Anda di halaman 1dari 46

A.

PERKEMBANGAN LIMBAH B3

Seiring dengan berjalannya waktu, limbah semakin hari semakin meningkat jumlahnya.
Limbah sangatlah berbahaya bagi kehidupan manusia atau makhluk hidup lainnya. Banyak orang
membuang, menimbun, bahkan menyimpan limbah dengan jumlah yang banyak serta tidak
dikelola dengan baik. Ternyata limbah-limbah tersebut termasuk limbah B3 (Bahan Berbahaya
dan Beracun). Pada penulisan makalah ini, akan mengupas semua tentang limbah B3 dan
bagaimana system pembuangannya yang baik.

Sampah yang berasal dari aktivitas sehari-hari dan tergolong limbah B3 disebut sampah
B3. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu
usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3, sedangkan yang dimaksud dengan Bahan
Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen
lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya (PP
RI No. 101 Tahun 2014). Jenis sampah ini walaupun dalam kuantitas atau konsentrasi sangat
kecil, tetapi mengandung bahan berbahaya dan beracun. Keberadaan jenis sampah ini terkadang
tidak disadari, karena pengetahuan masyarakat tentang sampah B3 masih tergolong rendah.
Untuk itu penanganannya pun masih belum mendapat perhatian(Astuti, 2010).

Sampah B3 tidak hanya dihasilkan dari kegiatan industri, tetapi juga dihasilkan dari
kegiatan rumah tangga (domestik), komersil, dan institusi. Sampah sejenis barang bekas B3
tersebut banyak dihasilkan dari aktivitas rumah tangga dan umumnya bersatu dengan sampah
perkotaan lainnya (Lakshmikantha & Lakshminarasimaiah, 2007). Diperkirakan lebih dari 75%
sampah B3 berasal dari industri manufaktur, 5-10% dari rumah tangga, dan sisanya dari sumber-
sumber lain. Inventarisasi data mengenai timbulan dan komposisi sampah B3 di Indonesia baru
terfokus pada sampah industri (Astuti, 2010). Jika pengelolaan sampah B3 tidak dilaksanakan
secara benar, sampah tersebut akan menimbulkan berbagai masalah bagi lingkungan bahkan
lebih membahayakan dari sampah biasa seperti menyebar lewat tanah, air dan udara, serta rantai
makanan, menyusupi tubuh manusia dan hewan berkulit, pernafasan dan pencernaan sehingga
mengganggu organ ginjal, mata, saluran pernafasan, paru-paru, otak, sistem syaraf, dan hati
(Harry, 2010). Sampah B3 yang dibuang langsung ke lingkungan dapat menimbulkan dampak
negatif yang sangat besar dan bersifat akumulatif, sehingga kadarnya makin lama akan makin
meningkat (Huabo, 2008).

Sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) rumah tangga merupakan sampah bahan
berbahaya dan beracun yang dihasilkan oleh kegiatan atau aktivitas sehari-hari di lingkungan
rumah tangga atau domestik yang mengandung bahan atau kemasan suatu jenis bahan berbahaya
dan atau beracun yang sangat berbahaya untuk lingkungan.

Sampah merupakan salah satu masalah sosial yang dihadapi setiap orang, tidak terkecuali
sampah B3. Pengelolaan sampah B3 rumah tangga yang tidak dilaksanakan dengan benar akan
menimbulkan berbagai dampak terhadap lingkungan yang lebih berbahaya dari sampah rumah
tangga biasa yaitu dapat menyebar lewat tanah, air dan udara hingga rantai makanan, masuk
kedalam tubuh manusia dan hewan melalui pernapasan, pencernaan dan kulit yang dapat
mengancam kulit, mata, ginjal, saluran pernapasan, otak, paru-paru, sistem syaraf dan hati.

Selain itu, sampah B3 rumah tangga yang tidak dikelola dengan cara tepat dan sesuai
dengan jenis dan karakteristiknya. Penyimpanan dan pembuangan sampah B3 rumah tangga
yang tidak sesuai dapat menyebabkan risiko terjadinya gangguan kesehatan dan keselamatan
manusia seperti ledakan, kebakaran, cidera, keracunan bahkan dapat mengakibatkan kematian.

Sebuah penelitian di Cina yang dilakukan oleh Bixian et al pada tahun 2014
menunjukkan bahwa sampah B3 menyumbang 2,23% dari total sampah rumah tangga. Kategori
limbah yang berkontribusi terhadap timbulan sampah B3 adalah produk pembersih rumah
(21,33%), obat-obatan (17,67%), dan produk perawatan pribadi (15,19%). Sedangkan penelitian
yang dilakukan Idil pada tahun 2016, karakteristik sampah B3 yang ditemukan adalah beracun
60,23% mudah meledak sebesar 18,64% mudah terbakar sebesar 15,23%, dan korosif sebesar
4,09%.

Kota Semarang sendiri pada tahun 2015 menghasilkan timbulan sampah B3 rumah
tangga sebesar 0,059 l/orang/hari dengan karakteristik korosif (1,7%), mudah terbakar atau
meledak (11,4%), beracun (41,04%) dan menyebabkan infeksi (45,9%).
Data dari BPS pada tahun 2016 menunjukkan bahwa Kelurahan Sendangmulyo memiliki

jumlah penduduk yaitu sebesar 33.843 jiwa. Peraturan yang mengatur secara khusus
tentang sampah B3 rumah tangga sehingga pengelolaan sampah B3 rumah tangga terabaikan.
Jika sistem pengelolaan sampah yang digunakan masyarakat Kelurahan Sendangmulyo adalah
system konvensional, dimana sampah yang berasal dari semua sumber baik dosmetik dan non
dosmetik diangkut dan dibuang ke TPA Jati Barang tanpa dilakukan pemisahan sampah di
sumber. Sama halnya dengan sampah B3, belum dilakukan pemisahan dan penanganan khusus.

Semakin kompleksnya kegiatan yang dilakukan oleh manusia menyebabkan semakin


banyaknya timbulan limbah yang dihasilkan. Laju pertumbuhan limbah saat ini bahkan sudah
melampaui laju pertumbuhan penduduk. Jika dalam dunia medis dan ilmu kependudukan
dikatakan bahwa laju pertumbuhan manusia sedemikian pesatnya, di mana terdapat dua bayi
lahir setiap detiknya, maka laju pertumbuhan limbah lebih pesat lagi dari itu, karena setiap satu
manusia lahir maka akan dihasilkan 2-3 item limbah yang ikut dihasilkan selama proses
kelahirannya. Di antara sekian banyaknya limbah yang dihasilkan beberapa di antaranya ada
yang berbahaya dan beracun, yang umum dikenal sebagai limbah B3. Tidak hanya mencemari
lingkungan, limbah ini juga dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia serta
makhluk hidup lainnya, sehingga harus dikelola dengan baik dan benar.

Sesuai dengan amanat UU 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan


Hidup, pengelolaan limbah B3 merupakan tanggung jawab pihak yang menghasilkannya. Namun
kegiatan ini memerlukan teknologi dan tenaga ahli yang khusus sehingga bisa jadi membebani
penghasil jika melakukannya sendiri. Oleh sebab itu Pemerintah memberikan kebijakan kepada
para penghasil untuk menyerahkan kegiatan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya kepada
pihak lain, dalam hal ini ialah fasilitas jasa pengelolaan limbah B3 yang berbadan hukum dan
memiliki izin operasional dari Pemerintah, jika tidak mampu melakukannya sendiri, kecuali
untuk kegiatan pengurangan.

Tata laksana pengelolaan limbah B3 oleh suatu fasilitas pengelolaan limbah B3 berbeda
dengan dan lebih kompleks dari pada pengelolaan limbah domestik yang dilakukan oleh TPA.
Jika suatu limbah domestik dapat langsung diterima oleh suatu TPA, maka hal ini tidak berlaku
untuk limbah B3. Sebelum menyerahkan pengelolaan limbah B3 kepada suatu fasilitas
pengelolaan limbah B3, penghasil harus terlebih dahulu melalui proses prapenerimaan (pre
acceptance). Proses pra penerimaan ini bertujuan untuk memastikan karakteristik limbah B3
yang akan dibuang, pemenuhan terhadap izin yang dimiliki oleh fasilitas penerima tersebut dan
bisa/tidaknya limbah tersebut dikelola sesuai dengan teknologi dan kapasita yang dimiliki oleh
fasilitas penerima.

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa penyerahan pengelolaan limbah B3 kepada suatu
fasilitas pengelolaan limbah B3 tidak serta merta menghilangkan kewajiban penghasil atas
limbah B3 yang dihasilkannya, karena sampai kapanpun limbah tersebut akan tetap tercatat
sebagai milik dari si penghasil. Regulasi pengelolaan limbah B3 di Indonesiapun hingga saat ini
masih ditujukan kepada pihak industri dan belum melibatkan sektor domestik/rumah tangga. Hal
ini karena pengelolaan limbah B3 memerlukan perizinan yang rumit dan tidak sederhana yang
hanya bisa dilakukan oleh usaha komersial, sehingga apabila diterapkan pula pada sektor
domestik/rumah tangga maka akan menimbulkan suatu permasalahan tersendiri.

