Anda di halaman 1dari 91

BAB I

PENGOLAHAN LIMBAH B3

OLEH :

1. ANBIYATIN SAUDAH ( 0130640025 )


2. RICHARD STEVEN THENU ( 0130640210 )
3. RYAN ARNOLDY KAYADU ( 0130640219 )
4. YULIUS TENOUYE ( 0130640262 )
LATAR BELAKANG

Masalah limbah menjadi perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah Indonesia akibat
perkembangan industri yang merupakan tulang punggung peningkatan perekonomian Indonesia.
Keanekaragaman jenis limbah akan tergantung pada aktivitas industri serta penghasil limbah
lainnya.
Limbah industri terbagi menjadi 2 golongan, yaitu :

1. Hazardous Waste
- Aktivitas pertanian (penggunaan pestisida)
- Kegiatan enersi (seperti limbah radioaktif PLTN)
- Kegiatan kesehatan (limbah infectious & rumah sakit)
- Kegiatan rumah tangga (penggunnaan baterai merkuri)

2. Non-hazardous Waste ( Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun / B3 )


Limbah ini tidak memerlukan penanganan seketat limbah hazardous, walaupun limbah tersebut
berasal dari industri. Sesuai dengan PP 18/99 jo PP 85/99.
PERKEMBANGAN INDUSTRI

Sektor industri telah mengakibatkan beban pencemaran melalui peningkatan kuantitas


cemaran dalam jangka waktu pendek dan menengah. Pelepasan bahan berbahaya pada tahun 1990-
an di Indonesia, Filipina dan Thailand diperkirakan telah meningkat menjadi 10x lipat.

Pada permulaan tahun 1970-an, lebih dari 85% hasil industri indonesia berasal dari kegiatan
industri yang berlokasi di pulau Jawa. Sekitar 55% dari pusat-pusat industri di pulau Jawa berlokasi
didaerah perkotaan, yang kemudian naik menjadi 60% pada tahun 1990-an.

Menurut World Bank, ada 3 pola pertumbuhan industri yang perlu diperhatikan, yaitu :
Kecepatan pertumbuhan sektor industri
Distribusi spasial yang belum merata
Pergeseran jenis industri
PENCEMARAN
Bank Dunia melaporkan bahwa intensitas penemaran dari limbah berbahaya ternyata cenderung
meningkat sejak 1970, yang ditandai dengan meningkatnya cemaran-cemaran toksik dan logam-logam
bioakumulatif.

Berikut merupakan contoh kasus pencemaran :


1. Kasus Minamata
Kasus ini sangat terkenal di dunia yaitu terkait masalah industri, limbah dan kesehatan masyarakat, yang
terungkap setelah sekitar 600 ton merkuri, yang digunakan sebagai katalis dalam proses sebuah industri
pupuk kimia di Minamata dibuang secara bertahap selama 45 tahun sejak 1932.
Tahun 1976 120 penduduk Minamata meninggal karena keracunan merkuri dan 800 orang menderita sakit.
Tahun 1978 ditemukan bahwa 1500 penduduk yang diperiksa ternyata keracunan merkuri.

2. Kasus Love Canal


Pengurugan limbah kimia berbahaya di Love Canal dimulai tahun 1930-an, sesuai peraturan yang berlaku
pada saat itu. Sampai tahun 1947 daerah tersebut menjadi lahan pengurugan beragam jenis limbah terutama
dari industri sampai tahun 1952. daerah tersebut kemudian dijadikan pemukiman penduduk. Dampak
negatif limbah yang diurug mulai munncul pada 1958 dan berlanjut sampai tahun 1976, dengan munculnya
kasus-kasus dipermukiman tersebut.
PENGARUH PADA KESEHATAN

Dari karakteristik limbah B3, terlihat bahwa pengaruhnya pada kesehatan dan keselamatan
manusia dapat dikelompokkan sebagai berikut :

Dapat mencelakakan manusia secara langsung dan bersifat segera bila terpapar : sifat
mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaksi dan korosif.

Dapat beracun (toksik) bagi manusia, baik dalam jangka pendek (akut) maupun dalam
jangka panjang (kronis).

Dapat menimbulkan penyakit (menyebabkan infeksi), berasal dari kegiatan medis (rumah
sakit).

Dari penggolongan tersebut, maka kelompok yang bersifat toksik, khususnya yang bersifat
kronis yang perlu mendapatkan perhatian, karena pengaruhnya tidak langsung atau tidak
nampak setelah terpapar.
EKSPORT LIMBAH BERBAHAYA DARI NEGARA INDUSTRI

Eksport limbah B3 dan pembuangannya dari negara maju ke negara berkembang


terus meningkat, antara lain disebabkan oleh :
Negara-negara maju telah menerapkan berbagai peraturan untuk menanggapi
pencemaran dengan lebih ketat.
Akibat ketatnya peraturan, biaya pengolahan limbah menjadi meningkat dan dalam
banyak hal akan lebih murah bila dikirim ke negara lain (negara berkembang).
Keuntungan devisa negara dari eksport limbah juga akan berperan.
Meningkatnya dorongan untuk mendaur ulang limbah.

Dalam hal masalah lintas batas limbah ini, indonesia telah meratifikasi Konversi
Basel, yang akan berupaya mengatur eksporr dan impor serta pembuangan limbah B3
secara tidak sah melalui Keputusan Presiden RI No.61/1993 tentang pegesahan Convension
on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal.
BAB II
PERATURAN PENGOLAHAN LIMBAH B3
PENDAHULUAN

Pada dasarnya pengelolaan limbah B3 di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip dan pedoman
pembangunan berkelanjutan yang telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan,
khusunya Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Secara spesifik pengelolaan limbah B3 diatur dalam :
Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun.
Peraturan Pemerintah No.85 Tahun 1999 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No.18 tahun
1999, sebagai pengganti PP 19/1994 juncto PP 12/1995.

Beberapa baku mutu yang mengatur besaran limbah B3 terdapat dalam peraturan tersebut, yaitu :
Lampiran II PP 85/1999
Tabel 2 Kep-03/Bapedal/09/95
Tabel 3 Kep-03/Bapedal/09/95
Tabel 4 Kep-03/Bapedal/09/95
Tabel 2 Kep-04/Bapedal/09/95
PERATURAN IMPOR-EKSPOR LIMBAH B3

Sebagai negara kepulauan dengan perairannya yang terbuka, Indonesia sangat potensial
sebagai tempat pembuangan limbah berbahaya, baik antar pulau di Indonesia, maupun limbah
yang datang dari luar negeri.

Peraturan-peraturan yang langsung menangani lintas limbah adalah sebagai berikut :


Keputusan Presiden RI No.61/1993 tentang Pengesahan Convension on The Control of
Transboundary Movements of Haazardous Wastes and Their Disposal
Keputusan Menteri Perdagangan RI No.349/kp/XI/92 tentang pelanggaran impor limbah B3
dan plastik
Keputusan Menteri Perdagangan RI No.155/kp/VII/95 tentang barang yang diatur tata niaga
impornya
Keputusan Menteri Perdagangan RI No.156/kp/VII/95 tentang prosedur impor limbah
PP 18/1999 jo PP 85/1995 melarang impor limbah B3 kecuali dibutuhkan untuk penambahan
keekurangan bahan baku sebagai bagian pelaksanaan daur ulang limbah
SK Menteri Perdagangan No. 156/kp/VII/95, satu-satunya limbah B3 yang yang dapat diimpor
adalah skrap timah hitam (aki bekas)
Beberapa peraturan yang secara langsung akan mempengaruhi kuaalitas dan kuantitas limbah B3
dan mengatur bahan berbahaya, antara lain :
PP No.7/1973 tentang pengawasan atas peredaran, penyimpanan dan penggunaan Pestisida
Peraturan Menteri Kesehatan No.453/Menkes/Per/XI/1983 tentang bahan berbahaya
Keputusan Menteri Perindustrian RI No.148/M/SK/4/1985 tentang pengamanan bahan beracun
dan berbahaya di lingkungan inndustri
Keputusan Meenteri Pertanian No.724/Kpts/TP.270/9/1984 tentang larangan penggunaan
Pestisida EDB
Keputusan Menteri Pertanian No.536/Kpts/Tp.270/7/1985 tentang pengawasan pestisida
PP 11/1975 : keselamatan kerja terhadap radiasi
PP 12/1975 : izin pemakaian zat radioaktif atau sumber radiasi
PP 13/1975 : pengangkutan zat radioaktif
SISTEM PENGELOLAAN LIMBAH B3

Pengelolaan limbah B3 menurut PP 18/1999 jo PP 85/1999 merupakan suatu rangkaian kegiatan


dari mulai upaya reduksi limbah yang akan terbentuk sampai terbentuknya limbah oleh penghasil.

Badan yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi pengelolaan limbah B3 tersebut


di Indonesia adalah badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal).

perjalan limbah dalam rantai pengelolaan wajib disertai dokumen. Dokumen limbah akan
memegang peranan penting dalam pemantauan perjalanan limbah B3 dari penghasil sampai ke
pengolah limbah, dokumen dibuat dalam 7 rangkap :
Lembar 1, disimpan pengangkut dan ditandatangani oleh penghasil (pengirim)
Lembar 2, dikirimkan kepada Bapedal setelah ditandatangani oleh pengangkut
Lembar 3, disimpan oleh penghasil atau pengumpul setelah ditandatangani oleh pengangkut
Lembar 4, diserahkan pengangkut kepada pengumpul atau pengolah
Lembar 5, dikirimkan kepada bapedal oleh pengumpul atau pengolah
Lembar 6, dikirimkan kepada Bupati/Walikota setelah ditandatangani oleh penerima
Lembar 7, dikirimkan kembali oleh pengolah limbah kepada penghasil.
PENGHASIL LIMBAH B3

Penghasil limbah B3 wajib melakukan reduksi, mengelolah atau menimbun limbah


B3 yang dihasilkannya serta memanfaatkan atau menyerahkan pemanfaatannya
kepada pemanfaat limbah B3.
Berikut merupakan kewajiban penghasil limbah adalah mendata limbahnya
secara baik, yang mencakup :
- Jenis
- Jumlah dan waktu
- Karakteristik
- Nama pengangkut yang melakukan pengiriman

Dengan adanya PP 18/1999 jo PP 85/1999, maka setiap penghasil limbah B3


(tanpa terkecuali) dilarang membuang limbahnya secara langsung kedalam air,
tanaha atau udara dan wajib mengelolanya sesuai dengan aturan yang ada.
Kewajiban-kewajiban penghasil limbah B3 lainnya adalah :

Membuat dan menyimpan catatan tentang jenis, karakteristik, jumlah dan waktu yang dihasilkan
serta waktu penyerahan limbah tersebut, berikut nama pengangkutnya. Catatan tersebut wajib
disampaikan sekurang-kurangnya sekali dalam 6 bulan kepada instansi yang bertanggung jawab
dengan tembusan kepada pimpinan instansi terkait Bupati/Walikota.

Memberi label pada kemasan limbah B3 yang menunjukkan karakter dan jenis limbah, sesuai
dengan yang telah dditetapkan oleh Bapedal.

Membantu peetugas pengawas, dalam melakukan pengawasan.

