HUKUM LINGKUNGAN
Disusun Oleh:
Dosen Pembimbing:
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
ridhonya kami dapat menyelesaikan makalah perjanjian internasional bidang
lingkungan yang berjudul “Montreal Protocol-Ozon Layer” tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini dilakukan untuk memenuhi salah satu tugas Hukum
Lingkungan.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari sepenuhnya bahwa tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, serta tanpa tersedianya sumber
pedoman dan literatur, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikannya
Adapun makalah ini menguraikan tentang sejarah singkat, tujuan, hasil,
komitmen, dan dampak dari montreal protocol-ozon layer terhadap perubahan
iklim. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Maksud dan Tujuan 3
BAB II PEMBAHASAN 4
2.1 Sejarah Montreal Protocol 4
2.1.1 Partisipan Montreal Protocol 4
2.1.2 Amandemen Montreal Protocol 5
2.2 Tujuan Montreal Protocol 6
2.3 Hasil Montreal Protocol 7
2.4 Dampak Penerapan Montreal Protocol Terhadap Isu Perubahan Iklim 8
2.5 Komitmen dalam Pengimplementasian Montreal Protocol 10
2.5.1 Komitmen Internasional dalam Montreal Protocol 10
2.5.2 Komitmen Indonesia dalam Montreal Protocol 12
BAB III PENUTUP 16
3.1 Kesimpulan 16
3.2 Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 18
ii
BAB I PENDAHULUAN
1
Cholorofluorocarbon (CFC) menjadi salah satu faktor utama terjadinya penipisan
lapisan ozon. Penipisan yang terjadi menyebabkan terjadinya pemanasan suhu di
bumi yang mengakibatkan mencairnya es di kutub dan permukaan air laut yang
meningkat beberapa kali lipat. Apabila hal ini terus terjadi, maka ozon semakin
lama akan semakin menipis dan membahayakan semua makhluk di berbagai
belahan bumi.
Pada tahun 1981, United Nations Environment Programme (UNEP)
mengembangkan sebuah konvensi global yang dilanjutkan dengan penyelenggaraan
Konvensi Wina untuk perlindungan lapisan ozon yang menjadi bukti respon dunia
internasional terhadap isu penipisan lapisan ozon. Namun kurangnya pemahaman
terkait risiko lingkungan akibat penipisan lapisan ozon menjadi hambatan dalam
penerimaan konvensi tersebut. Sehingga memerlukan pengembangan penelitian
lebih lanjut terkait penipisan lapisan ozon hingga tahap nasional dan internasional,
yang memerlukan kesadaran bahwa dalam mengatasi isu ini membutuhkan
kerjasama dan aksi internasional.
Hingga terjadilah kesepakatan dari negara-negara yang tergabung dalam
PBB dengan mengadakan perjanjian terhadap perlindungan lapisan ozon, yaitu
Protokol Montreal (Silalahi, 2020). Dengan hadirnya Protokol Montreal diharapkan
mampu menciptakan sebuah rezim internasional yang membatasi, mengontrol, dan
menghilangkan langkah-langkah negara berindustri yang tidak mengikuti prosedur
ramah lingkungan. Protokol Montreal juga menjadi peluang bagi industri-industri
yang ada untuk meningkatkan teknologi yang sudah ada menjadi teknologi yang
ramah lingkungan, serta membuat pemerintah negara untuk memberikan sejumlah
bantuan kepada para produsen yang sedang memproses penghapusan bahan penipis
ozon, salah satunya CFC. Dengan mengupayakan setiap negara untuk meratifikasi
perjanjian sehingga memiliki pengetahuan yang memadai terkait penggunaan CFC
yang berbahaya. Dengan demikian, melalui adanya Protokol Montreal diharapkan
mampu memperbaiki menanggulangi permasalahan pada kelestarian lingkungan
hidup, terkhusus kasus penipisan lapisan ozon.
2
1. Bagaimana sejarah singkat terjadinya Montreal Protocol?
2. Apakah tujuan dari berlangsungnya Montreal Protocol?
3. Bagaimana hasil dari Montreal Protocol?
4. Bagaimana dampak penerapan Montreal Protocol terhadap isu perubahan
iklim?
5. Bagaimana komitmen dalam pengimplementasian Montreal Protocol dalam
dunia internasional dan Indonesia?
3
BAB II PEMBAHASAN
4
zat-zat yang dapat menipiskan lapisan ozon dan negara-negara Eropa tersebut
mempunyai kepedulian yang serius terhadap ODS (ozone depletion substances).
