Disusun Oleh:
1. Erni Tyas Maghfira (M1B114009)
2. Agung Putra Hidayat (M1B114014)
Reaksi ini harus dilakukan pada suhu di atas proses normal utilitas, sehingga
diputuskan untuk menggunakan pembuangan uap dari turbin listrik di lokasi, dan
menyebarkannya di sekitar koil pemanas eksternal pada reaktor. Pembuangan uap ini
dilakukan pada 12 bar dan 190 C, menghasilkan campuran reaksi pada 158 C
(dengan titik didih 160 C). Pada kesempatan ini, proses batch terputus sebelum
menyelesaikan langkah terakhir penghapusan ethylene glycol oleh distilasi. Hal ini
menyebabkan beban pada turbin turun, sehingga mengakibatkan pembuangan suhu uap
meningkat sekitar 300 C . Bets ini kemudian dihentikan dengan mengisolasi uap, dan
mematikan pengaduk. Akhirnya katup buang membuka dan 6 ton bahan tersebar lebih
dari 18 km per wilayah, termasuk 1 kg 2,3,7,8-tetrachlorodibenzodioxin (TCDD) yang
biasanya terlihat dalam jumlah kurang dari 1 ppm (bagian per juta). Namun dalam
kondisi temperatur tinggi, produksi TCDD mencapai 100 ppm atau lebih (Huda, 2008).
Daerah yang terkena dampak dibagi menjadi zona A, B dan R dalam urutan
penurunan permukaan tanah konsentrasi TCDD. Zona A terbagi menjadi 7 sub-zona.
Penduduk setempat disarankan untuk tidak menyentuh atau makan buah dan sayuran
lokal.
1. Konsentrasi TCDD pada zona A > 50 mikrogram per meter persegi (g / m),
dengan sekitar 736 jiwa penduduk.
2. Konsentrasi TCDD pada zona B antara 5 dan 50 g / m, dengan sekitar 4.700 jiwa
penduduk.
3. Konsentrasi TCDD pada Zona R <5>
2. Konvensi Cemaran
Akibat adanya paparan bahan-bahan tersebut di lingkungan hidup yang dapat
menimbulkan dampak yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, negara maju
memberikan perhatian khusus untuk melarang dan membatasi ekspor bahan-bahan
kimia dan organik tersebut.
2.1 Konvensi Rotterdam
Konvensi ini adalah persetujuan internasional yang merupakan instrumen hukum
yang mengikat guna mengatur perlindungan lingkungan hidup dan kesehatan manusia
dengan cara memfasilitasi pertukaran informasi mengenai bahan kimia yang dilarang
atau sangat dibatasi penggunaannya. Konvensi ini diadopsi pada tanggal 10 September
1998 di Rotterdam.
Konvensi ini terdiri atas 30 pasal dan 5 lampiran dimana pokok-pokok aturan
konvensi ini adalah :
1. Otoritas nasional yang ditunjuk;
2. Prosedur untuk bahan kimia yang dilarang dan sangat dibatasi;
3. Prosedur untuk formulasi pestisida yang sangat berbahaya;
4. Kewajiban negara pengimpor bahan kimia;
5. Kewajiban negara pengekspor bahan kimia;
6. Notifikasi ekspor;
7. Penerapan konvensi;
8. Kerja sama peningkatan bantuan teknis, pengembangan infrastruktur, dan kapasitas
pelaksanan konvensi.
Bahan-bahan kimia yang diatur dalam konvensi Rotterdam dikategorikan
sebagai pestisida sebanyak 17 jenis, formula pestisida sangat berbahaya sebanyak 5
jenis, dan bahan kimia industri tertentu sebanyuak 5 jenis. Akan tetapi bagi bahan-
bahan kimia selain yang disebutkan di atas, konvensi Rotterdam tidak berlaku untuk
bahan bahan kimia seperti makanan, bahan radioaktif, senjata kimia, bahan-bahan
farmasi, bahan kimia untuk makanan, narkotika dan bahan-bahan psikotropika serta
bahan-bahan kimia yang digunakan dalm jumlah sedikit untuk keperluan penelitian atau
analisa.
Konvensi ini membebankan kewajiban baik kepada negara pengimpor maupun
negara pengekspor. Kewajiban bagi negara pengimpor adalah melaksanakan tindakan
legislatif atau administratif untuk menjamin keputusan yang tepat waktu tentang impor
bahan kimia untuk selanjutnya memberikan tanggapan mengenai impor bahan kimia
tersebut dan memberitahukan kepada sekretariat kemudian mengambil keputusan untuk
menolak atau mengizinkan impor bahan kimia berdasarkan persyaratan tertentu.
