Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM PENGOLAHAN LIMBAH

PENGOLAHAN LIMBAH B3

DISUSUN OLEH :

Kelompok VI

Kelas B

Maria Simaremare (1507034848)


Nadya Eka Putri (1507036966)
Rahmat Ade Agustias (1507036341)

DOSEN PEMBIMBING : Dra. Wisrayetti, M.Si

LABORATORIUM DASAR-DASAR PROSES KIMIA


PROGRAM STUDI D-III TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2017
ABSTRAK

Limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan
berbahaya dan beracun yang karena sifat, konsentrasi, dan jumlahnya baik
secara langsung ataupun tidak langsung dapat mencemarkan atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta
makhluk hidup lainnya. Percobaan ini bertujuan untuk menentukan karakteristik
limbah B3, menjelaskan cara pengolahan limbah B3 serta menganalisa limbah
B3 dengan cara fisika. Percobaan dilakukan dengan mengalirkan larutan sampel
Cu2+ ke dalam adsorben lempung dengan variasi tinggi unggun 3 cm dan 5 cm.
Sampel keluaran kolom adsorpsi ditampung pada gelas kimia, kemudian
dianalisa dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectroscopy) untuk
diketahui konsentrasinya. Konsentrasi filtrat pada tinggi unggun lempung 3 cm
adalah 0,023 ppm. Sedangkan konsentrasi filtrat pada tinggi unggun lempung 5
cm adalah 0,01 ppm. Hasil percobaan didapat bahwa semakin tinggi variasi
unggun lempung yang digunakan, maka akan semakin kecil konsentrasi filtrat
Cu2+ yang keluar dari kolom.
Kata Kunci : AAS, absorbansi, adsorben, filtrat, konsentrasi, lempung, limbah
B3, tinggi unggun.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Percobaan


Adapun tujuan percobaan pengolahan limbah B3 yaitu sebagai berikut:
1. Menentukan karakteristik limbah B3
2. Menjelaskan cara pengolahan limbah B3
3. Menganalisa limbah B3 dengan cara fisika

1.2 Landasan Teori


Limbah adalah bahan sisa pada suatu kegiatan atau proses produksi. Awal
munculnya limbah bermula dari aktifitas manusia ynag bisa berupa kegiatan
industri, rumag tangga, dll. Aktifitas tersebut bisa jadi menggunakan bahan awal
yang memang sudah mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3). Sebuah
aktifitas industri, disamping menghasilkan produk bermanfaat tentu juga
menghasilkan limbah yang mudah diolah dan limbah B3. Yang memerlukan
penanganan ekstra adalah cara penanganan limbah B3 agar tidak berbahaya untuk
lingkungan, kesehatan manusia dan makhluk hidup lain. Dapat disimpulkan
bahwa pencegahan dan pengendalian pencemaranlimbah B3 merupakan
kewajiban bagi sebuah industri disemua sektor dan bidang industri (Tim
Penyusun, 2017)
Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), adalah proses
untuk mengubah jenis, jumlah dan karakteristik limbah B3 menjadi tidak
berbahaya atau tidak beracun atau immobilisasi limbah B3 sebelum ditimbun atau
memungkinkan agar limbah B3 dimanfaatkan kembali (daur ulang). Pengolahan
limbah B3 merupakan suatu kegiatan yang cukup banyak, antara lain mencakup :
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan pengolahan dan penimbunan atau
pembuangan akhir. Pengelolaan limbah B3 bertujuan untuk melindungi kesehatan
masyarakat dan mencegah pencemaran lingkungan (Tim Penyusun, 2017).
Proses pengolahan limbah B3 dapat dilakukan secara pengolahan fisika dan
kimia, stabilisasi/solidifikasi, biologis, dan insenerasi (secara thermal). Proses
pengolahan secara fisika dan kimia bertujuan untuk mengurangi daya racun
limbah B3 atau menghilangkan sifat/karakteristik limbah B3 dari berbahaya
menjadi tidak berbahaya. Proses pengolahan secara stabilisasi/solidifikasi
bertujuan untuk mengubah watak fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara
penambahan senyawa pengikat B3 agar pergerakan senyawa B3 ini terhambat
atau terbatasi dan membentuk massa monolit dengan struktur yang kekar.
Sedangkan proses pengolahan secara insenerasi bertujuan untuk menghancurkan
senyawa yang terkandung didalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung
B3. Pemilihan proses pengolahan limbah B3, teknologi dan penerapannya didasari
atas evaluasi kriteria yang menyangkut kerja, keluwesan, kehandalan, keamanan,
operasi dari teknologi yang digunakan, dan pertimabangan lingkungan. Timbunan
limabah B3 yang sudah tidak dapat diolah atau dimanfaatkan lagi harus ditimbun
pada lokasi penimbunan (landfill) yang memenuhi persyaratn yang telah
ditetapkan (Tim Penyusun, 2017).

