peraturan nasional yang baik dan ketat, sehingga dapat menjamin adanya
pengelolaan limbah secara aman. Bahkan metode-metode pembuangan secara tradisional seperti
penimbunan dengan tanah, penyimpanan dengan sumur-sumur injeksi dihindarkan. Tetapi
sebagian dari perdagangan limbah B3 yang terjadi saat ini adalah antara negara maju yang
mempunyai peraturan nasional yang baik dan ketat ke negara-negara sedang berkembang yang
tidak atau belum mempunyai peraturan nasional yang ketat. Berkembangnya perdagangan
limbah antar negara tersebut, telah meningkatkan praktek pengangkutan lintas batas limbah B3.
Hal ini disebabkan karena :

1) Negara-negara maju telah menerapkan berbagai peraturan untuk mencegah


pencemaran dengan lebih ketat;
2) Akibat ketatnya standar lingkungan di negara maju, maka biaya pengolahan limbah
B3 juga meningkat, sehingga para penghasil limbah berupaya mengekspor limbahnya
ke negara sedang berkembang, karena biaya pengiriman limbah dan pembuangannya
lebih murah dibandingkan dengan pengolahan di negaranya sendiri;
3) Keuntungan yang didapat oleh negara maju (devisa negara) bertambah dari ekspor
limbah tersebut. Sebagai contoh di Australia, ekspor untuk setiap 10 ton limbah
menghasilkan devisa negara sebesar 120.721 juta dolar Australia.
4) Meningkatkan program daur ulang atau 3 R (Reuse, Recycling dan Recovery)
5) Negara asal tidak memiliki fasilitas pengolahan limbah yang memadai sehingga
berupaya untuk mengekspor limbahnya ke negara lain, atau negara asal limbah
mengalami kesulitan tempat untuk pembuangan akhir.

Dengan lima alasan tersebut di atas, saat ini lebih dari 2,2 juta ton/tahun limbah B3
diekspor dari satu negara ke negara lain yang standar lingkungannya masih rendah serta biaya
pengolahannya murah. Namun, dari kelima alasan tersebut, besarnya biaya pengolahan limbah di
negara asal dan tingginya persyaratan-persyaratan dan standar-standar lingkungan yang
ditetapkan negara asal limbah telah menimbulkan praktek pengangkutan lintas batas limbah
berbahaya dan pembuangannya secara tidak sah di negara lain. Beberapa contoh dari praktek
demikian, yaitu:

1) Pada tahun 1983, sebuah perusahaan alumunium di Jerman Barat yaitu Pietrans
mengakui bahwa perusahaannya telah membuang lebih dari 25.000 ton limbah
beracun ke sebuah lokasi penggalian di dekat Brussel.
2) Pada tahun 1986, kapal Khian Sea berlayar dari Philadelphia menuju ke kepulauan
Bahama dengan mengangkut 15.000 ton debu hasil pembakaran limbah dari
Philadelphia. Kapal tersebut melakukan perjalanan selama 2 tahun, karena selalu
ditolak di pelabuhan manapun dan akhirnya melakukan pembuangan limbah secara
tidak sah di Haiti.
3) Pada tahun 1987, Jerman memberi label kemasan limbah yang akan diekspor untuk
dibakar di Turki sebagai bahan bakar, padahal isi kemasan tersebut adalah 1.581 ton
lumpur (endapan) yang mengandung logam dan racun. Ketika hasil analisa kimia
menunjukkan bahwa kemasan tersebut berisi polychlorinated benzene (PCBs), pihak
berwenang di Turki memaksa agar limbah tersebut dibawa kembali ke Jerman.
Pengangkutan lintas batas limbah B3 sebenarnya dapat menguntungkan negara bila
proses pemindahan dan pengelolaannya dilakukan secara aman dan berwawasan lingkungan.
Namun adakalanya, ketika suatu limbah B3 diangkut dari suatu negara ke negara lain untuk
dibuang atau didaur ulang, terjadi penanganan yang kurang tepat sehingga dapat menimbulkan
pencemaran atau kerusakan lingkungan yang cukup serius di negara tujuan atau negara transit.
Hal tersebut dapat terjadi baik selama perpindahan limbah tersebut atau setelah pembuangan
bahkan setelah pendaurulangan di negara tujuan.

