Anda di halaman 1dari 126

MAKALAH LIMBAH B3

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akhir-akhir ini makin banyak limbah-limbah dari pabrik, rumah tangga, perusahaan,
kantor-kantor, sekolah dan sebagainya yang berupa cair, padat bahkan berupa zat gas dan
semuanya itu berbahaya bagi kehidupan kita. Tetapi ada limbah yang lebih berbahaya lagi
yang disebut dengan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Hal tersebut sebenarnya
bukan merupakan masalah kecil dan sepele, karena apabila limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun(B3) tersebut dibiarkan ataupun dianggap sepele penanganannya, atau bahkan
melakukan penanganan yang salah dalam menanganani limbah B3 tersebut, maka dampak
dari Limbah Bahan Berbahaya dan beracun tersebut akan semakin meluas, bahkan
dampaknyapun akan sangat dirasakan bagi lingkungan sekitar kita, dan tentu saja dampak
tersebut akan menjurus pada kehidupan makhluk hidup baik dampak yang akan dirasakan
dalam jangka pendek ataupun dampak yang akan dirasakan dalam jangka panjang dimasa
yang akan datang.
Kita tidak akan tahu seberapa parah kelak dampak tersebut akan terjadi,namun seperti
kata pepatahLebih Baik Mencegah Daripada Mengobati, hal tersebut menjadi salah satu
aspek pendorong bagi kita semua agar lebih berupaya mencegah dampak dari limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun tersebut, ketimbang menyaksikan dampak dari limbah B3 tersebut
telah terjadi dihadapan kita, dan kita semakin sulit untuk menanggulanginya
Secara garis besar,hal tersebut menjadi salah satu patokan bagi kita,bahwa segala
sesuatu

yang

terjadi

merupakan

tanggung

jawab

kita

bersama

untuk

menanggulanginya,khususnya pada masalah limbah Bahan Berbahaya dan(B3) Beracun


tersebut. Maka dari itu penulis mengangkat topik Pengelolaan Limbah B3 untuk diketahui
lebih lanjut bagaimana cara pengelolaan limbah B3 agar dapat mencegah kerusakan
lingkungan dan kesehatan masyarakat.
1.2 Rumusan masalah
1) Apa tujuan pengelolaan limbah B3?
2) bagaimana sistem pengelolaan limbah B3 ?
3) Bagaimana upaya penanggulangan limbah B3 ?

1.3 Metode penyelesaian masalah


Metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan cara melakukan
tinjauan-tinjauan pada beberapa buku dan media lainnya dan memilih sumber yang diangap
paling tepat dan menjadinya sebagai acuan uatam dari pembuatan makalah ini
1.4 Tujuan penulisan makalah
1) Untuk mengetahui tujuan pengelolaan limbah B3
2) Untuk mengetahui metode-metode pada proses pengelolaan limbah B3
3) Dapat mengetahui upaya dalam pengelolaan limbah B3

BAB II
PEMBAHASAN

1.2 Tujuan pengelolaan limbah B3


Yang dimaksud dengan limbah B3 disini adalah setiap limbah yang mengandung bahan
berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan /atau konsentrasinya dan/atau
jumlahnya,baik secara langsung maupun tidak langsung dapa merusak dan/atau
mencemarkan lingkungan hidup dan/atau membahaya dampak yang ditimbulkan oleh limbah
B3 yang dibuang langsung ke lingkungan sangat besar dan bersifat akumulatif,dampak
tersebut. Maka pemerintah telah berusaha untuk mengelolaa limbah B3 secara
menyeluruh,terpadu dan berkelajutan. Pengelolaan Limbah B3 merupakan salah satu
rangkaian

kegiatan

yang

mencakup

penyimpanan,

pengumpulan,

pemanfaatan,

pengangkutan, dan pengolahan limbah B3 termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut.


Sehingga dapat disimpulkan pelaku pengelolaan limbah B3 antara lain:
a)

Penghasil Limbah B3

b)

Pengumpul Limbah B3

c)

Pengangkut Limbah B3

d)

Pemanfaat Limbah B3

e)

Pengolah Limbah B3

f)

Penimbunan Limbah B3
Mayoritas pabrik tidak menyadari, bahwa limbah yang dihasilkan termasuk dalam
kategori limbah B3, sehingga limbah dibuang begitu saja ke sistem perairan tanpa adanya
proses pengolahan. Pada dasarnya prinsip pengolahan limbah adalah upaya untuk
memisahkan zat pencemar dari cairan atau padatan. Walaupun volumenya kecil, konsentrasi
zat pencemar yang telah dipisahkan itu sangat tinggi. Selama ini, zat pencemar yang sudah
dipisahkan atau konsentrat belum tertangani dengan baik, sehingga terjadi akumulasi bahaya
yang setiap saat mengancam kesehatan manusia dan keselamatan lingkungan hidup. Untuk
itu limbah B3 perlu dikelola antara lain melalui pengolahan limbah B3.
Tujuan pengelolaan B3 adalah untuk mencegah semaksimal mungkin yang ditimbulkan
limbah b3 dengan tepat sehingga tidak menyebabkan terjadi pencemaran yang semakin
meluas dan menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan
oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar
sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.
2.1.1. Sumber Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
1. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik. Berasal bukan dari proses utamanya, tetapi
berasal dari kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, pencegahan korosi, pelarut kerak,
pengemasan, dll.
2. Limbah B3 dari sumber spesifik. Limbah B3 sisa proses suatu industri atau kegiatan
yang secara spesifik dapat ditentukan berdasarkan kajian ilmiah.
2.1.2. Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:

a)

Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal dan
banyak mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap.

b)

Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi

c)

Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengan lumpur
aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil proses tersebut.

d)

Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested aerobic
maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak
mengandung padatan organik.
2.1.3 Karakteristik limbah B3
Secara konvensional terdapat tujuh kelas bahan berbahaya, yaitu:
1. Flammable (mudah terbakar), yaitu bahan padat, cair, uap, atau gas yang menyala
dengan mudah dan terbakar secara cepat bila dipaparkan pada sumber nyala,
misalnya: jenis pelarut ethanol, gas hidrogen, methane.
2. Explosive (mudah meledak), yaitu materi yang dapat meledak karena adanya kejutan,
panas atau mekanisme lain, misalnya dinamit.
3. Corrosive (korosif), bahan padat atau cair yang dapat membakar atau merusak
jaringan kulit bila berkontak dengannya.
4. Reaktif, bahan padat atau cair yang mudah bereaksi sesuai dengan keadaan
disekitarnya, misalnya : logam natrium
5. Infeksius, bahan padat atau cair yang dapat menginfeksi lingkungan atau makhluk
hidup di sekitarnya, misalnya : jarum suntik, sisa obat-obatan
6. Beracun, bahan padat, cair, atau gas yang dapat mempengaruhi kesehatan lingkungan
atau manusia yang menghirup atau terkena limbah tersebut.
2.2 Sistem pengelolaan limbah B3
Limbah B3 dibuang langsung ke lingkungan dapat menimbulkan bahaya terhadap lingkungan
dan kesehatan manusia serta makluk hidup lainnya. Mengingat resiko yang ditimbulkan
tersebut perlu diupayakan agar setiap kegiatan menghasilkan limbah B3 diusahakan
seminimal mungkin. Minimalis limbah B3 dimaksud agar limbah yang dihasilkan masingmasing unik produksi sedikit mungkin bahkan diusahakan sampai nol (0),dengan cara antara
lain :

1. Reduksi pada sumbernya dengan pengolahan awal bahan,


2. Subtitusi bahan yang berpontesi menghasilkan limbah B3

3. Optimalisasi operasi proses yang tepat


4. Teknologi bersih
Untuk menghilangkan atau mengurangi bahan berberbahaya dan beracun,limbah B3 yang
dihasilkan harus dikelola secara khusus atau jika memungkinkan untuk dimanfaatkan
kembali. Pemanfaatan limbah B3 mencakup kegiatan daur ulang (recycling),perolehan
kembali (recovery) dan penggunaan kembali (reuse) yang dapat mengubah limbah B3
menjadi suatu produk yang bernilai ekonomis. Pemanfaatan limbah B3 merupakan suatu
rantai penting dan mengelolaan limbah B3 ,di satu pihak dapat dikurangi jumlah B3 sehingga
pengolahan limbah B3 dapat ditekan di lain pihak akan dapat meningkatkan maanfaat bahan
baku. Hal ini pada gilirannya akan mengurangi kecepatan pengurusan sumber daya alam.
2.3. Sistem mengelolaan limbah B3 menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku di indonesia
2.3.1. Pengelolaan limbah industri B3 merupakan salah satu bagian dari pengelolaan
lingkungan hidup secara menyeluruh. Progam pengelolaan limbah B3 diwujudkan
karena alasan :
1. Rendahnya kesadaran pihak industri untukmengelola limbah
2. Dampak negatif pembuangan limbah B3 ke lingkungan akan di rasakan dalam pada jangka
waktu 10-20 tahun
3. Masih terbatasnya sumber daya manusia yang mampu menangani proses pengelolaan limbah
B3
4.

Peraturan tentang pengelolaan limbah B3 masih relatif baru,sehingga perlu masa untuk
memasyarakatkannya.
Pengelolaan

limbah

B3

merupakan

suatu

rangkaian

kegiatan

yang

mencakup

penyimpanan,pengumpulan,pengangkutan,dan pengelolaan limbah B3 termasuk hasil dari


pengolahannya. Dalam rangakai kegiatan tersebut terkait beberapa pihak yang merupakan
suatu mata rantai dalam pengelolaan limbah b3,yang meliputi :
1. Penghasil limbah B3
2. Pengumpul limbah B3
3. Pengangkutan limbah B3
4. Pengolahan limbah B3

2.3.2. Penghasil limbah B3


Penghasil limbah B3 kebanyakkan berasal dari industri kimia dan pertambangan sedangkan
sumber penghasil limbah B3 dapat dikelompokan menjadi tiga (3) yaitu :
1.

Limbah B3 yang berasal dari spesifik,adalah limbah B3 sisa proses suatu industri atau
kegiatan tertentu yang secara spesifik dapat ditentukan berdasarkan kajian ilmiah

2. Limbah B3 yang berasal dari tidak spesifik,adalah limbah B3 yang berasal bukan dari proses
utamanya,tetapi

berasal

pemeliharaan

alat

pencucian,inhabitor

korosi,pelarut

kerak,pengemasan,dan lain-lainnya.
3. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa,tumpuhan,sisa kemasan,atau buangan produk yang
tidak memenuhi spesifikasi atau tidak dapat dimanfaatkan kembali,maka suatu produk
menjadi limbah B3 yang memerlukan pengelolaan limbah B3 lainnya. Hal yang sama juga
berlaku untuk sisa kemasan limbah B3 dan bahan-bahan kimia kadaluarsa.
Untuk pengolahan limbah B3 diperlukan teknologi yang tinggi,sehingga untuk membuat
instansi pengolahan diperlukan investasi yang cukup besar dan biaya operasional cukup besar
pula. Karena biaya pengelolaan yang besar tersebut,setiap industri selalu berusaha mencari
bahan subtitusi agar tidak menggunakan bahan yang bersifat B3 atau menghasilkan limbah
B3. Samping itu perusahan lebih suka menggunakan jasa pihak lain untuk pengolahan
limbah B3-nya,tetapi minimalisasi lmbah B3 selalu mendapatkan prioritas utama.
2.3.3. Penyimpanan dan pengumpulan limbah B3
Penyimpanan limbah B3 harus dilakukan jika limbah B3 belum dapat diolah dengan segera.
Kegiatan penyimpanan limbah B3 dimaksudkan untuk mencegahnya terlepasnya limbah B3
ke lingkungan,sehingga pontensi berbahaya terhadap manusia dan lingkungan dapat
terhindarkan. Untuk meningkatkan keamanan sebelum dilakukan penyimpanan,limbah B3
terlebih dahulu dikemas. Mengingat karatersik limbah B3 ,maka dalam pengemasannya perlu
pula aturan tata cara yang tepat sehingga limbah B3 dapat di simpan dengan aman.
2.3.4. Pengemasan limbah B3
Sebelum melakukan pengemasan penghasil/pengumpul limbah B3 harus mengetahui
karakterstik limbah dapat dilakukan dengan pengujian laboratorum . perusahan yang
menghasilkan limbah B3 terus-menerus secara otomatis sudah mengetahui karakterstik
limbahnya,tetapi suatu waktu terjadi perubahan dalam kegiatannya yang diperkirakan
mempengaruhi karakterstik limbah,maka harus melakukan pengujian kembali karakterstik
limbahnya. Dalam pemilihan bentuk dan bahannya kemas harus disesuaikan dengan jenis dan

karakterstik dari limbah yang akan dikemas. Bahan kemasan dapat terbentuk dari bahan
plastik(HDPE,PP atau PVC) atau dari bahan logam(teflon,baja karbon,SS 304, SS 316,SS
44O) disesuaikan dengan limbah dan tidak boleh bereaksi dengan limbah yag disimpan.
2.3.5. mengklasifikasikan limbah B3
Menklasifikasikan limbah B3 akan memberikan informasi lebih dini kepada penghasil atau
pengelola limbah sehingga dapat diambil tindakan-tindakan preventif untuk menghindari
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan,seperti keracunan,kebakaran,ledakan, iritasi dll.
Apabila limbah B3 yang dihasilkan termasuk dalam kelompok limbah B3,maka harus segera
dilakukan

tindakan-tindakan

khusus

yang

lebih

hati-hati

dan

disesuai

dengan

karaktersik/sifat-sifat dari limbah yang bersangkutan .


Tahap-tahap pengidetifikasian limbah sebagai limbah B3 sebagai berikut:
a.

Idetifikasi jenis limbah yang dihasilkan,

b.

Mencocokkan jenis limbah dengan daftar jenis limbah B3,apabila termasuk dalam daftar
maka limbah tersebut masuk dalam kelompok limbah B3,

c.

Apabila jenis limbah tidak termasuk dalam daftar jenis limbah B3,maka
Pemeriksaan dilanjutkan apakah maksud dalam karaterisik: mudah meledak, mudah terbakar,
beracun, bersifat reaktif, menyebabkan infeksi atau bersifat korosif.

d.

Apabila tidak termasuk dalam daftar jenis limbah B3 dan tidak memiliki karateristik
sebagaimana tersebut huruf c. Maka dilakukan toksikologi
2.3.6. pengangkutan limbah
Pengangkutan limbah B3 merupakan kegitan pemindahan lokasi limbah dari lokasi kegiatan
penghasil ke lokasi penyimpanan atau pengumpulan atau pengolahan atau pemanfaatan
limbah B3 di luar lokasi penghasil limbah serta pemindahahan lokasi penimbunan hasil
pengolahan .
Setiap ada pemindahan tanganan atau pun pemindahan lokasi limah antar pihak atau lokasi
harus disetai dengan dokumen limbah B3
Dokumen limbah B3 terdiri dari tiga bagian ,yaitu :

a.

Bagian I : yang harus diisi oleh penghasil/pengumpul

b. Bagian II : yang harus diisi oleh pengangkut


c.

Bagian III : yang harus diisi oleh pengumpul/pemanfaat/pengolah


Dokumen B3 tersebut merupakan legalitas dari kegiatan pengelolaan limbah B3, dengan
demikian dokumen resmi ini merupakan

sarana/alat

pengawasan yang ditetapkan

pemerintah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan juga untuk mengetahui

mata rantai perpindahan dan penyebaran limbah B3. Dokumen limbah B3 merupakan yang
senantiasa dibawa dari tempat pengangkutan limbah B3 ke tempat tujuan. Dokumen
diserahkan pada saat penyerahan limbah B3. Dokumen limbah B3 tersebut meliputi juga
dokumen muatan.
2.3.7. pengolahan limbah B3
Penolahan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3),adalah proses untuk mengubah
jenis,jumlah dan karakterstik limbah B3 menadi tidak berbahaya dan/atau tidak immobalisasi
limbah B3 sebelum ditimbun dan/atau jika kemungkinan agar limbah B3 dimanfaatkan
kembali (daur ulang) . karena sifat bahayanya yang dapat ditimbulkan limbah B3 sangat
tinggi,maka sebelum dibangunnya suatu pusat pengolahan limbah B3 ,pengolahan wajib
membuat analisa dampak lingkungan untuk menyelegarakan kegiatannya baik secara sendiri
maupun secara intrgrasi dengan kegiatan yang lainnya.
2.4. upaya penanggulangan limbah B3
Pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan limbah B3 berupa
lankah-langkah yang terintergrasi yang merupakan upaya untuk :
1. Penekanan pihak industri agar mau melakukan pendekatan reduksi/eliminasi limbah B3
2. Menerapkan persyaratan teknik pengelolaan limbah B3
3. Melakukan larangan import limbah B3
4. Membuat peraturan tentang eksport limbah B3
5. Memberi persyaratan perizinan dalam pengelolaan limbah B3
6.

Menentukan jenis-jenis limbah yang dikatagorikan B3 dan membuat prosedur penetapan


limbah B3

7. Melakukan pebgawasan dalam pengelolaan limbah B3 dalam setiap proses

BAB III
PENUTUP
3.1.Simpulan
Dalam pengelolaan limbah B3 perlu adanya prosedur-prosedur baik dalam pengelolaannya
dikarenakan limbah B3 adalah termasuk limbah yang berbahaya dan beracun karena sifat atau
pun konsentrasinya yang dapat merusak,mencemari,dan mengganggu lingkungan hidup dan
makhluk hidup baik secara langsung maupun tidak langsung,maka perlunya penanganan yang
serius dan tertata dengan baik sesuai standar nasional dan internasional dalam pengelolaan
limbah B3.

3.2.Saran
Diharapkan melalui makalah pengelolaan limbah B3 ini, pembaca dapat mengetahui prosesproses dalam pengelolaan limbah B3.

DAFTAR PUSTAKA
Herisuhaeri.2013.pengelolaan

limbah

bahan

berbahaya

dan

beracun

(B3).http//Herisuhaeri1308.blog.teknikindustri.ft.mercubuana.ac.id/?p=396. Di akses pada


tanggal 18 oktober 2014-10-18
Dony,Apri.2013.Regulasi

pengelolaan

limbah

B3.http//academia.edu/6101862/REGULASI_PENGELOLAAN_LIMBAH_B3/. Di akses
pada tanggal 13 oktober 2014

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PADA INDUSTRI KOSMETIK


A. PENDAHULUAN
Pendahuluan
Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu
tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomi. Limbah
mengandung bahan pencemar yang bersifat racun dan bahaya. Limbah ini
dikenal dengan limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya). Bahan ini
dirumuskan sebagai bahan dalam jumlah relatif sedikit tapi mempunyai potensi
mencemarkan/merusakkan lingkungan kehidupan dan sumber daya.
Untuk peningkatan taraf hidup bangsa Indonesia perlu pertumbuhan ekonomi
yang pesat dengan cara memajukan pembangunan. Salah satu unsur penting
dalam pembangunan tersebut adalah pembangunan di bidang industri. Namun
dalam kegiatan industri akan diikuti dengan dampak negatif limbah industri
terhadap lingkungan hidup manusia. Limbah industri yang toksik akan
memperburuk kondisi lingkungan dan akan meningkatkan penyakit pada
manusia dan kerusakan pada komponen lingkungan lainnya.
Keberadaan limbah yang bersumber dari industri kosmetik cukup
mengkhawatirkan. Bahan beracun dan berbahaya banyak digunakan sebagai
bahan baku industri kosmetik maupun sebagai penolong. Beracun dan
berbahaya dari limbah ditunjukkan oleh sifat fisik dan kimia bahan itu sendiri,
baik dari jumlah maupun kualitasnya.
Beberapa kriteria berbahaya dan beracun telah ditetapkan antara lain mudah
terbakar, mudah meledak, korosif, oksidator dan reduktor, iritasi bukan
radioaktif, mutagenik, patogenik, mudah membusuk dan lain-lain.
Dalam jumlah tertentu dengan kadar tertentu, kehadirannya dapat merusakkan

kesehatan bahkan mematikan manusia atau kehidupan lainnya sehingga perlu


ditetapkan batas-batas yang diperkenankan dalam lingkungan pada waktu
tertentu.
Industri, dalam hal ini adalah industri kosmetik, saat ini lebih terfokus pada
upaya untuk melakukan efisiensi seiring makin melambungnya biaya produksi,
belanja pegawai hingga ongkos energi. Sehingga mau tak mau akan
menomorduakan persoalan pembuangan limbahnya. Apalagi pengolahan limbah
memerlukan biaya tinggi
Padahal limbah industri kosmetik sangat potensial sebagai penyebab terjadinya
pencemaran. Pada umumnya limbah industri kosmetik mengandung limbah B3,
yaitu bahan berbahaya dan beracun. Menurut PP 18/99 pasal 1, limbah B3
adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan
beracun yang dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup sehingga
membahayakan kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk
lainnya.
Hal tersebut tidak bisa dibiarkan karena cepat atau lambat pasti akan membawa
dampak yang buruk bagi lingkungan ataupun bagi kesehatan manusia. Limbah
industri harus ditangani dengan baik dan serius oleh Pemerintah Daerah dimana
wilayahnya terdapat industri. Pemerintah harus mengawasi pembuangan limbah
industri dengan sungguh-sungguh. Pelaku industri harus melakukan cara-cara
pencegahan pencemaran lingkungan dengan melaksanakan teknologi bersih,
memasang alat pencegahan pencemaran, melakukan proses daur ulang dan
yang terpenting harus melakukan pengolahan limbah industri guna
menghilangkan bahan pencemaran atau paling tidak meminimalkan bahan
pencemaran hingga batas yang diperbolehkan. Di samping itu perlu dilakukan
penelitian atau kajian-kajian lebih banyak lagi mengenai dampak limbah industri
yang spesifik (sesuai jenis industrinya) terhadap lingkungan serta mencari
metoda atau teknologi tepat guna untuk pencegahan masalahnya

B. SKEMA
LIMBAH

C. PEMBAHASAN
Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) harus ditangani dengan perlakuan
khusus mengingat bahaya dan resiko yang mungkin ditimbulkan apabila limbah

ini menyebar ke lingkungan. Hal tersebut termasuk proses pengemasan,


penyimpanan, dan pengangkutan. Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai
dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Namun secara umum kemasan
limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik bebas dari karat dan kebocoran serta
harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan limbah yang tersimpan di
dalamnya. Limbah-limbah harus dihindari dengan adanya kontak dengan limbah
yang tidak kompatibel. Bangunan penyimpanan limbah harus dibuat dengan
lantai kebab air, tidak bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung
dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang
baik, terlindung dari masuknya hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi
dengan sistem penangkal petir.
Berbagai teknik pengolahan limbah untuk menyisihkan bahan polutannya telah
dicoba dan dikembangkan selama ini. Jenis limbah yang sering dihasilkan dari
industri kosmetik adalah sejenis minyak atsiri, minyak lemak, dan air buangan
yang mengandung logam. Teknik pengolahan air buangan yang telah
dikembangkan tersebut secara umum terbagi menjadi tiga metode pengolahan,
yaitu: pengolahan secara fisika, kimia, dan biologi.
a. Pengolahan secara fisika
Dalam industri kosmetik, limbah cair secara umum diolah secara fisika dengan
cara pengendapan purifikasi sehingga dihasilkan air yang terpurifikasi yang
dapat direcycle untuk kegiatan yang lain. Namun dalam industri kosmetik
terdapat limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang biasanya berupa
logam-logam berat dan sisa-sisa pelarut yang bersifat toksik.
Untuk bahan-bahan yang mengapung seperti minyak dan lemak agar tidak
mengganggu proses pengolahan berikutnya digunakan proses floatasi. Floatasi
juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi atau
pemekatan lumpur endapan dengan memberikan aliran udara ke atas. Proses
filtrasi dalam pengolahan air buangan biasanya dilakukan untuk mendahului
proses adsobrsi atau proses revers osmosis, untuk menyisihkan sebanyak
mungkin partikel tersuspensi dari dalam air agar tidak mengganggu proses
adsorbsi atau menyumbat membran yang dipergunakan dalam proses osmosis.
Proses adsorbsi biasanya menggunakan karbon aktif, dilakukan untuk
menyisihkan senyawa aromatik (fenol) dan senyawa organik terlarut lainnya,
terutama jika diinginkan untuk menggunakan kembali air buangan tersebut.
b. Pengolahan secara biologi
Etil alkohol merupakan pelarut dalam industri kosmetik. Residu alkohol yang
berasal dari limbah kosmetik dipisahkan lalu difermentasikan. Setelah
difermentasikan, selanjutnya dilakukan destilasi untuk memisahkan alkoholnya.
Etil alkohol murni yang dipisahkan selanjutnya dapat digunakan lagi dalam
industri kosmetik. Selain etil alkohol dihasilkan juga etanol. Etanol yang
dihasilkan dari destilasi ini selanjutnya digunakan sebagai green fuel. Sedangkan
residu sisanya dievaporasi. Kondensat hasil evporasi disaring dengan
menggunakan trickling filter menghasilkan air yang dapat digunakan dalam
proses industri serta untuk menyiram tanaman. Sisa dari proses evaporasi dapat
dijadikan pakan konsentrat.
Selain itu pengolahan limbah secara biologi dapat dilakukan dengan metode
lumpur aktif. Pengolahan sistem lumpur aktif adalah metode pemprosesan

limbah dengan mempelajari proses dekomposisi secara mikrobiologis yang


dikenal dengan biodegradasi oleh mikroorganisme pengurai. Lumpur akan
mengandung berbagai jenis mikroorganisme heterotrofik termasuk bakteri yang
memiliki peran penting dalam proses pembersihan secara biologis. Bakteri dapat
memanfaatkan bahan terlarut maupun yang tersuspensi dalam air sebagai
energi .Bakteri tersuspensi dalam lumpur digunakan untuk mengolah limbah
secara mikrobiologis dapat dikembangkan dengan pembibitan (seeding) lumpur
yang berasal dari ekosistem alam yang terkontaminasi, tercemar, maupun dari
ekosistem alami yang memiliki sifat-sifat khas ataupun ekstrim. Salah satu
limbah yang dapat diolah dengan metode tersebut adalah limbah deterjen.
Deterjen adalah senyawa sintetik yang termasuk surface active agent. Deterjen
merupakan salah satu bahan pencuci yang banyak digunakan sebagai zat
pencuci untuk keperluan kosmetik karena memiliki sifat sebagai pendispersi,
pencuci dan pengemulsi. Penyusun utama deterjen adalah Dodecyl Benzene
Sulfonat (DBS). DBS berfungsi untuk menghasilkan busa. Keberadaan busa-busa
tersebut dapat membatasi kontak udara-air sehingga organisme air akan
kekurangan oksigen. Adapun metode penelitian yang digunakan untuk menguji
kemampuan bakteri dalam mengolah limbah deterjen (DBS) adalah sebagai
berikut:
1. Sampling Sedimen Sungai Tebe
Sedimen diambil dari dasar sungai kemudian disimpan dalam box sampel suhu
40 C. Sedimen lalu diisolasi bakteri dengan media benzene sulfonat (2 g DBS, 1 g
NPK, 0,4 g Mg.SO4.7 H20)
2. Penentuan Waktu Eksponensial Melalui Kurva Pertumbuhan Bakteri
Media cair berisi 500 ml masing-masing dimasukkan dalam 2 erlenmeyer 1 L.
Media lalu ditambahkan isolate bakteri secara aseptik dan media lain sebagai
kontrol. Media lalu diaerasi, pertumbuhan isolat bakteri diukur dengan
turbidimeter setiap 1 jam selama 12 jam. Dari hasil tersebut akan diperoleh
waktu pertumbuhan bakteri saat mencapai eksponensial.
3. Pembibitan (Seeding) dan Pertumbuhan Isolat Bakteri yang diinokulasikan
Dalam Lumpur Aktif
Waktu pembibitan disesuaikan dengan kurva pertumbuhan bakteri, dimana
larutan bibit telah siap dipanen saat mencapai fase eksponensial.
4. Penentuan Kemampuan Biodegradasi DBS oleh Isolat Bakteri
Air limbah disiapkan dengan cara melarutkan 1 g DBS 0,5 g NPK dan 0,2 g
MgSO4.7H2O ke dalam 1 L akuadest. Campuran digojog hingga homogen.
Larutan tersebut mengalami proses aerasi. Sebelum larutan bibit dipindahkan ke
dalam reaktor, kadar DBS daripada larutan bibit yang telah mencapai fase
eksponensial diukur sebagai faktor koreksi yaitu untuk mengetahui kadar DBS
yang tersisa saat proses pembibitan. Larutan bibit sebanyak 200 ml dimasukkan
dalam gelas beker dan juga 800 ml limbah DBS. Selain larutan tersebut juga
dibuat larutan kontrol.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa proses biodegradasi Dodecyl Benzena
Sulfonat dengan menggunakan isolate bakteri dari sedimen sungai Tebe
Denpasar menunjukkan penurunan kadar Dodecyl Benzena Sulfonat selama 7
hari pengolahan.
c. Pengolahan secara kimia

Pengolahan limbah industri kosmetik yang berupa logam berat dan sisa pelarut
toksik secara kimia dilakukan dengan pengikatan bahan kimia menggunakan
partikel koloid. Penyisihan bahan tersebut dilakukan melalui perubahan sifat
bahan tersebut, yaitu tak mudah diendapkan (flokulasi-koagulasi), baik dengan
atau tanpa reaksi oksidasi-reduksi ,dan juga berlangsung sebagai hasil reaksi
oksidasi. Pengendapan bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan
dengan membubuhkan elektrolit yang mempunyai muatan yang berlawanan
dengan muatan koloidnya agar terjadi netralisasi muatan koloid tersebut,
sehingga akhirnya dapat diendapkan. Penyisihan logam berat dan senyawa
fosfor dilakukan dengan membubuhkan larutan alkali (air kapur misalnya)
sehingga terbentuk endapan hidroksida logam-logam tersebut atau endapan
hidroksiapatit. Endapan logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10,5 dan
untuk hidroksiapatit pada pH > 9,5. Khusus untuk krom heksavalen, sebelum
diendapkan sebagai krom hidroksida [Cr(OH)3], terlebih dahulu direduksi
menjadi krom trivalent dengan membubuhkan reduktor (FeSO4, SO2, atau
Na2S2O5).
Penyisihan bahan-bahan organik beracun seperti fenol dan sianida pada
konsentrasi rendah dapat dilakukan dengan mengoksidasinya dengan klor (Cl2),
kalsium permanganat, aerasi, ozon hidrogen peroksida. Pada dasarnya kita dapat
memperoleh efisiensi tinggi dengan pengolahan secara kimia, akan tetapi biaya
pengolahan menjadi mahal karena memerlukan bahan kimia. Hasil pengolahan
limbah B3 dari industri kosmetik ini harus di buang . Salah satunya dengan
metode injection well.

Deep injection well


Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika
Serikat sebagai salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous
wastes). Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha
membuang limbah B3 ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah
permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat limbah, sama halnya
formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak dan gas
bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah
struktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.