Bagi negara pengekspor mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tindakan
legislatif atau administratif untuk mengkomunikasikan tanggapan mengenai bahan
kimia yang diteruskan oleh Sekretarit kepada Pihak yang berkepentingan di negara
tersebut serta menjamin para eksportir agar taat terhadap keputusan impor di negara
yang dituju. Negara ini pun wajib membantu pihak importir untuk mendapatkan
informasi dan memperkuat kapasitas dan kapabilitas mengelola bahan kimia serta
menjamin bahan kimia tertentu tidak diekspor bila belum ada keputusan yang jelas dari
negara yang dituju.
Dengan ikut meratifikasi Konvensi ini akan membawa manfaat bagi Indonesia.
Untuk itu diperlukan langkah-langkah seperti melakukan harmonisasi peraturan
Konvensi dengan peraturan pemerintah, keputusan Menteri yang terkait dengan
penggunaan dan perdagangan bahan berbahya dan beracun, serta melakukan
harmonisasi prosedur, mekanisme, dan kriteria bahan kimia yang bebas digunakan,
dilarang, dan dibatasi, termasuk juga simbol dan label.
Langkah selanjutnya adalah dengan menunjuk dan membentuk Otoritas Nasional
yang ditunjuk untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan Konvensi serta membentuk
lembaga yang bewenang dan berperan mengeluarkan izin, pertukaran informasi,
registrasi, notifikasi, mengusulkan bahan kimia yang masuk ke dalam Prosedur dan
mengawasi lalu lintas masuknya bahan kimia.
Kemudian menetapkan beberapa prosedur untuk masuknya bahan kimia industri
dan pestisida dengan memperhatikan seluruh pemangku kepentingan di dalam dan luar
negeri. Dalam menjamin perlindungan masuknya bahan kimia dan pestisida ditetapkan
mekanisme informasi yang terpadu serta sistem pengawasan dan penegakan hukum
yang efektif dan efisien.
2.2 Konvensi Stockholm
Konvensi Stockholm adalah perjanjian internasional bidang lingkungan yang
bertujuan melindungi lingkungan hidup dan kesehatan dari bahan pencemar organik
yang persistent (POPs). POPs (Persisent Organic Pollutants) merupakan sejumlah
bahan pencemar kimia beracun. Berdasarkan definisi tersebut berarti yang dimaksud
dengan persistent-POPs adalah tidak mudah terurai melalui proses fisika, kimia, dan
biologi. POPs juga cenderung berakumulasi pada jaringan lemak manusia dan hewan
serta dapat bertahan di dalam tubuh selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Bahan kimia organik dapat diproduksi oleh manusia dalam bentuk sintesis seperti
POPs. POPs lain seperti dioxin terbentuk sebagai produk sampingan dari reaksi kimia
atau proses pembakaran yang tidak disengaja. Beberapa bahan-bahan kimia POPs
ditemukan pada bahan kimia industri pada peralatan listrik seperti transformator atau
kapasitor yang mengandung Polyclhorinated Biphenyl (PCB). Dioxins dan furans
(produk sampingan) dihasilkan tanpa disengaja dari prosesbleaching (pemutih) pabrik
kertas. Beberapa senyawa POPs digunakan pada sektor pertanian untuk pencegahan
hama seperti Dieldrin dan Diethane Dioxin Tetrachlor (DDT) dan yang lainnya
digunakan pada pengawetan kayu atau sebagai insektisida.
Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara POPs dengan kesehatan
manusia, dengan adanya implikasi bahan tersebut terhadap sistem reproduksi,
penurunan kekebalan tubuh pada bayi dan anak-anak, kelainan fisik dan mental, dan
kanker. Lebih kronik dari beberapa bahan kimia POPs dapat menyebabkan gangguan
pada fungsi tubuh seperti : hati, paru-paru, ginjal, thyroid, gangguan hormon endocrin,
dan alat reproduksi.
Konvensi Stockholm lahir dari kekhawatiran akan dampak negatif dari bahan kimia
POPs yang mendorong UNEP, WHO, International Forum on Chemical Safety (IFCS),
dan organisasi dunia lainnya mengembangkan Global POPs Actioan Plan untuk
melindungi kesehatan manusia dan lingkunmgan hidup dari POPs yang dilaksanakan
oleh UNEP pada Pebruari 1997 dan disahkan oleh World Health Assembly pada Mei
1997.