Memiliki sistem tanggap darurat dan melaksanakannya bila terjadi keadaan darurat.
PENYIMPANAN LIMBAH B3

Penghasil limbah B3 dapat menyimpan limbahnya paling lama 90 hari sejak


dihasilkan, sebelum diserahkan ke Badan Usaha yang lain. Bila timbulan limbah
kurang dari 50 kg/hari, penghasil dapat menyimpan limbahnya lebih dari 90 hari
dengan persetujuan Kepala instansi yang bertanggung jawab. Pemanfaatan limbah B3
dapat menyimpan limbahnya sebelum dimanfaatkan paling lama 90 hari.

Sasaran penyimpanannya yaitu :


Mengamankan limbah sebelum ditangani lebih lanjut
Mengakumulasikan limbah sejenis menunggu waktu yang tepat untuk pengolahan
Memungkinkan penyiapan limbah seperti pencampuran dengan bahan tertentu
Memungkinkan adanya waktu kontak limbah dengan bahan kimia tertentu

Sementara limbah disimpan menunggu pengolahannya, maka rencana


pengolahhan disiapkan, seperti penyiapan cara pengolahan, penentuan beban yang
digunakan pada unit pengolah dan sebagainya.
PENGEMASAN LIMBAH

Pengemasan limbah dilakukan oleh :


Penghasil untuk disimpan sementara dalam lokasi penghasil
Pengumpul untuk disimpan sementara sebelum diolah atau ditangani lebih lanjut
Pengolah sebelum diolah atau di urug lebih lanjut

Persyaratan umum pengemasan menurut Kep/01/Bapedal/09/1995 adalah :


Tidak rusak dan bebas dari karat
Bentuk dan ukuran disesuaikan dengan karakter limbahnya, dengan pertimbangan segi
kemudahan dan keamanan
Terbuat dari bahan plastik (HDPE,PP atau PVC) atau bahan logam (teplon,baja karbon)
dengan syarat tidak bereaksi dengan limbahnya
Limbah yang tidak saling cocok, atau limbah dan bahan yang tidak saling cocok dilarang
disimpan secara bersama-sama
Kemasan yang telah berisi limbah, perlu diberi penandaan sesuai aturan yang berlaku,
kemudian disimpan sesuai syarat penyimpanan limbah B3
DOKUMEN
Kep-02/Bapedal/09/1995 mengtur hal-hal yang berkaitan dengan dokumen
limbah B3. setiap pengangkutan limbah B3 harus disertai dengan dokumen, guna
mengikuti perjalanan limbah tersebut seperti yang diinginkan oleh konsep cradle-
to-grave. Penghasil limbah akan menerima kembali dokumen limbah dari
pengumpul atau pengolah selambat-lambatnya 120hari sejak limbah diangkut.

Dokumen pengangkutan tersebut pada intinya berisi informasi antara lain tentang:
Nama bahan yang dikirim (shipping name)
Kelas bahaya dari bahan tersebut (Hazard class)
Nomor identifikasi (Identification number)
Kelompok kemasan (packing group)
Kuantitas (berat, volume dan sebagainya)

Secara internasional terdapat nomor identifikasi bahan berbahaya,


misalkan nomor berdasarkan kode UN (United Nation) yang kemudian diikuti oleh
4 digit angka, yang secara cepat akan dapat memberikan informasi apabila terjadi
kecelakaan.
SIMBOL & LABEL
Pengemasan, penyimpanan, pengumpulan dan pengangkutan limbah B3 harus dilakukan
dengan cara yang aman bagi pekerja, masyarakat dan lingkungan. Salah satu faktor penting adalah
penandaan dengan simbol dan label pada tempat penyimpanan atau setiap kemasan atau kendaraan
pengangkut limbah B3.

Kep-05/Bapedal/009/1995 mengatur tentang simbol dan label, yaitu mengacu pada pengaturan
bahan berbahaya yang diatur secara internasional, kemudian diterapkan untuk limbah berbahaya,
sehingga memudahkan dalam pemahamannya, misalnya dalam bentuk, warna, lambang dan
penomoran.

Simbol berbentuk busur sangkar diputar 45 sehingga membentuk belah ketupat, dengan
gambar spesifik. Menurut Bapedal terdapat 8 jenis simbol yaitu :
Limbah mudah meledak
Limbah cair mudah terbakar
Limbah padat mudah terbakar
Limbah reaktif
Limbah beracun
Limbah korosif
Limbah penimbul infeksi
Limbah klasifikasi campuran
PENGUMPULAN & PENGANGKUTAN LIMBAH

Rantai berikutnya dalam pengelolaan ini adalah pengumpulan limbah. Menurut PP No.18 tahun
1999, Badan Usaha yang melakukan pengumpulan diwajibkan membuat catatan/laporan tentang jenis,
karakteristik dan waktu diterimanya limbah dari penghasil, serta waktu diserahkannya limbah kerantai
berikutnya. Nama Badan Usaha pengangkut juga perlu dilaporkan. Pengumpul wajib melaporkan catatan
tersebut setiap 6 bulan kepada instasi yang berwenang, dengan tembusan ke Walikota/Bupati.

Persyaratan pengumpulan limbah B3, antara lain :


Mempunyai laaboratorium untuk karakterisasi limbah B3
Mempunyai lokasi minimal 1Ha, dengan persyaratan bebas banjir, secara geologi dinyatakan stabil, jauh
dari sumber air, pemukiman dan fasilitas umum lainnya
Mempunyai fasilitas penanggulangan kecelakaan.

Pengangkutan limbah B3 dapat dilakukan oleh Badan Usaha dan dapat pula dilakukan oleh
penghasil sendiri. Setiap pengangkutan limbah harus disertai dokumen limbah B3. Alat angkut yang
digunakan harus sesuai dengan peraturan tentang angkutan yang ada, yaitu :
--Perkereta-apian (UU No.13 tahun 1992)
-- Penerbangan (UU No.15 tahun 1992)
--Angkutan darat (UU no.14 tahun 1992)
-- Pelayaran (UU No.21 tahun 1992)
PENGOLAHAN & PENGURUG

Seperti halnya pemanfaatan limbah, maka pengolah dan pengurug limbah B3 adalah
Badan Usaha yang mengoperasikan sarana pengolahan, termasuk penimbunan akhir hasil
pengolahannya. Kewajiban pengolah limbah antara lain :
Membuat/melakukan Amdal
Mempunyai dan menjalankan fasilitas pengolahan dan penimbunan sesuai dengan
ketentuan
Memiliki sistem tanggap darurat bila terjadi kecelakaan
Kep-03/Bapedal/09/1995 mengatur persyaratan teknis pengolahan limbah B3, antara lain
tentang lokasi pengolahan, fasilitas pengolahan, penanganan limbah sebelum diolah dan
setelah diolah (residu)
Persyaratan teknis lain yang meliputi pengolahan secara fisika dan kimia,
stabilisasi/solidifikasi dan insinerasi.

Kep-04/Bapedal/09/1995 mengatur tata cara menimbunan, yaitu wajib mempunyai


catatan dan menyampaikan laporan mengenai pengolahan dan pengurugan limbahnya serta
hasil pemantauan baku mutu limbah yang dilakukan sekurang-kurangnya 6bulan sekali
kepada instansi terkait dengan tembusan kepada Bupati/Walikota.
IZIN PENGELOLAAN

Kep-68/Bapedal/05/1994 mengatur tentang tata cara memperoleh izin penyimpanan,


pengumpulan, pengoperasian alat pengolahan dan pengurugan limbah B3.

Beberapa informasi penting dalam pengajuan izin usaha adaha :


Keterangan tentang permohonan, seperti nama pemohon/perusahaan + alamat, bidang usaha,
izin-izin yang dibutuhkan seperti izin lokasi, IMB, HO dan Amdal
Keterangan tentang lokasi, seperti luas sarana/prasarana serta letak administratif
Keterangan tentang pengelolaan yang diajukan seperti :
- Jenis pengelolaan (penyimpanan, pengumpulan, pengolahan/penimbunan)
- Spesifikasi pengelolaan dan peralatan yang digunakan
- Jumlah, karakteristik limbah yang akan ditangani
- Tata letak sarana pengelolaan limbah B3
- Alat pencegahan pencemaran limbah cair dan emisi gas
- Bahan baku proses kegiatan
- Perlengkapan sistem tanggap darurat
Lampiran-lampiran dokumen pembuktian
PEMANFAATAN LIMBAH B3
Pemanfaatan limbah B3 diatur dalam Permen Lingkungan Hidup No.2/2008.
pemanfaatan limbah B3 adalah kegiatan penggunaan kembali (reuse) / daur ulang (recyle) /
perolehan kembali (recovery) yang bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi suatu produk
yang dapat dipergunakan dan harus aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

Pemanfaatan limbah B3 meliputi kegiatan :


Pemanfaatan limbah B3 sebagai substitusi bahan
Pemanfaatan limbah B3 sebagai substitusi bahan bakar
Pemanfaatan limbah B3 jenis lainnya setelah melalui penelitian dan kajian yang
memperhatikan aspek-aspek lingkungan

Pemanfaatan limbah B3 dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan
pemanfaatan limbah B3 :
Badan usaha yang melaksanakan pemanfaatan limbah B3 dapat berupa pemanfaatan limbah
B3 sebagai kegiatan utama dan bukan sebagai kegiatan utama
Sebagai kegiatan utama dapat menerima limbah B3 langsung dari penghasil atau pengumpul
Bukan sebagai kegiatan utama hanya dapat menerima langsung dari penghasil limbah B3
yang komponennya konsisten
Limbah B3 diluar point ke-3 dapat diterima oleh pemanfaat bukan sebagai kegiatan utama
wajib melalui pengumpul untuk memastikan pemenuhan persyaratan teknis
Beberapa hal yang penting dalam pemanfaatan limbah B3 :
Pemanfaatan limbah sebagai substitusi bahan, salah satu total komponennya berfungsi
sebagai bahan dan memenuhi persyaratan teknis untuk dilakukan recycle atau recovery
Jenis limbah B3 dan kadar pencemar dalam limbah B3 yang dimanfaatkan ditentukan
dalam persyaratan izin
Produk pemanfaatan limbah B3 sebagai produk akhir harus memenuhi SNI atau
standar lain yang setara
Produk pemanfaatan limbah B3 sebagai produk harus memenuhi standar industri
pengolah atau pemaanfaatan berikutnya
Sisa limbah hasil pemanfaatan limbah B3 (residu) yang tidak dapat dimanfaatkan dan
dikelola sesuai dengan peraturan pengelolaan limbah B3.

Pemanfaatan limbah B3 sebagai substitusi bahan bakar harus memenuhi kriteria :


Kandungan kalori sama atau lebih besar dari dari 2500 kkal/kg
Kadar aair sama atau lebih kecil dari 15%
Tidak mengandung senyawa terhalogenasi
Jenis limbah B3 dan kadar pencemar dalam limbah B3 yang dimanfaatkan ditentukan
dalam persyaratan izin
Emisi udara pemanfaatan limbah B3 sesuai dengan emisi udara pengolahan limbah B3
Sebelum dilakukan pemanfaatan limbah B3 sebagai substitusi bahan bakar harus
dilakukan uji coba pembakaran limbah B3
Pengumpul limbah B3 memiliki fungsi untuk mengumpul, memilah dan melakukan
pre-treatment (pengolahan awal) limbah B3, sehingga memenuhi persyaratan teknis untuk
dimanfaatkan.

