Anda di halaman 1dari 11

PENGARUH KONVENSI BASEL TERHADAP PENGATURAN IMPOR

LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)

Barlian Tata Gumi

Universitas sriijaya

Email: Barliantata21@gmail.com dosen pembimbing: Adrian Nugraha,SH.MH

ABSTRAK

Perkembangan teknologi khususnya dalam bidang industri sangatlah pesat, negara-negara

dengan industri maju seringkali menjadikan negara-negara miskin dan berkembang sebagai

“tong sampah”. Padahal setiap negara selalu menginginkan pembangunan industri yang

tangguh serta aman dari pencemaran dan perusakan lingkungan. Perpindahan lintas batas

limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) menjadi salah satu permasalahan yang di alami

oleh semua negara di belahan dunia manapun, termasuk Indonesia. Sifatnya yang berbahaya

bagi manusia dan lingkungan hidup menjadikan limbah jenis ini sama sekali tidak diinginkan.

Oleh sebab itu, Indonesia sebagai negara yang menerapkan kebijakan pelarangan impor

limbah B3 perlu menyelaraskan semua aturan yang berkaitan dengan pengelolaan limbah B3

serta meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas penyelundupan limbah B3.Konvensi

Basel 1989, yang diselenggarakan dalam rangka menyikapi kekhawatiran tersebut dengan

menetapkan larangan perpindahan lintas batas limbah B3. Konvensi Basel diratifikasi oleh

Indonesia dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993 Tentang

Pengesahan Basel Convention on the Control ofTransboundary Movements of Hazardous

Wastes and Their Disposal.

Kata kunci: Industri, Impor limbah B3, penyelundupan limbah B3, Konvensi basel.
ABSTRACT

Technological development especially in the field of industry is very rapidly, countries

with advanced industry often makes poor countries and develop as "garbage". In fact every

country always wants a tough industrial development as well as safe frompollution and

destruction of the environment. Cross border transfer of hazardous materials and

toxic waste (B3) became one of the problems in the natural by all countries in any other parts

of the world, including Indonesia. Its dangerous to humans and the environment makes this

type of waste is not at all desirable. Therefore, Indonesia as a country that is applying a

policy of banning the import of the waste need to harmonise all rules B3 related to waste

management and to improve the supervision of B3 against smuggling activity waste B3. The

1989 Basel Convention, which was held in order to address these concerns by establishing a

ban on cross-border waste transfer B3.  The Basel Convention was ratified by Presidential

Decree of the Republic of Indonesia with  Number 61 in 1993 about the endorsement of

the Basel Convention on the Control ofTrans boundary Movements of Hazardous Wastes and

Their Disposal.

Keywords: industry, imports of waste waste smuggling B3, B3, the basel Convention.
1. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa

lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi

setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh

pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup

Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta

makhluk hidup lain. Kewajiban tersebut berdasarkan asas tanggung jawab negara,asas

keberlanjutan, dan asas keadilan.Ditengah pengelolaan lingkungan hidup begitu banyak

faktor yang menyebabkan lingkungan itu tercemar diantaranya faktor limbah bahan

berbahaya dan beracun (B3).1

Limbah bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat menjadi limbah B3,

merupakan jenis limbah yang memerlukan perhatian khusus dalam pengelolaannya.

Bukan saja karena sifatnya yang berbahaya bagi kesehatan manusia,namun juga karena

konsentrasi dan jumlahnya yang secara langsung maupun tidak langsung dapat

mencemari lingkungan dan mengancam kelangsungan hidup beragam makhluk yang

berada di lingkungan tersebut. Sifatnya yang mudah terbakar, mudah meledak, korosif,

reaktif,beracun, dan menyebabkan infeksi adalah alasan yang menjadikan limbah jenis

ini harus dikelola dengan penuh kehati-hatian.

