Prasyarat Mahasiswa
Prasyarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa yang mengikuti
2.
3.
dan kimia, stabilisasi/solidifikasi, dan insenerasi yang akan dibahas pada topik
berikutnya.
Proses pengolahan secara fisika dan kimia bertujuan untuk mengurangi
daya racun limbah B3 dan/atau menghilangkan sifat/karakteristik limbah B3 dari
berbahaya
menjadi
tidak
berbahaya.
Proses
pengolahan
secara
1.
2.
3.
4.
Pada jarak paling dekat 300 meter dari garis pasang naik laut,
sungai, daerah pasang surut, kolam, danau, rawan, mata air dan sumur
5.
penduduk;
Pada jarak paling dekat 300 meter dari daerah yang dilindungi
(cagar alam, hutan lindung dan lain-lainnya).
1.7 Persyaratan Fasilitas Pengolahan Limbah B3
Dalam pengoperasian limbah B3 harus menerapkan sistem operasi yang
meliputi:
1.7.1 Sistem Keamanan Fasilitas
Sistem keamanan yang diterapkan dalam pengoperasian fasilitas
pengolahan limbah B3 sekurang-kurangnya harus :
1. Memiliki sistem penjagaan 24 jam yang memantau, mengawasi dan
mencegah orang yang tidak berkepentingan masuk ke lokasi.
2. Mempunyai pagar pengaman atau penghalang lain yang memadai dan suatu
system untuk mengawasi keluar masuk orang dan kendaraan melalui pintu
gerbang maupun jalan masuk lain.
3. Mempunyai tanda yang mudah terlihat dari jarak 10 meter dengan tulisan
Berbahaya
yang
dipasang
pada
unit/bangunan
pengolahan
dan
(level control).
2. Pengawas harus dapat mengidentifikasi setiap kelainan yang terjadi, seperti
malfungsi, kerusakan, kelalaian operator, kebocoran atau tumpahan yang
dapat menyebabkan terlepasnya limbah dari fasilitas pengolahan ke
lingkungan. Program ini juga harus menyangkut terlepasnya limbah dari
fasilitas pengolahan ke lingkungan. Program ini juga harus menyangkut
mekanisme tanggap darurat.
3. Penggunaan bahan penyerap (absorbent) yang sesuai dengan jenis dan
karakteristik tumpahan limbah B3.
1.7.4 Sistem Penangulangan Keadaan Darurat.
Modul Ajar Pengolahan Limbah B3
2.
Hasil pengujian harus dituangkan dalam berita acara yang memuat hasil uji
coba penanganan system keadaan darurat. Informasi tersebut harus selalu
tersedia di lokasi fasilitas pengolahan limbah B3.
terhadap
lingkungan
dan
manusia,
serta
tindakan
pencegahannya;
- Peralatan pelindung: menyangkut kegunaan dan penggunaannya;
- Pelatihan untuk keadaan darurat: meliputi kebakaran, ledakan, tumpahan,
2.
Pelatihan khusus
-
Gambar 1.2 Proses Pengolahan Limbah B3 Sesuai dengan Jenis dan Karaketristik
Limbah B3
Pemilihan proses pengolahan limbah B3, teknologi dan penerapannya juga
didasarkan atas evaluasi kriteria yang menyangkut kinerja, keluwesan,
kehandalan, keamanan, operasi dari teknologi yang diguanakan, dan pertimbangan
lingkungan.
1.11 Pertanyaan
Apa yang dimaksud dengan limbah B3 dan pengolahan limbah B3?
Apa yang harus dilakukan pertama sekali sebelum limbah B3 diolah?
Tuliskan proses pengolahan limbah yang dapat dilakukan untuk mengolah
limbah B3!
Tuliskan persyaratan fasilitas pengolahan limbah B3
Tuliskan apa-apa saja yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan proses
pengolahan limbah B3
1.12 Model Jawaban
1.
2.
3.
limbah B3 tersebut.
Proses pengolahan limbah yang dapat dilakukan untuk
mengolah limbah B3 adalah: pengolahan secara fisika, pengolahan secara
Modul Ajar Pengolahan Limbah B3
10
Bobot Nilai
20
25
25
15
15
100
Skor
20
25
25
15
15
100
Berdasarkan skor nilai yang diperoleh dalam menyelesaikan soal pada latihan dan
tugas maka kemampuan mahasiwa dapat diukur berdasarkan kelompok nilai
sebagai berikut:
1
2
3
4
5
6
11
Penguasaan Materi
Penilaian
B
C
D
Definisi limbah B3
Definisi pengolahan limbah B3
Persyaratan lokasi pengolahan limbah B3
Persyaratan fasilitas pengolahan limbah B3
Persyaratan penanganan limbah B3
sebelum diolah
Skala Nilai:
A = Amat Baik
B = BaiK
C = Cukup
D = Kurang
E = Tidak ada
TOPIK II
PENGOLAHAN LIMBAH B3 SECARA FISIKA DAN KIMIA
2.1 Pendahuluan
Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengubah jenis, jumlah dan
karakteristik limbah B3 menjadi tidak berbahaya dan/atau tidak beracun dan/atau
12
1.
13
2.
3.
Prasyarat Mahasiswa
Prasyarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa yang mengikuti
2.
kimia lingkungan.
Mahasiswa pada semester 5 pada Program Studi Teknik Kimia
3.
1.
2.
dengan proses:
- Klarifikasi
- Filtrasi
- Flokulasi
- Flotasi
- Sendimentasi
- Thickening
3.
14
Kristalisasi
Dialisa
Elektrodialisa
Evaporasi
Leaching
Reverse Osmosis
Pemilihan proses pengolahan limbah B3 harus disesuaikan dengan jenis
limbah yang akan diolah serta zat/komponen apa yang akan direduksi. Selain itu
seperti yang sudah dijelaskan pada Topik I, teknologi dan penerapannya harus
didasarkan atas evaluasi kriteria yang menyangkut kinerja, keluwesan,
kehandalan, keamanan, operasi dari teknologi yang diguanakan, dan pertimbangan
lingkungan.
2.4.1 Pembersihan Gas
Pembersihan gas bertujuan utnuk mengurangi pencemaran udara dari gasgas buang yang bersifat toksik seperti sulfur oksida, nitrogen oksida, karbon
monoksida, dan hidrokarbon yang dapat dikontrol pengeluarannya melalui
beberapa metode.
Faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan metode pembersihan gas
khususnya gas buang pada dunia industri, adalah :
a. Efisiensi yang didapat dalam menyaring partikel debu.
b. Ukuran Partikel debu terkecil yang didapat.
c. Bahan bakar yang digunakan pada ruang pembakaran.
d. Kapasitas bahan bakar pada ruang pembakaran.
e. Biaya pembangunan dan pemeliharaan.
Pencemaran udara sebenarnya dapat berasal dari limbah berupa gas atau
materi partikulat yang terbawah bersama gas tersebut. Berikut akan dijelaskan
beberapa cara menangani pencemaran udara oleh limbah gas dan materi partikulat
yang terbawah bersamanya dengan menggunakan elektostatik presipitator dan wet
scrubber.
A. Elektrostatic Presipitator
Elektrostatik merupakan salah satu cabang fisika yang berhadapan dengan
gaya yang dikeluarkan oleh medan listrik statik (tidak berubah) kepada sebuah
Modul Ajar Pengolahan Limbah B3
15
Salah
satu
penerapannya
yaitu
penggunaan
electrostatic
precipitator (ESP).
Electrostatic precipitator (ESP) adalah salah satu alternatif penangkap
debu dengan effisiensi tinggi (diatas 90%) dan rentang partikel yang didapat
cukup besar. Dengan menggunakan electrostatic precipitator (ESP) ini, jumlah
limbah debu yang keluar dari cerobong diharapkan hanya sekitar 0,16% (dimana
efektifitas penangkapan debu mencapai 99,84%).
Alat pengendap elektrostatik ini menggunakan arus searah (DC) yang mempunyai
tegangan antara 25 100 kv. Alat pengendap ini berupa tabung silinder di mana
dindingnya diberi muatan positif, sedangkan di tengah ada sebuah kawat yang
merupakan pusat silinder, sejajar dinding tabung, diberi muatan negatif. Adanya
perbedaan tegangan yang cukup besar akan menimbulkan corona discharga di
daerah sekitar pusat silinder. Hal ini menyebabkan udara kotor seolah olah
mengalami ionisasi. Kotoran udara menjadi ion negatif sedangkan udara bersih
menjadi ion positif dan masing-masing akan menuju ke elektroda yang sesuai.
Kotoran yang menjadi ion negatif akan ditarik oleh dinding tabung sedangkan
udara bersih akan berada di tengah-tengah silinder dan kemudian terhembus
keluar.
16
pemanasan
precipitator merupakan
global
salah
satu
(global
cara
agar
warming).
industri
Electrostatic
yang
berpotensi
17
Gambar 2.2 (a) menunjukkan diagram skematik dari sebuah pengendap elektroststik. Potensial
listrik negatif yang tinggi tertahan pada kumparan kawat yang ada di bagian tengah membentuk
sebuah lompatan listrik di sekitar kawat. Gambar (b) menunjukkan contoh aplikasi pengendap
elektrostatik, sedangkan gambar (c) adalah gambar cerobong tanpa pengendap elektrostatik. Jika
dibandingkan, gambar (c) akan menghasilkan polusi udara lebih besar dibanding gambar (b).
B. Wet Scrubber
Sistem scrubber adalah kumpulan berbagai macam alat kendali polusi
udara yang dapat digunakan untuk membuang partikel dan/atau gas dari arus gas
keluaran industri. Dahulu, scrubber berkaitan dengan peralatan kontrol polusi
yang menggunakan liquid untuk mencuci polutan yang tidak diinginkan dari arus
gas. Saat ini istilah scrubber juga digunakan untuk menggambarkan sistem yang
menyuntikkan atau memasukkan bahan aktif kering atau liquid ke dalam gas kotor
untuk mencuci gas asam.
18
1.
2.
3.
4.
2.
3.
menghancurkan pathogen,
De-watering dan drying untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan
4.
masalah
19
Thickening
volume lumpur yang akan diolah dengan cara pemadatan atau meningkatkan
kandungan padatan. Proses thickening yang umum digunakan adalah gravity
thickening, centrifugation, dan flotation. Prinsip kerja masing-masing peralatan
tersebut disampaikan sebagai berikut ini.
A.1 Gravity Thickening
Proses ini umumnya digunakan sebagai pretreatment sebelum lumpur
diolah lebih lanjut ke proses de-watering lainnya. Prinsip dasar yang digunakan
pada proses ini adalah pengendapan secara gravitasi. Pada proses ini, lumpur
dibiarkan untuk mengendap pada bidang yang memiliki surface loading sekitar
300 sampai dengan 500 m3/m2.d.
Dengan proses ini primary sludge dapat dipekatkan pada 150 kg/m2
dengan kandungan padatan sekitar 10%. Untuk meningkatkan efisiensi proses,
biasanya
ditambahkan chemical
conditioners.
Hal
penting
yang
harus
diperhatikan pada proses ini adalah timbulnya bau akibat proses an-aerobik.
Skema peralatan proses gravity thickening dapat dilihat pada Gambar 2.3.
20
dikeluarkan dari mangkuk dengan menggunakan screw conveyor atau scroll (lihat
Gambar2. 4).
21
mengapung seperti minyak dan lemak agar tidak mengganggu proses pengolahan
berikutnya. Flotasi juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan
tersuspensi (clarification) atau pemekatan lumpur endapan (sludge thickening)
dengan memberikan aliran udara ke atas (air flotation).
B. Stabilisasi Lumpur (Sludge Stabilization)
Stabilisasi lumpur merupakan upaya mengurangi kandungan senyawa
organik dalam lumpur atau mencegah aktivitas mikroorganisme. Tujuan stabilisasi
lumpur adalah agar lumpur menjadi stabil dan tidak menimbulkan bau busuk dan
gangguan kesehatan saat dilakukan proses maupun saat pembuangan ke
lingkungan. Stabilisasi lumpur dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti
digestasi anaerobik, stabilisasi aerobik, dan stabilisasi dengan kapur.
B.1 Digestasi Anaerobik
Proses ini merupakan suatu proses degradasi senyawa organik dalam
lumpur secara anaerobik. Stabilisasi ini biasanya hanya untuk lumpur biologi dan
dilakukan sebelum proses pengeluaran air dari lumpur. Dengan proses digestasi
ini, sekitar 50% senyawa organik dalam lumpur dapat diubah menjadi gas bio
yang tersusun dari metan (CH4) dan CO2 apabila di dalam senyawa organik
tersebut terdapat kandungan sulfur, maka dihasilkan H2S.