Pada bulan Juni 1998 dilaksanakan pertemuan Intergovernmental Negotiating
Commttee (INC) di Montreal dan memulai negosiasi global tentang pemberlakuan
Konvensi untuk mengurangi masalah dampak negatif dari bahan kimia POPs.
Pertemuan negosiator memberikan daftar 12 POPs yang diawasi. Konvensi Stockholm
diadopsi pada Mei 2001 di Stockholm Swedia.
Konvensi Stockholm sendiri bertujuan melindungi lingkungan hidup dan kesehatan
manusia dari bahan pencemar organik yang persistent (POPs). Konvensi Stockholm
didasari oleh prinsip-prinsip Deklarasi Rio, antara lain :
1. Prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan yaitu :semua negara mempunyai
semangat yang sama untuk menjaga, melindungi dan memperbaiki kesehatan dan
integritas ekosistem bumi namun dengan kontribusi yang berbeda disesuaikan
dengan kemampuannya.
2. Prinsip Pencemar Membayar yaitu : otoritas Nasional harus berupaya untuk
memasukkan biaya lingkungan ke dalam kegiatan pembangunan dan penggunaan
instrumen ekonomi, atas dasar pertimbangan bahwa pencemar wajib menanggung
biaya akibat pencemaran.
Konvensi ini mengatur juga kewajiban para pihak yaitu :
1. Mengurangi atau menghentikan pelepasan dari produksi dan penggunaan secara
sengaja;
2. Mendaftarkan POPs yang masuk kategori pengecualian;
3. Mengurangi atau menghentikan pelepsan dari produksi yang tidak dikehendaki;
4. Mengurangi atau menghentikan pelepasan dari timbunan dan limbah;
5. Membuat rencana pelaksanaan nasional;
6. Meningkatkan dan memfasilitasi informasi, pendidikan, dan kesadaran kepada
masyrakat;
7. Kerja sama internasional dan bantuan teknis;
Memberikan iuran sesuai dengan kemampuan.
Agar dapat melindungi lingkungan hidup dan manusia dari POPs maka diperlukan
langkah-langkah seperti :
1. Menghilangkan/menghentikan POPs yang ada dengan cara membuang dan
mengelola persediaan bahan kimia POPs yang sudah tidak terpakai dengan cara
yang benar dan berwawasan lingkungan serta dapat mengidentifikasi peralatan yang
mengandung PCB.
2. Menghindari produksi dan penggunaan POPs lebih lanjut dengan cara menemukan
dan menggunakan alternatif, menghentikan dan membatasi produksi dan
penggunaan lebih lanjut, mengidentifikasi bahan kimia dengan karakteristik POPs
dan menghindari POPs baru, dan membatasi penggunaan DDT untuk pengendalian
vektor penyakit.
3. Mengurangi emisi POPs yang tidak bisa dilenyapkan dengan cara mengidentifikasi
sumber dan mengurangi pelepasan dari POPs yang diproduksi tanpa sengaja,
meningkatkan tindakan yang mencakupi penggunaan teknologi terbaik yang tersedia
dan dapat digunakan khususnya pada proses pembakaran untuk menghindari
keluarnya bahan kima POPs yang tidak diinginkan dari proses tersebut, melanjutkan
pengurangan dan bila mungkin penghilangan secara maksimal dari jumlah
pelepasan Dioxin, Furans, dan PCB.
Untuk mendukung langkah-langkah tersebut di atas dapat juga dilakukan cara-cara
yaitu dengan mengidentifikasi situasi nasional, menetapkan keputusan, dan membuat
rencana pelaksanaan nasional.
4. Karakteristik Dioxin
Dioksin merupakan sebutan untuk sekelompok zat-zat kimia berbahaya yang
termasuk ke dalam golongan senyawa CDD (chlorinated dibenzo-p-dioxin), CDF
(chlorinated dibenzo furan) atau PCB (poly-chlorinated biphenyl). Ada ratusan senyawa
yang termasuk dioksin. Salah satunya yang paling beracun adalah TCDD (2,3,7,8-
tetrachlorodibenzo-p-dioxin). Senyawa-senyawa dioksin mempunyai struktur kimia
yang sangat stabil dan bersifat lipofilik atau tidak mudah larut dalam air namun mudah
larut di dalam lemak. Karena kestabilan strukturnya ini, maka dioksin tidak mudah
rusak atau terurai. Dioksin dapat berada di dalam tanah dan terakumulasi sampai 10-12
tahun. Karena bersifat lipofilik, maka diaoksi dapat terakumulasi dalam pangan yang
punya kadar lemak tinggi. Misalnya, susu, daging (sapi, babi maupun unggas), mentega,
keju, telur bahkan ikan.