1.2.1 Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun


Limbah B3 (Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun) adalah sisa suatu
usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang karena
sifat, konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat
mencemarkan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Bentuk limbah B3
adalah padat, cair dan udara. Jenis limbah tersebut memiliki sifat-sifat yang
berbeda, sehingga memerlukan metoda pengelolaan limbah yang berbeda pula,
sebelum dibuang ke lingkungan (Tim Penyusun, 2017).
Ada beberapa karakteristik limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) :
1. Mudah meledak (eksplosif) (misal : bahan peledak)
2. Mudah terbakar (misal : bahan bakar extremely flammable and highly
flammable)
3. Bersifat reaktif (misal : bahan-bahan oksidator)
4. Berbahaya/harmful (misal : logam berat)
5. Menyebabkan infeksi (misal : limbah medis rumah sakit)
6. Bersifat korosif (asam kuat)
7. Bersifat irritatif (basa kuat)
8. Beracun (produk uji toksikologi)
9. Karsinogenik, Mutagenik dan Teratogenik (merkuri, turunan benzena,
beberapa zat warna)
10. Bahan Radioaktif (Uranium, plutonium, dll)
Berdasarkan jenisnya, limbah B3 dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. B3 dari sumber spesifik yaitu B3 yang berasal bukan dari proses utamanya
tetapi berasal dari kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, inhibitor korosi,
pelarutan kerak, pengemasan, dll.
2. B3 dari sumber spesifik yaitu B3 bahan awal, produk atau sisa proses
suatu industri atau kegiatan tertentu.
3. B3 dari sumber lain yaitu bahan kimia kadaluwarsa, tumpahan, sisa
kemasan dan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.

Pengolahan limbah B3, adalah proses untuk mengubah karakteristik dan


komposisi limbah B3 untuk menghilangkan atau mengurangi sifat bahaya atau
sifat racun. Tujuan dari pengolahan limbah B3 adalah untuk mengurangi,
memisahkan, mengisolasi atau menghancurkan sifat/kontaminan yang berbahaya
(Tim Penyusun, 2017).
Jenis pengolahan limbah, secara garis besar dapat dikelompokkan atas :
a. Pengolahan fisika-kimia
b. Pengolahan biologis
c. Pengolahan thermal
Jenis pengolahan limbah B3 dapat dikelompokkan atas :
1. Pengolahan secara Fisika/Kimia
a. Stabilisasi/Solidifikasi
b. Filtrasi dan Separasi
c. Oresipitasi Kimia
d. Reduksi dan Oksidasi
e. Evaporasi
2. Pengolahan secara Biologi
a. Aerobic/An-aerobic Digestion
b. Composting
3. Pengolahan secara Thermal
a. Insenerasi Tanur Putar
b. Insenerasi Tanur Semen
c. Insenerasi Katalitik
d. Peleburan Gelas
e. Oksidasi Termal

