Anda di halaman 1dari 7

Makalah Limbah B3 Bahan Berbahaya

Beracun
 Posted by SYAMS SHARE WORLD  on Saturday, 13 July 2013     Labels: Education

I. PENDAHULUAN
Sebagai mahluk hidup, manusia memiliki berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi untuk
menjaga kelangsungan hidupnya sendiri. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut , manusia telah
melakukan berbagai macam kegiatan di lingkungan hidupnya. Kegiatan ini baik secara langsung
maupun tidak langsung akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada lingkungan.
Perubahan lingkungan hidup yang dapat dilihat secara langsung antara lain perubahan areal
lingkungan yang diakibatkan kegiatan pembukaan lahan untuk areal perkebunan dan pertanian,
perubahan fungsi pertanian menjadi areal pemukiman, serta pembalakan liar untuk membuka
bidang areal baru.
Perubahan ini memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kelangsungan hidup ekosistem
yang ada termasuk munculnya berbagai polusi yang secara visual tidak terlihat. Ekosistem
sendiri diartikan sebagai tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan
utuhmenyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan
produktivitas lingkungan hidup. Ketika ekosistem ini terganggu, maka tentu saja keseimbangan
dari unsur-unsur lingkungan menjadi tidak seimbang lagi.
Tanpa disadari oleh manusia, pemenuhan kebutuhan melalui berbagai macam kegiatan ini telah
menimbulkan kerugian yang harus ditanggung bukan saja oleh manusia namun oleh seluruh
mahluk hidup yang bersentuhan langsung dengan kegiatan tersebut. Hal ini disebabkan, kegiatan
pemenuhan kebutuhan ini menyebabkan munculnya sisa-sisa hasil kegiatan yang tidak
digunakan atau dibuang oleh manusia dan memberikan dampak negatif bagi lingkungan, yaitu
limbah dan sampah.
Menurut WHO, sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau
sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya
(Chandra, 10 April 2011,URL) . Banyak sampah organik masih mungkin digunakan kembali /
pendaur-ulangan (re-using), walaupun akhirnya akan tetap merupakan bahan/ material yang tidak
dapat digunakan kembali (Dainur, 1995).
Sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan sebenarnya hanya sebagian dari benda atau hal-hal
yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau harus dibuang, sedemikian
rupa sehingga tidak sampai mengganggu kelangsungan hidup manusia dalam sebuah lingkungan.
Dari pengertian ini, dapat kita katakan bahwa sampah ialah sebagian dari sesuatu yang tidak
dipakai, disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang
dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi yang bukan biologis (karena human
waste tidak termasuk didalamnya) dan umumnya bersifat padat (karena air bekas tidak termasuk
didalamnya).
Pencemaran lingkungan sendiri dapat diartikan sebagai sebuah kejadian lingkungan yang tidak
dikehendaki, dimana kejadian tersebut menimbulkan gangguan atau kerusakan lingkungan
bahkan dapat menimbulkan ancaman kesehatan sampai kematian.
Hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat disebut pencemaran, misalnya udara berbau tidak
sedap, air berwarna keruh, tanah ditimbuni sampah. Hal tersebut dapat berkembang dari sekedar
tidak diingini menjadi gangguan. Udara yang tercemar baik oleh debu, gas maupun unsur kimia
lainnya dapat menyakitkan saluran pernafasan, mata menjadi pedas atau merah dan berair. Bila
zat pencemar tersebut mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3), kemungkinan dapat
berakibat fatal
Terkait dengan hal ini, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak dikenal istilah sampah, namun digunakan istilah Limbah
sebagaimana tercantum dalam pada Pasal 1 angka 20 dikatakan bahwa “Limbah adalah sisa
suatu usaha dan/atau kegiatan”.
Banyak sekali permasalahan yang terjadi seputar pengelolaan limbah khususnya limbah hasil
kegiatan industri yang mengandung unsur bahan berbahaya dan beracun (B3). Kasus-kasus yang
cukup menonjol mengenai pengelolaan limbah B3 ini diantaranya adalah kasus import limbah /
sampah oleh PT.Kertas Internasional pada 2005, kasus impor limbah B3 di Pulau Galang Baru
pada tahun 2008, dan kasus impor limbah di Batam yang dilakukan oleh PT.Jase Octavia
Mandiri (JOM) pada tahun 2009.