Pesatnya perkembangan industri di Indonesia tentunya tidak dapat dilepaskan dari


semakin banyaknya limbah yang dihasilkan dari kegiatan para pelaku industri tersebut,
khususnya limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

Ada banyak cara limbah mencemari lingkungan yang akhirnya akan mempengaruhi
kesehatan manusia. Ketika limbah berada di tanah, maka limbah akan mencemari sumber air, air
tanah serta tanaman yang tumbuh disekitarnya untuk kemudian dimakan oleh manusia. Limbah
juga dapat terminum dan bersentuhan langsung dengan kulit manusia atau termakan oleh
binatang laut, misalnya ikan, yang akhirnya dikonsumsi oleh manusia. Selebihnya, limbah juga
bisa menguap ke udara dan terhirup oleh manusia.

Berdasarkan Undang Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah zat,
energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan, merusak lingkungan hidup, dan/atau
dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk
hidup lainnya. Limbah bahan berbahaya dan beracun adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan
yang mengandung B3. Sedangkan dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang,
menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu,
dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu.

Pesatnya perkembangan industri di Indonesia tentunya tidak dapat dilepaskan dari


semakin banyaknya limbah yang dihasilkan dari kegiatan para pelaku industri tersebut,
khususnya limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Ada banyak cara limbah mencemari
lingkungan yang akhirnya akan mempengaruhi kesehatan manusia. Ketika limbah berada di
tanah, maka limbah akan mencemari sumber air, air tanah serta tanaman yang tumbuh
disekitarnya untuk kemudian dimakan oleh manusia. Limbah juga dapat terminum dan
bersentuhan langsung dengan kulit manusia atau termakan oleh binatang laut, misalnya ikan,
yang akhirnya dikonsumsi oleh manusia. Selebihnya, limbah juga bisa menguap ke udara dan
terhirup oleh manusia.

Berdasarkan Undang Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah zat,
energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan, merusak lingkungan hidup, dan/atau
dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk
hidup lainnya. Limbah bahan berbahaya dan beracun adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan
yang mengandung B3. Sedangkan dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang,
menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu,
dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu

Pengelolaan Limbah B3 | Pemanfaatan limbah B3 yang mencakup kegiatan penggunaan


kembali (reuse), daur ulang (recycle), dan perolehan kembali (recovery) merupakan satu mata
rantai penting dalam pengelolaan limbah B3. Hal ini akan mengurangi kecepatan pengurasan
sumber daya alam. Untuk menghilangkan atau mengurangi risiko yang dapat ditimbulkan dari
limbah B3 yang dihasilkan maka limbah B3 yang telah dihasilkan perlu dikelola secara khusus.

Pengelolaan Limbah B3 | Kebijakan pengelolaan limbah B3 yang ada saat ini perlu
dilakukan dalam bentuk pengelolaan yang terpadu karena dapat menimbulkan kerugian terhadap
kesehatan manusia, mahluk hidup lainnya dan lingkungan hidup apabila tidak dilakukan
pengelolaan dengan benar. Oleh karena itu, maka semakin disadari perlunya Peraturan
Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah B3 yang secara terpadu mengatur keterkaitan setiap
simpul pengelolaan limbah B3.

Dumping limbah wajib memenuhi persyaratan jenis dan kualitas limbah serta lokasi
sehingga dumping tidak akan menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, mahluk hidup
lainnya dan lingkungan hidup.

Meskipun sudah ada regulasi yang mengatur tentang pengolahan limbah, namun masih
diperlukan pengawasan dari berbagai pihak dalam pelaksanaannya. Diperlukan pula pola hidup
sehat untuk menghindari penyakit yang disebabkan oleh limbah. Dengan melakukan penanganan
yang benar terhadap B3 dan LB3 kita sudah turut menyelamatkan diri dan lingkungan terhadap
dampak yang bisa timbul.

Limbah B-3 mungkin kata-kata ini tidak asing ditelinga kita, ketika melihat begitu
banyak kasus pencemaran lingkungan yang terjadi di Indonesia, dimulai dari kasus PT Newmont
di Teluk Buyat, hingga kasus penolakan ekspor ikan Indonesia karena mengandung limbah B-3.
Melihat dan mendengar itu semua tentu saja menjadi suatu pertanyaan seperti apakah limbah B-3
tersebut sehingga begitu berbahaya serta diawasi dengan ketat sekali.

Pengelolaan LB3 harus dilakukan sesuai PP 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah B3 serta Peraturan Menteri LHK Nomor 56 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.

Permasalahan limbah B3 dalam konteks lingkungan hidup di Indonesia menjadi focus


Kementrian Negara Lingkungan Hidup saat ini. Berbagai aktivitas industry telah menimbulkan
lahan terkontaminasi oleh limbah B3. Kejadian tersebut antara lain disebabkan oleh adamya
pembuangan limbah B3 ke lingkungan walaupun sesungguhnya peraturan Perundangan telah
mengatur larangan membuang limbah B3 ke lingkungan. Beban biaya yang tinggi untuk
mengolah limbah B3 sering menjadi alas an membuang limbah B3 ke lingkungan tanpa diolah
terkebih dahulu.

Banyak industri yang tidak menyadari, bahwa limbah yang dihasilkan termasuk dalam
kategori limbah B3, sehingga dengan mudah limbah dibuang ke sistem perairan tanpa adanya
pengolahan. Pada hakekatnya, pengolahan limbah adalah upaya untuk memisahkan zat pencemar
dari cairan atau padatan. Walaupun volumenya kecil, konsentrasi zat pencemar yang telah
dipisahkan itu sangat tinggi. Selama ini, zat pencemar yang sudah dipisahkan (konsentrat) belum
tertangani dengan baik, sehingga terjadi akumulasi bahaya yang setiap saat mengancam
kesehatan dan keselamatan lingkungan hidup. Untuk itu limbah B3 (termasuk yang masih
bersifat potensial) perlu dikelola antara lain melalui pengolahan limbah B3.

Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu
usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat
dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan atau merusakkan lingkungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.

Pengelolaan B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau


kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan oemulihan
kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali. Dalam UU
No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terminologi pencemaran lingkungan
hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain
kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya

Proses pengelolaan limbah di masa pandemi Covid-19 ini juga diperkuat dengan Surat
Edaran Menteri LHK No. SE.2/MENLKH/PSLB3/PLB3.3/3/2020 tertanggal 24 Maret 2020
tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari
Penanganan Corona Virus Disease 2019.

Timbulan limbah B3 dari penanganan Covid-19 hingga 31 Maret 2020 sebanyak 2.493
kg. Dari jumlah itu sebanyak 2.280 kg dilakukan pengolahan secara mandiri dengan incinerator
dan 213.5 kg diserahkan ke pihak ketiga.

Limbah B3 merupakan sisa hasil usaha/kegiatan yang mengandung Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3) banyak ditemukan di Kabupaten Jombang yang berasal dari kegiatan peleburan
yang dilakukan secara illegal oleh masyarakat khususnya pada usaha skala mikro dan kecil.
Kegiatan peleburan tersebar hampir dapat dijumpai di setiap provinsi di pulau Jawa dengan
bahan baku yang dilebur seperti barang-barang elektronik, slag alumunium dan berbagai macam
scrap besi yang merupakan bahan baku berupa Limbah Non B3. Kegiatan-kegiatan peleburan
usaha mikro dan kecil tersebut pada umumnya belum memperhatikan ketentuan persyaratan
teknologi dan perizinan sesuai peraturan perudangan sehingga menimbulkan gangguan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan sampai pada gangguan kesehatan baik bagi pelaku
kegiatan maupun masyarakat sekitar. Hal ini juga yang terjadi di Kabupaten Jombang, Jawa
Timur.

Lahan terkontaminasi Limbah B3 di Kabupaten Jombang tersebar di Kecamatan


Sumobito, Kecamatan Kesamben, Kecamatan Jogotoro dan Kecamatan Peterongan. Limbah B3
berupa abu sisa kegiatan peleburan logam digunakan sebagai urugan jalan, tanggul sungai,
urugan pematang sawah dan sebagian dibiarkan di sekitar tempat peleburan, tanpa
memperhatikan kaidah pengelolaan limbah B3 secara benar. Berdasarkan hasil kajian yang
dilakukan oleh KLHK terkait pemetaan sebaran lokasi buangan abu sisa peleburan alumunium,
diperoleh data kurang lebih tersebar di 118 titik. Dari 118 titik tersebut 11 lokasi telah
terientiikasi dengan luasan 51.367m2, volume tanah terkontaminasi Limbah B3 sekitar 96.470
m3, atau sekitar 146.828 Ton. Limbah b3 dan tanah terkontaminasi tersebut belum termasuk
sebaran sisa peleburan limbah elektronik.

