Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KEBIJAKAN TAMBANG

Pemanfaatan Batubara Kualitas Marginal

OLEH:

RICHARD S. THENU (013 064 021 0)


ECA AYER (20140611044015)
NERZHI T. SIANG (0120640148)
IRIUS WENDA (20160621044001)

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil yang terbentuk dari endapan,
batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara
terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata batuan lainnya dan
diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama jutaan tahun sehingga
membentuk lapisan batubara. Batubara merupakan energi yang cukup andal untuk
menambah pasokan bahan bakar minyak mengingat cadangannya yang cukup
besar.
Dalam perkembangannya, batubara diharapkan dapat menjadi jembatan
dari energi konvensional (terutama minyak) ke energi non-konvensional yang
lebih bersih dan dapat diperbarui. Namun kualitas batubara Indonesia yang pada
umumnya didominasi oleh batubara peringkat rendah (lignit), yaitu sekitar 70%
dari total sumber daya, belum banyak dieksploitasi karena masih mengalami
kendala dalam transportasi dan pemanfaatan. Batubara peringkat rendah ini
mempunyai kandungan air total cukup tinggi sehingga nilai kalor menjadi rendah.
Sumberdaya batubara adalah sumberdaya alam yang tidak terbaharukan,
maka oleh sebab itu segala bentuk pemborosan sumberdaya batubara harus
dicegah dan dihindari. Dengan demikian, perlu dilakukan suatu tahapan:
mengoptimalkan produksi penambangan, mengoptimalkan pengolahan dan
memperlakukan batubara kadar marginal dengan baik sehingga pemanfaatan
batubara tersebut mempunyai nilai tambah.

1
1.2.Tujuan dan Manfaat
1.2.1. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1. Menganalisis upaya pemanfaatan batubara kualitas marginal
2. Menganalisis kebijakan pemerintah dalam menangani
pemanfaatan batubara kualitas marginal.
1.2.2. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini, yaitu:
1. Sebagai sumber ilmu dalam mengetahui perkembangan
Indonesia dalam pemanfaatan batubara kualitas marginal, serta
kebijakan yang berlaku dalam hal ini.
2. Sebagai konsumsi ilmiah bagi kaum akademis dan dapat
dijadikan referensi bagi Mahasiswa/i dalam memenuhi tugas
Mata Kuliah Kebijakan Tambang mengenai pemanfaatan
batubara kualitas marginal.

1.3. Permasalahan
1.3.1 Rumusan Masalah
1 Bagaimana upaya pemanfaatan batubara kualitas marginal?
2. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam menangani pemanfaatan
batubara kualitas marginal?
1.3.2 Batasan Masalah
1. Upaya pemanfaatan batubara kualitas marginal.
2. Kebijakan pemerintah dalam menangani pemanfaatan batubara
kualitas marginal.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batubara
Batu bara adalah sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang berubah
bentuk yang awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut. Penimbunan lanau
dan sedimen lainnya, bersama dengan pergeseran kerak bumi (dikenal sebagai
pergeseran tektonik) mengubur rawa dan gambut yang seringkali sampai ke
kedalaman yang sangat dalam. Dengan penimbunan tersebut, material tumbuhan
tersebut terkena suhu dan tekanan yang tinggi. Suhu dan tekanan yang tinggi
tersebut menyebabkan tumbuhan tersebut mengalami proses perubahan fisika dan
kimiawi dan mengubah tumbuhan tersebut menjadi gambut dan kemudian batu
bara.
Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode
Pembentukan Karbon atau Batu Bara) dikenal sebagai zaman batu bara pertama
yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari
setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu
pembentukan, yang disebut sebagai maturitas organik. Proses awalnya gambut
berubah menjadi lignite (batu bara muda) atau brown coal (batu bara coklat)
Ini adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan
batu bara jenis lainnya, batu bara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari
hitam pekat sampai kecoklat-coklatan.
Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan
tahun, batu bara muda mengalami perubahan yang secara bertahap menambah
maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batu bara sub-
bitumen.Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara
menjadi lebih keras dan warnanya lebh hitam dan membentuk bitumen atau
antrasit. Dalam kondisi yang tepat, penigkatan maturitas organik yang semakin
tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit.