Karena dioksin merupakan zat kimia yang bersifat sangat stabil, maka pencemaran
dioksin dalam jumlah sedikit pun cukup berbahaya karena dapat menumpuk sedikit
demi sedikit sampai suatu saat cukup banyak untuk dapat menyebabkan penyakit.
Memang sangat mengerikan efek yang ditimbulkan oleh dioksin dari hasil PLTSa.
Meskipun demikian, bukan berarti dioksin yang dihasilkan dari pembakaran sampah
tidak bisa dijinakan. Sebab, berdasarkan penelitain, ternyata dioksin itu dihasilkan dari
hasil pembakaran bersuhu di bawah 800 derajat celsius. Lebih panas dari itu, dioksin
akan nol. Karena itulah, pembakaran sampah di rumah-rumah merupakan salah satu
kontributor penghasil dioksin.
Titik cair dioksin pada suhu 305oC dan destruksi termal baru terjadi pada suhu
700oC, sehingga untuk menghancurkannya secara sempurna perlu suhu 1.000
1.500 oC. Tidak heran bila EPA memperkirakan waktu paruh dioksin di lapisan tanah
antara 10 dan 30 tahun. Selain lewat pemananasan sekitar 1.000 derajat celcius, dioksin
pun dapat ''dicerna'' dengan menggunakan karbon aktif. Zat ini juga sekaligus berperan
untuk menyerap uap merkuri dan gas CO. Dan pada hampir PLTSa, selalu ada proses
ini.
Dioksin dapat bertahan di lingkungan dalam waktu yang lama (persisten) sehingga
akan terakumulasi dalam tanah dan hewan termasuk manusia (bioakumulasi). Dioksin
adalah salah satu jenis organoklorin yang memiliki empat klor, dua oksigen dan dua
cincin benzena. Klor adalah unsur halogen yang sangat reaktif sehingga mudah bereaksi
dengan senyawa organik maupun senyawa lainnya. Sebagian besar organoklorin
menimbulkan efek toksik seperti dioxin dan furan. Zat kimia mematikan ini ditemukan
dalam konsentrasi tinggi di daerah masyarakat pesisir yang mempunyai pabrik pulp
(Powell River, Squamish, Duncan, Nanaimo, and Campbell River). Dioxin sering
digunkaan untuk menyatakan tiga jenis zat kimia dengan toksisitas akut yaitu dioksin,
furan dan polychlorinated biphenyls (PCBs) yang semuanya memiliki dua cincin
benzena dan senyawa klorin. Bentuk dioksin yang paling toksik adalah 2,3,7,8-
tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD). Dalam industri kertas dioksin terbentuk dari
klorin yang berikatan dengan senyawa organik dalam kayu.
Dioksin adalah nama senyawa yang diberikan pada suatu kelompok senyawa kimia
yang bersifat super-toxic, yang jumlahnya ratusan, yang keberadaannya sangat
mengganggu dalam lingkungan hidup. Senyawa dioksin yang paling beracun adalah 2,
3, 7, 8 tetrakloro-dibenzon-p-dioksin atau TCDD. Daya keracunan dari senyawa dioksin
lainnya seperti PCB (Poliklorit Bifenils) yang bertingkah laku menyerupai dioksin,
diukur dan disetarakan secara relatif terhadap TCDD. Dioksin terbentuk secara tidak
sengaja sebagai produk samping dari proses industri kimia yang melibatkan klorin,
termasuk di dalamnya proses pembakaran sampah insinerasi, produksi samping industri
pembuatan pestisida dan pulp serta proses pemutihan (bleaching) kertas. Dioksin
merupakan senyawa racun utama yang terdapat dalam Agent Orange, yang ditemukan
pada Love Canal di Niagara Fall, Amerika Serikat, yang mengakibatkan penduduk
setempat berbondong-bondong meninggalkan daerah tersebut. Dioksin dibentuk
sewaktu terjadinya pembakaran senyawa yang berbasis klorin dengan hidrokarbon.