Kasus-kasus tersebut merupakan sebagian kecil contoh kasus pelanggaran mengenai lingkungan
hidup dari aspek pencemaran limbah B3. Bahan berbahaya dan beracun menjadi sebuah ancaman
bagi kelestarian lingkungan yang memerlukan keseimbangan dalam lingkaran rantai ekosistem.
Limbah industri baik berupa gas, cair maupun padat umumnya termasuk kategori
atau dengan sifat limbah B3.
Kegiatan industri disamping bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, ternyata juga
menghasilkan limbah sebagai pencemar lingkungan perairan, tanah, dan udara. Limbah cair,
yang dibuang ke perairan akan mengotori air yang dipergunakan untuk berbagai keperluan dan
mengganggu kehidupan biota air. Limbah padat akan mencemari tanah dan sumber air tanah.
Limbah gas yang dibuang ke udara pada umumnya mengandung senyawa kimia berupa SOx,
NOx, CO, dan gas-gas lain yang tidak diinginkan. Adanya SO2 dan NOx diudara dapat
menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat menimbulkan kerugian karena merusak
bangunan, ekosistem perairan, lahan pertanian dan hutan.
Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang sangat ditakuti adalah limbah dari industri
kimia. Limbah dari industri kima pada umumnya mengandung berbagai macam unsur logam
berat yang mempunyai sifat akumulatif dan beracun (toxic) sehingga berbahaya bagi kesehatan
manusia (Dinkesjatim,10 April 2011,URL)
Permasalahan limbah B3 inilah yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan kajian mengenai
limbah B3 sebagai salah satu unsur perusak keseimbangan lingkungan hidup. Limbah B3 secara
nyata telah menciptakan dampak negatif bagi lingkungan hidup serta kelangsungan hidup dari
semua mahluk hidup yang ada.
Dapat kita bayangkan berapa limbah hasil industri yang dikeluarkan atau dibuang setiap harinya
ke lingkungan baik di darat, air maupun udara dan berapa jumlah limbah B3 yang terkandung
didalam limbah buangan industri tersebut. Kondisi ini lebih diperparah dengan banyaknya
kegiatan impor limbah dari luar negeri yang pada kenyataanya banyak sekali mengandung B3.
Limbah-limbah tersebut tentu saja akan merusak lingkungan hidup tempat kita dan generasi
penerus kita akan hidup dan bertempat tinggal.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian, Jenis, dan Karakteristik
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 Limbah B3 didefinisikan sebagai setiap
limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau
konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung dapat
merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan manusia.
Pengertian ini selaras dengan pengertian limbah B3 sebagaimana yang tercantum dalam UU
No.32 Tahun 2009 Pasal 1 angka 21 yang menyatakan bahwa :
Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau
komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk
hidup lain.
Pada bagian lain, mengacu pada PP 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan limbah B3, dikatakan
bahwa pengertian limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan
berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik
secara langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, keangsungan hidup manusia serta makhluk hidup
lainnya.
Pengertian-pengertian diatas bermuara pada sebuah kesimpulan bahwa semua limbah yang
sesuai dengan definisi tersebut dapat dikatakan sebagai limbah B3 kecuali bila limbah tersebut
dapat mentaati peraturan tentang pengendalian air dan atau pencemaran udara.
Limbah B3 diidentifikasi sebagai bahan kimia dengan satu atau lebih karakteristik. Menurut sifat
dan karakternya, limbah B3 dibedakan menjadi : (1) mudah meledak; (2) mudah terbakar;
(3)bersifat reaktif; (4) beracun; (5) penyebab infeksi; dan (6) bersifat korosif.Sedangkan ditinjau
dari sumbernya, maka limbah B3 dikategorikan menjadi 3 (tiga) yaitu limbah B3 sumber
spesifik,sumber tidak spesifik, dan bahan kimia kadaluarsa; tumpahan; sisa kemasan; buangan
produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
1. Limbah mudah meledak diartikan sebagai limbah yang melalui reaksi kimia dapat
menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan.
2. Limbah mudah terbakar adalah limbah yang bila berdekatan dengan api,percikan api, gesekan
atau sumber nyala lain akan mudah menyala atau terbakar dan bila telah menyala akan terus
terbakar hebat dalam waktu lama.
3. Limbah reaktif merupakan limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepaskan atau
menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi.
4. Limbah beracun adalah limbah yang mengandung racun yang berbahaya bagi manusia dan
lingkungan. Limbah B3 dapat menimbulkan kematian atau sakit bila masuk ke dalam tubuh
melalui pernafasan, kulit atau mulut.