1
Batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia
merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak,
karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai
tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha
pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah
mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada
pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan
(UU no 4 tahun 2009).

2.2 Tingkat Kualitas Batubara


Tingkat perubahan yang dialami batu bara, dari gambut sampai menjadi
antrasit disebut sebagai pengarangan memiliki hubungan yang penting dan
hubungan tersebut disebut sebagai tingkat mutu batu bara.
1. Batubara dengan mutu yang rendah, seperti batubara muda dan sub-
bitumen yang biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan
berwarna suram seperti tanah. Batu bara muda memilih tingkat
kelembaban yang tinggi dan kandungan karbon yang rendah, dan dengan
demikian kandungan energinya rendah.
2. Batubara dengan mutu yang lebih tinggi umumnya lebih keras dan kuat
dan seringkali berwarna hitam cemerlang seperti kaca. Contohnya adalah
batubara bitumen dan antrasit. Batubara dengan mutu yang lebih tinggi
memiliki kandungan karbon yang lebih banyak, tingkat kelembaban yang
lebih rendah dan menghasilkan energi yang lebih banyak. Antrasit adalah
batubara dengan mutu yang paling baik dan dengan demikian memiliki
kandungan karbon dan energi yang lebih tinggi serta tingkat kelembaban
yang lebih rendah

1
Proses pembentukan batubara dari gambut hingga antrasit, tentu saja
dipengaruhi oleh terdapat beberapa faktor seperti adanya perkembangan dan jenis
tumbuh-tumbuhan, keadaan lingkungan pengendapan, dan adanya proses geologi.
Perkembangan dan jenis tumbuh-tumbuhan sangat berpengaruh sekali terhadap
jenis dan akumulasi batubara yang terjadi. Berbagai macam jenis tumbuhan dan
bagian-bagian dari akar sampai bunga, antara lain : vitrain yang terbentuk dari
batang kayu yang keras dan merupakan batubara yang porous.
Sementara itu, keadaan lingkungan pengendapan batubara akan
mempengaruhi jenis, kilap dan peringkat dari batubara. Keadaan lingkungan
pengendapan ini meliputi : cuaca, iklim dan keadaan tanah maupun rawa-rawa
tersebut. Batubara yang terendapkan pada daerah tropis dan beriklim hangat akan
membentuk batubara yang mengkilap, sedangkan pada daerah dingin akan
membentuk batubara yang kusam.
Sedangkan proses geologi yang dapat mempengaruhi pembentukan atau
peningkatan derajat kualitas batubara, antara lain :
1. Intrusi yang menyebabkan batubara mengalami metamorfosa kontak
sehingga derajat batubara akan meningkat seperti di Tambang Air Laya dan
Balong Hijau.

1
2. Perlipatan yang terjadi pada zona perlipatan yang kuat, batubara akan
mengalami kenaikan derajat.
3. Patahan atau zona patahan, batubara akan mengalami metamorfosis akibat
adanya dislokasi, misalnya : di Ombilin Sumatera Barat.