Dalam praktiknya, sumber kontaminasi utama dari dioksin berasal dari lingkungan yaitu
sebanyak 95 persen berasal dari insinerator hasil pembakaran limbah atau sampah yang
mengandung klorin. Sumber utama ekspose dioksin bagi kesehatan manusia berasal dari
bahan pangan. Karena dioksin bersifat larut dalam lemak, maka terakumulasi dalam
pangan yang relatif tinggi kadar lemaknya. Kandungan dioksin tersebar (97,5 persen) ke
dalam produk pangan secara berurutan konsentrasinya yaitu daging, produk susu, susu,
unggas, daging babi, daging ikan, dan telur. Pada daging ikan saja, dioksin dapat
terakumulasi dalam rantai pangan, sehingga tingkat kadar dioksinnya mencapai 100.000
kali dari kadar dioksin yang terdapat dalam lingkungan sekitarnya.
4.1 Sumber Dioxin
Dioksin sangat jarang terdapat dalam alam, sebagian besar dioksin berasal dan
datang atau bersumber dari manusia. Sejarah mengapa dioksin mulai terakumulasi ke
dalam lingkungan hidup yaitu ketika founder perusahaan Dow Chemical (Midland,
Michigan) menemukan suatu cara membelah molekul garam dapur (NACl) sehingga
pecah menjadi atom-atom natrium dan atom klorin. Dengan demikian, hal itu menjadi
tonggak sejarah pertama kali manusia mampu menghasilkan jumlah klorin bebas secara
besar-besaran. Disebut klorin bebas karena tidak melekat pada senyawa atau atom lain.
Pada awalnya, mereka kebingungan mau diapakan klorin bebas tersebut, yang
merupakan limbah yang tidak tahu kegunaannya dan bersifat berbahaya. Namun tidak
lama kemudian, mereka menemukan pemanfaatan limbah tersebut menjadi produk yang
berguna dengan cara menempelkan atom-atom klorin pada molekul petrokimia
hidrokarbon, dan akibatnya, selama tahun 1930-1940-an terciptalah berbagai produk
klorinat-hidrokarbon. Lahirnya senyawa baru tersebut, mampu meningkatkan
perkembangan berbagai produk jenis pestisida yang saat ini berkembang mendampingi
kehidupan manusia, di samping berkembang pula berbagai jenis pelarut, serta plastik
yang dapat dihasilkan dari klorin bebas tersebut.
Sumber utama pemasok dioxin pada lingkungan adalah industri pestisida.
Penggunaan pestisida tidak hanya untuk membunuh hama dibidang pertanian maupun
perkebunan tapi juga digunakan sebagai alat untuk berperang. Seperti yang terjadi pada
perang Vietnam penggunaan herbisida Agent Orange dalam Perang Vietnam (1960
1970) ternyata juga menyemburkan dioksin. Sumber dioxin berasal dari Agent Orange
yang berfungsi untuk merontokkan dedaunan agar hutan-hutan Vietnam tidak bisa
digunakan untuk bersembunyi tentara Vietkong.
Selain pestisida, industri pulp and paper juga merupakan pemasok dioxin. Menurut
Judi Tjahjono peneliti dari Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK), dalam seminar
teknologi pulp dan kertas 2007 di Bandung, Dewasa ini teknologi pemutihan
nampaknya cenderung lebih banyak ke arah pemakaian khlordioksida dan oksigen
untuk prebleaching. Penggunaan khlordioksida pada tahap awal pemutihan
menghasilkan buangan dengan kandungan bahan beracun yang lebih rendah apabila
dibandingkan dengan khlor. Dari informasi yang diperoleh dari Badan pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT), di Indonesia terdapat 18 perusahaan pulp dengan total
produksi 6,29 juta ton per tahun dan laju pertumbuhan ekonominya 2,25 persen. Pada
umumnya, mereka masih menggunakan khlorin. Itu artinya pembuatan kertas masih
menghasilkan senyawa berbahaya. Proses penyemprotan pada industri kertas dan pulp
menggunakan pemutih klorin.
Perkembangan keberadaan dioxin di lingkungan sejak tahun 1987 hingga 2000
yang dilakukan oleh U.S. EPA (Environmental Protection Agency) pada tahun 2006.
Menunjukan bahwa sumbangan dioxin terbesar pada tahun 1987 berasal dari lumpur
badan perairan dimana umumnya pabrik-pabrik membuang limbahnya ke badan
perairan. Penyumbang terbesar kedua berasal dari limbah rumah sakit dan ketiga dari
hasil pembakaran yang menggunakan suhu tinggi yang berasal dari industry kemudian
diterbangkan ke udara.