Produk gas bio ini sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber
energi, sedangkan lumpur sisa yang diperoleh bisa dimanfaatkan sebagai
pupuk. Digestasi lumpur dilakukan dalam tangki tertutup dengan sistem
pengeluaran gas dan dapat dilengkapi dengan sistem pengadukan. Waktu retensi
yang diperlukan antara 10-20 hari dengan beban padatan antara 2-4 kg/m 3. Hasil
pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 2-5% atau
kandungan air 95-98% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur
campuran kimia-fisika-biologi kadar padatan kering hanya mencapai 1,5-4% atau
kandungan air 96-98,5%. Kelebihan sistem ini adalah pengurangan volume
lumpur dengan penguraian dalam artian pengurangan lumpur diubah menjadi gas
yang dapat dimanfaatkan sebagai energi panas. Kelemahan dari sistem ini adalah
cara pengoperasiannya agak sulit.
Modul Ajar Pengolahan Limbah B3
22
dalam
lumpur
mengakibatkan
aktifitas
23
ini adalah pengoperasian mudah dan biaya operasional relatif rendah. Kelemahan
sistem ini adalah tidak terjadi pengurangan kandungan air atau volume lumpur.
Pada pengoperasian sistem ini sering terjadi perubahan nilai pH sehingga perlu
dipantau terus menerus.
C. Pengeluaran Air dari Lumpur (Sludge Dewatering)
Tujuan proses pengeluaran air lumpur ialah menghilangkan sebanyak
mungkin air yang terkandung dalam lumpur setelah proses pengentalan.
Persyaratan kadar padatan kering lumpur yang diinginkan tergantung pada
penanganan akhir yang akan dilakukan, umumnya berkisar 30%. Proses
pengeluaran air lumpur dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain
menggunakan alat seperti belt press, filter press, screw press, drying bed,
centrifugal, rotary drum vacuum filter.
C.1 Belt Press
Proses pengeluaran air lumpur yang digunakan di industri antara lain belt
filter press. Tipe alat ini banyak digunakan di industri pulp dan kertas.
Pengeluaran air dari lumpur yang dapat dilakukan dengan alat ini melalui 2
tahapan, :
a. Daerah Pengeluaran Air (Draining Zone)
Pada daerah ini lumpur mengalir dan tersebar secara merata di atas lembaran
wire. Pengeluaran air dilakukan tanpa tekanan, hanya mengandalkan gravitasi
sampai mencapai kadar padatan tertentu, selanjutnya lumpur memasuki daerah
pengeringan bertekanan.
Daerah Pengeringan Bertekanan (Pressing Zone)
Air keluar dari lumpur dengan cara dijepit di antara dua belt atau wire sambil
ditekan oleh rol secara bertahap di daerah pressing zone, dengan tekanan
meningkat sejalan dengan mengecilnya rol. Pada saat dijepit, air diperas ke luar
sampai akhir daerah bertekanan, yang selanjutnya memasuki daerah
pengelupasan lumpur dari belt atau wire (share zone). Sebelum difungsikan
kembali
di
daerah
pengeluaran
air,
belt
atau
wire
perlu
dicuci
dahulu. Umumnya kadar padatan kering yang bisa dicapai antara 30-40% atau
kandungan air 60-70%, untuk lumpur kimia-fisika dan 22-30% atau kandungan
air
70-78%,
untuk
lumpur
biologi.
Pengkondisian
lumpur
dengan
24
25
Salah satu metode paling sederhana adalah drying bed atau bak pengering
lumpur. Pengeluaran air lumpur dilakukan melalui media pengering secara
gravitasi dan penguapan sinar matahari. Lumpur yang berasal dari pengolahan air
limbah secara langsung tanpa proses pemekatan terlebih dahulu dapat dikeringkan
dengan drying bed.
Deskripsi bak pengering berupa bak dangkal berisi media penyaring pasir
setinggi 10-20 cm dan batu kerikil sebagai penyangga pasir antara 20-40 cm, serta
saluran air tersaring (filtrat) di bagian bawah bak. Pada bagian dasar bak
pengering dibuat saluran atau pipa pembuangan air dan di atasnya diberi lapisan
kerikil (diameter 10-30 mm) setebal 20 cm dan lapisan pasir kasar (3-5 mm)
setebal 20-30 cm. Media penyaring merupakan bahan yang memiliki pori besar
untuk ditembus air. Pasir, ijuk dan kerikil merupakan media penyaring yang sering
digunakan.
Pengisian lumpur ke bak pengering sebaiknya dilakukan 1 kali sehari
dengan ketebalan lumpur di bawah 15 cm. Mengingat keterbatasan daya tembus
panas matahari, maka kedalaman bak ikurang dari 50 cm. Jika lumpur masuk
terlalu banyak, permukaan lumpur tampak mengering tetapi lapisan bawah masih
basah, sehingga pengurangan air perlu waktu berhari-hari. Jika saringan tersumbat
maka air tidak dapat keluar, sehingga pengurangan kadar air tidak terjadi.
Pengurangan kandungan air dalam lumpur menggunakan sistem
pengeringan alami dengan matahari, maka air akan keluar melalui saringan dan
penguapan. Pada mulanya keluarnya air melalui saringan berjalan lancar dan
kecepatan pengurangan air tinggi, tetapi jika bahan penyaring (pasir) tersumbat
maka proses pengurangan air hanya tergantung kecepatan penguapan. Kecepatan
pengurangan air pada bak pengering lumpur seperti ini bergantung pada
penguapan dan penyaringan, dan akan sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca
seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin, sinar matahari, hujan, ketebalan
lapisan lumpur, kadar air, sifat lumpur yang masuk dan struktur kolam
pengeringan. Waktu pengeringan biasanya antara 3-5 hari.
Kelebihan sistem ini adalah pengoperasian yang sangat sederhana dan
mudah, biaya operasional relatif rendah dan hasil olahan lumpur bisa kering atau
26
kandungan padatan yang tinggi. Kelemahan sistem ini adalah membutuhkan lahan
yang luas dan sangat tergantung cuaca.
C.4 Screw Press
Screw press menghasilkan lumpur kering (cake) dengan kadar padatan
kering 30 70% atau kandungan air 30-70%. Apabila lumpur yang akan diolah
berasal dari campuran lumpur kimia-fisika dengan lumpur biologi, maka perlu
ditambahkan koagulan polimer atau polielektrolit (PE), sebaliknya apabila hanya
berasal dari lumpur kimia-fisika tanpa penambahan koagulan polimer atau
polielektrolit (PE), dengan pemakaian umumnya sekitar 1-2 ppm.