Kondisi tersebarnya lahan terkontaminasi Limbah B3 di Kabupaten Jombang sangat


memprihatinkan dan sudah saatnya dilakukan pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3 sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dengan aturan turunan mengenai pemulihan lahan terkontaminasi berupa Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 101 Tahun 2018 Tentang Pedoman
Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3.

Penanganan pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3 di Kabupaten Jombang perlu


dilakukan melalui kerjasama semua pihak, seperti keikutsertaan stakeholder terkait pengendalian
pencemaran, kesehatan, pekerjaan umum dan perumahan rakyat, koperasi, dunia usaha, dan
masyarakat Kabupaten Jombang khususnya. Kontribusi masing-masing pihak dilakukan dalam
penyelesaian persoalan baik dari sisi ekonomi masyarakat, sosial dan lingkungan.

Akhir-akhir ini makin banyak limbah-limbah dari pabrik, rumah tangga, perusahaan,
kantor-kantor, sekolah dan sebagainya yang berupa cair, padat bahkan berupa zat gas dan
semuanya itu berbahaya bagi kehidupan kita. Tetapi ada limbah yang lebih berbahaya lagi yang
disebut dengan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Hal tersebut sebenarnya bukan
merupakan masalah kecil dan sepele, karena apabila limbah Bahan Berbahaya dan Beracun(B3)
tersebut dibiarkan ataupun dianggap sepele penanganannya, atau bahkan melakukan penanganan
yang salah dalam menanganani limbah B3 tersebut, maka dampak dari Limbah Bahan Berbahaya
dan beracun tersebut akan semakin meluas, bahkan dampaknyapun akan sangat dirasakan bagi
lingkungan sekitar kita, dan tentu saja dampak tersebut akan menjurus pada kehidupan makhluk
hidup baik dampak yang akan dirasakan dalam jangka pendek ataupun dampak yang akan
dirasakan dalam jangka panjang dimasa yang akan datang.

Limbah B-3 ternyata menimbulkan berbagai penyakit yang membahayakan. Hal ini
dikarenakan penyakit itu timbul dari lingkungan di mana kita tinggal, sehingga tanpa menyadari
kita terkena penyakit tersebut. Penulis dalam kesempatan ini mendapatkan sumber dari sebuah
buku dimana memberikan uraian yang cukup menarik di dalam mengenai akibat langsung dari
limbah B-3 tersebut.

Kita tidak akan tahu seberapa parah kelak dampak tersebut akan terjadi,namun seperti
kata pepatah”Lebih Baik Mencegah Daripada Mengobati”, hal tersebut menjadi salah satu aspek
pendorong bagi kita semua agar lebih berupaya mencegah dampak dari limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun tersebut, ketimbang menyaksikan dampak dari limbah B3 tersebut telah terjadi
dihadapan kita, dan kita semakin sulit untuk menanggulanginya

Secara garis besar,hal tersebut menjadi salah satu patokan bagi kita,bahwa segala sesuatu
yang terjadi merupakan tanggung jawab kita bersama untuk menanggulanginya,khususnya pada
masalah limbah Bahan Berbahaya dan(B3) Beracun tersebut

B. LIMBAH B3

Pengertian limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah)
suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat
(toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau
membahayakan kesehatan manusia.
Limbah B3 dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter, yaitu total solids residu
(TSR), kandungan fixed residu (FR), kandungan volatile solids residue (VSR), kadar air (sludge
moisture content), volume padatan, dan karakter atau sifat B3 (toksisitas, sifat korosif, sifat
mudah terbakar, sifat mudah meledak, beracun, dan sifat kimia serta kandungan senyawa kimia).

Contoh limbah B3 adalah logam berat, spt Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pd, Mn, Hg, dan Zn serta
zat kimia, seperti pestisida, sianida, sulfide dan fenol. Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah
industry kimia tertentu. Hg dihasilkan dari industry klor-alkali, industry cat, kegiatan
pertambangan, industry kertas, dan pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan
timah hitam dan accu. Logam-logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam
konsentrasi rendah. Limbah B3 dapat diidentifikasi menurut sumber, uji karakteristik, dan uji
toksikologi.

Limbah B3 dari sumber tidak spesifik. Berasal bukan dari proses utamanya, tetapi berasal
dari kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, pencegahan korosi, pelarut kerak, pengemasan, dll.
Limbah B3 dari sumber spesifik. Limbah B3 sisa proses suatu industri atau kegiatan yang secara
spesifik dapat ditentukan berdasarkan kajian ilmiah.

Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:

1) Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal
dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap.

2) Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi

3) Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengan
lumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil
proses tersebut.

4) Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested
aerobic maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan
banyak mengandung padatan organik.

Secara konvensional terdapat tujuh kelas bahan berbahaya, yaitu:


1. Flammable (mudah terbakar), yaitu bahan padat, cair, uap, atau gas yang menyala dengan
mudah dan terbakar secara cepat bila dipaparkan pada sumber nyala, misalnya: jenis
pelarut ethanol, gas hidrogen, methane.

2. Materi yang spontan terbakar, yaitu bahan padat atau cair yang dapat menyala secara
spontan tanpa sumber nyala, mislanya karena perubahan panas, tekanan atau kegiatan
oksidasi.

3. Explosive (mudah meledak), yaitu materi yang dapat meledak karena adanya kejutan,
panas atau mekanisme lain, misalnya dinamit.

4. Oxidizer (pengoksidasi), yaitu materi yang menghasilkan oksigen, baik dalam kondisi
biasa atau bila terpapar dengan panas, misalnya amonium nitrat dan benzoyl perioksida.

5. Corrosive, bahan padat atau cair yang dapat membakar atau merusak jaringan kulit bila
berkontak dengannya.

6. Toxic, yaitu bahan beracun yang dalam dosis kecil dapat membunuh atau mengganggu
kesehatan, seperti hidrogen sianida.

7. Radioactive

Limbah B-3 ternyata menimbulkan berbagai penyakit yang membahayakan. Hal ini
dikarenakan penyakit itu timbul dari lingkungan di mana kita tinggal, sehingga tanpa menyadari
kita terkena penyakit tersebut. Penulis dalam kesempatan ini mendapatkan sumber dari sebuah
buku dimana memberikan uraian yang cukup menarik di dalam mengenai akibat langsung dari
limbah B-3 tersebut.

Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan, yang dimaksud dengan sisa suatu
kegiatan adalah sisa suatu kegiatan dan/atau proses produksi yang antara lain dihasilkan dari
kegiatan : Industri, Rumah Sakit, Pertambangan, rumah tangga, dan Kegiatan lain spt limbah dari
IPAL, Limbah dari laboratorium, limbah dari kegiatan pemanfaatan dan atau pengolahan dll.
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, disingkat Limbah B3 adalah sisa suatu
usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat
dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.

Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu
usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat
dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain. Intinya adalah setiap materi
yang karena konsentrasi dan atau sifat dan atau jumlahnya mengandung B3 dan membahayakan
manusia, mahluk hidup dan lingkungan, apapun jenis sisa bahannya.

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) No. 14 tahun
2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja BATAN, Subbidang Pengelolaan Limbah dan
Keselamatan Lingkungan (PLKL) Bidang Keselamatan Kerja dan Lingkungan (KKL) memiliki
tugas pokok dan fungsi melakukan pengelolaan limbah B3 di lingkungan PAIR. Limbah B3 hasil
penelitian yang awalnya dikumpulkan di laboratorium masing-masing akan diangkut dan
dikumpulkan di Gudang Penyimpanan Sementara Limbah B3 sebelum dikirim ke instansi yang
berwenang untuk mengolah limbah.

Tujuan dari dilakukannya kegiatan karakterisasi limbah B3 ini adalah untuk


mengelompokkan beberapa limbah B3 yang memiliki karakteristik dan potensi bahaya yang
sama, sehingga dapat dibedakan perlakuan sesuai dengan potensi bahayanya pada saat proses
penyimpanan sementara. Karakterisasi ini diharapkan juga akan memudahkan pihak pengolah
akhir dalam melakukan identifikasi limbah B3 untuk menentukan proses pengolahan akhir.

Penentuan karakteristik limbah B3 biasanya mengacu pada Material Safety Data Sheet
(MSDS) pada setiap zat kimia yang dominan terkandung pada limbah B3. Material Safety Data
Sheet atau yang kita kenal dengan MSDS adalah suatu form yang berisi keterangan data fisik
(titik lebur, titik didih, titik flash, dsb), toksisitas, pengaruh terhadap kesehatan, pertolongan
pertama, reaktifitas, penyimpanan dan pembuangan yang aman, peralatan proteksi, serta
prosedur penanganan bahaya.

Pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi,


penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah
B3. Pelaku pengelolaan limbah B3 adalah penghasil yaitu setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya

dan beracun dan/atau menghasilkan limbah B3, pengumpul yaitu badan usaha yang
melakukan pengumpulan limbah B3, pengangkut yaitu badan usaha yang melakukan
pengangkutan limbah B3, pemanfaat yaitu badan usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan
limbah B3, pengolahan dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan kegiatan
pengolahan limbah B3, dan penimbun limbah B3 yaitu badan usaha yang melakukan kegiatan
penimbunan limbah B3.