Pada pengolahan limbah B3 secara reaksi kimia atau fisika, yang harus
diperhatikan adalah pada penentuan jenis limbahnya, apakah limbah organik atau
anorganik. Proses reaksi kimia/fisika yang dilakukan adalah pH control, redox
potential control, precipitation (carbonate, sulfide, silicate), adsorption,
chemisorption, passivation, ion exchange, diadochy, reprecipitation,
encapsulation (micro and macro-encapsulation).
Kriteria proses pengolahan limbah b3 dengan cara stabilisasi adalah
dengan cara menghilangkan atau mengurangi potensi racun dan kandungan B3
melalui upaya memperkecil atau membatasi daya larut, pergerakan/penyebaran
dan daya racunnya sebelum dilakukan penimbunan dalam landfill limbah B3.
Umumnya dilakukan untuk limbah an-organik. Kriteria pengujian dan baku mutu:
a. Uji TCLP
b. Uji Compressive Strength
c. Uji Paint Filter
Contoh reaksi presipitasi pada proses stabilisasi polutan Hg dan Cr sebagai
berikut:
a. Hg++ + S=  HgS
b. Cr6+ + 3 e  Cr3+
c. Cr3+ + 3 OH-  Cr(OH)3
Tahapan proses kimia/fisika sangan kompleks, namun operasi sederhana.
Produk stabilisasi merupakan suatu ikatan massa monolit dengan struktur yang
masif.
Prinsip pengolahan limbah B3 secara thermal adalah pemusnahan limbah
dengan cara pemberian panas ada suhu tinggi (self destruction). Limbah B3
dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter yaitu total–solids residue
(TSR), kandungan fixed residue (FR), kandungan volatile solids (VR), kadar air
(sludge moisture content), volume padatan, serta karakter atau sifat B3 (toksisitas,
sifat korosif, sifat mudah terbakar, sifat mudah meledak, beracun, serta sifat kimia
dan kandungan senyawa kimia) (Tim Penyusun, 2017).

1.2.2 Tanah Liat


Tanah liat atau lempung dihasilkan oleh alam, yang bersal dari pelapukan
kerak bumi yang sebagian besar tersusun oleh batuan feldspatik, terdiri dari
batuan granit dan batuan beku. Kerak bumi terdiri dari unsur unsur seperti silikon,
oksigen, dan aluminium. Aktivitas panas bumi membuat pelapukan batuan silika
oleh asam karbonat, kemudian membentuk terjadinya tanah liat. Tanah Liat atau
lempung memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Anonim, 2012):
1. Tanahnya sulit menyerap air sehingga tidak cocok untuk dijadikan
lahan pertanian.
2. Tekstur tanahnya cenderung lengket bila dalam keadaan basah dan
kuat menyatu antara butiran tanah yang satu dengan lainnya.
3. Dalam keadaan kering, butiran tanahnya terpecah-pecah secara halus.
4. Merupakan bahan baku pembuatan tembikar dan kerajinan tangan
lainnya yang dalam pembuatannya harus dibakar dengan suhu di atas
1000oC.

Tanah liat terdiri dari beberapa macam. Berikut adalah jenis-jenis tanah
liat:
a. Tanah Liat Primer
Tanah liat primer (residu) adalah jenis tanah liat yang dihasilkan dari
pelapukan batuan feldspatik oleh tenaga endogen yang tidak berpindah dari
batuan induk (batuan asalnya), karena tanah liat tidak berpindah tempat sehingga
sifatnya lebih murni dibandingkan dengan tanah liat sekunder. Selain tenaga air,
tenaga uap panas yang keluar dari dalam bumi mempunyai andil dalam
pembentukan tanah liat primer. Karena tidak terbawa arus air dan tidak tercampur
dengan bahan organik seperti humus, ranting, atau daun busuk dan sebagainya,
maka tanah liat berwarna putih atau putih kusam. Suhu matang berkisar antara
1300oC–1400oC, bahkan ada yang mencapai 1750oC. Yang termasuk tanah liat
primer antara lain: kaolin, bentonite, feldspatik, kwarsa dan dolomite, biasanya
terdapat di tempat-tempat yang lebih tinggi daripada letak tanah sekunder. Pada
umumnya batuan keras basalt dan andesit akan memberikan lempung merah
sedangkan granit akan memberikan lempung putih. Mineral kwarsa dan alumina
dapat digolongkan sebagai jenis tanah liat primer karena merupakan hasil samping
pelapukan batuan feldspatik yang menghasilkan tanah liat kaolinit.
Tanah liat primer memiliki ciri-ciri:
a. Warna putih sampai putih kusam
b. Cenderung berbutir kasar
c. Tidak plastis
d. Daya lebur tinggi
e. Daya susut kecil
f. Bersifat tahan api

Dalam keadaan kering, tanah liat primer sangat rapuh sehingga mudah
ditumbuk menjadi tepung. Hal ini disebabkan partikelnya yang terbentuk tidak
simetris dan bersudut-sudut tidak seperti partikel tanah liat sekunder yang berupa
lempengan sejajar. Secara sederhana dapat dijelaskan melalui gambar penampang
irisan partikel kwarsa yang telah dibesarkan beberapa ribu kali. Dalam gambar di
bawah ini tampak kedua partikel dilapisi lapisan air (water film), tetapi karena
bentuknya tidak datar/asimetris, lapisan air tidak saling bersambungan, akibatnya
partikel-partikel tidak saling menggelincir.