Besarnya tekanan yang dihasilkan tergantung dari pengaturan perbedaan
jarak antara puncak ulir tekan sepanjang poros dengan kekuatan tekan flange
penahan yang ditentukan oleh kondisi dan jumlah pegas yang digunakan
Alat screw press sangat hemat energi. Penggunaan alat screw press makin banyak
diterapkan di industri khususnya industri pulp dan kertas.
C.5 Centrifugal
Pada prinsipnya alat ini memisahkan padatan dalam lumpur dari cairan
melalui proses sedimentasi dan sentrifugasi. Ada beberapa tipe sentrifugasi tetapi
yang umum digunakan adalah tabung horizontal berbentuk kerucut-silindris yang
di dalamnya dilengkapi juga dengan screw conveyor yang dapat berputar.
Kecepatan putaran conveyor ini sedikit lebih lambat dibandingkan dengan putaran
tabung horizontal.
Lumpur masuk melalui suatu tabung yang tak bergerak terletak sepanjang
garis pusat tabung, kemudian didorong keluar oleh conveyor dan didistribusikan
ke bagian sisi tabung. Lumpur mengendap dan dipadatkan oleh adanya kekuatan
centrifugasi, kemudian dibawa oleh conveyor ke daerah pengeringan dalam
tabung di bagian yang runcing, cairannya yang telah terpisah dikeluarkan di
bagian yang lainnya. Pada sistem ini padatan kering mencapai sampai 50% atau
kandungan air 50%. Pengkondisian lumpur dengan menambahkan koagulan
polimer adalah untuk mempercepat dan mempermudah pengeluaran air.
Pemakaian koagulan polimer antara 2 6 kg/ton padatan lumpur kering.
27
28
proses yang digunakan dalam mengolah limbah secara kimia seperti: netralisasi,
pengendapan, flokulasi-koagualasi, oksidasi reduksi.
2.3.1 Netralisasi
Netralisasi limbah diperlukan jika kondisi limbah masih diluar range pH
baku mutu limbah (BML) yang diperlukan (pH 6-8), sebab limbah di luar kondisi
tersebut dapat bersifat racun atau korosif. Dalam beberapa hal netralisasi dapat
dilakukan dengan cara mencampur limbah yang bersifat asam dengan limbah
yang bersifat basa. Pencampuran dilakukan di dalam suatu bak equalisasi (bak
penstabil) pada level ketinggian tetap. Bak ini juga sering disebut sebagai tangki
netralisasi. Tangki netralisasi dilengkapi dengan alat sensor pH untuk mengontrol
hasil reaksi. Secara umum reaksi netralisasi tersebut sebagai berikut:
Asam + Basa Garam + Air (kondisi lebih netral)
Netralisasi menggunakan bahan kimia dilakukan dengan menambahkan
bahan yang bersifat asam kuat atau basa kuat. Air limbah yang bersifat asam
umumnya dinetralkan dengan larutan kapur (Ca(OH2)), soda kostik (NaOH) atau
nantrium karbonat (Na2CO3).
daripada bahan kimia lainnya, maka larutan ini lebih sering dipakai di berbagai
industri.
Air limbah yang bersifat basa dinetralkan dengan asam kuat seperti H 2SO4,
HCl atau dengan gas CO2.
Gas akan
membentuk gelembung-gelembung gas yang akan bereaksi dengan basa yang ada
sehingga dihasilkan asam karbonat (H2CO3).
2.3.2 Pengendapan
Jika konsentrasi logam berat di dalam air limbah cukup tinggi, maka
logam tersebut dapat dipisahkan dari limbah dengan jalan pengendapan.
Pengendapan dapat dilakukan dengan mengubah bentuk logam yang ada ke dalam
Modul Ajar Pengolahan Limbah B3
29
bentuk hidriksinya. Hal ini dilakukan dengan penambahan larutan kapur (Ca
(OH)2) atau soda kostik (NaOH) dengan memperhatikan kondisi pH dimana
hidroksida logam tersebut mempunyai nilai kelarutan minimum. Untuk lebih
jelasnya hubungan antra konsentrasi logam dengan pH dapat dilihat pada Gambar
4.2. Dari gambar 4.2 terlihat bahwa kelarutan minimum krom dan seng terjadi
pada pH 7,5 dan 10,2. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa konsentrasi
krom maupun seng akan meningkat dengan tajam jika kondisi pH berubah dari
nilai 7,5 atau 10,2. Jadi untuk mengendapkan logam yang ada secara optimal
kondisi pH memegang peran yang sangat penting.
2.3.3 Koagulasi dan Flokulasi
Koagulasi dan flokulasi digunakan untuk memisahkan padatan tersuspensi
dari cairan jika kecapatan pengendapan secara alami padatan tersebut lambat atau
tidak efisien. Koagulasi dilakukan dengan menambahkan bahan kimia koagulan
ke dalam air limbah. Koagulan yang sering digunakan di lingkungan industri
antara lain larutan kapur Ca(OH)2; tawas (Al2(SO4)3. 18H2O; FeCl3; FeCl2; FeSO4.
7H2O dan lain-lain.
2.3.4 Oksidasi-Reduksi (Redoks)
Oksidasi adalah reaksi kimia yang akan meningkatkan bilangan valensi
materi yang bereaksi dengan melepaskan elektron. Reaksi oksidasi selalu diikuti
dengn reaksi reduksi.
bilangan valensi materi yang bereaksi dengan menerima elektron dari luar. Reaksi
kimia yang melibatkan kadua reaksi oksidasi dan reduksi ini dikenal dengan
reaksi redok.
Reaksi kimia Oksidasi-Reduksi dapat merubah bahan pencemar yang
bersifat racun menjadi tidak berbahaya atau menurunkan tinngkat/daya racunnya.
Contoh pengolahan limbah B3 dengan reaksi redoks:
1) Krom valensi enam (krom heksavalen) merupakan bahan kimia yang sangat
beracun, sehingga keberadaannya di dalam limbah harus ditangani dengan
sangat hati-hati. Untuk menurunkan tingkat racun dari krom heksavalen ini
Modul Ajar Pengolahan Limbah B3
30
31
fosfor, dan zat organik beracun dengan menambahkan bahan kimia tertentu yang
diperlukan. Beberapa proses yang digunakan dalam mengolah limbah B3 secara
kimia seperti: netralisasi, pengendapan, flokulasi-koagulasi dan juga oksidasireduksi.