Jerman, khususnya Jerman Barat, menjadi negara yang sangat tertarik dan
menonjol dalam perlindungan terhadap persoalan lingkungan. Dibuktikan dengan
terjadinya fenomena lubang ozon yang saat itu menjadi perbincangan hangat di
berbagai negara. Bahkan banyak negara yang apatis dan tidak sedikit yang
menganggap sebagai isu politik. Namun Jerman Barat memiliki sikap yang
berbeda dengan negara-negara lain, dimana Jerman memiliki perhatian yang
relatif besar terhadap persoalan lapisan ozon di atas benua Antartika.
Keseriusannya dapat dilihat ketika dibentuknya departemen lingkungan hidup
yang secara khusus menangani regulasi zat-zat yang menipiskan lapisan ozon.
Selain itu juga menjelang bulan maret 1989, pihak yang meratifikasi
Protokol Montreal semakin bertambah banyak menjadi 40 Negara. Selanjutnya
negara-negara pihak yang telah meratifikasi Protokol Montreal sudah
menunjukkan keseriusan terhadap Protokol Montreal dengan membuat regulasi
domestik. Tidak terkecuali pula, negara-negara Eropa yang memiliki beban
768.400 ton CFC juga berjanji untuk meminimalisasikan atau melakukan
pengurangan secara bertahap terhadap jumlah CFC yang dipakai. Negara-negara
Eropa berjanji untuk menuntaskan pengurangan di negara masing-masing pada
tahun 2000, yang kemudian dijadwalkan ulang lebih cepat pada tahun 1997. Selain
itu sebagai produsen terbesar CFC yaitu mencapai 694.600 ton juga berjanji untuk
melakukan pengurangan di level domestik Amerika Serikat dengan membuat
regulasi terhadap CFC dan melakukan pengawasan terhadap produksi, konsumsi,
ekspor, dan impor CFC. Hingga pada 23 Juni 2015, semua negara yang bergabung
di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kepulauan Cook, Holy See, Niue, serta Uni Eropa
telah meratifikasi Protokol Montreal yang asli, dengan Sudan Selatan sebagai
negara terakhir yang meratifikasi perjanjian, sehingga terdapat 197 total negara
yang meratifikasi. Negara-negara ini juga telah meratifikasi amandemen London,
Copenhagen, Montreal, dan Beijing.
5
Pengaturan dan amandemen ini dilakukan atas kerangka dasar bahwa untuk
melaksanakan dan mengefektifkan tujuan dari Protokol Montreal diperlukan
perubahan dan pengaturan yang disesuaikan dengan dinamika zat-zat yang
menipiskan lapisan ozon dan kondisi domestik di masing-masing negara yang
semata-mata dilakukan untuk menyempurnakan perjanjian ini dan
memaksimalkan usaha internasional dalam penanggulangan penipisan lapisan
ozon. Adapun amandemen tersebut dilakukan dalam kurun waktu berikut.
1. Amandemen pertama terjadi pada tanggal 29 Juni 1990 di London, yang
bertujuan untuk memperkuat prosedur pengawasan substansi yang
mengurapi lapisan ozon, serta menambahkan 12 bahan kimia yang
membahayakan lapisan ozon dan membentuk mekanisme keuangan.
2. Amandemen kedua terjadi pada 23 – 25 November 1992 di Copenhagen.
3. Amandemen ketiga terjadi pada 15 – 17 September 1997 di Montreal.
4. Amandemen terakhir diselenggarakan pada 29 – 3 Desember tahun 1999 di
Beijing.
6
2.3 Hasil Montreal Protocol
Protokol Montreal adalah sebuah kesepakatan internasional yang bertujuan
untuk melindungi lapisan ozon di atmosfer dengan menghentikan secara bertahap
produksi zat-zat yang dapat merusak lapisan ozon. Kesepakatan itu dibuat tanggal
16 September 1987 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1989 dengan 196 negara
yang telah meratifikasi. Negara-negara yang meratifikasi kesepakatan ini sepakat
untuk mengurangi secara bertahap dan akhirnya menghentikan produksi dan
konsumsi bahan berikut.
1. Cholorofluorcarbon yang termasuk dalam Grup I Annex A, yaitu CFCI3,
CI2, C2F3CI3, C2F4CI2, C2F5CI mulai dikurangi tahun 1991 dan
dihentikan pada tahun 1996.
2. Senyawa yang agak kurang aktif, yaitu holon dan beberapa senyawa CFC
lain dihentikan pada tahun 2010.