5. Limbah yang menyebabkan infeksi adalah limbah laboratorium yang terinfeksi penyakit atau
limbah yang mengandung kuman penyakit, seperti bagian tubuh manusia yang diamputasi dan
cairan tubuh manusia yang terkena infeksi.
6. Limbah yang bersifat korosif adalah limbah yang menyebabkan iritasi pada kulit atau
mengkorosikan baja, yaitu memiliki pH sama atau kurang dari 2,0 untuk limbah bersifat asam
dan lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat biasa (wikipedia,3 April 2011,URL).
B. Pengelolaan Limbah B3
Keberadaan B3 yang berdampak negatif bagi lingkungan inilah yang melatarbelakangi perlunya
payung hukum dalam hal pengelolaan limbah B3, hal ini ditambah lagi dengan fakta bahwa
Indonesia telah menjadi salah negara tempat pembuangan limbah B3 dari negara lain
(Agustina,2006:4).
Pengeolaan limbah B3 adalah hal yang penting dan dan harus dilakukan oleh setiap industri yang
menghasilkannya. Dalam pengelolaan limbah B3 ini, prinsip pengelolaan dilakukan secara
khusus yaitu from cradle to grave. Pengertian from cradle to grave sendiri adalah pencegahan
pencemaran yang dilakukan dari sejak dihasilkannya limbah B3 sampai dengan di timbun /
dikubur (dihasilkan, dikemas, digudangkan / penyimpanan, ditransportasikan, di daur ulang,
diolah, dan ditimbun / dikubur).
Pada setiap fase pengelolaan limbah tersebut ditetapkan upaya pencegahan pencemaran terhadap
lingkungan dan yang menjadi penting adalah karakteristik limbah B3 nya, hal ini karena setiap
usaha pengelolaannya harus dilakukan sesuai dengan karakteristiknya.
(sumber : Haruki Agustina, Pengelolaan dan Pengendalian Limbah B3)
Pengelolaan limbah B3 ini harus dilakukan oleh setiap industri yang menghasilkan limbah B3
pada setiap kegiatan/usahanya. Tujuan dari pengelolaan dan pengolahan limbah B3 ini secara
umum dapat dikatakan adalah untuk memisahkan sifat berbahaya yang terdapat dalam limbah
tersebut.
Hal ini harus dilakukan agar limbah B3 ini tidak mencemari ataupun merusak lingkungan hidup
tempat dimana mahluk hidup berada. Dengan adanya pengelolaan dan pengolahan limbah B3 ini,
barulah limbah tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lebih lanjut.
Pemanfaatan limbah ini sendiri dapat berupa penggunaan kembali atau Reuse, daur ulang atau
Recycle, dan perolehan kembali atau Recovery. Pemanfaatan ini harus berpedoman pada prinsip
agar aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan, memiliki proses produksi yang handal serta
memiliki standard produk mutu yang baik.
Untuk limbah B3 yang sudah tidak dapat dimanfaatkan atau diolah kembali maka harus ditimbun
di landfill. Penimbunan limbah ini harus dilakukan oleh sebah badan usaha yang telah
mendapatkan ijin dari KLH serta dengan melaporkan kegiatan penimbunan tersebut.
C. Dasar Hukum
Mengingat begitu pentingnya permasalahan pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 ini, maka
pemerintah memandang perlu untuk membuat peraturan perundang-undangan guna mengatur
limbah B3 ini. Peraturan-peraturan tersebut diantaranya adalah :
1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
2. PP RI Nomor 18 Tahun 1999 Jo. PP Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai revisi dari PP RI Nomor 19 Tahun 1994 Jo. PP RI Nomor
12 Tahun 1995 Tentang Pengelolaan Limbah B3.
3. Kepdal 01/BAPEDAL/09/1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan
Pengumpulan Limbah B3.
4. Kepdal 02/BAPEDAL/09/1995 tentang Dokumen Limbah B3.
5. Kepdal 03/BAPEDAL/09/1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah B3.
6. Kepdal 04/BAPEDAL/09/1995 tentang Tata Cara Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan
Lokasi Bekas Pengolahan dan Lokasi Penimbunan Limbah B3.
7. Kepdal 05/BAPEDAL/09/1995 tentang Simbol dan Label.
8. Kepdal 68/BAPEDAL/05/1994 tentang Tata Cara Memperoleh Ijin Pengelolaan Limbah B3.
9. Kepdal 02/BAPEDAL/01/1998 tentang Tata Laksana Pengawasan Pengelolaan Limbah B3.
10. Kepdal 03/BAPEDAL/01/1998 tentang Program Kendali B3.
11. Kepdal 255/BAPEDAL/08/1996 tentang Tata Cara dan Persyaratan Penyimpanan dan
Pengumpulan Minyak Pelumas Bekas.