b. Tanah Liat Sekunder


Tanah liat sekunder atau sedimen (endapan) adalah jenis tanah liat hasil
pelapukan batuan feldspatik yang berpindah jauh dari batuan induknya karena
tenaga eksogen yang menyebabkan butiran-butiran tanah liat lepas dan
mengendap pada daerah rendah seperti lembah sungai, tanah rawa, tanah marine,
tanah danau. Dalam perjalanan karena air dan angin, tanah liat bercampur dengan
bahan-bahan organik maupun anorganik sehingga merubah sifat-sifat kimia
maupun fisika tanah liat menjadi partikel-partikel yang menghasilkan tanah liat
sekunder yang lebih halus dan lebih plastis.
Jumlah tanah liat sekunder lebih lebih banyak dari tanah liat primer.
Transportasi air mempunyai pengaruh khusus pada tanah liat, salah satunya ialah
gerakan arus air cenderung menggerus mineral tanah liat menjadi partikel-partikel
yang semakin mengecil. Pada saat kecepatan arus melambat, partikel yang lebih
berat akan mengendap dan meninggalkan partikel yang halus dalam larutan. Pada
saat arus tenang, seperti di danau atau di laut, partikel – partikel yang halus akan
mengendap di dasarnya. Tanah liat yang dipindahkan bisaanya terbentuk dari
beberapa macam jenis tanah liat dan berasal dari beberapa sumber. Dalam setiap
sungai, endapan tanah liat dari beberapa situs cenderung bercampur bersama.
Kehadiran berbagai oksida logam seperti besi, nikel, titan, mangan dan
sebagainya, dari sudut ilmu keramik dianggap sebagai bahan pengotor. Bahan
organik seperti humus dan daun busuk juga merupakan bahan pengotor tanah liat.
Karena pembentukannya melalui proses panjang dan bercampur dengan
bahan pengotor, maka tanah liat mempunyai sifat: berbutir halus, berwarna
krem/abu-abu/coklat/merah jambu/kuning, suhu matang antara 900oC-1400oC.
Pada umumnya tanah liat sekunder lebih plastis dan mempunyai daya susut yang
lebih besar daripada tanah liat primer.
Semakin tinggi suhu bakarnya semakin keras dan semakin kecil
porositasnya, sehingga benda keramik menjadi kedap air. Dibanding dengan tanah
liat primer, tanah liat sekunder mempunyai ciri tidak murni, warna lebih gelap,
berbutir lebih halus dan mempunyai titik lebur yang relatif lebih rendah. Setelah
dibakar tanah liat sekunder biasanya berwarna krem, abu-abu muda sampai coklat
muda ke tua.
Tanah liat sekunder memiliki ciri-ciri:
a. Kurang murni
b. Cenderung berbutir halus
c. Plastis
d. Warna krem/abu-abu/coklat/merah jambu/kuning, kuning muda,
kuning kecoklatan, kemerahan, kehitaman
e. Daya susut tinggi
f. Suhu bakar 1200oC–1300oC, ada yang sampai 1400oC (fireclay,
stoneware, ballclay)
g. Suhu bakar rendah 900oC–1180oC, ada yang sampai 1200oC
(earthenware)
Warna tanah tanah alami terjadi karena adanya unsur oksida besi dan
unsur organis, yang biasanya akan berwama bakar kuning kecoklatan, coklat,
merah, wama karat, atau coklat tua, tergantung dan jumlah oksida besi dan
kotoran-kotoran yang terkandung. Biasanya kandungan oksida besi sekitar 2%-
5%, dengan adanya unsur tersebut tanah cenderung berwarna Iebih gelap,
biasanya matang pada suhu yang lebih rendah, kebalikannya adalah tanah
berwama lebih terang atau pun putih akan matang pada suhu yang lebih tinggi.
Menurut titik leburnya, tanah liat sekunder dapat dibagi menjadi lima
kelompok besar, yaitu:
1. Tanah Liat Tahan Api (Fireclay)
Kebanyakan tanah liat tahan api berwarna terang (putih) ke abu-abu gelap
menuju ke hitam dan ditemukan di alam dalam bentuk bongkahan padat, beberapa
diantaranya berkadar alumina tinggi dan berkadar alkali rendah. Titik leburnya
mencapai suhu ±1500oC. Yang tergolong tanah liat tahan api ialah tanah liat yang
tahan dibakar pada suhu tinggi tanpa mengubah bentuk, misalnya kaolin dan
mineral tahan api seperti alumina dan silika. Bahan ini sering digunakan untuk
bahan campuran pembuatan massa badan siap pakai, untuk produk stoneware
maupun porselin.
Karena beberapa sifatnya yang menguntungkan, antara lain berwarna
putih, mempunyai daya lentur dan sebagainya, maka Kaolin juga dipakai sebagai
bahan pengisi untuk produk kertas dan kosmetik.