Limbah B3 diinjeksikan dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah
lapisan yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat
lapisan impermeable seperti shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga
cairan limbah tidak dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2
mil dari permukaan tanah.
Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena
beberapa jenis limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada
sumur dan formasi penerima limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan tidak
memasukkan limbah yang dapat mengalami presipitasi, memiliki partikel
padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam kuat atau basa kuat, bersifat
aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas yang lebih rendah
daripada cairan alami dalam formasi geologi.
Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah
B3 ke sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini
ditetapkan oleh Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:
1. Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara
vertikal keluar dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber
air tanah.
2. Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di
atas, limbah telah mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan
beracun.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009, Pengolahan Limbah Cair,
http://images.google.co.id/imgres?
imgurl=http://shanty.redhat.googlepages.com/gambar3.JPG&imgrefurl=http://12
oedhy.wordpress.com/2008/09/07/pengolangan-limbahcair/&usg=__kNyCDJboSykEc0FJhEE5OrdTP8M=&h=350&w=296&sz=15&hl=id&
start=21&um=1&tbnid=eF6IrWWBUvHGgM:&tbnh=120&tbnw=101&prev=/imag
es%3Fq%3Dpengolahan%2Blimbah%2Bsecara%2Bfisika%26hl%3Did%26sa
%3DN%26um%3D1, diakses pada tanggal 25November 2009
Anonim, 2009, www.em4indonesia.com, diakses pada tanggal 25 November
2009
Anonim, 2009, Pengelolahan Limbah,
http://images.google.co.id/imgres?
imgurl=http://www.batan.go.id/ptlr/08id/files/u1/pengolahan.jpg&imgrefurl=http:
//www.batan.go.id/ptlr/08id/%3Fq
%3Dnode/20&usg=__XdH2sSgYvDFn3FSVCAoWrPbiaYY=&h=638&w=474&sz=72
&hl=id&start=13&um=1&tbnid=XnCoMXQMKcUpM:&tbnh=137&tbnw=102&prev=/images%3Fq%3Dpengolahan
%2Blimbah%2Bsecara%2Bfisika%26hl%3Did%26sa%3DN%26um%3D1, diakses
pada tanggal 24 November 2009
Hidayat, Wahyu., 2008, Kumpulan Informasi Mengenai Limbah, tersedia online,
http://images.google.co.id/imgres?

imgurl=http://tentanglimbah.files.wordpress.com/2008/08/securelandfill.jpg&img
refurl=http://tentanglimbah.wordpress.com/2008/08/22/teknologipengolahanlimb
ah/&usg=__n11G3qRYAd50JiasNzlvVODvpxA=&h=300&w=425&sz=27&hl=id&st
art=4&um=1&tbnid=tNFvhmpsLBCcKM:&tbnh=89&tbnw=126&prev=/images
%3Fq%3Dpengolahan%2Blimbah%2Bsecara%2Bfisika%26hl%3Did%26sa%3DN
%26um%3D1 , diakses pada tanggal 25 November 2009
http://images.google.co.id/imgres?
imgurl=http://majarimagazine.com/wpcontent/uploads/2008/01/deepinjectionwel
l1.png&imgrefurl=http://majarimagazine.com/2008/01/teknologi-pengolahanlimbah-b3/ diakses pada 1 desember 2009 10.15
http://mengerjakantugas.blogspot.com/2009/04/limbah-industri.htmldiakses
tanggal 261109
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jkpkbppk-gdl-grey2002-supraptini-1024-limbah diakses tanggal 261109
Suyasa, Budiarsa, 2009, Biodegradasi Sodium Dodecyl Sulfonat dalam Sistem
Lumpur Aktif, Jurnal Bumi Lestari, Volume 9, no.1, halaman 6670http://www.inilah.com/berita/ekonomi/2008/06/21/34544/waspadai-limbahindustri/ diakses tanggal 261109

Pengangkutan limbah B3 adalah kegiatan pemindahan limbah B3 dari suatu lokasi


pengelolaan ke lokasi pengelolaan lainnya. Semua kegiatan pengangkutan limbah B3 harus
memiliki tujuan akhir pengelolaan dan tidak boleh dilakukan antar kegiatan yang memiliki
fungsi yang sama. Kegiatan pengangkutan limbah B3 dapat disimulasikan sebagai berikut:

dari penghasil ke pengumpul

dari penghasil ke pemanfaat

dari penghasil ke pengolah

dari penghasil ke penimbun akhir

dari pengumpul ke pemanfaat

dari pengumpul ke pengolah

dari pengumpul ke penimbun akhir

Jika pengangkutan dari penghasil berhenti di pengumpul, maka pengumpul tersebut akan
bertindak sebagai penghasil baru ketika akan melakukan pengangkutan ke pemanfaat,
pengolah atau penimbun.
Di antara semua kegiatan pengelolaan limbah B3, pengangkutan limbah B3 merupakan satusatunya kegiatan yang izin operasionalnya tidak diberikan oleh KLHK, melainkan oleh

Departemen Perhubungan. Peran KLHK dalam kegiatan pengangkutan limbah B3 adalah


memberikan rekomendasi kepada perusahaan yang melakukan jasa pengangkutan limbah B3,
yang tanpa rekomendasi ini izin operasional dari Departemen Perhubungan tidak akan
diberikan.
Pada dasarnya kegiatan pengangkutan limbah B3 adalah kegiatan penyimpanan limbah B3
dalam bentuk berjalan. Oleh sebab itu, semua kaidah penyimpanan limbah B3 harus pula
diterapkan dalam pengangkutan limbah B3, antara lain:

pemilihan alat angkut yang sesuai dengan limbah B3 yang akan diangkut

pelekatan simbol limbah B3 pada badan kendaraan pengangkut sebagai bentuk


komunikasi bahaya atas limbah B3 yang diangkut

penerapan aturan segregasi dalam pemuatan limbah B3 ke dalam alat angkut

penerapan inspeksi kondisi limbah B3 yang diangkut oleh pengemudi

Berdasarkan PP 101/2014, jenis kendaraan yang digunakan untuk mengangkut limbah B3


harus disesuaikan dengan kategori limbah B3-nya. Untuk limbah B3 kategori 1 harus
diangkut menggunkan kendaraan tertutup, sedangkan limbah B3 kategori 2 boleh diangkut
menggunakan kendaraan terbuka.
Pengangkutan limbah B3 berkaitan dengan kegiatan bongkar-muat limbah. Dalam hal
pemuatan, pengemudi harus memastikan bahwa limbah B3 yang akan diangkut dikemas
dengan baik. Pengemudi memiliki hak penuh untuk tidak mengangkut limbah B3 yang
kemasannya tidak baik/layak.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat bongkar-muat limbah B3 antara lain:
1. Pastikan hanya melakukan bongkar-muat di lokasi yang sudah ditentukan.
2. Usahakan lokasi bongkar-muat dibuat tertutup (indoor), atau minimal memiliki atap.
3. Buat saluran penampungan tumpahan yang kedap air dan bak penampungan
tumpahan yang buntu di lokasi bongkar-muat.
4. Tutup saluran penampungan limpasan air hujan saat kegiatan bongkar-muat
berlangsung untuk menghindari masuknya tumpahan limbah B3 ke dalam saluran
tersebut.
5. Hindari melakukan kegiatan bongkar-muat saat hujan untuk menghindari potensi
tumpahan yang akan larut dan terbawa oleh limpasan air hujan.
6. Seluruh muatan harus diikat kuat selama dan posisinya diatur dengan baik sehingga
bebannya terdistribusi secara merata di sumbu-sumbu kendaraan.
7. Pastikan pemuatan kemasan ke dalam kendaraan juga memperhitungkan kemudahan
dan keamanan saat pembongkaran.

Dokumen pengangkutan limbah B3


Seluruh kegiatan pengangkutan limbah B3 yang melewati fasilitas publik harus dilengkapi
dengan dokumen pengangkutan limbah B3, atau yang biasa disebut sebagai limbah B3.
Manifest limbah B3 dapat berupa lembaran kertas yang dicetak ataupun elektronik. Setiap
perusahaan penyedia jasa pengangkutan limbah B3 harus memiliki manifest yang akan
diperoleh pada saat pengjuan rekomendasi pengangkutan ke KLHK. Dokumen ini merupakan
salah satu bentuk komunikasi bahaya dari suatu limbah B3 yang diangkut, yang di dalamnya
berisi informasi yang mencakup:

nama, alamat dan nomor telepon penghasil limbah, termasuk lokasi pengambilannya

nama, alamat dan nomor telepon perusahaan pengangkut limbah

nama, alamat dan nomor telepon fasilitas penerima limbah

identitas, bentuk fisik, karakteristik, kode, jumlah, kelas bahaya dan kode
pengangkutan, dan

informasi terkait tindakan yang harus dilakukan pada saat terjadi kedaruratan selama
pengangkutan.

Sistem manifest ini juga diterapkan di negara lain yang sudah meratifikasi Konvensi Basel
dan melakukan kegiatan pengelolaan limbah B3, namun implementasinya bisa berbeda satu
sama lain tergantung regulasi setempat. Contohnya adalah di Amerika Serikat, di mana satu
manifest dapat digunakan untuk empat jenis limbah yang kompatibel satu sama lain (seperti
manifest pesawat), sementara di Indonesia satu manifest hanya dapat digunakan untuk satu
limbah saja.
Beberapa hal penting tentang manifest limbah B3:
1. Manifest limbah B3 terdiri dari tiga bagian yang masing-masing harus diisi sebagai
berikut:
o Bagian pertama (atas) oleh penghasil
o Bagian kedua (tengah) oleh pengangkut
o Bagian ketiga (bawah) oleh fasilitas penerima (pengumpul, pemanfaat,
pengolah atau penimbun)
2. Manifest limbah B3 merupakan dokumen pengangkutan limbah B3, bukan dokumen
pengolahan/penimbunan limbah B3.
3. Manifest limbah B3 merupakan dokumen negara sehingga harus dijaga jangan sampai
hilang. Kehilangan manifest harus dilaporkan ke pihak kepolisian.
4. Satu kendaraan pengangkutan dapat memuat lebih dari satu manifest, tetapi satu
manifest tidak boleh dimuat di lebih dari satu kendaraan pengangkutan.

5. Manifest limbah B3 yang saat ini berlaku mampu mengakomodir hingga tiga kali
perpindahan moda transportasi. Pada pengangkutan dengan lebih dari tiga kali
perpindahan moda transportasi harus melibatkan pengumpul berizin untuk dilakukan
pergantian manifest.
6. Masing-masing salinan manifest harus disimpan dan didistribusikan sesuai ketentuan.
Kompetensi pengemudi angkutan limbah B3
Saat ini Departemen Perhubungan membuat sebuah aturan tentang kompetensi pengemudi
angkutan limbah B3, di mana para pengemudi ini harus memiliki sertifikasi khusus yang
dapat diperoleh melalui diklat. Hanya saja kurikulum untuk diklat ini masih belum
ditetapkan. Diklat dan sertifikasi pengemudi angkutan limbah B3 ini juga sudah diterapkan di
beberapa negara, khususnya negara maju, salah satunya ialah Australia. Kurikulum diklat dan
sertifikasi pengemudi angkutan limbah B3 di Australia mencakup empat aspek sebagai
berikut:
1. Pengetahuan tentang limbah B3
2. Pengetahuan tentang aspek K3L
3. Pengetahuan tentang kendaraan
4. Pengetahuan tentang komunikasi dan pelayanan pelanggan

MSDS ETHANOL

MSDS ETHANOL
1. Produk Bahan Kimia dan Identifikasi Perusahaan
Nama Produk : Ethamol
Perusahaan : BP. West Coast Products W 300 Oceangate
Long Beach, CA 90802 4341 USA
2. Informasi Komposisi Bahan

Nama

CAS #

% berat

Ethanol

64-17-5

798

3. Identifikasi Bahaya
Bentuk Fisik : Cairan
Warna : Tak berwarna
Tinjauan keadaan darurat :
- Mudah terbakar

- Menyebabkan iritasi mata


- Menyebabkan iritasi saluran pernapasan
- Jika tertelan menyebabkan pusing, kantuk, dan perasaan muak
- Hindarkan dari kulit dan pakaian, jangan menghirup uapnya, wadah hasus tertutup,
gunakan ventilasi yang cukup, cuci tangan setelah menangani bahan.
Dampak kesehatan
- Mata : Menyebabkan iritasi
- Kulit : Menyebabkan iritasi, berbahaya jika terserap dalam jumlah banyak
- Pernapasan : Menyebabkan iritasi saluran pernapasan
- Pencemaran : Jika tertelan menyebabkan defresi, kantuk, menunjukkan gejala-gejala
keracunan.
4. Pertolongan pertama pada kecelakaan

Mata : bilas segera dengan air banyak minimal 15 menit cari pertolongan medis jika terjadi iritasi

Kulit : bilas segera dengan air yang banyak, pisahkan pakaian dan sepatu yang terkontaminasi,
cuci pakaian sebelum digunakan kembali, bersihkan sepatu sebelum digunakan
kembali, jika iritasi berlanjut segera cari pertolongan medis
Pernapasan : pindahkan ke tempat yang berudara segar cari pertolongan medis
Pencernaan : jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut korban yang pingsan, jika bahan ini
tertelan dalam jumlah banyak segera cari pertolongan medis.
5. Pemadaman kebakaran
Mudah terbakar pada fase cair dan uap
Titik nyala : 11-140C (51,8-57,20F)
Batas mudah terbakar : lebih rendah > 1,3%
Produk pembakaran korban oksida (CO2 dan CO)
Bahaya ledakan / kebakaran yang tidak biasa : uap dapat menyebabkan percikan api,
membuang bahan ke saluran pembuangan dapat menyebabkan bahaya ledakan.
Instruksi pemadam kebakaran
Api kecil : gunakan bahan kimia kering
Api besar : jangan memadamkan api ketika api terkena bahan, menjauh
dari area dan biarkan kebakaran terjadi
Pakaian pelinding pemadam kebakaran harus memakai pakaian pelindung serta
pelindung alat pernapasan yang sesuai.
6. Tindakan penyelamatan kecelakaan
Jika terjadi kebocoran segera hubungi bagian penyelamatan darurat, mengurangi
sumber penyalaan hentikan kebocoran jika tidak ada resiko gunakan APD
7. Penanganan dan Penyimpanan
Penangganan
Jaga agar wadah selalu tertutup gunakan ventilasi yang memadai, hindarkan dari
panas dan nyala api mematikan
Penyimpanan

Simpat di tempat terpisah jaga agar wadah tetap dingin dalam area yang
berventilasi, wadah harus tertutup dan bersegel sampai bahan siap digunakan,
hindarkan dari sumber penyalaan.
8. Pengawasan teknik
Menyediakan ventilasi yang memadai untuk menjaga sirkulasi, tempat pencucian
berada pada tempat yang strategis
Perlindugan diri
Mata : hindari kontak dengan mata, gunakan goggles

Kulit dan tubuh : hindari kontak dengan kulit, gunakan pakaian dan sepatu / pelindung kaki yang
sesuai

Pernapasan : terdapat ventilasi yang cukup, jika ventilasi tidak memadai, gunakan alat pelindung
pernapasan MOSH yang akan melindungi pernapasan dari uap bahan-bahan
organik
Tangan : gunakan sarung tangan untuk melindungi dari kontaminasi bahan kimia/minyak
9. Sifat fisik kimia
Bentuk fisik : air
Bau : khas alkohol
Warna : tak berwarna
Titik didih : > 760C (168,80F)
Titik baku : -113,840C (-172,90F)
Masa jenis : 0,789 0,806
Tekanan uap :
Densitas : 1,59 1,62
Tingkat penguapan : 1,7
Lof Kw : <>
Solubilitas / kelarutan : larut dalam air dingin
10. Kelarutan dan reaktivitas

Kestabilan dan reaktivitas : stabil


Kondisi yang harus dihindari : suhu tinggi, hindarkan dari sumber penyalaan
Bahan-bahan yang harus dihindari : bahan-bahan yang teroksidasi, asam nitrat, asam
sulfat
11. Informasi bahaya keracunan
Keracunan akut : LD 50 : 3450 mg/kg
Keracunan kromis : bahan ini tidak memiliki komponen lebih dari 0,1% yang
diidentifikasi, dapat menyebabkan kanker oleh ACGIH, NTP atau OSHA
12. Informasi lingkungan
Pencemaran lingkungan : tidak beracun untuk organisasi air
13. Pertimbangan pembuangan
Sisa sampah harus dibuang sesuai dengan keadaan lingkungan sekitar
14. Informasi Transportasi
Klasifikasi : 3
Anggota polutan : tidak ada polutan
Ketentuan khusus transportasi : Nomor UN : UN1170
Nama : Ethanol
Kelas ADR/ RID : 3
Kelompok Pengemasan : II
15. Infomasi Pengaturan
SARA Title III bagian 302, 311/ 312
CERCLA bagian 102a/103 dan 107
16. Informasi lain
Syarat label : Peringatan !

Cairan mudah terbakar dan menguap


Menyebabkan iritasi mata
MSDS ETHANOL
1. Produk Bahan Kimia dan Identifikasi Perusahaan
Nama Produk : Ethamol
Perusahaan : BP. West Coast Products W 300 Oceangate
Long Beach, CA 90802 4341 USA
2. Informasi Komposisi Bahan
Nama

CAS #

% berat

Ethanol

64-17-5

798

3. Identifikasi Bahaya
Bentuk Fisik : Cairan
Warna : Tak berwarna
Tinjauan keadaan darurat :
- Mudah terbakar

- Menyebabkan iritasi mata


- Menyebabkan iritasi saluran pernapasan
- Jika tertelan menyebabkan pusing, kantuk, dan perasaan muak
- Hindarkan dari kulit dan pakaian, jangan menghirup uapnya, wadah hasus tertutup,
gunakan ventilasi yang cukup, cuci tangan setelah menangani bahan.

Dampak kesehatan
- Mata : Menyebabkan iritasi
- Kulit : Menyebabkan iritasi, berbahaya jika terserap dalam jumlah banyak
- Pernapasan : Menyebabkan iritasi saluran pernapasan
- Pencemaran : Jika tertelan menyebabkan defresi, kantuk, menunjukkan gejala-gejala
keracunan.
4. Pertolongan pertama pada kecelakaan

Mata : bilas segera dengan air banyak minimal 15 menit cari pertolongan medis jika terjadi iritasi

Kulit : bilas segera dengan air yang banyak, pisahkan pakaian dan sepatu yang terkontaminasi,
cuci pakaian sebelum digunakan kembali, bersihkan sepatu sebelum digunakan
kembali, jika iritasi berlanjut segera cari pertolongan medis
Pernapasan : pindahkan ke tempat yang berudara segar cari pertolongan medis
Pencernaan : jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut korban yang pingsan, jika bahan ini
tertelan dalam jumlah banyak segera cari pertolongan medis.
5. Pemadaman kebakaran
Mudah terbakar pada fase cair dan uap
Titik nyala : 11-140C (51,8-57,20F)
Batas mudah terbakar : lebih rendah > 1,3%
Produk pembakaran korban oksida (CO2 dan CO)
Bahaya ledakan / kebakaran yang tidak biasa : uap dapat menyebabkan percikan api,
membuang bahan ke saluran pembuangan dapat menyebabkan bahaya ledakan.
Instruksi pemadam kebakaran
Api kecil : gunakan bahan kimia kering
Api besar : jangan memadamkan api ketika api terkena bahan, menjauh
dari area dan biarkan kebakaran terjadi
Pakaian pelinding pemadam kebakaran harus memakai pakaian pelindung serta
pelindung alat pernapasan yang sesuai.

6. Tindakan penyelamatan kecelakaan


Jika terjadi kebocoran segera hubungi bagian penyelamatan darurat, mengurangi
sumber penyalaan hentikan kebocoran jika tidak ada resiko gunakan APD
7. Penanganan dan Penyimpanan
Penangganan
Jaga agar wadah selalu tertutup gunakan ventilasi yang memadai, hindarkan dari
panas dan nyala api mematikan
Penyimpanan
Simpat di tempat terpisah jaga agar wadah tetap dingin dalam area yang
berventilasi, wadah harus tertutup dan bersegel sampai bahan siap digunakan,
hindarkan dari sumber penyalaan.
8. Pengawasan teknik
Menyediakan ventilasi yang memadai untuk menjaga sirkulasi, tempat pencucian
berada pada tempat yang strategis
Perlindugan diri
Mata : hindari kontak dengan mata, gunakan goggles

Kulit dan tubuh : hindari kontak dengan kulit, gunakan pakaian dan sepatu / pelindung kaki yang
sesuai

Pernapasan : terdapat ventilasi yang cukup, jika ventilasi tidak memadai, gunakan alat pelindung
pernapasan MOSH yang akan melindungi pernapasan dari uap bahan-bahan
organik
Tangan : gunakan sarung tangan untuk melindungi dari kontaminasi bahan kimia/minyak
9. Sifat fisik kimia
Bentuk fisik : air
Bau : khas alkohol
Warna : tak berwarna
Titik didih : > 760C (168,80F)
Titik baku : -113,840C (-172,90F)

Masa jenis : 0,789 0,806


Tekanan uap :
Densitas : 1,59 1,62
Tingkat penguapan : 1,7
Lof Kw : <>
Solubilitas / kelarutan : larut dalam air dingin
10. Kelarutan dan reaktivitas
Kestabilan dan reaktivitas : stabil
Kondisi yang harus dihindari : suhu tinggi, hindarkan dari sumber penyalaan
Bahan-bahan yang harus dihindari : bahan-bahan yang teroksidasi, asam nitrat, asam
sulfat
11. Informasi bahaya keracunan
Keracunan akut : LD 50 : 3450 mg/kg
Keracunan kromis : bahan ini tidak memiliki komponen lebih dari 0,1% yang
diidentifikasi, dapat menyebabkan kanker oleh ACGIH, NTP atau OSHA
12. Informasi lingkungan
Pencemaran lingkungan : tidak beracun untuk organisasi air
13. Pertimbangan pembuangan
Sisa sampah harus dibuang sesuai dengan keadaan lingkungan sekitar
14. Informasi Transportasi
Klasifikasi : 3
Anggota polutan : tidak ada polutan
Ketentuan khusus transportasi : Nomor UN : UN1170
Nama : Ethanol

Kelas ADR/ RID : 3


Kelompok Pengemasan : II
15. Infomasi Pengaturan
SARA Title III bagian 302, 311/ 312
CERCLA bagian 102a/103 dan 107
16. Informasi lain
Syarat label : Peringatan !
Cairan mudah terbakar dan menguap
Menyebabkan iritasi mata
Penulis : Didin Jamaludin ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi
Artikel MSDS ETHANOL ini dipublish oleh Didin Jamaludin pada hari 9 Jan 2020.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan
komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan MSDS ETHANOL

MSDS Alkohol

Lembar Data Keselamatan Bahan


Etanol, Absolute
MSDS Nomor: M1004
Efektif Tanggal: 2004/08/23
MSDS Nama: Etanol, Absolute
Sinonim: Etil Alkohol; Etil Alkohol anhidrat; Etil Hidrat; Hidroksida Etil; Alkohol
Fermentasi;
Grain Alkohol
Perusahaan Identifikasi: VEE GEE Ilmiah, Inc
13600 TL 126 Pl Ste A
Kirkland, WA 98034
Untuk informasi di Amerika Utara : hubungi: 425-823-4518
Komposisi, Informasi tentang Bahan:
Produk Kimia dan Identifikasi Perusahaan
CAS #: 64-17-5
Nama kimia: Etanol
Persen: ca. 100
EINECS / ELINCS: 200-578-6
Simbol bahaya: F
Risiko Phrases: 11
Identifikasi Bahaya
Tampilan: cairan

bening

tak

berwarna. Titik

Nyala:

16,6

deg

C. Peringatan: Zat cair mudah terbakar dan uap. Menyebabkan gangguan


saluran

pernapasan. Dapat

depresi. Menyebabkan

gangguan

menyebabkan
mata

berat. Zat

pusat

sistem

saraf

ini

menyebabkan

efek

reproduksi

dan

janin

pada

manusia. Menyebabkan

kulit

iritasi. Dapat

menyebabkan kerusakan hati, ginjal dan kerusakan jantung.


Organ target: Ginjal, jantung, sistem saraf pusat, hati.
Potensi Efek Kesehatan
Kontak Mata: Menyebabkan gangguan mata. Dapat menyebabkan kepekaan
terhadap cahaya. Dapat menyebabkan kerusakan reaksi kimia dan kornea.
Kontak Kulit: Menyebabkan gangguan pada kulit. Dapat menyebabkan sianosis
pada ekstremitas.
Tertelan: Dapat menyebabkan iritasi gastrointestinal dengan ditandai mual,
muntah

dan

diare. Dapat

menyebabkan

keracunan

sistemik

dengan

asidosis. Dapat menyebabkan pusat depresi sistem saraf, yang ditandai dengan
kegembiraan, diikuti oleh sakit kepala, pusing, mengantuk, dan mual. Stadium
lanjut dapat menyebabkan stroke, pingsan, koma dan kematian mungkin karena
kegagalan pernapasan.
Inhalasi: Inhalasi konsentrasi tinggi dapat menyebabkan efek sistem saraf pusat
ditandai

dengan

mual,

pusing

sakit

kepala,,

tak

sadarkan

diri

dan

koma. Menyebabkan gangguan saluran pernapasan. Dapat menyebabkan efek


kecanduan dalam konsentrasi tinggi. Uap dapat menyebabkan pusing atau sesak
napas.
Paparan

kronis: Dapat

menyebabkan

efek

pada

reproduksi

dan

janin. Percobaan laboratorium telah menghasilkan efek mutagenik. Penelitian


pada hewan memiliki melaporkan perkembangan tumor. Kontak yang terlalu
lama dapat menyebabkan hati, ginjal, dan kerusakan jantung.
Tindakan Pertolongan Pertama
Kontak Mata: Dapatkan bantuan medis. Lembut mengangkat kelopak mata dan
terus menyiram dengan air.
Kontak Kulit: Dapatkan bantuan medis. Cuci pakaian sebelum digunakan
kembali. Siram kulit dengan banyak sabun dan air.

Tertelan: Jangan dimuntahkan. Jika korban sadar dan waspada, beri 2-4 susu
atau air. Jangan pernah memberikan apapun melalui mulut kepada orang yang
pingsan. Dapatkan bantuan medis.
Inhalasi: Hindari dari paparan dan pindah ke udara segar segera. Jika tidak
bernapas, berikan pernapasan buatan. Jika sulit bernapas, berikan oksigen.
Dapatkan bantuan medis. JANGAN menggunakan mulut ke mulut.
Catatan

untuk

Dokter: Perlakukan

berdasar

gejala

dan

penuh

dukungan. Orang dengan kulit atau gangguan mata atau hati, ginjal, penyakit
pernapasan kronis, atau pusat dan perifer penyakit sistim saraf mungkin pada
peningkatan risiko dari paparan zat ini.
Tindakan Penanggulangan Kebakaran
Informasi Umum: Wadah dapat membangun tekanan jika terkena panas dan
atau kebakaran. Seperti dalam api apapun, memakai peralatan pernapasan
mandiri di tekanan permintaan, MSHA / NIOSH (disetujui atau setara), dan alat
pelindung penuh. Uap dapat membentuk campuran yang dapat meledak dengan
udara. Uap dapat melakukan perjalanan ke suatu sumber dari pengapian dan
sorot kembali. Akan terbakar jika terlibat dalam api. Flammable Liquid. Dapat
melepaskan uap yang membentuk ledakan campuran pada suhu di atas titik
nyala api. Gunakan semprotan air untuk menjaga api kontainer terkena
dingin. Wadah dapat meledak dalam panasnya api.
Media Pemadam Kebakaran: Untuk kebakaran kecil, gunakan bahan kimia
kering, karbon dioksida, semprotan air atau busa tahan-alkohol. Untuk kebakaran
besar, gunakan semprotan air, kabut, atau busa tahan-alkohol. Gunakan
semprotan air untuk mendinginkan api terpajan kontainer. Air mungkin tidak
efektif. JANGAN gunakan aliran lurus air.
Swa-sulut/suhu penyulutan otomatis Suhu: 363 C (685,40 F)
Titik Nyala: 16,6 C (61,88 F)
Ledakan Batas, lebih rendah: 3,3% vol.
Ledakan Batas, atas: 19,0% vol
NFPA Rating: (perkiraan) Kesehatan: 2; mudah terbakar: 3; Instabilitas: 0

Terkadang Rilis Tindakan


Informasi Umum: Gunakan peralatan perlindungan pribadi yang layak seperti
yang ditunjukkan dalam Bagian 8.
Tumpahan / Kebocoran: Menyerap tumpahan dengan bahan inert (misalnya
vermiculite, pasir atau tanah), kemudian masukkan ke dalam wadah yang
sesuai. Hapus

semua

sumber

api. Gunakan

percikan-bukti

alat. Sediakan

ventilasi. Sebuah busa uap menekan dapat digunakan untuk mengurangi uap.
Penanganan dan Penyimpanan
Penanganan: Cuci sampai bersih setelah memegang. Gunakan hanya di daerah
berventilasi baik. Tanah dan wadah ikatan ketika mentransfer material. Gunakan
percikan-bukti peralatan dan perlengkapan ledakan bukti. Hindari kontak dengan
mata, kulit pakaian, dan. Kontainer kosong mempertahankan residu produk (cair
dan / atau uap) dan dapat berbahaya. Simpan wadah tertutup rapat. Hindari
kontak

dengan

panas,

percikan

dan

nyala

api. Hindari

konsumsi

dan

inhalasi. Jangan menekan, potong, las, melas, solder, bor, menggiling, atau
mengekspos kontainer kosong untuk panas, percikan atau api terbuka.
Penyimpanan: Jauhkan dari panas, percikan, dan api. Jauhkan dari sumber
api. Simpan dalam wadah tertutup. Jauhkan dari kontak dengan oksidasi
bahan. Simpan di, daerah sejuk dan kering, berventilasi baik jauh dari zat-zat
yang tidak kompatibel. Flammables-daerah. Jangan simpan dekat perchlorates,
peroksida, asam kromat atau asam nitrat.
Pengontrolan Pemaparan, Perlindungan Pribadi
Nama kimia: Etanol
ACGIH: 1000 ppm
NIOSH: 1000 ppm TWA
1900 mg/m3 TWA
3300 ppm IDLH

OSHA - Akhir Pels: 1000 ppm TWA

1900 mg/m3 TWA

OSHA - dikosongkan Pels: 1000 ppm TWA


1900 mg/m3 TWA

Kontrol Rekayasa: Gunakan ledakan-bukti peralatan ventilasi. Fasilitas untuk


menyimpan atau menggunakan bahan ini harus dilengkapi dengan sebuah obat
cuci mata fasilitas dan pancuran keselamatan. Gunakan ventilasi yang cukup
umum atau lokal untuk menjaga konsentrasi udara bawah batas yang
diperbolehkan diperbolehkan.
Personal Protective Equipment
Mata: Pakailah kacamata pelindung atau kimia kacamata keselamatan seperti
yang dijelaskan oleh mata OSHA dan peraturan perlindungan wajah dalam 29
CFR 1910.133 atau Standar Eropa EN166.
Kulit: Pakailah sarung tangan pelindung untuk mencegah pajanan kulit.
Pakaian: Gunakan pakaian pelindung untuk mencegah pajanan kulit.
Respirator: Program perlindungan pernapasan yang memenuhi OSHA 29 CFR
itu 1910,134 dan ANSI Z88.2 persyaratan atau Standar Eropa EN 149 harus
diikuti setiap kali kondisi tempat kerja menjamin penggunaan respirator itu.
Sifat Fisik dan Kimia
Bentuk: cair Batal
Penampilan: tak berwarna
Bau: ringan, menyenangkan
pH: Tidak tersedia
Tekanan Uap: 59,3 mmHg @ 20 C
Kepadatan uap: 1,59
Tingkat Penguapan: Tidak tersedia

Viskositas: 1,200 cP @ 20 C
Stabilitas dan Reaktivitas
Kimia Stabilitas: Stabil di bawah suhu normal dan tekanan.
Kondisi untuk Hindari: bahan yang tidak kompatibel, sumber pengapian,
kelebihan panas, oksidasi.
Tidak kompatibel dengan Bahan lain: Oksidator kuat, asam, logam alkali,
amonia, hidrazin, peroksida, natrium, anhidrida asam, kalsium hipoklorit, klorida
chromyl, perklorat Nitrosyl, pentafluoride brom, asam perklorat, perak nitrat,
nitrat merkuri, kalium-tert-butoksida, magnesium perklorat, asam klorida,
platina, uranium heksafluorida, oksida perak, heptafluoride yodium, bromida
asetil, difluorida disulfuryl, tetrachlorosilane air ditambah, asetil klorida, asam
permanganic, ruthenium (VIII) oksida, uranil perklorat, kalium dioksida.
Berbahaya Dekomposisi Produk: Karbon monoksida, asap menjengkelkan dan
beracun dan gas, karbon dioksida.
Polimerisasi yang Berbahaya: Tidak akan terjadi.
Titik Didih: 78 C
Pembekuan / Melting Point: -114,1 C
Dekomposisi Suhu: Tidak tersedia
Kelarutan: larut
Spesifik Gravity / Densitas: 0,790 @ 20 C
Molecular Formula: C2H5OH
Molekul Berat: 46,0414
Toxilogical Informasi
Karsinogenisitas: ACGIH:

A4

Tidak

diklasifikasikan

sebagai

karsinogen

manusia
Epidemiologi: Etanol telah terbukti menghasilkan fetotoxicity pada embrio atau
janin hewan laboratorium. Paparan pralahir untuk etanol adalah yang dikaitkan

dengan diciptakan dengan pola yang berbeda dari cacat bawaan yang
collecetively telah disebut sebagai "sindrom alkohol janin".
Teratogenisitas: Oral, Manusia - wanita: TDLo = 41 gram / kg (perempuan 41
day (s) setelah pembuahan) Efek pada Bayi - skor Apgar (manusia saja) dan Efek
pada Bayi - langkah neonatal lain atau efek dan Efek pada Bayi - ketergantungan
obat.
Reproduksi Efek: Intrauterine, Manusia - wanita: TDLo = 200 mg / kg (betina 5
day (s) pra-kawin) Kesuburan - Indeks kesuburan perempuan (misalnya # betina
perempuan hamil per positif # sperma; # perempuan hamil per # betina
dikawinkan).
Mutagenik: Penghambatan DNA: Manusia, Limfosit = 220 mmol / L.; sitogenetik
Analisis: Manusia, Limfosit = 1160 gm / L.; sitogenetik Analisis: Manusia,
fibroblast = 12000 ppm; sitogenetik Analisis: Manusia, Leukosit = 1 pph/72H
(Continuous); Suster kromatid Bursa:.. Manusia, limfosit- cyte = 500 ppm/72H
(Continuous).

INDUSTRI ALKOHOL (ETANOL)

I.