Negara-negara industri maju umumnya memiliki kebijakan lingkungan yang relatif

ketat sehingga mau tidak mau mereka harus mengelola limbah B3 yang merujuk kepada

peraturan yang ada. Sementara itu di negara-negara miskin dan berkembang, kebijakan

lingkungan yang relatif longgar menjadi celah bagi pihak-pihak tertentu untuk

menjadikan negara tersebut sebagai sasaran pembuangan limbah B3.

1
Suhadi, 2012, Mengawal Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Di Kawasan Sekaran Untuk Masa Depan
Yang Lebih Baik, Volume 1 Nomor 1, Hlm 2
Perhitungan global menunjukkan bahwa lebih dari 5 juta ton limbah B3 yang

melintasperbatasan antarnegara setiap tahunnya,sebagian di antaranya dilakukan secara

ilegal.Kemungkinan jumlahnya jauh lebih besar saatini, berdasarkan temuan atas praktik

perpindahanlintas batas limbah B3 dari negara-negara belahanutara menuju negara-

negara belahan selatan.Kondisi ini tidak mungkin dihindarkan mengingatsebagian besar

bahan baku bagi sektor industrimerupakan bahan berbahaya dan beracun (B3)sehingga

dapat dipastikan limbah yang dihasilkanpun merupakan limbah dalam kategori limbah

B3.2

Sebagai salah satu negara peratifikasi Konvensi Basel, yaitu konvensi internasional

yang mengatur tentang perpindahan lintas batas limbah B3, Indonesia dengan tegas

melarang semua pihak untuk memasukkan limbah B3 ke dalam batas wilayah

NKRI.Namun, apakah komitmen tersebut dijalankan pada kenyataannya?. . .

Indonesia dengan letak geografisnya yang strategis dan terbentuk dari ribuan pulau

kecil dan besar memiliki sekitar 20.000 titik rawan penyelundupan menjadi pertimbngan

besar atas terbebasnya dari limbah B3. Oleh sebab itu saya membuat jurnal ini

membahas tentang kebijakan negara terhadap limbah bahan berbahaya dan beracun

(B3).3

Tujuan yang ingin dicapai melalui tulisan ini adalah mengetahui kebijakan negara

terhadap impor limbah B3 dan mengetahui implementasi kebijakan tersebut dengan

melihat permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam penerapannya saat ini serta

mengetahui aturan hukum yang mengatur permasalahan limbah B3.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode normatif, yakni menggambarkan secara jelas

jawaban atas rumusan masalah yakni dalam hal ini kebijakan suatu negara terhadap

2
Teddy Prasetiawan, 2012,Kebijakan Pelarangan Impor Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) Dan
Permasalahannya Hazardous Waste Import Ban Policy And Problems, volume 15 Nomor 1, hlm 1-2
3
Ibid.
impor limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).Analisis terhadap penelitian ini

diarahkan kepada deskripsi yang jelas dari objek kajian penelitian, yaitu limbah B3.

Kemudian limbah B3 tersebut dihubungkan dengan kebijakan negara Indonesia terhadap

hal tersebut melalui studi literatur atau menggunakan data sekunder. Penelitian ini

bersumber dari peraturan perundang-undangan yakni dalam hal ini konvensi basel 1989,

buku-buku yang berkenaan dengan limbah B3, jurnal-jurnal baik internasional maupun

nasional tentang limbah B3, serta penelitian terdahulu yang berhubungan dengan pokok

permasalah atau pokok bahasan.

3. Permasalahan

Persoalan rnuncul, bagaimana kebijakan suatu Negara terhadap impor limbah bahan

berbahaya dan beracun (B3) sesuai dengan atauran dalam konvensi basel 1989 atau

setelah meratifikasi konvensi tersebut.