2. Tanah Liat Stoneware


Tanah liat stoneware ialah tanah liat yang dalam pembakaran gerabah
(earthenware) tanpa diserta perubahan bentuk. Titik lebur tanah liat stoneware
bisa mencapai suhu 1400oC. Bisaanya berwarna abu-abu, plastis, mempunyai sifat
tahan api dan ukuran butir tidak terlalu halus. Jumlah deposit di alam tidak
sebanyak deposit kaolin atau mineral tahan api. Tanah liat stoneware dapat
digunakan sebagai bahan utama pembuatan benda keramik alat rumah tangga
tanpa atau menggunakan campuran bahan lain. Setelah suhu pembakaran
mencapai ±1250ºC, sifat fisikanya berubah menjadi keras seperti batu, padat,
kedap air dan bila diketuk bersuara nyaring.
3. Ballclay
Disebut juga sebagai tanah liat sendimen. Ballclay berbutir halus,
mempunyai tingkat plastisitas sangat tinggi, daya susutnya besar dan bisaanya
berwarna abu-abu. Tanah liat ini mempunyai titik lebur antara 1250oC s/d 1350oC.
Karena sangat plastis, ballclay hanya dapat dipakai sebagai bahan campuran
pembuatan massa tanah liat siap pakai.

4. Tanah Liat Earthenware


Bahan ini sangat banyak terdapat di alam. Tanah liat ini memiliki tingkat
plastisitas yang cukup, sehingga mudah dibentuk, warna bakar merah coklat dan
titik leburnya sekitar 1100oC s/d 1200oC. Tanah liat merah banyak digunakan di
industri genteng dan gerabah kasar dan halus. Warna alaminya tidak merah terang
tetapi merah karat, karena kandungan besinya mencapai 8%. Bila diglasir
warnanya akan lebih kaya, khususnya dengan menggunakan glasir timbal.

5. Tanah Liat Lainnya


Tanah liat yang termasuk kelompok ini adalah jenis tanah liat
monmorilinit. Contohnya bentonit yang sangat halus dan rekat sekali. Tanah liat
ini hanya digunakan sebagai bahan campuran massa badan kaolinit dalam jumlah
yang relatif kecil.

