E-mail: Afifahsolehat.as@gmail.com
Abstrak
Indonesia merupakan negara kepulauan. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977
mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570
km² dan luas perairannya 3.257.483 km². Dengan luas laut yang mencapai 70% dari luas daratan,
Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat berlimpah.
Jika hal ini dibiarkan, maka ekosistem laut di Indonesia bisa tercemar dan
membahayakan biota-biota laut yang hidup didalamnya. Lebih jauh lagi untuk masyarakat yang
tinggal di pinggir laut yang memiliki profesi sebagai nelayan dan menggantungkan hidupnya di
laut tersebut, jika menggunakan air laut baik untuk dikonsumsi,atau untuk air mandi maka air
yang tercemar karena bahan kimia tersebut membuat kesehatan terganggu. Jadi tidak hanya
ekosistem laut yang terganggu tapi juga membahayakan kehidupan masyarakat yang hidup di
pinggir laut atau pinggir pantai.
Permasalahan ini tidak hanya dihadapi oleh Indonesia saja tapi juga oleh negara-negara
lain. Maka dari itu, dibentuklah Perjanjian/Konvensi Internasional yang dalam hal ini dinamakan
Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous
Chemicals and Pesticides in International Trade (Konvensi Rotterdam tentang Prosedur
Persetujuan atas Dasar Informasi Awal untuk Bahan Kimia dan pestisida berbahaya Tertentu
dalam Perdagangan Internasional).
Semakin bertambahnya kemajuan zaman membuat manusia terus berupaya untuk membuat
kehidupannya semakin mudah, praktis, serta menginginkan apapun untuk diperoleh dengan
cepat. Tidak dapat dipungkiri hal itu juga ditambah dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi yang telah menghasilkan produk-produk industri yang dapat memenuhi kebutuhan
manusia dan mempermudah manusia memperoleh apa yang ia mau. Karena bahan-bahan organic
membutuhkan waktu yang lama serta penggunaan yang tidak praktis bahkan terkadang jika itu
adalah obat-obatan organic memiliki rasa yang tidak enak serta penyembuhan yang cenderung
lambat membuat beberapa orang beralih ke barang-barang yang terbuat dari bahan kimia.
Barang-barang yang dibuat dengan bahan kimia dikembangkan dengan cara membuat
produk-produk yang berguna untuk kepentingan manusia dan lingkungannya. Keunggulan yang
dimiliki barang yang dibuat dengan bahan kimia yaitu memiliki bentuk yang praktis dan mudah
diperoleh.
Walaupun bahan kimia mempunyai banyak keunggulan, banyak juga kerugian dan bahaya
yang timbul dari penggunaan bahan kimia tersebut. Apalagi jika penggunaannya tidak dibatasi
dan berlebihan. Beberapa kerugian yang ditimbulkan oleh bahan kimia antara lain menyebabkan
pencemaran air, pencemaran udara, mencemari lingkungan hidup, serta berbahaya bagi
kesehatan manusia. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah salah satu dari tujuh masalah
lingkungan utama pada tingkat global, sehingga membutuhkan kerjasama diantara negara-negara
untuk mengatasinya.1 Ancaman pencemaran lingkungan akibat limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3) mulai disadari sejak sebuah studi yang dilaksanakan oleh kantor menteri negara
kependudukan dan lingkungan hidup pada tahun 1983, mengungkapkan bahwa kegiatan sektor
industri di Jakarta telah membuang limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sebesar 47.798,4
ton per tahun, baik dalam bentuk limbah padat maupun limbah cair.2
Bahan berbahaya dan Beracun dapat masuk atau dimasukkan ke lingkungan melalui
beberapa sumber atau kegiatan, yaitu tempat usaha, transportasi, pergudangan, penyimpanan,
penggunaan dan pembuangan. Perdagangan pestisida di dunia yang masih dilakukan secara
illegal ini terjadi ketika informasi terkait pestisida yang diperdagangkan belum memenuhi
persyaratan pengiriman. Sesuai dalam pernyataan artikel US. Environmental Protection Agency,
“in many cases the amount of pesticide people are likely to be exposed is too small to pose a
risk”3
1
G.Palmer, “New Ways to Make International Environmental Law , 1992 , The American Jurnal Of International
Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam studi ini adalah penelitian normatif 4. Penelitian
normatif yaitu meneliti bahan pustaka dan data-data sekunder yang ada demi dapat mengetahui
berbagai informasi mengenai pelaksanan perjanjian internasional di Indonesia yaitu Konvensi
Rotterdam yang telah diratifikasi dan menjadi hukum nasional Indonesia yaitu Undang-undang
No.10 Tahun 2013 mengenai penggunaan dan pembatasan produksi bahan kimia berbahaya
Permasalahan
Sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak laut di daerah teritorialnya, lautan
Indonesia sangat rawan untuk menjadi tempat pembuangan limbah Bahan Beracun dan
Berbahaya (B3). Penggunaan maupun perdagangan senyawa kimia secara bebas bahkan
kebanyakan bersifat illegal bukan hanya menjadi perhatian di negara maju saja melainkan juga
menjadi masalah semua negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Senyawa kimia yang
berbahaya dan mengancam kesehatan manusia ini pun harus dilakukan tindakan sebagai upaya
untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk akibat senyawa kimia tersebut selain itu juga
untuk menjaga kesehatan lingkungan hidup. Tidak dapat dipungkiri juga walaupun menyebabkan
berbagai masalah, senyawa kimia termasuk pestisida yang digunakan oleh petani untuk
menyemprot tanaman mempunyai kegunaan untuk memberantas hama dan binatang-binatang
persuak tanaman. Walaupun tidak dapat dipungkiri penggunaan pestisida ini mengandung bahan
kimia yang buruk bagi pertumbuhan tanaman, menurangi unsur hara dalam tanah sehingga
mengurangi kesuburan tanah.
Mulai dari pembatasan produksi senyawa kimia, pemeriksaan apakah senyawa kimia itu
masih digolongkan aman untuk dipakai oleh manusia, kandungan-kandungan yang ada dalam
senyawa kimia tersebut yang harus terbebas dari Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Karena isu
penting inilah akhirnya negara-negara di dunia membuat perjanjian Rotterdam untuk
menanggulangi permasalahan ini.
4
Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang.
Konvensi Rotterdam terdiri atas 30 pasal dan lima lampiran. Materi pokok Konvensi
Rotterdam mengatur antara lain:
1. Konvensi ini berlaku untuk bahan kimia yang dilarang atau dibatasi dan formulasi
pestisida yang berbahaya. Konvensi ini tidak berlaku untuk narkotika dan psikotropika,
bahan yang bersifat radioaktif, limbah, senjata kimia, obat-obatan, bahan kimia sebagai
tambahan pangan, pangan, bahan kimia dalam jumlah yang kemungkinan besar tidak
mempengaruhi kesehatan manusia dan lingkungan apabila bahan tersebut diimpor untuk
tujuan penelitian atau untuk dipergunakan secara perorangan;
3. Kewajiban para pihak terkait dengan impor dan ekspor bahan kimia yang tunduk pada
prosedur pemberitahuan atas dasar informasi awal;
4. Notifikasi ekspor yang wajib diberikan oleh negara pengekspor kepada negara pengimpor
sebelum ekspor pertama pada setiap tahun kalender;
6. Pertukaran Informasi mengenai bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu; dan
7. Bantuan teknis.5
Melalui prosedur PIC, yang saat ini mencakup 26 pestisida dan 5 bahan kimia atau
kelompok bahan kimia Industri, konvensi Rotterdam menawarkan alat pertahanan kepada
negara peserta terhadap potensi masalah yang dapat timbul dari kegiatan ekspor dan impor,
dengan memungkinkan negara pengimpor, terutama negara berkembang, untuk menentukan
bahan kimia yang akan diterima dan mengecualikan bahan kimia yang tidak dapat dikelola
dengan aman.6
Urgensi Indonesia dalam meratifikasi konvensi Rotterdam adalah karena jumlah pestisida
yang terdaftar dan diizinkan untuk bidang pertanian dan kehutanan terus meningkat dari
tahun ke tahun, dan mencapai 1702 produk sampai dengan tahun 2008. 7 Indonesia
menandatangani Konvensi Rotterdam pada tanggal 11 September 1998 yang berlaku mulai
tanggal 24 Februari 2004.8
5
http://www.menlh.go.id/penjelasan-pemerintah-atas-rancangan-uu-tentang-pengesahan-nagoya-protocol-dan-
kovensi-rotterdam/
6
Commision proposes EU ratification of Rotterdam Convention on hazardous chemicals, IP/02/97, tahun 2002, hlm
1.