4. Pembahasan

Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan

berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau

jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan

dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup,

kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain (Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia, Nomor 18, 1999:2).4

Dalam Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 Perubahan atas PP No. 18 Tahun

1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, didefinisikan limbah B3 adalah sisa suatu usaha

dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena

4
Damianus Bilo, F. Sugeng Istanto, dan H. Marsudi Triatmodjo.Pertanggung jawaban Negara terhadap
kerugian dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekpor-impor limbah B3,volume 12 nomor
3,Yogyakarta,hlm 2
sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun

tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup,

dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup

manusia serta makhluk hidup lain.5

Dalam konvensi Basel 1989, pengertian Limbah adalah bahan atau objek yang

dibuang atau direncanakan akan dibuang atau diminta untuk dibuang menurut

ketentuanketentuan nasional. Sedangkan pengertian Limbah B3 adalah limbah-limbah

yang terdiri dari 45 kategori linrbah, dimana l8 di antaranya merupakan limbah

yang berasal dari sumbernya, seperti limbah rumah sakit, PCB dan 27 kategori

adalah limbahlimbah yang mengandung unsur-unsur pencemar seperti merkuri, lead,

asbestos, sianida organik, pelarut organik yang terhalogenasi dan lain-lain. Limbah-

limbah ini memiliki l4 sifat karakteristik, yang berdasarkan Peraturan Nasional yang

berlaku di negara-negara anggota merupakan limbah B3.6

Berdasarkan Pasal 2 ayat (8) Konvensi Basel 1989, pengelolaan limbah berbahaya

dan limbah lainnya yang berwawasan lingkungan adalah : 7

“Pengambilan semua langkah praktis untuk menjamin bahwa limbah berbahaya dan

limbah lainnya dikelola dengan cara memperhatikan perlindungan bagi kesehatan

manusia dan lingkungan terhadap dampak atau pengaruh merugikan yang mungkin

ditimbulkan oleh limbah tersebut”.

Sedangkan berdasarkan Pasal 1 butir (3) Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 1999

Tentang Pengelolaan Limbah B3, pengelolaan limbah B3 adalah8

5
Teddy Prasetiawan, 2012,Kebijakan Pelarangan Impor Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) Dan
Permasalahannya Hazardous Waste Import Ban Policy And Problems, volume 15 Nomor 1, hlm 3
6
Damianus Bilo, F. Sugeng Istanto, dan H. Marsudi Triatmodjo.Pertanggung jawaban Negara terhadap
kerugian dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekpor-impor limbah B3,volume 12 nomor
3,Yogyakarta,hlm 2
7
Basel Convention on the Control ofTransboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal.
8
Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah B3
“Rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan,

pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah

B3”.

Agar tidak terjadi impor besar-besaran limbah B3, Indonesia memiliki misi

pengelolaan limbah B3 yaitu mengurangi dan mencegah semaksimal mungkin

ditimbulkannya limbah B3 dan mengolah limbah B3 dengan tepat, sehingga

tidak menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dan terganggunya kesehatan

manusia. Agar pengelolaan limbah B3 dapat dilakukan dengan baik, maka diperlukan

strategi pengelolaan limbah B3, yaitu :9

a. Mempromosikan dan mengembangkan teknik minimasi limbah melalui

teknologi bersih, penggunaan kembali limbah, perolehan kembali dan daur

ulang;

b. Memperluas pengetahuan dan menyebarkan informasi mengenai pengaruh dari

limbah berbahaya terhadap lingkungan;

c. Menyediakan insentif bagi pihak industri yang melakukan pengelolaan limbah;

d. Membangun fasilitas pusat-pusat pengolahan limbah industri pada lokasi-

lokasi yang tepat;

e. Meningkatkan kerjasama antar instansi maupun kerjasama internasional

dalam pengelolaan limbah B3;

f. Melaksanakan dan mengembangkan peraturan pengelolaan limbah B3 yang ada.