SEJARAH

Etanol telah digunakan manusia sejak zaman prasejarah sebagai bahan pemabuk
dalam minuman beralkohol. Residu yang ditemukan pada peninggalan keramik yang berumur

9000 tahun dari China bagian utara menunjukkan bahwa minuman beralkohol telah
digunakan oleh manusia prasejarah dari masa Neolitik.
Campuran dari (Bio)etanol yang mendekati kemrunian untuk pertama kali ditemukan
oleh Kimiawan Muslim yang mengembangkan proses distilasi pada masa Kalifah Abbasid
dengan peneliti yang terkenal waktu itu adalah Jabir ibn Hayyan (Geber), Al-Kindi
(Alkindus) dan al-Razi (Rhazes). Catatan yang disusun oleh Jabir ibn Hayyan (721-815)
menyebutkan bahwa uap dari wine yang mendidih mudah terbakar. Al-Kindi (801-873)
dengan tegas menjelaskan tentang proses distilasi wine. Sedangkan (Bio)etanol absolut
didapatkan pada tahun 1796 oleh Johann Tobias Lowitz, dengan menggunakan distilasi
saringan arang.Antoine Lavoisier menggambarkan bahwa (Bio)etanol adalah senyawa yang
terbentuk dari karbon, hidrogen dan oksigen. Pada tahun 1808 Nicolas-Thodore de Saussure
dapat menentukan rumus kimia etanol. Limapuluh tahun kemudian (1858), Archibald Scott
Couper menerbitkan rumus bangun etanol. Dengan demikian etanol adalah salah satu
senyawa kimia yang pertama kali ditemukan rumus bangunnya. Etanol pertama kali dibuat
secara sintetis pada tahu 1829 di Inggris oleh Henry Hennel dan S.G.Serullas di Perancis.
Michael Faraday membuat etanol dengan menggunakan hidrasi katalis asam pada etilen pada
tahun 1982 yang digunakan pada proses produksi etanol sintetis hingga saat ini.
Pada tahun 1840 etanol menjadi bahan bakar lampu di Amerika Serikat, pada tahun
1880-an Henry Ford membuat mobil quadrycycle dan sejak tahun 1908 mobil Ford model T
telah dapat menggunakan (bio)etanol sebagai bahan bakarnya. Namun pada tahun 1920an
bahan bakar dari petroleum yang harganya lebih murah telah menjadi dominan menyebabkan
etanol kurang mendapatkan perhatian. Akhir-akhir ini, dengan meningkatnya harga minyak
bumi, bioetanol kembali mendapatkan perhatian dan telah menjadi alternatif energi yang
terus dikembangkan.
II. DEFINISI
Etanol, disebut juga etil alkohol, alkohol murni, alkohol absolut, atau alkohol saja,
adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna, dan merupakan
alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Senyawa ini merupakan
obat psikoaktif dan dapat ditemukan pada minuman beralkohol dan termometer modern.
Etanol adalah salah satu obat rekreasi yang paling tua.
Etanol termasuk ke dalam alkohol rantai tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan
rumus empiris C2H6O. Ia merupakan isomer konstitusional dari dimetil eter. Etanol sering
disingkat menjadi EtOH, dengan "Et" merupakan singkatan dari gugus etil (C2H5).
Etanol banyak digunakan sebagai pelarut berbagai bahan-bahan kimia yang ditujukan
untuk konsumsi dan kegunaan manusia. Contohnya adalah pada parfum, perasa, pewarna
makanan, dan obat-obatan. Dalam kimia, etanol adalah pelarut yang penting sekaligus
sebagai stok umpan untuk sintesis senyawa kimia lainnya. Dalam sejarahnya etanol telah
lama digunakan sebagai bahan bakar.
Ethanol merupakan senyawa yang tidak terdapat secara bebas di alam. Zat ini adalah
golongan alkohol biasa atau alkohol primer yang dibuat dari glukosa atau jenis gula yang lain
dengan jalan peragian.
Penggunaan alkohol antara lain :
Sebagai minuman
Sebagai bahan kimia dan pelarut
Sebagai bahan bakar motor
Digunakan dalam bidang farmasi
Alkohol sebagai minuman keras dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:

Minuman yang tidak disuling, yaitu minuman yang hanya mengandung alkohol paling
banyak 12%, contoh bir dan anggur.
Minuman yang disuling, yaitu minuman yang mengandung alkohol kurang lebih 55%,
contoh Whisky, arak, cognac
Agar alkohol yang digunakan sebagai bahan bakar dan keperluan farmasi serta industri tidak
diminum, maka ethanol dibuat tidak terminum dengan cara diberi methanol dan zat
pewarna(denaturasi alkohol), misalnya alkohol yang dipakai sebagai spirtus bakar.
III. KARAKTERISTIK BAHAN DAN PRODUK
Sifat-sifat:
Ethanol merupakan zat cair jernih dan dapat tercampur dengan air dalam semua perbandingan
(bersifat missible)
Dapat melarutkan senyawa organik
Bahan baku untuk memproduksi ethanol dengan cara fermentasi dapat di produksi dari 3
macam karbohidrat, yaitu:
Bahan-bahan yang mengandung gula atau disebut juga sustansi sakharin, rasanya manis
seperti misalnya gula tebu, gula bit, molase (tetes), macam-macam sari buah-buahan dan lainlain.
Bahan yang mengandung pati, misalnya: padi-padian, jagung, gandum, kentang sorgum,
malt, barley, ubi kayu dan lain-lain.
Bahan-baha yang mengandung selulosa, misalnya: kayu, cairan buangan pabrik pulp dan
kertas (waste sulfite liquor)
Gas-gas hidrokarbon
Sumber bahan-bahan ini pada negara-negara penghasil alkohol berbeda-beda tergantung
pada banyaknya bahan bahan yang dapat diperoleh pada negara-negara itu, misalnya:
Jerman
: bahan dasar kentang
Perancis
: bahan dasar gula bit
Swedia
: bahan dasar sulfat pulp
Indonesia
: bahan dasar molase
IV. BAHAN BAKU
1. Substansi Sakharin
Pada umumnya sebagai media untuk produksi alkohol secara komersial pada industri
fermentasi alkohol. Di Indonesia dipakai tetes (molase) yang bisadidapatkan setelah
sakharosanya dikristalisasi dan disentrifuse dari sisi gula tebu.
Proses penguapan dan pengkristslsn ini biasanya dilakukan tiga kali sampai tetestidak lagi
ekonomis untuk diperoleh. Sisa tetes/cairan ini disebut sebagai black strap mollase yang
merupakan campuran kompleks yang mengandung sakharosa, gula invert, garam-garam dan
bahan-bahan non gula. Disamping sakharosa, glukosa dan fruktosa yang dapat difermentasi,
molase juga mengandung substansi-substansi pereduksi yang tidak dapat di fermentasi.
Bahan-bahan ini antara lain karamel yag terjadi karena pemanasan gula, melanoidin yang
mengandung nitrogen dan terdapat pula hidroksi metil furfural, asam formiat dan lain-lain.
Bahan yang tidak dapat difermentasi ini bisa mencapai 17% dalam black strap mollase, dan
sebesar 5% dalam high test mollase.
Tetes (molase) bersifat asam, mempunyai pH 5,5-6,5 yang disebabkan oleh adanya asamasam organik yang bebas.
Kualitas molase yang dihasilkan dari suatu industri gula dipengaruhi oleh cara
pembersihan niranya. Bila kurang sempurna, maka kotoran banyak terdapat dalam molase.

Warna molase pada umumnya berwarna coklat kemerahan. Hal ini disebabkan antara lain
pigmen melanoidin, dekorasi thermal dan kimiawi dari komponen-komponen selain gula.
2. Mikroba Frementasi
Dalam proses fermentasi alkohol digunakan ragi. Ragi ini dapat merubah glukosa menjadi
alkohol dan gas CO2. Ragi merupakan mikroorganisme bersel satu, tidak berklorofil dan
termasuk golongan Eumycetes. Dari golongan ini dikenal beberapa jenis, antara lain
Saccharomyces anamensis, Schizosacharomyces pompe dan Saccharomyces cerevisiae.
Masing-masing mempunyai kemampuan memproduksi alkohol yang berbeda.
Syarat-syarat yang diperlukan dalam memilih ragi untuk fermentasi adalah :
Cepat berkembang biak
Tahap terhadap alkohol tinggi
Tahan terhadap suhu tinggi
Mempunyai sifat yang stabil
Cepat mengadakan adaptasi terhadap media yang difermentasi
Untuk memperoleh jenis ragi yang mempunyai sifat-sifat seperti diatas, harus
dilakukan percobaan-percobaan dalam laboratorium dengan teliti. Pada umumnya ragi yang
dipakai untuk membuat alkohol adalah jenis Saccharomyces cerevisiae, yang mempunyai
pertumbuhan sempurna pada suhu 30oC dan pH 4,8.
Ragi menurut kegiatan selama fermentasi terbagi atas dua bagian, yaitu :
Top Yeast (Ragi Atas)
Ragi yang aktif pada permukaan atas media, yang menghasilkan etanol dan CO 2 dengan
segera. Jenis ini biasanya dijumpai pada industri alkohol dan anggur.
Bottom Yeast (Ragi Bawah)
Ragi yang aktif pada bagian bawah. Biasanya industri penghasil bir yang menggunakan
ragi bawah ini yang menghasilkan etanol sedikit dan membutuhkan waktu yang lama untuk
kesempurnaan fermentasi. Dalam kondisi yang normal, ragi atas cenderung untuk
berflokulasi dan memisahkan diri dari larutan, ketika fermentasi berjalan sudah sempurna.
Strain ragi yang bervariasi itu berbeda dalam kemampuan berflokulasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan ragi :
Nutrisi
Dalam kegiatannya ragi memerlukan penambahan nutrisi untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan, misalnya :
Unsur C
: ada pada karbohidrat
Unsur N : untuk penambahan pupuk yang mengandung nitrogen. ZA, urea, amonia,
pepton dan sebagainya.
Unsur P : untuk penmbahan pupuk phosfat dari NPK, TSP, DSP.
Mineral-mineral
Vitamin-vitamin
Keasaman (pH)
Untuk fermentasi alkohol, ragi memerlukan media suasana asam, yaitu antara pH 4,8-5,0.
Pengaturan pH dilakukan dengan penambahan asam sulfat jika substratnya alkalis atau
natrium bikarbonat jika substratnya asam.
Temperatur
Temperatur optimum untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan adalah 28-30oC.

Pada waktu fermentasi terjadi kenaikan panas karena reaksinya eksoterm. Untuk mencegah
agar suhu fermentasi tidak naik, perlu pendinginan supaya dipertahankan tetap 28-30oC.
Udara
Fermentasi alkohol berlangsung secara anaerobik (tanpa udara), namun demikian udara
diperlukan pada proses pembibitan sebelum fermentasi, untuk pengembangbiakan ragi sel.
V.

PROSES PRODUKSI ETANOL

Pada dasarnya ada 2 macam cara pembuatan etanol, yaitu:

Secara sintesis

Secara fermentasi
Secara sintesis, dilakukan dengan menggunakan reaksi elementer ( hidrasi katalitik
etana), untuk mengubah bahan baku menjadi etanol. Adapun secara fermentasi, dilakukan
dengan bantuan aktifitas mikroorganisme.
Dalam makalah ini, pembahasan akan lebih dititikberatkan pada proses produksi etanol
dengan cara fermentasi.
Fermentasi bioetanol
Proses fermentasi etanol dapat dilakukan dengan menggunakan baha-bahan tertentu.
Misalnya saja bahan yang mengandung gula seperti tetes ( molase), dan juga bahan- bahan
yang mengandung pati seperti padi, jagung, ubi kayu, gandung dan lain-lain. Proses
fermentasi dengan bahan yang berbeda tentu akan membutuhkan proses yang agak berbeda
pula. Berikut adalah penjelasan mengenai proses produksi etanol dengan bahan molase dan
bahan yang mengandung pati.
Proses produksi bioetanol dari tetes (molase)

1. Pengolahan Tetes
Pengolahan tetes merupakan hal yang penting dalam pembuatan alcohol.Pengolahan ini
dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi yangoptimumkan untuk pertumbuhan ragi dan
untuk selanjutnya. Yang perlu disesuaikan dalam pengolahan ini adalah pH, konsentrasi gula
dan pemakaian nutrisi.Tetes yan dihadapkan dari pabrik gula biasanya masih terlalu paket
(850 Brix),oleh karena itu perlu diadakan pengenceran lebih dahulu untuk mendapatkankadar
gula yang optimum (120 Brix untuk pembibitan dan 240 Brix padafermentasi).Pengaturan pH
diatur dengan penambahan asam H2SO4 hingga dicapai pH 4 5.Meskipun tetes cukup
mengandung zat sumber nitrogen namun sepertiammonium sulfat atau ammonium fosfat
2.

Tahap Penimbangan Tetes

Pada penimbangan tetes ini dipakai jenis timbangan cepat dengan kapasitas timbang tertentu,
dilengkapi dengan alat pembuka dan penutup berupa katup buangan yang dioperasikan secara
manual. Dan juga panel on-off pompa tetes yang yang diatur secara otomatis. Cara kerjanya
dengan menimbang tetes yang dipompa dari gudang penyimpan tetes untuk setiap harinya.
3.

Tahap Pencampuran Tetes.


Tahap pencampuran tetes ini menggunakan tangki pencampur tetes dengan kapasitas tertentu
yang dilengkapi pancaran uap air panas (steam), yang berfungsi sebagai pengaduk dan
pemanas tetes. Cara kerjanya yaitu pertamatama air panas bersuhu 70o C dimasukkan ke
dalam tangki pencampur tetes (mixing tank), kemudian disusul dengan tetes yang telah
ditimbang. Setelah itu disirkulasi dengan menggunakan pompa hingga tetes dan air tercampur
dengan baik. Pencampuran dianggap selesai dengan indikasi kepekatan mencapai 90o brix
dan dipanskan dengan uap air panas (steam) sampai suhunya mencapai 90o C. Tujuan
diberikannya air panas adalah untuk mempercepat proses pelarutan, sedangkan pemanasan
dengan uap air panas (steam) adalah untuk sterilisasi larutan tetes. Setelah semua tercampur
dengan baik ditambahkan asam sulfat (H2SO4) teknis dengan kepekatan 96,5 % sampai pH
mencapai 4,5 - 5. Pemberian asam sulfat (H2SO4) ini bertujuan untuk mengendapkan
garamgaram mineral di dalam tetes dan untuk memecah di-sakarida (sukrosa) didalam tetes
menjadi monosakarida berupa senyawa d-glukosa dan d-fruktosa.

4. Tahap pengendapan
Pada tahap pengendapan ini menggunakan tangki yang dilengkapi dengan pipa decanter. Pada
tahap ini larutan tetes dengan kepekatan 40o brix dari tangki pencampur ditampung dalam
tangki ini dan diendapkan selama 5 jam untuk mengendapkan kotoran-kotoran tetes (sludge),
terutama endapan garam. Pengendapan ini bertujuan untuk mengurangi kerak yang terjadi
pada mash column (kolom destilasi pertama). Setelah 5 jam, cairan tetes dipompa menuju
tangki fermentor melalui decanter dan heat exchanger (HE). Heat exchanger ini berfungsi
untuk menurunkan suhu sampai 30oC sebagai syarat operasi fermentasi. Sedangkan cairan
sisa yang berupa endapan kotoran-kotoran dan sebagian cairan tetes dipompa ke tangki
pencuci endapan kotoran tetes (tangki sludge).
5. Tahap Separator
Tangki Pencuci Endapan Kotoran Tetes.
Sisa cairan tetes sebanyak 5% volume dari tangki pengendap tetes yang berupa endapan
kotoran-kotoran dipompa keluar dari tangki pengendap melalui pipa decanter untuk
ditampung di tangki sludge hingga mencapai volume tertentu. Kemudian cairan tetes
diendapkan hingga waktu tertentu untuk selanjutnya dipompa kembali ke tangki mixing.

Tujuan pencucian kotoran tetes ini adalah untuk efisiensi bahan baku berupa tetes agar bahan
baku dapat dipakai semaksimal mungkin tanpa harus membuang sebagian yang tersisa.
6.

Tahap Fermentasi
Proses fermentasi ini dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap pembiakan ragi dan
fermentasi.
Tahap pembiakan ragi
Tahap ini menggunakan tangki prefermentor yang dilengkapi pipa aliran udara dan pipa
aliran air pendingin pada bagian luar dinding tangki. Tahap ini bertujuan untuk
mengembangbiakkan ragi jenis saccharomyces cereviseae dengan menggunakan media tetes.
Untuk pembuatan larutan ragi, mula-mula diawali dengan cara memasukkan air proses
bersuhu 15o C dan tetes 40o brix dari tangki pengendap tetes ke dalam tangki seeding dan
mencampurnya hingga mencapai kekentalan sekitar 12 - 13o brix yang disertai aliran udara
dari blower dengan fungsi ganda yaitu untuk mempercepat tercampurnya tetes dengan air dan
juga untuk konsumsi kebutuhan oksigen bagi ragi saccharomyces cereviseae yang
berlangsung pada suasana aerob. Selain itu juga menjaga suhu tangki konstan pada 30o C
dengan mengalirkan air pada dinding luar tangki. Jika tidak dijaga, maka ragi sedang
dikembangbiakkan akan terganggu kelangsungan hidupnya dan kemudian akan mati.
Kemudian memasukkan ragi roti (gist) yang telah dilarutkan dengan air secukupnya. Untuk
nutrisinya, dimasukkan urea, diammonium phospat, dan ammonia. PHP juga ditambahkan ke
dalam larutan ini dengan tujuan untuk mempertahankan pH agar tetap konstan yaitu 4.5 5.
Dari hasil campuran ini didapatkan biakan ragi. Pada Tangki pre-fermentor terdapat beberapa
reaksi yaitu: reaksi hidrolisa, reaksi penguraian urea serta reaksi pertumbuhan
yeast. Asumsi pada reaksi hidrolisa adalah konversi yang terjadi 95%. Persamaan reaksi
hidrolisa sebagai berikut: C12H22O11 +H2O

2C6H12O6

Persamaan reaksi pada 95% konversi proses penguraian urea adalah:


(NH2)2CO + H2O

2NH3 + H2O

Persamaan reaksi untuk pertumbuhan yeast adalah:


C6H12O6

3.198O2

0.316NH3

1.929CH1.703N0.171O0.459

+4.098CO2+ 4.813H2O (Hr 298 = -855.7055 kcal/kg)


(Atkinson, hal 132)
Tahap ferementasi
Tahap ini menggunakan tangki fermentor dengan dilengkapi pipa aliran udara dan pipa aliran

air pendingin yang berasal dari air sungai untuk menjaga suhu fermentasi pada 30-32o C.
Fermentasi ini bertujuan untuk mendapatkan alcohol dengan kadar 8,5 9 % atau lebih.
Pertama-tama dimulai dengan sterilisasi tangki fermentor yamg masih kosong dengan uap
air panas (steam) sampai suhu 121o C lalu membiarkan suhu di dalam tangki turun sampai
30o C. Setelah itu memasukkan air proses dengan suhu 30o C, larutan tetes 40o brix, proses
fermentasi ini berjalan secara aerob. Selanjutnya biakan ragi yang telah dibiakkan pada
tangki pre-fermentor dipompa masuk ke tangki fermentor. Setelah itu, tetes 40o brix dipompa
masuk ke tangki dan proses berlangsung selama 36 jam. Untuk pH larutan ini dijaga sekitar
4,5 - 5. Kemudian memasukkan ragi roti yang telah dilarutkan dengan air secukupnya dan
yeast cream. Untuk nutrisinya, dimasukkan urea, ammonium, dan diammonium phospat.
Sedangkan turkey red oil ditambahkan sebagai anti foam untuk mencegah pembentukan foam
selama proses terjadi. Hal ini dilakukan selama 15 menit setelah persiapan media pada tangki
fermentor selesai. Kemudian dimasukkan ke dalam 2 tangki fermentor pada waktu yang
disesuaikan dengan jam awal fermentasi. Tahap fermentasi ini berlangsung selama 24 jam
hingga kadar alkohol mencapai 8,5 - 9% dan kekentalan 6,5 - 7o brix. Setelah kadar alkohol
sebesar 8,5 - 9% terpenuhi, larutan hasil fermentasi dipompa menuju separator untuk
dipisahkan antara hasil fermentasi (cairan mash) dengan ragi (yeast cream). Separator ini
menggunakan alat rotary vacuum filter yang merupakan alat dengan prinsip vacuum sehingga
ragi (yeast cream) dan cairan hasil fermentasi (cairan mash) yang memilliki perbedaan massa
jenis dapat dipisahkan. Ragi yang didapatkan masih dalam konsentrasi yang tinggi. Dari hasil
fermentasi tidak semuanya dipisahkan raginya, hanya sekitar 80-90% saja. Sisanya 10-20%
tidak diambil raginya karena mengandung kotorankotoran sisa berupa endapan garam
mineral. Hasil fermentasi yang telah dipisahkan ini langsung masuk ke tangki mash (mash
tank). Dan selanjutnya didestilasi hingga menjadi alkohol prima (fine alkohol) dengan kadar
mencapai 96,5%. Pada tahap fermentasi ini terjadi reaksi hidrolisa, dimana sukrosa diubah
menjadi glukosa. Persamaan reaksi hidrolisa yaitu:
C12H22O11 +H2O

2C6H12O6

Sedangkan reaksi utama adalah reaksi fermentasi, dimana glukosa diubah menjadi etanol dan
air. Persamaan reaksinya adalah:
C6H12O6

2 C2H5OH + 2CO2

Pada main fermenter selain terbentuk etanol, juga akan terbentuk produk samping. Hasil
samping dalam persen berat (%gula) adalah sebagai berikut:
Asam asetat = 0,65%

Fusel Oil = 0,85%


Asetaldehid = 0,05%
(Prescot hal 128)
Reaksi samping yang terjadi pada main fermenter yaitu:
C6H12O6

C3H8O3 + CH3CHO + 2 CO2

C6H12O6 + H2O

2 C3H8O3 + CH3COOH + C2H5OH + 2CO2 (Hr

298 = -324.3860 kcal/kg)


Komponen pada fusel oil meliputi:
Propanol = 12,5 %
Isobutyl alcohol = 15 %
Amyl alcohol = 30 %
Isoamyl alcohol = 32,5 %
Etanol = 10 %
(Paturau hal 241)
7. Tahap Distilasi
Produk hasil fermentasi mengandung alkohol yang rendah, disebut bir (beer)dan sebab itu
perlu di naikkan konsentrasinya dengan jalan distilasi bertingkat.Beer mengandung 8 10%
alkohol.Maksud dan proses distilasi adalah untuk memisahkan etanol dari campuranetanol
air. Untuk larutan yang terdiri dari komponen-komponen yang berbedanyata suhu didihnya,
distilasi merupakan cara yang paling mudah dioperasikandan juga merupakan cara pemisahan
yang secara thermal adalah efisien.Pada tekanan atmosfir, air mendidih pada 1000C dan
etanol mendidih padasekitar 770C. perbedaan dalam titik didih inilah yang memungkinkan
pemisahancampuran etanol air.Prinsip : Jika larutan campuran etanol air dipanaskan, maka
akan

lebih

banyak molekul

etanol

menguap

dari

pada

air.

Jika

uap-uap

ini

didinginkan(dikondensasi), maka konsentrasi etanol dalam cairan yang dikondensasikan


ituakan lebih tinggi dari pada dalam larutan aslinya. Jika kondensat ini dipanaskan lagi dan
kemudian dikondensasikan, maka konsentrasi etanol akan lebih tinggi lagi. Proses ini bisa
diulangi terus, sampai sebagian besar dari etanol dikonsentrasikan dalam suatu fasa. Namun
hal ini ada batasnya. Pada larutan 96% etanol, didapatkan suatu campuran dengan titik didih
yang sama(azeotrop). Pada keadaan ini, jika larutan 95-96% alkohol ini dipanaskan, maka
rasio molekul air dan etanol dalam kondensat akan teap konstan sama. Apabila kadar
etanolnya sudah 95% dilakukan dehidrasi atau penghilangan air. Untuk menghilangkan air

bisa menggunakan kapur tohor atau zeolit sintetis. Tambahkan kapur tohor pada etanol.
Biarkan semalam. Setelah itu didistilasi lagi hingga kadar airnya kurang lebih 99.5%.
Fermentasi etanol dari bahan yang mengandung pati
Proses produksi etanol dari hasil pertanian yang mengandung pati ( seperti jagung, gandum,
dan lain-lain) hampir sama dengan proses produksi etanol dengan bahan dasar molase.
Namun, dalam proses fermentasi kali ini, pada tahap awal akan dibutuhkan proses tambahan
yang tidak dilakukan pada fermentasi molase. Tahap tahap nya adalah sebagai berikut:
1. Proses Gelatinasi
Dalam proses gelatinasi, bahan baku ubi kayu, ubi jalar, atau jagung dihancurkan
dandicampur air sehingga menjadi bubur, yang diperkirakan mengandung pati 27-30
persen.Kemudian bubur pati tersebut dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga
berbentuk gel. Proses gelatinasi tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:Bubur pati
dipanaskan sampai 130oC selama 30 menit, kemudian didinginkan sampaimencapai
temperatur 95oC yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar jam. Temperatur 95 oC
tersebut dipertahankan selama sekitar 11/4 jam, sehingga total waktu yang dibutuhkan
mencapai 2 jam. Bubur pati ditambah enzyme termamyl dipanaskan langsung sampai
mencapai temperatur 130oC selama 2 jam. Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan
bertahap mempunyai keuntungan , yaitu pada suhu 950C aktifitas termamyl merupakan yang
paling tertinggi, sehingga mengakibatkan yeast atau ragi cepat aktif. Pemanasan dengan suhu
tinggi (1300C) pada cara pertama ini dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga
lebih mudah terjadi kontak dengan air enzyme. Perlakuan pada suhu tinggi tersebut juga
dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi.
Gelatinasi cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung (gelatinasi dengan enzymetermamyl)
pada temperature 130oC menghasilkan hasil yang kurang baik, karenamengurangi aktifitas
yeast. Hal tersebut disebabkan gelatinasi dengan enzyme pada suhu130oC akan terbentuk
tri-phenyl-furane yang mempunyai sifat racun terhadap yeast. Gelatinasi pada suhu
tinggi tersebut juga akan berpengaruh terhadap penurunan aktifitastermamyl, karena aktifitas
termamyl akan semakin menurun setelah melewati suhu 95oC(Wasito, 1981).
2. Proses Saccharifikasi
Tahap sakarifikasi merupakan tahap pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhanayang
dilakukan

pada

sebuah

tabung

pada

rangkaian

peralatan

untuk

produksi

bioethanol.Saccharifikasi melibatkan proses sebagai berikut:


Pendinginan bubur sampai suhu optimum enzim sakarifikasi bekerja
Pengaturan pH optimum enzim Penambahan enzim (glukoamilase) secara tepat

Mempertahankan pH dan temperature pada rentang 50 sd 600C, sampai proses


saccharifikasi selesai (Dilakukan dengan pengetesan gula sederhana yang dihasilkan).
3. Fermentasi
Proses fermentasi akan berjalan beberapa jam setelah semua bahan dimasukkan ke dalam
fermentor. Kalau anda menggunakan fermentor yang tembus padang (dari kaca misalnya),
maka akan tampak gelembung-gelembung udara kecil-kecil dari dalam fermentor.
Gelembung-gelembung udara ini adalah gas CO2 yang dihasilkan selama proses fermentasi.
Kadang-kadang terdengar suara gemuruh selama proses fermentasi ini. Selama proses
fermentasi ini usahakan agar suhu tidak melebihi 36oC dan pH nya dipertahankan 4.5 5.
Proses fermentasi berjalan kurang lebih selama 66 jam atau kira-kira 2.5 hari. Salah satu
tanda bahwa fermentasi sudah selesai adalah tidak terlihat lagi adanya gelembung-gelembung
udara. Kadar etanol di dalam cairan fermentasi kurang lebih 7% 10 %.
4. Distilasi dan Dehidrasi
Setelah proses fermentasi selesai, masukkan cairan fermentasi ke dalam evaporator atau
boiler. Panaskan evaporator dan suhunya dipertahankan antara 79 81oC. Pada suhu ini
etanol sudah menguap, tetapi air tidak menguap. Uap etanol dialirkan ke distilator. Bioetanol
akan keluar dari pipa pengeluaran distilator. Distilasi pertama, biasanya kadar etanol masih di
bawah 95%. Apabila kadar etanol masih di bawah 95%, distilasi perlu diulangi lagi (reflux)
hingga kadar etanolnya 95%. Apabila kadar etanolnya sudah 95% dilakukan dehidrasi atau
penghilangan air. Untuk menghilangkan air bisa menggunakan kapur tohor atau zeolit
sintetis. Tambahkan kapur tohor pada etanol. Biarkan semalam. Setelah itu didistilasi lagi
hingga kadar airnya kurang lebih 99.5%
Gambar peralatan.

sumber: Fuel from Farms - A Guide to Small Scale Ethanol Production, Solar Energy
Research Institute (SERI), 1617 Cole Boulevard, Golden, CO 80401.

VI. Kegunaan bioetanol

Kegunaan ethanol/bioethanol (alkohol) berdasarkan literatur adalah sebagai berikut:


Menurut Fessenden ( 1992) kegunaan ethanol adalah:
Digunakan dalam minuman keras.
Sebagai pelarut dan reagensia dalam laboratorium dan industri.
Sebagai bahan bakar.
Etanol mempunyai nilai kalor (Q) sebesar 12.800 Btu/lb. Sedangkan jika dicampur dengan
gasoline dimana presentase 10% etanol dan 90% gasoline akan menghasilkan produk dengan
nama dagang Gashol dihasilkan kalor (Q) sebesar 112.000 Btu/gallon.
Menurut Austin ( 1984) kegunaan ethanol adalah:
Sebagai bahan industri kimia.
Sebagai bahan kecantikan dan kedokteran.
Sebagai pelarut dan untuk sintesis senyawa kimia lainnya.
Sebagai bahan baku (raw material) untuk membuat ratusan senyawa kimia lain, seperti
asetaldehid, etil asetat, asam asetat, etilene dibromida, glycol, etil klorida, dan semua etil ester.
Menurut Uhlig (1998) kegunaan ethanol adalah :
Sebagai pelarut dalam pembuatan cat dan bahan-bahan komestik.
Diperdayakan di dalam perdagangan domestik sebagai bahan bakar.
Limbah B3 dihasilkan dari 4 sumber berikut :

Primary sludge yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan
awal dan banyak mengandung biomassa senyawa organic yang stabil dan mudah
menguap.

Chemical sludge yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi danflokulasi.

Excess activated sludge yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahandengn
lumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil
proses tersebut.

Digested sludge yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested
aerobic maupun anaerobic di mana padatan/lumpuryang dihasilkan cukup stabil dan
banyak mengandung padatan organik.

VII. LIMBAH DARI INDUSTRI BIOETANOL


Menurut Hammer dan Bastian (1989), lahan basah adalah habitat peralihan antara lahan
darat dan air, jadi bukan merupakan habitat darat ataupun habitat air. Ekosistem lahan basah
memiliki kemampuan alamiah untuk menghilangkan berbagai jenis limbah pada beberapa
tingkat efisiensi (Nichols, 1983). Kemampuan ini terutama disebabkan karena adanya
vegetasi yang berperan sebagai pengolah limbah. Seluruh perairan darat yang menjadi bagian
dari lahan basah juga berfungsi sebagai penyimpan dan penangkap karbon. Lebih fantastis
lagi, lahan basah juga merupakan penyangga dampak anomali cuaca dan iklim. Dengan
demikian, potensi lahan basah di wilayah Indonesia sebagai gudang karbon sangat besar.
Menanggapi peristiwa kematian ribuan ikan disepanjang 70 km dari Mojokerto hingga Kota
Surabaya, peristiwa itu terjadi akibat pencemaran yang disebabkan luberan limbah PT Aneka
Kimia Nusantara. PT Aneka Kimia Nusantara (AKN) Desa Wates Magersari Mojokerto,
adalah industri penghasil etanol termasuk penyumbang terbesar pencemaran organik tinggi di
Kali Surabaya. Dapat dibayangkan untuk memproduksi satu liter etanol dihasilkan limbah 15
liter dari molase yang berwarna coklat, tergolong sebagai buangan paling korosif, BOD (Bio
Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) yang tinggi, pH 3.5, suhu yang
tinggi hingga mencapai 100oC yang dapat mencemari air tanah. Molase adalah sisa tetes dari
tetes tebu yang telah diproses untuk menghasilkan gula pasir. Molase mengandung sekitar
45% sukrosa yang dapat difermentasikan menjadi alkohol. 1 kg sukrosa secara teoritis akan
menghasilkan 0.644 liter alkohol absolut (anhidrida) yang hampir 100% murni. Secara
matematis dengan 88% efisiensi fermentasi dan 98% distilasi akan dihasilkan 0.555 liter
alkohol. BOD (Biochemical Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen terlarut yang
dibutuhkan oleh bakteri pengurai untuk menguraikan bahan pencemar organik dalam air.

Nilai baku mutu BOD untuk air minum harus sama atau kurang dari 2 mg/l. COD(Chemimal
Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan
pencemar organik dalam air dengan menggunakan oksidator kimia. Nilai baku mutu COD
untuk air minum harus sama atau kurang dari 10 mg/lDi. Limbah PT Aneka Kimia Nusantara
saat masuk keperairan Kali Surabaya awalnya dapat berperan sebagai bahan makanan yang
diuraikan oleh mikroba, namun penguraian bahan organik ini membutuhkan oksigen terlarut
dalam air yang lebih besar daripada jumlah oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis.
Sehingga menimbulkan dampak yang buruk bagi organisme perairan. Selain itu Limbah
organik PT ANK menimbulkan empat perubahan yang mengganggu kestabilan ekosistem
perairan tawar, yaitu : Pertama. Limbah organik yang mengandung padatan tersuspensi
menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam badan air sehingga menghambat proses
fotosintesis. Kedua, endapan bahan organik yang mengendap akan mengubah tekstur substrat
dan menimbulkan habitat yang tidak sesuai bagi biota endemik di perairan. Ketiga,
terbentuknya amoniak yang memiliki toksisitas tinggi dan menimbulkan gangguan besar bagi
organisme perairan serta berbau. Keempat, bahan pencemar organik terdiri dari senyawa
protein, karbohidrat, lemak dan asam nukleat akan meningkatkan tingginya konsentrasi
bakteri dan mikroorganisme patogen. E Coli adalah bakteri umum dijumpai di badan-badan
air yang berasal dari tinja manusia atau hewan berdarah panas serta air yang telah
terkontaminasi oleh limbah organik. Peningkatan ini akan membawa dampak patogenik
dimana bakteri dan virus terdapat dalam jumlah yang cukup banyak dan membahayakan
kesehatan. Beberapa jenis bakteri air menimbulkan penyakit kolera, demam tifoid, disentri
basiler, dan gastroenteritis. Virus juga terdapat di air termasul virus penyebab poliomyelitis,
hepatitis infektif. Hewan parasit dalam air antara lain cacing gelang Ascaris dan cacing pita
pada sapi dan babi. Semua jenis organisme ini terdapat dalam tinja yang terdapat pada saluran
pembuangan domestik dan peternakan. Disamping pengenceran oleh air, sedimentasi ke dasar
perairan dan penguraian oleh matahari juga merupakan faktor penting dalam penguraian
senyawa organik di perairan. Penguraian oleh mikroba akan mengurangi kandungan oksigen
terlarut dalam air, sehingga kandungan oksigen yang ada tidak mampu mendukung
kehidupan organisme perairan seperti ikan dan organisme lainnya. Untuk itulah ada upaya
yang ditawarkan untuk mengatasi masalah ini yakni menggunakan tumbuhan timbul di
perairan untuk pengolah limbah karena tumbuhan tersebut mengasimilasi senyawa organik
dan anorganik dari limbah. Tumbuhan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan tajuk
yang besar dapat menyimpan bermacam hara mineral. Pada media kerikil, pertumbuhan
tanaman timbul dapat menurunkan konsentrasi hara mineral (Laksham, 1979; Finlayson dan

Chick, 1983; Bowmer, 1987). Rizoma dan akar Phragmites australis Scirpus spp. berfungsi
sebagai filtrasi dan pengendap senyawa hidrokarbon dan logam berat beracun. Tingkat
konsentrasi logam berat dalam jaringan tanaman-tanaman tersebut adalah sebagai berikut:
akar > rizoma > daun (Shutes et al., 1993). Tumbuhan mengapung seperti eceng gondok juga
dapat menghilangkan hara dan logam berat dalam jumlah yang cukup signifikan (Reddy dan
DeBusk, 1985).
VIII.

