Anda di halaman 1dari 16

KEBIJAKAN LINGKUNGAN PEMERINTAH INDONESIA PASCA RATIFIKASI

PROTOKOL KYOTO (SEBUAH KAJIAN TENTANG KEBIJAKAN KELEMBAGAAN


DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM
(CDM) DI INDONESIA
The Environmental Policy The Indonesian Government after the Ratification of the Kyoto
Protocol (A Study of Institutional Policy in the Implementation Clean Development
Mechanism (CDM) Program in Indonesia

Muhamad Riduan
Faculty Of Law Universitas Sriwijaya
Email : muhamadriduan131196.mr@gmail.com Dosen Pembimbing : Adrian Nugraha, SH, M.H.

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh kebijakan lingkungan
Pemerintah Indonesia dalam mendukung ratifikasi Protokol Kyoto dengan mengkaji kebijakan di
sektor kelembagaan dalam implementasi program CDM sebagai bahan kajian utama. Metode
penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif sebagai tipe penelitian sedangkan teknik
pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka (library research) dengan mengakumulasi data
yang pernah ditulis oleh para penulis maupun instansi yang terkait dengan pokok masalah kajian.
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa CDM merupakan satu-satunya skema mekanisme
pengurangan emisi Gas Rumah Kaca yang dapat melibatkan negara berkembang termasuk
Indonesia di dalamnya, mekanisme ini merupakan sebuah entitas bisnis. Diperlukan kebijakan
kelembagaan dari pemerintah yang komperhensif keterlibatan Civil Society Organization (CSO)
dan stakeholder lainnya yang lebih sinergis dalam inplementasi program ini di Indonesia.

Kata Kunci : Protokol Kyoto, Implementasi Program Clean Development Mecanism (CDM)
ABSTRACT
This study aims to determine to what extent the Environmental Policy of Indonesia
government support the ratification of the Kyoto Protocol by reviewing the policy on
institutional sectors in the implementation of CDM programs as the main study materials. The
method used in this study was qualitative descriptive research, as a type of research. The
Technique used in the data collection was the library research, which was conducted by
accumulating data ever written by the authors or institutions associated with the subject matter of
this study. The results reveal that CDM is the only mechanism scheme of glass house gas (GHG)
emissions reduction, that can involve developing countries including Indonesia. This mechanism
is a business entity. The implementation of this program in Indonesia needs a comprehensive
institutional policy from the government, and more synergic involvement of Civil Society
Organization (CSO) and other stakeholders.

Key Words : Kyoto Protocol, Implementation Clean Development Mechanism (CDM)


PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Protokol Kyoto di tahun 1997 menyepakati pengurangan emisi gas rumah kaca
(terutama gas CO2, CH4, NOx) sampai dengan tahun 2012. Pengurangan ini dibandingkan
dengan tingkat emisi Negara penandatangan di tahun 1990 (baseline).
Protokol Kyoto mengatur prinsip yang sama untuk semua negara penandatangan
tetapi dengan tanggung jawab yang berbeda (differentiated responsibility). Negara-negara
industri maju (disebut Annex 1 countries) diharuskan berkomitmen untuk mengurangi
jumlah emisinya, sementara negara berkembang (Non-Annex 1) tidak berkewajiban
mengurangi emisi, tetapi harus melaporkan status emisinya.
1
Dengan baseline emisi masing-masing Negara di tahun 1990, setiap Negara Annex-
1 memiliki komitmen yang berbeda untuk mengurangi emisinya, misalnya Austria
berkewajiban mengurangi 13% tingkat emisinya dibandingkan level emisinya di tahun 1990,
sementara Swedia berkewajiban -4% (berhak mengeluarkan tambahan emisi 4% dari level
emisinya di tahun 1990). Tidak terpenuhinya komitmen ini di akhir periode akan berakibat
sanksi.
Dengan pertimbangan bahwa (1) pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di satu
wilayah akan berdampak ke seluruh atmosfer dan (2) mengingat biaya pengurangan emisi di
satu negara dapat berbeda dengan di Negara lain, maka 2Kyoto Protokol mengatur
mekanisme pengurangan emisi ini melalui sistem transaksi sertifikat carbon atau carbon
credit atau emission credit (Certified Emission Reduction, CER) antara sesama Negara
Annex-1 atau antara Annex-1 dan Non-Annex 1. CERs ini dihasilkan dari kegiatan-kegiatan
yang mengurangi emisi gas rumah kaca setelah melalui proses tertentu yang panjang dan
membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Mekanisme pengurangan emisi gas rumah kaca tersebut diatur dalam 3 skema:
(1) International Emission Trading (IET): memungkinkan pemerintah Negara
Annex-1 untuk menjual kelebihan budget emisinya ke Negara lain yang