Persyaratan pengumpul limbah B3, antara lain :


Memiliki sarana dan prasarana pre-treatment
Memiliki sarana dan prasarana laboratorium

Penghasil atau pengumpul yang melakukan kegiatan pemanfaatan limbah B3 wajib :


Memiliki catatan penerimaan, penyimpanan, pemanfaatan dan pengolahan limbah B3
lainnya
Memiliki rencana limbah B3
Melaporkan kegiatan pemanfaatan dan neraca limbah B3 paling sedikit 1 kali dalam 6
bulan kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota
BAB III
IDENTIFIKASI & KARAKTERISASI LIMBAH B3
Proses awal pengelolaan limbah B3 adalah mengidentifikasi
limbah yang tergolong sebagai berbahaya dan beracun. Seperti telah
dibahas dalam topik sebelumnya, begitu sebuah limbah berkategori
limbah B3, maka limbah tersebut penanganannya harus mengikuti
peraturan yang ada, yaitu menganut konsep cradle-to-grave.

Tata cara identifikasi limbah B3 yang diatur oleh PP No. 18/1999


jo PP No. 85/1999 dapat dikatakan mirip dengan tata cara yang dianut
oleh Amerika Serikat, yaitu yang diatur dalam Resources Conservation
Recovery Act (RCRA).
KLASIFIKASI BAHAN KIMIA BERBAHAYA
Selain karakter akibat penyait infeksi, maka sumber limbah B3
versi PP No.18/1999 sebetulnya adalah berasal dari bahan kimia. Secara
tradisional, terdapat 7 kelas bahan kimia berbahaya, yaitu :
Bahan yang mudah terbakar (flammable material)
Material yang spontan terbakar (spontaneously ignitable)
Peledak (explosive)
Pengoksidasi (oxidizer)
Bahan korosif
Bahan toksik
Bahan radioaktif

Dari beberapa liberatur, terdapat beberapa karakteristik yang


mendefenisikan sebuah limbah menjadi berbahaya, yaitu seperti bersifat
radioaktif, mudah terbakar, dapat menyala dengan sendirinya, reaktid
terhadap air, dapat meledak, menimbulkan gas berbahaya, pengoksidasi,
dapat mengkorosi, bersifat biokumulatif, karsinogen (menimbulkan
kanker), menimbulkan iritasi, mempunyai sifat mutagen, menimbulkan
infeksi, bersifat toksik akut, bersifat toksik kronis,dsb.
KARAKTERISASI LIMBAH B3
Untuk menentukan apakah limbahnya termasuk limbah B3 yang diatur oleh PP
18/99 jo PP 85/99, maka terdapat 4 langkag utama yang perlu dilakukan oleh penghasil, yaitu :
Langkah 1 : mencocokkan jenis limbahnya dengan daftar dalam tabel-tabel lampiran I
PP tersebut. Apabila terdapat dalam daftar/cocok dengan daftar
lampiran limbahnya termasuk limbah B3 versi PP 18/99
jo PP 85/99
Langkah 2 : bila tidak cocok, tidak berarti bahwa limbah tersebut bukan limbah B3.
tahapan berikutnya adalah melakukan uji lab terhadap
karakter limbahnya, maka termasuk dalam golongan limbah B3
Langkah 3 : bila limbah tersebut tidak berkarakter, maka dibutuhkan uji toksisitas
akut untuk memperoleh nilai Lethal Doses Fifty (LD50), apabila
hasilnya lebih besar dari 50 mg/kg beraat badan, maka
terhadap limbah yang mengandung salah satu zat pencemar pada
lampiran III PP ini dilakukan evaluasi sifat kronis
Langkah 4 : bila lolos dari langkah diatas, maka dilakukan evaluasi lanjut sesuai
dengan Tabel III yaitu menganalisa apakah mengandung salah
satu unsur seperti dalam tabel III, bila mengandung
salah satu unsur tersebut, maka limbah tersebut
diperkirakan berpotensi toksik kronis dan termasuk limbah B3.
DAFTAR LIMBAH B3
Tabel I : daftar limbah dari sumber spesifik merupakan daftar bahan kimia yang bila menjadi limbah akan
bersifat toksik akut/kronis, yaitu :
No Keterangan
Kode D1001a s/d D1010a kelompok pelarut berhalogen
Kode D1001b s/d D1018b kelompok pelarut non-halogen
Kode D1001c s/d D1010c kelompok asam-basa
Kode D1001d a/d D1005d kelompok lain-lain

Tabel II :daftar limbah dari sumber spesifik, merupakan daftar kegiatan industri yang terbagi 6 kolom, yaitu:
Kolom Keterangan

kolom 1 kode limbah sebanyak 51 jenis, yaitu D201 s/d D251

jenis industri, seperti industri pupuk, pestisida, petrokimia,cat, eksplorasi & produksi gas dan panas bumi, kilang
kolom 2 migas,pertambangan,rumah sakit,dsb

kolom 3 kode kegiatan industri seperti daftar SIC

kolom 4 sumber pencemaran, misalnya tangki penyimpanan, IPAL,dsb

kolom 5 asal uraian limbah, misal sludge minyak, katalis bekas, dsb
kolom 6 pencemar utama, misal bahan organik, logam berat,dsb

Tabel III : daftar limbah bahan kimiakadaluwarsa, tumpahan, sisa kemasan, buangan produk non spesifikasi.
Terdapat 178 jenis (D3001 s/d D3178).
LIMBAH MUDAH MELEDAK
Limbah mudah meledak adalah limbah yang pada suhu dan tekanan
standar (25C dan 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia
atau fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang
dengan cepat dapat merusak lingkungan sekitarnya. Bahan kimia yang
biasa dijumpai mempunyai sifat mudah meleldak adalah bahan peledak
(explosive), yaitu bahan yang dapat meledak karena adanya kejutan
(shock), panas atau mekanisme lainnya. Contohnya dinamit dan trinitro
toluene (TNT).

Disamping itu dikenal juga hygrosopic yaitu kemampuan bahan untuk


menyerap air diudara, seperti H2SO4 dan NaOH. Ada juga pyrophoric
yaitu materi/bahan yang menyala secara spotan bila berada dalam
keadaan udara kering atau lembab pada temperatur < 54,5C .

Beberapa kelompok bahan tersebut aadalah logam-logam alkali,


senyawa-senyawa organometalik, hidrida-hidrida metalik, boran,
peroksida-peroksida metalik, karbida-karbida dan fosfida-fosfida metalik.
LIMBAH MUDAH TERBAKAR
Definisi limbah terbakar yang digunakan oleh PP 18/99 adalah sebagai berikut:
Limbah cair yang mmengandunng alkohol kurang dari 24% volume atau limbah
dengan titik nyala <60C akan menyala apabila terjadi kontak dengan api,
percikan api bersumber pada tekanan 760 mmHg
Limbah yang berupa cairan, pada tempertur dan tekanan standar (25C dan 760
mmHg) mudah menyebabkan kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air
atau perubahan kimia secara spontan
Merupakan limbah yang bertekanan mudah terbakar
Merupakan limbah teroksidasi
Sifat mudah terbakar versi PP 18/99 jo PP 85/99 adalah mirip dengan versi
RCRA untuk limbah ignitable (kode I)

Sedangkan limbah ignitable yang tidak terdapat dalam dafar sebagai


limbah berbahaya oleh USEPA dimasukkan dalam limbah berbahaya berkode
D001. contoh: ethylene dichlorate, distilasi petroleum, naphta, ethanol, isopropanol,
kerosene,, spiritus, nitrat, chlorat, peroksida anorganik.
LIMBAH BERSIFAT REAKTIF
Limbah bersifat reaktif meurut PP 18/99 adalah :
Limbah yang pada keadaan normal tidak stabil dan dapat
menyebabkan perubahan tanpa ledakan
Limbah yang dapat bereaksi dengan air
Limbah yang bila bercampur dengan air berpotensi menimbulkan
ledakan, gas, uap atau asap beracun dalam jumlah yang
membahayakan
Limbah sianida,sulfida, amoniak yang pada kondisi pH antara 2 dan
12,5 menghasilkan gas, uap atau asap
Limbah yang pada temperatur dan tekanan standar (25C dan 760
mmHg) mudah meledak atau bereaksi
Limbah yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran karena
melepaskan atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida
yang tidak stabil pada temperatur tinggi.

Contoh: acetyl chloride, peroksida organik, asam chromic, sianida,


hypochlorite, sulfida, asam picric, phosfor putih dan kuning, silver azide,
hexanite, butyle tetryl, dinitrophenol, nitrogen tri-iodida.
LIMBAH BERACUN
PP 18/99 mendefinisikan limbah beracun adalah limbah yang
mengandung cemaran yang bersifat racun bagi manusia, khususnya yang bersifat
kronis, yang dapat menyebabkan kematian/sakit yang serius apabila masuk
kedalam tubuh manusia melalui pernapasan,kulit atau mulut. Penentuannya
dilakukan melalui prosedur uji pelindian Toxicity Characteristic Leaching
Prosedure (TCLP).

TCLP merupakan uji pelindian yang berlaku secara federal di Amerika


Serikat, sesuai dengan RCRA yang mengatur tentang hazardous waste
management. TCLP didasarkan atas penentuan resiko keterpaparan air tanah,
yaitu :
Risk-Spesific Doses (RSDs) : senyawa karsinogenik yang diprakirakan
menghasilkan insiden terjadinya kanker. digunakan nilai 10-5, artinya skenario
probalitas terjadinya kanker adalah 1 dalam 100.000 orang
Reference Doses (RfDs) : komponen non karsinogenik, yang didasarkan attas
estimasi dosis harian sebuah substansi yang tidak menimbulkan efek
berlawanan. Digunakan asumsi seorang dengan berat 70 kg mengkonsumsi 2L
air tercemar setiap harinya
Maximum Contaminant Levels (MCLs) : air minum yang berlaku di Amerika
Serikat termasuk National Drinking Water Standard (DWS)
UJI PELINDIAN TCLP
Uji ini pada dasarnya menyimulasi kemungkinan terburuk terjadinya pelindian
limbah yang ditangani dengan land-filling, bersasaran untuk menentukan mobilitas
pencemar organik/anorganik yang berada pada limbah cair, padat dan multi-fase. Metode
ini pada pelaksanaanya membedakan limbah berdasarkan volatilitasnya :
Limbah non-volatil : menggunakan botol ekstraksi
Limbah volatil : menggunakan Zero-Head Space Exctractor (ZHE)

Secara garis besar langkah pengujian adalah sebagai berikut :


Limbah dilarutkan dalam 20x beratnya dengan asam asetat
Selama 18 jam diekstraksi dengan pengadukan end-over-end pada 30 rpm
Cairan dipisahkan dari padatannya dengan filtrasi, limbah lab, dsb

Penyakit menular dapat ditularkan dengan berbagai cara, seperti melalui media
air (tifus & diare), melalui udara (flu) dan melalui kulit seperti penyakit kulit umumya.
Yang tampaknya diatur oleh PP adalah limbah medis yang menularkan penyakit serius,
yaitu :
Limbah benda tajam
Limbah infectious
Limbah sitotoksik
LIMBAH KOROSIF
Definisi limbah korosif versi PP 18/99 adalah :
Limbah yang menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit
Limbah yang menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja, melalui
coupon test (SAE 1020) dengan laju korosi >6,35 mm/tahun pada temperatur uji
55C
Limbah yang mempunyai pH lebih kecil dari 2 atau > 12,5

Seperti halnya Indonesia, Amerika Serikat mendefinisikan limbah korosif (kode C)


sebagai berikut :
Limbah berair (aqueous) dengan pH 2 (asam) atau 12,5 (basa)
Cairan yang mengkorosi baja dengan laju sebesar 6,35 mm/tahun pada baja
atau aluminium sesuai dengan standar National Association of Corrosion
Engineers
Bila diuji terhadap kelinci albino, maka struktur jaringan dilokasi kontak
mengalami kerusakan dan tidak pulih dengan pernapasan 4 jam atau kurang.

