Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI


Komitmen Dunia dan Peran Indonesia dalam Menghadapi Perubahan Iklim
(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Meteorologi Klimatologi dan Praktikum)

Disusun oleh :
Kelompok 5
1. M. Alfin Alamsyah (1411620001)
2. Nugi Ibnu Saputra (1411620002)
3. Huda Ibkar Hana (1411620008)
4. Fadia Salsabillah (1411620013)
5. Kevin Akbar Syah (1411620016)
6. Tegar Wibasandy (1411620022)

PRODI GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2021
1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Dengan
segala rahmat, petunjuk, dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah
Meteorologi dan Klimatologi yang berjudul Kesepakatan Dunia dan Peran Indonesia dalam
Menghadapi Pemanasan Global dengan baik.

Makalah ini memaparkan tentang latar belakang adanya kesepakatan (perjanjian)


dunia dalam menghadapi pemanasan global, isi kesepakatan atau perjanjian tersebut, serta
peran Indonesia dalam kesepakatan atau perjanjian dunia dalam menghadapi pemanasan
global.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasa dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki kekurangan dalam
makalah ini.

Semoga Makalah ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang kesepakatan


dunia dan peran Indonesia dalam menghadapi pemanasan global bagi Bapak/Ibu dosen
maupun mahasiswa-mahasiswi Universitas Negeri Jakarta.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 01 Juli 2021

2
Penyusun,
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Protokol Montreal
Protokol Montreal merupakan perjanjian
internasional yang dibuat untuk melindungi
lapisan ozon dengan mengurangi zat-zat yang
dapat mengurangi lapisan ozon. Konvensi ini
dibentuk akibat adanya revolusi industri yang
secara besar-besaran terjadi di negara Eropa.
Protokol Montreal ini dibentuk pada tanggal 16
September 1987, namun baru berlaku pada 1
Januari 1989. Tujuan dibentuknya protokol ini
adalah untuk menyadari bahwa emisi di seluruh dunia dapat menghabiskan dan mengurangi
lapisan ozon yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia serta lingkungan. Dengan
demikian, perjanjian ini bertekad melindungi lapisan ozon dengan mencegah dan
mengendalikan emisi global. Diantara emisi global tersebut yang dikendalikan oleh protokol
ini adalah CFC (Chlorofluorocarbon), Hallon, Tetraklorida, Metil Klorofom, Hydro-
Cholorofluorocarbon (HCFC) dan Metil Bromida. Semua zat-zat ini telah mengandung
klorin atau bromin yang dapat merusak lapisan ozon.
Protokol Montreal dibuat sebagai banteng untuk mengendalikan bahan perusak ozon
dan menggantikannya dengan bahan yang lebih aman bagi makhluk hidup serta lingkungan.
Perjanjian ini juga dirancang untuk mengimplementasikan perubahan iklim agar dapat
menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca, menanggulangi efek rumah kaca, dan mengurangi
penipisan lapisan ozon. Target dari Protokol Montreal sendiri adalah memulihkan penipisan
lapisan ozon hingga tahun 2050 mendatang.
197 negara di dunia telah meratifikasi Protokol Montreal. Negara-negara tersebut
merupakan semua anggota dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), serta Niue, Kepulauan
Cook, Tahta Suci, dan Uni Eropa. Republik Indonesia sendiri telah meratifikasi perjanjian ini
sejak 1992 dengan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1992. Dalam meeting of parties ke-
28, negara-negara yang telah tergabung bersepakat untuk mengamandemen Protokol
Montreal 1987 untuk membuat peraturan tentang pengurangan HFC (Hidro-fluorokarbon)
yang merupakan bahan pengganti HCFC. Negara Indonesia pun turut berperan dalam hal ini
dengan mewujudkan penggunaan HFC dalam menggantikan HCFC untuk menghambat
penipisan lapisan ozon. Indonesia telah menurunkan konsumsi HCFC pada tahun 2013
hingga 2018 sebesar 124,36 ODP (Ozone Depleting Substances) ton.
Pada tahun 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah
mempersiapkan langkah-langkah untuk meratifikasi Amandemen Kigali. Amandemen ini
merupakan penyempurnaan Protokol Montreal yang telah disetujui oleh dunia internasional.