2.7 Pertanyaan
1.
Jelaskan perbedaan antara pengolahan limbah secara fisika dan kimia!
2.
Sebutkan proses utama yang dilakukan secara fisika dalam pengolahan
3.
limbah B3
Jelaskan prinsip kerja dari proses pembersihan gas, pemisahan cairan dan
4.
padatan!
Jelaskan prinsip dari pengolahan secara netralisasi, koagualasi dan flokulasi
serta oksidasi-reduksi!
3.
32
unit.
Prinsip Netralisasi: Netralisasi dilakukan denan mencampur limbah yang
bersifat asam dengan limbah yang bersifat basa. Pencampuran dilakukan
dalam suatu bak equalisasi atau tangki netralisasi.
Prinsip Koagulasi dan Flokulasi: Koagulasi dilakukan dengan menambahkan
bahan kimia koagulan seperti Ca(OH)2, Al2(SO4)3.18H2O dll ke dalam air
limbah.
Prinsip dari oksidasi-reduksi: untuk menurunkan tingkat racun dalam limbah
dapat dilakukan dengan mereduksi racun menjadi limbah yang mempunyai
tingkat racun jauh lebih rendah. Contoh: sianida yang sangat beracun dapat
dioksidasi ke dalam bentuk sianat yang daya racunnya jauh lebih rendah.
Bobot Nilai
15
25
30
30
100
Skor
15
25
30
30
100
Berdasarkan skor nilai yang diperoleh dalam menyelesaikan soal pada latihan dan
tugas maka kemampuan mahasiwa dapat diukur berdasarkan kelompok nilai
sebagai berikut:
1
2
3
4
5
33
Penguasaan Materi
Penilaian
B
C
D
34
TOPIK III
PENGOLAHAN LIMBAH B3 SECARA INSENERASI
3.1 Pendahuluan
Dalam hal pengelolaan limbah padat, proses insinerasi atau pembakaran
adalah teknologi pengolahan limbah dengan cara mengurangi volume dan massa
limbah hingga sekitar 90 % (volume) dan 75% (berat). Sistem ini sebenarnya
bukan merupakan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena sistem
ini hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata menjadi bentuk
lain yang tidak kasat mata yaitu gas. Di sisi lain, pembakaran limbah merupakan
alternatif yang menarik dalam metode pengurangan limbah. Insenerator adalah
alat untuk membakar sampah padat.
35
Prasyarat Mahasiswa
Prasyarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa yang mengikuti
36
insinerator bagi limbah berbahaya adalah mengurangi sifat bahaya dari limbah itu
sendiri, misalnya dalam detoksifikasi. Oleh karenanya peranan temperatur serta
waktu tinggal yang akan sesuai akan memegang peranan penting dalam insinerator
limbah B3.
Pengolahan secara insenerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa B3
yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3.
Ukuran, disain dan spesifikasi insenerator yang digunakan disesuaikan dengan
karakteristik dan jumlah limbah yang akan diolah. Insenerator dilengkapi dengan
alat pencegah pencemar udara untuk memenuhi standar emisi.
Insenerator sudah banyak dipakai oleh industri, usaha pengolahan limbah
B3, rumah sakit, pengelola sampah kota serta sampah pasar. Abu dan asap dari
insenerator harus aman untuk dibuang ke lingkungan. Kualitas hasil buangan
(asap dan abu) banyak dipengaruhi oleh jenis dan karakteristik bahan yang
dibakar serta kinerja dari insenerator yang digunakan. Untuk mencapai kondisi
yang diinginkan, diperlukan suatu insenerator yang dapat bekerja dengan baik
yang dilengkapi dengan suatu sistem kotrol pengendalian proses pembakaran agar
dapat dipastikan bahwa semua bahan dapat terbakar pada titik optimum
pembakarannya dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian
teknologi insenerator yang akan digunakan harus dapat mengatasi semua
permasalahan dalam pembuangan dan pemusnahan limbah B3
Teknologi insinerasi merupakan cara pengolahan yang baik bagi materi
combustible yang mempunyai nilai kalor yang memadai untuk itu, misalnya limbah
hidrokarbon (cair dan padat). Limbah berbahaya yang patogen, seperti dari rumah
sakit sangat ampuh ditangani cara ini.
pemanfaatan panas yang ditimbulkannya. Kelemahan dari cara ini adalah modal
awal yang relatif tinggi dibanding cara lain. Disamping itu masalah pencemaran
udara yang dapat ditimbulkan, membutuhkan sarana yang baik dan cocok
menanggulanginya. Kontrol atau pengoperasian insinerator membutuhkan operator
yang terlatih secara baik. Operasi sebuah insinerator pengolah limbah berbahaya
adalah jauh lebih kompleks dibanding teknlogi lainnya, terutama dengan adanya
variasi komposisi limbah untuk mencapai efisiensi destruksi termal yang diinginkan.
Modul Ajar Pengolahan Limbah B3
37
Bila sebuah insinerator tidak dilengkapi dan difungsikan dengan baik, maka
akan menimbulkan dampak merugikan bagi kesehatan manusia misalnya dengan
timbulnya bau, partikulat, gas-gas berbahaya yang mungkin lembur.
Formasi
pencemaran udara yang potensial seperti HCL, CO, SO2, NO, logam berat dan abu
partikulat lainnya dapat menimbulkan dampak serius.
3.5 Proses Pembakaran Insenerasi
Proses insinerasi pada dasarnya adalah reaksi oksidasi cepat antara bahan
organik dengan oksigen. Jika proses ini berlangsung secara sempurna, komponen
utama penyusun bahan organik (H dan C) akan dikonversi menjadi gas karbon
dioksida dan uap air. Unsur-unsur penyusun limbah padat organik lainnya seperti
belerang (S), nitrogen (N) dioksidasi menjadi oksida-oksida dalam fasa gas (SOx,
NOx) sedangkan unsur inert lainnya tetap berada pada fasa padat atau teruapkan
dan terbawa oleh gas-gas produk insinerasi yang berpotensi menimbulkan
pencemaran. Untuk mengurangi pencemaran, insinerator dilengkapi dengan
sistem pengendalian polusi udara yang pada prinsipnya merupakan peralatan
untuk menangkap gas-gas pencemar produk insinerasi.