Pada bulan Agustus 1987 dan Mei 1988, ada 5 kapal yang mengangkut 3.800 ton limbah
dari berbagai negara Eropa dan Amerika Serikat ke Koko (Nigeria). Pengangkutan limbah
tersebut merupakan suatu perjanjian yang dilakukan oleh seorang pengusaha Italia dengan
seorang warga negara Nigeria yang menerima $100 sebulan sebagai imbalan untuk menyimpan
limbah di sebidang tanah kosong di wilayah negara tersebut. Ketika penduduk setempat mulai
banyak yang menderita sakit, Pemerintah Nigeria melakukan pemeriksaan dan menemukan
bahwa limbah-limbah tersebut ternyata diberi label palsu dan ditemukan kebocoran pada drum-
drum yang berisi limbah berbahaya. Setelah melalui perdebatan diplomatis, Italia akhirnya
mengirimkan 2 buah kapal untuk mengambil kembali limbah tersebut, namun karena ditolak
untuk memasuki berbagai pelabuhan, akhirnya kapal-kapal tersebut mengembalikan limbah
tersebut ke Italia. Orang-orang yang terlibat dalam pembersihan limbah di wilayah Nigeria
ternyata mengalami luka bakar, mual, muntah darah, lumpuh sebagian tubuhnya dan beberapa
awak kedua kapal Italia juga menderita sakit yang sama.

Contoh kasus lainnya terjadi di Negara Bagian New York, Amerika Serikat, yaitu yang
dikenal sebagai kasus Love Canal. Kasus ini bermula dari adanya keluhan dari penduduk yang
tinggal di sekitar Love Canal, yaitu suatu tempat pembuangan limbah militer dan industri yang
terletak dekat Niagara Falls, New York. Hampir semua penduduk di sekitar Love Canal secara
misterius mengalami bermacam-macam penyakit. Penyakit-penyakit tersebut adalah epilepsi,
kanker, penyakit kandung kemih, hiperaktivitas, kelahiran cacat dan lain-lain. Sebagai akibat
dari adanya kasus Love Canal ini, masyarakat Amerika menjadi sangat sadar akan bahaya yang
timbul dari pembuangan limbah B3 secara sembarangan. Kesadaran masyarakat Amerika ini
menjadikan pengolahan dan pembuangan limbah sangat sulit untuk dilakukan, antara lain karena
seluruh masyarakat menolak lingkungan atau daerah tempat tinggalnya dijadikan tempat
pengolahan atau pembuangan limbah. Akibatnya banyak para penghasil limbah berusaha untuk
mengekspor limbahnya ke negara lain atau membuangnya di kawasan atau perairan yang secara
hukum belum terlindungi oleh persyaratan lingkungan.