Tujuan pengelolaan limbah B3

Tujuan pengelolaan B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau


kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan
kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.

Dari hal ini jelas bahwa setiap kegiatan/usaha yang berhubungan dengan B3, baik
penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah dan penimbun B3, harus
memperhatikan aspek lingkungan dan menjaga kualitas lingkungan tetap pada kondisi semula.
Dan apabila terjadi pencemaran akibat tertumpah, tercecer dan rembesan limbah B3, harus
dilakukan upaya optimal agar kualitas lingkungan kembali kepada fungsi semula.

Dalam pengelolaan limbah B3, identifikasi dan karakteristik limbah B3 adalah hal yang
penting dan mendasar. Banyak hal yang yang sebelumnya perlu diketahui agar dalam
penanggulangan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun tersebut menjadi tepat dan bukannya
malah menambahkan masalah pada limbah Bahan Berbahaya dan Beracun tersebut

Pengaruh limbah B3 terhadap mahluk hidup, khususnya manusia terdiri atas 2 kategori
yaitu: (1) efek akut, dan (2) efek kronis. Efek akut dapat menimbulkan akibat berupa kerusakan
susunan syaraf, kerusakan sistem pencernaan, kerusakan sistem kardio vasculer, kerusakan
system pernafasan, kerusakan pada kulit, dan kematian. Sementara itu, efek kronis dapat
menimbulkan efek karsinogenik (pendorong terjadinya kanker), efek mutagenik (pendorong
mutasi sel tubuh), efek teratogenik (pendorong terjadinya cacat bawaan), dan kerusakan sistem
reproduksi.

C. Identifikasi limbah B3

Pengidentifikasian limbah B3 digolongkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu:

Berdasarkan sumber

Berdasarkan karakteristik

Golongan limbah B3 yang berdasarkan sumber dibagi menjadi:

 Limbah B3 dari sumber spesifik;

 Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;

 Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan dan buangan produk
yang tidak memenuhi spesifikasi.

Sedangkan golongan limbah B3 yang berdasarkan karakteristik ditentukan dengan:

 mudah meledak;

 pengoksidasi;

 sangat mudah sekali menyala;

 sangat mudah menyala;

 mudah menyala;

 amat sangat beracun;

 sangat beracun;

 beracun;
 berbahaya;

 korosif;

 bersifat iritasi;

 berbahayabagi lingkungan;

 karsinogenik;

 teratogenik;

 mutagenik.

Karakteristik limbah B3 ini mengalami pertambahan lebih banyak dari PP No. 18 tahun
1999 yang hanya mencantumkan 6 (enam) kriteria, yaitu:

 mudah meledak;

 mudah terbakar;

 bersifat reaktif;

 beracun;

 menyebabkan infeksi;

 bersifat korosif.

Peningkatan karakteristik materi yang disebut B3 ini menunjukan bahwa pemerintah


sebenarnya memberikan perhatian khusus untuk pengelolaan lingkungan Indonesia. Hanya
memang perlu menjadi perhatian bahwa implementasi dari Peraturan masih sangat kurang di
negara ini.

Pengelolaan dan pengolahan limbah B3

Pengelolaan limbah B3 meliputi kegiatan pengumpulan, pengangkutan, pemanfatan,


pengolahan dan penimbunan.
Setiap kegiatan pengelolaan limbah B3 harus mendapatkan perizinan dari Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) dan setiap aktivitas tahapan pengelolaan limbah B3 harus dilaporkan
ke KLH. Untuk aktivitas pengelolaan limbah B3 di daerah, aktivitas kegiatan pengelolaan selain
dilaporkan ke KLH juga ditembuskan ke Bapedalda setempat.

Pengolahan limbah B3 mengacu kepada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan (Bapedal) Nomor Kep-03/BAPEDAL/09/1995 tertanggal 5 September 1995 tentang
Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(www.menlh.go.id/i/art/pdf_1054679307.pdf)

Pengolahan limbah B3 harus memenuhi persyaratan:

1. Lokasi pengolahan
Pengolahan B3 dapat dilakukan di dalam lokasi penghasil limbah atau di luar
lokasi penghasil limbah. Syarat lokasi pengolahan di dalam area penghasil harus:

 bebas banjir; dengan jalan utama/tol minimum 150 m atau 50 m untuk jalan lainnya;

 jarak dengan daerah beraktivitas penduduk dan aktivitas umum minimum 300 m;

 jarak dengan wilayah perairan dan sumur penduduk minimum 300 m;

 jarak dengan wilayah terlindungi (spt: cagar alam,hutan lindung) minimum 300 m.

Fasilitas pengolahan

Fasilitas pengolahan harus menerapkan sistem operasi, meliputi:

 sistem kemanan fasilitas;

 sistem pencegahan terhadap kebakaran;

 sistem pencegahan terhadap kebakaran;

 sistem penanggulangan keadaan darurat;

 sistem pengujian peralatan;


 dan pelatihan karyawan.

Keseluruhan sistem tersebut harus terintegrasi dan menjadi bagian yang tak terpisahkan
dalam pengolahan limbah B3 mengingat jenis limbah yang ditangani adalah limbah yang dalam
volume kecil pun berdampak besar terhadap lingkungan.

Penanganan limbah B3 sebelum diolah

Setiap limbah B3 harus diidentifikasi dan dilakukan uji analisis kandungan guna
menetapkan prosedur yang tepat dalam pengolahan limbah tersebut. Setelah uji analisis
kandungan dilaksanakan, barulah dapat ditentukan metode yang tepat guna pengolahan limbah
tersebut sesuai dengan karakteristik dan kandungan limbah.

Pengolahan limbah B3

Jenis perlakuan terhadap limbah B3 tergantung dari karakteristik dan kandungan limbah.
Perlakuan limbah B3 untuk pengolahan dapat dilakukan dengan proses sbb:

1. proses secara kimia, meliputi: redoks, elektrolisa, netralisasi, pengendapan, stabilisasi,


adsorpsi, penukaran ion dan pirolisa.

2. Proses secara fisika, meliputi: pembersihan gas, pemisahan cairan dan penyisihan
komponen-komponen spesifik dengan metode kristalisasi, dialisa, osmosis balik, dll.

3. Proses stabilisas/solidifikasi, dengan tujuan untuk mengurangi potensi racun dan


kandungan limbah B3 dengan cara membatasi daya larut, penyebaran, dan daya racun
sebelum limbah dibuang ke tempat penimbunan akhir

4. proses insinerasi, dengan cara melakukan pembakaran materi limbah menggunakan alat
khusus insinerator dengan efisiensi pembakaran harus mencapai 99,99% atau lebih.
Artinya, jika suatu materi limbah B3 ingin dibakar (insinerasi) dengan berat 100 kg,
maka abu sisa pembakaran tidak boleh melebihi 0,01 kg atau 10 gr
Tidak keseluruhan proses harus dilakukan terhadap satu jenis limbah B3, tetapi proses
dipilih berdasarkan cara terbaik melakukan pengolahan sesuai dengan jenis dan materi limbah.

Hasil pengolahan limbah B3

Memiliki tempat khusus pembuangan akhir limbah B3 yang telah diolah dan dilakukan
pemantauan di area tempat pembuangan akhir tersebut dengan jangka waktu 30 tahun setelah
tempat pembuangan akhir habis masa pakainya atau ditutup.

Perlu diketahui bahwa keseluruhan proses pengelolaan, termasuk penghasil limbah B3,
harus melaporkan aktivitasnya ke KLH dengan periode triwulan (setiap 3 bulan sekali).

Teknologi Pengolahan

Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang paling
populer di antaranya ialah chemical conditioning, solidification/Stabilization, dan incineration.

1. Chemical Conditioning

satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning. Tujuan utama


dari chemical conditioning ialah:

 menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur

 mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur

 mendestruksi organisme patogen

 memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih memiliki nilai
ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses digestion

 mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan
dapat diterima lingkungan

Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:

a) Concentration thickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan
cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada tahapan
ini ialah gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya
merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-
watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge,
beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal
ini

b) Treatment, stabilization, and conditioning

Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan
patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses pengkondisian secara kimia,
fisika, dan biologi. Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya proses
pembentukan ikatan bahan-bahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara
fisika berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara
pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan adanya proses
destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada
tahapan ini ialah lagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment,
polyelectrolite flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.

c) De-watering and drying

De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air
dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat pada tahapan ini
umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed,
filter press, centrifuge, vacuum filter, dan belt press.

d) Disposal

ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang terjadi sebelum limbah
B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan composting. Tempat pembuangan
akhir limbah B3 umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.
2. Solidification/Stabilization

Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization juga dapat


diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai
proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju
migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut.
Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan
penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap
mempunyai arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat
dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:

 Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah dibungkus


dalam matriks struktur yang besar

 Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi bahan pencemar


terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat mikroskopi

 Precipitation

 Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan
pemadat melalui mekanisme adsorpsi.

 Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya ke bahan


padat

 Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain
yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali

Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan


bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ
mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL
berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.

3. Incineration
Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam teknologi
pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90%
(volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan
limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat
mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk
panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen
limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi
memerlukan lahan yang relatif kecil.

Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value)
limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses
pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem
insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3
ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple chamber,
aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln
mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara
simultan.

Pembakaran (Inceneration) Limbah B3

Limbah B3 kebanyakan terdiri dari karbon, hydrogen dan oksigen. Dapat juga
mengandung halogen, sulfur, nitrogen dan logam berat. Hadirnya elemen lain dalam jumlah kecil
tidak mengganggu proses oksidasi limbah B3. Struktur molekul umumnya menentukan bahaya
dari suatu zat organic terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Bila molekul limbah dapat
dihancurkan dan diubah menjadi karbon dioksida (CO2), air dan senyawa anorganik, tingkat
senyawa organik akan berkurang. Untuk penghancuran dengan panas merupakan salah satu
teknik untuk mengolah limbah B3.

Inceneration adalah alat untuk menghancurkan limbah berupa pembakaran dengan


kondisi terkendali. Limbah dapat terurai dari senyawa organik menjadi senyawa sederhana
seperti CO2 dan H2O.
Incenerator efektif terutama untuk buangan organik dalam bentuk padat, cair, gas, lumpur
cair dan lumpur padat. Proses ini tidak biasa digunakan limbah organik seperti lumpur logam
berat (heavy metal sludge) dan asam anorganik. Zat karsinogenik patogenik dapat dihilangkan
dengan sempurna bila insenerator dioperasikan I

Incenerator memiliki kelebihan, yaitu dapat menghancurkan berbagai senyawa organik


dengan sempurna, tetapi terdapat kelemahan yaitu operator harus yang sudah terlatih. Selain itu
biaya investasi lebih tinggi dibandingkan dengan metode lain dan potensi emisi ke atmosfir lebih
besar bila perencanaan tidak sesuai dengan kebutuhan operasional.

C. Identifikasi Limbah B3

Dalam pengelolaan limbah B3, langkah pertama yang dilakukan adalah


mengidentifikasikan apakah limbah yang dihasilkan termasuk limbah B3 atau tidak.
Mengidentifikasi limbah ini bertujuan untuk memudahkan pihak penghasil, pengumpul,
pengangkut, pemanfaat, pengolah, atau penimbun dalam mengenali limbah B3. Berdasarkan
PP No.18 Tahun 1999 jo. PP No.85 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun, tahapan identifiksi limbah B3 adalah sebagai berikut:
 Mencocokkan jenis limbah dengan daftar limbah B3 (lampiran 1 PP
85/1999). Bahan yang termasuk dalam daftar ini diidentifikasi sebagai
limbah B3;
 Pemeriksaan karakteristik, meliputi sifat korosif, reaktif, mudah
terbakar/meledak, beracun, dan menyebabkan infeksi; dan/atau
 Uji toksikologi.

Berdasarkan PP No.18 Tahun 1999 jo. PP No.85 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun, limbah dapat diidentifikasi menurut sumber dan karakteristiknya.
Limbah B3 berdasarkan sumbernya dibagi menjadi 3, yaitu:
 Limbah B3 dari sumber tidak spesifik
Limbah B3 dari sumber tidak spesifik adalah limbah B3 yang pada umumnya berasal
bukan dari proses utamanya, tetapi berasal dari kegiatan pemeliharaan alat, pencucian,
pencegahan korosi (inhibitor korosi), pelarutan kerak, pengemasan, dan lain-lain.
 Limbah B3 dari sumber spesifik
Limbah B3 dari sumber spesifik adalah limbah B3 sisa proses suatu industri atau
kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan berdasarkan kajian ilmiah.

 Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk
yang tidak memenuhi spesifikasi karena tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan atau
tidak dapat dimanfaatkan kembali, maka suatu produk menjadi limbah B3 yang
memerlukan pengelolaan seperti limbah B3 lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk
sisa kemasan limbah B3 dan bahan-bahan kimia yang kadaluarsa.

Limbah jenis ini tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan atau tidak dapat
dimanfaatkan kembali, sehingga memerlukan pengelolaan seperti limbah B3 lainnya. Limbah
industri sangat beragam sehingga RCRA dan EPA mengembangkan metoda untuk menentukan
tingkat bahaya limbah. Tim peneliti Pola Pembuangan Limbah Industri, Pusat Penelitian Sain
dan Teknologi LP-UI menyederhanakan model untuk pengelompokkan tingkat bahaya limbah
B3.

Tujuan Identifikasi Limbah B3:

a. Mengklasifikasikan atau menggolongkan limbah tersebut apakah termasuk Iimbah B3


atau limbah non B3.

b. Mengetahui sifat limbah B3 tersebut untuk menentukan metode terbaik dalam


penanganan, penyimpanan, pengumpulan pengangkutan, pengolahan, pemanfaatan dan
atau penimbunannya.

c. Menentukan sifat limbah B3 tersebut untuk menilai kecocokan dengan limbah B3 lainnya
dalam melakukan penyimpanan dan pengumpulan limbah B3 tersebut.Menilai atau
menganalisis potensi bahaya limbah B3 tersebut terhadap lingkungan danlatau dampak
terhadap kesehatan manusiadan mahluk hidup lainnya.
d. Dalam rangka Delisting suatu limbah B3.

Limbah B3 dapat di identifikasi menurut Sumber dan/atau Karakteristik dan/atau Uji


Toksikologi.

Identifikasi Limbah Uraian Keterangan


B3 Berdasarkan

Sumber Jenis limbah B3 menurut Limbah B3 Bukan berasal dari dari


sumbemya meliputi: proses utamanya seperti: dari kegiatan
pemeliharaan alat, pencucian,
a. Limbah B3 dari sumber tidak
spesifik (Lampiran I tabel 1 PP pengemasan, dIl.
85/1999)
Contoh : Limbah pelarrt, asam, basa,
pelumas bekas dll.
b. Limbah B3 dari sumber
spesifik (Lampiran I tabel 2 PP Limbah B3 berasal dari dari proses
85/1999) utamanya seperti sisa proses suatu
industri atau kegiatan yang spesifik
dari kegiatan industri tsb.

c. Limbah B3 dari bahan kimia


kadaluarsa, tumpahan, bekas,
kemasan, buangan, produk yg
tidak memenuhi spesifkasi
(Lampiran I tabel 3 PP
85/1999)
Karakteristik a. mudah meledak; b. mudah Disarankan untuk Dilakukan
terbakar; c bersifat reaktif; d SCREENING TEST atau
beracun; FINGERPRINT TEST

Uji Toksikologi Uji toksikologi sifat akut: Dari 11 faktor, faktor yang dapat
dipertimbangkan secara kuantitatif di
- Nilai LD50≤ 50 mg/kg BB
dalam penentuan suatu limbah
- Uji toksilulogi sifat kronis: memilik sifat kronik antara lain
Memiliki salah satu atau lebih zat berdasarkan:
pencemar dalam Lampiran III
Konsentrasi dari zat pencemar;
PP85/1999 dgn mempertimbangkan
11 faktor dan/atau

Sifat racun alami yang dipaparkan


oleh zat pencemar; dan/atau

Potensi bermigrasinya zat pencemar


dari limbah ke lingkungan bila tidak
dikelola dengan baik

Identifikasi Limbah B3 Sumber Spesifik

Dalam mengidentifikasi Limbah B3 berdasarkan sumber spesifik, maka hal-hal di bawah


ini harus dicermati :

 Jenis industri/kegiatan (identifikasi Limbah B3 tidak hanya didasarkan pada satu jenis
industri/kegiatn, misalnya : pada kegiatan industri tekstil tidak hanya limbah B3 yang
memenuhi kode limbah D213 tetapi harus diperhatikan juga apakah pada industri tekstil
tersebut ada kegiatan pencetakan menggunakan tinta D212, laboratorium D228, bahan
bakar menggunakan batu bara D223, pengoperasian insinerator D241)

 Kode Limbah (sesuai jenis industri/kegiatan), Kode Kegiatan (kode sesuai proses
kegiatan produksi yang dilakukan)

 Sumber Pencemar (sumber limbah B3 yang berasal dari proses kegiatan produksi yang
dilakukan)

 Asal/Uraian Limbah (sesuai jenis-jenis limbah B3 yg dihasilkan)

 Pencemar utama (sesuai kontaminan yang terkandung dalam limbah B3 yang dihasilkan,
misal : Cr, As, Pb, Zn, Hg, Cd, dll)
Identifikasi limbah B3 menurut karakteristiknya

Didasarkan kriteria :

 Dapat menyebabkan atau memberikan pengaruh yang berarti untuk terjadinya dan/atau
meningkatnya kematian dan/atau sakit yang serius.