Pada prinsipnya limbah dapat dikategorikan menjadi tiga macam
berdasarkan kemampuan untuk dibakar yaitu: (i) limbah yang tidak dapat dibakar,
yaitu limbah dengan heating value di bawah 1700 kkal/kg; (ii) limbah yang dapat
dibakar dengan bantuan bahan bakar, yaitu limbah dengan heating value 17005000 kkal/kg, dan (iii) limbah yang dapat terbakar dengan sendirinya, yaitu
limbah dengan heating value di atas 5000 kkal/kg. Temperatur yang digunakan
untuk membakar limbah padatan tersebut dipengaruhi oleh kandungan atau
komposisi limbah tersebut.
Pembakaran bertemperatur tinggi (> 1200 0C) digunakan jika limbah
mengandung PCB, dioxin. Pembakaran dengan temperatur medium (1000
1200 0C) digunakan jika limbah itu mengandung senyawa-senyawa toksik.
Pembakaran dengan temperatur normal (700 1000 0C) digunakan jika limbah itu
tidak
mengandung
komponen
jika
PCB,
gas
yang
dioksin
atau
senyawa
dilepaskan
dari
insinerator
38
mengandung komponen komponen seperti Cl, Br, F dan S. Jika komponen limbah
mengandung (i) nitrogen (N), perlu penanganan NO X dari hasil pembakaran dan
(ii) logam berat, perlu pemisahan partikulat dalam gas buang.
Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Aspek penting
dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah.
Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses
pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang mungkin
diperoleh dari sistem insinerasi. Jika sistem insinerasi dilengkapi dengan peralatan
pengendali pencemaran udara, heating value akan menentukan volume fluida
pendingin yang diperlukan untuk melengkapi sistem agar gas-gas produk proses
insinerasi berada pada kondisi temperatur yang sesuai dengan spesifikasi peralatan
pengendali pencemaran.
3.6 Prinsip Kerja Insenerator
Proses insenerasi akan berlangsung melalui 3 tahapan, yaitu:
1. Tahapan pertama adalah membuat air dalam limbah B3
menjadi uap air, hasilnya limbah menjadi kering dan siap
terbakar.
2. Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak
sempurna, dimana temperatur belum terlalu tinggi.
3. Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna.
Ruang
39
40
dimasukkan di salah satu ujung dan dibakar pada ujung lainnya dengan waktu
tinggal tertentu. Putaran silinder bervariasi antara 3/4 sampai 4 rpm.
Kiln biasanya dipasang dengan kemiringan tertentu terhadap horisontal
dengan ujung yang lebih tinggi merupakan tempat masuk bahan dan ujung lainnya
tempat keluar abu. Sumber panas biasanya diperlukan untuk meningkatkan dan
mempertahankan suhu kiln hingga temperatur operasinya. Bahan bakar tambahan
biasanya diinjeksikan melalui burner konvensional atau suatu burner jenis cincin
jika bahan bakar tersebut berupa gas. Beberapa variasi desain kiln diantaranya,
adalah:
current dan co-current. Jika gas dan bahan yang diinsenerasi mengalir pada arah
yang sama kiln tersebut dinamakan paralel sedangkan jika arah aliran gas dan
bahan berlawanan kiln dinamakan counter current. Counter current biasanya
digunakan untuk mengolah aqueous waste atau setidaknya mempunyai kandungan
air sekitar 60% berat. Limbah diumpankan diakhiri tanur, jauh dari pembakaran.
Gas yang keluar dari kiln akan mengeringkan bahan basah yang masuk kiln dalam
arah berlawanan dengan aliran gas.
Limbah yang berisi fraksi volatil ringan (berisi minyak sebagai contohnya)
menggunakan kiln jenis co-current. Zat volatil ini akan diuapkan segera setelah
limbah diumpankan ke kiln. Pemakaian co-current kiln
memungkinkan
41
makin lama waktu tinggal maka dapat digunakan temperatur lebih rendah untuk
menghancurkan limbah tersebut.
Dalam operasi kiln model slugging, limbah dibakar dengan temperatur
tinggi
hingga
abu
sisa
pembakaran
berada
pada
kondisi
meleleh.
bersamaan
tersedia dalam berbagai macam jenis mekanisme pengumpan (ram
feeder, screw, injeksi langsung, dan lain-lain)
42
senyawa volatil
kondisi di sepanjang tanur (kiln) sulit dikontrol
jumlah udara berlebih (excess) yang dibutuhkan relatif besar yaitu sekitar
43
manfaat rabble tidak akan efektif. Jika kandungan padatan di atas 50 % berat,
maka lumpur bersifat sangat viscous dan cenderung untuk menutuprabble
teeth. Udara dipasok dari bagian bawah furnace dan naik melalui tungku demi
tungku dengan membawa produk pembakaran dan partikel abu.
Multiple-heart furnace terdiri dari tiga zona, yaitu: zona pengeringan, zona
pembakaran, dan zona pendinginan. Zona pengeringan terletak di bagian
atas furnace, gunanya memanaskan dan menguapkan air yang dikandung oleh
umpan sekaligus mendinginkan gas panas yang akan keluar dari furnace.
Zona pembakaran terletak dibagian tengah furnace. Limbah lumpur yang
memasuki zona ini dipanaskan sampai terbakar (temperatur pembakaran). Jika
lumpur terlalu kering (berisi lebih dari 25 %-berat padatan) atau kandungan
minyak
dalam
limbah
tinggi
maka
sebuah
afterburner
perlu
ditambahkan. Afterburner ini berguna untuk menjaga kalau ada senyawa volatil
yang
tidak
terbakar
yang
menyebabkan
asap
dan
bau
emisi.
Letak afterburner yang efektif adalah pada aliran sebelum gas keluar dari
insinerator.
Zona pendinginan terletak pada bagian bawah furnace, gunanya untuk
mendinginkan abu sisa pembakaran dengan cara memindahkan panas sensibelnya
pada udara pembakar yang diumpankan dari bawah furnace.
C. Fluidized Bed Incinerator (Insinerator Unggun Pancar)
Limbah yang dapat diolah Fluidized Bed Incinerator adalah cairan
organik, gas dan butiran atau padatan dari proses sumur minyak. Dalam tungku
unggun ini penghancuran limbah terjadi di mana bahan dalam keadaan
terfluidakan dan proses pembakaran terjadi pada temperatur sekitar 1400-2000 oF
(760-1100 oC). Di dalam tungku terdapat suatu media padat granular yang
berfungsi sebagai penyimpan panas biasanya, berupa pasir.