1.2.3 Spektrofotometri Serapan Atom (AAS)


Spektrofotometri Serapan Atom (AAS) adalah suatu metode analisis yang
didasarkan pada proses penyerapan energi radiasi oleh atom-atom yang berada
pada tingkat energi dasar (ground state). Penyerapan tersebut menyebabkan
tereksitasinya elektron dalam kulit atom ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Keadaan ini bersifat labil, elektron akan kembali ke tingkat energi dasar sambil
mengeluarkan energi yang berbentuk radiasi. Dalam AAS, atom bebas
berinteraksi dengan berbagai bentuk energi seperti energi panas, energi
elektromagnetik, energi kimia dan energi listrik. Interaksi ini menimbulkan
proses-proses dalam atom bebas yang menghasilkan absorpsi dan emisi
(pancaran) radiasi dan panas. Radiasi yang dipancarkan bersifat khas karena
mempunyai panjang gelombang yang karakteristik untuk setiap atom bebas
(Basset, 1994).
Spektrofotometri molekuler pita absopsi inframerah dan UV-tampak yang
di pertimbangkan melibatkan molekul poliatom, tetapi atom individu juga
menyerap radiasi yang menimbulkan keadaan energi elektronik tereksitasi.
Spectra absorpsi lebih sederhana dibandingakan dengan spectra molekulnya
karena keadaan energi elektronik tidak mempunyai sub tingkat vibrasi rotasi. Jadi
spectra absopsi atom terdiri dari garis-garis yang jauh lebih tajam daripada pita-
pita yang diamati dalam spektrokopi molekul (Underwood, 2001).
Spektrrofotometer serapan atom (AAS) merupakan teknik analisis
kuantitatif dari unsur-unsur yang pemakaiannya sangat luas, diberbagai bidang
karena prosedurnya selektif, spesifik, biaya analisa relatif murah, sensitif tinggi
(ppm-ppb), dapat dengan mudah membuat matriks yang sesuai dengan standar,
waktu analisa sangat cepat dan mudah dilakukan. Analisis AAS pada umumnya
digunakan untuk analisa unsur, teknik AAS menjadi alat yang canggih dalam
analisis.ini disebabkan karena sebelum pengukuran tidak selalu memerluka
pemisahan unsur yang ditetukan karena kemungkinan penentuan satu logam unsur
dengan kehadiran unsur lain dapat dilakukan, asalkan katoda berongga yang
diperlukan tersedia. AAS dapat digunakan untuk mengukur logam sebanyak 61
logam. Sember cahaya pada AAS adalah sumber cahaya dari lampu katoda yang
berasal dari elemen yang sedang diukur kemudian dilewatkan ke dalam nyala api
yang berisi sampel yang telah terakomisasi, kemudian radiasi tersebut diteruskan
ke detektor melalui monokromator. Chopper digunakan untuk membedakan
radiasi yang berasal dari nyala api. Detektor akan menolak arah searah arus ( DC )
dari emisi nyala dan hanya mnegukur arus bolak-balik dari sumber radiasi atau
sampel. Atom dari suatu unsur padakeadaan dasar akan dikenai radiasi maka atom
tersebut akan menyerap energi dan mengakibatkan elektron pada kulit terluar naik
ke tingkat energi yang lebih tingi atau tereksitasi. Atom-atom dari sampel akan
menyerpa sebagian sinar yang dipancarkan oleh sumber cahaya. Penyerapan
energi cahaya terjadi pada panjang gelombang tertentu sesuai dengan energi yang
dibutuhkan oleh atom tersebut (Basset, 1994).
BAB II
METODOLOGI PERCOBAAN

2.1 Alat-alat yang Digunakan


a. Kolom adsorpsi
b. Statif dan klem
c. Gelas ukur
d. Ayakan
e. Pipet tetes
f. Batang pengaduk
g. Labu ukur
h. Timbangan analitik
i. Corong
j. Gelas piala
k. Corong pisah

2.2 Bahan-bahan yang Digunakan


a. Larutan Cu2+ sebagai limbah cair
b. Lempung
c. Aquadest
d. Kapas
e. Kertas saring

2.3 Prosedur Percobaan


a. Persiapan Adsorben
1. Lempung digerus menggunakan lumpang dan kemudian diayak
dengan ayakan plastik sampai ukurannya seragam.
2. Adsorben dicuci dengan aquadest berulang kali sampai pH air pencuci
netral
3. Lempung dikeringkan dalam oven pada suhu 110oC.
4. Lempung digerus lagi dengan menggunakan lumpang, kemudian
diayak dengan ayakan plastik sampai ukurannya seragam.
5. Adsorben disimpan dalam wadah plastik.
b. Persiapan Sampel
1. Larutan induk Cu+2 1000 ppm dibuat dengan cara melarutkan sebanyak
3,8 gram Cu(NO3)2.3H2O dengan aquadest pada gelas kimia terlebih
dahulu. Kemudian dimasukkan pada labu ukur 1000 mL dan
ditambahkan aquadest hingga tanda batas.
2. Kemudian larutan induk diencerkan menjadi 100 ppm dengan cara
melarutkan 50 mL larutan induk dengan aquadest pada labu ukur 500
mL hingga tanda batas.
c. Proses Adsorpsi Limbah Cair secara Kontinu
1. Adsorben lempung dimasukkan kedalam kolom yang bagian
bawahnya telah ditutup dengan kapas. Variasi tinggi unggun yaitu 3
cm dan 5 cm untuk masing-masing kolom.
2. Larutan sampel Cu+2 dialirkan melalui corong pisah kedalam kolom.
Keluaran kolom ditampung dalam gelas kimia.
3. Kemudian filtrat keluaran kolom dianalisa. Analisa dilakukan dengan
menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom (AAS). Absorbansi
masing-masing sampel dicatat.
d. Rangkaian Alat