4
KLHK juga melakukan sosialisasi dan diskusi dengan para pelaku sektor industri dalam
“Workshop on HFC Enabling Activites”. Selain itu, pemerintah telah mengeluarkan berbagai
peraturan dalam upaya penghentian BPO (Bahan Perusak Ozon), seperti sanksi administratif
berupa pencabutan izin usaha industri dan tanda daftar industri. Beberapa perusahaan di
Indonesia juga telah melakukan upaya penghentian penggunaan BPO dengan alih teknologi
dan menciptakan produk yang ramah untuk lingkungan, diantaranya seperti PT Panasonic
Manufacturing Indonesia, PT Sharp, dan PT Pertamina. Pemerintah Indonesia juga telah
mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor Tahun 2012 tentang ketentuan impor
BPO dan beberapa peraturan lainnya mengenai upaya penghentian penggunaan BPO ini.
Berikut ini adalah kebijakan-kebijakan yang telah diberlakukan oleh Pemerintah
Indonesia untuk Protokol Montreal 1987, diantaranya :
1. Sejak 1998, terdapat pelarangan untuk memproduksi BPO, dan barang yang
menggunakan BPO.
2. Pada tahun 2005, telah dibuat peraturan mengenai pembatasan dalam penggunaan
Metil Bromida. Metil Bromida ini hanya digunakan untuk kegiatan karantina dan pra-
pengapalan.
3. Pelarangan kegiatan impor untuk Halon dan TCA (Trichloroaceatic Acid) sejak tahun
2006.
4. Sejak tahun 2006 juga diberlakukan peraturan mengenai ketentuan impor BPO
melalui mekanisme izin importir (Importir Terbatas dan Importir Produsen).
5. Sejak tahun 2008 diberlakukan pelarangan impor dan/atau penghapusan CFC.
6. Pelaksanaan kegiatan retrofit dan recycle refrigerasi dalam upaya pencegahan
pelepasan BPO ke atmosfer.
7. Untuk barang yang tidak
menggunakan CFC dan Halon
akan dicap logo sebagai
non CFC dan non Halon.

Protokol Montreal ini menjadi kesempatan internasional yang paling sukses.


Penelitian menunjukkan bahwa tanda-tanda lapisan ozon mengalami pemulihan dan bahaya
perusakan lapisan ozon di atmosfer telah berkurang. Namun, dampak dari CFC masih akan
terus terjadi karena senyawa CFC dapat bertahan sampai puluhan tahun.

2.2 Terbentuknya UNFCCC (United Nations Framework Convention on


Climate Change)

5
a) Terbentuknya IPCC
Pada tahun 1979, negara-negara di dunia berkumpul untuk membahas upaya
penanggulangan pemanasan global. Pertemuan tersebut disebut sebagai Konferensi
Iklim di Jenewa. Konferensi ini disertai dengan pembentukan IPCC (Panel on
Climate Change) atau diartikan sebagai Badan Internasional Penilaian Perubahan
Iklim. Badan ini terdiri dari ilmuwan dan para ahli di dunia dari berbagai disiplin
ilmu. IPCC berperan dalam menyediakan data-data ilmiah terkini yang menyeluruh
dan transparan, yang berisi informasi teknis, sosial, dan ekonomi terkait dengan
perubahan iklim dunia. Sumber penyebab
perubahan iklim, dampak yang diakibatkan,
pencegahan, adaptasi, serta strategi yang harus
dilakukan dalam mengurangi emisi global juga
merupakan tugas dari Badan Internasional
Penilaian Perubahan Iklim.
IPCC menerbitkan laporan penelitian
pertama (First Assessment Report) pada tahun
1990. Penelitian ini menyebutkan bahwa
perubahan iklim akan mengancam kehidupan manusia. Hal ini menyebabkan negara-
negara di dunia kembali berkumpul untuk membahas isu perubahan iklim yang telah
dilaporkan oleh IPCC. Akhirnya, pada tahun 1992, PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa)
menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim atau yang dikenal dengan
UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Tujuannya
adalah menstabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada level yang dapat
mencegah gangguan antropogenik berbahaya pada sistem iklim. Konvensi ini
mengelompokkan negara-negara ke dalam 2 kategori, yaitu kelompok Annex I dan
Annex II. Kelompok Annex I adalah negara-negara yang dikategorikan sebagai
negara-industri penghasil gas rumah kaca dalam jumlah besar, serta negara-negara
yang dikategorikan sebagai negara yang berada pada masa transisi ekonomi.
Sedangkan kelompok Annex II merupakan negara-negara yang termasuk dalam
anggota, yang bukan
negara- negara
pada masa transisi
ekonomi, dan negara-
negara yang bukan
kelompok Annex I.
Kelompok Annex I ini
memiliki tanggung
jawab untuk
mengurangi emisi gas
rumah kaca dari kegiatan industri mereka. Kelompok Annex I dan II terlihat pada
gambar berikut.