Contoh : asam asetat, asam nitrit, amonium hidroksida, asam khromat,


asam perchloric, asam hidrobromic, asam phosporic, asam hydrochoric, asam
sulfuric,a sam hidrofloric, natrium hidroksoda dan kalium hidroksida.
Dalam toksikologi, biasanya untuk melihat pengaruh
suatu substansi pada manusia, dilakukan percobaan melalui
binatang, kemudian hasilnya di ekstrapolasi pada manusia.
Cara ini biasnya cocok untuk toksik yang akut.
Uji LD50 adalah penentuan dosis akut (gr bahan per kg
binatang uji) yang dapat menyebabkan kematian 50% dari
populasi binatang uji. Batasan yang digunakan oleh PP 18/99 jo
PP 85/99 adalah 50 mgr/kg.
Selain uji LD50, kuantifikasi toksisitas akut untuk media yang
ebrbeda antara lain adalah :
Lethal concentration-50 (LC50)
Threshold limit value (TLV)
Immediately dangerous to life and health (IDLH)
Time weighted average threshold limit value (TWA-TLV)

Namun uji-uji tersebut tidak digunakan dalam


penentuan karakteristik limbah berbahaya versi PP 18/99 jo PP
85/99.
PENENTUAN KRONIS
Limbah yang akan diuji komponennya harus mempertimbangkan
beberapa faktor:
Sifat racun alami yang dipaparkan oleh zat cemaran
Konsentrasi zat cemaran
Potensi migrasi dilingkungan
Sifat persistensi limbah dan turunannya
Potensi cemaran untuk menjadi tidak berbahaya
Tingkat cemaran dan turunannya untuk menjadi biokumulatif
Jenis limbah yang tidak dikelola dan berpotensi mencemari
Besaran limbah tersebut dalam skala regional /skala nasional
Dampak kesehatan dan kerusakan lingkungan pada lokasi yang
tidak memenuhi syarat,dsb

Faktor-faktor tersebut nampaknya merupakan komponen dalam


Environmental Risk Assesment (ERA) yang membutuhkan studi
tersendiri.
DAFTAR LIMBAH DELISTING

Daftar limbah delisting tercantum dalam lampiran I PP 18/99 jo PP


85//99 :
Kode D220 : berasal eksplorasi dan produksi migas dan panas bumi.
Limbahnya berupa slop minyak, drilling mud, sludge minyak,
karbon aktif dan absorban, sludge IPAL, cutting pemboran dan
residu dasar tangki
Kode D221 : berasal dari kegiatan kilang migas. Limbahnya berupa
slop minyak, katalis bekas, karbon aktif bekas, sludge IPAL, filter
bekas, residu dasar tangki, limbah lab dan limbah PCB
Kode D222 : berasal dari kegiatan pertambangan. Limbahnya
berupa sludge pertambangan terkontaminasi logam berat, flotasi
sludge tailling, pelarut bekas, limbah lab dan limbah PCB
Kode D223 : berasal dari kegiatan PLTU yang menggunakan bahan
bakar Batubara. Dengan limbah berupa fly ash, bottom ash, limbah
PCB
BAB IV
KLASIFIKASI LIMBAH B3
KLASIFIKASI LIMBAH B3

Proses terbentuknya limbah


Pada umumnya proses terbentuknya limbah terbagi atas lima kelompok, yaitu :
Limbah yang berasal dari bahan baku yang tidak mengalami perubahan komposisi. Transformasi yang
terjadi bersifat fisika, sperti pemotongan, penggergajian, pengecatan. Limbah kategori ini sangat cocok
untuk dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku.
Limbah yang terbentuk akibat hasil sampling dari sebuah proses kimia, fisika atau biologi atau karena
kesalahan proses yang digunakan. Limbah yang dihasilkan mempunyai sifat yang berbeda dari bahan
baku semula.
Limbah yang terbentuk akibat penggunaan bahan baku sekunder, misalnya pelarut atau pelumas.
Bahan baku ini tidak ikut dalam proses pembentukan produk. Limbah jenis ini sangat berarti dari sudut
kuantitas .
Limbah yang berasal dari hasil samping proses pengolahan limbah. Dari pengolahan limbah akan
dihasilkan produk samping yang harus ditangani lebih lanjut , seperti partikulat, gas dan abu (misalnya
dari insinerator), lumpur (misalnya dari unit pengolah limbah cair) atau bahkan yang dihasilkan limbah
cair (misalnya dari sebuah landfill).
Limbah yang berasal dari bahan samping pemasaran atau pengemasan suatu produk, misalnya kertas,
plastik, kayu, logam, drum, kontainer, tabung kosong dan sebagainya
Pengelompokan Jenis Limbah
a. Berdasarkan fasanya: limbah cair, limbah padat, limbah lumpur (sludge, slurry) gas dan
sebagainya.
b. Berdasarkan sumbernya: rumah tangga dan sejenisnya, kegiatan medis, kegiatan industri,
pertambangan, perminyakan, pertanian dsb.
c. Berdasarkan kemungkinan penanganannya:
Mudah membusuk (putrescible)
Bervolume besar dan mudah terbakar (bulky combustible)
Bervolume kecil dan mudah terbakar (small combustible)
Bervolume besar dan sulit terbakar (bulky noncombustible)
Bervolume kecil dan sulit terbakar (small noncombustible)
Wadah bekas produk (botol, drum, kontainer, tabung gas)
Serbuk logam metalik atau non metalik dan atau bahan amunisi
Limbah patogen
Lumpur hasil pengolahan limbah
Puing bangunan
Kendaraan tak terpakai, dsb
d. Berdasarkan sifat kimianya : asam-asam anorganik, asam-asam organik, logam berat toksik,
logam berat non-toksik, oksida-oksida logam, senyawa-senyawa anorganik, senyawa-senyawa
organik berhalogen, bahan bakar, oli dan lemak, dsb
Klasifikasi Rekayasa Limbah Kimia Berbahaya
a. Inorganic aqueous waste : komponen utamanya adalah air, mengandung asam, alkali atau bahan
anorganik lainnya, seperti logam berat, sianida. Contoh kelompok ini adalah : residu asam sulfat dari
galvanizing, bilasan dari elektroplating , residu dari hirometalurgi.
b. Organic aqueous waste : komponen utamanya adalah air, mengandung campuran bahan organik
berbahaya. Contoh: bilasan air dari kontainer pestisida, bilasan reaktor kimia dan tangki formulasi.
c. Organic liquid : limbah cair berisi larutan bahan organik berbahaya. Contoh: residu solven berhalogen
dari pembersih logam, residu destilasi dari bahan kimia.
d. Oils : limbah cair dengan kandungan utama oli dari petroleum. Contoh: residu oli pelumas, residu oli
turbin dan msin berat lainnya, bahan-bahan terkontiminasi minyak.
e. Inorganic sludge/solids : sludge (lumpur), abu-debu, padatan dari limbah non-cair lainnya
mengandung anorganik berbahaya. Contoh: sludge dai pengolah limbah merkuri, abu kontrol udara
industri baja, abu-debu khrom dari industri logam.
f. Organic sludge/solids : tar, sludge, padatan dan limbah non cair lainnya dengan kandungan bahan
organik berbahaya. Contoh: sludge dari operasi pengecatan, residu filter obat-obatan, tanah
berkontiminasi solven.
Daftar Limbah Berbahaya Versi RCRA
RCRA membagi 4 kelompok limbah berbahaya yang termasuk dalam daftar, yaitu :
Sumber-sumber non-spesifik (kode F)
Sumber-sumber spesifik (kode K)
Produk komersial bahan kimia menimbulkan bahaya akut (kode P)
Produk komersial bahan kimia tidak menimbulkan bahaya akut (kode U)
Setiap jenis limbah yang tercantum dalam daftar RCRA tersebut masing-masing diberi kode hazard
class, yaitu T (toxic), I (ignitable), R (reactive), H (acute), E (kronis dengan test TCL, C (corrosive).

Adapun macam-macam limbah sebagai berikut :


Limbah Rumah Sakit
Limbah Berbahaya Dari Rumah Tangga
Limbah Pertanian
Hidrokarbon
Hidrokarbon Aromatik
Senyawa Hidrokarbon Berhalogen
Polychlorinated Biphenyl (PCB)
Sianida dan Logam-Logam Berat
Asbestos
Limbah Kegiatan Perminyakan
BAB V
SOLIDIFIKASI - STABILISASI
Definisi solidifikasi
Merupakan proses yang menggunakan bahan pemadat (solidfying agent) pada limbah berbahaya,
sehingga diperoleh produk dalam bentuk matrik padat untuk :
Meningkatkan kekuatan (strenght)
Meningkatkan kuat tekan (compressibility)
Menurunkan permeabilitas campuran limbah

Definisi stabilisasi
Merupakan proses penanganan limbah berbahaya yaitu mencampur limbah
dengan bahan atau aditif atau reagen kimia untuk mengurangi sifat bahaya
limbah, sehingga dapat :
Meningkatkan karakteristik fisik dan penanganan limbah
Mengurangi luas permukaan sehingga kontaminan yang lolos menjadi lebih
sedikit
Membatasi kelarutan pencemar
Mereduksi toksisitas

Gabungan kedua proses tersebut dikenal sebagai proses S/S (solidifikasi-stabilisasi) atau yang umum
disederhanakan menjadi proses solidifikasi.
Konsep Penanganan Limbah Secara Umum

Bentuk limbah B3 dan kegiatan industri menurut PP 18/1999 jo PP85/89, antara lain:
Sludge: petrokimia dan lain-lain
Sludge mengandung logam berat: misal dari industri penyempurnaan baja
Sludge pengolahan limbah cair
Tar : industri petrokimia
Slag : peleburan timbal bekas
Debu : industri aki
Debu tungku pembakar : peleburan/pengolahan besi-baja
Abu terbang : dari pltu
Buangan padat tidak terspesifikasi : industri adesif
Tong alat/formulasi : industri pestisida
Pasta campuran : industri baterai kering
Sisa karbon aktif : kilang minyak
Purifikasi garam : industri khloro-alkali
Katalis : seperti dari industri pupuk, polimer
Pelarut bekas : industri cat
Emulsi minyak, lumpur bor : eksplorasi minyak bumi
Konsep Penanganan Limbah

Berdasarkan penanganan limbah, dikenal 2 cara penanganan limbah yaitu, secara :


Reaktif : menunggu sampai limbah terbentuk, baru limbah diolah
Proaktif : produksi bersih, mencegah limbah terbentuk
Khusus untuk penanganan limbah B3 yang terbentuk harus diberlakukan dan dikelola dengan
konsep cradle-to-grave.