Gambar 2.1 Rangkaian Alat Percobaan


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan


Percobaan pengolahan limbah B3 dilakukan dengan memvariasikan tinggi
uanggun dari lempung yang terdapat pada kolom adsorbsi yaitu 3 cm dan 5 cm.
Hasil absorbansi dari filtrat masing-masing kolom dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Hasil absorbansi dan konsentrasi filtrat pada tiap tinggi unggun
lempung
Tinggi Unggun
Absorbansi Konsentrasi (ppm)
Lempung (cm)
3 -0,0015 0,023
5 -0,0021 0,01

3.2 Pembahasan
Proses terpenting dalam praktikum ini adalah penyiapan adsorbent yaitu
berupa lempung. Pertamanya lempung harus digerus untuk memperkecil
ukurannya. Hal ini bertujuan untuk memperluas luas permukaan lempung agar
daerah kontak antara adsorbent lempung dengan Cu2+ juga semakin besar.
Lempung kemudian dicuci berulang kali untuk memastikan tidak ada partikel
mineral pengganggu yang akan mengganggu proses adsorbsi Cu2+ pada
permukaan pertikel lempung. Lempung yang telah dicuci kemudian dikeringkan
untuk menghilangkan kandungan air setelah proses pencucian.
Berikut merupakan nilai absorbansi terhadap variasi konsentrasi larutan
standar Cu2+ yang disajikan pada Tebel 3.2.
Tabel 3.2 Nilai absorbansi pada tiap variasi konsentrasi Cu2+
Konsentrasi Cu2+ Absorbansi
0 0,0009
1 0,0424
3 0,1326
5 0,2294
7 0,3133
9 0,4166

0.45
0.4 f(x) = 0.05 x − 0
0.35 R² = 1

0.3
Absorbansi

0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Konsentrasi (ppm)

Gambar 3.1 Kurva hubungan konsentrasi Cu dengan absorbansi pada alat


AAS
Berdasarkan Gambar 3.1 diperoleh kurva standar untuk menghitung
konsentrasi Cu2+ yang tidak terserap oleh lempung pada kolom adsorbsi. Dari
kurva tersebut diperoleh persaman linear yaitu y=0,046x-0,0026, yang merupakan
acuan untuk menghitung konsentrasi dari Cu2+ jika adsorbansi diketahui.
Filtrat yang telah tertampung dilakukan pengujian pada alat AAS (Atomic
Absorption Spectroscopy) untuk mengetahui jumlah absorbansi. Setelah
absorbansi diperoleh, nilai absorbansi tersebut dapat digunakan untuk menghitung
konsentrasi dari filtrat yang tertampung menggunakan persamaan linear dari kurva
standart. Konsentrasi filtrat yang diperoleh pada tinggi unggun 3 cm adalah 0,023
ppm. Sedangkan konsentrasi filtrat pada tinggi ungun 5 cm adalah 0,01 ppm.
Semakin banyak partikel lempung maka semakin banyak pula medium penyerap
Cu2+ yang berarti jumlah Cu2+ yang terserap juga semakin banyak apabila tinggi
unggun lempung juga meningkat. Hal tersebut menyebabkan konsentrasi Cu2+
pada filtrat juga semakin kecil apabila tinggi unggun lempung bertambah.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Konsentrasi Cu2+ pada filtrat dengan tinggi unggun lempung 3 cm adalah
0,023 ppm. Sedangkan konsentrasi Cu2+ pada filtrat dengan tinggi unggun
lempung 5 cm adalah 0,01 ppm
2. Semakin besar variasi tinggi unggun lempung, maka konsentrasi Cu2+ akan
semakin kecil.

4.2 Saran
Hendaknya kepadatan lempung pada kolom adsorbsi harus sama rata
untuk menghindari terjadinya proses adsorbsi yang tidak merata.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2012, Mengenal Tanah Liat atau “Lempung”, [online] Tersedia:


http://www.ruangkumemajangkarya.wordpress.com Diakses pada 10
November 2017
Basset, J., 1994, Buku Ajar Vogel Kimia Analisa Kuantitatif Anorganik, Jakarta:
EGC.
Tim Penyusun, 2017, Penuntun Praktikum Pengolahan Limbah, Pekanbaru:
Program Studi D-III Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau.
Underwood, A.L., dan Day, R.A., 2001, Analisa Kimia Kualitatif Edisi Keenam,
Jakarta: Erlangga.
LAMPIRAN A
PERHITUNGAN