6
b) Komitmen Negara pada UNFCCC
Dalam UNFCCC, terdapat badan tinggi yang berperan sebagai pengambil
keputusan pada konvensi ini. Badan tersebut dikenal sebagai COP (Conference of the
Parties) yang bertanggungjawab dalam menjaga upaya-upaya internasional sesuai
dengan prisip-prinsip UNFCCC. COP akan menyelenggarakan pertemuan setiap
tahunnya untuk membahas prinsip-prinsip UNFCCC yang sudah diterapkan di
masing-masing negara. Konvensi ini juga membentuk dua badan subside, yaitu
Subsidiary Body for Scientific and Technological Advide (SBSTA) dan Subsidiary
Body for Implementation (SBI) yang bertugas memberikan rekomendasi atau mandate
spesifik bagi COP.
COP pertama atau COP1 dilaksanakan di Berlin, Jerman dan dikenal dengan
nama The Berlin Mandate. Pada pertemuan ini, semua pihak menyerukan kesulitan
yang dihadapi untuk mencapai komitmen SBSTA dan SBI. Setelah COP2 digelar di
Swiss, COP3 kemudian digelar di Kyoto, Jepang pada tahun 1997. Pertemuan ini
dianggap sebagai sejarah tonggak pergerakan melawan perubahan iklim. Para anggota
kemudian sepakat untuk membentuk protokol Kyoto. Protokol ini mewajibkan
negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas dengan mekanisme Kyoto, seperti
perdagangan emisi, mekanisme pembangunan bersih, dan implementasi bersama.
Negara industri dan sebagian kawasan di Eropa tengah yang sedang dalam masa
transisi ekonomi sepakat untuk mereduksi gas emisi rumah hijau dalam rentang waktu
2008-2012 hingga 6-8% di bawah tingkat 1990.
Setelah hampir satu dekade, COP selalu mendapatkan tantangan dari
kepentingan politik dan negosiasi yang tidak berujung mengenai jumlah emisi yang
harus dikurangi. Pada saat itu, baru sedikit negara yang meratifikasi konvensi ini.
Termasuk Amerika Serikat yang masih tidak setuju dengan pemberlakuan konvensi
ini. Berlanjut pada COP11 pada tahun 2005, pertemuan ini menghasilkan Rencana
Aksi Montreal yaitu kesepakatan untuk memperpanjang pemberlakuan Protokol
Kyoto yang seharusnya tidak berlaku pada tahun 2012. Pada COP13, para delegasi
membentuk kelompok kerja Ad Hoc dan melakukan implementasi perjanjian. Namun,
implementasi dari kerangka jangka panjang ini gagal pada COP15 di Denmark. AS,
China, dan 23 pihak lainnya membentuk kesepakatan politis yang menyebabkan
negara-negara lain tidak ingin berkomitmen lagi menjalankan Protokol Kyoto.
Namun, kesepakatan politik ini tidak diakui secara resmi oleh UNFCCC karena tidak
melibatkan semua peserta. Akhirnya pada tahun 2012, pertemuan COP18 di Qatar
menghasilkan amandemen Protokol Kyoto yang memuat komitmen selama 2012-
2020. Target bagi semua peserta adalah membatasi emisi CO₂ global hanya 15%.
c) Komitmen Indonesia pada UNFCCC
Indonesia menjadi salah satu negara dari 196 negara anggota UNFCCC dan
diwakili dalam COP. 196 negara diantaranya adalah semua negara yang menjadi
anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ditambah dengan Niue, Kepulauan
Cook, dan Uni Eropa. Indonesia telah berkomitmen menjadi bagian penting dari
solusi terhadap tantangan perubahan iklim dunia. Pada COP15, Indonesia