Urutan penanganan limbah B3 dalam produksi bersih, sebagai berikut :


1. Menghilangkan /kurangi limbah di sumbernya (di hulu proses industri)
2. Melakukan daur-ulang limbah, terutama pada industri/pabrik itu sendiri
3. Menggunakan teknologi pengolahan limbah yang baik untuk mengurangi toksisitas, mobilitas dan
volume limbah
4. Menyingkirkan limbah ke lingkungan dengan cara yang aman : misalnya dengan secure
landfilling
5. Memperbaiki tanah/lahan yang sudah tercemar (remediasi)
Syarat Limbah B3 yang dapat di landfilling

A. Syarat utama :
Sesuai baku mutu TCLP : bila tidak memenuhi maka dibutukan solidifikasi
Lolos uji paint filter test : syarat tidak cair
Kuat Tekan (compressive strenght) minimum : 1kg/cm2
B. Limbah yang dilarang :
Mudah meledak, mudah terbakar, reaktif, menyebabkan infeksi
Mengandung zat organik lebih besar dari 10%
Mengandung PCB, dioxin, bersifat radioaktif, berfasa cair atau lumpur

Mekanisme proses solidifikasi stabilisasi antara lain :


Pengkapsulan makro
Pengkapsulan mikro
Absorpsi
Adsorpsi
Pengendapan
Detoksifikasi
Berikut beberapa proses dalam solidifikasi stabilisasi :

Proses degan semen


Proses dengan pozzolan
Proses dengan termoplastis
Proses dengan polimerisasi organik
Proses glasifikasi (vitrifikasi)

Penggunaan proses solidifikasi stabilisasi, apabila :


Pretreatment atau treatment limbah yang berbahaya yang sulit ditangani
Stabilisasi limbah berbahaya sebelum ditangani melalui land disposal (landfilling)
Stabilisasi kontaminan sebagai upaya pembersihan site (remediasi) yang tercemar limbah berbahaya.
Stabilisasi limbah industri, termasuk yang non-berbahaya, khususnya limbah lumpur sludge dan pengolahan residu
hasil pengolahan limbah lain seperti abu pengolahan termal
Proses ini dapat dianggap sebagai pengolahan limbah yang dapat mereduksi gerakan pencemaran ke lingkungan
lebih lambat seperti di alam
BAB VI
TCLP
KAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK LIMBAH B3
Pengertian limbah B3 menurut PP 18/99 tentang Pengelolaan Limbah B3 adalah :
Setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup,
dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain (pasal
1 angka 2).

Kategori limbah berbahaya menurut PP 18/1999

Termasuk dalam daftar lampiran Mempunyai salah satu karakteristik

a. Dari sumber tidak spesifik a. Mudah meledak


b. Dari sumber spesifik b. Mudah terbakar
c. Dari bahan kimia kadaluwarsa, tumpahan, bekas c. Bersifat reaktif
kemasan dan buangan produk yang tidak memenuhi d. Beracun
spesfikasi e. Menyebabkan infeksi
f. Bersifat korosi
Limbah lain yang apabila diuji dengan metode
toksikologi memiliki LD50 di bawah nilai ambang
batas yang ditetapkan
Menurut PP 18/1999, penentuan apakah sebuah limbah disebut beracun (toxic) adalah melalui uji
TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure ). TCLP merupakan salah satu uji pelindian yang
digunakan di Amerika Serikat, yang terpadu dengan baku mutunya. Disamping digunakan sebagai
penentuan salah satu sifat berbahaya dari sebuah limbah uji TCLP diterapkan pula dalam evaluasi
produk ptreatment limbah sebelum di landfilling

Beberapa jenis uji pelindian


Uji kimia fisik dengan pelindian atau ekstaksi pada umumnya digunakan untuk menilai kerja proses
stabilisasi dan solidifikasi limbah yang akan dilanfilling, dikenal sebagai uji pelindian atau leaching
test. Terdapat macam uji pelindian, diantaranya yaitu :
Uji dengan ekstraksi atau ekstraksi secara batch
Uji dengan kolom lisimeter
Uji pelindian
Uji-uji tersebut umumnya digunakan untuk menyimulasi kondisi limbah dalam landfill yang terpapar
dengan lingkungan sekitarnya seperti air hujan dan air lindi dari limbah itu sendiri.
UJI EKSTRAKSI
Biasanya limbah dihaluskan, agar luas permukaan yang akan terpapar akan lebih besar
Limbah dikocok dalam kondisi netral atau asam
Waktu pelindian : dalam hitungan jam hingga hari, sehingga merupakan uji short-term
Uji ini dapat dikatakan menyimulasi kondisi terburuk bila limbah (padat) yang akan terpapar dengan kondisi air asam
seperti air hujan, air limbah dari hasil pelindian landfill.
Perbedaan utama dari uji pelindian tersebut adalah :
media pelindian : air distilasi/deionisasi atau asam
rasio cairan media dengan padatan limbah 3 : 1 sampai 50 : 1
ukuran partikel limbah
jumlah dan lamanya ekstraksi
Beberapa jenis uji pelindian di Amerika Serikat dan Kanada :
1. Extraction procedure toxicity test (EP Tox) (USEPA,1986a)
2. Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) (Federal Register, 1986)
3. California waste extraction (Cal WET) (California Code, 1982)
4. Multiple extraction procedure (MEP) (USEPA,1986c)
5. Acid neutralization test (ANC, Canada) DLL
UJI KOLOM
Pada uji ini, limbah pertama kali harus dihaluskan
Kemudian ditempatkan pada kolom dengan densitas limbah tertentu
Larutan pelindi kemudian dilindikan
Ada yang menggunakan pompa ada yang secara gravitasi
Ada yang mengalirkan secara down-flow ada yang secara up-flow
Sistem pengaliran kontinu, sehingga lebih menggambarkan kondisi lapangan
Mempunyai masalah reproduktivitas : faktor channeling , ketidak seragaman pemadatan limbah, pertumbuhan bakteri,
pemampatan (clogging), dsb

UJI PELINDIAN
Limbah dilindikan tanpa harus dihaluskan lebih dahulu (kondisi monolitik)
Dapat dijalankan dengan dua kondisi :
Kondisi statis : kecepatan pelindian rendah, karena dalam kondisi hidrolis yang statis
Kondisi dinamis : pelindian terjadi dalam kondisi non-ekuilibrium, kareana larutan pelindi diganti secara
periodik dengan yang baru
Beberapa jenis :
1. Material Characterization Center static leach test (MCC-IP) (USEPA , 1989)
2. American Nuclear Society (ANS-16.1, 1986)
3. Dynamic leach test (DLT)
KAITANNYA TCLP DENGAN KARAKTERISTIK LIMBAH BERBAHAYA
Dalam kaitannya dengan level baku-mutu yang akan diterapkan, maka uji ini merupakan pendekatan
dalam upaya kontrol terhadap disposal limbah berbahaya. Sasaran prsedur uji ini adalah membatasi
adanya lindi berbahaya yang dihasilkan dari landfilling dengan skenario miss mangement atau
skenario kondisi terburuk.
BAB VIII
PENGOLAHAN LIMBAH SECARA FISIKA-KIMIA
PENDAHULUAN

Sasaran pengolahan limbah adalah :


1. Sasaran utama adalam memperoleh residu yang sesuai baku mutu,misalnya dalam limba cair,maka materi
terlarut atau tersuspensi semaksimal mungkin di pisahkan dari larutannya.dengan beragam cara,bbaik secara
fisika, kimia maupun biologi.

2. Sasaran lain adalah memperingan beban pengolahan selanjutnya, misalnya melalui pengendapan,
netralisasi,stabilisasi,dsb

3. Khusus untuk pengolahan limbah berbahaya, maka sasaran utamanya adalah detoksifikasi bahan berbahaya agar
menjadi lebih tidak berbahaya,misalnya reduksi Cr (VI) menjadi Cr (III), atau menjadi immobile Beberapa jenis
proses fisika-kimia adalah antara lain : stripping, adsorpsi,proses dengn membrane,oksidasi reduksi,dan
penggunaan sifat-sifat fluida kristis.
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR
Secara umum pengolahan lengkap limbah cair adalah sebagai berikut :
1. Storage atau aqualization : menyeimbangkan baban aliran dan beban organic yang akan masuk ke pengolahan
utama
2. Proses pengolahan pendahuluan : misalnya netralisasi,atau pengasaman dalam proses reduksi pada pengolahan
khrom,atau pembasaan seperti pada penolahan sianida
3. Proses pengolahan kimia utama, biasanay mereduksi atau mengoksidasi bahan bahan kimia agra lebih toksi,unit
ini dapat berfungsi sebagai pengola utama, sehinggga tidak di butuhkan pengelolaan biologi
4. Pengendapan, di butukan untuk mengendapkan proses yang terjadi sebelumnya
5. Bila limbah berbahaya mengandung bahan organic,maka pengolahan lanjut adalah degradasi materi organic
memanfaatkan mikroorganisme pengurai suatu jenis limbah yang akan diolah
6. Pengendapan, di butukan untuk mengendapkan sludge dan biomas hasil degradasi.sebagian biomas
mikroorganisme kadangkala diresirkulasi kembali
7. Proses pengolahan spesifik, misalnya penurunan nutrisi untuk mencegah autrifikasi,atau proses netralisasi dsb.
8. Penangana sludge, yang dapat berkatergori B3 atau berkategori non-B3
PENGOLAHAN SECARA FISIKA

Pengolahan secara fisika merupakan proses tanpa adanya prosese kimia atau biologi.

1. Didasarkan atas proses yang digunakan , pengelolahan secara fisika dapat dikelompokkan menjadi :

2. Pemisahan yang didasarkan atas kerja suatu gaya pada campuran bahan yang akan diolah

3. Pemisahan melalui bukan sebuah media atau melalui media berpori

4. Pemisahan jenis lain adalah berdasarkan pada fasa , seperti ekstraksi solven mengunakan soven lain, stripping,atau pemanfaatan
prinsip sorpsi.

ULTRAFILTRASI (UF)

Filtrasi merupakan kelomok proses yang sering digunakan dalam pemisahan fasa padat-cair . Media berpori yang biasa
digunakan adalah pasir. Proses filtrasi yang berkategori molekuler adalah ultrafiltrasi (UF) dan berkategori molekuler seperti
reverse osmosis (RO) dan elektrodialisis (ED).
REVERSE OSMOSIS (RO)
Membran RO akan dapat menahan beraneka ragam organik maupun anorganik. Dengan tekanan
transmembran sampai 500 psi. proses ini dapat diterapkan dalam penjernian air laut. RO terjadi bila tekanan
mekanis yang lebih tinggi dan tekanan osmosis diterapkan pada larutan yang lebih pekat. Perbedaan tekanan (
tekanan ossmosis) yang terapkan pada membran mengakibatkan solven mengalir dari larutan yang lebih kuat
kelarutan yang lebih lemah.