PENANGANAN LIMBAH
Memekatkan limbah dengan evaporator. Kemudian mengabutkan limbah pekat ke dalam

tanur pembakaran bersuhu 800C sehingga bahan organik dalam limbah terbakar habis.
Abu hasil pembakaran itu ternyata mengandung kalium sehingga diolah menjadi pupuk

Menggunakan limbah bioetanol sebagai bahan baku pupuk. Limbah etanol yang sering juga
disebut dengan vinase atau distilet memiliki karakteristik yang khas. Limbah ini bisa
dimanfaatkan dan diolah menjadi pupuk organik cair (POC). POC memiliki harga jual yang
cukup tinggi sehingga bisa memberikan nilai tambah bagi industri etanol. Vinase diolah
sedemikian rupa sehingga menjadi produk POC yang bisa menyuburkan tanaman. Aplikasi
POC ini bisa digunakan untuk semua jenis tanaman, semua komoditas, dan semua iklim atau
tempat. Pemanfaatan POC bisa mengurangi atau pun mensubtitusi penggunaan pupuk kimia.
POC dari limbah industri etanol ini tergolong pupuk organik, sehingga relatif lebih ramah
lingkungan. Dalam skala nasional pepanfaatan POC ini bisa mengurangi konsumsi pupuk
kimia dan mengemat anggaran negara. Jika dilihat dari sudut industri, pengolahan ini bisa
memberi income tambahan bagi industri. Pengolahan limbah etanol menjadi POC cukup
sederhana dan tidak terlalu rumit. POC bisa dibuat dengan biaya yang cukup murah dan tidak
memerlukan peralatan yang rumit. Namun, proses pembuatannya memerlukan ketelitian, dan
kehati-hatian. POC dari vinases bisa juga dikombinasikan dengan pupuk lain yang sudah
beredar di pasaran, seperti pupuk hayati, atau POC laiinya.POC yang dibuat juga harus
dibuktukan terlebih dahulu sebelum dipakai dalam skala yang luas.

HOME

ISLAM

KESEHATAN

PENDIDIKAN

PENGETAHUAN UMUM

PROFIL

SOSIAL

Collection is articles
success comes not with ease...

PENGOLAHAN LIMBAH KOSMETIK


Published Januari 12, 2012 by fajarsundari146

I. PENDAHULUAN
Keberadaan limbah yang bersumber dari industri kosmetik cukup mengkhawatirkan. Bahan
beracun dan berbahaya banyak digunakan sebagai bahan baku industri kosmetik maupun
sebagai penolong. Beracun dan berbahaya dari limbah ditunjukkan oleh sifat fisik dan kimia
bahan itu sendiri, baik dari jumlah maupun kualitasnya. Beberapa kriteria berbahaya dan
beracun telah ditetapkan antara lain mudah terbakar, mudah meledak, korosif, oksidator dan
reduktor, iritasi bukan radioaktif, mutagenik, patogenik, mudah membusuk dan lain-lain.
Dalam jumlah tertentu dengan kadar tertentu, kehadirannya dapat merusakkan kesehatan
bahkan mematikan manusia atau kehidupan lainnya sehingga perlu ditetapkan batas-batas
yang diperkenankan dalam lingkungan pada waktu tertentu.
Industri kosmetik, saat ini lebih terfokus pada upaya untuk melakukan efisiensi
seiring makin melambungnya biaya produksi, belanja pegawai hingga ongkos energi.
Sehingga mau tak mau akan menomorduakan persoalan pembuangan limbahnya. Apalagi
pengolahan limbah memerlukan biaya tinggi. Padahal limbah industri kosmetik sangat
potensial sebagai penyebab terjadinya pencemaran. Pada umumnya limbah industri kosmetik
mengandung limbah B3, yaitu bahan berbahaya dan beracun. Menurut PP 18/99 pasal 1,
limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan
beracun yang dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup sehingga membahayakan
kesehatan
serta
kelangsungan
hidup
manusia
dan
mahluk
lainnya.
Hal tersebut tidak bisa dibiarkan karena cepat atau lambat pasti akan membawa dampak yang
buruk bagi lingkungan ataupun bagi kesehatan manusia. Limbah industri harus ditangani
dengan baik dan serius oleh Pemerintah Daerah dimana wilayahnya terdapat industri.
Pemerintah harus mengawasi pembuangan limbah industri dengan sungguh-sungguh. Pelaku
industri harus melakukan cara-cara pencegahan pencemaran lingkungan dengan
melaksanakan teknologi bersih, memasang alat pencegahan pencemaran, melakukan proses
daur ulang dan yang terpenting harus melakukan pengolahan limbah industri guna

menghilangkan bahan pencemaran atau paling tidak meminimalkan bahan pencemaran


hingga batas yang diperbolehkan. Di samping itu perlu dilakukan penelitian atau kajiankajian lebih banyak lagi mengenai dampak limbah industri yang spesifik (sesuai jenis
industrinya) terhadap lingkungan serta mencari metoda atau teknologi tepat guna untuk
pencegahan masalahnya.
II. PENGOLAHAN LIMBAH
Teknologi pengolahan limbah adalah kunci dalam memelihara kelestarian lingkungan.
Apapun macam teknologi pengolahan limbah domestik maupun industri yang dibangun harus
dapat dioperasikan dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Jadi teknologi pengolahan yang
dipilih harus sesuai dengan kemampuan teknologi masyarakat yang bersangkutan. Berbagai
teknik pengolahan limbah untuk menyisihkan bahan polutannya telah dicoba dan
dikembangkan selama ini. Teknik pengolahan air buangan yang telah dikembangkan tersebut
secara umum terbagi menjadi 3 metode pengolahan:
1.

Pengolahan secara fisika

2.

Pengolahan secara kimia

3.

Pengolahan secara biologi

Untuk suatu jenis air buangan tertentu, ketiga metode pengolahan tersebut dapat
diaplikasikan secara sendiri-sendiri atau secara kombinasi.
1. Pengolahan limbah secara fisika

Pada umumnya, sebelum dilakukan pengolahan lanjutan terhadap air buangan, diinginkan
agar bahan-bahan tersuspensi berukuran besar dan yang mudah mengendap atau bahan-bahan
yang terapung disisihkan terlebih dahulu. Penyaringan (screening) merupakan cara yang
efisien dan murah untuk menyisihkan bahan tersuspensi yang berukuran besar. Bahan
tersuspensi yang mudah mengendap dapat disisihkan secara mudah dengan proses
pengendapan. Parameter desain yang utama untuk proses pengendapan ini adalah kecepatan
mengendap partikel dan waktu detensi hidrolis di dalam bak pengendap.
Dalam industri kosmetik, limbah cair secara umum diolah secara fisika dengan cara
pengendapan purifikasi sehingga dihasilkan air yang terpurifikasi yang dapat direcycle untuk
kegiatan yang lain. Namun dalam industri kosmetik terdapat limbah bahan berbahaya dan
beracun (B3) yang biasanya berupa logam-logam berat dan sisa-sisa pelarut yang bersifat
toksik. Untuk bahan-bahan yang mengapung seperti minyak dan lemak agar tidak
mengganggu proses pengolahan berikutnya digunakan proses floatasi. Floatasi juga dapat
digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi atau pemekatan lumpur endapan
dengan memberikan aliran udara ke atas. Proses filtrasi dalam pengolahan air buangan
biasanya dilakukan untuk mendahului proses adsobrsi atau proses revers osmosis, untuk
menyisihkan sebanyak mungkin partikel tersuspensi dari dalam air agar tidak mengganggu

proses adsorbsi atau menyumbat membran yang dipergunakan dalam proses osmosis. Proses
adsorbsi biasanya menggunakan karbon aktif, dilakukan untuk menyisihkan senyawa
aromatik (fenol) dan senyawa organik terlarut lainnya, terutama jika diinginkan untuk
menggunakan kembali air buangan tersebut. Teknologi membran (reverse osmosis) biasanya
diaplikasikan untuk unit-unit pengolahan kecil, terutama jika pengolahan ditujukan untuk
menggunakan kembali air yang diolah. Biaya instalasi dan operasinya sangat mahal.
1. Pengolahan secara kimia

Pengolahan limbah industri kosmetik yang berupa logam berat dan sisa pelarut toksik secara
kimia dilakukan dengan pengikatan bahan kimia menggunakan partikel koloid. Penyisihan
bahan tersebut dilakukan melalui perubahan sifat bahan tersebut, yaitu tak mudah diendapkan
(flokulasi-koagulasi), baik dengan atau tanpa reaksi oksidasi-reduksi, dan juga berlangsung
sebagai hasil reaksi oksidasi.
Pengendapan bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan dengan membubuhkan
elektrolit yang mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan koloidnya agar terjadi
netralisasi muatan koloid tersebut, sehingga akhirnya dapat diendapkan. Penyisihan logam
berat dan senyawa fosfor dilakukan dengan membubuhkan larutan alkali (air kapur misalnya)
sehingga terbentuk endapan hidroksida logam-logam tersebut atau endapan hidroksiapatit.
Endapan logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10,5 dan untuk hidroksiapatit pada pH
> 9,5. Khusus untuk krom heksavalen, sebelum diendapkan sebagai krom hidroksida
[Cr(OH)3], terlebih dahulu direduksi menjadi krom trivalent dengan membubuhkan reduktor
(FeSO4, SO2, atau Na2S2O5). Penyisihan bahan-bahan organik beracun seperti fenol dan
sianida pada konsentrasi rendah dapat dilakukan dengan mengoksidasinya dengan klor (Cl2),
kalsium permanganat, aerasi, ozon hidrogen peroksida. Pada dasarnya kita dapat memperoleh
efisiensi tinggi dengan pengolahan secara kimia, akan tetapi biaya pengolahan menjadi mahal
karena memerlukan bahan kimia.
Hasil pengolahan limbah B3 dari industri kosmetik ini harus di buang . Salah satunya dengan
metode injection well.
Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai
salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes). Pembuangan
limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi
geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat
limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak
dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah struktur
dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat. Limbah B3 diinjeksikan dalam
suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah lapisan yang mengandung air tanah. Di
antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan impermeable seperti shale atau tanah liat yang
cukup tebal sehingga cairan limbah tidak dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5
hingga 2 mil dari permukaan tanah. Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur
injeksi karena beberapa jenis limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada

sumur dan formasi penerima limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan
limbah yang dapat mengalami presipitasi, memiliki partikel padatan, dapat membentuk
emulsi, bersifat asam kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas
dan viskositas yang lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi. Hingga saat
ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke sumur dalam
(deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh Amerika Serikat
dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:
1. Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara
vertikal keluar dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan
sumberair tanah.
2. Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti
disebutkan di atas, limbah telah mengalami perubahan higga tidak lagi
bersifat berbahaya dan beracun.
1. Pengolahan secara biologi

Gambar. Skema pengolahan secara biologi


Sebagai contoh adalah pengolahan etil alkohol. Etil alkohol merupakan pelarut dalam industri
kosmetik. Limbah cair ini bersifat mudah terbakar sehingga perlu penanganan khusus dalam
proses pengolahan limbahnya. Proses pengolahan limbah etil alkohol dapat dilihat dalam
diagram di bawah ini :
= recovered/ renewable resource
Residu alkohol yang berasal dari limbah kosmetik dipisahkan lalu difermentasikan.
Parameter yang mempengaruhi proses fermentasi ini antara lain adalah suhu, pH, alkalinitas,
DO, BOD, dan COD. Setelah difermentasikan, selanjutnya didestilasi untuk dipisahkan etil
alkohonya. Parameter proses destilasi antara lain: suhu dan tekanan uap, Etil alcohol murni
yang didapatkan selanjutnya dapat digunakan lagi dalam industri kosmetik.
Selain etil alkohol dihasilkan pula etanol. Etanol yang dihasilkan dari destilasi ini
selanjutnya digunakan sebagai green fuel. Sedangkan residu sisanya dievaporasi. Kondensat
hasil evporasi disaring dengan menggunakan trickling filter menghasilkan air yang dapat
digunakan dalam proses industri serta untuk menyiram tanaman. Sisa dari proses evaporasi
dapat dijadikan pakan konsentrat.
Produk limbah cair etil alkohol banyak digunakan untuk menggantikan sumber energi yang
tidak dapat diperbarui seperti bahan bakar fosil. Sebagai sumber yang dapat diperbarui, etanol
memiliki keuntungan yang berarti bagi lingkungan. Sebagai contoh, ketika digunakan sebagai
bahan bakar tambahan dalam automobile, etanol sendiri dapat:
1. Mengurangi gas knalpot dan gas greenhouse hingga 10%
2. Mengurangi pelepasan karbondioksida dan gas beracun tinggi-hingga 30%

3. Menghasilkan reduksi bersih pada lapisan bawah ozon, komponen besar


dari asap dan bahaya kesehatan bagi anak-anak dan dewasa untuk
masalah pernapasan
4. Membantu mengurangi ketergantungan negeri kita dalam impor minyak
asing.

Selain itu pengolahan limbah secara biologi dapat dilakukan dengan metode lumpur aktif.
Pengolahan sistem lumpur aktif adalah metode pemprosesan limbah dengan mempelajari
proses dekomposisi secara mikrobiologis yang dikenal dengan biodegradasi oleh
mikroorganisme pengurai. Lumpur akan mengandung berbagai jenis mikroorganisme
heterotrofik termasuk bakteri yang memiliki peran penting dalam proses pembersihan secara
biologis. Bakteri dapat memanfaatkan bahan terlarut maupun yang tersuspensi dalam air
sebagai energi. Bakteri tersuspensi dalam lumpur digunakan untuk mengolah limbah secara
mikrobiologis dapat dikembangkan dengan pembibitan (seeding) lumpur yang berasal dari
ekosistem alam yang terkontaminasi, tercemar, maupun dari ekosistem alami yang memiliki
sifat-sifat khas ataupun ekstrim. Salah satu limbah yang dapat diolah dengan metode tersebut
adalah limbah deterjen. Deterjen adalah senyawa sintetik yang termasuk surface active agent.
Deterjen merupakan salah satu bahan pencuci yang banyak digunakan sebagai zat pencuci
untuk keperluan kosmetik karena memiliki sifat sebagai pendispersi, pencuci dan pengemulsi.
Penyusun utama deterjen adalah Dodecyl Benzene Sulfonat (DBS). DBS berfungsi untuk
menghasilkan busa. Keberadaan busa-busa tersebut dapat membatasi kontak udara-air
sehingga organisme air akan kekurangan oksigen. Adapun metode penelitian yang digunakan
untuk menguji kemampuan bakteri dalam mengolah limbah deterjen (DBS) adalah sebagai
berikut:
1.

Sampling Sedimen Sungai Tebe

Sedimen diambil dari dasar sungai kemudian disimpan dalam box sampel suhu 40 C.
Sedimen lalu diisolasi bakteri dengan media benzene sulfonat (2 g DBS, 1 g NPK, 0,4 g
Mg.SO4.7 H20)
1.

Penentuan waktu eksponensial melalui kurva pertumbuhan bakteri.


Media cair berisi 500 ml masing-masing dimasukkan dalam 2 erlenmeyer
1 L. Kemudian media ditambahkan isolat bakteri secara aseptik dan media
lain sebagai kontrol. Media lalu diaerasi, pertumbuhan isolat bakteri diukur
dengan turbidimeter setiap 1 jam selama 12 jam. Dari hasil tersebut akan
diperoleh waktu pertumbuhan bakteri saat mencapai eksponensial.

2. Pembibitan (Seeding) dan pertumbuhan isolat bakteri yang diinokulasikan


dalam lumpur aktif. Waktu pembibitan disesuaikan dengan kurva
pertumbuhan bakteri, dimana larutan bibit telah siap dipanen saat
mencapai fase eksponensial.
3.

Penentuan Kemampuan Biodegradasi DBS oleh isolat bakteri


air limbah disiapkan dengan cara melarutkan 1 g DBS; 0,5 g NPK dan 0,2 g
MgSO4.7H2O ke dalam 1 liter akuades. Campuran digojog hingga
homogen. Larutan tersebut mengalami proses aerasi. Sebelum larutan

bibit dipindahkan ke dalam reaktor, kadar DBS daripada larutan bibit yang
telah mencapai fase eksponensial diukur sebagai faktor koreksi yaitu
untuk mengetahui kadar DBS yang tersisa saat proses pembibitan.
Larutan bibit sebanyak 200 ml dimasukkan dalam gelas beker dan juga
800 ml limbah DBS. Selain larutan tersebut juga dibuat larutan kontrol.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa proses biodegradasi Dodecyl
Benzena Sulfonat (DBS) dengan menggunakan isolat bakteri dari sedimen
sungai Tebe Denpasar menunjukkan penurunan kadar DBS selama 7 hari
pengolahan.
4.
5. III. CONTOH PENGOLAHAN LIMBAH KOSMETIK DI INDONESIA

Limbah cair dari PT P&G terutama mengandung bahan organik yang tinggi yang berasal
dari produksi shampo (80 % dari total limbah). Sistem pengolahan limbah cair PT P&G
dilakukan secara kombinasi fisik-kimia-biologis. Pengolahan kimia yang digunakan adalah
proses koagulasil flokulasi, sedangkan proses biologis yang digunakan adalah proses lumpur
aktif (activated sludge).
Pengolahan kimia dengan proses koagulasi/flokulasi menggunakan bahan kimia
Na2CO3 untuk pengaturan pH, PAC sebagai koagulan, dan polimer anionik sebagai koagulan
pembantu. Berdasarkan percobaan yang dilakukan, didapatkan dosis optimum koagulan yang
digunakan, yaitu Na2CO3 sebesar 600 ppm, PAC sebesar 4000 ppm, dan polimer anionik
sebesar 1.5 ppm. Efisiensi yang diperoleh adalah zat padat tersuspensi (SS) tebesar 80,3%
dan COD sebesar 80,8%.
Pengolahan biologis baik dengan proses lumpur aktif maupun gabungan proses
anaerob-aerob dalam reaktor tipe fixed film dilakukan dengan menggunakan tiga variasi
waktu tinggal (detention time), yaitu 24 jam, 48 jam, dan 72 jam.
Pengolahan limbah cair dengan proses anaerob dan aerob dalam reaktor tipe fixed film
(AAFBR) dengan waktu tinggal 24 jam dapat menurunkan COD maksimum sebesar 34,94%,
dengan waktu tinggal 48 jam sebesar 75,34%, sedangkan dengan waktu tinggal 72 jam
sebesar 81,53%.
Sedangkan proses lumpur aktif dengan waktu tinggal 24 jam dapat menurunkan COD
maksimum sebesar 52,01%, dengan waktu tinggal 48 jam sebesar 68,29%, dan dengan waktu
tinggal 72 jam sebesar 76,22%.
Berdasarkan pengamatan, terlihat bahwa persentase penyisihan COD pada proses
aerob cenderung menurun dengan bertambahnya waktu tinggal. Sebaliknya dengan proses
anaerob, persentase penyisihan COD pada proses aerob semakin meningkat dengan
bertambahnya waktu tinggal. Yang perlu diperhatikan bahwa tenyata efisiensi pengolahan
Iimbah cair dengan proses koagulasi/flokulasi (proses fisik kimia), proses lumpur aktif dan
proses anaerob-aerob (proses fisik-biologi) yang dilakukan secara terpisah belum dapat
menurunkan beban COD sampai memenuhi baku mutu limbah yang berlaku. Untuk

memperoleh efisiensi pengolahan yang dapat menurunkan beban COD sampai memenuhi
baku mutu maka dilakukan penggabungan terhadap ketiga proses.
IV. STUDI KASUS PENGOLAHAN LIMBAH CAIR KOSMETIK DI SEBUAH
PERUSAHAAN KOSMETIK AMERIKA KMS (KOCH MEMBRANE SYSTEM )
Industri kosmetik menghasilkan limbah sebagai akibat dari pembersihan alat-alat
pencampuran, pengemas dan lantai. Limbah ini sering mengandung minyak, lemak, padatan
tersuspensi dan surfaktan. Konsentrasi dari polutan ini beragam tergantung pada jenis dan
ukuran operasional industri kosmetik. Aliran limbah juga berubah-ubah secara signifikan
karena siklus operasi dari fasilitas industri. Penting dilakukan sistem pengolahan limbah
yang secara efektif dan ekonomis dapat menangani variabilitas limbah tanpa berpengaruh
pada kualitas efluen.
Metode konvensional untuk menangani kosmetik meliputi penggunaan bahan kimia yang
berhubungan dengan penetapan kejernihan air, alat dissolved air flotation, dan rotary drum
vacuum filters. Sejak tahun 1980, KMS ( Koch Membrane System ) telah menggunakan
ultrafiltrasi (UF).
Keuntungan ultrafiltrasi adalah sebagai berikut:
1. Tidak membutuhkan bahan kimia seperti polimer atau koagulan lain
2. Mudah dioperasikan dan hanya butuh sedikit tenaga operator
3. Konsisten dan efluent kualitas tinggi dapat dicapai dengan ultrafiltrasi
walaupun komposisi limbah cair mentah sangat beragam.

KMS telah menyediakan lebih dari 20 sistem ultrafiltrasi untuk pengolahan limbah cair
industri. Sistem UF menggunakan baik tubular (1 FEG-Plus, salah satunya membran
HFM-251 atau HFP-276 ) dan hollow fiber (membran XM atau CM) produk membran.
Sistem UF KMS telah berhasil mencapai pengurangan volume 10 -100 kali tergantung
komposisi bahan dan membran yang digunakan. Dikarenakan komposisi limbah cair industri
kosmetik beragam maka fluks membran hanya dapat ditentukan dengan ploting sebenarnya.
Untuk tubular 1, produk-produk FEG, fluks membran pada metode ini berkisar antara 30
40 GFD (51 68 lmh). Untuk produk hollow fiber KMS , fluks berkisar dari 15 25 GFD
(26 43 lmh). Beberapa hasil parameter pengolahan limbah industri kosmetik dengan
sistem UF sbb :
Rekomendasi Pretreatment untuk sistem UF meliputi penghilangan minyak free floating dan
padatan . Kantung filter 200 mikron direkomendasikan sebagai prefiltrasi untuk membran
fiber sementara membran tubular FEG hanya membutuhkan 3000 mikron filter.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Parallel Products, The Waste Management and Resource Recovery Experts.
Fitriani Niza. 2010. Optimasi pengolahan limbah cair dengan proses fisika-kimia-biologi :
studi kasus industri permen, kosmetik, dan farmasi, pt procter & gamble indonesia. Jakarta.
Tersedia
online
:
http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?
id=75272&lokasi=lokal diakses 4 oktober 2010
Koch Membrane Systems, Inc., 2005, Application Bulletin Cosmetics Wastewater Treatment
, www.kochmembrane.com diakses 4 oktober 2010
Ritariata.blogspot, 2010, Pengolahan Limbah Cair Pada Industri. http://ritariata.blospot.com
diakses pada tanggal 14 Oktober 2010 pada pukul 23.39 WIB
Majaromagazine, 2008, Teknologi Pengolahan Limbah B3. http://majarimagazine.com
diakses pada tanggal 14 Oktober 2010 pada pukul 23.39 WIB
Scribd, 2010, Jenis dan Karateristik Limbah B3, http://www.scribd.com diakses pada tanggal
14 Oktober 2010 pada pukul 23.42 WIB
Putra
prabu,
2008,
Identifikasi
dan
Karakterisasi
Limbah
B3,
http://putraprabu.wordpress.com diakses pada tanggal 14 Oktober 2010 pada pukul 23.39
WIB
Opixcute.blogspot, 2009, Penyebab BOD dan COD, http://opixcute.blogspot.com diakses
pada tanggal 15 Oktober 2010 pada pukul 00.13 WIB
Chemistry,
2009,
Pretretment
pada
Pengolahan
Limbah,
http://Chem-IsTry.Org/2009/06/08/Pretreatment pada pengolahan limbah.htm diakses pada tanggal 15
Oktober 2010 pada pukul 00.13 WIB

limbah B3

Jumat, 07 Mei 2010


limbah b3

Pengelolaan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3)

1. Pengertian B3
Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan
yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan
hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup
lain.
Intinya adalah setiap materi yang karena konsentrasi dan atau sifat dan atau jumlahnya mengandung B3 dan
membahayakan manusia, mahluk hidup dan lingkungan, apapun jenis sisa bahannya.
Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah)
suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3)
karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau
jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak,
mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.

Tujuan pengelolaan limbah B3


Tujuan pengelolaan B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan
hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar
sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.
Dari hal ini jelas bahwa setiap kegiatan/usaha yang berhubungan dengan B3, baik penghasil, pengumpul,
pengangkut, pemanfaat, pengolah dan penimbun B3, harus memperhatikan aspek lingkungan dan menjaga
kualitas lingkungan tetap pada kondisi semula. Dan apabila terjadi pencemaran akibat tertumpah, tercecer dan
rembesan limbah B3, harus dilakukan upaya optimal agar kualitas lingkungan kembali kepada fungsi semula.

Identifikasi limbah B3

Pengidentifikasian limbah B3 digolongkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu:

1. Berdasarkan sumber
2. Berdasarkan karakteristik
Golongan limbah B3 yang berdasarkan sumber dibagi menjadi:

Limbah B3 dari sumber spesifik;

Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;

Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan dan buangan
produk yang tidak memenuhi spesifikasi.

Sedangkan golongan limbah B3 yang berdasarkan karakteristik ditentukan dengan:

mudah meledak;

pengoksidasi;

sangat mudah sekali menyala;

sangat mudah menyala;

mudah menyala;

amat sangat beracun;

sangat beracun;

beracun;

berbahaya;

korosif;

bersifat iritasi;

berbahayabagi lingkungan;

karsinogenik;

teratogenik;

mutagenik.

Karakteristik limbah B3 ini mengalami pertambahan lebih banyak dari PP No. 18 tahun 1999 yang hanya
mencantumkan 6 (enam) kriteria, yaitu:

mudah meledak;

mudah terbakar;

bersifat reaktif;

beracun;

menyebabkan infeksi;

bersifat korosif.

Peningkatan karakteristik materi yang disebut B3 ini menunjukan bahwa pemerintah sebenarnya memberikan
perhatian khusus untuk pengelolaan lingkungan Indonesia. Hanya memang perlu menjadi perhatian bahwa
implementasi
dari
Peraturan
masih
sangat
kurang
di
negara
ini.
Pengelolaan dan pengolahan limbah B3
Pengelolaan limbah B3 meliputi kegiatan pengumpulan, pengangkutan, pemanfatan, pengolahan dan
penimbunan.
Setiap kegiatan pengelolaan limbah B3 harus mendapatkan perizinan dari Kementerian Lingkungan Hidup
(KLH) dan setiap aktivitas tahapan pengelolaan limbah B3 harus dilaporkan ke KLH. Untuk aktivitas
pengelolaan limbah B3 di daerah, aktivitas kegiatan pengelolaan selain dilaporkan ke KLH juga ditembuskan ke
Bapedalda setempat.
Pengolahan limbah B3 mengacu kepada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal)
Nomor Kep-03/BAPEDAL/09/1995 tertanggal 5 September 1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (www.menlh.go.id/i/art/pdf_1054679307.pdf)
Pengolahan limbah B3 harus memenuhi persyaratan:

Lokasi pengolahan

Pengolahan B3 dapat dilakukan di dalam lokasi penghasil limbah atau di luar lokasi penghasil limbah. Syarat
lokasi pengolahan di dalam area penghasil harus:

1. daerah bebas banjir;

2. jarak dengan fasilitas umum minimum 50 meter;


Syarat lokasi pengolahan di luar area penghasil harus:

1. daerah bebas banjir;


2. jarak dengan jalan utama/tol minimum 150 m atau 50 m untuk jalan lainnya;
3. jarak dengan daerah beraktivitas penduduk dan aktivitas umum minimum 300 m;
4. jarak dengan wilayah perairan dan sumur penduduk minimum 300 m;
5. dan jarak dengan wilayah terlindungi (spt: cagar alam,hutan lindung) minimum
300 m.

Fasilitas pengolahan

Fasilitas pengolahan harus menerapkan sistem operasi, meliputi:

1. sistem kemanan fasilitas;


2. sistem pencegahan terhadap kebakaran;
3. sistem pencegahan terhadap kebakaran;
4. sistem penanggulangan keadaan darurat;
5. sistem pengujian peralatan;
6. dan pelatihan karyawan.
Keseluruhan sistem tersebut harus terintegrasi dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengolahan
limbah B3 mengingat jenis limbah yang ditangani adalah limbah yang dalam volume kecil pun berdampak besar
terhadap lingkungan.

Penanganan limbah B3 sebelum diolah

Setiap limbah B3 harus diidentifikasi dan dilakukan uji analisis kandungan guna menetapkan prosedur yang
tepat dalam pengolahan limbah tersebut. Setelah uji analisis kandungan dilaksanakan, barulah dapat ditentukan
metode yang tepat guna pengolahan limbah tersebut sesuai dengan karakteristik dan kandungan limbah.

Pengolahan limbah B3

Jenis perlakuan terhadap limbah B3 tergantung dari karakteristik dan kandungan limbah. Perlakuan limbah B3
untuk pengolahan dapat dilakukan dengan proses sbb:

1. proses secara kimia, meliputi: redoks, elektrolisa, netralisasi, pengendapan,


stabilisasi, adsorpsi, penukaran ion dan pirolisa.

2. proses secara fisika, meliputi: pembersihan gas, pemisahan cairan dan penyisihan
komponen-komponen spesifik dengan metode kristalisasi, dialisa, osmosis balik,
dll.

3. proses stabilisas/solidifikasi, dengan tujuan untuk mengurangi potensi racun dan


kandungan limbah B3 dengan cara membatasi daya larut, penyebaran, dan daya
racun sebelum limbah dibuang ke tempat penimbunan akhir

4. proses

insinerasi, dengan cara melakukan pembakaran materi limbah


menggunakan alat khusus insinerator dengan efisiensi pembakaran harus
mencapai 99,99% atau lebih. Artinya, jika suatu materi limbah B3 ingin dibakar
(insinerasi) dengan berat 100 kg, maka abu sisa pembakaran tidak boleh melebihi
0,01 kg atau 10 gr

Tidak keseluruhan proses harus dilakukan terhadap satu jenis limbah B3, tetapi proses dipilih berdasarkan cara
terbaik melakukan pengolahan sesuai dengan jenis dan materi limbah.

Hasil pengolahan limbah B3

Memiliki tempat khusus pembuangan akhir limbah B3 yang telah diolah dan dilakukan pemantauan di area
tempat pembuangan akhir tersebut dengan jangka waktu 30 tahun setelah tempat pembuangan akhir habis masa
pakainya atau ditutup.
Perlu diketahui bahwa keseluruhan proses pengelolaan, termasuk penghasil limbah B3, harus melaporkan
aktivitasnya ke KLH dengan periode triwulan (setiap 3 bulan sekali).

Teknologi Pengolahan
Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang paling
populer di antaranya ialah chemical conditioning, solidification/Stabilization, dan
incineration.

1. Chemical Conditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning. TUjuan
utama dari chemical conditioning ialah:
o

menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur

mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur

mendestruksi organisme patogen

memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih


memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses
digestion

mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan


aman dan dapat diterima lingkungan

Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:


6. Concentration thickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah
dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya
digunakan pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid bowl

centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan awal sebelum


limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-watering selanjutnya.
Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge, beberapa unit
pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal ini.
7. Treatment, stabilization, and conditioning
Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan
menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses
pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian secara kimia
berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahan-bahan
kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung
dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara
pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung
dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi
oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialah lagooning,
anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment, polyelectrolite
flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.
8. De-watering and drying
De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi
kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang
terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat
yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum
filter, dan belt press.
9. Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang
terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan
composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya ialah sanitary
landfill, crop land, atau injection well.
2. Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization juga dapat
diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat
didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif)
dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk
mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan
sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif.
Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti
yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi
menjadi 6 golongan, yaitu:
0. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah
dibungkus dalam matriks struktur yang besar
1. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi
bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada
tingkat mikroskopik
2. Precipitation

3. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia


pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
4. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya
ke bahan padat
5. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi
senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang
sama sekali
Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2),
dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda indrum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai
solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995
dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
3.Incineration
Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam
teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah
hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan
solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya
memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang
tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas.
Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari
komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat.
Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.
Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value)
limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya
proses pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang
dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum
diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth,
fluidized bed, open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous waste
injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln
mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair,
dan gas secara simultan.
Proses Pembakaran (Inceneration) Limbah B3
Limbah B3 kebanyakan terdiri dari karbon, hydrogen dan oksigen. Dapat juga mengandung halogen, sulfur,
nitrogen dan logam berat. Hadirnya elemen lain dalam jumlah kecil tidak mengganggu proses oksidasi limbah
B3. Struktur molekul umumnya menentukan bahaya dari suatu zat organic terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan. Bila molekul limbah dapat dihancurkan dan diubah menjadi karbon dioksida (CO2), air dan
senyawa anorganik, tingkat senyawa organik akan berkurang. Untuk penghancuran dengan panas merupakan
salah satu teknik untuk mengolah limbah B3.
Inceneration adalah alat untuk menghancurkan limbah berupa pembakaran dengan kondisi terkendali. Limbah
dapat terurai dari senyawa organik menjadi senyawa sederhana seperti CO2 dan H2O.
Incenerator efektif terutama untuk buangan organik dalam bentuk padat, cair, gas, lumpur cair dan lumpur padat.
Proses ini tidak biasa digunakan limbah organik seperti lumpur logam berat (heavy metal sludge) dan asam
anorganik. Zat karsinogenik patogenik dapat dihilangkan dengan sempurna bila insenerator dioperasikan I

Incenerator memiliki kelebihan, yaitu dapat menghancurkan berbagai senyawa organik dengan sempurna, tetapi
terdapat kelemahan yaitu operator harus yang sudah terlatih. Selain itu biaya investasi lebih tinggi dibandingkan
dengan metode lain dan potensi emisi ke atmosfir lebih besar bila perencanaan tidak sesuai dengan kebutuhan
operasional.