Fluidized bed incinerator (FBI) menggunakan forced draft fan untuk
menggerakkan unggun maupun untuk mengalirkan gas hasil insinerasi dalam
sistem. Limbah dimasukkan dari bagian samping insinerator sehingga proses
pengeringannya otomatis seketika. Kandungan air di flashkan menjadi steam
Modul Ajar Pengolahan Limbah B3
44
begitu memasuki unggun pasir. Unggun yang panas terfluidisasi membuat kontak
maksimum antara permukaan limbah dengan udara yang berarti memaksimumkan
efisiensi pembakaran. Pengumpanan bahan bakar digunakan start-up dan reheat,
bergantung pada nilai kalor bahan yang diinsinerasi, untuk mempertahankan
temperatur proses. Bahan yang digunakan sebagai unggun biasanya berupa pasir
silika tetapi dapat juga limestone, alumina atau bahan keramik. Unggun akan
mengembang sekitar 30-60% volume unggun pada keadaan dingin jika
difluidakan dengan laju udara 2-3 ft/detik.
Salah satu kelebihan sistem FBI adalah dimungkinkannnya penggunaan
limestone atau batu alkali lainnya dalam unggun yang dapat berguna juga sebagai
penangkap zat-zat halogen dan senyawa-senyawa lain sehingga dapat mengurangi
kandungan asam dalam gas buang. Untuk dapat diproses dengan FBI limbah harus
dibersihkan dari bahan-bahan kaca dan logam-logam dengan bertitik didih rendah
(aluminium) karena senyawa -senyawa ini walaupun dalam jumlah sedikit akan
menimbulkan slag pada unggun. Di samping itu, ukuran umpan harus tertentu dan
homogen. Udara diumpankan melalui fluidizing air inlet pada tekanan 3,5-5 psig.
Udara masuk ke wind boxkemudian ke tuyere plate dan ke unggun pasir. Udara ini
menciptakan derajat keturbulenan yang tinggi dalam unggun pasir sehingga
bagian atas pasir seperti fluida.
Abu hasil proses insinerasi ikut keluar bersama-sama dengan gas buang
yang selanjutnya dibersihkan di sistem scrubber abu. Pencampuran antara udara
dan bahan yang diinsinerasi dalam FBI cukup efektif sehingga kebutuhan akan
udara pembakar tidak terlampau besar, biasanya sekitar 40% di atas stoikiometri.
Suhu ruangan di atas unggun terfluidakan dipertahankan sekitar 1500F dan waktu
tinggal bahan di dalam ruangan ini biasanya cukup untuk mencapai pembakaran
sempurna.
D. Open Pit Insinerator
Insinerator jenis ini dikembangkan untuk mengendalikan insinerasi bahanbahan eksplosif, yaitu yang menimbulkan bahaya ledakan atau pelepasan panas
yang tinggi pada insinerator tertutup biasa. Udara pembakar disemprotkan ke
Modul Ajar Pengolahan Limbah B3
45
dalam ruang bakar dari atas insinerator dengan kecepatan tinggi sehingga
menciptak an turbulensi. Temperatur pembakaran mencapai 2000F dan
menghasilkan gas dengan emisi partikulat yang rendah.
E. Single Chamber Incinerators
Limbah padat pada sistem ini diletakkan di atas grid kemudian dibakar.
Sistem ini dapat dilengkapi peralatan penyalaan atau tidak. Pada sistem ini upaya
mengendalikan emisi dilakukan dengan menambahkan after-burner dan damper,
keduanya dimaksudkan untuk mengendalikan proses pembakaran. Sebagian besar
emisi disebabkan oleh proses pembakaran yang tidak sempurna.
F. Multiple Chamber Incinerators
Dalam upaya untuk mencapai pembakaran bahan secara sempurna dan
mengurangi partikulat yang terbawa gas buang, insinerator dengan banyak ruang
bakar telah dikembangkan. Ruang bakar utama digunakan untuk membakar
padatan. Ruang bakar kedua memperpanjang waktu tinggal produk gas yang tidak
terbakar dan merupakan tempat masuk bahan bakar tambahan guna pembakaran
produk gas yang belum terbakar dan padatan-padatan yang terbawa aliran gas
buang yang keluar dari ruang bakar utama. Pada insinerator jenis ini, baffle-baffle
didisain untuk mengarahkan aliran gas hingga membuat belokan 90o dalam arah
horisontal maupun vertikal sehingga memungkinkan terjadinya pengendapan
padatan yang terbawa aliran gas. Pada jenis in-line insinerator arah belokan gas
hanya vertikal. Jenis in biasanya dilengkapi dengan sistem pengeluaran abu
otomatis atau konveyor pembuang debu dan beroperasi secara kontinu.
G. Aqueous Waste Injection
Aqueous Waste injection terdiri dari sebuah nozel yang berguna untuk
mengatomisasi limbah yang akan dibakar, dan alat penunjang lainnya. Jenis-jenis
nozel: mechanical atomizing nozzles, rotary cap burners, external low-pressure
air atomizing burner, external high-pressure two-flow burner, internal mix
nozzles, dan sonic nozzles.Limbah yang dapat diolah dengan sistem ini adalah
limbah cair dan lumpur yang dapat dipompa. Temperatur pembakaran antara
Modul Ajar Pengolahan Limbah B3
46
merupakan cara pengolahan yang baik bagi materi combustible yang mempunyai
nilai kalor yang memadai untuk itu, misalnya limbah hidrokarbon (cair dan
padat).
Modul Ajar Pengolahan Limbah B3
47
melalui cerobong setelah melalui sarana pengolah pencemar udara yang sesuai.
Prinsip kerja insenerator adalah adalah membuat air dalam limbah B3 menjadi uap
air, hasilnya limbah menjadi kering dan siap terbakar. Selanjutnya terjadi
proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana temperatur belum
terlalu tinggi. Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna. Ruang bakar
pertama digunakan sebagai pembakar limbah, suhu dikendalikan antara 400 C 600 C. Ruang bakar kedua digunakan sebagai pembakar asap dan bau dengan
suhu antara antara 600 C ~ 1200 Suplay oksigen dari udara luar ditambahkan
agar terjadi oksidasi sehingga materi-materi limbah akan teroksidasi dan
menjadi mudah terbakar, dengan terjadi proses pembakaran yang sempurna,
prinsip pembakaran.
Jenis-jenis insenerator: rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single
48
Bobot Nilai
20
25
15
15
25
100
Skor
20
25
15
15
25
100
Berdasarkan skor nilai yang diperoleh dalam menyelesaikan soal pada latihan
maka kemampuan mahasiwa dapat diukur berdasarkan kelompok nilai sebagai
berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Penguasaan Materi
1.