ELEKTRODIALISIS (ED)

Elektrodialisis (ED) merupakan proses pemisahan materi berion dari air dengan menggunakan arus listrik

Secara elektrokimia ion-ion berpindah memlintasi membrane selektif anion dan kation dari larutan yang
lebih ancer menuju larutan yang lebih pekat.dengan adanya aliran listrik , maka kation-kation akan lolos
menuju katode, sedang anion-anion berkumpul menuju anoda. Proses ED teah digunakan didunia industry
electroplating untuk menangkap logam-logam berat.
PEMISAHAN BERDASARKAN BEDA FASE

Stripping udara merupakan cara pengolahan limbah dengan transfer massa melalui volatilisasi senyawa-senyawa
(yang berada dalam air) melalui aliran udara, sehingga transfer massa antara air dan udara dapat terjadi.

Untuk menigkatkan kinerja penyisian di lakukan beberapa jalan,antara lain.

1. Reactor pengolahan di isi media tertentu (packed tower )

2. Reactor pengolahan di bagi dalam bidang bidang melintang ( tray tower )

3. Uadaradi masukkan melalui semburan udara ( diffused system )

4. Udara di masukkan melalui aerasi mekanis (mechanical aeration )


SIOL VAPOR EXTRACTOR (SVE)

SVE merupakan pilihan teknologi remediasi tanah yang baru dikembangkan,untuk menyingkirkan SVE dari
tanah dan dari area zona vadoze.

Prinsip SVE adalah dengan membangun sumur-sumur ekstraksi uap atau pipa-pipa ferporasi pada zona yang
akan diremediasi.

Mekanisme penyisihan VOC pada SVE adalah :

1. Adveksi yaitu gerakan cemaran fase uap dengan aliran udara melalui media tanah yang permiabel

2. difusi yaitu gerakan cemaran melalui media tanah karena adanya gradien konsentrasi

STEAM STRIPPNG / DISTILLATION

Perbedaan Evaporasi dan distilasi adalah

Evaporasi bersasaran mengkonsentrasikan limbah cair berbahaya untuk ditangani lebih lanjut. Sedangkan
didtilasi adalah bersasaran memisahkan organic bervolatil dengan penguapan berdasarkan perbedaan suhu
didinya.
ADSORPSI KARBON AKTIF
Adsorpsi merupakan proses dengan adanya mekanisme adeshi dari melekul-molekul atau partikel-partikel
cemaran terlarut (adsorbat) pada permukaan padat (adsorben) tanpa ada reaksi kimia.

Apsorpsi merupakan penetrasi molekul-molekul atau partikel cemaran kedalam media absorben padat,
seperti layaknya sponge dengan air.

PENGOLAHAN SECARA KIMIA


Pengolahan secara kimia dimanfaatkan untuk mentransformasi limbah berbahaya menjadi lebih tidak
berbahaya.

Bentuk-bentuk pengolahan misalnya, Netralisasi, koagulasi-flokulasi,oksidasidan reduksi penukaran ion,


khlorinasi.

Contoh :

Pengolahan secara kimia untuk menetralisir limbah B-3 ( biasanya korosif) : Asam + basa garam + air.
KOAGULASI-FLOKULASI-SEDIMENTASI
Bentuk endapan sludge yang sering digunakan adalah Hidroksida, misalnya logam berat yang diendapkan
dengan kapur Proses pengendapan logan berat dapat dipercepat dengan menambakan bahan kimia yang larut
dalam air dan penambahan polimer sehingga menjadi kolgulasi dan flokulasi. kolgulasi dan flokulasi
digunakan untuk memisahkan padatan tersuspensi dari cairan bila dengan pengendapan biasa ternyata
kurang memuaskan.

Koagulan yang biasa digunakan adalah Al2 (so4) 3. FeCl3. Atau (SO4)3.

PROSES OKSIDASI-REDUKSI

Proses kimia secara oksidasi-reduksi dpat dugunakan untuk meruba pencemaran yang toksik menjadi tidak
berbahaya.

Contoh okidasi adalah pengolahan limbah sianida dengan khlorinasi adalah suasana alkalin.

Contoh reduksi adalah khrom (Cr) Hexavalen (Vl) yang dikategorikan sangat toksik yang direduksi menjadi
khrom trivalen (lll) dan suasana asam (pH sekitar 2), kemudian dilnjutkan pengendapan khrom Hidroksida.

Khlor adalah oksidator kuat yang banyak digunakan karena relative efektif pada konsentrasi rendah.
PROSES OKSIDASI LANJUT (ADVANCED OXIDATION PROCESS)
proses abiotis ( non biologis) untuk mengolah limbah B3 yang banyak diterapkan adaalah kelompok advanced
Oxidation Processes (AOP).
Perchloroetyhyelen (PCE) terdegradasi melalui proses anaerob namun akan lebih cepat lagi terdegradsi
dengan AOP , karena reaksinya cepat dengan radiakl hidroxil.
Reaktan yang paling banyak digunakan dalam APO adalah hodrogen peroxide, ozone dan cahaya ultra violet
(UV)

OKSIDASI BASAH
Penggunaan proses fotolisis, yaitu radiasi ultra violet (UV) telah juga di terapkan untuk degradasi senyawa
kompleks besi-sianida yang stabil dan sulit di oksidasi dengan khor atau dengan ozon.radiasi ( UV ) di
gunakan sebagai pemutus ikatan besi - sianida menghasilkan sianida bebas dan besi hodroksida : Fe (CN)-3
Fe + 3 + CN-
Sianida bebas selanjutnya di oksidasi oleh khor atau dengan ozon menjadi sianat,sesuai dengan reaksi :
CN - + 2 OCr + 2H- _ CNO- + 2 CL + H2o
Bila oksidasi ini di lanjutkan,sianat akan di rubah menjadi CO2 dan nitrogen
Wet oxidation (WO) adalah proses oksidasi dengan oksigen dilaksanakan pada temperature 150-300 0c ,
sedangkan tekanan dipertahankan antara 2-20 kPa untuk menguntrol penguapan dan reaksi
SUPERCRITITAL FLUIDS (SCF)
Proses dengan konsep supertricital fluids banyak diterapakan untuk limbah kimia organic, tanah
dan sludge yang tercemar dan sangat sulit terdegrdasi.SCF berssaran mengubah karakteristik fisik
larutan menjadi kondisi fasa yang disebut sebagai superkritis yang dapat mempercepat proses
oksidasi.
BAB IX
PENGOLAHAN SECARA BIOLOGI
PENDAHULUAN

Saran pengolahan limbah :


1. Sasaran utama memperoleh residu sesuai dengan baku mutu.misalnya dalam limba cair,maka materi terlarut
atau tersuspensi semaksimal mungkin di pisakan dalam larutan dengan beragam cara,baik secara fisika,kimia
maupun biologi.

2. Sasaran lain : adalah memperingan baban pengolahan selanjutnya,misalnya misalnya melalui


pengendapan,netralisasi,stabilisasi,dsb.

3. Kusus untuk pengolahan limba berbahaya,maka sasaran utamanya adalah detoksifikasi bahan berbahaya
agar menjadi lebih tidak berbahaya,misanya redukis Cr (VI ) menjadi Cr ( III),atau menjadi immobile

Pengolahan limbah secara biologi untuk limbah cair misalnya proses activated sludge, sedangkan pengolahan
lahan sludge atau padat misalnya land treatment.
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR
Secara umum pengolahan lengkap limba cair adalah sebagai berikut ( lihat nomor pada skema ) :
1. Storage atau equalization : menyeimbangakan baban aliran dan beban organic yang akan masuk ke
pengolahan utama
2. Proses pengoolahan pendahuluan,misalnya netralisasi,atau pengasaman dalam proses reduksi pada
pengolahan khrom, atau pembasaan seperti pda pengolahan sianida
3. Proses pengolahan kimia utama,biasanya mereduksi atau mengoksidasi bahan bahan kimia agar lebih tidak
toksik,unit ini dapat pula berfungsi sebagai pengolah utama,sehingga tidak di butuhkan pengolahan biologi
4. Pengendapan,di butukan unutk mengendapkan proses yang terjadi sebelumnya
5. Bila limbah berbahayan mengandung bahan organic,maka pengolahna lanjut adalah degradasi materi organic
memanfaatkan mikroorganisme pengurai sesuai jenis lumba yang akan diolah.
6. Pengendapan,dibutukan untuk mengendapkan sludge yang biomas hasil degradasi. Sebagai biomas
mikroorganisme kadangkala di resikulasi kembali.
7. Proses pengolahan spesifik,misalnya penurunan nutrisi untuk mencegah untrifikasi,atau proses netralisasi
dsb.
8. Penanganan sludge,yang dapat berkategori B3 atau berkategori non-B3
KLASIFIKASI PENGOLAHAN BIOLOGIS

Pengolahan secara biologis mengendalkan kerja mikrooraganisme, yang dapat digolongkan menjadi
heterotrophic and autotropich tergantung dari sumber nutrisinya. Mikroba heterotroph menggunakan materi
organik, sedangkan autotroph mengunakan materi anorganik.

Parameter beban organic yang paling sering di gunakan, kususnya dalam limba cair,adalah

1. Chemical axigen demand ( COD ) yang menyatakan besarnya ekuivelensi kebutuhnan oksegen untuk
menggoksidasi materi organi seecara kimiawi.

2. Biochemical oxygen demand (BOD) yang menyatakan besarnya kebutuhan oksigen yang di butukan oleh
mikroorganisme untuk mengurangi materi organic

3. Total organic carbon ( TOC) total karrbonik organic yang ada dalam lingbah
BEBAN ORGANIK DAN JENIS PENGOLAH
Pengolahan limbah secara biologi telah banyak diterapkan untuk mengolah limbah yang biodegradable,
artinya yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Dalam limbah berbahaya, sebagian besar jenis limbah
yang harus didegradasi adalah materi organik khusus yang umumnya cipataan manusia yang dikenal sebagai
xenobiotic.
Aplikasih pengolahan limbah secara biologi untuk limbah kimia berbahaya, selain diterapkan pada limbah cair
dan padat (sludge) diterapkan pula pada tanah dan air tanah yang tercemar seperti pada bioremediasi site
tercemar.
Pengolahan secara anaerobic biasanya yang diterapkan untuk limbah dengan beban organic tinggi. Aplikasuh
pengolahan limbah yang berbentuk slurry atau sludge misalnya diterapkan dalam proses land treatment pada
limbah oil. Sedangkan composting (pengomposan) banya diterapkan untuk mengolah limbah padat.