7
menyampaikan langkah-langkah dari permasalahan kebakaran hutan, dan
mencegahnya dengan penegakan hukum, penguatan tata kelola hutan, serta restorasi
ekosistem. Setelah COP15, Indonesia juga ikut dalam konferensi pengendalian
perubahan iklim (COP24) di Katowice, Polandia, tahun 2018. Pada sektor kehutanan,
Indonesia telah mengambil langkah nyata dengan melakukan pengurangan
deforestasi, mengurangi degradasi hutan, kegiatan konservasi, pengelolaan hutan
lestari, dan peningkatan cadangan karbon hutan.
Pada tahun 2009, Indonesia juga telah berkomitmen terhadap penurunan emisi
secara sukarela yang disebut sebagai NDC (Nationally Determined Contribution).
Indonesia wajib melakukan langkah pengurangan emisi melalui skema BAU
(business as usual) pada tahun 2030, yakni pada tingkat 2.869 juta ton CO₂e. Dari
kewajiban itu, Indonesia telah berhasil menurunkan emisi masing-masing 10,7% atau
setara dengan 308 juta ton CO₂e dan 24,4% atau setara dengan 699 juta ton CO₂e dari
target 29% atau 834 juta ton CO₂e selama periode 2016 dan 2017.
Tindak lanjut Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim adalah dengan
membuat Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
Dokumen ini disusun sebagai bagian dari rencana pembangunan jangka panjang
(RPJP) dan menengah (RPJM) dalam kerangka kebijakan pembangunan
berkelanjutan. Tujuan dokumen ini dibuat adalah untuk menanggulangi dampak
perubahan iklim, khususnya dalam upaya menurunkan emisi Gas Rumah Kaca
(GRK). RAN-GRK ini disusun dengan pembiayaan yang terintegrasi antara
Kementerian/Lembaga pemerintah pusat dan daerah, dan terukur serta dapat
diimplementasikan dalam jangka waktu 2010-2020.
Melalui BAPPENAS, pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang No.
17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
periode 2005-2025. Salah satu misi yang tertera pada dokumen tersebut menjadi visi
dalam RAN-GRK ini yaitu “Mewujudkan Indonesia asri dan lestari”. Misi tersebut
menekankan upaya untuk memperbaiki pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang
dapat menjaga keseimbangan antara memanfaatkan sumber daya alam dan menjaga
fungsi serta daya dukung lingkungan hidup melalui penataan ruang yang serasi bagi
pemukiman, sosial ekonomi, dan upaya konservasi; meningkatkan pemanfaatan
ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang berkesinambungan; memperbaiki
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas
kehidupan; memberikan keindahan dan kenyamanan kehidupan; serta meningkatkan
pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal dasar
pembangunan.
2.3 Protokol Kyoto
Protokol Kyoto, secara lengkap Protokol Kyoto untuk Konvensi Kerangka Kerja PBB
tentang Perubahan Iklim, perjanjian internasional, dinamai kota Jepang di mana ia
diadopsi pada bulan Desember 1997, yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas
yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Berlaku sejak 2005, protokol tersebut

8
menyerukan pengurangan emisi enam gas rumah kaca di 41 negara ditambah Uni
Eropa menjadi 5,2 persen di bawah tingkat 1990 selama “periode komitmen” 2008–
12. Itu secara luas dipuji sebagai perjanjian lingkungan paling signifikan yang pernah
dinegosiasikan, meskipun beberapa kritikus mempertanyakan keefektifannya.