Aktivitas impor limbah B3 benar terjadi dalam praktek jauh sebelum

ditetapkannya Konvensi Basel 1989. Praktek ini berkembang dengan frekuensi

kegiatan yang cukup tinggi dan secara kuantitatif semakin meningkat. Dapat dilihat

9
Prof. Enri Damanhuri, 2010, pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, diktat pengelolaan tl-
3204,Bandung,hlm14
dari data Direktorat Pengelolaan Limbah dan B3 Badan Pengendalian Dampak

Lingkungan Kantor Kernentrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia di Jakarta.10

Pertanggungjawaban suatu Negara terhadap limbah B3 sama sekali tidak ada

pengaturarlnya di dalam Konvensi Basel 1989. Hingga saat ini belum ada satupun

protokol yang dihasilkan oleh pihak Konvensi Basel 1989 sesuai dengan yang

diamanatkan pasal. Konvensi tersebut hanya menetapkan kewajiban-kewajiban bagi

negara yang melakukan kegiatan pemindahan limbah B3 melalui lintas batas negara

untuk menjaga dan menghindari dampak kerusakan lingkungan dari kegiatan

tersebut.11

Indonesia merupakan salah satu Negara yang menetapkan larangan impor terhadap

limbah bahan berbahaya dan beracun. Ada tiga alasan yang menyebabkan Indonesia

harus tetap menerapkan larangan impor limbah B3 tersebut, yaitu 12

1. Komitmen terhadap Konvensi Basel;

2. Pengalaman sejarah; dan

3. Fasilitas pengolahan limbah B3 yang minim.

Konvensi Basel yang diselenggarakan untuk pertama kalinya pada tahun 1989

merupakan wujud perhatian dunia internasional dalam mencegah penyelundupan limbah

B3 melalui pengaturan perpindahan lintas batas limbah B3. Pada awalnya konvensi ini

hanya mengatur tentang adanya kesepakatan antara negara pengekspor dan pengimpor

limbah B3 dalam melakukan praktik tersebut. Namun hal ini dirasa kurang melindungi

negara-negara miskin dan berkembang yang merupakan sasaran potensial pembuangan

limbah B3.

10
Damianus Bilo, F. Sugeng Istanto, dan H. Marsudi Triatmodjo.Pertanggung jawaban Negara terhadap
kerugian dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekpor-impor limbah B3,volume 12 nomor
3,Yogyakarta,hlm 6
11
Damianus Bilo, F. Sugeng Istanto, dan H. Marsudi Triatmodjo
12
Teddy Prasetiawan, 2012,Kebijakan Pelarangan Impor Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) Dan
Permasalahannya Hazardous Waste Import Ban Policy And Problems, volume 15 Nomor 1, hlm 6
Komitmen Indonesia dalam memberlakukan pelarangan impor limbah B3

mengalami pasang surut sebelum meratifikasi Konvensi Basel pada tahun 1993 melalui

Keppres No. 61, secara hukum Indonesia memperbolehkan impor limbah B3. Dengan

meratifikasi hasil konvensi ini, Indonesia secara otomatis melarang aktivitas perpindahan

lintas batas limbah B3. Namun dengan alasan keterbatasan teknologi pengolahan di

dalam negeri, Indonesia masih memperbolehkan ekspor limbah B3 untuk tujuan

pengolahan..13

Diterbitkannya PP No. 19/1994 tentang Pengelolaan Limbah B3 menegaskan

pelarangan impor limbah B3 dengan alasan apa pun. Atas desakan kepentingan

industri, melalui PP No. 12/1995 tentang Perubahan PP No. 19/1994 Indonesia

kemudian menerapkan pelarangan Impor dengan pengecualian jika dibutuhkan untuk

penambahan bahan baku bagi kegiatan industri.14 Tindakan ini dianggap

memberikan peluang berdirinya industri-industri baru yang menggunakan limbah B3

sebagai bahan baku yang disinyalir sebagai modus baru aliran masuk limbah B3 ke

Indonesia. Dengan diundangkannya UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup, PP No. 12/1995 dinilai bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi.

Kemudian diterbitkannya PP No. 18/1999 yang kemudian diubah menjadi PP No.