 Berpotensi menimbulkan bahaya terhadap kesehatan manusia dan/atau lingkungan


apabila disimpan, diangkut, dimanfaatkan, diolah, ditimbun dan dibuang dengan tidak
benar atau tidak dikelola.

Tata Cara Identifikasi Limbah B3

Tahapan :

1. Mencocokan jenis limbah dengan daftar jenis limbah B3 berdasarkan Lampiran I (Tabel
1,2 dan 3) PP 85/1999, apabila cocok dengan daftar jenis limbah B3 tersebut, maka
limbah tersebut termasuk limbah B3.

2. Apabila tidak cocok dengan daftar jenis limbah B3 sebagaimana Lampiran I, maka
diperiksa apakah limbah memiliki karakteristik : mudah meledak dan/atau mudah
terbakar dan/atau beracun dan/atau bersifat reaktif dan/atau menyebabkan infeksi
dan/atau bersifat korosif.

3. Apabila kedua tahapan tersebut telah dilakukan dan tidak memenuhi ketentuan limbah
B3, maka dilakukan uji toksikologi sifat akut dan kronis.

Catatan :

Berdasarkan tahapan tersebut di atas, maka di dalam penentuan suatu limbah apakah
termasuk limbah B3 atau bukan tidak bisa hanya melakukan uji TCLP dan hasil uji TCLP
tersebut tidak dapat dijadikan acuan atau menyimpulkan bahwa suatu limbah bukan merupakan
limbah B3, karena uji TCLP hanya merupakan salah satu uji di dalam tahapan uji karakter istik
limbah B3 yaitu untuk karakteristik toksik.
Identifikasi Limbah B3 Untuk Karakteristik Beracun Akut dengan Uji TCLP

Penentuan sifat racun (toksik) untuk identifikasi limbah beracun akut dapat ditentukan
dengan melakukan uji TCLP kemudian hasil pengujiannya dibandingkan dengan Baku Mutu
konsentrasi TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) pencemar organik dan
anorganik dalam limbah sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran II PP 85/1999.

Apabila limbah mengandung salah satu dan atau lebih pencemar yang terdapat dalam
Lampiran II PP 85/1999, dengan konsentrasi sama atau lebih besar dari nilai Baku Mutu TCLP
dalam Lampiran II PP 85/1999, maka limbah tersebut merupakan limbah B3.

Disamping digunakan sebagai penentuan sifat racun suatu limbah, uji TCLP dapat
diterapkan juga dalam evaluasi hasil pretreatment limbah sebelum di landfill, yaitu dalam proses
solidifikasi/stabilisasi. Apabila suatu limbah memiliki nilai konsentrasi TCLP melebihi BM yang
ditetapkan, maka limbah B3 tersebut tidak diperbolehkan untuk di landfill secara langsung tetapi
harus melalui proses pretreatment terlebih dahulu dengan melakukan solidifikasi terhadap
limbah B3 tersebut.

Uji TCLP adalah uji karakteristik air lindi dari suatu limbah, dimana air lindi ini
diperoleh dari limbah yang telah disimulasikan dengan alam di laboratorium. Contoh Aplikasi :
Penentuan uji TCLP

Metode analisis penentuan uji TCLP adalah dengan menggunakan metode :


USEPASW846-Methods1311. Uji TCLP suatu limbah sangat dipengaruhi oleh kandungan
padatannya, yaitu < 5% dan yang kandungan padatannya >5 %, karena hal ini akan
mempengaruhi perlakuan di dalam analisanya. Hasil ekstraksi langsung di analisa parameter
bahan pencemarnya suatu limbah yang disesuaikan dengan metode masing-masing. Penentuan
konsentrasinya dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut :

C parameter limbah = V1C1 + V2C2


V1+V2
Ket: C1 = konsentrasi ekstrak sampel uji fasa 1

C2 = konsentrasi ekstrak sampel uji fasa 2

V1 = volume ekstrak sampel uji fasa 1

V2 = volume ekstrak sampel uji fasa 1

Identifikasi Limbah B3 melalui Uji Toksikologi untuk menentukan sifat akut dan atau
Kronik limbah
Uji toksikologi Limbah Sifat Akut dengan Metode uji LD50

Penentuan sifat akut limbah dilakukan dengan uji hayati untuk mengukur hubungan
dosis-respons antara limbah dengan kematian hewan uji, untuk menetapkan nilai LD50. Yang
dimaksud dengan LD50 (Lethal Dose Fifty) adalah dosis suatu limbah yang menghasilkan 50%
respons kematian pada populasi hewan uji. Penentuan nilai LD50 dengan metode analisa probit.
Nilai tersebut diperoleh dari analisis data secara grafis dan atau statistik terhadap hasil uji hayati
tersebut.

Apabila nilai LD50 secara oral lebih kecil atau sama dengan 50 mg/kg berat badan, maka
maka limbah tersebut merupakan limbah B3.

Contoh Aplikasi Penentuan nilai LD50 suatu limbah :

Metode Pengujian Toksisitas (LD50) akut.

Pengujian toksisitas akut dilakukan melalui 2 tahap percobaan. Pertama, uji pendahuluan
untuk pengkategorian limbah, yaitu untuk mengetahui apakah limbah tersebut termasuk limbah
B3 atau bukan berdasarkan dosis yang sesuai dengan baku mutu Peraturan Pemerintah Nomor 85
Tahun 1999 Tentang Pengelolaan limbah B3 yaitu 50 mg/kg BB. Kedua, uji lanjutan untuk
menentukan nilai numerik aktual dari LD50 limbah tersebut.

Jenis uji : Uji Toksisitas Akut LD50 (Acute Toxicity Test LD50)

Metode : LD50 Test Method ASTM E–1163-90

Identifikasi sampel : Limbah Slag dari Industri Peleburan Timah

pH sampel : 6,9

Temperatur : 24-28 o

Hewan Uji : Mencit (Mus musculus)

Umur hewan uji : 5-6 minggu

Berat hewan uji : 20-25 gram


Pengamatan : 24 Jam, 48 jam dst sampai 28 hari

Pemberian secara oral dengan Syringe, Pemberian masing-masing dosis untuk 6 ekor
mencit jantan & 6 ekor mencit betina, Penentuan Dosis : 5 Seri dosis + 1 Kontrol

Uji Pendahuluan, mengacu pada PP 85/1999 (dosis 25 - 5000 mg/kg BB), Uji Lanjutan
(dosis 7500 – 37500 mg/kg BB)

Contoh Hasil Pengujian :

a. Hasil pengamatan pada percobaan pendahuluan selama interval waktu 24 jam, 48 jam
dan seterusnya sampai hari ke-28 terhadap jumlah dan persentase kematian hewan uji
mencit jantan dan betina yang tanpa diberi perlakuan limbah slag (kontrol) dan yang
diberi perlakuan limbah slag dengan seri dosis 25 mg/kg BB; 50 mg/Kg BB; 150 mg/kg
BB; 500 mg/kg BB dan 5000 mg/Kg BB disajikan pada Tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1. Data Persentase kematian mencit pd uji pendahuluan

Dosis (mg/kg BB) Persentase kematian (%)

Mencit jantan Mencit betina Total

0 0 0 0

25 0 0 0

50 0 0 0

150 0 0 0

500 0 0 0

5000 16,667 16,667 16,667


Berdasarkan data pada Tabel 1 di atas, ternyata pemberian perlakuan sampel limbah slag
sampai hari ke-28 dengan dosis sampai 500 mg/kg BB tidak menimbulkan kematian pada
mencit, baik jantan maupun betina dan pada dosis maksimal 5000 mg/kg hanya satu mencit
jantan dan 1 mencit betina yang mati, atau dengan kata lain persentase kematian hanya 16,67 %.
Berdasarkan seri dosis yang diber ikan, maka dapat diartikan bahwa nilai LD50 akut
(pengamatan 28 hari) dar i sampel limbah slag tersebut lebih besar dari 50 mg/kg BB bahkan
lebih besar dari 5000 mg/kg BB.

Selanjutnya jika yang dijadikan acuan atau standar untuk menentukan toksisitas akut
(nilai LD50 akut) tersebut berdasarkan Penjelasan Pasal 7 ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor
85 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan limbah B3, yaitu 50 mg/Kg BB, maka berdasarkan hasil uji
toksisitas akut sebagaimana data di atas menunjukkan bahwa sampel limbah slag tersebut tidak
termasuk kategori limbah B3 yang bersifat akut. Namun demikian, hal ini belum dapat
menyimpulkan bahwa limbah slag tersebut bukan merupakan limbah B3, karena dalam
Penjelasan Pasal 7 ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tersebut lebih Kanjut
disebutkan juga bahwa dalam mengidentifikasi suatu limbah apakah termasuk kategori limbah
B3 atau bukan, maka apabila nilai LD50 akut limbah lebih besar dari 50 mg/kg BB masih perlu
dilakukan evaluasi kronis.