A. Persiapan Larutan

1). Pembuatan larutan induk Cu2+ 1000 ppm

Pembuatan larutan induk Cu2+ 1000 ppm dengan rumus sebagai berikut:

Mr Cu(NO 3)2 .3 H 2 O
Konsentrasi Cu(NO3)2.3H2O ¿ x 1000 mg/ L
Ar Cu

241,6 gr /mol
¿ 1000 mg/ L
63,5 gr /mol
= 3800 mg/L

=3,8 g/L

Maka untuk membuat larutan induk Cu2+ 1000 ppm, dilarutkan Cu(NO3)2.3H2O
sebanyak 3,8 gram dengan aquadest hingga 1000 mL

2). Pengenceran Larutan Cu2+

Pembuatan larutan Cu2+ 100 ppm sebanyak 500 mL sebagai berikut:

V1. N1= V2. N2

V1. 1000 ppm = 500 mL. 100 ppm

V1 = 50 mL

Maka untuk membuat larutan Cu2+ 100 ppm sebanyak 500 mL, 50 mL larutan
Cu2+ 1000 ppm diencerkan di labu ukur 500 mL.

B. Penentuan Konsentrasi Filtrat Cu2+ pada Setiap Tinggi Unggun


Lempung 3 cm dan 5 cm
Bersumber dari kurva standart didapatkan persamaan linear perbandingan
antara konsentrasi Cu2+ dengan absorbansi, yaitu y=0,046x-0,0026.
1). Konsentrasi Filtrat Cu2+ pada Tinggi Lempung 3 cm

Absorbansi (y) : -0,0015

Konsentrasi (x): y = 0,046x-0,0026

-0,0015= 0,046x-0,0026

x = 0,023 ppm

Maka besar konsentrasi filtrat Cu2+ dari tinggi unggun 3 cm adalah 0,023 ppm.

2). Konsentrasi Filtrat Cu2+ pada Tinggi Lempung 5 cm

Absorbansi (y) : -0,0021

Konsentrasi (x): y = 0,046x-0,0026

-0,0021= 0,046x-0,0026

x = 0,01

Maka besar konsentrasi filtrat Cu2+ dari tinggi unggun 5 cm adalah 0,01 ppm.
LAMPIRAN B
LAPORAN SEMENTARA

PRAKTIKUM PENGOLAHAN LIMBAH

Judul Praktikum : Pengolahan Limbah B3

Kelompok : 6 (enam)

Anggota : 1. Maria Simaremare

2. Nadya Eka Putri

3. Rahmat Ade Agustias

a. Pembuatan Larutan Induk Cu+2 1000 ppm

Pembuatan larutan induk Cu2+ 1000 ppm dengan rumus sebagai berikut:

Mr Cu(NO 3)2 .3 H 2 O
Konsentrasi Cu(NO3)2.3H2O ¿ x 1000 mg/ L
Ar Cu

241,6 gr /mol
¿ 1000 mg/ L
63,5 gr /mol
= 3800 mg/L

=3,8 g/L

Maka untuk membuat larutan induk Cu2+ 1000 ppm, dilarutkan Cu(NO3)2.3H2O
sebanyak 3,8 gram dengan aquadest hingga 1000 mL

b. Pembuatan Larutan Cu+2 100 ppm

Pembuatan larutan Cu2+ 100 ppm sebanyak 500 mL sebagai berikut:

V1. N1= V2. N2

V1. 1000 ppm = 500 mL. 100 ppm

V1 = 50 mL
Maka untuk membuat larutan Cu2+ 100 ppm sebanyak 500 mL, 50 mL larutan
Cu2+ 1000 ppm diencerkan di labu ukur 500 mL.

c. Data Konsentrasi dan Absrobansi dari Larutan Standart


Tabel B. 1 Data konsentrasi dan absorbansi dari larutan standart
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
0 0,0009
1 0,0424
3 0,1326
5 0,2294
7 0,3133
9 0,4166

d. Data Absorbansi dari Filtrat pada Setiap Variasi Tinggi Unggun Lempung
Tabel B.2 Nilai absorbansi pada tiap variasi tinggi unggun
Tinggi Unggun (cm) Absorbansi
3 -0,0015
5 -0,0021

Mengetahui Pekanbaru, 12 November 2017

Asisten Praktikan

Allailus Syah Safara Rahmat Ade Agustias

Anda mungkin juga menyukai