a. Latar belakang dan ketentuan

Protokol Kyoto diadopsi sebagai tambahan pertama pada Konvensi Kerangka Kerja
PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah perjanjian internasional yang
mengikat para penandatangannya untuk mengembangkan program nasional untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca mereka. Gas rumah kaca, seperti karbon dioksida
(CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), perfluorokarbon (PFC),
hidrofluorokarbon (HFC), dan sulfur heksafluorida (SF6), mempengaruhi
keseimbangan energi atmosfer global dengan cara yang diharapkan. menyebabkan
peningkatan suhu rata-rata global secara keseluruhan, yang dikenal sebagai
pemanasan global (lihat juga efek rumah kaca). Menurut Panel Antarpemerintah
tentang Perubahan Iklim, yang dibentuk oleh Program Lingkungan Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan Organisasi Meteorologi Dunia pada tahun 1988, efek jangka
panjang dari pemanasan global akan mencakup kenaikan permukaan laut secara
umum di seluruh dunia, yang mengakibatkan penggenangan air laut rendah. -daerah
pesisir yang terbentang dan kemungkinan hilangnya beberapa negara kepulauan;
mencairnya gletser, es laut, dan permafrost Arktik; peningkatan jumlah kejadian
terkait iklim ekstrem, seperti banjir dan kekeringan, dan perubahan distribusinya; dan
peningkatan risiko kepunahan bagi 20 hingga 30 persen dari semua spesies tumbuhan
dan hewan. Protokol Kyoto mengikat sebagian besar penandatangan Annex I ke
UNFCCC (terdiri dari anggota Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan dan beberapa negara dengan “ekonomi dalam transisi”) untuk target
pengurangan emisi wajib, yang bervariasi tergantung pada keunikan keadaan masing-
masing negara. Penandatangan UNFCCC dan protokol lainnya, yang sebagian besar
terdiri dari negara berkembang, tidak diharuskan untuk membatasi emisi mereka.
Protokol mulai berlaku pada Februari 2005, 90 hari setelah diratifikasi oleh
setidaknya 55 penandatangan Annex I yang bersama-sama menyumbang setidaknya
55 persen dari total persen dari total emisi karbon dioksida pada tahun 1990.

9
b. Mekanisme Carbon Trading dalam Protokol Kyoto

Selain untuk menegaskan komitmen negara-negara peserta UNFCCC untuk


menurunkan jumlah emisi, Protokol Kyoto juga menawarkan mekanisme baru yang
dinamakan Flexibility Mechanisms. Mekanisme ini memungkinkan negara-negara
peserta, khususnya negara Annex I memenuhi kewajiban target penurunan emisi gas
rumah kaca melalui penurunan emisi di negara lain. Mekanisme tersebut antara lain
sebagai berikut:

1. Joint Implementation (JI)

JI merupakan salah satu dari tiga flexibility mechanisms yang ada dalam Pasal 6
Protokol Kyoto yang bertujuan untuk membantu negara Annex I untuk memenuhi
komitmennya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. JI dapat dilakukan sebagai
salah satu alternatif penurunan emisi secara domestik. Mekanisme ini biasa disebut
mekanisme perdagangan kredit berbasis proyek. JI biasanya terjadi antara negara
industri dengan transisi menuju ekonomi pasar dengan negara maju yang terdaftar
pada Annex II di Lampiran UNFCCC.
Melalui mekanisme ini, negara maju dapat meminimalkan biaya yang dikeluarkan
bila dibandingkan melakukan proyek penurunan emisi di negaranya sendiri,
sedangkan negara pelaksana proyek mendapatkan keuntungan berupa tersedianya
investasi melalui bantuan pendanaan ataupun transfer teknologi. Pasar dan aturan
pelaksanaan JI diatur oleh sebuah lembaga yang mirip dengan Executive Board CDM,
yang disebut dengan JI Supervisory Board.
Ada dua tingkatan JI, yaitu JI Tier 1 dan JI Tier 2. JI Tier 1 adalah untuk negara-
negara yang pencatatan emisi domestik serta perubahannya tidak terlalu rapi (mirip
dengan situasi negara-negara berkembang), sehingga pencatatan dan monitoring di
tingkat proyek menjadi sangat teliti dan hati-hati. Sementara itu, JI Tier 2 adalah
untuk negara-negara yang pencatatan emisi domestik serta perubahannya sudah rapi
(sama dengan situasi negara-negara maju lainnya), sehingga monitoring di tingkat
proyek tidak harus terlalu menuntut.

10
2. International Emission Trading (IET)

IET merupakan salah satu flexibility mechanisms dalam Pasal 17 Protokol Kyoto
yang memungkinkan sebuah negara Annex I untuk menjual kredit penurunan emisi
gas rumah kaca kepada negara Annex I lainnya. Semua kredit penurunan emisi yang
ditetapkan Protokol Kyoto, seperti Assigned Ammount Unit (AAU), Removal Unit
(RMU), Certified Emission Reduction (CER) maupun Emission Reduction Unit
(ERU) dapat diperjualbelikan melalui mekanisme ini.
Berbeda dengan JI yang kredit penurunan emisinya berbasis proyek, IET tidak
memerlukan suatu proyek yang spesifik. IET dapat dilaksanakan apabila suatu negara
Annex I memiliki kredit penurunan emisi gas rumah kaca melebihi target negaranya.
Kredit tersebut dapat dijual ke negara Annex I lainnya.