Bila senyawa tersebut dimanufaktur atau dibakar, terbentuklah dioksin sebagai
produk samping. Pada 20 tahun terakhir, masyarakat mulai membakar sampah-sampah
keluarga, demikian halnya dengan sampah industri serta sampah medis, dibakar
bersama dalam insinerator. Pembakaran yang disebabkan oleh kendaraan bermotor
mempunyai kontribusi yang paling kecil. Pada tahun 1995 terjadi pergeseran
sumbangan dioxin pada lingkungan, pembakaran-pembakaran pada suhu tinggi,
misalnya pembakaran hutan atau akibat industry mempunyai kontribusi yang besar
terhadap keberadaan dioxin pada lingkungan. Hasil temuan pada tahun 2000,
menunjukan bahwa sudah ada usaha dari industri-industri untuk meminimalisasi
limbahnya yang dibuang ke badan perairan. Sumbangan tertinggi adalah terjadinya
pembakaran yang tinggi terhadap bahan-bahan industri yang mengandung dioxin serta
berkembangnya usaha transportasi atau kendaraan bermotor yang menggunakan oli
merupakan penyumbang dioxin ke udara. Hasil penelitian Prof. Dr. drh. Mirnawati dan
B. Sudarwanto dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB menunjukan bahwa Oli termasuk
penghasil dioxin bila dilakukan proses pembakaran. Selain itu pabrik plastik polyvinyl
chloride (PVC) adalah merupakan salah satu sumber pencemar dioxin pada lingkungan.
Selain itu alam juga turut menyumbang dioksin. Pundi-pundinya berasal dari
kebakaran hutan maupun aktivitas gunung berapi. Dalam tingkatan yang rendah dioksin
juga bisa ditemukan di semua lingkungan (udara, air, dan tanah). Karena sifat fisik dan
kimianya, dioksin terutama ditemukan di lapisan tanah, sedimen, dan biota. Aktivitas
pembakaran sampah plastik juga ditengarai sebagai penyebar dioksin.
Table 1. Sumber penghasil dioxin
6. Studi Kasus
Pada tahun 1949, terjadi kecelakaan di pabrik herbisida 2,4,5-T Monsanto plant di
Nitro, West Virginia. Dalam kasus tersebut 250 pekerja terkena penyakit chloracne,
yaitu penyakit kulit yang akan menimbulkan efek gatal-gatal memerah. Baru pada tahun
1955, Karl Schultz (seorang dokter Jerman) melaporkan bahwa penyakit chloracne
tersebut adalah akibat racun dioksin. Kasus Belgia mirip dengan Time Beach. Lemak
yang dipakai dalam pabrik pakan ternak, "tercampur" dengan oli bekas.
Pada tahun 1949, terjadi kasus meledaknya pabrik kimia Hoffman-LaRoche di
Seveso, Italia. Akibatnya, sejumlah besar TCDD terlepas sampai ke atmosfer. Di daerah
sekitar pabrik, hewan-hewan mati, terjadi destruksi vegetasi, penduduk mengalami
keracunan akut, kasus-kasus chloracne, abortus, dan kelainan kongenital. Bahkan
penelitian yang dilakukan Bertozzi dkk. pada tahun 1993 menemukan adanya
peningkatan kasus kanker. Penelitian tentang dioxin sudah dilakukan sejak tahun 1970,
dalam darah kelompok masyarakat yang tinggal pada aliran sungai pabrik kertas
terdeteksi kadar dioxin dalam darah sebesar 20 ppt (part per triliun).
Pada tahun 1976 bahwa masyarakat yang tinggal pada daerah industry Seveso,
Italia rata-rata dalam darahnya mengandung dioxin dengan kadar yang tinggi. Pada
tahun 1998 Viktor Yushchenco melakukan penelitian perempuan-perempuan di Austria,
Ukrainian, hasil penelitian menunjukan bahwa keluarga-keluarga tersebut mempunyai
kadar dioxin yang tinggi dalam darahnya. Ditemukan kadar dioxin terendah mencapai
100.000 ppt dan tertinggi mencapai 144.000 ppt (part per trillion). Pada tahun 2004
penelitian Viktor Yushchenco dilanjutkan oleh Professor Abraham Brouwer dari
Universitas Amsterdam jurusan toksikologi. Hasil penelitian tersebut menunjukan
bahwa darah dari perempuan-perempuan Ukraina tersebut positif mengandung 2,3,7,8-
TCDD. Gejala-gejala dari tingginya kadar dioxin dalam darah adalah bila dalam
masyarakat banyak ditemukan penyakit yang terkait dengan gastrointestinal.
Penggunaan herbisida Agent Orange dalam Perang Vietnam (1960 1970) ternyata
juga menyemburkan dioksin. Agent Orange digunakan untuk merontokkan dedaunan
agar hutan-hutan Vietnam tidak bisa digunakan untuk bersembunyi tentara Vietkong.