2.2 Kasus Illegal Masuknya Bahan/Limbah B3 ke Indonesia dan Pemecahannya


Praktik pengangkutan lintas batas limbah berbahaya dan pembuangannya secara tidak sah
dialami pula oleh Indonesia. Indonesia telah dijadikan sasaran untuk tempat pembuangan limbah
B3 seperti yang terjadi di Kepulauan Riau. Daerah tersebut sering digunakan sebagai tempat
pembuangan limbah yang berasal dari Singapura. Kasus pembuangan limbah ini baru muncul ke
permukaan ketika secara kebetulan ada yang melihat limbah yang sedang dibuang dari kapal di
kawasan perairan Indonesia. Kasus pertama yang muncul di Riau adalah kasus Simpang Busung
pada tahun 1990 berupa pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari Singapura ke
dusun Simpang Busung desa Tanjung Uban, Kecamatan Bintan Utara.
Kasus berikutnya terjadi pada bulan Juni tahun 1994, ketika kapal tunda Capricorn
lengkap dengan tongkangnya membawa 200 ton limbah, dipergoki sedang membuang limbah di
perairan Mapur, Bintan Timur. Pembuangan limbah ini sempat dilakukan dan 50 ton limbah
sudah mencemari laut. Pembuangan limbah terhenti ketika ada nelayan yang melaporkannya ke
Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai.
Berita yang paling akhir yaitu pada tanggal 19 Oktober 1999. Aparat keamanan Bangka
kembali menahan satu tongkang “Bangka Offshore I” yang ketahuan mengangkut 3.500 ton
limbah dari Singapura, Ketika kapal tersebut sandar di salah satu dermaga pangkalan pasir
kuarsa wilayah Bangka Selatan Riau. Lumpur tersebut sedianya akan dibuang ke Pulau Bangka,
Propinsi Sumatera Selatan. Terbongkarnya kasus pasokan lumpur Singapura tersebut, bermula
dari habisnya bahan makanan awak kapal Juan Cheng yang dipandu sebuah boat di tengah laut
Bangka. Petugas pelabuhan curiga karena dalam manifes tertera kapal tersebut mengangkut
tanah liat. Setelah diteliti oleh petugas bea dan cukai ternyata kapal itu memang membawa
lumpur yang dilarang masuk ke Indonesia. Modusnya, kapal-kapal dari Singapura membawa
lumpur dan kemudian kembali ke negaranya dengan membawa pasir kuarsa. Dengan demikian,
importir lumpur tersebut mendapat untung dua kali, pertama mereka menerima pembayaran satu
Dolar Singapura per meter kubik lumpur dan pulangnya mendapat untung kembali dari hasil
penjulan pasir kuarsa. Kasus ini bisa terjadi karena adanya kerjasama antara pejabat pemerintah
setempat, importir dan pengekspor. Dengan demikian, terdapat kolusi antara elit politik dengan
elit bisnis.
Kasus selanjutnya adalah ketika Pihak Bea Cukai berhasil menahan 113 kontainer asal
Inggris dan Belanda yang memuat limbah beracun. Masuknya limbah-limbah B3 itu makin
memperkuat dugaan bahwa Indonesia menjadi negara tujuan akhir pembuangan limbah B3 dari
negara-negara Eropa, Asia, dan Amerika Serikat yang dikoordinasi mafia internasional. Petugas
dari Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok memeriksa 19 kontainer berisi besi
tua yang tercemar limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) di Pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta, Senin (30/4/2012). Kontainer ini bagian dari 220 kontainer asal berbagai negara yang
isinya dideteksi mengandung limbah B3 dan kini akan dimintakan penetapan penyitaan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Pada 17 Januari 2012 bertepatan dengan pembahasan RPP Pengelolaan B3, Limbah B3
dan Dumping, Dirjen Bea & Cukai meminta secara lisan kepada Deputi IV KLH (Deputi Bidang
Pengelolaan B3, Limbah B3 dan Sampah) untuk membantu melakukan pemeriksaan terhadap
container yang dicurigai memuat limbah scrap logam yang tercampur dengan limbah B3.
Pada 19 Januari 2012 Direktur Penindakan dan Penyidikan Bea & Cukai mengirim surat
kepada Deputi IV KLH yang isinya meminta kepada Deputi IV KLH untuk menugaskan
pejabat/staf yang mempunyai pengalaman di bidang pengelolaan limbah B3 untuk membantu
petugas Bea & Cukai melakukan pemeriksaan terhadap kontainer–kontainer yang di duga
tercampur atau terkontaminasi dengan limbah yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pada 20 Januari 2012 KLH, Bea Cukai dan BAPETEN melakukan inspeksi lapangan
terhadap kontainer–kontainer yang berada di pelabuhan Tanjung Priok. Dari hasil pemeriksaan
terhadap 20 kontainer yang di buka, di dalamnya berisi scrap logam dalam kondisi tidak dalam
keadaan bersih, tercampur dengan tanah dan ditemukan adanya limbah B3 (limbah elektronik,
tar, aspal, bekas kemasan bahan kimia) dan limbah domestik/sampah.

Berdasarkan hasil pemeriksaan secara visual tersebut disimpulkan bahwa importer telah
melanggar izin impor limbah B3 yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan, karena dalam
izin tersebut dicantumkan persyaratan jenis limbah yang diimpor adalah dalam kondisi bersih
dan tidak terkontaminasi dengan limbah B3, sedangkan dengan ditemukannya limbah elektronik,
bekas kemasan bahan kimia dan sampah, maka pihak importir dianggap telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan pelarangan masuknya limbah B3 kewilayah NKRI sesuai dengan
yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, pelarangan impor sampah berdasarkan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah dan Undang-Undang Kepabeanan.
Langkah tindak lanjut hasil temuan tersebut:
1. Sehubungan hal tersebut kemudian KLH mengirim surat kepada Dirjen Bea & Cukai dan
Kementerian Perdagangan dengan No.B-761/Dep.IV/LH/01/2012 perihal Pelanggaran
Impor Limbah Non B3 PT.HHS. Sedangkan isi surat pada intinya mengharapkan pihak
Bea & Cukai serta Kementerian Perdagangan untuk ditindak lanjuti sebagaimana mestinya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Menginformasikan ke focal point Konvensi Basel di Belanda dan Inggris.
3. Menyiapkan data yang diminta oleh pihak Belanda dan Inggris yakni: Selain PT. HHS,
maka pada saat ini KLH diminta oleh Bea Cukai untuk melakukan pemeriksaan terhadap
20 (duapuluh) importir yang berada di Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Emas dan yang
terbesar di Tanjung Priok.
4. Dari hasil pemeriksaan ke beberapa kontainer yang sudah dilakukan, selain milik PT. HHS
(milik 17 importir), KLH Deputi IV telah mengirim surat ke Dirjen Bea Cukai, dimana inti
surat tersebut menyebutkan bila hasil pemeriksaan tidak ditemukan pelanggaran atau scrap
logam dalam kondisi bersih dan tidak ditemukan adanya limbah B3, dimohon pihak Bea &
Cukai untuk segera memproses sebagaimana mestinya. Sedangkan bila ditemukan adanya
pelanggaran atau scrap logam tercampur oleh sampah atau limbah B3, maka ditindaklanjuti
dengan penegakan hukum oleh Bea & Cukai serta oleh Deputi V KLH.
Status penanganan impor limbah sampai dengan 28 Februari 2012 berdasarkan data yang
diperoleh dari Bea & Cukai Tanjung Priok adalah; jumlah kontainer yang tertahan 344 dari 18
Importir, 1271 kontainer siap diperiksa sedangkan yang sudah diperiksa sejumlah 458 kontainer
dan 630 kontainer belum diperiksa. Dari yang diperiksa 458 kontainer, 36 tidak terkontaminasi,
292 terkontaminasi, 136 menunggu hasil analisa.
2.3 Prosedur Kontrol Konvensi Basel