2.
3.
4.
5.
proses insenerasi
Proses pembakaran insenerasi
Prinsip kerja insenerator
Jenis-jenis insenerator
Penilaian
B
C
D
49
Skala Nilai:
A = Amat Baik
B = BaiK
C = Cukup
D = Kurang
E = Tidak ada
TOPIK IV
PENGOLAHAN LIMBAH B3 DENGAN CARA
STABILISASI/SOLIDIFIKASI DAN LANDFILLING
4.1 Pendahuluan
Setelah limbah B3 melewati beberapa proses pengolahan baik itu fisika,
kimia, ataupun insenerasi yang disesuaikan dengan jenis limbahnya, maka
diperlukan pengolahan akhir seperti stabilisasi/solidifikasi dan landfilling.
Pengolahan secara stabilisasi/solidifikasi bertujuan untuk mengubah sifat fisik dan
kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan senyawa pengikat (aditif) B3 agar
pergerakan senyawa B3 ini terhambat atau terbatasi dan membentuk massa
monolit dengan struktur yang kekas (massive). Sedangkan landfilling merupakan
proses penimbunan akhir limbah B3 yang sudah dihilangkan kadar racunnya pada
proses sebelumnya pada suatu lahan urug. Pada bab ini akan dibahas secara
singkat mekanisme dari proses stabilisasi/solidifikasi dan landfilling.
4.2 Tujuan Khusus Topik
Modul Ajar Pengolahan Limbah B3
50
51
sulfat
tinggi
(> 1500
mg/kg)
digunakan
portland
tipe
dengan
menggunakan
kapur
(CaOH2),
biasanya
berhubungan dengan reaksi antara kapur dengan bahan pozzolan. Pozzolan adalah
bahan yang jika bereaksi dengan kapur dan air dapat membentuk material yang
Modul Ajar Pengolahan Limbah B3
52
menyerupai semen. Termasuk bahan pozzolan ini adalah fly ash, debu kiln semen,
dll. Penggunaan kapur dapat menaikkan pH limbah yang bersifat asam, sehingga
dapat membantu proses stabilisasi. Selain itu pemakaian fly ash juga memberikan
keuntungan, karena bahan ini sering memiliki karbon yang tidak terbakar yang
dapat menyerap senyawa organik dari limbah. Proses solidifikasi dilakukan
dengan cara mencampur kapur, bahan pozzolan, dan air, dengan limbah. Pada
proses ini diperoleh massa yang menyerupai tanah dengan kelarutan bahan
pencemar yang lebih rendah.
Proses Termoplastik
Bahan termoplastik yang digunakan berupa aspal, bitumen, parafin, polyethylene,
dll. Di antara bahan-bahan tersebut yang paling umum digunakan adalah aspal.
Keunggulan proses termoplastik ini adalah tingkat kelarutan bahan pencemar
lebih kecil dibanding proses lainnya. Proses menggunakan aspal, dilakukan
dengan cara mencampurkan limbah dengan aspal yang telah dipanaskan hingga
suhu antara 130-230 oC
4.6 Mekanisme Proses Stabilisasi/Solidifikasi
Proses stabilisasi/solidifikasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi
menjadi 6 golongan yaitu:
1. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah
dibungkus dalam matriks struktur yang besar.
2. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation, tetapi
bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat
mikroskopik.
3. Precipitation.
4. Adsorpsi, yaitu proses di mana bahan pencemar diikat secara elektrokimia
pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi. Logam berat yang terlarut
dalam limbah dapat dipisahkan dengan cara mengubah sifatnya sehingga
kelarutannya menjadi lebih kecil, proses ini yang dikenal dengan presipitasi.
5. Absorpsi, adalah solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapnya ke bahan
padat.
6. Detoxification, yaitu proses yang mengubah suatu senyawa beracun menjadi
senyawa lain yang tingkat racunnya lebih rendah atau hilang sama sekali.
Modul Ajar Pengolahan Limbah B3
53
54
55
dahulu
dengan
cara
stabilisasi/solidifikasi
untuk
mengurangi
56
meminimisasi penyumbatan.
Vegetative layer adalah lapisan tanah setempat dengan ketebalan 60 cm yang
ditempatkan diatas cap drainege layer.
Vegetation adalah lapisan penutup landfill
57
58
kapur
biasanya
Bobot Nilai
20
Skor
20
59
2
3
4
5
Total Nilai
20
20
20
20
100
20
20
20
20
100
Berdasarkan skor nilai yang diperoleh dalam menyelesaikan soal pada latihan dan
tugas maka kemampuan mahasiwa dapat diukur berdasarkan kelompok nilai
sebagai berikut:
1 Jika nilai = 100 (sangat baik)
2 Jika nilai = 80 (baik)
3 Jika nilai = 60 (kurang baik)
4. Jika nilai = 40 (tidak baik)
5. Jika nilai = 20 (sangat tidak baik)
2 Jika nilai = 0 ( sangat tidak memahami dan mengerti materi)
4.15
Penguasaan Materi
1.
2.
3.
Definisi stabilisasi/solidifikasi
Mekanisme proses stabilisasi/solidifikasi
Senyawa
pengikat
proses
4.
5.
stabilisasi/solidifikasi
Definisi landfilling
Sistem pelapisan landfilling
Penilaian
B
C
D
Skala Nilai:
A = Amat Baik
B = BaiK
C = Cukup
D = Kurang
E = Tidak ada
60
DAFTAR PUSTAKA
Damanhuri, E. : Diktat kuliah pengelolaan limbah B3 TL-3204 Edisi Semeter
II 2009/2010,Teknik Lingkungan ITB
Kep.Bapedal 01/Bapedal/09/1995: tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis
Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3
Kep.Bapedal 03/Bapedal/09/1995: tentang Persyaratan Teknis Pengolahan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Peraturan Pemerintah Nomor 18/1999: Pengelolaan Limbah B3
Wentz, C.A.: Hazardous waste management, McGraw-Hill Book, 1989
61
TAKARIR
Anaerobik Digestion: proses degradasi senyawa organik dalam lumpur secara
anaerobik sehingga 50% senyawa organik dalam lumpur dapat diubah menjadi
gas bio yang tersusun dari CH4 dan CO2.
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3): Bahan yang karena sifat dan atau
konsentrasinyadan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat
mencemarkan
dan/atau
merusakkan
lingkungan
hidup
dan/atau
62
63
64
65