Hasil pengamatan pada percobaan lanjutan selama interval waktu 24 jam, 48 jam dan
seterusnya sampai hari ke-28 terhadap jumlah dan persentase kematian hewan uji mencit jantan
dan betina yang tanpa diberi perlakuan limbah slag (kontrol) dan yang diberi perlakuan limbah
slag dengan seri dosis 7500 mg/kg BB; 15000 mg/kg BB; 22500 mg/kg BB; 30000 mg/kg BB
dan 37500 mg/Kg BB disajikan pada Tabel 2 di bawah ini :

Tabel 2 Data Persentase kematian mencit pada uji lanjutan


untuk menentukan Nilai aktual LD50 limbah slag

Dosis (gr/kg BB) Mencit jantan Mencit betina total

0 0 0 0

7500 0 16,667 8,333

15000 33,333 50 41,667


22500 33,333 50 41,667

30000 66,667 66,667 66,667

37500 66,667 83,333 75

Nilai L40(mg/kg BB) 26950 21320 24050

Berdasarkan data pada Tabel 2 di atas selanjutnya ditentukan nilai LD50 akut sampel
limbah slag pada hari ke-28. Data kematian yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan
menggunakan metode analisis probit dengan interval kepercayaan 95%. Dari analisis probit
sebagaimana disajikan pada Tabel 3 di bawah ini, didapat nilai LD50 akut secara oral untuk
sampel limbah slag sebesar 26950 mg/kg BB untuk mencit jantan; 21320 mg/kg BB untuk
mencit betina dan 24050 mg/kg BB untuktotal (rata-rata mencit jantan dan betina).

Uji Toksikologi Limbah Sifat Kronik


Sifat kronik (toksik, mutagenik, karsinogenik dan teratogenik) ditentukan dengan cara
mencocokkan zat pencemar yang ada dalam limbah tersebut dengan daftar Lampiran III PP
85/1999.

Apabila limbah tersebut mengandung salah satu dan atau lebih zat pencemar yang
terdapat dalam Lampiran III PP 85/1999, maka limbah tersebut merupakan limbah B3 setelah
mempertimbangkan faktor-faktor di baw ah ini :

 Sifat racun alami yang dipaparkan oleh zat pencemar;

 Konsentrasi dari zat pencemar;

 Potensi bermigrasinya zat pencemar dari limbah ke lingkungan bilamana tdk


dikelola dgn baik;

 Sifat persisten zat pencemar atau produk degradasi racun pada zat pencemar;

 Potensi dari zat pencemar atau turunan/degradasi produk senyawa toksik untuk
berubah menjadi tidak berbahaya;

 Tingkat dimana zat pencemar atau produk degradasi zat pencemar


terbioakumulasi di ekosistem;

 Jenis limbah yg tidak dikelola sesuai ketentuan yg ada yg berpotensi mencemari


lingkungan;

 Jumlah limbah yg dihasilkan pada satu tempat atau secara regional atau secara
rasional berjumlah besar;

 Dampak kesehatan dan pencemaran/kerusakan lingkungan akibat pembuangan


limbah yg mengandung zat pencemar pada lokasi yg tidak memenuhi persyaratan;

 Kebijaksanaan yg diambil oleh instansi pemerintah lainnya atau program


peraturan perundang-undangan lainnya berdasarkan dampak pada kesehatan dan
lingkungan yg diakibatkan oleh limbah atau zat pencemarnya;

 Faktor-faktor lain yg dapat dipertanggungjawabkan merupakan limbah B3.


Dari faktor-faktor tersebut di atas, faktor yang dapat dipertimbangkan secara kuantitatif
di dalam penentuan suatu limbah memiliki sifat kronik antara lain berdasarkan:

a. Konsentrasi dari zat pencemar; dan/atau

b. Sifat racun alami yang dipaparkan oleh zat pencemar; dan/atau

c. Potensi bermigrasinya zat pencemar dari limbah ke lingkungan bila tidak dikelola dengan
baik.

Konsentrasi dari zat pencemar

Penentuan suatu limbah memiliki sifat kronik dapat ditentukan dengan mengetahui kadar
total konsentrasi bahan pencemar yang terkandung dalam limbah tersebut dibandingkan dengan
standar yang ditetapkan, dalam hal ini standar yang digunakan adalah nilai total kadar
maksimum limbah (mg/kg) sebagaimana Tabel 4 di bawah ini. Batasan nilai tersebut diadop
dengan pertimbangan nilai tersebut merupakan nilai ambang maksimum kadar konsentrasi bahan
pencemar yang dapat memberikan resiko terhadap lingkungan hidup dan mahluk hidup.

Dengan melakukan analisa total konsentrasi bahan pencemar yang terkandung dalam
limbah dengan parameter-parameter sebagaimana yang terdapat pada Tabel 4 di bawah ini,
khususnya parameter logam-logam berat, maka apabila limbah tersebut mengandung salah satu
atau lebih pencemar yang terdapat dalam Tabel 4 dengan konsentrasi sama atau lebih besar dari
nilai standar Tabel 4 tersebut, maka limbah tersebut termasuk kategori limbah B3.

Tabel 4. Standar Total Kadar Maksimum Limbah B3

Bahan Pencemar Total Kadar Maksimum Standar


(mg/kg berat-kering)

Arsenic 30

Cadmium 5

Chromium 250
Copper 250

Cobalt 100

Lead 300

Mercury 2

Molybdenum 40

Nickel 100

Tin 50

Selenium 10

Zinc 500

Cyanide 50

Flour ide 450

Phenols: 1

2, 4, 6-trihlorophenol

Monocylic Aromatic 7

Hydrocarbons:

Nitrobenzene

Polycyclic Aromatic 20

Hydrocarbons:

m-cresol

Total Petroleum 100

Hydrocarbons (C6 to C9)

Hydrocarbons (> C9) 1000


organochlorine compounds: 1

Vinyl chloride

Sifat racun alami yang dipaparkan oleh zat pencemar

Sifat racun alami yang dipaparkan oleh zat pencemar yang terkandung dalam limbah
dapat diketahui berdasarkan uji toksikologi, baik uji Toksisitas Akut (Penentuan LD50)
sebagaimana telah dijelaskan di atas maupun uji toksisitas kronis.

Metode pengujian limbah yang bersifat kronis dapat dilakukan dengan :

1) Metode pengujian Toksisitas Sub letal untuk menilai efek kronis subletal
yaitu dengan melihat pengaruh toksisitas sub letal, dan/atau

2) Menggunakan metode perhitungan UK Formula.

a. Uji Toksisitas Sub letal

Dengan menggunakan Metode Uji Toksisitas Sub letal yang diperoleh dari data hasil
pengamatan sub letal pada pengujian Toksisitas (LD50) akut yaitu pengamatan bobot berat
badan dari hewan uji (laju pertumbuhan) & gejala klinis lain seperti pengaruh terhadap hati,
ginjal dan darah, maka akan diketahui sifat racun yang dipaparkan oleh zat pencemar untuk
penentuan pengkategorian limbah tersebut apakah termasuk limbah B3 atau bukan. Uji
toksikologi tersebut digunakan untuk mengetahui sifat racun (toksisitas) zat pencemar yang
terkandung dalam limbah.
Metode pengujian toksisitas subletal contoh kerusakan organ pada hewan uji yang
dilaksanakan dengan pengamatan bobot berat diberi perlakuan limbah yaitu perontokan bulu
badan mencit dan gejala klinis lainnya selama
interval waktu 24 jam, 48 jam dan seterusnya
sampai 28 hari. Analisis data dilakukan
dengan menimbang berat badan hewan uji
dan dibandingkan dengan berat mula-mula
untuk mengetahui laju pertumbuhannya &
pengamatan gejala klinis hewan uji.

Efek toksisitas suatu limbah dapat diketahui Contoh kerusakan organ hewan uji ynag
dengan cara mempelajari kerusakan jaringan diberi perlakuan limbah yaitu hati pucay dan
beberapa organ hewan uji yang diberi ginjal mengerut/mengecil.
perlakuan limbah dan terjadinyapenurunan
berat badan hewan uji. Apabila hasil
pengamatan menunjukan adanya gejala-gejala
:

Penurunan berat badan atau penurunan laju


pertumbuhan hewan uji yang diberi perlakuan
limbah dibandingkan dengan control (tanpa
perlakuan limbah); dan/atau

Kerusakan/kelainan jaringan beberapa organ


hew an uji (gejala-gejala klinis), seperti
pembentukan warna merah dan
pembengkakan pada kulit hew an uji serta hati
pucat dan ginjal mengkerut maka limbah
tersebut memiliki efek racun yang bersifat
kronik dan dengan demikian limbah tersebut
dapat dikategorikan sebagai limbah B3.

Uji Toksisitas Kronis dengan Metode Perhitungan (UK Formula)


Uji toksisitas kronis dengan penentuan nilai LD50 melalui metoda perhitungan dengan
pengujian total konsentrasi logam berat yang terkandung dalam limbah, merupakan cara lain
untuk menentukan apakah suatu limbah memiliki efek racun yang bersifat kronik atau tidak,
sehingga dapat diketahui apakah limbah tersebut merupakan limbah B3 atau bukan.