1. Notifikasi
Notifikasi Ekspor Limbah.
Landasan hukum yang digunakan adalah berdasarkan ratifikasi Konvensi Basel melalui Keppres
Nomor 61 Tahun 1993. Kepentingan Indonesia meratifikasi Konvensi Basel guna mencegah
Indonesia sebagai tempat pembuangan limbah; membantu pengawasan atas UU 32 Tahun 2009
Pasal 69 tentang Pelarangan Impor Limbah B3; memicu peningkatan kapasitan ESM dalam
teknologi pengelolaan limbah B3; dan mendasari aktifitas Indonesia sebagai negara eksportir
limbah B3 yang juga merupakan salah satu negara transit
Definisi Notifikasi (Konvensi Basel)
Suatu sistem pengawasan melalui prosedur pemberitahuan terlebih dahulu dari instansi
berwenang negara pengekspor ke instansi berwenang negara pengimpor dan negara transit
apabila akan dilaksanakan perpindahan lintas batas limbah B3 dan limbah lainnya. Perpindahan
lintas batas limbah B3 dan limbah lainnya hanya dapat dilakukan setelah dilakukan notifikasi
kepada competent authority negara-negara pengimpor dan negara transit (jika ada), dan
mendapat jawaban persetujuan.

Gambar 1. Tahap Notifikasi


PERSYARATAN ADMINISTRASI DOKUMEN PERMOHONAN NOTIFIKASI EKSPOR
LIMBAH B3

1) Formulir Aplikasi (yang dikeluarkan oleh KLH) yang berisi tentang data eksportir, sumber
penghasil limbah B3, negara tujuan, data importir berikut rencana pengolahn limbah, negara
transit bila dilalui, deskripsi limbah B3 yang akan diekspor, rencana ekspor (jumlah limbah dan
jadwal pengiriman), nama pelabuhan untuk pengiriman barang, nama kapal, dan nama
transporter;

2) Formulir Notifikasi (sesuai lampiran V Konvensi Basel) memuat detail sebagaimana formulir
Aplikasi hanya dengan format berbeda serta tandatangan otoritas dari negara ekportir (Indonesia)

3) Formulir Transboundary Movement (sesuai lampiran pada Konvensi Basel) selain penjelasan
tentang limbah B3, keterangan pelaku ekspor-impor juga memuat tandatangan dari otoritas
negara eksportir dan otoritas negara importir sebagai bukti limbah B3 yang dikirm sudah
diterima di negara tujuan

4) Hasil analisa laboratorium untuk mengetahui kandungan bahan kimia dalam limbah B3 yang
akan diekspor

5) Informasi data dan karakteristik limbah B3

6) Surat Asuransi untuk menjelaskan tanggung jawab terhadap kemungkinan potensi pencemaran
yang terjadi dalam kegiatan perpindahan limbah termasuk jika limbah B3 tersebut harus
direekspor

7) Surat Persetujuan dari penghasil limbah yang memuat tentang (jenis limbah, jumlah limbah,
nama pemilik, nama eksportir yang ditunjuk, kesedian untuk menyerahkan limbah)

8) Surat keterangan kerjasama dengan importir negara tujuan ekspor (jenis limbah, jumlah
limbah, nama pemilik, nama eksportir yang ditunjuk, kesedian untuk menerima limbah)

9) Dokumen lainnya: SIUP, NPWP, akta Pendirian Perusahaan, Kesesuaian Nomor HS


2. Persetujuan dan Penerbitan Dokumen Perpindahan
Konvensi Basel terbuka untuk ditandatangani sejak 22 Maret 1989 dan dinyatakan berlaku sejak
5 Mei 1992. Konvensi Basel yang terdiri dari dari mukadimah, 29 article (pasal) dan 6 annex
(ketentuan tambahan)
Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Basel 1989 yang diratifikasi
Indonesia dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993. Ratifikasi
Konvensi Basel mencerminkan kesadaran Pemerintah Republik Indonesia tentang adanya
ancaman terhadap pencemaran lingkungan akibat perpindahan atau pembuangan limbah dari
negara lain kedalam negeri.