Tahun 1983, kantor veteran Chicago mencatat ada 17 ribu lebih veteran yang
mengklaim ganti rugi akibat dioksin sewaktu bertugas di Vietnam. Klor organik dari
klorin akan menghasilkan dioksin yang sifatnya tetap ada di dalam tubuh. Senyawa ini
resisten kronik penyebab kanker.
Terbakarnya kabel PVC di Beverly Hills Supper Club bahkan merenggut nyawa
161 orang. Kebakaran tahun 1977 itu menimbulkan asap putih. Menurut salah seorang
pekerja di situ, asap pedas yang mengandung gas hidrogen klorida (HCl) itu bisa
bereaksi dengan pewarna kuku. Bahkan hasil reaksi tersebut dapat memakan kuku.
Ketika terhirup dan masuk ke dalam paru-paru bersama udara yang mengandung air,
HCl akan berubah menjadi asam klorida yang korosif. Akibatnya, yang selamat pun
mengalami luka parah pada saluran pernapasannya.
7. Mengurangi Dampak
Limbah cair industri, pertanian, perkotaan dan rumah tangga selain mengandung
senyawa berat (Cd, Cu, Hg, Zn dll.), juga mengandung berbagai macam senyawa
organik, seperti dioxin, phenol, benzene, PCB, dan DDT. Sistem pengolahan limbah cair
yang ada sekarang umumnya mempergunakan cara kombinasi antara pemakaian
chlorine serta sistem condensasi, sedimentasi, dan filtrasi. Sedangkan untuk pengolahan
limbah organik banyak mempergunakan microbiologi, karbon aktif atau membran
filtrasi. Namun, limbah organik semakin banyak yang sulit untuk diuraikan dengan
microbiologi atau membran filtrasi, serta membahayakan keselamatan makhluk hidup,
meskipun dalam kandungan konsentrasi yang sangat kecil (ppm/ppb) seperti, senyawa
dioxin, furan, dan atrazine.
Dewasa ini teknologi pemutihan pada pabrik pulp dan paper nampaknya cenderung
lebih banyak ke arah pemakaian khlordioksida dan oksigen untuk prebleaching.
Penggunaan khlordioksida pada tahap awal pemutihan menghasilkan buangan dengan
kandungan bahan beracun yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan khlor. Untuk
menciptakan proses yang ramah lingkungan, ditemukan cara dengan penggunaan enzim
xylanase. Xylanase dapat meningkatkan derajat putih maupun meningkatkan kekuatan
fisik. Dari hasil penelitian menunjukkan dari segi teknis, xylanase memberikan
kontribusi yang sangat baik dalam peningkatan kualitas produk pulp putih, menghemat
penggunaan bahan kimia pemutih, dan meningkatkan kualitas air limbah yang
dihasilkan.
Xylanase sendiri mempunyai sejumlah kekurangan yakni masalah korosi, kesulitan
mengontrol waktu tinggal, penurunan indeks sobek, dan pengendalian bleach plant.
Namun, kekurangan tersebut tidak begitu sebanding dengan proses dan limbahnya yang
ramah lingkungan. Penggunaan enzim ini kurang diminati perusahaan karena harganya
mahal dan masih impor. Harga 1 liter enzim xylanase Rp 15 ribu. Kapasitas
penggunaannya sekitar dua persen dalam satu ton, atau 1.000 kg membutuhkan 20 kg
enzim.
Cara lain yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah limbah organik adalah
dengan teknologi ozone. Teknologi ozone yang dapat digunakan dalam proses
pengolahan limbah cair ini mampu membersihkan limbah cair hingga mendekati 100
persen (Japan Engineering newspaper, 1996). Ozone yang dikenal sebagai oksidant
kuat, selain dapat menghancurkan senyawa-senyawa organik, juga sekaligus dapat
membunuh bakteri yang terkandung dalam limbah tadi. Meskipun demikian masih ada
beberapa kendala yang harus diselesaikan pada teknologi ozone ini, seperti tingginya
biaya operasional serta adanya sisa ozone yang tertinggal dalam air setelah proses
pengolahan berlangsung. Sisa ozone yang memiliki kadar cukup tinggi, akan dapat
membahayakan manusia.
Teknologi yang kemudian diperkenalkan untuk mengatasi limbah cair setelah
teknologi ozone ini adalah teknologi plasma. Ozone sendiri dapat dibuat dengan
mempergunakan teknologi plasma (Siemens 1857). Dewasa ini teknologi plasmalah
yang paling banyak dipergunakan untuk membuat ozone. Jadi, secara tidak langsung
teknologi ozone adalah pemanfaatan dari teknologi plasma itu sendiri.