3. Clean Development Mechanism (CDM).

CDM merupakan satu-satunya flexibility mechanisms dalam Protokol Kyoto yang


memberikan peran bagi negara berkembang (non-Annex I) untuk membantu target
penurunan emisi gas rumah kaca negara Annex I. Dalam CDM, negara-negara Annex
I dapat memenuhi target kewajiban penurunan emisinya melalui investasi proyek
penurunan emisi (emission reduction project) maupun perdagangan karbon dengan
negara-negara non-Annex I. Dapat dikatakan bahwa CDM merupakan gabungan
antara JI dan IET.

Adapun tujuan CDM sebagaimana terdapat dalam Pasal 12 Protokol Kyoto adalah:

a. Membantu negara berkembang yang tidak termasuk dalam negara Annex I


untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan serta menyumbang
pencapaian tujuan utama UNFCCC, yakni menstabilkan konsentrasi gas
rumah kaca dunia pada tingkat yang tidak akanmengganggu system iklim
global; dan
b. Membantu negara-negara Annex I dalam memenuhi target penurunan emisi
di negaranya.

CDM diharapkan dapat menjadi faktor pendukung munculnya proyek-proyek


berbasis lingkungan di negara non-Annex I. Proyek berbasis lingkungan tersebut
akan dinilai, dievaluasi dan divalidasi apakah telah berhasil menurunkan tingkat
emisi. Kemudian akan diterbitkan Certified Emission Reduction (CER), yakni sertifikasi
reduksi emisi yang setara dengan 1 ton CO2 oleh CDM Executive Board. Dengan CER,
negara-negara Annex I dapat mengkonversi nilai tersebut untuk memenuhi target
penurunan emisi negaranya.

c. Potensi Indonesia dalam Mekanisme Carbon Trading

Sebagaimana yang telah kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki areal hutan hujan tropis terluas di dunia. Luas areal hutan Indonesia adalah
sekitar 120,35 juta Ha atau sekitar 68% dari total luas daratan Indonesia. Dari total

11
luas tersebut, 33,52 juta ha merupakan areal hutan lindung, 66,33 juta ha merupakan
hutan produksi, dan 20,50 juta ha adalah hutan konservasi.[v] Hutan hujan tropis
sebagai paru-paru dunia menjadi komoditas yang vital dalam menyerap emisi gas
rumah kaca untuk meminimalisir kerusakan atmosfer.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki komitmen dalam menanggulangi
dampak perubahan iklim, sebagai salah satu peserta dalam Protokol Kyoto, Indonesia
meratifikasi protokol tersebut pada 28 Juni 2004 dengan disahkannya UU Nomor 17
Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework of
Climate Change.[vi] Dengan potensi hutan yang sedemikian besar, Indonesia
memiliki potensi yang vital dalam perdagangan karbon. Dalam konteks mekanisme
CDM khususnya, Indonesia sebagai negara non-Annex I memiliki keuntungan
masuknya investasi asing, terutama dari negara Annex I dalam mendukung proyek
berbasis lingkungan domestik. Beberapa keuntungan tersebut antara lain:
a. Sumber dana.

Dalam konteks CDM, Indonesia sebagai negara non-Annex I memiliki potensi menjadi
negara tujuan utama investasi proyek berbasis penurunan emisi dari negara Annex I. Dengan
demikian, dana investasi asing mengalir untuk mendukung proyek berbasis lingkungan di
dalam negeri.

b. Fasilitas alih teknologi.

Dalam Protokol Kyoto tercantum adanya klausul kewajiban bagi negara-negara Annex I
untuk menyediakan dana alih teknologi kepada negara-negara non-Annex I.

c. Fasilitas peningkatan kemampuan.

Seperti halnya fasilitas alih teknologi, negara-negara Annex I memiliki kewajiban


menyediakan dana untuk mendukung pengembangan kemampuan di negara-negara non-
Annex I dalam kaitannya dengan perubahan iklim, termasuk kemampuan penelitian,
pemantauan serta adaptasi.

d. Fasilitas adaptasi terhadap perubahan iklim.

Protokol Kyoto memberikan klausul fasilitas adaptasi bagi negara-negara berkembang yang
rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti Indonesia.

e. Rehabilitasi kawasan hutan.

Di bidang kehutanan, dana investasi CDM dapat diarahkan untuk mendukung program
penghijauan kawasan hutan, seperti rehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut,
Agroforestry, penerapan Reduced Impact Logging (RIL), peningkatan permudaan alam.

f. Kompensasi carbon sequestration.