Gambar 2. Tahap Persetujuan dan Penerbitan Dokumen Perpindahan

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993, Pemerintah


Republik Indonesia meratifikasi konvensi tersebut karena :

1. Bahwa secara geografis wilayah Republik Indonesia terdiri dari pulau-pulau dengan
perairan terbuka, oleh karena itu sangat potensial sebagai tempat pembuangan limbah
berbahaya dan beracun secara illegal dari luar negeri;
2. Untuk memelihara kelestarian lingkungan serta mencegah agar wilayah Republik
Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan limbah berbahaya, dipandang perlu
menjadi pihak pada Convention tersebut.
Selain itu Indonesia merupakan negara yang mempunyai perairan sangat luas. Oleh karena itu
akan mengakibatkan Perpindahan limbah B3 yang menggunakan sarana angkutan kapal laut
sangat sering terjadi yang tentunya berpotensial untuk mencemari laut akibat zat beracun dan
berbahaya oleh kendaraan air tersebut. Oleh karena itu dengan meratifikasi Konvensi Basel,
maka memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Republik Indonesia harus izin terlebih dahulu
kepada Pemerintah Indonesia secara tertulis dan harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang
diatur oleh undang-undang nasional. Karena apabila itu dilanggar dapat dianggap sebagai suatu
kejahatan, maka Indonesia dapat mengambil tindakan atau menerapkan hukuman yang diatur
oleh Indonesia.

3. Perpindahan lintas batas


Masalah lingkungan khususnya limbah bahan berbahaya dan beracun( B3) adalah
masalah yang serius karena menyangkut kesehatan manusia danlingkungan oleh karena itu
dibutuhkan adanya pengaturan yang mengatur seluruh kegiatan limbah B3, baik pencegahan,
pengelolaan, maupun proses/prosedur pembuangan limbah yang berbahaya tersebut. Konvensi
Basel merupakan peraturan internasional pertama yang mengatur permasalah perpindahan
limbah B3 secara komprehensif. Kovensi Basel terdiri dari mukadimah, 29 pasal dan 6
kebutuhan tambahan.
Dalam konvensi Basel, untuk menjamin tempat pembuangan limbah sendiri dan berusaha
tidak melakukan perpindahan/mengekspor limbah ke negara lain)etiap negara harus berusaha
menjamin ketersediaan fasilitas pembuangan sendiri yang berwawasan lingkungan, sehingga
ekspor limbah dapat diminimalisir ( Pasal 4 ayat (2b dan 2d)). Limbah B3 dapat diekspor hanya
jika negara eksportir tidak memiliki kapasitasteknis dan fasilitas untuk membuang limbah
dengan cara yang ramah lingkungan (Pasal 4 ayat (9a))atau jika limbah memang
diperlukansebagai bahan baku negara importir. (Pasal 4 ayat (9b)).

Dalam perpindahan lintas batas limbah B3, setiap perpindahan lintas batas limbah B3
harus dikelola secara ramah lingkungan, dimanapun tempat pembuangan mereka (Pasal 4 ayat
(8)). Perpindahan lintas batas limbah B3 harus ditujukan kepada negara yang mampu mengelola
limbah B3 tersebut secara ramah lingkungan. Negara penghasil limbah B3 tidak diizinkan
mengekspor limbah berbahaya jikatidak ada jaminan dari negara importir untuk mengelola
limbah B3 secara ramah lingkungan (Pasal 4 ayat (2)). Begitu juga sebaliknya ,negara importir
tidak diizinkan mengimpor limbah B3 jika tidak akanmampu untuk mengelola limbah B3 secara
ramah lingkungan (Pasal 4 ayat 2(g)). Perpindahan lintas batas limbah B3 juga harus dituju
kenegara yang meerupakan anggota dari konvensi Basel. Negara- negara dilarang mengekspor
limbah B3 ke negara non-pihak Konvensi Basel (Pasal (5))Dilarang pula mengekspor limbah B3
ke antartika (Pasal 4 ayat (6))

Dalam tata cara mengekspor limbah B3, masing- masing negara diperlukan membentuk
sistem yang bergunauntuk menangani impor/ekspor limbah B3 dari tahap a8al sampai akhir.
(Pasal 4 ayat (7a)). Setiap perpindahan lintas batas limbah B3 harus diperhatikan dokumen,
persyaratan, pengemasan, pelabelan, dant ransportasi yang sesuai dengan aturan/standard
internasional (Pasal 4 ayat (7b)). Eksportir bertanggung jawab atas segala tindakan pemindahan
limbah B3.