1
Rusbiantoro, Dadang, 2008 Global Warming for Beginner, Pengantar Komperhensif
tentang pemanasan Global, O2, Yogyakarta.

2
Burnie, David., 1999, Ecology, The Ivy Press Limited, London.
membutuhkan. Misalnya: Swedia (komitment pengurangan -4%) dapat menjual 4%
budget emisinya kepada Austria (komitment pengurangan 13%).
(2) Joint Implementation (JI): pelaksanaan kegiatan pengurangan gas rumah kaca di
sesama Negara Annex-1.
(3) Clean Development Mechanism (CDM): pelaksanaan kegiatan pengurangan gas
rumah kaca di Negara Non-Annex1. Misalnya: pelaksanaan solar panel di Indonesia.
CERnya dijual ke Negara Annex-1.
Jadi, pada dasarnya mekanisme CDM merupakan salah satu mekanisme insentif
secara finansial bagi pihak-pihak di Negara berkembang untuk melaksanakan kegiatan
pengurangan emisi gas rumah kaca. GRK ini umumnya dihasilkan dari penggunaaan fossil
fuel seperti bensin, diesel, minyak tanah, batu bara, gas alam, dan lain-lain, hal-hal yang
terkait dengan kegiatan industri, serta penimbunan sampah organik.
Keuntungan yang diperoleh melalui mekanisme CDM ini adalah dari penjualan
carbon credit (CERs) yang dihasilkan dari jumlah pengurangan gas rumah kaca (dihitung
equivalent dengan pengurangan CO2) hasil dari pelaksanaan proyek tersebut. Indonesia
sebagai salah satu negara yang turut meratifikasi aturan ini terhitung sejak tahun 2004 juga
telah membuat program pelaksanaan pengurangan Gas Rumah Kaca. Namun berbeda
dengan negara tetangganya seperti Malaysia, di dalam kurun dasawarsa 2000an dari sekian
program yang ditawarkan oleh Stake holder Indonesia. Baru enam proyek yang terakui
sebagai program CDM. Dibandingkan dengan Malaysia yang pada kurun waktu yang sama
telah meloloskan puluhan proyek CDM.
Fenomena ini menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Sebab Indonesia merupakan
negara terluas di Asia Tenggara dengan hamparan hutannya, namun mengapa banyak
proyek CDM yang diajukan oleh negara ini tidak lolos untuk mendapat insentif CER.
Hipotesis awal yang coba dibangun oleh penulis adalah belum relevannya model
Kelembagaan yang dibuat pemerintah Indonesia dalam mendukung upaya masyarakat dalam
mengurangi emisi Gas Rumah Kaca.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang diungkap di atas, maka yang
menjadi rumusan permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Potensi Gas Rumah Kaca yang dimiliki oleh Indonesia dalam tinjauan
Mekanisme CDM?
2. Apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk memasukkan Agenda
CDM dalam sektor kehutanan sehingga bisa disepakati sebagai salah satu skema dalam
mekanisme CDM?

TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan permasalahan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui Potensi Gas Rumah Kaca yang dimiliki oleh Indonesia dalam
tinjauan Mekanisme CDM
2. Untuk mengetahui apa saja tindakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
untuk memasukkan Agenda CDM dalam sektor kehutanan sehingga bisa disepakati
sebagai salah satu skema dalam mekanisme CDM

MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dari penelitian yang diharapkan dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
1. Sebagai salah satu pemikiran awal secara akademis yang dapat memperlihatkan relasi
antara sebuah persepakatan Internasional dengan kebijakan yang dibuat oleh negara
yang telah meratifikasinya khususnya pada aspek kelembagaan.
2. Sebagai masukan bagi pemerintah khususnya instansi terkait sebagai penentu Kebijakan
di sektor lingkungan di masa yang akan datang.
3. Sebagai bahan informasi terhadap penelitian–penelitian selanjutnya yang terkait dengan
tema penelitian.
TINJAUAN PUSTAKA

PEMANASAN GLOBAL
Pemanasan global bukan sebuah teori ilmiah yang samar-samar. Jika sedang terjadi pada
skala yang cukup berarti, maka pemanasan global mempunyai implikasi praktis yang penting
bagi seluruh umat manusia dalam waktu yang tidak terlalu jauh ke depan.

Pengertian pemanasan global


Gas dalam atmosfer yang molekulnya terdiri dari lebih dua atom yang mempunyai sifat
menyerap sinar matahari gelombang panas. Gas-gas itu disebut gas rumah kaca. Bumi yang
terkena sinar matahari menjadi panas, panas ini dipancarkan kembali oleh permukaan bumi ke
angkasa, tetapi terserap oleh GRK. Dengan diserapnya gelombang panas oleh GRK maka
naiklah suhu atmosfer yang menyelimuti bumi sehingga suhu dipermukaan bumi pun meningkat.
Inilah yang disebut dengan Pemanasan Global.

Efek Rumah Kaca


Bumi yang terkena sinar matahari menjadi panas. Kemudian panas ini dipancarkan
kembali oleh permukaan bumi ke angkasa, tetapi terserap oleh gas rumah kaca. Dengan
diserapnya gelombang panas ini oleh gas rumah kaca, maka naiklah suhu atmosfer yang
menyelemuti bumi sehingga suhu dipermukaan bumi pun naik. Inilah yang disebut Efek Rumah
Kaca.
Kemudian dapat pula terjadi efek gabungan, dimana dampak dari masing-masing gas
yang terkandung tergantung tidak hanya pada sifat-sifat rumah kacanya, tetapi juga pada masa
hidupnya dalam atmosfer.

Penyebab Terjadinya Pemanasan Global


Pemanasan global secara umum disebabkan dua hal yaitu :
1. Pembakaran fosil dalam industry, mobil, pembangkit listrik dan sebagainya.
2. Emisi buatan CFC (klorofluorkarbon). CFC inilah yang merusak lapisan ozon sehingga
memungkinkan sinar ultraviolet itu menembus bumi.
Di samping itu peningkatan suhu bumi juga disebabkan oleh timbunan gas-gas Rumah
Kaca seperti karbondioksida, metana, nitrat oksida, dan klorofluorkarbon (CFC) di atmosfer.
Timbunan ini memperangkap panas dari matahari sehingga menimbulkan peningkatan suhu.
3
Menurut Inter Governmental Panel on Climate Change (IPCC atau Panel antar Pemerintah
tentang perubahan iklim) ada dua hal yang dipastikan sebagai penyebab terjadinya
pemanasan global, yaitu :
1. Adanya Efek Rumah Kaca di bumi.
2. Adanya gas-gas yang mengakibatkan Efek Rumah Kaca kini meningkat dalam atmosfer
akibat ulah manusia.
Di arena internasional, banyak pihak menuduh Negara-negara dunia ketiga sebagai
biang keladi pemanasan global karena pembakaran hutan besar-besaran di Negara tersebut.
Pembakaran itu melepaskan karbondioksida ke atmosfer.