Dalam Protokol Kyoto juga disebutkan adanya klausul bahwa negara-negara Annex I
memberikan kompensasi kepada negara pemilik hutan tropis untuk mencadangkan wilayah
hutannya untuk penyimpanan karbon (carbon sequestration).

12
d) Perjanjian Paris

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

13
DAFTAR PUSTAKA
Azarya Samosir, Hanna. 2015. “Sejarah Dunia Memerangi Perubahan Iklim”. Diambil dari:
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20151128130323-134-94617/sejarah-
dunia-memerangi-perubahan-iklim. Diakses pada 1-2 Juli 2021.

Wikipedia. 2021. “Protokol Montreal”. Diambil dari:


https://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Montreal. Diakses pada 2 Juli 2021.

Yosefin A.S, Tania. 2020. “Implementasi Protokol Montreal 1987 dalam Menanggulangi
Efek Rumah Kaca di Indonesia”. Diambil dari:
http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/26776/160200468.pdf?
sequence=1&isAllowed=y. Diakses pada 1-2 Juli 2021.

Utami Hutasoit, Gabriel. 2017. “Pelaksanaan Kewajiban Pemerintah Indonesia dalam Rangka
Perlindungan Lapisan Ozon berdasarkan Protokol Montreal 1989”. Diambil dari:
http://e-journal.uajy.ac.id/12110/1/JURNAL%20HK11313.pdf. Diakses pada 2 Juli
2021.

Febrinastri, Fabiola. 2019. “Indonesia Dukung Perlindungan Lapisan Ozon Sesuai Protokol
Montreal”. Diambil dari:
https://www.suara.com/news/2019/03/01/090703/indonesia-dukung-perlindungan-
lapisan-ozon-sesuai-protokol-montreal?page=all. Diakses pada 2 Juli 2021.

KAR. 2015. “Mendesak, Kesepakatan Global Penanganan Perubahan Iklim”. Diambil dari:
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5552f6928aafc/mendesak--
kesepakatan-global-penanganan-perubahan-iklim/. Diakses pada 1-2 Juli 2021.

14
IESR. 2011. “Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim di Durban”. Diambil dari:
https://iesr.or.id/konferensi-pbb-mengenai-perubahan-iklim-di-durban. Diakses pada
1-2 Juli 2021.

ICEL. 2019. “Komitmen Dunia untuk Perubahan Iklim”. Diambil dari:


https://icel.or.id/isu/lain-lain/komitmen-dunia-untuk-perubahan-iklim/. Diakses pada
1-2 Juli 2021.

Ditjen PPI – KLHK. 2015. “Kebijakan Penanganan Perubahan di Tingkat Nasional dan
Internasional”. Diambil dari: http://ditjenppi.menlhk.go.id/program/kebijakan-
penanganan-perubahan-di-tingkat-nasional-dan-internasional.html. Diakses pada 1-2
Juli 2021.

Ditjen PPI – KLHK. 2017. “Upaya Ditingkat Internasional. Kesepakatan Dunia dalam
Menangani Perubahan Iklim”. Diambil dari:
http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/index.php/aksi/mitigasi/implementasi/10-
tentang/21-upaya-ditingkat-internasional. Diakses pada 1-2 Juli 2021.

Portal Informasi Indonesia. 2019. “Kontribusi Indonesia bagi Dunia Besar”. Diambil dari:
https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/kontribusi-indonesia-
bagi-dunia-besar. Diakses pada 2 Juli 2021.

Wikipedia. 2021. “Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa”.


Diambil dari :
https://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Kerangka_Kerja_Perubahan_Iklim_Perserik
atan_Bangsa-Bangsa. Diakses pada 3 Juli 2021.

Syamsidar, Heiner, Herman, dkk. 2011. “Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca”. Diambil dari:
http://ranradgrk.bappenas.go.id/rangrk/admincms/downloads/publications/Pedoman
_pelaksanaan_rencana_aksi_penurunan_emisi_GRK.pdf. Diakses pada 3 Juli 2021.

Bappenas. 2010. “Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca”. Diambil
dari: https://www.bappenas.go.id/files/8414/1214/1620/naskah_akademis.pdf.
Diakses pada 3 Juli 2021.

15

Anda mungkin juga menyukai