BIODEGRADABILITAS SUBSTRAT
Penanganan limbah bahan kimia sintetis yang dihasilkan manusia banyak terkait dengan kemampuannya
terdegradasi dengan mudah.
Senyawa-senyawa yang sulit terdegradasi dikenal sebagai recalcitrant atau refractory sedanakan yang lambat
terdegradasi dikenal sebagai senyawa persistent.
Bahan kimia berbahaya yang sulit terurai antara lain TCDD (dioxin) dan PCD.
FAKTOR-FAKTOR REKAYASA
Laju metabolisme yang menentukan laju biodegradasi substrat (limbah) tergantung pada beberapa factor
rekayasa ingneering), antara lain :
1. Penerima electron: pada respirasi aerobic mikroba menggunakan oksigen sebagai penerima electron final yang
di ambil dari molekul organic limbah ( menjadi CO2) sedang pada respirasi anaerobic di gunakan nitra (
menjadi nitrogen ).sulfat ( menjadi H2S ) dan karbon di oksidan ( menjadi matan )
2. Kandungan air: biodegradasi membutukan air untuk pertumbuhan sel serta untuk media gerak mikroba ke
dalam dari substrak yang menjadi target.
3. Temperature : aktivitas sel akan meningkat pesat dengan peningkatan temperature,sampai mencapai titik
obtimum.
4. PH : aktivitas enIm yang mengkatalis proses degradasi beruba dengan berubanya pH.sebagai besar mikroba
tumbuh baik pada pH netral.
5. Total pedataan terlarut : komponen ini mempengruhi keseimbangann caira pada mikroba biasanya nilainya
tidak boleh melebihi 40.000 mg/l
6. Ketersediyaan nutrisi : di sampinng suuber karbon,maka nutrisi makro/mikro di butuhkan pada
pertumbuhan mikroba.
7. Desain reactor : kinerja proses banyak tergantung pada kinerja reactor yang memungkinkan adanya intraksi
factor factor penentu pertumbuhan
SISTEM PERTUMBUHAN TERSUSPENSI
Dalam system pertumbuhan tersuspensi, biomas mikroba diupayakan tercampur sempurna dalam bioreactor
secara kontinu sehingga mempermudah kontak antara substrat (limbah organic sebagai makanan) dengan
biomas mikroba yang tersuspensi.
Umur lumpur yang terlalu lama menyebabkan flok yang berbentuk sulit mengendap.

SISTEM PERTUMBUHAN MEDIA LEKAT (ATTACHED GROWTH)


System ini tergantung pada kemampuan mikroba yang melekat pada permukaa media inert. Limbah cair yang
akan diolah akan dimasukkan dalam reactor yang berisi media pertumbuhan mikroba. Sebagai efluen yang
mengandung biomas tersebut diresirkulasi kembali ke bioreactor.
Inovasi lain adalah dengan media lekat terfluidasi.

SISTEM BIOREAKTOR SEQUENCING


Langkah-langkah pertama dari sisten SBR adalah mengisi reactor. Kemudian dilakukan pengolahan
biologis seperti system kontinu dengan memasukkan oksigen melalui aerasi. Setelah waktu reaksi tercapai
dilakukan pengendapan pada reactor yang sama. Efluen terolah yang terpisah dari sludgenya dibuang
kelingkungan, sedang sebagai sludge biomas mikroba dipertahan untuk sequencing berikutnya.
PROSES ANAEROB

Mikroba-mikroba anaerob membutukan oksigen yang terikat misalnya nitrat dan bukan molekul-oksigen yang
seperti yang terdapat diudara agar tumbuh secara baik .

Senyawa organic diakhir proses diuraikan menjadi :

Matreri organic + combined oxsigen CO2 + CH4+ produk lain + energi.

CEMARAN ORGANIK DALAM TANAH

Cemaran yang bermigrasi ke sub surface misalnya dari saran landfill, atau dari kebocoran tangki penyimpanan,
atau tumpahan bahan ketanah akan masuk kedalam tanah akan berada dalam 3 bentuk yaitu :

1. Free product (tidak terlekat kebutiran tanah atau terlarut dalam air tanah )

2. Terikat pada butiran tanah

3. Terlarut dalam air tanah


BIOREMEDIASI IN SITU

Konsep bioremediasi in situ dikembangkan sekitar tahun 1970-an oleh Sun Oil Company untuk menanganni
pencemaran akibat minyak bumi. Proses yang digunakan dalam in situ bioremediasi adalah secara aerob.

Aliran air tanah tersebut bergerak diakuifer dan menstimulasi pertumbuhan mikroba setempat

Piroksida sendiri adalah oksidator yang dapat mengoksidasi zat organic.

PENGOLAHAN FASE PADAT

Pengolahan limbah fase padat adalah land treatment. Metode ini memperhitungkan kemampuan asimilasi
tanah untuk mengurangi daya toksik,mendegradasi dan menahan (immobilize).
PENGOMPOSAN DAN PENGOLAHAN TANAH
Pengomposan merupakan metode yagn sudah lama diterapkan pada sampa kota
Factor-faktor yang mempercepat proses dikondisikan pada reactor seperti, mikroorganisme yang sesuai,
temperature, nutrisi,pH, dan kelembaban.
Dalam pengelolahan tanah terdapat terminology lain dalam pengolahan fase padat yaitu soil heaping.
Pengomposan adalah menghasilkan bahan kompos dari limbah organik maka soil heaping bersasaran
mereduksi tanah tercemardengan memanfaatkan mikroba yang sesuai yang merupakan kombinasi prinsip
land treatment dan pengomposan.

PENGOLAHAN FASE SLURRY


Pada metode ini, limbah disupensikan dengan air atau air limbah pada reactor membentuk slurry. Limbah
dapat berupa sludge, padatan atau tanah tercemar. Adanya agitasi, disamping menghomogenkan slurry,
namun berfungai pula untuk :
1. Memecahkan partikel padatan
2. Desorpsi limbah dari partikel tanah
3. Memungkinkan kontak antara limbah organic denga mikroba
4. Oksigenasy slurry dengan aerasi
5. Volatilisasi sebagaian kontaminan khususnya organic volatile

Prinsip pengolahan adalah identic dengan pengolahan sitem pertumbuhan tersuspensi dengan perbedaan
tidak dilakukan resirkulasi sludge.
BAB XI
PROSES TERMAL
LATAR BELAKANG

Sebagian besar limbah organik berbahaya terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen dengan campuran
halogen, sulfur, nitrogen dan logam berat. Struktur molekul umumnya akan menentukan tingkat
bahaya substansi organik terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Bila molekul sebuah limbah
organik dapat dihancurkan atau direduksi menjadi karbondioksida, air dan substansi organik yang
lebih sederhana, maka limbah tersebut bisa dikurangi tingkat bahayanya. Pencemaran udara
insinerator limbah kimia berbahaya perlu ditanggulangi dengan sarana dan kontrol yang sangat
ketat.

Insinerator adalah sebuah proses yang memungkinkan materi combustible (bahan bakar) seperti
halnya limbah organik mengalami pembakaran, kemudian dihasilkan gas/partikulat, residu
noncombustible dan abu. Oleh karenanya peranan temperatur serta waktu tinggal yang sesua akan
memegang peranan penting dalam insinerator limbah B3.
SARANA INSINERASI LIMBAH
o Sarana pertama pengurangan massa/volume. Insinerator pada awalnya digunakan untuk
membakar sampah kota agar berkurang massa dan volumenya, sehingga penanganan berikutnya
menjadi lebih mudah.
o Sarana kedua destruksi komponen berbahaya. Insinerator tidak lagi digunakan untuk membakar
sampah kota, namun diterapkan pula untuk limbah berbahaya.
o Sarana ketiga penghasil energi. Insinerasi identik dengan combustion. Combustion adalah
membakar bahan bakar untuk dihasilkan energi yang dapat dimanfaatkan, seperti energi listrik.

KOMPONEN UTAMA
o Teknologi insinerasi merupakan cara pengolahan yang baik bagi materi combustible yang
mempunyai nilai kalor yang memadai, misalnya limbah hidrokarbon. Limbah berbahaya yang
patogen, seperti dari rumah sakit sangat ampuh ditangani dengan cara ini. Secara umum tahapan
proses dari sebuah insinerator dapat dipisahkan menjadi beberapa langkah, yaitu penyiapan,
pemasokan, pembakaran, pengolahan gas dan partikulat hasil pembakaran dan penanganan residu
abu. Penyiapan dan pemasokan limbah yang sesuai kriteria rancangan menentukan kesempurnaan
pembakaran dan residu yang dikeluarkan.
OKSIDASI MATERI KARBON ORGANIK
o Insinerasi adalah proses oksidasi senyawa organik dengan kontrol temperatur tinggi untuk
dikonversi menjadi CO2 dan air. Proses insinerasi untuk pengolahan limbah berbahaya relatif
sangat kompleks. Komponen nitrogen dalam insinerator akan menghasilkan nitrogen oksida (NOx)
dan masuk ke dalam sistem dalam 2 cara, yaitu melalui udara yang dipasok, dikenal sebagi thermal
NOx serta melalui bahan bakar (limbah) yang dikenal sebagai fuel NOx.
limbah yang sangat volatil, seperti hidrokarbon cair membutuhkan lebih sedikit udara dibanding
lumpur hidrokarbon yang mengandung lebih sedikit volatil. Suplai udara yang berlebihan perlu
dihindari karena akan menaikan kebutuhan bahan bakar untuk sampai pada panas tertentu dan
mengurangi waktu tinggal limbah yang dibutuhkan, serta menaikan volume emisi udara.

OKSIDASI ORGANIK BERHALOGEN


o Berdasarkan keseimbangan termodinamika serta tes dalam skala batch ternyata bahwa organik
berkhlor hampir secara tuntas akan bereaksi dalam ruang pembakaran membentuk HCl serta
sedikit elemen Cl2. Jumlah Cl2 pada gas adalah proporsional dengan temperatur insinerator dan
kelebihan udara yang diterapkan.
PARAMETER OPERASIONAL
o Destruksi limbah B3 dalam sebuah insinerator tercapai dengan terpaparnya limbah pada temperatur
tinggi, biasanya di atas 850 C. Bila dirancang dan dioperasikan secara tepat maka cara ini akan
memberikan hasil yang baik dalam menghancurkan limbah berbahaya dan sekaligus mengurangi
volume dan massanya. Banyak insinerator limbah B3 dirancang atas pengoperasian pada tekanan
sedikit negatif untuk mengurangi emisi yang terlalu cepat. Kebocoran udara dapat terjadi pada
tekanan rendah ini, tetapi pengendapan yang sangat ketat tidak dibutuhkan. Salah satu kelemahan
pada insinerator jenis ini adalah masalah kebocoran yang mungkin terjadi.

TERMINOLOGI PANAS
o Dalam setiap proses insinerasi, output dari sistem harus selalu sama dengan input dari sistem
tersebut. Disamping itu, setiap proses yang hanya terdiri dari transfer panas dari sebuah tempratur
ke temperatur lain akan menghasilkan transfer panas dari daerah temperatur lebih tinggi ke daerah
termperatur lebih rendah. Panas yang dikeluarkan dalam proses pembakaran menghasilkan besaran
sekitar 7,8 Kcal/kg karbon terbakar dan 34 Kcal/kg hidrogen terbakar. Temperatur maksimum dari
pembakaran dicapai pada kondisi stoichiometris.
KINERJA INSINERATOR LIMBAH BERBAHAYA
o Insinerator limbah berbahaya membutuhkan uji bakar (trial bum) terlebih dahulu, dan dilakukan
pengujian terhadap principal organic hazardous (POHC). Konsep POHC ini memegang peranan
penting dalam insinerator limbah kimia berbahaya. Terdapat daftar POHC yang harus dipilih
berdasarkan :
- Konsentrasi tertinggi dalam limbah (% berat)
- Paling sulit terbakar dalam insinerator (nilai kalor kcal/kg atau Btu/lb)
Monitoring emisi pada cerobong yang dilakukan adalah terhadap oksigen(O2), karbon monoksida
(CO), oksida nitrogen (NOx), hidrogen khlorida (HCl), total organik berkhlor. Sebuah insinerator yang
menginsinerasi limbah B3 dan menghasilkan emisi HCl lebih besar dari 1,8 Kg/jam harus melengkapi
pengontrol pencemaran udara sehingga emisinya tidak melebihi (dipilih yang terbesar) 1,8 Kg/jam
atau 1 % HCl.