7
Kementrian Lingkungan Hidup: Deputi IV MenLH Bidang Pengelolaan B3, limbah B3, dan sampah Bab 11 hlm 11
8
Undang-undang RI No.10 tahun 2013
Bentuk keseriusan Pemerintah Indonesia terhadap perlindungan lingkungan hidup serta
warga negara Indonesia terhadap limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) berdasarkan
Konvensi Rotterdam diwujudkan ke dalam UU No. 10 Tahun 2013 tentang Prosedur
Persetujuan atas Dasar Informasi Awal untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu
dalam Perdagangan Internasional (Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent
Procedure for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade).
Selain itu Konvensi Rotterdam bisa dijalankan karena sebelumnya sudah ditopang
regulasi nasional. Beberapa contoh peraturan tersebut yaitu UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), Peraturan Pemerintah (PP) No. 7
Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida,
dan PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Telah
adanya Undang-undang yang mengatur secara legal produksi serta pemakaian bahan kimia
ini harusnya telah diketahui oleh berbagai pihak dan ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat,
namun nampaknya penegakan hukum terhadap konvensi Rotterdam dalam perlindungan
Lingkungan hidup ini belum terlalu efisien atau tidak terlalu terlihat.
KESIMPULAN
Masalah lingkungan hidup menjadi concern utama secara global. Untuk mencapai
lingkungan hidup yang terjaga dan bersih dari senyawa kimia yang berbahaya bagi lingkungan
maupun manusia yang tinggal di dalamnya. Konvensi Rotterdam menjadi titik tolak negara-
negara untuk semakin siap untuk menangani persoalan lingkungan hidup yang mengenai
pembatasan produksi senyawa kimia dan pestisida beracun, pengendalian produk bahan kimia
yang lolos uji bebas dari Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), serta memakai bahan senyawa
kimia yang aman bagi manusia dan lingkungan hidup.
Meskipun telah melegalisasi Konvensi Rotterdam dalam bentuk UU No.10 tahun 2013
yang telah secara jelas dan terinci mengenai aturan-aturan yang disusun berdasarkan prinsip
bahwa kebijakan perdagangan dan lingkungan hidup harus saling mendukung dengan maksud
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, di lapangan masih juga terdapat penyelundupan
senyawa kimia dan pestisida berbahaya yang illegal. Penggunaan pestisida berbahaya dan
terlarang masih sering dijadikan objek kegiatan ekspor dan impor karena produksi pestisida
tersebut dianggap jauh lebih murah. Kurangnya pengawasan produksi ekspor impor di Indonesia
juga merupakan salah satu penyebab kurang efisiennya implementasi dari Undang-undang No.10
tahun 2013.
REFERENSI
http://www.menlh.go.id/penjelasan-pemerintah-atas-rancangan-uu-tentang-pengesahan-
nagoya-protocol-dan-kovensi-rotterdam/
Kementrian Lingkungan Hidup: Deputi IV MenLH Bidang Pengelolaan B3, limbah B3,
dan sampah Bab 11 hlm 11
Palmer, G “New Ways to Make International Environmental Law , 1992 , The American
Jurnal Of International Law