3. Senyawa HCFC mulai dikurangi tahun 1996 dan dihentikan pada tahun
2030.
Kesemua zat pada poin pertama harus dibuang sebanyak 50 % dari jumlah
produksi dan konsumsi menjelang tahun 1999. Pengurangan ini dilakukan atas
dasar formula bertahap. Fase pertama diarahkan untuk tetap berada pada lingkat
produksi dan konsumsi tahun 1986. Reduksi ini mulai berlaku pasa tahun 1990.
Reduksi pada fase pertama, secara otomatis akan membawa konsekuensi
pengurangan konsumsi CFC sebanyak 20 % pada fase kedua, yang mulai efektif
pada tahun 1994. Pada fase ketiga, negara anggota diminta untuk mereduksi
konsumsi CFC-nya sampai 30 % yang mulai efektif pada tahun 1999.
Pengurangan produksi dan konsumsi CFC dan halon itu dianggap tidak
memadai. Karena penerapan yang konsisten dari aturan Protokol Montreal masih
akan tetap menimbulkan kerusakan pada ozon sampai pada derajat 1 - 5 persen.
Ini disebabkan karena umur CFC di atmosfer mencapai 200 tahun dan karena
perusakan ozon yang terjadi jauh lebih cepat dari apa yang diprediksi. Bahkan jika
produksi dan konsumsi halon dihentikan secara total perusakan ozon yang
sekarang belum akan pulih sampai pertengahan abad ke 21.
Protokol ini sangat memperhitungkan kepentingan dan kemampuan
teknologi negara berkembang dengan memberikan tenggang waktu sepuluh tahun
7
bagi negara berkembang untuk mengimplementasikan isi protokol ini, dengan
catalan konsumsi per kapita negara berkembang tidak boleh lebih dari 0,3
kilogram (0,03 kg/kapita/tahun). Keunggulan lain terletak pada sistem
pengurangan emisinya yang dapat memungkinkan negara anggota dapat
mempersiapkan diri baik secara ekonomi maupun teknologi. Dan yang terpenting
adalah bahwa negara-negara anggota mempunyai tenggang waktu untuk
menciptakan zat-zat pengganti zat perusak ozon.
Protokol Montreal ini termasuk kesepakatan internasional yang sukses. Riset
menunjukkan bahwa bahaya perusakan lapisan ozon di atmosfer telah berkurang
dan ada tanda-tanda lapisan ozon mengalami pemulihan. Namun karena senyawa
CFC dapat bertahan sampai puluhan tahun, maka dampak CFC masih akan terjadi.
Sumber : Eco-action.org
Data yang tertera diatas menjadi bukti dan hasil dari penerapan Protokol Montreal
yang terjadi terhadap penipisan ozon. Sejak berlakunya Protokol Montreal,
konsentrasi chlorofluorocarbons dan hidrokarbon terklorinasi di atmosfer telah
mendatar atau menurun. Namun, konsentrasi halon terus meningkat, karena halon
yang saat ini disimpan dalam alat pemadam kebakaran dilepaskan, tetapi laju
peningkatannya sudah melambat dan kelimpahannya diperkirakan akan mulai
8
menurun sekitar tahun 2020. Dan juga konsentrasi HCFC sebagian meningkat
karena banyak kegunaan CFC yang saat ini diganti dengan HCFC. Meskipun
terdapat laporan individu dalam melanggar protokol terssebut, namun tingkat
kepatuhan secara keseluruhan menjadi tinggi. Sehingga berdasrkan analisa statistik
pada tahun 2010 memberikan sinyal positif pelaksanaan Protokol Montreal pada
lapisan ozon di startosfer. Karena itulah Protokol Montreal ini menjadi sebuah
kesepakatan lingkungan internasional yang paling berhasil hingga saat ini.
Namun adanya HCFC dan HFC dianggap berkontribusi terhadap pemanasan
global antropogenik. Senyawa ini 10.000 kali lebih kuat gas rumah kaca daripada
karbon dioksida. Protokol Montreal pun saat ini menyerukan penghentian total
HCFC pada tahun 2030, namun tidak dengan membatasi HFC. Karena CFC sendiri
merupakan gas rumah kaca yang sama kuatnya, penggantian HFC saja dengan CFC
tidak secara signifikan meningkatkan laju perubahan iklim antropogenik, tetapi
seiring waktu peningkatan yang stabil dalam penggunaannya dapat meningkatkan
bahaya bahwa aktivitas manusia akan mengubah iklim.