3
Rusbiantoro, Dadang, 2008 Global Warming for Beginner, Pengantar Komperhensif tentang
pemanasan Global, O2, Yogyakarta.
PEMBAHASAN

A. CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih


4
Konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi (Earth summit) tentang Lingkungan dan
Pembangunan yang dikenal dengan nama United Nations Conference on Environment and
Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil, bulan juni 1992 para pemimpin dunia sepakat
untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan
Iklim (United Nations Framework Convention On Climate Change, UNFCCC). Tujuan utama
konvensi ini adalah untuk menstabilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) ke atmosfer pada tingkat
tertentu sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Negosiasi demi negosiasi melalui
berbagai Konferensi Para Pihak (Conference Of Parties, COP) Konvensi Perubahan Iklim telah
dilaksanakan, hingga akhirnya pada CoP-3 tahun 1997 di Kyoto sebuah tata cara penurunan
emisi GRK yang kemudian dikenal dengan nama Protokol Kyoto diadopsi. Melalui protokol ini
target penurunan emisi oleh Negara-negara industri telah dijadwalkan dan akan dilaksanakan
melalui mekanisme yang transparan. Semua pihak anggota protokol juga dapat mengawasi
pelaporan dan penataannya yang diatur di dalam protokol. Bahkan melalui lembaga tertinggi
protokol yaitu Konferensi Para Pihak Konvensi yang merupakan pertemuan Para Pihak Protokol
(Conference Of Parties To The Convention Serving AS Meeting Of Parties To The Protocol,
CoP/MoP) mereka juga dapat menentukan tindakan yang harus diambil jika salah satu pihak
tidak menaati (non-compliance) ketentuan yang ada.
Protokol ini telah disepakati target dan jadwal penurunan emisi yang harus dilakukan
Negara maju, yaitu sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990 yang harus dicapai dalam periode
2008–2012. Dengan target itu seluruh Negara maju yang terdaftar dalam Annex I Konvensi
Perubahan Iklim, harus menurunkan emisinya sebesar 13,7 Gt1. Untuk mencapai target
penurunan emisi dikenal mekanisme fleksibel atau mekanisme Kyoto yang terdiri dari tiga
kegiatan, yaitu Joint Implementation (JI) yang diuraikan dalam pasal 6, Mekanisme
Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM) yang diuraikan dlam pasal 12, dan
Perdagangan Emisi ( Emition Trading, ET) yang diuraikan dalam pasal 17 Protokol Kyoto. CDM
yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah satu-satunya mekanisme yang dapat dilakukan
Negara maju bersama Negara berkembang. Sedang JI dan ET hanya bisa dilakukan antar Negara

4
Hardjasoemantri, Koesnadi, 2005, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
maju. Mekanisme tersebut menghasilkan unit pengurangan emisi (Emission Reduction Unit,
ERU) untuk JI, pengurangan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction, CER) dari
CDM dan unit jatah emisi (Assigned Amount Unit, AAU) dari ET.

1. Pengertian CDM
Pertemuan Komite Negosiasi Antar-pemerintah (Intergovernmental Negotiating
Committee, INC) menjelang CoP-1 tahun 1995 telah dibicarakan upaya bersama untuk
mengurangi emisi GRK. Salah satunya adalah usulan yang diajukan oleh Norwegia. Usulan yang
melibatkan semua pihak ini selanjutnya dikenal dengan nama Implementasi Bersama (Joint
Implementation, JI) di mana negara-negara berkembang juga dapat berpartisipasi di dalamnya.
5
Perundingan tentang implementasi JI rupanya tidak terlalu lancar dan makin memanas ketika
Negara-negara anggota OPEC menolaknya dengan alasan akan menjauhkan negara maju dari
kemungkinan menandatangani Protokol Kyoto. Penolakan tersebut didukung India dan Cina
yang juga mengharapkan kekompakan kelompok G77+Cina untuk tidak menerima JI sebagai
mekanisme yang harus diikuti negara berkembang.