News Ticker

Pengumuman Proses Amdal Pembangunan Instalasi Pengolahan Lumpur


Tinja (IPLT) Cibinong Kab. Bogor
Pelatihan Kader 3R (Reduce, Reuse, Recycle)
Pelatihan Masyarakat Jamban Sehat
PROGRAM MAGISTER ARSITEKTUR LANSKAP IPB MENGUNJUNGI DINAS
KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN
Pemeriksaan berkala terhadap kegiatan periode Semester II Tahun 2014
dan Semester I Tahun 2015
Ekspos pengelolaan sampah menjadi energi listrik oleh investor dari China
Tips Menjaga Kebersihan
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Mulai 1 Juni 2015, Aktivasi kepesertaan BPJS Kesehatan menjadi 14 hari
Selamat Hari Jadi Bogor Ke - 533
Pengumuman Proses Amdal Pembangunan Instalasi Pengolahan Lumpur
Tinja (IPLT) Cibinong Kab. Bogor
Dinas Kebersihan dan Pertamanan

Beranda

Tentang Kami

Profil

Visi dan Misi

Tupoksi

Struktur Organisasi

Sasaran

Renstra

Produk Hukum

Program dan Kegiatan

Program

Kegiatan

Pelayanan
o

Pelayanan Mobil Jenazah

Pelayanan Pengangkutan Sampah

Pelayanan Penyedotan Kakus

Pelayanan Pemakaman

Berita
o

Seputar OPD

Artikel

Galeri
o

Foto

Video

Prestasi & Penghargaan

Publikasi Kinerja
o

Tahun 2016

22 Juni 2015 13:39:01

Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan


Beracun (B3)
179

Pengelolaan Limbah B3 merupakan salah satu rangkaian kegiatan yang mencakup


penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, dan pengolahan limbah B3
termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan pelaku
pengelolaan limbah B3 antara lain :

Penghasil Limbah B3

Pengumpul Limbah B3

Pengangkut Limbah B3

Pemanfaat Limbah B3

Pengolah Limbah B3

Penimbun Limbah B3

Mayoritas pabrik tidak menyadari, bahwa limbah yang dihasilkan termasuk dalam kategori
limbah B3, sehingga limbah dibuang begitu saja ke sistem perairan tanpa adanya proses
pengolahan. Pada dasarnya prinsip pengolahan limbah adalah upaya untuk memisahkan zat
pencemar dari cairan atau padatan. Walaupun volumenya kecil, konsentrasi zat pencemar
yang telah dipisahkan itu sangat tinggi. Selama ini, zat pencemar yang sudah dipisahkan
atau konsentrat belum tertangani dengan baik, sehingga terjadi akumulasi bahaya yang setiap
saat mengancam kesehatan manusia dan keselamatan lingkungan hidup. Untuk itu limbah B3
perlu dikelola antara lain melalui pengolahan limbah B3.

Gambar Limbah B3
Upaya pengelolaan limbah B3 dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
1. Reduksi limbah dengan mengoptimalkan penyimpanan bahan baku dalam
proses kegiatan atau house keeping, substitusi bahan, modifikasi proses,
maupun upaya reduksi lainnya.
2. Kegiatan pengemasan dilakukan dengan penyimbolan dan pelabelan yang
menunjukkan karakteristik dan jenis limbah B3 berdasarkan acuan
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep05/Bapedal/09/1995.

Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan.


Secara umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik,
bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan
limbah yang disimpan di dalamnya. Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan harus
dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat menahan agar zat tidak bergerak
dan mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang
bersifat self-reactive dan peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus dalam
pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang

tidak mudah terbakar dan tidak mengalami penguraian atau dekomposisi saat berhubungan
dengan limbah. Jumlah yang dikemas pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan
sedangkan limbah yang memiliki aktivitas rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per
kemasan.
3. Penyimpanan dapat dilakukan di tempat yang sesuai dengan persyaratan
yang berlaku acuan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor: Kep-01l/Bapedal/09/1995.

Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan
dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah. Penyimpanan
harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 22 kemasan. Limbah-limbah
harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak kompatibel.
Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan
melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus
memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan
dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif
memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang mudah dilepas
untuk memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan
korosi.
4. Pengumpulan dapat dilakukan dengan memenuhi persyaratan pada
ketentuan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor: Kep-01/Bapedal/09/1995 yang menitikberatkan pada ketentuan
tentang karakteristik limbah, fasilitas laboratorium, perlengkapan
penanggulangan kecelakaan, maupun lokasi.
5. Kegiatan pengangkutan perlu dilengkapi dengan dokumen pengangkutan
dan ketentuan teknis pengangkutan.

Mengenai pengangkutan limbah B3, Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan


pengangkutan limbah B3 hingga tahun 2002. Peraturan pengangkutan yang menjadi acuan
adalah peraturan pengangkutan di Amerika Serikat. Peraturan tersebut terkait dengan hal
pemberian label, analisa karakter limbah, pengemasan khusus, dan sebagainya. Persyaratan
yang harus dipenuhi kemasan di antaranya ialah apabila terjadi kecelakaan dalam kondisi
pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah ke lingkungan dalam jumlah yang
berarti. Selain itu, kemasan harus memiliki kualitas yang cukup agar efektifitas kemasan
tidak berkurang selama pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbakar harus dilengkapi
dengan head shields pada kemasannya sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas
untuk mencegah kenaikan suhu yang cepat. Di Amerika juga diperlakukan rute pengangkutan
khusus selain juga adanya kewajiban kelengkapan Material Safety Data Sheets (MSDS) yang
ada di setiap truk dan di dinas pemadam kebarakan.
6. Upaya pemanfaatan dapat dilakukan melalui kegiatan daur ulang
(recycle), perolehan kembali (recovery) dan penggunaan kembali (reuse)
limbah B3 yang dlihasilkan ataupun bentuk pemanfaatan lainnya.

7. Pengolahan limbah B3 dapat dilakukan dengan cara thermal, stabilisasi,


solidifikasi secara fisika, kimia, maupun biologi dengan cara teknologi
bersih atau ramah lingkungan.
8. Kegiatan penimbunan limbah B3 wajib memenuhi persyaratan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999.

Beberapa metode penanganan limbah B3 yang umum diterapkan adalah sebagai berikut:
1. Metode Pengolahan secara Kimia,

Pengolahan air buangan secara kimia biasanya dilakukan untuk menghilangkan partikelpartikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa fosfor, dan zat
organik beracun; dengan membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan tergantung
jenis dan kadar limbahnya.
Proses pengolahan limbah B3 secara kimia yang umum dilakukan adalah stabilisasi/
solidifikasi. Stabilisasi/ solidifikasi adalah proses mengubah bentuk fisik dan/atau senyawa
kimia dengan menambahkan bahan pengikat atau zat pereaksi tertentu untuk
memperkecil/membatasi kelarutan, pergerakan, atau penyebaran daya racun limbah, sebelum
dibuang. Definisi stabilisasi adalah proses pencampuran limbah dengan bahan tambahan
dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi
toksisitas limbah tersebut. Solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan
berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga
sering dianggap mempunyai arti yang sama. Contoh bahan yang dapat digunakan untuk
proses stabilisasi/solidifikasi adalah semen, kapur, dan bahan termoplastik.
Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan
termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ
mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL
berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.

Gambar solidikasi/stabilisasi

Apabila konsentrasi logam berat di dalam air limbah cukup tinggi, maka logam dapat
dipisahkan dari limbah dengan jalan pengendapan menjadi bentuk hidroksidanya. Hal ini
dilakukan dengan larutan kapur (Ca(OH)2) atau natrium hidroksida (NaOH) dengan
memperhatikan kondisi pH akhir dari larutan. Pengendapan optimal akan terjadi pada kondisi
pH dimana hidroksida logam tersebut mempunyai nilai kelarutan minimum. Pengendapan
bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan dengan membubuhkan elektrolit yang
mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan koloidnya agar terjadi netralisasi
muatan koloid tersebut, sehingga akhirnya dapat diendapkan. Penyisihan logam berat dan
senyawa fosfor dilakukan dengan membubuhkan larutan alkali misalnya air kapur, sehingga
terbentuk endapan hidroksida logam-logam tersebut atau endapan hidroksiapatit. Endapan
logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10,5 dan untuk hidroksiapatit pada pH > 9,5.
Khusus untuk krom heksavalen, sebelum diendapkan sebagai krom hidroksida [Cr(OH)3],
terlebih dahulu direduksi menjadi krom trivalent dengan membubuhkan reduktor (FeSO4,
SO2, atau Na2S2O5).

Presipitasi adalah pengurangan bahan-bahan terlarut dengan cara menambahkan senyawa


kimia tertentu yang larut dan dapat menyebabkan terbentuknya padatan. Dalam pengolahan
air limbah, presipitasi digunakan untuk menghilangkan logam berat, sufat, fluoride, dan
fosfat. Senyawa kimia yang biasa digunakan adalah lime, dikombinasikan dengan kalsium
klorida, magnesium klorida, alumunium klorida, dan garam garam besi.
Adanya complexing agent, misalnya NTA (Nitrilo Triacetic Acid) atau EDTA (Ethylene
Diamine Tetraacetic Acid), menyebabkan presipitasi tidak dapat terjadi. Oleh karena itu,
kedua senyawa tersebut harus dihancurkan sebelum proses presipitasi akhir dari seluruh
aliran, dengan penambahan garam besi dan polimer khusus atau gugus sulfida yang memiliki
karakteristik pengendapan yang baik. Pengendapan fosfat, terutama pada limbah domestik,
dilakukan untuk mencegah eutrophicationdari permukaan. Presipitasi fosfat dari sewage
dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu penambahan slaked lime, garam besi, atau
garam alumunium.
Koagulasi dan Flokulasi digunakan untuk memisahkan padatan tersuspensi dari cairan jika
kecepatan pengendapan secara alami padatan tersebut lambat atau tidak efisien. Proses
koagulasi dan flokulasi adalah konversi dari polutan-polutan yang tersuspensi koloid yang
sangat halus didalam air limbah, menjadi gumpalan-gumpalan yang dapat diendapkan,
disaring, atau diapungkan.
Beberapa kelebihan proses pengolahan kimia antara lain dapat menangani hampir seluruh
polutan anorganik, tidak terpengaruh oleh polutan yang beracun atau toksik, dan tidak
tergantung pada perubahan konsentrasi. Pengolahan kimia dapat meningkatkan jumlah garam
pada effluent, meningkatkan jumlah lumpur sehingga memerlukan bahan kimia tambahan
akibatnya biaya pengolahan menjadi mahal.

1. Metode Pengolahan secara Fisik

Sebelum dilakukan pengolahan lanjutan terhadap air buangan, dilakukan penyisihan terhadap
bahan-bahan tersuspensi berukuran besar dan yang mudah mengendap atau bahan-bahan
yang terapung. Penyaringan atau screening merupakan cara yang efisien dan murah untuk
menyisihkan bahan tersuspensi yang berukuran besar. Bahan tersuspensi yang mudah
mengendap dapat disisihkan secara mudah dengan proses pengendapan. Parameter desain
yang utama untuk proses pengendapan ini adalah kecepatan mengendap partikel dan waktu
detensi hidrolis di dalam bak pengendap.
Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung seperti
minyak dan lemak agar tidak mengganggu proses pengolahan berikutnya. Flotasi juga dapat
digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau pemekatan
lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara ke atas (air flotation).
Proses filtrasi di dalam pengolahan air buangan, biasanya dilakukan untuk mendahului proses
adsorbsi atau proses reverse osmosis-nya, akan dilaksanakan untuk menyisihkan sebanyak
mungkin partikel tersuspensi dari dalam air agar tidak mengganggu proses adsorbsi atau
menyumbat membran yang dipergunakan dalam proses osmosa.
Proses adsorbsi, biasanya dengan karbon aktif, dilakukan untuk menyisihkan senyawa
aromatik misalnya fenol dan senyawa organik terlarut lainnya, terutama jika diinginkan untuk
menggunakan kembali air buangan tersebut.
Teknologi membran (reverse osmosis) biasanya diaplikasikan untuk unit-unit pengolahan
kecil, terutama jika pengolahan ditujukan untuk menggunakan kembali air yang diolah. Biaya
instalasi dan operasinya sangat mahal.
Evaporasi pada umumnya dilakukan untuk menguapkan pelarut yang tercampur dalam
limbah, sehingga pelarut terpisah dan dapat diisolasi kembali. Evaporasi didasarkan pada
sifat pelarut yang memiliki titik didih yang berbeda dengan senyawa lainnya.
Metode insinerasi atau pembakaran dapat diterapkan untuk memperkecil volume limbah B3.
Namun saat melakukan pembakaran perlu dilakukan pengendalian agar gas beracun hasil
pembakaran tidak mencemari udara. Pengolahan secara insinerasi bertujuan untuk
menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak
mengandung B3. Insinerator adalah alat untuk membakar sampah padat, terutama untuk
mengolah limbah B3 yang perlu syarat teknis pengolahan dan hasil olahan yang sangat ketat.
Ukuran, desain dan spesifikasi insinerator yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik
dan jumlah limbah yang akan diolah. Insinerator dilengkapi dengan alat pencegah pencemar
udara untuk memenuhi standar emisi.
Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75%
(berat). Teknologi ini bukan solusi terakhir dari sistem pengolahan limbah padat karena pada

dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang
tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas.
Kelebihan metode pembakaran adalah metode ini merupakan metode hemat uang di bidang
transportasi dan tidak menghasilkan jejak karbon yang dihasilkan transport seperti
pembuangan darat. Menghilangkan 10% dari jumlah limbah cukup banyak membantu
mengurangi beban tekanan pada tanah. Rencana pembakaran waste-to-energy (WTE) juga
memberikan keuntungan yang besar dimana limbah normal maupun limbah B3 yang dibakar
mampu menghasilkan listrik yang dapat berkontribusi pada penghematan ongkos.
Pembakaran 250 ton limbah per hari dapat memproduksi 6.5 megawatt listrik sehari
(berharga $3 juta per tahun).
Kerugian metode pembakaran adalah adanya biaya tambahan dalam pembangunan instalasi
pembakaran limbah. Selain itu pembakaran limbah juga menghasilkan emisi gas yang
memberikan efek rumah kaca.
Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi atau heating
value limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya
proses pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh
dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar
limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single
chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis
insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah
limbah padat, cair, dan gas secara simultan.
1. Metode Pengolahan secara Biologi

Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yang berkembang dewasa saat ini dikenal
dengan istilah bioremediasi dan fitoremediasi. Bioremediasi adalah penggunaan bakteri dan
mikroorganisme lain untuk mendegradasi/ mengurai limbah B3. Sedangkan fitoremediasi
adalah penggunaan tumbuhan untuk mengabsorbsi dan mengakumulasi bahan-bahan beracun
dari tanah. Kedua proses ini sangat bermanfaat dalam mengatasi pencemaran oleh limbah B3
dan biaya yang diperlukan lebih murah dibandingkan metode kimia atau fisik. Namun, proses
ini juga masih memiliki kelemahan. Proses bioremediasi dan fitoremediasi merupakan proses
alami sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama untuk membersihkan limbah B3,
terutama dalam skala besar. Selain itu, karena menggunakan makhluk hidup, proses ini
dikhawatirkan dapat membawa senyawa-senyawa beracun ke dalam rantai makanan di dalam
ekosistem.
Metode Pembuangan Limbah B3
1. Sumur dalam atau sumur injeksi (deep well injection)

Salah satu cara membuang limbah B3 agar tidak membahayakan manusia adalah dengan
memompakan limbah tersebut melalui pipa ke lapisan batuan yang dalam, di bawah lapisan-

lapisan air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Secara teori, limbah B3 ini akan
terperangkap di lapisan itu sehingga tidak akan mencemari tanah maupun air.

Gambar Sumur Injection


Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan
pengkajian yang integral terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan
bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan antara tahun
1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.
Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam
formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan
mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan
minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah
strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.
1. Kolam penyimpanan atau Surface Impoundments

Limbah B3 cair dapat ditampung pada kolam-kolam yang diperuntukkan khusus bagi limbah
B3. Kolam-kolam ini dilapisi lapisan pelindung yang dapat mencegah perembesan limbah.
Ketika air limbah menguap, senyawa B3 akan terkonsentrasi dan mengendap di dasar.
Kelemahan metode ini adalah memakan lahan karena limbah akan semakin tertimbun dalam
kolam, ada kemungkinan kebocoran lapisan pelindung, dan ikut menguapnya senyawa B3
bersama air limbah sehingga mencemari udara.
1. Landfill untuk limbah B3 atau Secure Landfills

Limbah B3 dapat ditimbun pada landfill, namun harus dengan pengamanan tingkat tinggi.
Pada metode pembuangan secure landfill, limbah B3 dimasukkan kedalam drum atau tongtong, kemudian dikubur dalamlandfill yang didesain khusus untuk mencegah pencemaran
limbah B3. Landfill harus dilengkapi peralatan monitoring yang lengkap untuk mengontrol
kondisi limbah B3 dan harus selalu dipantau. Metode ini jika diterapkan dengan benar dapat
menjadi cara penanganan limbah B3 yang efektif. Metode secure landfillmerupakan metode
yang memiliki biaya operasi tinggi, masih ada kemungkinan terjadi kebocoran, dan tidak
memberikan solusi jangka panjang karena limbah akan semakin menumpuk.

sumber : http://www.bangazul.com/pengelolaan-limbah-bahan-berbahaya-dan-beracun-b3/

SISTEM PENGELOLAAN LIMBAH B3


Sistem pengelolaan limbah B3 terdiri dari beberapa komponen kegiatan yang menunjang
penanganan dan pembuangan limbah B3 secara aman. Komponen kegiatan ini meliputi :
penyimpanan, pengangkutan, pengolahan fisik-kimia, pendaur ulangan, pembakaran
(incineration), pemadatan (solidifikasi) dan pemantapan ikatan (stabilisasi) serta penanaman
(landfill).
Apabila seluruh komponen tersebut dibangun bersama di satu lokasi, maka disebut sebagai
Pengolah/ Penyimpan/ Pembuangan (Treatment/ Storage/ Disposal =TSD). Secara garis
besar, tiap komponen kegiatan penanganan limbah B3 dapat diuraikan sebagai berikut :
PENYIMPANAN
Penyimpanan merupakan kegiatan penampungan sementara limbah B3 sampai jumlahnya
mencukupi untuk diangkut atau diolah, hal ini dilakukan dengan pertimbangan efisiensi dan
ekonomis.
Limbah B3 yang dapat disimpan meliputi semua tipe limbah B3 dalam drum di dalam
gudang, limbah B3 cair dalam tangki penimbunan (bulk tank), limbah B3 dalam bentuk
lumpur disimpan dalam bak yang dasarnya dilapisi.
Penyimpanan dalam jumlah banyak (bulk waste) dapat dilakukan di lokasi penghasil limbah
yang merupakan pengumpulan limbah dari satu wilayah atau dikumpulkan di lokasi
pembakaran (incineration), pengolahan atau pembuangan limbah B3.
PENGANGKUTAN
Kendaraan yang digunakan mengangkut limbah B3 dari penghasil ke penerima umunya
berupa truk, namun kadang-kadang juga kereta api atau kapal antar pulau.
Pengangkutannya biasanya dengan mengemas limbah B3 dalam kontainer, antara lain drum
berkapasitas 200 liter, drum berlapis atau kontainer plastik, bahan untuk limbah B3 cair,
dalam jumlah besar digunakan tanker seperti tanker minyak. Sedangkan untuk limbah B3
padat digunakan kotak metal lugger box).
PENGOLAHAN FISIK-KIMIA
Beberapa jenis limbah B3 memerlukan pengolahan awal (pre-treatment) sebelum dapat
dibuang atau didaur ulangkan. Pengoolahan awal ini dimaksudkan antara lain untuk
mengurangi atau menghilangkan racun (detoxify) dan mempersiapkan untuk pengolahan
berikutnya. Adapun limbah B3 yang memerlukan pengolahan awal fisik-kimia antara lain
Sianida, yang memerlukan pengolahan awal penghancuran sianida, larutan logam berat
memerlukan reduksi chrom hexavalent menjadi trivalent dan terjadi endapan (presipitasi)

logam, air limbah mengandung minyak memerlukan pamisahan, asam dan basa memerlukan
pengolahan untuk dinetralisirkan.
DAUR ULANG (RECYCLING)
Beberap jenis limbah B3 dapat digunakan kembali sehingga tidak perlu dibuang. Kegiatan
penyiapan limbah untuk penggunaan lain disebut pen DAUR ULANG an (recycling).
Sebagai contoh limbah pelarut dapat disaring, didestilasi dan dijual kembali, olie bekas
setelah didestilasi dapat digunakan sebagai pelumas mobil. Lempengan timbal (Pb) dari accu
mobil dapat dilebur kembali dan dibuat produk timbal (Pb) baru. Pendaurulangan saat ini
menjadi bagian penting bagi pengolahan limbah di Indonesia.
PEMBAKARAN (INCINERATION)
Pembakaran limbah secara terkendali dimaksudkan untuk mengurangi volume dan untuk
menghasilkan residu yang berkurang sifat racunnya. Pembakaran biasanya dilakukan bagi
limbah organik seperti lumpur minyak, residu pestisida dan bahan farmasi yang telah
memenuhi syarat dan lain-lain.
Incinerator untuk limbah B3 dioperasikan dengan suhu 1800C dengan waktu tinggal
(residence item) sampai 2 (dua) detik. Dalam hal ini diperlukan sistem pengendalian
pencemaran udara untuk mengatur emisi yang keluar ke atmosfer agar tetap dalam batas yang
diperkenankan. Sisa pembakaran perlu ditanam (landfill) di lokasi pengolahan limbah B3.
SOLIDIFIKASI/STABILISASI
Solidifikasi/stabilisasi merupakan salah satu cara pengolahan limbah cair dan limbah lumpur,
untuk menjadikan kontaminan yang terkandung dalam limbah tersebut tidak aktif dan untuk
mengurangi kandungan air bebas sebagai pesiapan penanaman (landfilling) limbah yang
aman. Dalam kegiatan ini, yang paling umum dilakukan adalah penggunaan semen untuk
mengolah limbah organik seperti logam berat dalam lumpur (sludge). Dalam hal ini proses
solidifikasi akan menghasilkan limbah padat dan kering dimana logam beratnya secara fisikkimia terikat dalam ikatan limbah. Limbah B3 yang telah melalui proses solidifikasi sudah
siap untuk ditanam (landfill) secara aman. Solidifikasi umumnya digunakan untuk limbah B3
tipe cair dan lumpur (sludge) anorganik.
PENANAMAN SECARA AMAN (SECURE LANDFILLING)
Penanaman secara aman merupakan penempatan limbah B3 padat yang telah mengalami
pengolahan awal secara terkendali ke suatu lokasi penanaman (landfill) yang telah dirancang
secara khusus untuk menahan pencemar agar tidak terkontaminasi keluar ke lingkungan.
Landfill untuk limbah B3 dibangun dengan kedalaman beberapa meter, dengan lapisan
lempung yang dipadatkan serta diberi satu atau dua lapisan sintetis untuk menahan rembesan
pencemar ke lingkungan. Penanaman (landfill) ini harus memiliki sistem pemantauan untuk
mendeteksi adanya kebocoran dan dilengkapi dengan penutup atas untuk melindungi dari
hujan. Perancangan pengoperasian tempat penanaman yang aman ini memerlukan pengkajian
kondisi geologi dan kondisi air tanah.

Limbah B3 padat dan residu dari proses solidifikasi, abu dari pembakaran, sisa proses daur
ulang dan sisa pengolahan fisik-kimia ditangani dengan menanam secara aman. Demikian
juga katalis, ter (heavy tars), lumpur (sludge) anorganik dan berbagai macam limbah yang
tidak dapat diolah atau diproses lagi, juga ditanam untuk mengurangi resiko.

1. Penyimpanan dan Pengumpulan


Penyimpanan sementara limbah B3 adalah bagian pengelolaan limbah B3 yang bertujuan
menyimpan sementara limbah B3 yang dihasilkan sendiri di lokasi penghasil limbah B3
sampai dengan suatu keekonomisan pengelolaan lebih lanjut tercapai
Menyimpan limbah B3 maksimal 90 hari, kecuali bagi penghasil dengan jumlah timbulan
limbah B3 lebih kecil dari 50 kg per hari
Pengumpulan limbah B3 adalah bagian pengelolaan limbah B3 yang bertujuan menyimpan
sementara limbah yang dihasilkan dari beberapa sumber di luar lokasi penghasil sampai
dengan suatu keekonomisan pengelolaan lebih lanjut tercapai.
Pengumpulan limbah B3 maksimal 90 hari
2. Pengangkutan limbah B3
Pengangkutan limbah B3 adalah bagian dari pengelolaan limbah B3 yang bertujuan untuk
memindahkan limbah B3 dari satu pelaku ke pelaku yang lain
Harus mendapat rekomendasi dari KLH(Kementrian Lingkungan Hidup) dan ijin dari
Departemen Perhubungan.
Harus memiliki dokumen limbah B3
Pengangkutan limbah B3 harus menggunakan alat angkut khusus yang dirancang
sedemikian rupa yang dapat menjamin keamanan dan keselamatan proses pengangkutan
Melaporkan kegiatan pengangkutan limbah B3.

Twitter

Facebook

GONJANG-GANJING MENCARI ILMU


Do what you love. Love what you do...
Sabtu, 16 April 2016
Sistem Penanganan dan Pengelolaan Limbah
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi tidak hanya membuat manusia sejahtera, tetapi
meninggalkan dampak negatif karena limbah dan pencemaran yang ditimbulkan.
Industri memang menyisakan limbah di lingkungan dan sering disebut-sebut
sebagai pemasok terjadinya pencemaran.
Limbah adalah bahan buangan tidak terpakai yang berdampak negatif
terhadap masyarakat jika tidak dikelola dengan baik. Limbah adalah sisa
produksi, baik dari alam maupun hasil dari kegiatan manusia.
Berbagai macam limbah dapat dikelola dan diolah agar tidak berbahaya
bagi lingkungan hidup. Limbah padat biasanya dapat didaur ulang kembali agar
dapat bermanfaat lagi dan digunakan untuk bahan produksi kembali. Berbagai
metode atau teknologi penanganan limbah cair pun telah banyak dikembangkan.
Untuk itu perlu adanya pengolahan limbah-limbah tersebut untuk mengantisipasi
atau meminimkan akibat pencemaran yang terjadi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari pengolahan limbah?
2. Bagaimana cara pengolahan air limbah?
3. Apa pengertian dari limbah B3?
4. Bagaimana cara penanganan dan pengelolaan limbah B3?
5. Bagaimana cara pengolahan limbah B3?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian pengolahan limbah.
2. Untuk mengetahui cara pengolahan air limbah.
3. Untuk mengetahui pengertian limbah B3.
4. Untuk mengetahui cara penanganan dan pengelolaan limbah B3.
5. Untuk mengetahui pengolahan limbah B3.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengolahan Limbah
Pengolahan limbah merupakan suatu proses yang dilakukan agar dapat
menghilangkan zat-zat yang tidak di inginkan (tidak baik) yang biasanya disebut
dengan kontaminan dari air limbah. Proses yang digunakan dapat dilakukan
dengan cara-cara biologis, kimiawi maupun fisika.
Terdapat beberapa cara pengolahan air limbah pada suatu wilayah
khususnya untuk limbah rumah tangga, fasilitas sosial maupun umum serta
industri, diantaranya terdapat 6 cara yaitu dengan cara :
1. Pembuangan dengan Sistem Pengenceran
Pada badan air dengan permukaan yang besar, seperti laut, sungai, telaga
maupun danau, limbah cair dari perumahan atau dari masyarakat dapat secara
langsung dibuang ke badan air tersebut. Dalam hal ini, pipa pemasukan limbah
cair ke badan air harus bermuara pada satu titik yang benar-benar berada
dibawah permukaan air atau air laut yang terendah, atau biasanya di dekat
dasar badan air penerima. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin pengencerab
2.

secara sempurna limbah cair yang dihasilkan saat musim kemarau.


Penggunaan Sumur Peresapan
Sumur peresapan menerima efluen dari kolam pembuangan, jamban air serta
tangkai pembusukan dan meresapkannya ke dalam tanah. Sumur peresapan
terdiri dari sebuah lubang bulat dalam tanah yang digali cukup dalam menembus
1,8 meter atau lebih kelapisan tanah yang berpori. Lubang biasanya dibuat
dengan diameter 1,0 2,5 meter dan kedalaman 2-5 meter. Dinding lubang
diperkuat dengan pasangan bata atau batu kali tanpa adukan semen dibawah
ketinggian pipa inlet. Sumur peresapan harus ditutup dengan penutup rapat
yang akan mencegah masuknya nyamuk, lalat, serta air permukaan. Minimal
terdapat jarak 5 meter dari sumur atau sumber air minum dari sumur peresapan,
dan paling tidak penempatannya pada tanah yang lebih rendah dibandingkan

3.

dari sumber air minum tersebut.


Penggunaan Kolam Pembuangan
Kolam pembuangan merupakan lubang tertutup yang menerima buangan
limbah cair kasar. Kolam pembuangan dapat berupa tipe kedap air ataupun tipe
rembes air. Kolam pembuangan harus di tempatkan paling tidak 15 meter dari
sumur serta lebih rendah dari sumur, agar dapat mencegah terjadinya
pencemaran bahan-bahan kimia, sedangkan untuk kolam pembuangan yang

lebih tinggi dari sumur, jarak antar sumur dan kolam pembuangan tersebut
minimal sejauh 45 meter. Kolam pembuangan tipe rembes air harus di
4.

tempatkan sekurang-kurangnya pada jarak 6 meter di luar fondasi rumah.


Penangkap Lemak
Limbah cair dari dapur besar, seperti dapur hotel rumah sakit maupun
perkantoran kemungkinan mengandung banyak lemak yang dapat masuk ke
tangki pembususkan bersama-sama dengan efluen dan dapat menyumbat poripori media penyaringan pada bidang peresapan. Penangkap lemak disini dapat
memasukan limbah cair yang panas darpada cairan yang sudah ada dalam bak
dan didinginkan olehnya. Hasilnya, kandungan lemak akan menjadi beku dan
secara otomatis akan naik ke permukaan, sehingga pengambilan dapat

5.

dilakukan secara berkala.


Penggunaan Sistem Tangki Pembusukan
Salah satu cara pengolahan limbah adalah dengan tangki pembusukan.
Tangki pembusukan digunakan untuk menangani buangan dari masing-masing
rumah, kelompok perumahan atau perkantoran yang berada diluar radius
pelayanan sistem saluran limbah cair suatu wilayah. Pada tangki pembusukan,
terdapat tangki pengendap yang harus dalam keadaan tertutup. Melalui saluran
limbah cair kasar akan dimasukan kedalam tangki tersebut. Pengolahan tahap
pertama terjadi di dalam tangki pembusukan, sedangkan untuk pengolahan

6.

tahap kedua terjadi di bidang peresapan efluen.


Saluran Limbah Cair Bangunan
Saluran limbah cair bangunan merupakan bagian dari perpipaan horizontal
dari sistem drainase bangunan yang membentang mulai dari satu titik yang
berjarak 1,5 meter di luar sisi dalam fondasi tembok bangunan rumah sampai ke
sambungan saluran limbah cair umum atau unit pengolahan limbah cair
perorangan.
Sedangkan untuk sistem penanganan limbah untuk rumah tangga, rumah
sakit serta industri adalah sebagai berikut :

1. Penanganan Limbah Rumah Tangga


Untuk kawasan perumahan dan pemukiman dimana lahan tersedia cukup luas
dapat digunakan sistem on-site, limbah dibuang ke fasilitas sanitasi (sumur
resapan dan septik tank) yang dimiliki masing-masing rumah.
Untuk kawasan perdagangan dan jasa, limbah ditangani dengan sistem on-site
skala komunal karena hal ini akan lebih efektif dan ekonomis. Air limbah yang
dihasilkan dari tiap-tiap blok disalurkan kedalam sistem perpipaan selanjutnya
diolah bersama sebelum diresapkan.

Untuk pengolahan akhir limbah domestik lumpur tinja, perlu direncanaka IPLT
(instalasi pengolahan lumpur tinja) untuk mengolah efluen septik tank yang akan
melayani seluruh wilayah dengan harapan tidak terjadi lagi pembuangan limbah
pekat ke saluran drainase.
2. Penanganan Limbah Rumah Sakit
Setiap rumah sakit harus mempunyai fasilitas dan peralatan pengolahan limbah
cair dan mengelolanya dengan baik;
Setiap rumah sakit harus melakukan monitoring dan pengawasan terhadap
limbah cairnya ke badan air;
Monitoring dan pengawasan tersebut harus dilaporkan dan di awasi langsung
oleh instansi berwenang;
Pengolahan limbah beracun seperti limbah cair sisa obat-obatan, dan suntikan,

harus dipisahkan dari pengolahan limbah cair yang bersifat non toksik.
Penanganan Limbah Industri
Untuk limbah cair industri:
Fasilitas pengolahan limbah yang ada hendaknya dapat dimanfaatkan dengan

baik.
Industri harus memisahkan limbah cair organik, anorganik dan toksis.
Setiap industri harus mempunyai fasilitas dan peralatan pengolahan limbah cair

3.

dan mengelolanya secara optimal.


Untuk limbah cair industri rumah tangga:
Bagi industri rumah tangga, pemerintah harus melakukan inventarisasi jumlah
dan jenis industrinya guna memudahkan monitoring dan pengawasan.
Pengadaan penyuluhan serta bimbingan mengenai limbah cair dan juga
diwajibkan mengolah limbah cair dengan sistem pengolahan limbah yang
sederhana sebelum dibuang ke saluran atau selokan.
Monitoring dan pengawasan tersebut harus dilaporkan dan di awasi oleh instansi
B.
1.

yang berwenang.
Limbah (B3) Bahan Berbahaya dan Beracun
Pengertian Limbah B3
Menurut PP No.18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa
suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung

bahan berbahaya atau

beracun yang karena sifat atau konsentrasinya dan atau jumlahnya. Baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan atau merusak lingkungan
hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan
hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Sedangkan menurut BAPEDAL (1995) yaitu setiap bahan sisa (limbah) suatu
kegiatan proses produksi yang mengadung bahan berbahaya dan beracun (B3)
karena sifat (toxicity, flammabillity, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi

atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
2.

merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.


Tujuan Pengelolaan Limbah B3
Tujuan pengelolaan B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3
serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga
sesuai dengan fungsinya kembali. Dari hal ini jelas bahwa setiap usaha yang
berhubungan dengan B3, baik penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat,
pengolah dan penimbun B3, harus memperhatikan aspek lingkungan dan

menjaga kualitas lingkungan tetap pada kondisi semula.


Identifikasi Limbah B3
Pengidentifikasian limbah B3 digolongkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu:
a. Berdasarkan Sumbernya
Golongan limbah B3 berdasarkan sumbernya dibagi menjadi:
Limbah B3 dari sumber spesifik.
Limbah B3 dari sumber tidak spesifik.
Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan dan
b.

buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.