Gambar 3. Implementasi Perpindahan Lintas Negara Untuk Limbah B3

4. Konfirmasi Pembuangan
Dalam Konvensi Bassel diperlukan adanya konfirmasi pembuangan. Hal ini dilakukan
untuk memastikan terjadi pembuangan limbah B3 yang sesuai dengan aturan dan syarat baik
yang menerima ataupun membuang limbah tersebut.
Generator dan negara ekspor menerima konfirmasi bahwa limbah telah berpindah
melintasi perbatasan dan telah dibuang oleh pembuang limbah seperti yang direncanakan dan
dengan cara yang ramah lingkungan. Konvensi membutuhkan konfirmasi dari pemelihara saat
pembuangan telah terjadi, menurut ketentuan kontrak, Sebagaimana ditentukan dalam dokumen
pemberitahuan. Jika competent authority dari negara ekspor belum menerima konfirmasi bahwa
pembuangan telah selesai, itu harus menginformasikan competent authority dari negara impor
sesuai.

2.4 Prosedur Notifikasi Lintas Batas Menurut Peraturan di Indonesia


Prosedur notifikasi lintas batas limbah B3 berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun
Pasal 74
(1) Dalam hal Setiap orang yang menghasilkan Limbah B3 tidak mampu melakukan sendiri
Pemanfaatan Limbah B3 yang dihasilkannya:
a. Pemanfaatan Limbah B3 diserahkan kepada Pemanfaat Limbah B3; atau
b. dapat melakukan ekspor Limbah B3 yang dihasilkannya.
(2) Penyerahan Limbah B3 kepada Pemanfaat Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a disertai dengan bukti Penyerahan Limbah B3.
(3) Salinan bukti penyerahan Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
kepada Menteri paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyerahan Limbah B3.
(4) Ekspor Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan jika
tidak tersedia teknologi Pemanfaatan Limbah B3 dan/atau Pengolahan Limbah B3 di
dalam negeri.

Pasal 75
(1) Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) untuk dapat melakukan
ekspor Limbah B3 yang dihasilkannya wajib:
a. mengajukan permohonan notifikasi secara tertulis kepada Menteri;
b. menyampaikan rute perjalanan ekspor Limbah B3 yang akan dilalui;
c. mengisi formulir notifikasi ekspor Limbah B3; dan
d. memiliki izin ekspor Limbah B3.
(2) Menteri menyampaikan notifikasi kepada otoritas negara tujuan ekspor dan negara transit
berdasarkan permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Notifikasi yang disampaikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
sedikit memuat:
a. identitas pemohon;
b. identitas Limbah B3;
c. identitas importir Limbah B3 di negara tujuan;
d. nama, karakteritik, dan jumlah Limbah B3 yang akan diekspor; dan
e. waktu pelaksanaan ekspor Limbah B3.
(4) Dalam hal notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui oleh otoritas negara
tujuan dan negara transit Limbah B3, Menteri menerbitkan rekomendasi ekspor Limbah
B3.
(5) Rekomendasi ekspor Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi dasar
penerbitan izin ekspor Limbah B3 yang diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
(6) Persyaratan dan tata cara permohonan dan penerbitan izin ekspor Limbah B3
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 123
(1) Dalam hal Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3 tidak mampu melakukan sendiri
Pengolahan Limbah B3 yang dihasilkannya:
a. Pengolahan Limbah B3 diserahkan kepada Pengolah Limbah B3; atau
b. dapat melakukan ekspor Limbah B3 yang dihasilkannya.
(2) Penyerahan Limbah B3 kepada Pengolah Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a disertai dengan bukti penyerahan Limbah B3.
(3) Salinan bukti penyerahan Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
kepada Menteri paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyerahan Limbah B3.
(4) Ekspor Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan jika
tidak tersedia teknologi Pemanfaatan Limbah B3 dan/atau Pengolahan Limbah B3 di
dalam negeri.
Pasal 124
(1) Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 untuk dapat melakukan ekspor
Limbah B3 yang dihasilkannya wajib:
a. mengajukan permohonan notifikasi secara tertulis kepada Menteri;
b. menyampaikan rute perjalanan ekspor Limbah B3 yang akan dilalui;
c. mengisi formulir notifikasi dari Menteri; dan
d. memiliki izin ekspor Limbah B3.
(2) Menteri menyampaikan notifikasi kepada otoritas negara tujuan ekspor dan negara transit
berdasarkan permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Notifikasi yang disampaikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
sedikit memuat:
a. identitas Limbah B3 dan pemohon;
b. identitas importir Limbah B3 di negara tujuan;
c. nama, karakteritik, dan jumlah Limbah B3 yang akan diekspor; dan
d. waktu pelaksanaan ekspor Limbah B3.
(4) Dalam hal notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui oleh otoritas negara
tujuan dan negara transit Limbah B3, Menteri menerbitkan rekomendasi ekspor Limbah
B3.
(5) Rekomendasi ekspor Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi dasar
penerbitan izin ekspor Limbah B3 yang diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
(6) Persyaratan dan tata cara permohonan dan penerbitan izin ekspor Limbah B3
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XII PERPINDAHAN LINTAS BATAS LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN


BERACUN
Pasal 196
(1) Dalam hal Limbah B3 akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk tujuan transit, Penghasil Limbah B3 atau Pengangkut Limbah B3 melalui
negara eksportir Limbah B3 harus mengajukan permohonan notifikasi kepada Pemerintah
Republik Indonesia melalui Menteri.
(2) Permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam waktu
paling singkat 60 (enam puluh) hari sebelum transit dilakukan.
(3) Permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan
keterangan paling sedikit mengenai:
a. identitas eksportir Limbah B3;
b. negara eksportir Limbah B3;
c. dokumen mengenai nama, sumber, karakteristik, dan jumlah Limbah B3 yang
akan transit;
d. alat angkut Limbah B3 yang akan digunakan;
e. negara tujuan transit;
f. tanggal rencana pengangkutan, pelabuhan atau terminal tujuan transit, waktu
tinggal di setiap transit, dan pelabuhan atau terminal masuk dan keluar;
g. dokumen mengenai asuransi;
h. dokumen mengenai pengemasan Limbah B3;
i. dokumen mengenai tata cara penanganan Limbah B3 yang akan diangkut; dan
j. dokumen yang berisi pernyataan dari Penghasil Limbah B3 dan eksportir Limbah
B3 mengenai keabsahan dokumen yang disampaikan.
Pasal 197
(1) Menteri memberikan jawaban berupa persetujuan atau penolakan atas permohonan
notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. identitas eksportir Limbah B3;
b. negara eksportir Limbah B3;
c. dokumen mengenai nama, sumber, karakteristik, dan jumlah Limbah B3 yang
akan transit;
d. alat angkut Limbah B3 yang akan digunakan;
e. tanggal rencana pengangkutan, pelabuhan atau terminal tujuan transit, waktu
tinggal di setiap transit, dan pelabuhan atau terminal masuk dan keluar; dan
f. masa berlaku persetujuan. (3) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai dengan alasan penolakan.
PP 74 tahun 2001
Pasal 7
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan ekspor B3 yang terbatas dipergunakan, wajib
menyampaikan notifikasi ke otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan
instansi yang bertanggung jawab.
(2) Ekspor B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilaksanakan setelah
adanya persetujuan dari otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi
yang bertanggung jawab.
(3) Persetujuan dari instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
merupakan dasar untuk penerbitan atau penolakan izin ekspor dari instansi yang
berwenang di bidang perdagangan.

Gambar 4. SOP Notifikasi Ekspor B3

Pasal 8
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan impor B3 yang terbatas dipergunakan dan atau
yang pertama kali diimpor, wajib mengikuti prosedur notifikasi.
(2) Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib disampaikan oleh otoritas negara
pengekspor kepada instansi yang bertanggung jawab.
(3) Instansi yang bertanggung jawab wajib memberikan jawaban atas notifikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak tanggal diterimanya permohonan notifikasi.

Gambar 5. SOP Notifikasi Impor B3

Pasal 9
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan impor B3 yang baru yang tidak termasuk dalam
daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), wajib mengikuti prosedur
notifikasi.
(2) Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan oleh otoritas negara
pengekspor kepada instansi yang bertanggung jawab.
(3) Instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) segera
memberitahukan kepada Komisi B3 untuk meminta saran dan atau pertimbangan Komisi
B3.
(4) Komisi B3 memberikan saran dan atau pertimbangan kepada instansi yang bertanggung
jawab mengenai B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
(5) Berdasarkan saran dan atau pertimbangan yang diberikan oleh Komisi B3 kepada instansi
yang bertanggung jawab, maka instansi yang bertanggung jawab:
a. mengajukan perubahan terhadap lampiran Peraturan Pemerintah ini; dan
b. memberikan persetujuan kepada instansi yang berwenang di bidang perdagangan
sebagai dasar untuk penerbitan atau penolakan izin impor.