5
Husein, Harun. M., 1995, Lingkungan Hidup: Masalah Pengelolaan dan Penegakan
Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta.
Tabel . Jumlah CER dari Proyek CDM Indonesia
Province/ Expected Issuance
No Title Type Sub-type kCERs Host LoA
kCERs success
State/Region

1 Indocement Alternative Jawa Barat & Biomass Agricultural 80.967 258.308 31% 1/23/2006
Fuels Project Kalimantan energy residues:
Selatan other kinds

2 MEN-Tangerang Banten EE supply Cogeneration 17.154 21.836 79% 6/19/2007


13.6MW Natural Gas side
Co-generation Project

3 Tambun LPG Associated Jawa Barat Fugitive Oil field 113.446 73.895 154% 6/19/2007
Gas Recovery and flaring
Utilization Project reduction

4 Darajat Unit III Jawa Barat Geotherma Geothermal 90.804 139.368 65% 8/31/2006
Geothermal Project L electricity

5 Methane Capture and Riau Methane Manure 22.352 179.644 12% 5/23/2006
Combustion from Swine avoidance
Manure Treatment
Project at PT Indotirta
Suaka Bulan Farm in
Indonesia

6 CDM Solar Cooker Aceh Solar Solar cooking 1.077 6.060 18% 12/23/2005
Project Aceh 1

Sumber: Dewan Nasional Perubahan Iklim

1. CoP/MoP
Konferensi Para Pihak yang merupakan pertemuan Para Pihak (Conference of parties
Serving as the Meeting of Parties, CoP/MoP) adalah pertemuan utama Para Pihak Protokol
Kyoto. CoP/MoP juga merupakan lembaga pengambil keputusan tertinggi yang berkaitan dengan
implementasi Protokol Kyoto. Pertemuan sesi pertamanya akan berlangsung ketika Protokol
Kyoto mulai efektif (enter into force) dan diselenggarakan di tengah-tengah acara CoP untuk
UNFCCC. Besar kemungkinan CoP/MoP-1 akan bersamaan dengan CoP-9 jika Protokol Kyoto
efektif di paruh pertama tahun 2003. Sebagai lembaga tertinggi Protokol Kyoto, tugas utama
CoP/MoPseperti tercantum dalam pasal 13.4 adalah mengupayakan terjadinya implemantasi
Protokol secara efektif dengan cara :
- Menilai Implementasi Protokol.
- Menilai kewajiban Para Pihak.
- Mendorong terjadinya pertukaran informasi.
- Mobilisasi dana.
- Memanfaatkan jasa dan kerjasama.
- Otoritas Nasional.
Otoritas nasional adalah sebuah lembaga pada tingkat nasional yang ditunjuk
pemerintah (Designated National Authority, DNA) untuk mewakili kepentingan nasional dalam
implementasi CDM. Bagi Para Pihak di negara berkembang, memiliki sebuah DNA (dan
meratifikasi Protokol Kyoto) merupakan syarat untuk dapat berpartisipasi dalam CDM. Badan
Pelaksana CDM pada tingkat global hanya mengakui satu DNA di tingkat nasional. Jadi, tidak
akan pernah ada DNA sektoral atau DNA daerah. Di Indonesia fungsi Otoritas Nasional ini
diperankan oleh Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB).
Fungsi utama DNA dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu pengaturan dan
promosi proyek CDM. Dalam menjalankan fungsi pengaturan DNA yang memiliki status legal
akan melakukan evaluasi dokumen desain proyek yang diajukan pengembang untuk disahkan
oleh pejabat pemerintah yang berwenang (biasanya Focal Point Nasional Konvensi Perubahan
Iklim).