Berdasarkan Karakteristik
Sedangkan golongan limbah B3 yang berdasarkan karakteristik ditentukan

dengan:
Mudah meledak
Pengoksidasi
Sangat mudah sekali menyala
Sangat mudah menyala
Mudah menyala
Sangat beracun
Beracun
Berbahaya
Korosif
Bersifat iritasi
Berbahaya bagi lingkungan
Teratogenik
Karsinogenik
Teratogenik
Mutagenik
3. Pengelolaan dan Pengolahan Limbah B3
Pengelolaan limbah B3 meliputi kegiatan pengumpulan, pengangkutan,
pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan.
Dalam pengelolaan limbah B3 harus mendapat perizinan dan kementrian
Lingkungan Hidup (KL:H) dan setiap aktivitas tahapan pengelolaan limbah B3
harus dilaporkan ke KLH. Dan untuk aktifitas pengelolaan limbah B3 di daerah,
aktifitas kegiatan pengelolaan selain dilaporkan ke KLH juga ditembuskan ke
Bapelda setempat.
Pengeloloaan limbah B3 mengacu pada Keputusan Kepala Pengendalian
Dampak Lingkungan (Bapelda) No. Kep-03/BAPELDA/09/1995 tertanggal 5

September 1995 tentang Perssyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan


Berbahaya dan Beracun.
Pengolahan limbah B3 harus memenuhi persayaratan:
a.

Lokasi Pengolahan.
Pengolahan B3 dapat dilakukan di dlam lokasi penghasil limbah atau di luar

lokasi penghasil limbah. Syarat lokasi pengolahan di dalam area harus:


Daerah bebas banjir
Jarak dengan fasilitas umum mimimum 50 meter.
b. Syarat lokasi pengolahan di luar area penghasil harus:
Daerah bebas banjir
Jarak dengan jalan utama/tol minimum 150 meter atau 50 meter untuk jalan
-

lainnya.
Jarak dengan daerah beraktifitas penduduk dan aktivitas umum minium 300 m.
Jarak dengan wilayah perairan dan sumur penduduk minimum 300 m.
Dan Jarak dengan wilayah terlindungi (seperti cagar alan, hurtan lindung)

minimum 300 m)
Fasilitas Pengolahan.
Fasilitas pengolahan harus menerapkan sistem operasi,meliputi:
Sistem keamanan fasilitas
Sistem pencegahan terhadap kebakaran
Sistem penanggulangan keadaan darurat
Sistem pengujian peralatan
Dan pelatihan karyawan
4. Penanganan Limbah B3 Sebelum Diolah
Setiap limbah B3 harus diidentifikasi dan dilakukan uji analisis kandungan
c.

guna menetapkan prosedur yang tepat dalam pengolahan limbah tersebut.


Setelah uji analisis kandungan dilaksanakan, barulah dapat ditentukan metode
5.

yang tepat guna pengolahan limbah tersebut dengan karakteristik limbah.


Pengelolaan Limbah B3
Jenis perlakuan terhadap limbah B3 tergantung pada karakteristik dan
kandungan limbah. Perlakuan limbah B3 untuk pengolahan dapat dilakukan

dengen proses sebagai berikut.:


Proses secara kimia, meliputi redoks, elektrolisa, netralisasi, pengendapan.
Proses secara fisika, meliputi pembersihan gas, pemisahan cairan dan

penyisihan komponen-komponen spesifik dengn metode kristalisasi.


Proses Stabilisas/solidiffikasi, dengen tujuan untuk mengurangi potensi racun
dan kandungan limbah B3 dengan cara membatasi larutan,penyebaran, dan

daya racun sebelum limbah dibuang ke tempat penimbun akhir.


Proses insinerasi, dengan cara melakukan pembakaran materi limbah dengan
menggunakan alat khusus insinerator dengan efesisensi harus menccapai 99,99
% atau lebih. Artinya jik asesuatu materi limbah B3 ingin dibakar (insinerasi)
dengan berat 100 kg, maka abu sisa pembakaran tidk boleh melebihi 0.01 kg
atau 10 gr.

6.

Hasil Pengolahan Limbah B3


Memiliki tempat khusus pembuangan akhir limbah B3 yang telah diolah dan
dilakukan pemantauwan di area tempat pembuangan akhir tersebut dengan
jangka 30 tahun setelah pembuangan akhir habis habis pakainya atau ditutup.
Perlu diketahui bahwa keseluruhan proses pengolahan termasuk penghasil
limbah B3, harus melaporkan aktivitasnya ke KLH dengan periode triwulan (tiga
bulan sekali).

7.

Teknologi Pengolahan
Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang
paling

populer

di

antaranya

ialah

chemical

conditioning,

Solidification/Stabilization dan Inceneration.


Salah satu teknolnogi pengolahan limbah B3 adalah Chemical Conditioning
.Tujuan utama metode ini adalah:

Menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung dalam lumpur


Mereduksi volume dengan mengurangi kandunga air dalam lumpur
Mendrestruksi Organisme Patogen
Memanfaatkan hasil samping proses Chemical Condistioning yang masih memiliki

nila ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses digestion.
Mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman
dan dapat diterima lingkungan.
Chemical Condistioning
Chemical Conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:
1) Conceentration Thickening
Tahapan ini bertujuan mengurangi volume lumpur yang vakan diolah dengan
a.

cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang digunaka dalam tahapan ini
ialah gravity Thickener dan Solid bowl centrtufuge. Tahapan ini pada sasarnya
merupakan tahapan awal sebalum limbah dikurangi kadar airnya pada tahap de2)

waterin Selanjutnya.
Treatnen, Stabilization and Conditioning
Tahapan ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan
patogen. Proses Stabilisasi dapat dilakukan melalui proses penfgkondisian secara
kimia, fisika dan biologi.
Proses kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahanbahan kimia dengan partikel koloid, Pengkondisian fisika berlangsung dengan
jalann memisahkan bagan-bahan kimia dan koloidd dengan cara pencucian dan
destruksi. Pengkonsisian secara biologi berlangsung dengan adanya proses
destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlihat

padatahapan ini adalah Lagooning, anaerobic, chemical condistioning dan


3)

eluctriation.
De-watering and drying
Tahapan ini bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air
sekaligus mengurangi volume lumpur.
Proses yang tgerlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi.
Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press, centrtrifuge, vacuum

4)

filter dan belt press.


Disposal
Disposal adalah proses pembuangan akhir limbah B3.Beberapa proses yang
terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah prolysis<wet air oxidation, dan
Composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya ialah Sanitary

b.

landfill, crop land, atau injection well.


Solidification/Stabilization
Stabilization didefinisikan sebagai proses pencampuran limbah dengan
bahwan (aasitif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari
limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi
didefinisikan

sebagai

proses

pemadatan

suatu

bahan

berbahya

dengan

menambahkan bahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali sehingga sering


dianggap mempunyai arti yang sama.
Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanisme dapat dibagi menjadi 6
golongan, yaitu:
Macrodencapsulation,yaitu dimana bahan bakarnya dalam limbha dibungkus
dalam matriks struktur yang besar.
Microencapsulation, proses yang micrip dengn macroencapsulaion tetapi bahan
pencemar

terbungkus

secara

fisik

dalam

struktur

kristal

pada

tingat

miicroskopiik
Adsorpsi, Proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan
pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
Absorbsi, Yaitu prose solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkan ke bahan
padat.
Detoxification, Proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain
yang tingnkat toksifitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali.
Teknologi

solidifikasi/stabilisasi

umumnta

menggunakan

seman,

kapur

(CaOH2) dan bvahan termoplastik, Metode yang diterapkan di lapangan ialah


metode in-drum- mixing, in-situ-mixing dan plant mixing Peraturan mengenai
solidifikasi/stabilisasi

diatur

oleh

BAPEDAL

03/BAPEDAL/09/1995/ dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.


c.

Inceneration

berdasarkan

Kep-

Teknologi Inceneration adalah alternatif yang menarik dalam teknologi


pengelolaan liombah, ininerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga
90% (volume) dan 75 (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari
sistem pengolahan limbah padatkarena pada dasarnya hanya memindahkan
limbah dari bentuk padat kasat mata ke bentuk gas yang tak kasat mata. Proses
ininerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, ininerasi memliki
beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat
dihancurkan

dan

limbah

berkuragn

dengan

cepat,

Selain

itu

ininerasi

memerlukan lahan yang relatif kecil.


Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi
(heating value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan
berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menetukan banyaknya
energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling
umum diterapkan untuk membakar limbah pada B3 ialah ritory kiln, multiple
hearth, fluidized bed, open pit, single chamber,multiple chamber, aqueous waste
injection,dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln
mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair,
dan gas secara simultan.
Proses Pembakaran (Inceneration) Limbah B3
Limbah B3 kebanyakan terdiri dari karbon, hydrogen dan oksigen. Dapat juga
mengandung halogen, sulfur, nitrogen dan logam berat. Dan hadirnya elemen
lain dalam jumlah kecil tidak mengganggu proses oksidasi limbah B3. Struktur
molekul umumnya menentukan bahaya dari suatu zat organic terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan. Bila molekul limbah dapat dihancurkan dan
di ubah menjadi karbon dioksida (
senyawa

organik

akan

), air dan senyawa anorganik, tingkat

berkurang.

Untuk

penghancuran

dengan

panas

merupakan salah satu teknik untuk mengolah limbah B3.


Inceneration adalah alat untuk menghancurkan limbah berupa pembakaran
dengan kondisi terkendali. Limbah dapat terurai dari senyawa organik jadi
senyawa sedarhana seperti

dan

O.

Incenerator efektif terutama untuk buangan organik dalam bentuk padat,


cair, gas, lumpur cair dan lumpur padat. Proses ini tidak biasa digunakan limbah
organik seperti lumpur logam berat (heavy metal sludge) dan asam anorganik.

Zat karsinogenik patogenik dapat dihilangkan dengan sempurna bila insenerator


dioprasikan.
Incenerator

memiliki

kelebihan,

yaitu

dapat

menghancurkan

berbagai

senyawa organik dengan sempurna, tetapi terdapat kelemahan yaitu operator


harus yang sudah terlatih. Selain itu biaya investasi lebih tinggi dibandingkan
dengan metode lain dan potensi emisi ke atmosfir lebih besar bila perencanaan
tidak sesuai dengan kebutuhan operasional.
Hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat disebut pencemaran, misalnya
udara berbau tidak sedap, air berwarna keruh, tanah ditimbuni sampah. Hal
tersebut dapat berkembang dari sekedar tidak diingini menjadi gangguan. Udara
yang tercemar baik oleh debu, gas maupun unsur kimia lainnya dapat
menyakitkan saluran pernafasan, mata menjadi pedas atau merah dan berair.
Bila zat pencemar tersebut mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3),
kemungkinan dapat berakibat fatal.
Terkait dengan hal ini, UU No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak dikenal dengan istilah sampah, namun
digunakan istilah Limbah sebagaimana tercantum dalam pasal 1 angka 20
dikatakan bahwa Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan (yang
sudah tidak bisa dipakai lagi).
Banyak sekali permasalahan yang terjadi seputar pengelolaan limbah
khususnya limbah hasil kegiatan industri yang mengandung unsur bahan
berbahaya dan beracun (B3).
Bahan berbahaya dan beracun menjadi sebuah ancaman bagi kelestarian
lingkungan yang memerlukan keseimbangan dalam lingkaran rantai ekosistem.
Limbah industri baik berupa gas, cair maupun padat umumnya masuk
kategori atau dengan sifat limbah B3.
Kegiatan industri bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, ternyata juga
menghsilkan limbah sebagai pencemar lingkungan perairan, tanah, dan udara.
Limbah cair, yang dibuang ke perairan akan mengotori air yang dipergunakan
untuk berbagai keperluan dan mengganggu kehidupan biota air. Limbah padat
akan mencemari tanah dan sumber air tanah.

Limbah gas yang dibuang ke udara pada umumnya mengandung senyawa


kimia berupa Sox, NOx, CO dan gas-gas lain yang tidak diinginkan. Adanya SO2
dan NOx diudara dapat menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat
menimbulkan kerugian karena merusak bangunan, ekosistem perairan, lahan
pertanian dan hutan.
Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang sangat ditakuti adalah
limbah dari industri kimia. Limbah pada industri kimia pada umumnya
mengandung berbagai macam unsur logam berat yang mengandung berbagai
macam unsur logam berat yang mempunyai sifat akumulatif dan beracun (toxic)
sehingga berbahaya bagi kesehatan manusia.
Limbah B3 secara nyata telah menciptakan dampak negatif bagi lingkungan
hidup serta kelangsungan hidup dari semua makhluk hidup yang ada.
8.

Jenis dan Karakteristik


Limbah B3 diidentifikasi sebagai bahan kimia dengan satu atau lebih
karakteristik. Menurut sifat atau karakternya, limbah B3 dibedakan menjadi: (1)
mudah meledak; (2) mudah terbakar; (1) bersifat reaktif; (4) beracun; (1)
penyebab infeksi; dan (6) bersifat korosif. Sedangkan ditinjau dari sumbernya,
maka limbah B3 dikategorikan menjadi 3 (tiga) yaitu limbah B3 sumber specifik,
sumber tidak specifik, dan bahan kimia kadaluarsa; tumpahan; sisa kemasan;

buangan produk yang tidak memenuhi specifikasi.


Limbah mudah meledak diartikan sebagai limbah yang melalui reaksi kimia dapat
menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat
merusak lingkungan.
Limbah mudah terbakar adalah limbah yang bila berdekatan dengan api, percikan
api, gesekan atau sumber nyala lain akan mudah menyala atau terbakar dan bila
telah menyala akan terus terbakar hebat dalam waktu lama.
Limbah reaktif merupakan limbah yang menyebabkan kebakaran karena
melepaskan atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak
stabil dalam suhu tinggi.
Limbah beracun adalah limbah yang mengandung racun yang berbahaya bagi
manusia dan lingkungan. Limbah B3 dapat menimbulkan kematian atau sakit bila
masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut.
Limbah yang menyebabkan infeksi adalah limbah labolatorium yang terinfeksi
penyakit atau limbah yang mengandung kuman penyakit, seperti bagian tubuh
manusia yang diamputasi dan cairan tubuh manusia yang terkena infeksi.

Limbah yang bersifat korosif adalah limbah yang menyebabkan iritasi pada kulit
atau mengkorosikan baja, yaitu memiliki pH sama atau kurang dari 2,0 untuk
limbah bersifat asam dan lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat biasa.
C. Pengelolaan Limbah B3
Keberadaan limbah B3 yang berdampak negatif bagi lingkungan inilah
yang melatar belakangi perlunya payung hukum dalam hal pengelolaan limbah
B3, hal ini ditambah lagi dengan fakta bahwa Indonesia telah menjadi salah
negara tempat pembuangan limbah B3 dari negara lain.
Pengelolaan limbah B3 adalah hal yang penting dan harus dilakukan oleh
setiap industri yang menghasilkan. Dalam pengelolaan limbah B3 ini, prinsip
pengelolaan dilakukan secara khusus yaitu from cradle to grave. Pengertian from
cradle to grave sendiri adalah pencegahan pencemaran yang dilakukan dari
sejak dihasilkannya, limbah B3 sampai dengan ditimbun/dikubur(dihasilkan,
dikemas, digudangkan/penyimpanan, ditransportasikan, didaur ulang, diolah dan
ditimbun/dikubur).
Pada setiap fase pengelolaan limbah tersebut ditetapkan upaya pencegah
pencemaran terhadap lingkungan dan yang menjadi penting adalah karakteristik
limbah B3 nya, hal ini karena setiap usaha pengelolaannya harus dilakukan
sesuai dengan karateristiknya.
Pengelolaan limbah B3 ini harus dilakukan oleh setiap industri yang
menghasilkan limbah B3 pada setiap kegiatan/usahanya. Tujuan dari pengelolaan
dan pengolahan limbah B3 ini secara umum dapat dikatakan adalah untuk
memisahkan sifat berbahaya yang terdapat dalam limbah tersebut.
Hal ini harus dilakukan agar limbah B3 ini tidak mencemari atau pun
merusak lingkungan hidup tempat dimana mahluk hidup berada. Dengan
adanaya pengelolaan dan pengolahan limbah B3 ini, barulah limbah tersebut
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lebih lanjut.
Pemanfaatan limbah ini sendiri dapat berupa penggunaan kembali atau reuse, daur ulang Recycle, dan perolehan kembali atau recovery. Pemanfaatan ini
harus berpedoman pada prinsip agar aman bagi kesehatan manusia dan
lingkungan, memiliki proses produksi yang handal serta memiliki standard
produk mutu yang baik.
Untuk limbah B3 yang sudah tidak dapat dimanfaatkan atau diolah
kembali maka harus ditimbun di landfill. Penimbunan limbah ini harus dilakukan
oleh sebah badan usaha yang telah mendapatkan ijin dari KLH serta dengan
melaporkan kegiatan penimbuhan tersebut.
Dasar Hukum

Mengingat begitu pentingnya permasalahan pengolhan dan pemanfaatan


limbah B3 ini, maka pemerintah memandang perlu untuk membuat peraturan
perundang-undangan

guna

mengatur

limbah

B3

ini.

Peraturan-peraturan

tersebut diantaranya adalah:


Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
Lingkungan Hidup.
PP RI Nomor 18 Tahun 1999 Jo. PP Nomor 85 Tahun 1999 tentang pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai revisi dari PP RI Nomor 19 Tahun
1994 Jo. PP RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang pengelolaan Libah B3.
Kepdal 01/BAPEDAL/09/1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan

teknis

Penyimpanan dan pengumpulan Limbah B3.


Kepdal 02/BAPEDAL/09/1995 tentang Dokumen Limbah B3
Kepdal 03/BAPEDAL/09/1995 tentang persyaratn Teknis pengelolaan limbah.
Kepdal 04/BAPEDAL/09/1995 tentang Tata Cara Penimbunan Hasil pengolahan,
persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan dan Lokasi penimbunan Limbah B3.
Kepdal 05/BAPEDAL/09/1995 tentang Simbol dan Label
Kepdal 68/BAPEDAL/05/1994 tentang tata cara memperoleh ijin pengelolaan
Limbah
Kepdal 02/BAPEDAL/01/1998 Tata Laksana Pengawasan Pengelolaan Limbah B3
Kepdal 03/BAPEDAL/01/1998 tentang program kendali B3
Kepdal 255/BAPEDAL/08/1996 tentang Tata Cara dan Persyaratan Penyimpanan
dan Pengumpulan Minyak Pelumas Bekas
Peraturan-peraturan mengenai pengelolaan limbah B3 diatas diharapkan
dapat

mencegah,

mengurangi

serta

mengontrol

keberadaan

limbah

B3

dilingkungan masyarakat.
Mengacu

pada

ketentuan

Undang-undang

lingkungan

hidup,

terdapat

beberapa hal yang dapat menjadi perhatian. Hal ini terutama mengenai
pengolahan dan pengolahan limbah B3, sebagaimana dikatakan pada pasal 58
ayat (1) UU No 32 Tahun 2009 bahwa: Setiap orang yang memasukkan negara ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut,
mengedarkan menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau
menimbun B3 wajib melakukan pengolahan B3.
Pengolahan

mengacu

pada

pemanfaatan

hasil

kegiatan/usaha

yang

menciptakan B3 apakah dapat digunakan kembali atau tidak. Sedangkan


pengelolaan lebih tertuju pada pengawasan dan pengendalian limbah B3 yang
terdapat dilingkungan hidup. Masih banyaknya terjadi pelanggaran terhadap
pengelolaan serta persyaratan pengelolaan limbah B3 menunjukkan lemahnya

pengawasan terhadap keberadaan limbah B3 ini, padahal kerawanan yang


dimunculkannya dapat merusak lingkungan tempat makhluk hidup tinggal.
D. Penanganan Limbah B3
Awal muncul limbah bermula dari aktifitas manusia yang bisa berupa
kegiatan

industri,

rumah

tangga,

dll.

Aktifitas

tersebut

yang

bisa

jadi

menggunakan bahan awal yang memang sudah mengandung bahan beracun


berbahaya (B3). Sebuah aktifitas industri, disamping menghasilkan produk
bermanfaat tentu juga menghasilkan limbah yang mudah diolah dan limbah B3.
Yang memerlukan penanganan ekstra adalah cara penganan limbah B3
agar tidak berbahaya untuk lingkungan, kesehatan manusia dam makhluk hidup
lain. Dapat disimpulkan bahwa

pencegahan dan pengendalian pencemaran

limbah B3 merupakan kewajiban bagi seluruh industry di semua sector dan


bidang industry.
Pembuangan limbah B3 yang illegal sebenarnya merupakan tindak
criminal karena akan mencemari tanah, air sungai, air tanah dan atmosfir bumi.
Yang pada akhirnya dapat menimbulkan dampak negative pada kualitas hidup
manusia, kesehatan dan social ekonomi.
Dalam aktifitas industri, produk limbah B3 sebenarnya bisa diminialisir
dengan cara mereduksi pada sumber limbah, mensubstitusi bahan, mengatur
operasinya kegiatan dan melakukan teknologi bersih dalam proses.
Sebelumnya mari kita tinjau ulang definisi yang berkaitan dengan limbah.
Bahan/limbah B3 adalah bahan/limbah berbahaya dan /beracun yang karena
sifat, konsentrasi dan jumlahnya secara langsung atau tidak langsung dapat
merusak dan mencemarkan lingkungan atau dapat membahayakan manusia.
Limbah adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan proses produksi. Ada

beberapa karakteristik limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya):


Mudah meledak (eksplosif) (missal: bahan peledak)
Mudah terbakar (missal: bahan bakar Extremely flammable & Highly flammable)
Bersifat reaktif (missal: bahan-bahan oksidator)
Berbahaya/harmuful (misal: logam berat)
Menyebabkan infeksi (misal: limbah medis rumah sakit)
Bersifat korosif (asam kuat)
Bersifat irritatif (basa kuat)
Beracun (produk uji toksinologi)
Karsinogenik, Mutagenik, dan Teratogenik (merkuri, turunan benzene, bebrapa

zat warna)
Bahan radioaktif (uranium, plutonium, dll)
Sedang berdasarkan jenis limbah B3 dapat dikategorikan sebagai berikut:

a.

B3 dari sumber tidak spesifik yaitu B3 yang berasal bukan dari proses
utamanya tetapi berasal dari kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, inhibitor

b.

korosi, pelarutan kerk, pengemasan, dll.


B3 dari sumber spesifik yaitu B3 bahan awal: produk atau sisa proses suatu

c.

industry atau kegiatan tertentu.


B3 dari sumber lain yaitu bahan kimia kedaluwarsa, tumpahan sisa kemasan
dan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
Bahan yang tidak termasuk jenis diatas, dikelompokkan sebagai B3
apabila memiliki karakteristik di bawah (satu atau lebih):

Mudah meledak
mudah terbakar
Bersifat reaktif
Beracun
Menyebabkan infeksi
Bersifat korosif
Mengkarakterisasi suatu bahan dimulai dari mengidentifikasi limbah
hingga karakterisasi bahayanya. Beberapa aspek karakterisasi bahaya antara
lain:

Keadaan fisik (padat/cair/gas)


Reaktivitas terhadap air
Kelarutan dalam air
pH dan informasi kenetralan
Mudah tidaknya nyala
Keberadaan oksidator
Keberadaan sulfide atau sianida
Keberadaan halogen
Keberadaan bahan radioaktif
Keberadaan bahan organism berbahaya
Keberadaan komponen toksik
Penghasil limbah B3 yaitu orang atau badan usaha yang menghasilkan
limbah B3 dan Menyimpan sementara limbah tersebut dalam lokasi kegiatannya
sebelum diserahkan ke pihak lain. Urutan Pengelolaan limbah B3 sebagai berikut:

Penyimpana
Pengumpulan
Pengangkutan
Pemanfaatan
Pengolahan
Penimbunan

Penyimpanan

dan

pengumpulan

dimaksudkan

untuk

mencegah

terlepasnya limbah B3 ke lingkungan sehingga potensi bahaya terhadap


lingkungan dapat dihindarkan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain bentuk kemasan (tong/tanki)
tata cara pengemasan, bangunan dan tata ruang tempat penyimpanan serta
lokasi penyimpanan.
Penyimpanan limbah B3 merupakan kegiatan daur ulang (recycling),
perolehan kembali (recovery) dan penggunaan kembali (re-use).

E.

Cara Pengolahan Limbah B3


Pengolahan limbah B3 secara fisika dan kimia dimaksudkan untuk
mengurangi daya racun limbah B3 dan atau menghilangkan sifat/karakteristik
limbah B3 dari berbahaya menjadi taau berbahaya.
Pengolahan stabilitas/solidifikasi dapat mengubah watak fisik dan kimiawi
limbah B3 dengan cara penambahan senyawa pengikat B3 agar pergerakannya
terhamabt atau terbatasi dan membentuk masa monolit dengan struktur yang
kekar.
Pengolahan secara insinerasi yaitu menghancurkan senyawa B3 yang

a.

terkandung dalam limbah B3 menjadi senyawa yang tidak mengandung B3.


Penimbunan Limbah B3
Walaupun telah dilakukan pengolahan sebelumnya, limbah B3 masih
berpotensi mencemari lingkungan sehingga perlu dilakukan penimbunan limbah
B3 pada lokasi yang memenuhi persyaratan (landfill).
Tujuan penimbunan ini adalah untuk menampung dan mengisolasi limbah B3
yang sudah tidak dimanfaatkan lagi dan menjamin perlindungan terhadap

kesehatan manusia dan lingkungan dalam jangka panjang.


b. Tentang Limbah B3
Masalah limbah menjadi perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah
Indonesia, khususnya sejak decade terkhir ini, terutama akibat perkembangan
industry

yang

merupakan

tulang

punggung

peningkatan

perekonomian

Indonesia. Penanganan limbah merupakan suatu keharusan guna terjaganya


kesehatan manusia serta lingkungan dan umunya. Namun pengadaan

dan

pengoperasian sarana pengeloh limbah ternyata masih dianggap memberatkan


bagi industry.
Keanekaragaman jenis limbah akan bergantung pada aktivitas industri serta
penghasil limbah lainnya mulai dari penggunaan bahan baku, pemilihan proses
produksi, pemilihan jenis mesin dan sebagiannya, akan mempengaruhi karakter

limbah yang tidak terlepas dari proses induatri itu sendiri. Sebagian dari limbah
industry tersebut berkategori hazardous waste yang di Indonesia diatur oleh PP
18/99 jo PP 85/99. Padanan kata untuk hazardous waste yang digunakan di
Indonesia adalah limbah berbahaya dan beracun disingkat menjadi limbah B3.
Dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan berkembangnya perindustrian
akan meningkatkan jumlah dan jenis bahan kimia yang beredar dilapangan,
kebanyakan dari bahan kimia baru tersebut seringkali tidak teruji dan memiliki
kemungkinan berkategori B3 sehingga diperlukanlah suatu peraturan yang
mengatur

peredaran

bahan

kimia

tersebut

sehingga

tidak

mengganggu

kesehatan manusia dan lingkungan hidup.


Macam-macam pengolahan Limbah B3
Pengolahan Limbah B3 sendiri ada beberapa macam, antara lain:
Penggunaan kembali sebagai bahan baku (reuse). Misalnya pembuatan
c.

batako/bahan bakar,dsb.
Penggunaan kembali material dengan proses (recycle). Contohnya pembuatan

d.

material karbon.
Solidifikasi (reduce). Berupa pengurangan volume, contonya sludge IPAL
dikeringkan terlebih dahulu.
Sistem Pengolahan Limbah B3
Sistem pengolahan limbah B3 di Indonesia diadopsi dari sistem pengelolaan
limbah B3 di Amerika yang dikenal dengan cradle to grave system atau bisa
disebut pemantauan dan pengelolaan mulai dari limbah dihasilkan hingga diolah
ditempat pengolahan akhir.
Secara teknis operasional, maka pengelolaan limbah B3 menurut PP 18/99 jo
PP 85/99 merupakan suatu rangkaian kegiatan dari mulai upaya reduksi limbah
yang terbentuk samapai terbentuknya limbah oleh penghasil. Kemudian rantai
berikutnya adalah pemanfaatan limbah oleh pemanfaat, pengumpulan limbah
oleh

pengumpul,

pengengkut

limbah

oleh

pengangkut,

dan

pengolahan/penimbunan limbah oleh pengolah.


Dalam kegiatan tersebut, terkait berbagai pihak yang merupakan mata rantai
dalam pengelolaan limbah B3. Setiap mata rantai tersebut memerlukan
pengawasan dan pengaturan. Aspek pengawasan dan sanksi juga diatur dalam
PP tersebut. Badan yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi pengelolaan
limbah B3 tersebut di Indonesia adalah Badan Pengendalian Dampak lingkungan
(Bapedal).
Perjalanan
Dokumen

limbah

limbah

dalam

akan

rantai

memegang

pengelolaan
peranan

wajib

penting

disertai
dalam

perjalanan limbah B3 dari penghasil samapai ke pengolahan limbah.

dokumen.

pemantauan

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengolahan limbah merupakan suatu proses yang dilakukan agar dapat
menghilangkan zat-zat yang tidak di inginkan (tidak baik) yang biasanya disebut
dengan kontaminan dari air limbah.
Cara pengolahan air limbah: Pembuangan dengan Sistem Pengenceran,
Penggunaan Sumur Peresapan, Penggunaan Kolam Pembuangan, Penangkap
Lemak, Penggunaan Sistem Tangki Pembusukan, Saluran Limbah Cair Bangunan .
Limbah B3 merupakan sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang
mengandung

bahan

berbahaya

atau

beracun

yang

karena

sifat

atau

konsentrasinya dan atau jumlahnya.


Penanganan, pengelolaan, dan pengolahan limbah B3 dapat dilakukan
B.

secara fisika, kimia, stabilitas dan insinerasi.


Saran
Kepada pembaca yang ingin lebih mendalami materi sistem penanganan
dan pengelolaan limbah dapat membaca dari sumber lain yang lebih lengkap.

DAFTAR PUSTAKA

Daryanto dan Suprihatin, Agung. 2013. Pengantar Pendidikan Lingkungan


Hidup. Yogyakarta: Gava Media
Kristi, Ita. 2012. Modul Ilmu Pengetahuan Alam untuk SMK/MAK. Pratama Mitra
Aksara.

Skip to content

Home

Bahasa Inggris

Grammar

Surat-Menyurat

Kuliah
o

Desaign Landfill

Pengelolaan Sampah

B3

Amdal

contact

Pengemas B3
Pengemasan (packaging) juga diatur dan perlu dicantumkan dalam surat pengangkutan. Alat
pengemas dapat berupa: drum baja, kotak kayu, drum fiber, botol gelas dan sebagainya.
Pengemasan yang baik mempunyai kriteria:

Bahan tersebut selama pengangkutan tidak terlepas ke luar

Keefektifannya tidak berkurang

Tidak terdapat kemungkinan pencampuran gas dan uap

Terdapat 3 jenis kelompok pengemasan, yaitu:

Kelompok I: derajat bahaya besar

Kelompok II: derajat bahaya sedang

Kelompok III: derajat bahaya kecil.

Menjamin keselamatan transportasi bahan berbahaya merupakan aktivitas yang kompleks.


Kecelakaan akibat bahan berbahaya ini akan menimbulkan masalah serius bagi manusia, hak
milik dan lingkungan. Dengan demikian, aturan tata cara serta konstruksi dan penggunaan
kontainer untuk bahan berbahaya harus ketat. Kecelakaan limpahan bahan berbahaya yang

sering terjadi adalah karena kecelakaan lalu-lintas yang umumnya akibat kesalahan manusia
dan atau alat/perlengkapan yang kurang sempurna.
USDOT menggariskan bahwa kontainer yang digunakan untuk mengangkut bahan berbahaya
dirancang dan dibuat sedemikian rupa sehingga bila terjadi kecelakaan pada kondisi
transportasi yang normal, maka:

Tidak menimbulkan penyebaran bahan tersebut ke lingkungan sekitarnya

Keefektifan pengemasan tidak berkurang selama perjalanan

Tidak terjadi pencampuran gas atau uap dalam kemasan, yang dapat
menimbulkan reaksi spontan (kenaikan panas atau ledakan) sehingga
mengurangi keefektifan pengemasan; pengemasan tersebut harus
menjamin tidak terjadi reaksi kimiawi di dalamnya.

Kadangkala bahan berbahaya disimpan (diakumulasi) dalam drum atau kontainer. Drum yang
biasa, biasanya korosif dan dapat menimbulkan masalah pada kesehatan manusia dan
lingkungan. Oleh karenanya bahan berbahaya harus ditempatkan dalam drum dan kontainer
yang kompatibel atau sesuai. Dibutuhkan inspeksi secara berkala. Banyak terjadi bahwa drum
yang digunakan adalah drum bekas (walaupun kompatibel) untuk itu perlu diperhatikan efek
jangka panjang dari drum tersebut.
Ditinjau dari tonase, maka kemasan kecil di USA hanya merupakan sebagian kecil yang
digunakan untuk menangani bahan berbahaya yang diangkut. Hampir setengah bahan
berbahaya kemasan kecil ini diangkut melalui jalan darat serta sebagian lagi melalui udara.
Bahan pengemasan yang digunakan adalah: fiberboard, plastik, kayu, kaca, fiberglass dan
logam. Kombinasi container sering digunakan, misalnya botol- botol gelas dimasukkan dalam
peti-peti fiberboard. Kemasan komposit seperti drum-drum dari plastik berlapis baja kadang
digunakan. Kemasan dari satu jenis bahan juga banyak digunakan, seperti drum baja atau
silinder untuk gas terkompres.
Rancangan kontainer yang digunakan harus terkait dengan sistem transportasi terutama
dimensi dan beratnya. Produk yang diproduksi dengan kuantitas kecil biasanya dikemas
dalam kuantitas tersebut. Oleh karenanya kontainer yang digunakan dirancang untuk
memudahkan loading, unloading, dan bagaimana menggunakan ruang transportasi yang
efisien. Drum baja 55 gallon (208 liter) merupakan kapasitas terbesar yang biasa digunakan.
Faktor kesalahan manusia pada pengemasan bahan berbahaya yang dikemas dalam kuantitas
kecil relatif akan lebih tinggi, misalnya pengemasan yang tidak betul dan sebagainya.
Beberapa temuan yang terdapat di USA adalah:

Ketidak tepatan dalam menayangkan label

Ketidak tepatan dalam mengelompokkan kontainer berbahaya

Kebocoran pada valve

Tidak tepat dalam mendeskripsikan bahan yang diangkut

Tidak tepat dalam pengisian shiping paper Radiasi berlebihan di kabin


truk.