2.3 Pemanfaatan Batubara


Batubara sebagai suatu mineral yang dapat dibakar telah dikenali oleh
nenek moyang manusia sejak berabad-abad lampau. Manusia primitif mencari
batubara untuk tungku perapian. Sisa sisa pengapian dengan batubara telah
dirunut sampai ke masa prasejarah. Batubara telah ditambang di Cina dan yunani
berabad- abad sebelum masehi. Namun baru kurang tiga abad lampau batubara
mulai memegang peranan sebagai sesuatu yang sangat vital dalam kehidupan
dunia.
Pembangunan jalur jalur kereta api pada pertengahan pertama abad ke
19 menandai suatu kejadian yang sangat penting dalam sejarah industri batubara.
Dengan sarana ini, perdagangan batubara antar satu daerah dengan daerah lainnya
dapat berjalan lancar. Pada kurun waktu berikutnya, banyak Negara yang
mengandalkan sebagai bahan bakar yang penting untuk pemanasan energi.
Jumlah sumber batubara di Indonesia mencapai 38,9 milyar ton. Jumlah
sebesar itu tersebar di Sumatra sekitar 17,5 milyar ton ( 45 % ), Kalimantan
sebesar 21,2 milyar ton (54,4%) dan sisanya tersebar di pulau Jawa, Sulawesi, dan
Irian Jaya. Data terbaru menunjukan data produksi batu bara di Indonesia
mencapai 73,8 juta ton pertahun. Sebagian besar (74%) di ekspor dan sisanya
(26%) digunakan untuk kebutuhan dalam negeri.
Ada 3 (tiga) jenis dalam pemanfaatan batubara adalah sebagai berikut :
a. Bahan Bakar Langsung
b. Non Bahan Bakar
1. Pengkajian pemanfaatan batubara untuk pembuatan karbon aktif.
2. Daur ulang minyak pelumas bekas dengan menggunakan batubara
peringkat rendah sebagai penyerap.
3. Reduksi bijih besi dengan reduktor batubara

1
c. Bahan Bakar Langsung dan Non Bahan Bakar
Yaitu Underground Coal Gasification (UCG), merupakan suatu
teknologi pemanfaatan batubara dengan cara mengkonversikan secara
insitu menjadi bahan bakar gas dan untuk penggunaan industri kimia
lainnya. Sebagian gas dipergunakan sebagai bahan bakar stasiun
pembangkit tenaga listrik dan sebagian lagi dipergunakan sebagai
bahan sintesis (syrgas) bahan kimia, seperti hidrogen, methanol, atau
bahan kimia gas lainnya.
2.4 Kebijakan Pemerintah
2.4.1 PP no 55 tahun 2010
Peraturan Pemerintah nomor 55 Tahun 2010 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara pasal 25, bahwa pengawasan
Konservasi sumberdaya Mineral dan Batubara paling sedikit harus
mencakup:
1. Recovery Penambangan dan Pengelolaan,
2. Pengelolaan dan/atau pemanfaatan cadangan marginal,
3. Pengelolaan dan/atau pemanfaatan batubara kualitas rendah dan
mineral kadar rendah,
4. Pengelolaan dan/atau pemanfaatan mineral ikutan,
5. Pendataan sumberdaya serta cadangan mineral dan batubara yang
tidak tertambang,
6. Pendataan dan pengelolaan sisa hasil pengolahan dan pemurnian.

2.2.2 PP no 78 tahun 2010


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 78 tahun
2010, BAB 2, pasal 3, ayat 2 menjelaskan bahwa pemegang IUP
operasi produksi dan IUPK operasi produksi wajib melaksanakan
reklamasi dan pascatambang seperti memenuhi prinsip
perlindungan, pengelolaan lingkungan hidup, keselamatan,
kesehatan kerja, konservasi mineral dan batubara. Prinsip

1
konservasi mineral dan batubara meliputi penambangan yang
optimum, penggunaan metode dan teknologi untuk pengolahan dan
pemurnian yang efektif dan efesien, pengelolaan atau pemanfaatan
cadangan marjinal, mineral kadar rendah dan mineral ikutan, serta
kualitas batubara rendah dan pendataan sumberdaya dan pendataan
cadangan mineral dan batubara yang tidak tertambang serta sisa
pengolahan dan pemurnian.