Pakar kebijakan telah menganjurkan peningkatan upaya untuk
menghubungkan upaya perlindungan iklim melalui perlindungan ozon. Keputusan
kebijakan di satu daerah mempengaruhi biaya dan efektivitas perbaikan lingkungan
di daerah lainnya. Berbagai penelitianpun telah menemukan bahwa upaya
perlindungan ozon melalui Protokol Montreal juga melindungi iklim, membantu
memperlambat pemanasan global secara signifikan, dan mengurangi perubahan
iklim permukaan. Larangan CFC sudah mencegah pemanasan 1,1oC dan ozon akan
mencegah 3-4oC pemanasan di masa depan. Apabila larangan CFC tidak terjadi,
maka penipisan ozon akan menyebabkan penambahan 165-215 bagian per juta
(4050%) karbon dioksida di atmosfer.
Dampak perubahan iklim secara global telah menjadi perhatian masyarakat
dunia dan banyak negara, termasuk Indonesia. Indonesia memiliki potensi untuk
menerima dampak negatif dari perubahan iklim, serta turut andil dalam melakukan
adaptasi ataupun mitigasi terhadap dampak negatif perubahan iklim. Di Indonesia
sendiri, dampak yang diberikan dari lahirnya Protokol Montreal terhadap kebijakan
luar negeri Indonesia membuat kebijakannya tidak lagi bersifat defensif. Artinya
Indonesia tidak hanya menjadikan isu penipisan ozon sebagai isu negara lain,
9
namun juga menjadi tanggung jawab Indonesia dalam penyelesaiaannya. Berawal
dari keikutseraan dalam Konferesi Internasional KTT Lingkungan Hidup di
Stockholm hingga penerapan dari Protokol Montreal telah memberikan dampak
yang baik terhadap ozon, yakni menebalnya lapisan ozon sebesar 8.989 metrik ton
CFC.
Banyak peluang yang diperoleh setelah menjalankan Protokol Montreal,
baik dari segi lingkungan yakni lapisan ozon akan semakin pulih, dan efek samping
dari penipisan lapisan ozon seperti pancaran sinar UV-B dan perubahan iklim akan
berkurang. Selain itu sudah banyak perusahaan-perusahaan lokal yang beralih ke
teknologi ramag lingkungan (green industry) sehingga menjaga dan menghindari
terjadinya penipisan ozon. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia konsisten
terhadap semua kebijakan yang sudah dibuat, dan menganggap bahwa isu penipisan
lapisan ozon yang menjadi penyebab perubahan iklim dan pemanasan global
sebagai masalah biasa. Dengan berkurangnya penipisan ozon dan menebalnya
lapisan ozon tersebut menjadi salah satu cara yang dapat memperbaiki kenaikan
iklim yang terjadi sehingga pemanasan global dapat teratasi.
10
tersebut adanya pengertian dari pihak protokol dimana negara berkembang akan
diberikan sejumlah bantuan berupa bantuan dana multilateral.
Protokol Montreal sendiri telah diaplikasikan disejumlah negara – negara
berkembang di Asia, India merupakan negara besar di Asia Selatan. India
meratifikasi konfensi Wina pada tanggal 19 juni 1991, dan kemudian turut
meratifikasi Protokol Montreal pada 17 September 1992. Adapun regulasi dan
pengendalian yang dijalankan oleh India yaitu pengaturan pada produksi,
pengendalian konsumsi, dan larangan untuk melakukan perdagangan dengan
negara yang tidak meratifikasi protokol. Pengaturan mengenai perdagangan bahan
kimia yang masuk dalam daftar larangan protokol (ODS) termasuk CFC,
pendaftaran wajib bagi produsen, Importir dan eksportir kompresor serta
pendaftaran untuk mendaur ulang, memulihkan dan melakukan penghancuran
ODS. Dengan keseriusan India dalam mengamplikasikan protokol di dalam
kebijakannnya, India mengalami kesuksesan dan prestasi, pada tanggal 1 Januari
2010 produksi dan konsumsi CFC dihilangkan sepenuhnya sesuai dengan jadwal
yang ditetapkan oleh protokol.
Tak hanya India, Thailand telah mengalami periode pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan sejak tahun 1970an dan juga telah disertai dengan degradasi
lingkungan yang membuat pemerintah Thailand semakin menyadari perubahan
yang terjadi secara lokal dan global mengenai masalah lingkungan. Oleh karena
itu pemerintah Thailand berkomitmen dengan mengatasinya. Bukti komitmen
mereka dibuktikan dengan meratifikasi Protokol Montreal pada bulan juli 1989
dan menerima bantuan dana multilateral untuk pelaksanaan program protokol.