A. CDM dan Cop-15


Pertemuan antara pihak (CoP)-15 yang diadakan di Copenhagen bulan desember lalu
dimana Delegasi RI ingin mengikutkan Sektor Kehutanan ke dalam salah satu skema Mekanisme
Pembangunan Bersih, mengingat bahwa Indonesia sangat berkepentingan terhadap wacana ini
karena aset hutan hujan tropis indonesia yang sangat luas merupakan sumber daya yang sangat
potensial bagi upaya pengurangan dan penyerapan Gas Rumah Kaca.
CoP-15 ternyata gagal menetapkan satu kesepakatan Internasional yang bersifat
mengikat secara hukum (legally binding agreement), meskipun diperpanjang satu hari dari
jadwal yang ditetapkan. Hingga detik-detik terakhir pertemuan ini hanya melahirkan
“Copenhagen Accord” (Kesepakatan Kopenhagen). Menurut Marti Natalegawa kesepakatan
tersebut bukan satu konvensi hukum internasional dan merupakan hasil paling lemah dalam
konfrensi multilateral.
Sektor kehutanan yang menjadi agenda nasional yang diharapkan dapat dimasukkan ke
dalam salah satu mekanisme CDM ternyata hanya masuk ke dalam poin ke enam kesepakatan
Kopenhagen yang berbunyi “We recognize the crucial role of reducing emission from
deforestation and forest degradation and the need to enhance removals of greenhouse gas
emission by forests and agree on the need to provide positive incentives to such actions through
the immediate establishment of a mechanism including REDD-plus, to enable the mobilization of
financial resources from developed countries.”
Harus diakui bahwa dalam sebuah konferensi multilateral sangat banyak perbedaan
pendapat dan kepentingan yang sangat tajam di antara negara-negara peserta. Namun ada catatan
penting yang juga harus diingat oleh Focal Point Indonesia dalam setiap konferensi internasional
sejenis, yaitu lemahnya standing position pemerintah Indonesia dalam memperjuangkan agenda
nasionalnya. Hal ini menurut Teguh, salah satu anggota delegasi RI yang mewakili Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), terjadi dikarenakan tidak adanya kesepakatan bersama
antara para delegasi RI yang akan berangkat ke Kopenhagen sebelumnya, bahkan akhirnya
terkesan Indonesia dijadikan sebagai bumper oleh negara maju untuk memuluskan kepentingan
mereka.
Lemahnya standing position ini juga dapat terjadi akibat dari perbedaan paradigma
antara pemerintah dengan Civil Society Organisation (CSO).6 Menurut Berry Nahdian Forqan,
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, persoalannya dalam internal kita, apa yang diusung oleh
pemerintah RI dan apa yang diusung oleh kelompok CSO Indonesia berbeda. Pendekatan yang
digunakan pemerintah dalam melihat permasalahan lingkungan termasuk di dalamnya masalah
kehutanan selalu menggunakan pendekatan peraturan yang ada, sementara para aktivis CSO
melihatnya dalam perspektif lapangan sehingga pembahasan internal sangat alot hingga sampai
pada masa dimana Delegasi RI dituntut untuk membuat putusan yang akan dijadikan sebagai
acuan standing position menjadi tidak matang. Akhirnya lahirlah keputusan yang hanya
mengakui (recognize) bahwa sektor kehutanan memiliki peran penting dalam penyerapan GRK
namun tidak ada penjelasan tentang bagaimana aspek teknis implementasinya di lapangan

6
Jurnal Tanah air,jurnal ilmiah gerakan lingkungan hidup Indonesia, WALHI. Edisi Oktober-
Desember 2009.
Penutup

A. Kesimpulan
Dari pembahasan bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa:
a. Indonesia memiliki potensi kemampuan menyerap GRK yang sangat besar dari sektor
kehutanan namun masih terhalang oleh kendala belum tersepakatinya sektor ini masuk
ke dalam skema Clean Development Mechanism (CDM).
b. Dibutuhkan Sebuah Standing Position yang tegas bagi Negara Indonesia untuk dapat
memasukkan wacana ini ke dalam skema tersebut dalam pembahasan CoP/MoP
mendatang.