1
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Analisis Permasalahan


3.1.1 Analisis 1: Pemanfaatan batubara kualitas marginal
menggunakan teknologi UBC (Upgraded Brown Coal)
Batubara peringkat rendah mempunyai kandungan air total
cukup tinggi sehingga nilai kalor menjadi rendah. Bertolak dari
kondisi tersebut, timbul pemikiran bagaimana menanggulangi
tingginya kadar air dalam batubara. Apakah air lembab dalam
batubara dapat di kurangi dengan hanya memanaskan batubara
tersebut sehingga airnya keluar berupa uap, atau apakah
pengurangan kadar air dengan cara ini bersifat permanen, artinya
akan tetap stabil setelah disimpan sekian lama.
Beberapa penelitian untuk mengurangi kadar air telah
dilakukan sejak tahun 1920-an di Amerika Serikat, Australia,
Jepang, dan lain-lain (Suwono, 2000). Salah satu di antaranya adalah
teknologi Upgraded Brown Coal (UBC) yang merupakan teknologi
peningkatan kualitas (upgrading) batubara peringkat rendah melalui
penurunan kadar air total yang dikembangkan oleh Kobe Steel Ltd.,
Jepang. Keuntungan teknologi ini antara lain karena proses
berlangsung pada temperatur dan tekanan rendah. Untuk mencegah
masuknya kembali air ke dalam batubara, maka dalam proses
ditambahkan minyak residu untuk melapisi pori-pori pada partikel
batubara.
Berdasarkan penelitian proses UBC skala labratorium di
Puslitbang tekMIRA (Datin, 2002) dan skala bench di Kobe Steel
Ltd., Kakogawa, Jepang, (Shigehisa, 2000), beberapa batubara
peringkat rendah yang berasal dari Indonesia dapat ditingkatkan
kualitasnya. Dalam proses UBC, batubara dibuat slurry dengan
menggunakan minyak tanah yang dicampur dengan minyak residu,

1
kemudian dipanaskan pada temperatur 150C dan tekanan sekitar 3,5
atm (Deguchi,1999). Batubara hasil proses dipisahkan, dikeringkan,
dan dibuat briket. Campuran minyak tanah dan residu dapat
digunakan kembali untuk proses selanjutnya. Penambahan minyak
residu diperlukan untuk menutup pori-pori batubara yang terbuka
sehingga air yang telah keluar tidak akan terserap kembali.

Program UBC di Indonesia


Teknologi UBC di Indonesia dimulai dengan dibangunnya pilot
plant di Palimanan, Cirebon yang telah mulai beroperasi sejak tahun
2003 dengan kapasitas 5 ton/hari. Tahun 2006 dibangun pabrik UBC
skala demo dengan kapasitas 1.000 ton/hari yang akan mulai
beroperasi tahun 2008. Skala komersial dengan kapasitas 5.000
ton/hari atau 1,7 juta ton/tahun dibangun pada tahun 2009 dan
beroperasi pada tahun 2010. Pada tahun 2025 diharapkan telah ada 14
pabrik UBC skala komersial dengan kapasitas masing-masing 1,7 juta
ton/hari sehingga pada tahun tersebut kurang lebih 24 juta ton/tahun
batubara peringkat rendah Indonesia telah dapat ditingkatkan
kualitasnya dan dapat diekspor untuk menambah devisa negara.