Selanjutnya, teknologi plasma juga dapat dipergunakan secara langsung dalam
proses pengolahan limbah cair. Salah satu cara adalah dengan membuat plasma dalam
air. Seperti halnya plasma di udara, plasma dapat juga dibuat dalam air. Proses
pembuatannya sendiri hampir sama, hanya saja pembuatan plasma dalam air
memerlukan energi sedikit lebih besar dibandingkan pembuatan plasma di udara,
mengingat air adalah materi yang dapat mengalirkan arus listrik. Plasma dalam air dapat
menyebabkan timbulnya berbagai proses reaksi fisika dan kimia, seperti sinar
ultraviolet, shockwave, species aktif (OH, O, H, H2O2), serta thermal proses.
Banyaknya reaksi fisika dan kimia yang dihasilkan oleh plasma dalam air, membuat
teknologi ini dapat merangkum beberapa proses yang dibutuhkan dalam pengolahan air
limbah. Sinar ultraviolet yang dihasilkan mampu mengoksidasi senyawa organik
sekaligus membunuh bakteri yang terkandung dalam limbah cair. Shockwave yang
ditimbulkan mampu menghasilkan proses super critical water yang juga berperan dalam
proses pengoksidasian senyawa organik. Dan, yang paling penting banyak dihasilkan
species aktif seperti OH, O, H, dan H2O2 yang merupakan beberapa oksidant kuat yang
dapat mengoksidasi berbagai senyawa organik sekaligus juga membunuh bakteri dalam
limbah cair tersebut. Dan, tidak ketinggalan panas yang dihasilkan oleh plasma ini pun
berperan dalam berbagai proses pengoksidasian.
Dari berbagai kelebihan proses yang dimilikinya, teknologi plasma dalam air mulai
mendapat perhatian khusus terutama untuk mengolah limbah organik yang umumnya
mengandung berbagai macam jenis senyawa organik. Dari berbagai percobaan
laboratorium, teknologi plasma dalam air sangat efektif untuk menguraikan senyawa
organik seperti TNT, phenol, trichloroethylene, atrazine, dan berbagai jenis zat warna
(dye).
Teknologi plasma untuk mengolah limbah cair baik dengan teknologi ozone
maupun dengan teknologi plasma dalam air memiliki banyak kelebihan dibandingkan
dengan cara konvensional, microbiologi maupun membran filtrasi. Di antaranya proses
penguraian senyawa organik berlangsung sangat cepat, pembuatan peralatan serta
maintenance yang mudah, serta species aktif yang dihasilkan dapat menguraikan hampir
seluruh senyawa organik.
Di Jepang dalam sepuluh tahun terakhir, penggunaan teknologi ozone maupun
teknologi plasma berkembang sangat pesat. terlebih lagi setelah ditetapkannya
perundangan tentang Dioxin dan sejenisnya (January 2001). Di mana dioxin dapat
diuraikan dengan mempergunakan kombinasi dari ozone dan sinar ultraviolet atau
ozone dan hydrogen peroxide.
Gas Buang
Udara Ruang Uap
Limbah Recovery panas
Pembakaran
Bahan Bakar/Energi
Limbah Cair
9. Biaya Pemulihan
Biaya pemulihan daerah yang tercemar dioksin tidaklah sedikit. Kasus di Time
Beach, Missouri, pada tahun 1971 bisa menjadi gambaran. Sebuah perusahaan herbisida
sembarangan saja membuang sampah industri ke tempat pembuangan oli bekas. Lalu oli
bekas tersebut terpakai untuk menyemprot lapangan pacuan kuda, jalanan, serta tempat-
tempat berdebu. Selain gangguan berupa chloracne dan radang kandung kemih yang
akut, penyemprotan itu juga menimbulkan kematian dan penyakit pada ternak. Daerah
tersebut kemudian dibeli oleh EPA (Badan Perlindungan Lingkungan AS) dan biaya
yang dikeluarkan untuk membersihkan dioksin mencapai AS $ 100 juta.
Sumber Refarensi
Leon Sosnowski. 1988. Incineration Process US 4,753,181.
Ditjen Pengelolaan Sampah. 2015. Pedoman Teknis Terbaik Yang Tersedia Dan
Petunjuk Praktik Lingkungan Hidup Terbaik Kategori Insinerasi Limbah Padat
Perkotaan. Jakarta: Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah Dan Bahan Beracun