B. Saran
a. Focal Point Indonesia, dalam hal ini Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
memfokuskan agenda nasional yang akan menjadi tema besar negosiasi dalam CoP
selanjutnya mengenai masalah ini, tinggal bagaimana menguatkan standing position
kita dalam forum tersebut.
b. Untuk kepentingan penguatan standing position dalam CoP berikutnya, penulis
menyarankan untuk terlebih dahulu menyatukan suara di dalam negeri dengan
melibatkan sebanyak-banyaknya unsur stakeholder dalam pengayaan wacana yang
akan menjadi agenda nasional. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan
melakukan Public outreach. Dengan sedini mungkin mulai menjangkau stakeholder
dari berbagai macam lapisan masyarakat sejak sekarang, berdiskusi dan menyatukan
persepsi tentang hal ini menjadi agenda yang sangat urgen yang harus diperjuangkan
oleh delegasi RI dalam CoP selanjutnya bahkan sampai ke permasalahan teknis di
lapangan sehingga ketika sampai pada waktu CoP berikutnya, kita telah memiliki
kesatuan agenda yang jelas dan akan menguatkan standing position.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Farid. 2001. Polarisasi Kebijakan Pengembangan Otonomi Daerah. Suatu Analisa
Kebudayaan Kelembagaan Pemda Kabupaten Gorontalo Selang Waktu Tahun 1974-
1998. Disertasi. Program Pascasarjana Unhas. Makassar.
Amir, AR., 1992, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Menurut Ajaran Islam
(Studi Kasus di HPH PT. Palapi Timber), (Tesis), Program Pascasarjana, Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang.
Bahri, Syamsul., 2003, Persepsi Masyarakat Tongke-tongke Terhadap Lingkungan (Suatu
Perspektif Islam di Kabupaten Sinjai), (Tesis), Program Pascasarjana, Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Benyamin, Rahardjo, dkk, 2007, Pembalakan Ramah Lingkungan; Konsep dan Implementasi di
Indonesia, Wana Aksara, Banten.
Bera, Petrus Ngongo Tanggo. 2000. Budaya Merapu Dalam Pengembangan Kelembagaan
administrasi publik di Sumba Barat. Disertasi Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Makassar.
Bouman, P.J., 1980., Ilmu Masyarakat Umum. Pengantar Sosiologi. PT. Pembangunan. Jakarta.
Budiarjo, Miriam., 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Burnie, David., 1999, Ecology, The Ivy Press Limited, London.
Diposaptono, Subandono, dkk, 2009, Menyiasati perubahan iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau kecil, Penerbit buku Ilmiah Populer, Bogor.
Hardjasoemantri, Koesnadi, 2005, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Hidayat, Herman, 2008, Politik Lingkungan; Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan
Reformasi,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1993. Sosiologi. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Husein, Harun. M., 1995, Lingkungan Hidup: Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya,
Bumi Aksara, Jakarta.
Murdiyarso, Daniel., 2007, CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta.
Mustari,S.Ag., 2000, Pengaruh Metode dan Media Dakwah terhadap Pengetahuan Lingkungan
Hidup Menurut Konsep Islam (Kasus di Majelis Ta’lim Nahdatus Sa’adah Kelurahan
Panambungan),(Tesis), Program Pascasarjana, Universitas Negeri Makassar, Makassar.
Pramudianto, Andreas, SH., Msi., 2008, Diplomasi Lingkungan; Teori dan Fakta, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.
Robbins, Paul, 2004, Political Ecology; a Critical Introduction, Blackwell Publishing, Arizona,
US.
Rusbiantoro, Dadang, 2008 Global Warming for Beginner, Pengantar Komperhensif tentang
pemanasan Global, O2, Yogyakarta.
Sanderris, Ebbe, 2009, Booklet Informasi World Wide Views, The Danish Board of Technology,
Denmark
Soemarwoto, O., 1995, Ekologi Lngkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Bandung.
Koran (Tempo, 27 Juni 1999).
Koran (Tempo, 28 Desember 1998).
Jurnal Tanah air, Jurnal Ilmiah Gerakan Lingkungan Hidup Indonesia, Walhi. Edisi Oktober-
Desember 2009.

Anda mungkin juga menyukai