Pemerintah berkomitmen unutk membangun program biaya yang lebih efektif
untuk pentahapan penghapusan ODS. Untuk mengkoordinasikan kegiatan
pemerintah, telah didirikan departemen pekerja Industri (DIW), departemen
perindustrian yang juga berfungsi sebagai sekretariat pada ODS. Selanjutnya
kementrian sains, teknologi dan lingkungan memiliki tanggung jawab untuk
membuat sebuah kebijakan dan penegakan mengenai isu lingkungan nasional.
Tak hanya itu Industry Finance Corparation Of Thailand (IFCT) ditugaskan oleh
pemerintah untuk bertindak menjadi agen keuangan sebagai penyalur dana yang
berasal dari Multilateral Fund untuk Thailand. Thailand telah memprogram untuk
11
penghapusan ODS dan selesai pada September 1993. Selain itu
perusahaanperusahaan Thailand mempertahankan pasar ekspor mereka dengan
membuat penyesuaian mengenai teknologi produksi non-ODS berdasarkan
permintaan importir negara- negara industri.
Protokol Montreal dapat berbangga diri dengan meningkatnya partisipasi
global dibandingkan dengan semua perjanjian internasional PBB lainnya.
Negaranegara maju telah menghapus produksi dan konsumsi lebih dari 99% dari
semua bahan kimia yang dikontrol oleh Protokol Montreal. Dengan bantuan Dana
Multilateral, pada akhir tahun 2005, negara-negara berkembang telah menyetujui
proyek pengurangan sebesar 72%. Dan dimasa depan negara berkembang telah
menyepakati proyek pengurangan hampir 90% dari bahan kimia yang terdaftar
dalam peraturan Protokol Montreal. Tak hanya mengenai target pencapaian
program, pengamatan global mengenai tingkat zat perusak ozon yang sampai
kelapisan ozon semakin menurun. Dan telah diyakini bahwa dengan implementasi
penuh dari semua ketentuan Protokol, lapisan ozon akan pulih di tahun 2050.
12
yang bertujuan menggalang kesepakatan dan kerjasama internasional guna
mencegah perusakan dan penipisan lapisan ozon;
13
Layer termasuk keempat amandemennya. Indonesia diklasifikasikan sebagai
negara peserta protokol dan berhak mendapatkan bantuan berupa bantuan dana
multilateral. Dalam melaksanakan kewajibannya sebagai negara peserta, sudah
ada tiga program yang dilaksanakan oleh Indonesia, yaitu :
1. Periode 1993-2003
Indonesia melaksanakan program nasional yang bertujuan untuk
membentuk kerangka peraturan, tindakan insentif dan disinsentif,
meningkatkan kesadaran dan penyebaran informasi, serta
kewajibankewajiban lain yang diatur dalam Protokol Montreal.
2. Periode 2004-2010
Indonesia melaksanakan program yang bernama National Phase-Out Plan
(NPP) yang bertujuan untuk mengeliminasi konsumsi ODS yang tidak
berhasil dieliminasi pada program sebelumnya. Program ini melibatkan
peran pemerintah sekaligus industri-industri yang bersangkutan sehingga
menghasilkan program yang bersifat bottom-up.
3. Periode 2012-2018
Program yang sekarang sedang dilaksanakan merupakan tindak lanjut dari
kesuksesan kedua program sebelumnya, bernama
Hydrochlorofluorocarbons (HCFC) Phase-Out Management Plan (HPMP).
Program ini diselenggarakan di bawah Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dengan dukungan dari United Nation Development Program
(UNDP). Program ini bekerjasama dengan World Bank dan United Nation
Industrial Development Organization (UNIDO) serta didanai oleh MLF.
Target HPMP adalah untuk mengurangi 80,4 ODP ton konsumsi nasional
HCFC pada tahun 2018 yang kemudian akan membantu mengurangi emisi
CO2 sekitar 1,5 juta ton per tahun dari 2015. HPMP terdiri dari 2 tahap.
Tahap pertama fokus pada pabrik manufaktur dan tahap kedua fokus pada
pelayanan. HPMP dilaksanakan dengan membentuk kebijakan dan
peraturan, transfer teknologi, pelatian, komunikasi dan manajemen, bantuan
teknis, serta koordinasi dan pemantauan di berbagai sektor yang
mengkonsumsi HCFC.