85/1999, Indonesia akhirnya kembali menetapkan pelarangan impor limbah B3 secara

total dengan alasan apapun. Hingga saat ini, PP tersebut masih berlaku dan menjadi

acuan bagi pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, lahir

pula UU baru yang menguatkan komitmen Indonesia, yaitu UU No. 18/2008 tentang

Persampahan dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (PPLH). Landasan hukum tersebut sangat cukup untuk menegaskan bahwa

13
Ibid.
14
PP No. 12/1995 tentang pengelolaan limbah B3
Indonesia adalah Negara yang melarang impor limbah B3 atau tindakan memasukkan

limbah B3 ke dalam batas wilayah NKRI adalah tindakan yang illegal.

Pengalaman sejarah pengelolaan limbah B3 di berbagai belahan dunia yang

dikemukakan sebelumnya, seharusnya cukup bagi Indonesia untuk bersikap tegas

melarang impor limbah B3. Sementara, jumlah pengolah limbah B3 di Indonesia

masih sangat rendah. Satu-satunya yang mampu mengelola limbah dengan kemampuan

yang tinggi adalah PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI). Kepemilikan saham

PPLI sebagian besarnya dipegang oleh swasta (95%) dan sisanya oleh pemerintah

Indonesia. Berdasarkan data rekapitulasi status perizinan pengelolaan B3 dan Limbah

B3 periode Januari–Oktober 2010, terdapat 7 perusahaan lain yang mendapatkan izin

sebagai pengolah limbah B3. Izin lain yang diberikan bersifat khusus, yaitu

terbatas pada proses pengolahan tertentu, seperti bioremidiasi, insenerasi, dan tank

cleaning. Begitu pula dengan fasilitas landfilling, Indonesia tidak memiliki TPA khusus

limbah B3 yang dikelola oleh pemerintah.15

Melihat kondisi ini, pelarangan impor limbah B3 di Indonesia sangatlah

beralasan. Peningkatan kapasitas pengolahan limbah dalam negeri perlu ditingkatkan.

Karena orientasi yang seharusnya dilakukan ialah untuk mengolah limbah B3 dalam

negeri, bukan menerima limbah dari luar yang berpotensi mencemari manusia dan

lingkungan hidup Indonesia. Jadi, sudah sepatutnya Indonesia melarang impor limbah

bahan berbahaya dan beracun (b3).

4. Kesimpulan

Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) merupakan limbah yang harus memiliki

penangan khusus. Indonesia merupakan salah satu Negara yang meratifikasi konvensi

15
Teddy Prasetiawan, 2012,Kebijakan Pelarangan Impor Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) Dan
Permasalahannya Hazardous Waste Import Ban Policy And Problems, volume 15 Nomor 1, hlm 7
basel yang menjelaskan tentanglimbah B3. Konvensi basel ini merupakan konvensi yang

melatarbelakangi munculnya larangan impor limbah bahan berbahaya dan beracun ke

Indonesia. Begitu banyaknya dampak buruk dari limbah B3 tersebut diantaranya dapat

merusak ekosistem, membunuh flora dan fauna, perusakan lingkungan, menimbulkan

penyakit, pencemaran lingkungan, serta dampak-dampak negative lainnya. Oleh sebab

itu, sudah sepatutnya kalau Indonesia menerapkan larangan impor terhadap limbah B3,

namun mengelolah lebih lanjut limbah B3 yang telah berada di dalam wilaya Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

5. Daptar Pustaka

o Damianus Bilo, F. Sugeng Istanto, dan H. Marsudi Triatmodjo.Pertanggung

jawaban Negara terhadap kerugian dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan

ekpor-impor limbah B3,volume 12 nomor 3,Yogyakarta,2005

o Basel Convention on the Control ofTransboundary Movements of Hazardous Wastes

and Their Disposal.

o Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah B3

o PP No. 12/1995 tentang pengelolaan limbah B3

o Prof. Enri Damanhuri, pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, diktat

pengelolaan tl-3204,Bandung, 2010

o Teddy Prasetiawan,Kebijakan Pelarangan Impor Limbah Bahan Berbahaya

Beracun (B3) Dan Permasalahannya Hazardous Waste Import Ban Policy And

Problems, volume 15 Nomor 1, 2012

Anda mungkin juga menyukai