Peraturan-peraturan mengenai pengelolaan limbah B3 diatas diharapkan dapat mencegah,
mengurangi, serta mengontrol keberadaan limbah B3 di lingkungan masyarakat.
Mengacu pada ketentuan undang-undang lingkungan hidup, terdapat beberapa hal yang dapat
menjadi perhatian kita bersama. Hal ini terutama mengenai pengelolaan dan pengolahan limbah
B3, sebagaimana dikatakan pada pasal 58 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 bahwa :
Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah,
dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3.
Pasal tersebut tidak sekedar ditujukan kepada pihak-pihak yang melakukan kegiatan dan
menghasilkan limbah B3, namun juga ditujukan kepada badan usaha yang melakukan import
limbah dari luar negeri menuju ke Indonesia.
Lebih lanjut dikatakan pada pasal 69 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2009 bahwa terdapat beberapa
larangan mengenai keberadaan limbah B3 khususnya yang berada di Indonesia. Selain itu, diatur
pula mengenai tanggung jawab mutlak (strict liability) dari pengelolaan limbah B3, hal ini
sebagaimana diatur pada pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa :
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan
hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan.
Tanggung jawab mutlak atau strict liability adalah unsur kesalahan yang tidak perlu dibuktikan
oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex
specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan
hidup menurut pasal 88 ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Sedangkan yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan
peraturan perundangundangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
Selanjutnya ketentuan pidana mengenai pelanggaran pengelolaan dan pengolahan limbah B3 itu
sendiri diatur pada Pasal 102 s.d. 106. Sebagai contoh mengenai pengelolaan limbah B3 dengan
tanpa ijin maka ancaman minimalnya adalah pidana penjara 1 tahun dan maksimal 3 tahun
dengan denda minimal 1 milyard rupiah dan paling banyak 3 milyar rupiah.
Tidak cukup sampai disitu, pelanggaran terhadap kegiatan/usaha yang memasukan limbah B3
kedalam wilayah NKRI juga diganjar dengan ancaman hukuman yang cukup berat. Hal ini
sebagaimana disampaikan dalam pasal 105 UU Nomor 32 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa :
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas
miliar rupiah).
Dengan keberadaan ancaman pidana yang cukup berat ini, maka diharapkan tidak terjadi lagi
pelanggaran terhadap pengelolaan dan pengolahan limbah B3 di lingkungan masyarakat.
III. PENUTUP
Pengolahan dan pengelolaan limbah B3 memang memerlukan perhatian lebih dari semua pihak
yang terkait. Keberadaan limbah B3 yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup mahluk
hidup harus dikendalikan.
Pengolahan sendiri mengacu pada pemanfaatan hasil kegiatan/usaha yang menciptakan limbah
B3 apakah dapat untuk digunakan kembali atau tidak. Sedangkan pengelolaan lebih tertuju pada
pengawasan dan pengendalian limbah B3 yang terdapat di lingkungan hidup. Masih banyaknya
terjadi pelanggaran terhadap pengelolaan serta persyaratan pengolahan limbah B3 menunjukkan
lemahnya pengawasan terhadap keberadaan limbah B3 ini, padahal kerawanan yang
dimunculkannya dapat merusak lingkungan tempat mahluk hidup tinggal.
DAFTAR PUSTAKA
UU RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Agustina,Haruki.2006. Pengelolaan dan Pengendalian Limbah B3, Materi Pelatihan Audit
Lingkungan.
Wijanto,Sigit.2003. Limbah B3 dan Kesehatan, Makalah perlindungan terhadap lingkungan
hidup.
Download Internet Universitas Sumatera Utara, 2008. Sampah Industri pada
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20777/4/Chapter%20II.pdf tanggal 10 April
2011 pukul 14.57 wib.
Download Internet Dinkesjatim,2011. Limbah B3 dan Kesehatan, pada
http://www.dinkesjatim.go.id/images/datainfo/200504121503-LIMBAH%20B-3.pdf tanggal 10
April 2011 pukul 15.40 wib.
Download Internet Wikipedia,2009. Limbah beracun pada http://id.wikipedia.org/
wiki/Limbah_beracun tanggal 3 April 2011 pukul 20.00 wib. 

Anda mungkin juga menyukai