14
Maka dari itu Indonesia telah memberlakukan sejumlah kebijakan untuk
Montreal Protocol, diantarannya:
1. Pelarangan untuk memproduksi bahan perusak lapisan ozon, dan barang
yang menggunakan bahan perusak lapisan ozon sejak tahun 1998.
2. Peraturan mengenai pembatasan penggunaan Metil Bromida hanya untuk
kegiatan karantina dan prapengapalan sejak tahun 2005.
3. Pelarangan impor Halon, TCA sejak tahun 2006.
4. Pengaturan Ketentuan impor BPO melalui mekanisme ijin importir
(Importir Terbatas dan Importir Produsen) sejak tahun 2006.
5. Pelarangan impor/penghapusan CFC sejak tahun 2008.
6. Pencegahan pelepasan Bahan perusak Ozon ke atmosfer melalui kegiatan
retrofit dan recycle refrigerasi.
7. Penggunaan logo untuk barang yang tidak menggunakan CFC dan Halon32.
Selain itu, terdapat beberapa peraturan turunan yang menjadi bukti
komitmen Indonesia terhadap Montreal Protocol, yakni sebagai berikut.
1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 1998 tentang
pengesahan Protokol Montreal mengenai zat - zat yang merusak lapisan
ozon, Copenhagen, 1992.
2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2005 tentang
pengesahan amandemen montreal atas Protokol Montreal tentang
bahanbahan yang merusak lapisan ozon.
3. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
83/MDAG/PER/10/2015 tentang ketentuan impor bahan perusak lapisan
ozon.
4. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 35 tahun 2009 tentang
pengelolaan halon.
5. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor
33/MIND/PER/4/2007 tentang larangan memproduksi bahan perusak
lapisan ozon serta memproduksi barang yang menggunakan bahan perusak
lapisan ozon.
6. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor
41/MIND/PER/5/2014 tentang larangan penggunaan
hydrochlorofluorocarbon (HCFC) di bidang perindustrian.
15
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
1. Montreal Protocol merupakan salah satu usaha internasional untuk
melakukan perlindungan lapisan ozon yang disepakati pada 16 September
1897 di Kanada dan mulai berlaku pada 1 Januari 1989. Sejak saat itu,
protokol ini mengalami amandemen yaitu pada 1990 di London, 1992 di
Copenhagen1997 di Montreal, dan 1999 di Beijing. Dan hingga pada tanggal
23 Juni 2015 terdapat 197 negara yang telah meratifikasi perjanjian ini.
2. Montreal Protocol merupakan traktat ataupun perjanjian Internasional yang
dirancang untuk melindungi lapisan ozon dengan meniadakan produksi
sejumlah zat yang diyakini dapat bertanggung jawab atas berkurangnya
lapisan ozon, seperti CFC. Target dari perjanjian ini adalah untuk
memulihkan penipisan lapisan ozon hingga tahun 2050 ke depan.
3. Negara-negara yang meratifikasi Montreal Protocol sepakat untuk
mengurangi secara bertahap dan akhirnya menghentikan produksi dan
konsumsi bahan CFC, holon, HCFC, dan senyawa lainnya.
4. Dengan berkurangnya penipisan ozon dan menebalnya lapisan ozon sebagai
hasil dari penerapan Montreal Protocol menjadi salah satu cara yang dapat
memperbaiki isu kenaikan iklim yang terjadi sehingga pemanasan global
dapat teratasi.
5. Negara-negara maju telah menghapus produksi dan konsumsi lebih dari 99%
dari semua bahan kimia yang dikontrol oleh Montreal Protocol dan dengan
bantuan Dana Multilateral, pada akhir tahun 2005, negara-negara
berkembang telah menyetujui proyek pengurangan sebesar 72%.
3.2 Saran
Penerapan Perjanjian Internasional bidang lingkungan perlu mendapat
perhatian yang cukup serius dari berbagai negara di dunia. Montreal Protocol
sebagai salah satu bentuk perjanjian internasional yang melindungi lapisan ozon
perlu mendapatkan pengawasan yang sesuai dan komitmen yang tepat dalam
16
penerapannya demi memperbaiki kerusakan-kerusakan lingkungan yang ada,
terkhusus isu perubahan iklim bumi sekaligus pemanasan global. Dengan
menerapkan tujuan dan target dari Montreal Protocol diharapkan mampu
menjaga, mengontrol, dan mempertahankan lapisan ozon hingga masa yang akan
datang.
17
DAFTAR PUSTAKA
18