1
3.1.2 Analisis 2: Kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan batubara
kualitas marginal
Kebijakan pemerintah merupakan salah satu landasan dalam
pengelolaan sumberdaya batubara untuk mewujudkan tercapainya
pemanfaatan cadangan kualitas marginal. Adapun langkah dan strategi
untuk menangani permasalahan tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Membuat Kebijakan atau regulasi tentang kegiatan pertambangan.
Kebijakan ini mencakup kegiatan pertambangan mulai dari eksplorasi,
penambangan, pengangkutan, pengolahan dan pemurnian, sampai
pada tahap penutupan tambang. Dalam hal ini yang perlu dibuat oleh
pemerintah adalah kebijakan tentang sumberdaya dan cadangan
batubara, recovery penambangan, stripping ratio pada batubara,
bahan galian kadar tinggi dan kadar rendah, penanganan sisa
cadangan, penanganan tailing, peningkatan nilai tambah kualitas
batubara, hingga reklamasi tambang.
2. Tata cara penetapan dan pengawasan sumberdaya dan cadangan
batubara.
Hal ini harus dilakukan karena seperti yang kita tahu perhitungan
sumberdaya dan cadangan pada umumnya hanya mempertimbangkan
aspek ekonomi perusahaan dan aspek lingkungan tanpa
memperhatikan kaidah konservasi, dan kuantitas yang ditambang
berubah- ubah sesuai kondisi ekonomi dan teknologi perusahaan. Olah
karena itu aspek konservasi harus diterapkan dalam hal perhitungan
sumberdaya dan cadangan sehingga tercapai pemanfaatan yang
optimal dan berkelanjutan, bisa memenuhi kebutuhan saat ini tanpa
menganggu kebutuhan masa depan.
3. Recovery penambangan.
Recovery penambangan adalah perbandingan antara hasil
penambangan menggunakan metode tertentu dengan jumlah cadangan
layak tambang berdasarkan penghitungan cadangan terbukti dan
desain penambangan. Pada proses penambangan, recovery

1
penambangan memiliki pengaruh besar dalam menentukan kerja dan
keberhasilan kegiatan penambangan. Yang perlu diperhatikan disini
adalah antara lain: keadaan bahan galian ( bentuk endapan, sebaran,
kadar), cadangan layak tambang, desain penambangan, target
produksi, realisasi recovery penambangan, penanganan produk
sampingan, penambangan cadangan yang belum tertambang baik
kadar tinggi maupun kadar rendah, dll. Penambangan yang efektif dan
efisien seharusnya mampu menambang cadangan yang layak secara
optimal sehingga menunjukkan nilai recovery yang baik. Namun pada
kenyataannya masih ada kegiatan pertambangan yang hanya
mementingkan aspek ekonomi saja tanpa menghiraukan aspek
konservasi sehingga hal ini merugikan negara. Oleh karena itu
recovery penambangan sangat perlu diperhatikan dalam penerapan
konservasi bahan galian.
Dalam melakukan kebijakan mengenai pemanfaatan batubara
kualitas marginal sangat diperlukan peran pengawasan ketegasan dan
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat sebagai pemegang
kewenangan atas IUP yang diberikan kepada perusahaan- perusahaan
tambang.

1
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pemanfaatan batubara kualitas marginal dapat dioptimalkan melalui
kemajuan teknologi salah satunya UBC (Upgraded Brown Coal). UBC
merupakan proses peningkatan nilai kalori batubara rendah melalui penurunan
kadar air lembab dalam batubara. Sementara itu kebijakan pemerintah yang
berlaku dalam mewujudkan tercapainya pemanfaatan cadangan batubara kualitas
marginal tercantum dalam PP Republik Indonesia no 55 & 78 tahun 2010.
Adapun langkah dan strategi pemanfaatan batubara kualitas marginal yaitu
membuat kebijakan atau regulasi tentang kegiatan pertambangan, tata cara
penetapan dan pengawasan sumberdaya dan cadangan batubara serta perhatian
ekstra terhadap recovery penambangan batubara,

4.2 Saran
Adapun saran dari kami bagi pemerintah yaitu perlunya meningkatkan
pengawasan terhadap industri batubara dalam hal ini pemanfaatan batubara
kualitas marginal sehingga mempunyai nilai tambah dan nilai jual yang tinggi,
yang dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia.

1
DAFTAR PUSTAKA

APBI ICMA (Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Indonesia Coal


Mining Assosiation), Kebijakan Batubara Ke-depan;
Http:// anomdyas.blpgspot.com/2015/01/good-mining-practice.html;

Perundang - undangan
PP no 55 & 78 tahun 2010 tentang pembinaan dan pengawasan pertambangan.

Anda mungkin juga menyukai