Kelengkapan Dokumen Notifikasi


 Otoritas Negara Eksportir :
1. Surat Pemberitahuan Notifikasi Ekspor
2. Formulir Notifikasi Ekspor
3. MSDS Bahan Kimia yang diekspor
 Importir :
1. Surat konfirmasi kebenaran rencana impor
2. Formulir konfirmasi rencana impor
3. Dokumen perijinan dari K/L terkait sesuai B3 yang diimpor
 PESTISIDA :
o SK Menteri Pertanian tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pestisida
 BAHAN PERUSAK OZON (BPO) :
o Surat Penunjukkan IT/IP-BPO dari Kementerian Perdagangan
 MERKURI ELEMENTAL (Hg) :
o Surat Penunjukkan IT/IP-B2 dari Kementerian Perdagangan
BAB III
SIMPULAN
1. Beberapa kasus lintas –batas (transboundary) illegal bahan/limbah B3 di dunia adalah
-Pada tahun 1983, sebuah perusahaan alumunium di Jerman Barat yaitu Pietrans
mengakui bahwa perusahaannya telah membuang lebih dari 25.000 ton limbah beracun
ke sebuah lokasi penggalian di dekat Brussel.

-Pada tahun 1986, kapal Khian Sea berlayar dari Philadelphia menuju ke kepulauan
Bahama dengan mengangkut 15.000 ton debu hasil pembakaran limbah dari Philadelphia.
Kapal tersebut melakukan perjalanan selama 2 tahun, karena selalu ditolak di pelabuhan
manapun dan akhirnya melakukan pembuangan limbah secara tidak sah di Haiti.

-Pada tahun 1987, Jerman memberi label kemasan limbah yang akan diekspor untuk
dibakar di Turki sebagai bahan bakar, padahal isi kemasan tersebut adalah 1.581 ton
lumpur (endapan) yang mengandung logam dan racun. Ketika hasil analisa kimia
menunjukkan bahwa kemasan tersebut berisi polychlorinated benzene (PCBs), pihak
berwenang di Turki memaksa agar limbah tersebut dibawa kembali ke Jerman.

2. Beberapa kasus masuknya bahan/limbah B3 ke Indonesia secara illegal adalah


-Kasus Simpang Busung pada tahun 1990 berupa pembuangan limbah bahan berbahaya

dan beracun dari Singapura ke dusun Simpang Busung desa Tanjung Uban, Kecamatan
Bintan Utara.
-Pihak Bea Cukai berhasil menahan 113 kontainer asal Inggris dan Belanda yang memuat
limbah beracun.
-Petugas dari Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok memeriksa 19
kontainer berisi besi tua yang tercemar limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) di
Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (30/4/2012).
3. Prosedur kontrol lintas-batas menurut Konvensi Basel terdiri dari empat tahap yaitu
notifikasi, persetujuan dan penerbitan dokumen gerakan, perpindahan lintas batas, dan
konfirmasi pembuangan.
4. Prosedur notifikasi lintas-batas menurut peraturan di Indonesia diatur dalam PP RI 74
tahun 2001 tentang pengelolaan B3 yang terdiri dari notifikasi untuk ekspor dan
notifikasi untuk impor. Sedangkan prosedur notifikasi lintas batas limbah B3 diatur
dalam PP RI Nomor 101 Tahun 2014 tentang pengelolaan limbah B3
DAFTAR PUSTAKA

http://www.apbi-icma.org/wp-content/uploads/2014/12/Implementasi-Peraturan-Bidang-
Notifikasi-dan-Rekomendasi-Limbah-Batas.pdf. Diakses tanggal 18 Maret 2017, pukul
09.17 WIB

http://blh.jogjaprov.go.id/wp-content/uploads/PP-No.-74-Tahun-2001-B3.pdf . Diakses tanggal


18 Maret 2017, pukul 13.15 WIB
http://www.menlh.go.id/tidak-lanjut-penanganan-kasus-impor-limbah-non-b3-dan-kontaminasi-
b3/. Diakses tanggal 18 Maret 2017, pukul 16.20 WIB
www.portalkriminal.com/index.php/home/kriminal-daerah/4602-poldasu-ungkap-
penyelundupan-30-ton-limbah-b3. Diakses tanggal 18 Maret 2017, pukul 17.05 WIB
http://www.kelair.bppt.go.id/sib3pop/Pedoman/B3/notifikasi.htm. Diakses tanggal 20 Maret
2017, pukul 19.32 WIB

Anda mungkin juga menyukai