Pengemas dan Pewadah Limbah B3 Versi Kep No.01/Bapedal/09/1995:


Di Indonesia, ketentuan tentang pengemasan dan pewadahan limbah B3 diatur dalam Kep.
No.01/Bapedal/09/1995. Ketentuan dalam bagian ini berlaku bagi kegiatan pengemasan dan
pewadahan limbah B3 di fasilitas:

Penghasil, untuk disimpan sementara di dalam lokasi penghasil;

Penghasil, untuk disimpan sementara di luar lokasi penghasil tetapi tidak


sebagai pengumpul;

Pengumpul, untuk disimpan sebelum dikirim ke pengolah;

Pengolah, sebelum dilakukan pengolahan dan atau penimbunan;

Setiap penghasil/pengumpul limbah B3 harus dengan pasti mengetahui karakteristik bahaya


dari setiap limbah B3 yang dihasilkan/dikumpulkan. Apabila ada keragu-raguan dengan
karakteristik limbahnya, maka harus dilakukan pengujian. Bagi penghasil yang menghasilkan
limbah B3 yang sama secara terus menerus, maka pengujian dapat dilakukan sekurangkurangnya satu kali. Apabila dalam perkembangannya terjadi perubahan kegiatan yang
diperkirakan mengakibatkan berubahnya karakteristik limbah yang dihasilkan, maka terhadap
masing-masing limbah B3 hasil kegiatan perubahan tersebut harus dilakukan pengujian
kembali terhadap karakteristiknya. Bentuk, ukuran dan bahan kemasan limbah B3
disesuaikan dengan karakteristik limbah B3 yang akan dikemasnya dengan
mempertimbangkan segi kemanan dan kemudahan dalam penanganannya. Kemasan dapat
terbuat dari bahan plastik (HPDE, PP atau PVC) atau bahan logam (teflon, baja karbon,
SS304, SS316, atau SS440) dengan syarat bahan kemasan yang dipergunakan tersebut tidak
bereaksi dengan limbah B3 yang disimpannya.
Kemasan yang telah diisi atau terisi penuh dengan limbah B3 harus ditandai de ngan simbol
dan label yang sesuai dengan ketentuan mengenai penandaan pada kemasan limbah B3.
Kemasan tersebut selalu dalam keadaan tertutup rapat dan hanya dapat dibuka jika akan
dilakukan penambahan atau pengambilan limbah dari dalamnya, kemudian disimpa n di
tempat yang memenuhi persyaratan untuk penyimpanan limbah B3 serta mematuhi tata cara
penyimpanannya. Gambar 2 berikut adalah contoh drum pengemas limbah B3.
Kemasan yang digunakan untuk pengemasan limbah dapat berupa drum/tong dengan volume
50 liter, 100 liter atau 200 liter, atau dapat pula berupa bak kontainer berpenutup dengan
kapasitas 2 m3, 4 m3 atau 8 m3. Limbah yang disimpan dalam satu kemasan adalah limbah
yang sama, atau dapat pula disimpan bersama-sama dengan limbah lain yang memiliki

karakteristik yang sama atau saling cocok. Untuk mempermudah pengisian limbah ke dalam
kemasan, serta agar lebih aman, limbah dapat terlebih dahulu dikemas dalam kantong
kemasan yang tahan terhadap sifat limbah sebelum kemudian dikemas dalam kemasan
tersebut. Pengisian limbah dalam satu kemasan harus mempertimbangkan karakteristik dan
jenis limbah, pengaruh pemuaian, pembentukan gas dan kenaikan tekanan selama
penyimpanan. Untuk limbah yang bereaksi sendiri sebaiknya tidak menyisakan ruang kosong
dalam kemasan. Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan dirancang tahan akan
kenaikan tekanan.

Penyimpan limbah B3 cair (A) dan limbah sludge (B)


Drum/tong atau bak kontainer yang telah berisi limbah B3 dan disimpan di tempat
penyimpanan harus dilakukan pemeriksaan kondisi kemasan sekurang-kurangnya 1 (satu)
minggu satu kali. Apabila diketahui ada kemasan yang mengalami kerusakan (karat atau
bocor), maka isi limbah B3 tersebut harus segera dipindahkan ke dalam drum/tong yang baru,
dan tumpahan limbah tersebut harus segera diangkat dan dibersihkan, kemudian disimpan
dalam kemasan limbah B3 terpisah. Kemasan bekas mengemas limbah B3 dapat digunakan
kembali untuk mengemas limbah B3 yang mempunyai karakteristik sama (kompatibel)
dengan limbah B3 sebelumnya.
Jika akan digunakan untuk mengemas limbah B3 yang tidak saling cocok, maka kemasan
tersebut harus dicuci bersih terlebih dahulu sebelum dapat digunakan sebagai kemasan
limbah B3 dengan memenuhi ketentuan butir 1 di atas. Kemasan yang akan dikosongkan
apabila akan digunakan kembali untuk mengemas limbah B3 lain dengan karakteristik yang
sama, harus disimpan di tempat penyimpanan limbah B3. Jika akan digunakan untuk
menyimpan limbah B3 dengan karakteristik yang tidak saling sesuai dengan sebelumnya,
maka kemasan tersebut harus dicuci bersih terlebih dahulu dan disimpan dengan memasang
label KOSONG sesuai dengan ketentuan penandaan kemasan limbah B3.
Bentuk wadah berupa tangki biasa digunakan dalam pengemasan limbah B3. Sebelum
melakukan pemasangan tangki penyimpanan limbah B3, pemilik atau operator harus
mengajukan permohonan rekomendasi kepada Kepala Bapedal dengan melampirkan laporan
hasil evaluasi terhadap rancang bangun dan sistem tangki yang akan dipasang untuk dijadikan
sebagai bahan pertimbangan. Laporan tersebut sekurang-kurangnya meliputi:

Rancang bangun dan peralatan penunjang sistem tangki yang akan


dipasang;

Karakteristik limbah B3 yang akan disimpan;

Jika sistem tangki dan atau peralatan penunjangnya terbuat dari logam
dan kemungkinan dapat terkontak dengan air dan atau tanah, logam dan
kemungkinan harus mencakup pengukuran potensi korosi yang

disebabkan oleh faktor lingkungan serta daya tahan bahan tangki


terhadap korosi tersebut

Perhitungan umur operasional tangki;

Rencana penutupan sistem tangki setelah masa operasionalnya berakhir;

Jika tangki dirancang untuk dibangun di dalam tanah, maka harus dengan memperhitungkan
dampak kegiatan di atasnya serta menerapkan rancang bangun atau kegiatan yang dapat
melindungi sistem tangki terhadap potensi kerusakan. Selama masa konstruksi berlangsung,
maka harus dipastikan agar selama pemasangan tangki dan sistem penunjangnya telah
diterapkan prosedur penanganan yang tepat untuk mencegah terjadinya kerusakan selama
tahap konstruksi. Sistem tangki harus ditunjang kekuatan rangka yang memadai, terbuat dari
bahan yang cocok dengan karakteristik limbah yang akan disimpan atau diolah, dan aman
terhadap korosi sehingga tangki tidak mudah rusak.
Tangki dan sistem penunjangnya harus terbuat dari bahan yang saling cocok dengan
karakteristik dan jenis limbah B3 yang dikemas/disimpannya. Limbah-limbah yang tidak
saling cocok tidak ditempatkan secara bersama-sama di dalam tangki. Apabila tangki akan
digunakan untuk menyimpan limbah sebelumnya, maka tangki harus terlebih dahulu dicuci
bersih. Tidak digunakan untuk menyimpan limbah mudah menyala atau reaktif kecuali:

Limbah tersebut telah diolah atau dicampur terlebih dahulu


sebelum/segera setelah ditempatkan di dalam tangki, sehingga olahan
atau campuran limbah yang terbentuk tidak lagi berkarakteristik mudah
menyala atau reaktif; atau

Limbah disimpan atau diolah dengan suatu cara sehingga tercegah dari
kondisi atau bahan yang menyebabkan munculnya sifat mudah menyala
atau reaktif.

Untuk mencegah terlepasnya limbah B3 ke lingkungan, tangki wajib dilengkapi dengan


penampung sekunder. Penampung sekunder dapat berupa pelapisan di bagian luar tangki,
tanggul atau berdinding ganda. Persyaratan penampungan sekunder tersebut adalah:

Dibuat atau dilapisi dengan bahan yang saling cocok dengan limbah yang
disimpan serta memiliki ketebalan dan kekuatan memadai untuk
mencegah kerusakan akibat pengaruh tekanan;

Ditempatkan pada pondasi yang dapat mendukung ketahanan tangki


terhadap tekanan dari atas dan bawah dan mampu mencegah kerusakan
yang diakibatkan karena pengisian, tekanan atau uplift;

Dilengkapi dengan sistem deteksi kebocoran yang dioperasikan 24 jam


sehingga mampu mendeteksi kerusakan pada struktur tangki primer dan
sekunder, dan lepasnya limbah B3 dari sistem penampungan sekunder.

Penampungan sekunder, dirancang untuk dapat menampung dan


mengangkat cairan-cairan yang berasal dari kebocoran, ceceran dan
presipitasi.

Pemeriksaan rutin dilakukan sekurang -kurangnya 1 kali selama sistem tangki dioperasikan,
khususnya terhadap peralatan pengendalian luapan/tumpahan, deteksi korosi atau lepasnya
limbah dari tangki. Disamping itu, monitoring dilakukan terhadap bahan konstruksi dan areal
seputar sistem tangki termasuk struktur pengumpul sekunder untuk mendeteksi pengikisan
atau tanda-tanda terlepasnya limbah misalnya bintik lembab, kematian vegetasi.
Bila sistem tangki atau sistem tangki pengumpul sekunder mengalami kebocoran atau
gangguan yang menyebabkan limbah terlepas, maka harus segera melakukan:

Penghentian operasional sistem tangki dan mencegah aliran limbah;

Memindahkan limbah B3 dari sistem tangki atau sistem penampungan


sekunder

Mewadahi limbah yang terlepas ke lingkungan, mencegah terjadinya


perpindahan tumpahan ke tanah atau air permukaan, serta mengangkat
tumpahan yang terlanjur masuk ke tanah atau air permukaan.

Membuat catatan dan laporan mengenai kecelakaan dan penanggulangan


yang telah dilakukan.

jujubandung
blog bebas
Pengemasan dan pewadahan B3
April 25, 2012jujubandung

Pengemas B3
Pengemasan (packaging) juga diatur dan perlu dicantumkan dalam surat pengangkutan. Alat
pengemas dapat berupa: drum baja, kotak kayu, drum fiber, botol gelas dan sebagainya.
Pengemasan yang baik mempunyai kriteria:

Bahan tersebut selama pengangkutan tidak terlepas ke luar

Keefektifannya tidak berkurang

Tidak terdapat kemungkinan pencampuran gas dan uap

Terdapat 3 jenis kelompok pengemasan, yaitu:

Kelompok I: derajat bahaya besar

Kelompok II: derajat bahaya sedang

Kelompok III: derajat bahaya kecil.

Menjamin keselamatan transportasi bahan berbahaya merupakan aktivitas yang kompleks.


Kecelakaan akibat bahan berbahaya ini akan menimbulkan masalah serius bagi manusia, hak
milik dan lingkungan. Dengan demikian, aturan tata cara serta konstruksi dan penggunaan
kontainer untuk bahan berbahaya harus ketat. Kecelakaan limpahan bahan berbahaya yang
sering terjadi adalah karena kecelakaan lalu-lintas yang umumnya akibat kesalahan manusia
dan atau alat/perlengkapan yang kurang sempurna.
USDOT menggariskan bahwa kontainer yang digunakan untuk mengangkut bahan berbahaya
dirancang dan dibuat sedemikian rupa sehingga bila terjadi kecelakaan pada kondisi
transportasi yang normal, maka:

Tidak menimbulkan penyebaran bahan tersebut ke lingkungan sekitarnya

Keefektifan pengemasan tidak berkurang selama perjalanan

Tidak terjadi pencampuran gas atau uap dalam kemasan, yang dapat
menimbulkan reaksi spontan (kenaikan panas atau ledakan) sehingga
mengurangi keefektifan pengemasan; pengemasan tersebut harus
menjamin tidak terjadi reaksi kimiawi di dalamnya.

Kadangkala bahan berbahaya disimpan (diakumulasi) dalam drum atau kontainer. Drum yang
biasa, biasanya korosif dan dapat menimbulkan masalah pada kesehatan manusia dan
lingkungan. Oleh karenanya bahan berbahaya harus ditempatkan dalam drum dan kontainer
yang kompatibel atau sesuai. Dibutuhkan inspeksi secara berkala. Banyak terjadi bahwa drum
yang digunakan adalah drum bekas (walaupun kompatibel) untuk itu perlu diperhatikan efek
jangka panjang dari drum tersebut.
Ditinjau dari tonase, maka kemasan kecil di USA hanya merupakan sebagian kecil yang
digunakan untuk menangani bahan berbahaya yang diangkut. Hampir setengah bahan
berbahaya kemasan kecil ini diangkut melalui jalan darat serta sebagian lagi melalui udara.
Bahan pengemasan yang digunakan adalah: fiberboard, plastik, kayu, kaca, fiberglass dan
logam. Kombinasi container sering digunakan, misalnya botol- botol gelas dimasukkan dalam
peti-peti fiberboard. Kemasan komposit seperti drum-drum dari plastik berlapis baja kadang
digunakan. Kemasan dari satu jenis bahan juga banyak digunakan, seperti drum baja atau
silinder untuk gas terkompres.
Rancangan kontainer yang digunakan harus terkait dengan sistem transportasi terutama
dimensi dan beratnya. Produk yang diproduksi dengan kuantitas kecil biasanya dikemas
dalam kuantitas tersebut. Oleh karenanya kontainer yang digunakan dirancang untuk

memudahkan loading, unloading, dan bagaimana menggunakan ruang transportasi yang


efisien. Drum baja 55 gallon (208 liter) merupakan kapasitas terbesar yang biasa digunakan.
Faktor kesalahan manusia pada pengemasan bahan berbahaya yang dikemas dalam kuantitas
kecil relatif akan lebih tinggi, misalnya pengemasan yang tidak betul dan sebagainya.
Beberapa temuan yang terdapat di USA adalah:

Ketidak tepatan dalam menayangkan label

Ketidak tepatan dalam mengelompokkan kontainer berbahaya

Kebocoran pada valve

Tidak tepat dalam mendeskripsikan bahan yang diangkut

Tidak tepat dalam pengisian shiping paper Radiasi berlebihan di kabin


truk.

Pengemas dan Pewadah Limbah B3 Versi Kep No.01/Bapedal/09/1995:


Di Indonesia, ketentuan tentang pengemasan dan pewadahan limbah B3 diatur dalam Kep.
No.01/Bapedal/09/1995. Ketentuan dalam bagian ini berlaku bagi kegiatan pengemasan dan
pewadahan limbah B3 di fasilitas:

Penghasil, untuk disimpan sementara di dalam lokasi penghasil;

Penghasil, untuk disimpan sementara di luar lokasi penghasil tetapi tidak


sebagai pengumpul;

Pengumpul, untuk disimpan sebelum dikirim ke pengolah;

Pengolah, sebelum dilakukan pengolahan dan atau penimbunan;

Setiap penghasil/pengumpul limbah B3 harus dengan pasti mengetahui karakteristik bahaya


dari setiap limbah B3 yang dihasilkan/dikumpulkan. Apabila ada keragu-raguan dengan
karakteristik limbahnya, maka harus dilakukan pengujian. Bagi penghasil yang menghasilkan
limbah B3 yang sama secara terus menerus, maka pengujian dapat dilakukan sekurangkurangnya satu kali. Apabila dalam perkembangannya terjadi perubahan kegiatan yang
diperkirakan mengakibatkan berubahnya karakteristik limbah yang dihasilkan, maka terhadap
masing-masing limbah B3 hasil kegiatan perubahan tersebut harus dilakukan pengujian
kembali terhadap karakteristiknya. Bentuk, ukuran dan bahan kemasan limbah B3
disesuaikan dengan karakteristik limbah B3 yang akan dikemasnya dengan
mempertimbangkan segi kemanan dan kemudahan dalam penanganannya. Kemasan dapat
terbuat dari bahan plastik (HPDE, PP atau PVC) atau bahan logam (teflon, baja karbon,
SS304, SS316, atau SS440) dengan syarat bahan kemasan yang dipergunakan tersebut tidak
bereaksi dengan limbah B3 yang disimpannya.

Kemasan yang telah diisi atau terisi penuh dengan limbah B3 harus ditandai de ngan simbol
dan label yang sesuai dengan ketentuan mengenai penandaan pada kemasan limbah B3.
Kemasan tersebut selalu dalam keadaan tertutup rapat dan hanya dapat dibuka jika akan
dilakukan penambahan atau pengambilan limbah dari dalamnya, kemudian disimpa n di
tempat yang memenuhi persyaratan untuk penyimpanan limbah B3 serta mematuhi tata cara
penyimpanannya. Gambar 2 berikut adalah contoh drum pengemas limbah B3.
Kemasan yang digunakan untuk pengemasan limbah dapat berupa drum/tong dengan volume
50 liter, 100 liter atau 200 liter, atau dapat pula berupa bak kontainer berpenutup dengan
kapasitas 2 m3, 4 m3 atau 8 m3. Limbah yang disimpan dalam satu kemasan adalah limbah
yang sama, atau dapat pula disimpan bersama-sama dengan limbah lain yang memiliki
karakteristik yang sama atau saling cocok. Untuk mempermudah pengisian limbah ke dalam
kemasan, serta agar lebih aman, limbah dapat terlebih dahulu dikemas dalam kantong
kemasan yang tahan terhadap sifat limbah sebelum kemudian dikemas dalam kemasan
tersebut. Pengisian limbah dalam satu kemasan harus mempertimbangkan karakteristik dan
jenis limbah, pengaruh pemuaian, pembentukan gas dan kenaikan tekanan selama
penyimpanan. Untuk limbah yang bereaksi sendiri sebaiknya tidak menyisakan ruang kosong
dalam kemasan. Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan dirancang tahan akan
kenaikan tekanan.

Penyimpan limbah B3 cair (A) dan limbah sludge (B)


Drum/tong atau bak kontainer yang telah berisi limbah B3 dan disimpan di tempat
penyimpanan harus dilakukan pemeriksaan kondisi kemasan sekurang-kurangnya 1 (satu)
minggu satu kali. Apabila diketahui ada kemasan yang mengalami kerusakan (karat atau
bocor), maka isi limbah B3 tersebut harus segera dipindahkan ke dalam drum/tong yang baru,
dan tumpahan limbah tersebut harus segera diangkat dan dibersihkan, kemudian disimpan
dalam kemasan limbah B3 terpisah. Kemasan bekas mengemas limbah B3 dapat digunakan
kembali untuk mengemas limbah B3 yang mempunyai karakteristik sama (kompatibel)
dengan limbah B3 sebelumnya.
Jika akan digunakan untuk mengemas limbah B3 yang tidak saling cocok, maka kemasan
tersebut harus dicuci bersih terlebih dahulu sebelum dapat digunakan sebagai kemasan
limbah B3 dengan memenuhi ketentuan butir 1 di atas. Kemasan yang akan dikosongkan
apabila akan digunakan kembali untuk mengemas limbah B3 lain dengan karakteristik yang
sama, harus disimpan di tempat penyimpanan limbah B3. Jika akan digunakan untuk
menyimpan limbah B3 dengan karakteristik yang tidak saling sesuai dengan sebelumnya,
maka kemasan tersebut harus dicuci bersih terlebih dahulu dan disimpan dengan memasang
label KOSONG sesuai dengan ketentuan penandaan kemasan limbah B3.
Bentuk wadah berupa tangki biasa digunakan dalam pengemasan limbah B3. Sebelum
melakukan pemasangan tangki penyimpanan limbah B3, pemilik atau operator harus

mengajukan permohonan rekomendasi kepada Kepala Bapedal dengan melampirkan laporan


hasil evaluasi terhadap rancang bangun dan sistem tangki yang akan dipasang untuk dijadikan
sebagai bahan pertimbangan. Laporan tersebut sekurang-kurangnya meliputi:

Rancang bangun dan peralatan penunjang sistem tangki yang akan


dipasang;

Karakteristik limbah B3 yang akan disimpan;

Jika sistem tangki dan atau peralatan penunjangnya terbuat dari logam
dan kemungkinan dapat terkontak dengan air dan atau tanah, logam dan
kemungkinan harus mencakup pengukuran potensi korosi yang
disebabkan oleh faktor lingkungan serta daya tahan bahan tangki
terhadap korosi tersebut

Perhitungan umur operasional tangki;

Rencana penutupan sistem tangki setelah masa operasionalnya berakhir;

Jika tangki dirancang untuk dibangun di dalam tanah, maka harus dengan memperhitungkan
dampak kegiatan di atasnya serta menerapkan rancang bangun atau kegiatan yang dapat
melindungi sistem tangki terhadap potensi kerusakan. Selama masa konstruksi berlangsung,
maka harus dipastikan agar selama pemasangan tangki dan sistem penunjangnya telah
diterapkan prosedur penanganan yang tepat untuk mencegah terjadinya kerusakan selama
tahap konstruksi. Sistem tangki harus ditunjang kekuatan rangka yang memadai, terbuat dari
bahan yang cocok dengan karakteristik limbah yang akan disimpan atau diolah, dan aman
terhadap korosi sehingga tangki tidak mudah rusak.
Tangki dan sistem penunjangnya harus terbuat dari bahan yang saling cocok dengan
karakteristik dan jenis limbah B3 yang dikemas/disimpannya. Limbah-limbah yang tidak
saling cocok tidak ditempatkan secara bersama-sama di dalam tangki. Apabila tangki akan
digunakan untuk menyimpan limbah sebelumnya, maka tangki harus terlebih dahulu dicuci
bersih. Tidak digunakan untuk menyimpan limbah mudah menyala atau reaktif kecuali:

Limbah tersebut telah diolah atau dicampur terlebih dahulu


sebelum/segera setelah ditempatkan di dalam tangki, sehingga olahan
atau campuran limbah yang terbentuk tidak lagi berkarakteristik mudah
menyala atau reaktif; atau

Limbah disimpan atau diolah dengan suatu cara sehingga tercegah dari
kondisi atau bahan yang menyebabkan munculnya sifat mudah menyala
atau reaktif.

Untuk mencegah terlepasnya limbah B3 ke lingkungan, tangki wajib dilengkapi dengan


penampung sekunder. Penampung sekunder dapat berupa pelapisan di bagian luar tangki,
tanggul atau berdinding ganda. Persyaratan penampungan sekunder tersebut adalah:

Dibuat atau dilapisi dengan bahan yang saling cocok dengan limbah yang
disimpan serta memiliki ketebalan dan kekuatan memadai untuk
mencegah kerusakan akibat pengaruh tekanan;

Ditempatkan pada pondasi yang dapat mendukung ketahanan tangki


terhadap tekanan dari atas dan bawah dan mampu mencegah kerusakan
yang diakibatkan karena pengisian, tekanan atau uplift;

Dilengkapi dengan sistem deteksi kebocoran yang dioperasikan 24 jam


sehingga mampu mendeteksi kerusakan pada struktur tangki primer dan
sekunder, dan lepasnya limbah B3 dari sistem penampungan sekunder.

Penampungan sekunder, dirancang untuk dapat menampung dan


mengangkat cairan-cairan yang berasal dari kebocoran, ceceran dan
presipitasi.

Pemeriksaan rutin dilakukan sekurang -kurangnya 1 kali selama sistem tangki dioperasikan,
khususnya terhadap peralatan pengendalian luapan/tumpahan, deteksi korosi atau lepasnya
limbah dari tangki. Disamping itu, monitoring dilakukan terhadap bahan konstruksi dan areal
seputar sistem tangki termasuk struktur pengumpul sekunder untuk mendeteksi pengikisan
atau tanda-tanda terlepasnya limbah misalnya bintik lembab, kematian vegetasi.
Bila sistem tangki atau sistem tangki pengumpul sekunder mengalami kebocoran atau
gangguan yang menyebabkan limbah terlepas, maka harus segera melakukan:

Penghentian operasional sistem tangki dan mencegah aliran limbah;

Memindahkan limbah B3 dari sistem tangki atau sistem penampungan


sekunder

Mewadahi limbah yang terlepas ke lingkungan, mencegah terjadinya


perpindahan tumpahan ke tanah atau air permukaan, serta mengangkat
tumpahan yang terlanjur masuk ke tanah atau air permukaan.

Membuat catatan dan laporan mengenai kecelakaan dan penanggulangan


yang telah dilakukan.

Sumber : Enri Damanhuri

Sebelum terinci lebih jauh mengenai bagaimana cara menangani limbah


laboratorium, ada baiknya mengingat kembali apakah definisi limbah. Definisi
limbah adalah produk buangan yang telah dipakai. Sedang produk limbah
laboratorium secara umum adalah limbah bahan kimia. Definisi limbah bahan kimia
sendiri adalah buangan bahan kimia yang telah dipakai, campuran bahan kimia
atau bahan kimia yang belum dipakai namun sudah rusak.

Sedang teori hukum alam yaitu suatu zat tidak ada yang
lenyap (nothing vanishes) artinya bahan kimia apapun apabila dibuang tidak akan
lenyap dari lingkungan kita. Ada kemungkinan mengubah material dari satu bentuk
ke bentuk yang lain. Akan tetapi material asli dan material yang telah diubah tetap
berada di lingkungan kita. Itulah problematika besar bagi kita. Dengan demikian
apabila kita menerapkan manajemen limbah yang baik akan mengurangi efek buruk
dari material terhadap lingkungan di masa mendatang.
Laboratorium merupakan salah satu sumber penghasil limbah cair, padat dan gas
yang berbahaya bila tidak ditangani secara benar.Sumber limbah tersebut antara
lain dari :
Bahan baku kadaluarsa
Bahan habis pakai (misal eluan dan medium biakan yang tidak terpakai)
Produk proses di laboratorium (misal sisa spesimen)
Berkaitan dengan pembuangan limbah ini, bukan hanya ketentuan hukum saja yang
mengatur dan menjerat, akan tetapi termasuk juga pengertian tanggung jawab
pribadi terhadap lingkungan. Sehingga sudah semestinyalah harus ditekankan untuk
mengumpulkan dan secara profesional membuang residu bahan kimia.
Potensi Polutan Air (WGK)
Perusahaan besar seperti Merck mencantumkan potensi polutan air terhadap
berbagai kelas dengan Wassergefaehrdungsklassen (WGK) berdasarkan bahaya
polusi yang ditimbulkan.
Kriteria penilaiannya berdasarkan NWG (nicht wassergefaehrdend) yaitu :
0 = tidak berbahaya untuk air
1 = senyawa penyebab polusi ringan
2 = senyawa penyebab polusi
3 = senyawa penyebab polusi berat
WGK 1
Asam asetat
Alumunium klorida
Besi klorida
Magnesium klorida
Metanol

WGK 2
Asetonitril
Klorobenzena
Kobal nitrat
Tembaga(II) sulfat
Timah hitam klorida

WGK 3
Benzena
Kadmium klorida
Kloroform
Nikel sulfat
Kalium kromat

Definisi Limbah Bahan Kimia Berbahaya adalah Limbah yang mempunyai efek toksik
dan berbahaya terhadap manusia.
Adapun klasifikasi pengumpulan limbah labotorium antara lain :

Kelas
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J

Jenis
Pelarut organik bebas halogen dan senyawa organik dalam
larutan
Pelarut organik mengandung halogen dan senyawa organik
dalam larutan
Residu padatan bahan kimia laboratorium organik
Garam dalam larutan: lakukan penyesuaian kandungan
kemasan pada pH 6 -8
Residu bahan anorganik beracun dan garam logam berat
dan larutannya
Senyawa beracun mudah terbakar
Residu air raksa dan garam anorganik raksa
Residu garam logam; tiap logam harus dikumpulkan secara
terpisah
Padatan anorganik
Kumpulan terpisah limbah kaca, logam dan plastik

Untuk pelarut organik bebas halogen - kelas A antara lain :

Aliphatic and alicyclic hydrocarbons


Aromatic hydrocarbons
Alcohols
Ketones
Esters
Ethers
Glycol ethers
Pelarut Organik mengandung Halogen Kelas B :
CFC (chlorinated fluorinated hydrocarbons)
CHC (chlorinated hydrocarbons)
HHC (halogenated hydrocarbons)
Cara Pengumpulan Limbah Laboratorium
Pembuangan Limbah

Limbah laboratorium dikumpulkan dan dibuang dalam wadah terpisah


menurut tipe bahan kimia yang berkaitan

Wadah diberi label (A-J)

Dengan label A-J dipastikan bahan kimia yang terkumpul dalam satu kategori
tidak bereaksi satu sama lain

Pengecekan untuk kandungan asam dan basa

Sebelum dikumpulkan, lakukan penetralan. Sediakan larutan penetral.

Wadah Cairan Pelarut Organik


Dapat tahan terhadap bahan kimia yang disimpan
Tidak mudah pecah/rusak
Anti-bocor dan rapat gas
Memiliki sertifikat UN untuk pengangkutan limbah internasional
Wadah harus ditempatkan di ruang berventilasi baik
Wadah harus disimpan tertutup rapat untuk mencegah penguapan uap
berbahaya
Pilih wadah yang tepat (mengeliminir kebocoran)
Kemasan untuk limbah asam dan basa:
Kemasan kombinasi, 10 l dengan inliner
1. Corong untuk kemasan baja nirkarat
2. Corong untuk kemasan Kombinasi
3. Corong untuk kemasan PE

Sedang untuk pelarut organik yang secara umum bersifat mudah terbakar,
perlakuan wadah/penampungnya :
Hindari sumber nyala (api terbuka, loncatan listrik, elektris statis, permukaan
panas)
Grounding (Bumikan) wadah penampungan
Persyaratan Wadah

Harus dalam kondisi baik, tidak rusak, bebas dari korosi dan kebocoran.

Bentuk, ukuran dan bahan wadah harus sesuai dengan karakteristik limbah
B3 yang hendak dikemas.

Terbuat dari bahan plastik (HDPE, PP atau PVC), atau bahan logam (teflon,
baja, karbon, SS304, SS316 atau SS440) dan tidak bereaksi bereaksi dengan
limbah B3 yang disimpannya.

Prinsip Pengemasan Limbah B3 :


1. Limbah yang tidak saling cocok, disimpan dalam kemasan berbeda.
2. Jumlah pengisian volume limbah harus mempertimbangkan terjadinya
pengembangan volume, pembentukan gas atau kenaikan tekanan selama
penyimpanan.
3. Ganti kemasan yang mengalami kerusakan permanen (korosi atau bocor)
dengan kemasan lain.
4. Kemasan yang telah berisi limbah ditandai sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
5. Kegiatan pengemasan, penyimpanan dan pengumpulan harus dilaporkan
sebagai bagian pengelolaan limbah.

Pejuang Pengendali Infeksi Rumah Sakit


Lindungi pasien, pengunjung, petugas kesehatan dan komunitas yang ada di
lingkungan rumah sakit dari bahaya penularan infeksi

Menu utama
Skip to content

Beranda

Sekapur Sirih

Feb 24 2013

PENGELOLAAN SAMPAH/LIMBAH RUMAH SAKIT


DAN PERMASALAHANNYA
PENGELOLAAN SAMPAH/LIMBAH RUMAH SAKIT DAN PERMASALAHANNYA

oleh : Anshar Bonas Silfa


A.