JENIS INSINERATOR
o Dalam aplikasinya untuk mengolah/mebakar limbah, beraneka insinerator telah kembangkan dan
beraneka cara untuk membedakan satu dengan yang lain, diantaranya berdasarkan perbedaan :
a. Cara pengoperasian : Batch atau kontinu
b. Tungku yang digunakan :
- Statis (untuk insinerator modular atau kecil, termasuk insinerator RS)
- Mechanical stoker : biasanya untuk sampah kota
- Fluiduzed bed : biasanya untuk limbah homogen
- Rotary klin : untuk limbah industri baik padat, lumpur dan cair
- Multiple hearth : untuk limbah industri
c. Cara penyuplaian limbah, biasanya dikaitkan dengan fasa limbah (padat, gas,
sludge, dll)
d. Masing-masing jenis kemudian berkembang lagi sesuai kebutuhannya, misalnya dalam insinerator
modular dikenal pembagian jumlah ruang pembakarnya, misalnya kamar-jamak, yang kemudian
dibedakan lagi menjadi multi chambre, multi cambre dan control-air.

INSINERATOR ROTARY KLIN


o Banyak limbah berbahaya yang mempunyai nilai kalor tinggi dibakar pada industri yang
menggunakan boiler dan tungku, sehingga mengurangi bahan bakar sampai 5-10%, misalnya pada
pabrik semen.
Disamping itu pelarut berkhlor yang mempunyai nilai kalor tinggi dapat digunakan sebagai bahan
bakar pengganti dalam industri semen. Cara ini diterapkan pada pusat pengolahan limbah B3 (PPLI).
Insinerator rotary klin ini dapat menangani limbah padat, berlumpur, cair dan gas.
Umumnya sistem klin terdiri dari 2 kamar, yaitu kamar 1 beroperasi pada 1500-2000F (815-1540C)
dan kamar 2 agar pembakaran sempurna (after-bumer) bekerja pada 1800-3000F (980-1650C). Limbah
yang tervolatil dari kamar 1 lalu masuk kamar 2.

INSINERATOR MULTIPLE HEARTH


o Biasanya terdapat 5 9 hearth dengan diameter antara 3 7,5 m. Sebuah shaft diletakan di pusat
insinerator. Pada shaft ini terdapat lengan penggaruk pada hearth yang berputar dengan putaran
sampai 2 rpm. Dengan mekanisme penggaruk, maka limbah berlumpur terdorong ke lubang di masing-
masing tingkat menuju ke hearth di bawahnya. Insinerasi limbah lumpur biasanya membutuhkan
temperatur minimum 1400-1600F (760-870C) dengan waktu tinggal minimum detik untuk
menghancurkan materi organik yang dikandungnya. Biasanya kandungan lumpur dibatasi antar 15-
50%, dibawah 15% limbah ini akan mengalir tidak seperti yang diinginkan anatra hearth, sedang bila
terlalu kental akan menumpuk di lubang keluar pada hearth di bawahnya.
JENIS LAIN
o Kapal insinerator : Di negara industri juga dikembangkan kapal insinerator untuk menangani limbah
berbahaya.
o Insinerator modular : Rancangan insinerator kapasitas kecil tradisional yang biasa digunakan adalah
insinerator kamar-jamak (multiple chambre incinerator). Jenis insinerator kapasitas kecil yang sekarang
banyak digunakan adalah jenis controlled-air, yang dikenal di pasaran sebagai pembakaran secara starved air
atau secara pyrolytic.
PERALATAN
o Operasi sebuah insinerator didasarkan atas reaksi komponen-komponen limbah dengan oksigen. Biasanya
udara digunakan sebagai sumber oksigen. Insinerator dibuat/dibangun dengan bahan terpilih untuk
memungkinkan operasi menerus yang bebas masalah dengan kondisi limbah. Isolasi insinerator dengan
bahan refractory dibutuhkan untuk menjamin bertahannya panas dalam insinerator. Beberapa jenis refractory
yang biasa digunakan adalah fireclay, alumina, silica, chromium, magnesia, dan berbagai oksida lainnya.
Terdapat beragam perlengkapan tambahan yang perlu dipertimbangkan seperti sistem pemasokan yang harus
cocok dengan karakter limbahnya, burner dan after burner dibutuhkan untuk menjamin DRE, Air pollution,
penyingkir debu.
BAB XII
LANDFILLING LIMBAH B3
PENDAHULUAN

o Penyingkiran dan penusnahan limbah ke dalam tanah (land disposal) merupakan cara yang selalu
disertakan dalam pengelolaan limbah, karena pengelolaan limbah tidak dapat menuntaskan
permasalahan yang ada. Cara ini mempunyai banyak resiko akibat kemungkinan pencemaran air
tanah, terutama bila digunaka untuk limbah B3.

Dengan pengetapan peraturan-peraturan, maka setiap penghasil limbah harus mengolah limbah
cairnya secara lebih ketat, yang menuntut peningkatan pemisahan materi terlarut dan atau
tersuspensi dari cairannya sehingga efluennya sesuai dengan baku mutu badan air penerima. Bila
pengolahan limbah cair tersebut tidak disertai upaya detoksifikasi, maka upaya tersebut hanya
sekedar memindahkan permasalahan dari limbah cair menjadi limbah padat/lumpur.

Cara penyingkiran limbah ke dalam tanah dengan pengurungan/penimbunan yang dikenal sebagai
landfilling, mula-mula digunakan untuk sampah kota, kemudian diaplikasikan untuk menyingkirkan
limbah padat dari kegiatan non-domestik termasuk limbah industri dan limbah berbahaya.
LANGKAH PENGURANGAN DAMPAK
o Namun ternya banyak fasilitas ini yang mendatangkan masalah pada lingkungan, terutama dari lindi
(leachate) yang mencemari air tanah, karena tidak disiapkan dan dioperasikan dengan baik. Fasilitas
harus tidak membahayakan lingkungan dengan pemilihan lokasi yang tepat, penyiapan prasaran yang
baik dengan memanfaatkan teknologi yang sesuai dengan pengoperasian yang baik pula. Dapat
dikatakan bahwa landfilling merupakan upaya terakhir. Upaya terkhir yang tak kalah pentingnya
adalah mencari sebuah lahan baik sehingga dampak negatif yang mungkin timbul dapat diperkecil.
PERKEMBANGAN LANDFILL
o Ide awal dari metode ini adalah mengisi cekungan, lembah, bekas pertambangan yang tidak produktif.
Cara penyiapan pada lahan dengan kondisi demikian dikenal sebagai metode pit atau canyon atau
quarry. Dengan terbatasnya site yang sesuai, maka dilakukan pengupasan site sampai kedalaman
tertentu. Cara ini dikenal sebagai metode slope atau ramp. Untuk daerah yang datar, atau muka air
tanah di bawahnya tinggi, sulit untuk melakukan pengupasan site sampai dalam. Kadangkala sampah
bukan lagi diurung (fill) tetapi langsung ditimbun diatasnya. Cara ini dikenal sebagai metode area.
JENIS LANDFILL
o Penangan limbah sebelum di landfilling digunakan sebagai cara untuk membedakan jenis landfill.
Dikenal :
- Landfill dengan sampah yang dipotong (shredding) terlebih dahulu
- Landfill dengan sampah yang dipadatkan terlebih dahulu (baling)
- Landfill dengan kompaksi di tempat dengan menggunakan kompaktor
Landfill sampah kota secara tradisional mengurung sampah apa adanya, kemudian dipadatkan dengan
dozer. Dengan cara ini kepadatan yang dapat dicapai maksimum hanya 0,6 ton/m3. untuk mempercepat
proses degradasi, dikembangkan beragam pengoperasian baru diantaranya :
- Landfill semi aerobik : dengan mengupayakan leachate tidak tergenang,
dan berada di baeah dasar sampai terbawah. Udara diharapkan masuk
melalui dasar timbunan.
- Landfill aerobik : mengupayakan agar timbunan sampah tetap mendapat
oksigen melalui penyedotan bagian bawah dasar timbunan, sehingga gas
yang terperangkap di dalamnya akan keluar, dan udara segar dari luar
akan menggantikannya. Landfill yang akan diperoleh tidak bau.
PELAPIS DASAR
o Sasaran pelapis dasar (liner) adalah agar migrasi lindi ke dalam air tanah diminimalkan. Lindi akan
melalui penyaringan primer, yang dapat berupa lapisan geotekstil atau media kerikil atau pasir yang
tersusun secara baik. Lapisan geogrid dapat ditambahkan untuk menambah kestabilan struktural.
Lapisan penyangga primer terdiri dari lapisan geosintetis seperti geomembran untuk landfill kategori I
dan II, atau lapisan tanah clay yang kedap untuk landfill kategori III.
Landfill kategori III dengan lapisan liner clay alamiah adalah sejenis dengan landfill untuk sampah
kota.

PENANGANAN LEACHATE
o Adanya presipitasi menyebabkan terjadinya perkolasi dalam massa limbah dan melarutkan komponen
cemaran ke dalam air tanah. Pencemaran ini dikenal sebagai lindi. Lindi akan bergerak ke dasa
landfill secara gravitasi membawa cemaran yang tersuspensi maupun terlarut. Pengelolaan lindi yang
terbentuk diatur dengan ketentuan antar lain adalah tidak boleh diencerkan. Bila tempat pengumpul
lindi berupa tangki, maka disekeliling tangki harus dibangun tanggul dan volume area dalam tanggul
dirancang sebesar 110% dari volume tangki. Lindi tersebut harus diolah sehingga sesuai baku mutu
yang berlaku.
PENUTUP AKHIR
o Sumber terbesar dari timbulnya lindi adalah akibat infiltrasi air melalui bagian atas landfill, karenanya
aplikasi penutup akhir memgang peranan penting. Fungsi penutup akhri adalah pengontrol gerakan air
ke dan dari landfill, pengontrol binatang atau vektor-vektor penyakit agar tidk bersarang, pengamatan
terhada adanya kontak langsung limbah dengan manusia, pengontrol gas terbentuk, pencegah
kebakaran, penjamin stabilitas longsor dan erosi, pengontrol agar limbah tidak terbuang ke luar,
pengatur tampilan dari sudut estetika, penjamin tanaman/tumbuhan agar tumbuh secara baik.
Adanya geogrid akan menambah kapasitas tegangan pada penutup sehingga mengurangi settlement
yang bersifat diferensial.

MONITORING DAN PASCA-OPERASI


o Menurut Kep No.04/bapedal/09/1995, secara landfilling harus dilengkapi sistem pemantauan kulitas air
tanah maupun air permukaan. Seblum landfill ditutup untuk seterusnya, maka pengelola landfill perlu
menyiapkan beberapa hal, seperti bagaimana :
- Pengintegrasian sistem penutup akhir
- Pemeliharaan sistem drainase
- pemeliharaan sistem monitoring air tanah
- pemeliharaan patok batas sarana
- pencegahan masuknya orang/hewan ke dalam saran

Anda mungkin juga menyukai