Dengan metode perhitungan uji toksisitas kronis tersebut, maka penentuan nilai LD50
relatif memerlukan w aktu yang singkat dan biaya yang relatif tidak terlalu mahal. Pemerintah
Inggris telah menerapkan suatu metode pengujian toksisitas (nilai LD50) kronis yang dilakukan
dengan metode perhitungan (UK Formula) tanpa melakukan uji LD50 terhadap hewan uji, yaitu
dengan menghitung nilai LD50 rujukan komponen kandungan bahan pencemar suatu limbah
(Data rujukan : Sax dan CHRIS) dan hasil analisa total konsentrasi logam berat.

Metode pengujian toksisitas (nilai LD50) kronis dilakukan dengan melakukan uji
total konsentrasi logam berat yang terkandung dalam limbah tanpa melakukan uji LD50
terhadap hewan uji, kemudian dilakukan metode perhitungan (UK Formula), yaitu
dengan melakukan perhitungan nilai LD50 suatu limbah melalui pendekatan konservatif
atas nilai LD50 rujukan komponen kandungan bahan pencemar yang terendah (data
rujukan : Sax dan CHRIS) dan hasil analisa total konsentrasi logam berat.

Nilai-nilai LD50 dari komponen kandungan bahan tercemar tersebut kemudian


dijumlahkan dan selanjutnya dibandingkan dengan standar nilai LD50 sesuai ketentuan
PP 85/1999 dan atau referensi internasional.

Pemilihan nilai LD50 rujukan bahan pencemar yang dipilih haruslah suatu senyawa
bahan pencemar yang paling cocok dan tepat bagi keadaan ikatan kimiawi bahan pencemar
tersebut. Model perhitungan penentuan nilai LD50 adalah menggunakan persamaan sebagai
berikut :

100/ LD50 waste = [sum] Cx / LD50x ................................................. (1)

100/ LD50 waste = C1 /LD50 1 + C2 /LD50 2 + .. + Cn / LD50 n ..... (2)

Dimana :
LD50 : adalah nilai LD50 suatu contoh limbah yang ditentukan (mg/kg BB)

LD50x : adalah nilai LD50 rujukan bahan pencemar yang digunakan (mg/kg)

Cx : adalah kadar bahan pencemar yang ada dalam suatu contoh limbah (% berat)

100 : adalah faktor konversi dari mg/kg ke % berat

Persamaan nomor (2) kemudian dapat disederhanakan lebih lanjut menjadi persamaan
sebagai berikut :

LD50 waste= 100 /(C1 / LD50 1 + C2 /LD50 2 + ... + Cn / LD50 n ) (3)

Jika kadar bahan-bahan pencemar dalam suatu contoh limbah dan LD50 rujukan bahan
pencemar diketahui, maka nilai LD50 suatu contoh limbah dapat diperoleh dan untuk selanjutnya
dibandingkan dengan standar nilai LD50 yang ditetapkan.

Contoh Aplikasi : Uji Toksisitas Kronis dengan Metode Perhitungan

Tabel 5. Hasil analisis total konsentrasi logam berat suatu limbah :


Parameter Logam Berat Satuan Hasil Analisis

Arsenik (As) ppm 1063,60

Kad miu m (Cd) ppm 3,10

Kromiu m tota I (Cr) ppm 3120

Kobal (Co) ppm 14,00

Te mbaga (Cu) ppm 1732,50

Timbal (Pb) ppm 2920

Merkuri (Hg) ppm 0,1836

Nikel (Ni) ppm 355,10

Selenium (Se) ppm 141,70

Perak (Ag) ppm 0,20

Tin (Sn) ppm 1696,20

Seng (Zn) ppm 4208,50

Berdasarkan data hasil analisis total konsentrasi logam berat limbah sebagaimana tertera
pada tabe l-5 di atas selanjutnya ditentukan nilai LD50 limbah dengan menggunakan metode
perhitungan (UK Formula) sebagaimana disajikan pada Tabel 6 di bawah ini. Berdasarkan
perhitungan tersebut didapat nilai L50 limbah adalah 40,45 mg/kg BB atau 0,04045 gr/kg BB.
Selanjutnya nilai LD50 yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan standar nilai LD50
sesuai ketentuan PP 85/1999 yaitu 50 mg/kg (Apabila nilai L50 limbah ≤ 50 mg/kg BB, maka
limbah tersebut memilild efek racun yang bersifat kronik dan dengan demikian limbah tersebut
dikategorikan sebagai limbah B3).
Potensi bermigrasinya zat pencemar dari limbah ke lingkungan bila tidak dikelola dengan
baik.

Potensi bermigrasinya zat pencemar dari limbah ke lingkungan dapat diketahui dengan
melakukan uji TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) pencemar organik dan
anorganik dari limbah tersebut, karena pada dasarnya uji TCLP ini adalah untuk menentukan
mobilitas atau penyebaran daya racun suatu zat pencemar yang terkandung dalam limbah.
Apabila suatu limbah mengandung salah satu atau lebih bahan pencemar yang terdapat dalam
Tabel 7 di bawah ini, dengan konsentrasi sama atau lebih besar dari nilai Baku Mutu TCLP
Tabel 7 tersebut, maka limbah tersebut merupakan limbah B3.

Tabel 7. Baku Mutu TCLP Zat Pencemar Dalam Limbah untuk Penentuan Sifat Racun
Limbah yang Berpotensi Mencemari Lingkungan.
Parameter Konsentrasi dalam Ekstrasi
limbah (mg/L)

Arsen 0,2

Barium 5

Cadmium 0,05

Chromium 0,25

Copper 0,19

Lead 2,5

Mercury 0,01

Selenium 0,05

Silver 2

Zinc 2,5

Boron 100

Benzene 0,005

Carbon tetrachloride 0,2

Chlordane 0,01

Chlorobenzene 5

Chloroform 5

Total Cresol 0,5

Cyanide (free) 1

Aldrin + Dieldrin 0,02

Endrin Aldrin + Dieldrin 0,004

Flour ides 50

Heptachor + Heptachor epoxide 0,08

Hexachlobenzene 0,05

Methoxychlor 3
Methyl parathion 0,3

Nitrane + Nitrite 500

Nitrite 50

Nitrobenzene 1

Pentachloropenol 0,5

Pyridine 0,1

PCBs 0,05

Tetrachloroethylene (PCE) 0,3

Phenol 2

DDT 1

Chlorophenol (total) 1

Vinyl chloride 0,05

Catatan Sebagai Bahan Rujukan: Tabel Klasifikasi tingkat toksisitas zat


kimia/bahan/senyawa berdasarkan Nilai LD50.

Tingkat Kriteria Toksik LD50 Oral

Toksistas (mg/kg BB)

1 Sangat beracun (Extremely toxic) <1

2 Berdaya racun kuat (Highly toxic) 1-50

3 Beracun (toxic) 50-500

4 Berdaya racun lemah (Slightly 500 -5000


toxic)

5 Ha rrp it tida k beracun 5000 -15000


(Practically

non toxic)
6 Relatif tidak membahaya kan >15000

(Relatively harmless) Lu , 1995.

Sebagai bahan perbandingan, beberapa negara juga telah menetapkan kriteria penentuan
toksik suatu zat/bahan/senyawa berdasarkan nilai LD50 oral, seperti yang tertera pada Tabel di
bawah ini.

Tabel Perbandingan kriteria penentuan toksik suatu zat kimia/bahan/senyawa


berdasarkan nilai LD50 oral di beberapa Negara.

No. Negara LD50 Oral (mg/kg BB)

1 US EPA (40 CFR part 261. 11) < 50

2 Canada (Guide to Canadian Transportation < 200

of Dangerous Goods a Act and Regulation)

3 Jepang (Environment Regulation) < 500

4 China (Hazardous Subtance Regulat ion) 200-1000

5 Indonesia (PP 85/1999 tentang ≤ 50

Pengelolaan Limbah B3)


DAFTAR PUSTAKA

https://blog.ub.ac.id/yusriadiblog/2012/10/11/limbah-b3-bahan-berbahaya-beracun-makalah/

https://pii.or.id/pengelolaan-limbah-b3

http://limbahb3-limbahb3.blogspot.com/2010/05/limbah-b3.html?m=1

https://indok3ll.com/panduan-tata-cara-identifikasi-limbah-bahan-berbahaya-dan-beracun-
limbah-b3/

Yenni Ruslindaa. Jurnal Dampak Timbulan, Komposisi dan Karakteristik Sampah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) pada Sarana Kesehatan . Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas
Teknik, Universitas Andalas, Kampus Limau Manis Padang 25163, Indonesia

https://ejournal.unib.ac.id/index.php/naturalis/article/view/9209/4527IDENTIFIKASI JENIS
DAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN RUMAH
TANGGA: STUDI KASUS KELURAHAN PASAR TAISKECAMATAN SELUMA
KABUPATEN SELUMA. Terry Irawansyah Putra.

Anda mungkin juga menyukai