Latar belakang

Rumah sakit bersih adalah tempat pelayanan kesehatan yang dirancang, dioperasikan dan
dipelihara dengan sangat memperhatikan aspek kebersihan bangunan dan halaman baik fisik,
sampah, limbah cair, air bersih, dan serangga/binatang pengganggu. Namun menciptakan
kebersihan di rumah sakit merupakan upaya yang cukup sulit dan bersifat kompleks
berhubungan dengan berbagai aspek antara lain budaya/kebiasaan, prilaku masyarakat,
kondisi lingkungan, sosial dan teknologi.
Jika di bandingkan dengan institusi lain mungkin jenis sampah dan limbah rumah sakit
adalah yang terkomplit, tempat yang paling banyak di kunjungi oleh masyarakat ketika sakit
ini mengeluarkan berbagai jenis sampah dan limbah. Masyarakat di dalam lingkungan rumah
sakit yang terdiri dari pasien, pengunjung dan karyawan memberikan kontribusi kuat
terhadap pengotoran lingkungan rumah sakit. Aktivitas pelayanan dan perkantoran, pedagang
asongan, prilaku membuang sampah dan meludah sembarangan, prilaku merokok dan
sejumlah barang atau bingkisan yang dibawa oleh pengunjung/tamu menambah jumlah
sampah dan mengotori lingkungan rumah sakit.
Beberapa waktu lalu, pemberitaan mengenai sampah medis yang ditemukan di pasaran
sebagai mainan anak-anak, menjadi perhatian publik. Seperti diketahui bahwa seharusnya
sampah medis seperti alat infus, alat suntik, dan sarung tangan harus dimusnahkan setelah
digunakan, jangan sampai jatuh ke tangan masyarakat. Hal ini mendapat tanggapan langsung
dari Menteri Kesehatan RI waktu itu, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih MPH, di sela-sela
sambutannya saat membuka Konferensi Nasional I Promosi Kesehatan Rumah Sakit bertema
New Challenges of Health Promoting Hospital in Indonesia di Bandung, Selasa malam
(6/3/12). Apabila rumah sakit belum memiliki alat penanganan medis sendiri, harus
memiliki mekanisme kerjasama dengan rumah sakit yang lebih besar agar dapat ditangani. Ini
harus diupayakan, ujar Menkes.
Pada kesempatan tersebut Menkes menegaskan, tiga hal yang harus diperhatikan oleh para
penyelenggara pelayanan kesehatan, khususnya penyelenggara rumah sakit, bahwa sarana
pelayanan kesehatan harus menjadi tempat yang aman bagi para pekerjanya, pasiennya, dan
masyarakat di sekitarnya.
Tanggapan mengenai permasalahan tersebut juga diungkapkan oleh Direktur Jenderal Bina
Upaya Kesehatan (BUK), dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS saat melakukan inspeksi mendadak
(Sidak) ke sejumlah rumah sakit di wilayah DKI Jakarta dan Depok, Jawa Barat, guna
melakukan pengecekan secara langsung standar pembuangan dan pengolahan limbah yang
dilakukan rumah sakit pada Selasa siang (6/3/12). Secara garis besar, sistem pembuangan
dan pengolahan limbah rumah sakit sudah berjalan, tetapi masih harus disempurnakan. Yang
harus diperhatikan adalah jangan sampai sampah medis tercecer, apalagi dimanfaatkan oleh
orang-orang yang tidak bertanggungjawab, bahkan sampai berdampak pada penyakit-

penyakit yang dapat membahayakan masyarakat, jelas Dirjen BUK. Menurut Dirjen BUK,
bila terdapat rumah sakit yang melanggar standar pembuangan limbah dan pengelolaannya,
Kementerian akan menindak tegas pengelola rumah sakit tersebut. Limbah RS berbeda
dengan limbah rumah tangga. Sebab limbah RS yang tidak dikelola dengan baik, dapat
menimbulkan penyakit, tandas Dirjen BUK. Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi
Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI.
Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik.
Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius.
Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru
memperbesar permasalahan limbah medis.
Limbah medis sangat penting untuk dikelola secara benar, hal ini mengingat limbah medis
termasuk kedalam kategori limbah berbahaya dan beracun. Sebagian limbah medis termasuk
kedalam kategori limbah berbahaya dan sebagian lagi termasuk kategori infeksius. Limbah
medis berbahaya yang berupa limbah kimiawi, limbah farmasi, logam berat, limbah
genotoxic dan wadah bertekanan masih banyak yang belum dikelola dengan baik. Sedangkan
limbah infeksius merupakan limbah yang bisa menjadi sumber penyebaran penyakit baik
kepada petugas, pasien, pengunjung ataupun masyarakat di sekitar lingkungan rumah sakit.
Limbah infeksius biasanya berupa jaringan tubuh pasien, jarum suntik, darah, perban, biakan
kultur, bahan atau perlengkapan yang bersentuhan dengan penyakit menular atau media
lainnya yang diperkirakan tercemari oleh penyakit pasien. Pengelolaan lingkungan yang tidak
tepat akan beresiko terhadap penularan penyakit. Beberapa resiko kesehatan yang mungkin
ditimbulkan akibat keberadaan rumah sakit antara lain: penyakit menular (hepatitis,diare,
campak, AIDS, influenza), bahaya radiasi (kanker, kelainan organ genetik) dan resiko bahaya
kimia.
Penaganan limbah medis sudah sangat mendesak dan menjadi perhatian Internasional. Isu ini
telah menjadi agenda pertemuan internasional yang penting. Pada tanggal 8 Agustus 2007
telah dilakukan pertemuan High Level Meeting on Environmental and Health South-East and
East-Asian Countries di Bangkok. Dimana salah satu hasil pertemuan awal Thematic
Working Group (TWG) on Solid and Hazardous Waste yang akan menindaklanjuti tentang
penanganan limbah yang terkait dengan limbah domestik dan limbah medis. Selanjutnya pada
tanggal 28-29 Februari 2008 dilakukan pertemuan pertama (TWG) on Solid and Hazardous
Waste di Singapura membahas tentang pengelolaan limbah medis dan domestik di masing
masing negara.
B.

Pengertian

Limbah (menurut PP NO 12, 1995) adalah bahan sisa suatu kegiatan dan atau proses
produksi. Sedangkan limbah rumah sakit menurut Permenkes RI nomor:
1204/MENKES/SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit adalah
semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair, dan gas.

Limbah rumah sakit bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme bergantung pada


jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang. Limbah cair rumah
sakit dapat mengandung bahan organik dan anorganik yang umumnya diukur dan parameter
BOD, COD, TSS, dan lain-lain. Sementara limbah padat rumah sakit terdiri atas sampah
mudah membusuk, sampah mudah terbakar, dan lain-lain. Limbah-limbah tersebut
kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun
berbahaya yang menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan rumah sakit
yang disebabkan oleh teknik pelayanan kesehatan yang kurang memadai, kesalahan
penanganan bahan-bahan terkontaminasi dan peralatan, serta penyediaan dan pemeliharaan
sarana sanitasi yang masih buruk. Limbah benda tajam adalah semua benda yang mempunyai
permukaan tajam yang dapat melukai / merobek permukaan tubuh.
Limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas yang berasal dari kegiatan pembakaran
di rumah sakit seperti insinerator, dapur, perlengkapan generator, anastesi, dan pembuatan
obat citotoksik. Limbah sitotoksis adalah limbah dari bahan yang terkontaminasi dari
persiapan dan pemberian obat sitotoksis untuk kemoterapi kanker yang mempunyai
kemampuan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan sel hidup.
C.

Karakteristik Limbah Rumah Sakit

Sampah dan limbah rumah sakit adalah semua sampah dan limbah yang dihasilkan oleh
kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Apabila dibanding dengan kegiatan
instansi lain, maka dapat dikatakan bahwa jenis sampah dan limbah rumah sakit dapat
dikategorikan kompleks. Secara umum sampah dan limbah rumah sakit dibagi dalam dua
kelompok besar, yaitu sampah atau limbah medis dan non medis baik padat maupun cair.
Limbah medis adalah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan, gigi, veterinari, farmasi
atau sejenis, pengobatan, perawatan, penelitian atau pendidikan yang menggunakan bahanbahan beracun, infeksius berbahaya atau bisa membahayakan kecuali jika dilakukan
pengamanan tertentu. Bentuk limbah medis bermacam-macam dan berdasarkan potensi yang
terkandung di dalamnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Limbah benda tajam

Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau
bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik,
perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Semua benda tajam ini
memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau tusukan.
Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan
mikrobiologi, bahan beracun atau radioaktif.
2. Limbah infeksius

Limbah infeksius mencakup pengertian sebagai berikut:

Limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit


menular (perawatan intensif)

Limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi


dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular.

3. Limbah jaringan tubuh

Limbah jaringan tubuh meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh, biasanya
dihasilkan pada saat pembedahan atau otopsi.
4. Limbah sitotoksik

Limbah sitotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan
obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksik. Limbah yang
terdapat limbah sitotoksik didalamnya harus dibakar dalam incinerator dengan suhu diatas
1000oc
5. Limbah farmasi

Limbah farmasi ini dapat berasal dari obat-obat kadaluwarsa, obat-obat yang terbuang
karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat-obat
yang dibuang oleh pasien atau dibuang oleh masyarakat, obat-obat yang tidak lagi diperlukan
oleh institusi yang bersangkutan dan limbah yang dihasilkan selama produksi obat-obatan.
6. Limbah kimia

Limbah kimia adalah limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan
medis, veterinari, laboratorium, proses sterilisasi, dan riset.
7. Limbah radioaktif

Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari
penggunaan medis atau riset radio nukleida. Limbah ini dapat berasal dari antara lain :
tindakan kedokteran nuklir, radio-imunoassay dan bakteriologis; dapat berbentuk padat, cair
atau gas. Limbah cair yang dihasilkan rumah sakit mempunyai karakteristik tertentu baik
fisik, kimia dan biologi.
8. Limbah Plastik

Limbah plastik adalah bahan plastik yang dibuang oleh klinik, rumah sakit dan sarana
pelayanan kesehatan lain seperti barang-barang dissposable yang terbuat dari plastik dan juga
pelapis peralatan dan perlengkapan medis.
Selain sampah klinis, dari kegiatan penunjang rumah sakit juga menghasilkan sampah non
medis atau dapat disebut juga sampah non medis. Sampah non medis ini bisa berasal dari
kantor/administrasi kertas, unit pelayanan (berupa karton, kaleng, botol), sampah dari ruang

pasien, sisa makanan buangan; sampah dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/bahan
makanan, sayur dan lain-lain). Limbah cair yang dihasilkan rumah sakit mempunyai
karakteristik tertentu baik fisik, kimia dan biologi. Limbah rumah sakit bisa mengandung
bermacam-macam mikroorganisme, tergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan
yang dilakukan sebelum dibuang dan jenis sarana yang ada (laboratorium, klinik dll).
Tentu saja dari jenis-jenis mikroorganisme tersebut ada yang bersifat patogen. Limbah rumah
sakit seperti halnya limbah lain akan mengandung bahan-bahan organik dan anorganik, yang
tingkat kandungannya dapat ditentukan dengan uji air kotor pada umumnya seperti BOD,
COD, TTS, pH, mikrobiologik, dan lainlain.
Melihat karakteristik yang ditimbulkan oleh buangan/limbah rumah sakit seperti tersebut
diatas, maka konsep pengelolaan lingkungan sebagai sebuah sistem dengan berbagai proses
manajemen didalamnya yang dikenal sebagai Sistem Manajemen Lingkungan
(Environmental Managemen System) dan diadopsi Internasional Organization for Standar
(ISO) sebagai salah satu sertifikasi internasioanal di bidang pengelolaan lingkunan dengan
nomor seri ISO 14001 perlu diterapkan di dalam Sistem Manajemen Lingkungan Rumah
Sakit.
D.

Pengaruh Limbah Rumah Sakit Terhadap Lingkungan dan Kesehatan

Pengaruh limbah rumah sakit terhadap kualitas lingkungan dan kesehatan dapat menimbulkan
berbagai masalah seperti:
1. Gangguan kenyamanan dan estetika, berupa warna yang berasal dari
sedimen, larutan, bau phenol, eutrofikasi dan rasa dari bahan kimia
organik.
2. Kerusakan harta benda, dapat disebabkan oleh garam-garam yang terlarut
(korosif, karat), air yang berlumpur dan sebagainya yang dapat
menurunkan kualitas bangunan di sekitar rumah sakit.
3. Gangguan/kerusakan tanaman dan binatang, dapat disebabkan oleh virus,
senyawa nitrat, bahan kimia, pestisida, logam nutrien tertentu dan fosfor.
4. Gangguan terhadap kesehatan manusia, dapat disebabkan oleh berbagai
jenis bakteri, virus, senyawa-senyawa kimia, pestisida, serta logam seperti
Hg, Pb, dan Cd yang berasal dari bagian kedokteran gigi.
5. Gangguan genetik dan reproduksi

Meskipun mekanisme gangguan belum sepenuhnya diketahui secara pasti, namun beberapa
senyawa dapat menyebabkan gangguan atau kerusakan genetik dan sistem reproduksi
manusia misalnya pestisida, bahan radioaktif.
E.

Pengelolaan Limbah Rumah Sakit

1. Limbah padat

Untuk memudahkan mengenal jenis limbah yang akan dimusnahkan, perlu dilakukan
penggolongan limbah. Dalam kaitan dengan pengelolaan, limbah medis dikategorikan
menjadi 5 golongan sebabagi berikut :
Golongan A :

Dressing bedah, swab dan semua limbah terkontaminasi dari kamar


bedah.

Bahan-bahan kimia dari kasus penyakit infeksi.

Seluruh jaringan tubuh manusia (terinfeksi maupun tidak),


bangkai/jaringan hewan dari laboratorium dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan swab dan dreesing.

Golongan B :
Syringe bekas, jarum, cartridge, pecahan gelas dan benda-benda tajam lainnya.
Golongan C :
Limbah dari ruang laboratorium dan postpartum kecuali yang termasuk dalam golongan A.
Golongan D :
Limbah bahan kimia dan bahan-bahan farmasi tertentu.
Golongan E :
Pelapis Bed-pan Disposable, urinoir, incontinence-pad, dan stomach.
Dalam pelaksanaan pengelolaan limbah medis perlu dilakukan pemisahan penampungan,
pengangkutan, dan pengelolaan limbah pendahuluan.
a.

Pemisahan

Golongan A
Dressing bedah yang kotor, swab dan limbah lain yang terkontaminasi dari ruang pengobatan
hendaknya ditampung dalam bak penampungan limbah medis yang mudah dijangkau bak
sampah yang dilengkapi dengan pelapis pada tempat produksi sampah. Kantong plastik
tersebut hendaknya diambil paling sedikit satu hari sekali atau bila sudah mencapai tiga
perempat penuh. Kemudian diikat kuat sebelum diangkut dan ditampung sementara di bak
sampah klinis.

Bak sampah tersebut juga hendaknya diikat dengan kuat bila mencapai tiga perempat penuh
atau sebelum jadwal pengumpulan sampah. Sampah tersebut kemudian dibuang dengan cara
sebagai berikut :
1) Sampah dari haemodialisis
Sampah hendaknya dimasukkan dengan incinerator. Bisa juga digunakan autoclaving,tetapi
kantung harus dibuka dan dibuat sedemikian rupa sehingga uap panas bisa menembus secara
efektif.
(Catatan: Autoclaving adalah pemanasan dengan uap di bawah tekanan dengan tujuan
sterilisasi terutama untuk limbah infeksius).
2) Limbah dari unit lain :
Limbah hendaknya dimusnahkan dengan incinerator. Bila tidak mungkin bisa menggunakan
cara lain, misalnya dengan membuat sumur dalam yang aman.
Semua jaringan tubuh, plasenta dan lain-lain hendaknya ditampung pada bak limbah medis
atau kantong lain yang tepat kemudian dimusnahkan dengan incinerator.
Perkakas laboratorium yang terinfeksi hendaknya dimusnahkan dengan incinerator.
Incinerator harus dioperasikan di bawah pengawasan bagian sanitasi atau bagian
laboratorium.
Golongan B
Syringe, jarum dan cartridges hendaknya dibuang dengan keadaan tertutup. Sampah ini
hendaknya ditampung dalam bak tahan benda tajam yang bilamana penuh (atau dengan
interval maksimal tidak lebih dari satu minggu) hendaknya diikat dan ditampung di dalam
bak sampah klinis sebelum diangkut dan dimasukkan denganincinerator.
b.

Penampungan

Sampah klinis hendaknya diangkut sesering mungkin sesuai dengan kebutuhan. Sementara
menunggu pengangkutan untuk dibawa ke incinerator atau pengangkutan oleh dinas
kebersihan (atau ketentuan yang ditunjuk), sampah tersebut hendaknya :
1)

Disimpan dalam kontainer yang memenuhi syarat.

2)
Di lokasi/tempat yang strategis, merata dengan ukuran yang disesuaikan dengan
frekuensi pengumpulannya dengan kantong berkode warna yang telah ditentukan secara
terpisah.

3)
Diletakkan pada tempat kering/mudah dikeringkan, lantai yang tidak rembes, dan
disediakan sarana pencuci.
4) Aman dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab; dari binatang, dan bebas dari
infestasi serangga dan tikus.
5)

Terjangkau oleh kendaraan pengumpul sampah (bila mungkin)

Sampah yang tidak berbahaya dengan penanganan pendahuluan (jadi bisa digolongkan dalam
sampan klinis), dapat ditampung bersama sampah lain sambil menunggu pengangkutan.
c.

Pengangkutan

Pengangkutan dibedakan menjadi dua yaitu pengangkutan intenal dan eksternal.


Pengangkutan internal berawal dari titik penampungan awal ke tempat pembuangan atau ke
incinerator (pengolahan on-site). Dalam pengangkutan internal biasanya digunakan kereta
dorong.
Kereta atau troli yang digunakan untuk pengangkutan sampah klinis harus didesain
sedemikian rupa sehingga :
1)

Permukaan harus licin, rata dan tidak tembus

2)

Tidak akan menjadi sarang serangga

3)

Mudah dibersihkan dan dikeringkan

4)

Sampan tidak menempel pada alat angkut

5)

Sampan mudah diisikan, diikat, dan dituang kembali

Bila tidak tersedia sarana setempat dan sampah klinis harus diangkut ke tempat lain :
1)
Harus disediakan bak terpisah dari sampah biasa dalam alat truk pengangkut. Dan harus
dilakukan upaya untuk men-cegah kontaminasi sampah lain yang dibawa.
2)
Harus dapat dijamin bahwa sampah dalam keadaan aman dan tidak terjadi kebocoran
atau tumpah.
2. Limbah Cair

Limbah rumah sakit mengandung bermacam-macam mikroorganisme, bahan-bahan organik


dan an-organik. Beberapa contoh fasilitas atau Unit Pengelolaan Limbah (UPL) di rumah
sakit antara lain sebagai berikut:
a. Kolam Stabilisasi Air Limbah (Waste Stabilization Pond System)

Sistem pengelolaan ini cukup efektif dan efisien kecuali masalah lahan, karena kolam
stabilisasi memerlukan lahan yang cukup luas; maka biasanya dianjurkan untuk rumah sakit
di luar kota (pedalaman) yang biasanya masih mempunyai lahan yang cukup. Sistem ini
terdiri dari bagian-bagian yang cukup sederhana yakni :
1)

Pump Swap (pompa air kotor).

2)

Stabilization Pond (kolam stabilisasi) 2 buah.

3)

Bak Klorinasi

4)

Control room (ruang kontrol)

5)

Inlet

6)

Incinerator antara 2 kolam stabilisasi

7)

Outlet dari kolam stabilisasi menuju sistem klorinasi.

b. Kolam oksidasi air limbah (Waste Oxidation Ditch Treatment System)


Sistem ini terpilih untuk pengolahan air limbah rumah sakit di kota, karena tidak memerlukan
lahan yang luas. Kolam oksidasi dibuat bulat atau elips, dan air limbah dialirkan secara
berputar agar ada kesempatan lebih lama berkontak dengan oksigen dari udara (aerasi).
Kemudian air limbah dialirkan ke bak sedimentasi untuk mengendapkan benda padat dan
lumpur. Selanjutnya air yang sudah jernih masuk ke bak klorinasi sebelum dibuang ke
selokan umum atau sungai. Sedangkan lumpur yang mengendap diambil dan dikeringkan
pada Sludge drying bed (tempat pengeringan Lumpur). Sistem kolam oksidasi ini terdiri dari :
1)

Pump Swap (pompa air kotor)

2)

Oxidation Ditch (pompa air kotor)

3)

Sedimentation Tank (bak pengendapan)

4)

Chlorination Tank (bak klorinasi)

5)

Sludge Drying Bed ( tempat pengeringan lumpur, biasanya 1-2 petak).

6)

Control Room (ruang kontrol)

c. Anaerobic Filter Treatment System


Sistem pengolahan melalui proses pembusukan anaerobik melalui filter/saringan, air limbah
tersebut sebelumnya telah mengalami pretreatment dengan septic tank (inchaff
tank). Proses anaerobic filter treatment biasanya akan menghasilkan effluent yang

mengandung zat-zat asam organik dan senyawa anorganik yang memerlukan klor lebih
banyak untuk proses oksidasinya. Oleh sebab itu sebelum effluent dialirkan ke bak klorida
ditampung dulu di bak stabilisasi untuk memberikan kesempatan oksidasi zat-zat tersebut di
atas, sehingga akan menurunkan jumlah klorin yang dibutuhkan pada proses klorinasi nanti.
Sistem Anaerobic Treatment terdiri dari komponen-komponen antara lain sebagai berikut :
1)

Pump Swap (pompa air kotor)

2)

Septic Tank (inhaff tank)

3)

Anaerobic filter.

4)

Stabilization tank (bak stabilisasi)

5)

Chlorination tank (bak klorinasi)

6)

Sludge drying bed (tempat pengeringan lumpur)

7)

Control room (ruang kontrol)

Sesuai dengan debit air buangan dari rumah sakit yang juga tergantung dari besar kecilnya
rumah sakit, atau jumlah tempat tidur, maka kontruksi Anaerobic Filter Treatment
Systemdapat disesuaikan dengan kebutuhan tersebut, misalnya :
1)

Volume septic tank

2)

Jumlah anaerobic filter

3)

Volume stabilization tank

4)

Jumlah chlorination tank

5)

Jumlah sludge drying bed

6)

Perkiraan luas lahan yang diperlukan

Secara singkat pengelolaan pengelolaan dan pembuangan limbah medis adalah sebagai
berikut :
1. Pengumpulan ( Pemisahan Dan Pengurangan )

Proses pemilahan dan reduksi sampah hendaknya merupakan proses yang kontinyu yang
pelaksanaannya harus mempertimbangkan : kelancaran penanganan dan penampungan
sampah, pengurangan volume dengan perlakuan pemisahan limbah B3 dan non B3 serta

menghindari penggunaan bahan kimia B3, pengemasan dan pemberian label yang jelas dari
berbagai jenis sampah untuk efisiensi biaya, petugas dan pembuangan.
2. Penampungan

Penampungan sampah ini wadah yang memiliki sifat kuat, tidak mudah bocor atau berlumut,
terhindar dari sobek atau pecah, mempunyai tutup dan tidak overload. Penampungan dalam
pengelolaan sampah medis dilakukan perlakuan standarisasi kantong dan kontainer seperti
dengan menggunakan kantong yang bermacam warna seperti telah ditetapkan dalam
Permenkes RI no. 986/Men.Kes/Per/1992 dimana kantong berwarna kuning dengan lambang
biohazard untuk sampah infeksius, kantong berwarna ungu dengan simbol citotoksik untuk
limbah citotoksik, kantong berwarna merah dengan simbol radioaktif untuk limbah radioaktif
dan kantong berwarna hitam dengan tulisan domestik
3. Pengangkutan

Pengangkutan dibedakan menjadi dua yaitu pengangkutan intenal dan eksternal.


Pengangkutan internal berawal dari titik penampungan awal ke tempat pembuangan atau ke
incinerator (pengolahan on-site). Dalam pengangkutan internal biasanya digunakan kereta
dorong sebagai yang sudah diberi label, dan dibersihkan secara berkala serta petugas
pelaksana dilengkapi dengan alat proteksi dan pakaian kerja khusus.
Pengangkutan eksternal yaitu pengangkutan sampah medis ketempat pembuangan di luar
(off-site). Pengangkutan eksternal memerlukan prosedur pelaksanaan yang tepat dan harus
dipatuhi petugas yang terlibat. Prosedur tersebut termasuk memenuhi peraturan angkutan
lokal. Sampah medis diangkut dalam kontainer khusus, harus kuat dan tidak bocor.
4. Pengolahan dan Pembuangan

Metoda yang digunakan untuk megolah dan membuang sampah medis tergantung pada
faktor-faktor khusus yang sesuai dengan institusi yang berkaitan dengan peraturan yang
berlaku dan aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap masyarakat. Teknik pengolahan
sampah medis (medical waste) yang mungkin diterapkan adalah :

Incinerasi

Sterilisasi dengan uap panas/ autoclaving (pada kondisi uap jenuh bersuhu
121 C)

Sterilisasi dengan gas (gas yang digunakan berupa ethylene oxide atau
formaldehyde)

Desinfeksi zat kimia dengan proses grinding (menggunakan cairan kimia


sebagai desinfektan)

Inaktivasi suhu tinggi

Radiasi (dengan ultraviolet atau ionisasi radiasi seperti C o60

Microwave treatment

Grinding dan shredding (proses homogenisasi bentuk atau ukuran


sampah)

Pemampatan/pemadatan, dengan tujuan untuk mengurangi volume yang


terbentuk.

5. Incinerator
Beberapa hal yang perlu diperhatikan apabila incinerator akan digunakan
di rumah sakit antara lain: ukuran, desain, kapasitas yang disesuaikan
dengan volume sampah medis yang akan dibakar dan disesuaikan pula
dengan pengaturan pengendalian pencemaran udara, penempatan lokasi
yang berkaitan dengan jalur pengangkutan sampah dalam kompleks
rumah sakit dan jalur pembuangan abu, serta perangkap untuk
melindungi incinerator dari bahaya kebakaran.
Keuntungan menggunakan incinerator adalah dapat mengurangi volume
sampah, dapat membakar beberapa jenis sampah termasuk sampah B3
(toksik menjadi non toksik, infeksius menjadi non infeksius), lahan yang
dibutuhkan relatif tidak luas, pengoperasinnya tidak tergantung pada
iklim, dan residu abu dapat digunakan untuk mengisi tanah yang rendah.
Sedangkan kerugiannya adalah tidak semua jenis sampah dapt
dimusnahkan terutama sampah dari logam dan botol, serta dapat
menimbulkan pencemaran udara bila tidak dilengkapi dengan pollution
control berupa cyclon (udara berputar) atau bag filter (penghisap debu).
Hasil pembakaran berupa residu serta abu dikeluarkan dari incinerator dan
ditimbun dilahan yang rendah. Sedangkan gas/pertikulat dikeluarkan
melalui cerobong setelah melalui sarana pengolah pencemar udara yang
sesuai.

F.

Kesimpulan

Keberagaman sampah/limbah rumah sakit memerlukan penanganan yang baik sebelum


proses pembuangan. Sayang sebagian besar pengelolaan limbah medis (medical waste) RS
masih di bawah standar lingkungan karena umumnya dibuang ke tempat pembuangan akhir
(TPA) sampah dengan sistem open dumping atau dibuang di sembarang tempat. Bila
pengelolaan limbah tak dilaksanakan secara saniter, akan menyebabkan gangguan bagi
masyarakat di sekitar RS dan pengguna limbah medis. Agen penyakit limbah RS memasuki
manusia (host) melalui air, udara, makanan, alat, atau benda. Agen penyakit bisa ditularkan
pada masyarakat sekitar, pemakai limbah medis, dan pengantar orang sakit.
Berbagai cara dilakukan RS untuk mengolah limbahnya. Tahap penanganan limbah adalah
pewadahan, pengumpulan, pemindahan pada transfer depo, pengangkutan, pemilahan,
pemotongan, pengolahan, dan pembuangan akhir. Pembuangan akhir ini bisa berupa sanitary
fill, secured landfill, dan open dumping.
Mencegah limbah RS memasuki lingkungan dimaksudkan untuk mengurangi keterpajanan
(exposure) masyarakat. Tindakan ini bisa mencegah bahaya dan risiko infeksi pengguna

limbah. Tindakan pencegahan lain yang mudah, jangan mencampur limbah secara bersama.
Untuk itu tiap RS harus berhati-hati dalam membuang limbah medis.
Ada beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai resiko untuk mendapat gangguan
karena buangan rumah sakit. Pertama, pasien yang datang ke Rumah Sakit untuk memperoleh
pertolongan pengobatan dan perawatan Rumah Sakit. Kelompok ini merupakan kelompok
yang paling rentan. Kedua, karyawan Rumah sakit dalam melaksanakan tugas sehari-harinya
selalu kontak dengan orang sakit yang merupakan sumber agen penyakit. Ketiga,
pengunjung/pengantar orang sakit yang berkunjung ke rumah sakit, resiko terkena gangguan
kesehatan akan semakin besar. Keempat, masyarakat yang bermukim di sekitar Rumah Sakit,
lebih-lebih lagi bila Rumah sakit membuang hasil buangan Rumah Sakit tidak sebagaimana
mestinya ke lingkungan sekitarnya. Akibatnya adalah kualitas lingkungan menjadi menurun
dengan akibat lanjutannya adalah menurunnya derajat kesehatan masyarakat di lingkungan
tersebut. Oleh karena itu, rumah sakit wajib melaksanakan pengelolaan buangan rumah sakit
yang baik dan benar dengan melaksanakan kegiatan Sanitasi Rumah Sakit.
Aspek pengelolaan limbah telah berkembang pesat seiring lajunya pembangunan. Konsep
lama yang lebih menekankan pengelolaan limbah setelah terjadinya limbah (end-of-pipe
approach) membawa konsekuensi ekonomi biaya tinggi. Kini telah berkembang pemikiran
pengelolaan limbah dikenal sebagai Sistem Manajemen Lingkungan. Dengan pendekatan
sistem itu, tak hanya cara mengelola limbah sebagai by product (output), tetapi juga
meminimalisasi limbah. Pengelolaan limbah RS ini mengacu Peraturan Menkes No
986/Menkes/Per/XI/ 1992 dan Keputusan Dirjen P2M PLP No HK.00.06.6.44,tentang
petunjuk teknis Penyehatan Lingkungan Rumah Sakit. Intinya penyelamatan anak harus di
nomorsatukan, kontaminasi agen harus dicegah, limbah yang dibuang harus tak berbahaya,
tak infeksius, dan merupakan limbah yang tidak dapat digunakan kembali.
Rumah sakit sebagai bagian lingkungan yang menyatu dengan masyarakat harus menerapkan
prinsip ini demi menjamin keamanan limbah medis yang dihasilkan dan tak melahirkan
masalah baru bagi kesehatan di Indonesia.
G.

Saran

Semestinya lingkungan rumah sakit menjadi tempat yang mendukung bagi pemulihan
kesehatan pasien sebagai Environtment of Care dalam kerangka Patient Safety yang
dicanangkan oleh organisasi kesehatan dunia WHO. Oleh karena itu rumah sakit harus bersih
dan bebas dari sumber penyakit. Kebersihan yang dimaksud adalah keadaan atau kondisi
yang bebas dari bahaya dan resiko minimal bagi terjadinya infeksi silang.
Rumah sakit juga harus menjadi contoh bagi masyarakat untuk membudayakan kebersihan
dan upaya peningkatan kebersihan rumah sakit harus terus-menerus dilaksanakan dengan
menggiatkan program supervisi, monitoring dan evaluasi agar kebersihan dapat
dipertahankan dan ditingkatkan dari waktu ke waktu.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M., 2008, Pengaruh Limbah Rumah Sakit Terhadap Kesehatan, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia,
Depkes RI 2009 , Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan
Fasilitas Kesehatan Lainnya. Jakarta
Kusminarno, K., 2004, Manajemen Limbah Rumah Sakit, Jakarta
Nainggolan, R., Elsa, Musadad A., 2008, Kajian Pengelolaan Limbah Padat Medis Rumah
Sakit, Jakarta
Notoadmodjo, S., 2007, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta
Paramita, N., 2007, Evaluasi Pengelolaan Sampah Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot
Soebroto, Jurnal Presipitasi Vol. 2 No.1 Maret 2007, Issn 1907-187x, Semarang
Permenkes RI nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit
Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan
RI.http://www.depkes.go.id
Shofyan, M., 2010, Jenis Limbah Rumah Sakit Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Serta
Lingkungan, UPI
Suripto, A., 2002, Pengelolaan Limbah Radioterapi Eksternal Rumah Sakit, Buletin
Alara, Volume 4 (Edisi Khusus), Serpong
Zaenab, 2009, Teknologi Pengolahan Limbah Medis Cair, Makassar
Tentang iklan-iklan ini
By ansharbonassilfa Tagged cara mengelola, incenerator, infection control,
ipcn, kesehatan lingkungan, limbah, manajemen, pengendalian infeksi, ppirs,
rumah sakit, rumah sakit berseri
6

Navigasi pos
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN DI
LAHAN PRAKTIK
6 comments on PENGELOLAAN SAMPAH/LIMBAH RUMAH SAKIT
DAN PERMASALAHANNYA

1.

dephii

Desember 12, 2013 @ 9:10 am

Salam kenal Pak Anshar. Saya Devi, salah satu perawat yang baru ikut di PPI. Sharing
saja Bapak.. untuk sampah.. sebenarnya idealnya di rawat inap apakah harus ada
semua itu? sampah jaringan dll?
karena biasanya yang ada hanya sampah medis dan non medis. BTK.
Balas
ansharbonassilfa

Mei 13, 2016 @ 11:06 am

Yang musti ada adalah sampah infeksius dan non infeksius. Sehingga sampah
jaringan tubuh dikategorikan sebagai sampah infeksius. Harus dipastikan
pemusnahan nya dengan cara insenerasi.
Balas
2.

Benget Siahaan

Januari 21, 2016 @ 4:34 am

Salam kenal Pak Anshar


Saya sangat menyukai Topik yang anda sharing. Saya sungguh prihatin melihat
kenyataan tentang incinerator yang belum di terapkan pemerintah, seharusnya setiap
rumah sakit maupun klik sudah harus memiliki dan mampu mengelolah sendiri
limbah yang mereka hasilkan, agar benar2 aman dari infeksi.
Balas
o

ansharbonassilfa

Mei 13, 2016 @ 10:59 am

Salam kenal
Masalah pengoperasian incenerator di RS sekarang terkendali oleh peraturan
atau kebijakan di bidang lingkungan hidup bahwa incenerator tidak
dibenarkan beroperasi di daerah pemukiman padat penduduk karena akan
mencemari udara pemukiman. Sehingga pada umumnya rumah sakit
mengalami hambatan bagi perizinan operasional incenerator. Bila ingin kelola
sendiri maka rumah sakit harus mencari kawasan industri yang bebas
pemukiman penduduk untuk membangun unit pengolah sampah infeksius
yang menggunakan insinerator atau rumah sakit menggunakan jasa pihak
ketiga yang sudah memiliki kawasan dan izin resmi sebagai pengolah sampah
infeksius dengan insinerator. Masalah biaya.. Apa boleh buat..
Balas
3.

TRI NASTITI

Oktober 22, 2016 @ 6:19 am

Salam kenal pak, mohon sarannya saya dari ketapang kalimantan barat untuk limbah
kantong darah bagai mana proses pemusnahannya karna dengan incenerator tidak
memungkinkan kantong berisi cairan darah, terima kasih atas sarannya
Balas
o

ansharbonassilfa

Oktober 22, 2016 @ 9:18 am

Terima kasih atas kunjungannya ke Blog ini. Mudah2an informasi telah


diposting memberikan manfaat bagi upaya pencegahan risiko penyebaran
infeksi.
Salam kenal juga Saudari Tri Nastiti. Benar seperti yang anda sampaikan
bahwa proses pemusnahan kantong darah dengan incenerator tidak
memungkinkan bila kantong masih terisi dengan cairan darah. Makanya
perlundiatur dengan regulasi berisi kebijakan dan prosedur agar kantong darah
yang masih berisi cairan darah agar dikosongkan terlebih dahulu dengan cara
di jebol/ digunting kantongnya lalu isi kantong (darah/ produk darah) dibuang
ke spoolhoek yg terhubung ke sistem penanganan limbah (IPAL). Setelah
kantong dikosongkan baru dimusnahkan dengan incenerator. Masalah siapa
petugas yang mengerjakan, dimana dikerjakan atau alur prosesnya silakan

diatur secara rinci dalam kebijkan atau SPO yang disusun oleh pimpinan
instansi terkait.
Demikian Tri Nastiti Semoga keterangan ini bisa membantu
Balas
Tinggalkan Balasan

Cari

Arsip

April 2013

Februari 2013

Meta

Daftar

Masuk
Blog di WordPress.com.

Anda mungkin juga menyukai