Anda di halaman 1dari 30

PENGELOLAAN B3 TL-3104

KASUS-KASUS ILLEGAL TRAFFIC LIMBAH B3


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengelolaan B3

Dosen:
Dr. Benno Rahardyan, S.T., M.T.
Dinda Annisa Nurdiani, S.T., M.T.

Disusun oleh:
Shefira Herlindya Putri 15319002
Ribka Risma S 15319005
Putri Rahmadini Mumpuni 15319008
Oktavia Wima A 15319011
Fitri Aulia Dini 15319026
Arsyi Aqsara 15319029
Anggid Primastiti 15319033
Veri Goklas Silalahi 15319036
Nisa Ulfakhira 15319052
Maulidya Azaria H. 15319055
Satria Hadi Utomo 15319058
Yumna Kamila 15319061
Muhammad Fahrul R 15319077
Yasmin Farhaini D. 15319080
Syarif Makki Zamani 15319083
Naja Safira Al-Faiqah 15319087

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Esa, kami ucapkan puji syukur atas kehadirat-
Nya yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tim penyusun dapat
menyelesaikan laporan ini dengan lancar. Laporan ini diselesaikan dalam rangka memenuhi tugas
mata kuliah Pengelolaan B3 (TL-3104). Dalam laporan mengulas tentang kasus-kasus illegal
traffic limbah B3 baik yang ada di Indonesia maupun dunia.

Tim penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini, yaitu dosen mata kuliah Pengelolaan B3 serta semua orang yang telah
membantu dalam observasi dan penyusunan laporan ini. Tim penyusun berharap laporan ini dapat
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai kasus illegal traffic limbah B3 yang pernah
terjadi dan prosedur notifikasi lintas batas dan control menurut beberapa konvensi dan di Indonesia
sendiri.

Akhir kata, tim penyusun sadar bahwa laporan ini memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis sangat terbuka terhadap saran dan kritik yang membangun dalam bentuk apapun.
Tanggapan mengenai makalah ini akan sangat membantu untuk kesempurnaan pada laporan-
laporan selanjutnya.

Bandung, Oktober 2021

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………….2

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………3

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………………...5

BAB I: PENDAHULUAN…………………………………………………...……………………6

I.1 Latar belakang………………………………………………………………………………….6

I.2 Maksud dan tujuan……………………………………………………………………………..7

BAB II: PEMBAHASAN…………………………………………………………………………8

II.1 Kasus Lintas Batas (Transboundary) Ilegal Bahan/Limbah B3 di Dunia

II.1.1 Kasus Penyelundupan Ilegal Limbah B3 di Sri Lanka oleh United Kingdom………... 8

II.1.2 Kasus Pembuangan Sampah Elektronik dari Inggris ke Nigeria…………………….…9

II.1.3 Kasus Love Canal…………………………………………………………………….10

II.2 Kasus Ilegal Masuknya Bahan/Limbah B3 ke Indonesia

II.2.1 Kasus Pembuangan Limbah Beracun Rumah Sakit ke Cirebon……………………….12

II.2.2 Kasus Jombang Sebagai Tempat Penampungan Ilegal Limbah B3 Terbesar di Jawa
Timur………………………………………………………………………………………. 13

II.3 Prosedur Notifikasi Lintas-Batas Menurut Konvensi Basel…………………………………15

II.4 Prosedur Kontrol Menurut Konvensi Basel

II.4.1 Tahap Utama dari Prosedur Kontrol ………………………………………………….19

II.4.2 Tahap Eksportir…………………………………………………………………….…21

II.4.3 Tahap Disposer………………………………………………………………………. 23

II.5 Prosedur Notifikasi Lintas-Batas Menurut Peraturan di Indonesia………………………….24

3
BAB III: KESIMPULAN………………………………………………………………………...28

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………………29

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Tahapan Prosedur Notifikasi ………………………………………………………18

Gambar II.2 Flow Chart Prosedur Notifikasi dan Kontrol dari Konvensi Basel………………...20

Gambar II.3 Flow Chart Prosedur Notifikasi dan Kontrol dari Konvensi Basel………………...21

Gambar II.4 Langkah yang Harus Dilakukan Eksportir dalam Prosedur Kontrol………………..22

Gambar II.5 Langkah yang Harus Dilakukan Disposer dalam Prosedur Kontrol…………………23

5
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Seiring dengan meningkatnya perkembangan teknologi dan industry, membuat
jumlah produksi limbah termasuk limbah B3 ke lingkungan semakin banyak. Oleh karena
itu, limbah B3 memerlukan perhatian khusus dalam hal pengelolaannya karena limbah B3
dapat mencemari lingkungan, membahayakan kesehatan manusia dan mengancam
keberlangsungan makhluk hidup lainnya. Pengelolaan limbah B3 harus dilakukan dengan
baik dan berwawasan lingkungan sehingga biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Oleh
karena itu, banyak produsen yang memilih jalan pintas dengan memindahkan limbah B3
ini untuk dimusnahkan atau diproses di negara lain terutama negara berkembang atau
miskin.

Kasus pembuangan limbah B3 masih marak terjadi di dunia. Beberapa penyebab


berkembangnya praktek perdagangan limbah antar negara adalah karena negara-negara
maju telah menetapkan dan menerapkan berbagai peraturan untuk mencegah pencemaran
lingkungan secara ketat, biaya pengolahan limbah yang semakin tinggi sehingga produsen
limbah lebih memilih membuang atau mengekspor limbah tersebut ke negara berkembang
karena biaya pengiriman lebih murah dibanding biaya pengolahan di negara sendiri, negara
pengekspor limbah tidak mempunyai fasilitas pengolahan yang memadai atau tidak
memilikii cukup lahan sebagai tempat pemrosesan akhir. Selain itu, dengan adanya
kegiatan ekspor, keuntungan devisa negara semakin bertambah.

The Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous


Wastes and Their Disposal 1989 merupakan perjanjian internasional untuk mengurangi
dan mengatur perpindahan limbah berbahaya antar negara. Tujuannya adalah supaya para
pihak produsen menaati isi konvesi tersebut untuk meminimalkan terjadinya perpindahan
limbah B3 lintas negara. Pengaturan tersebut dipahami melalui mekanisme prior informed
consent (PIC). Mekanisme tersebut pada dasarnya adalah kewajiban negara ekspor untuk
memberitahukan perpindahan limbah B3 ke negara impor atau transit secara transparan.

6
Limbah yang dipindahkan harus mempunyai kelengkapan dokumen untuk memastikan
keamanannya bagi negara yang dituju.

Terjadinya pemalsuan serta tidak adanya pemberitahuan terlebih dahulu dari negara
pengekspor, dan kelengkapan dokumen perizinan dari negara pengimpor, menjadikan
proses perpindahan limbah B3 lintas batas negara tersebut illegal. Berdasarkan Konvensi
Basel 1989, illegal traffic merupakan perpindahan lintas batas limbah berbahaya melalui
persetujuan yang diperoleh dari pemalsuan, keliru atau penipuan, tidak sesuai dengan cara
bahan dengan dokumen, menghasilkan pembuangan dengan sengaja seperti pembuangan
limbah berbahaya bertentangan dengan konvensi dan prinsip-prinsip hukum internasional.
Oleh karena itu, dalam melakukan perpindahan limbah B3 lintas batas negara harus
diperhatikan apa saja ketentuan yang ada dan peraturan yang berlaku.

Di Indonesia, terjadi beberapa kasus illegal traffic. Banyak negara maju yang
membuang atau mengekspor limbah B3 ke Indonesia. Wilayah kepulauan yang luas
membuat Indonesia sulit untuk mengawasi keseluruhan wilayah sampai ke pulau kecil atau
pulau terluar (KLH 2004). Selain itu, standar pengawasan yang belum merata di pelabuhan
terutama pelabuhan-pelabuhan kecil menjadi faktor mengapa Indonesia rentan untuk
dijadikan sebagai negara tujuan pengiriman limbah B3.

I.2 Maksud dan Tujuan


Maksud dari makalah ini adalah untuk mengetahui kasus-kasus illegal traffic atau
perdagangan bahan dan/limbah B3 lintas batas negara secara illegal yang pernah terjadi di
dunia. Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menjabarkan kasus-kasus lintas batas illegal bahan/limbah B3 di dunia.
2. Menjabarkan sebuah kasus masuknya bahan/limbah B3 ke Indonesia secara illegal dan
pemecahannya.
3. Menjabarkan prosedur notifikasi lintas-batas menurut Konvensi Basel.
4. Menjabarkan prosedur kontrol lintas-batas menurut Konvensi Basel.
5. Menjabarkan prosedur notifikasi lintas-batas menurut peraturan yang ada di Indonesia.

7
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Kasus Lintas-Batas (Transboundary) Ilegal Bahan/Limbah B3 di Dunia

II.1.1 Kasus Penyelundupan Ilegal Limbah B3 di Sri Lanka oleh United Kingdom
Kasus ini berawal dari Bea Cukai Sri Lanka yang mendeteksi adanya peti
kemas berukuran 133 x 40ft ditinggalkan dan tergeletak di dalam pelabuhan Kolombo
pada bulan Mei 2019. Pada tanggal 24 Mei 2019, pemeriksaan bea cukai secara acak
dilakukan pada peti kemas dengan petugas dari Otoritas Lingkungan Pusat (Otoritas
Kompeten Sri Lanka). Kontainer-kontainer tersebut berisi campuran sampah sampah
rumah tangga yang tergolong B3, seperti kasur bekas dan karpet bekas yang
terkontaminasi plastik dan sisa-sisa plastik.

Pada 18 September 2019, 18 kontainer lain dibuka dan ditemukan dokumen


identik di 11 kontainer yang menggambarkan sampah sebagai 19-12-08 dan 20-03-07.
Limbah campuran ini dinyatakan dalam kandang No.7 "fasilitas pemulihan" oleh M/S
Ceylon Metal Processing Corporation (Pvt) Ltd, 157, 4C Winson Park II, Averiwatta
Road, Wattala, Sri Lanka. Namun, penerima barang tersebut tidak memiliki fasilitas
pemulihan dan tidak ada izin yang diperoleh dari Badan Lingkungan Hidup Pusat
untuk proses tersebut. Selanjutnya, penerima barang belum memperoleh persetujuan
sebelumnya dari Otoritas Lingkungan Pusat (CEA) sebelum mengimpor limbah
tersebut ke Sri Lanka.

Selanjutnya, peti kemas berukuran 130 x 40' dari total 263 x 40' pun
dipindahkan dari lokasi pelabuhan oleh sebuah perusahaan bernama Hayley's Free
Zone (HFZ). Penyelidikan bea cukai yang dilakukan sejauh ini mengungkapkan bahwa
peti kemas seberat 246.760 kg yang dinyatakan sebagai pegas logam dan dibersihkan
dari pelabuhan telah diekspor ke negara lain. HFZ telah mengekspor mata air logam,
spons, dan kempa dengan berat total 302.404 kg selama Desember 2017 hingga
Desember 2018. Namun, HFZ tidak memiliki fasilitas di tempat mereka untuk operasi
pemulihan limbah yang dikategorikan dalam Y46 (kategori limbah yang memerlukan

8
pertimbangan khusus berdasarkan Lampiran ii Konvensi Basel) dan tidak ada lisensi
yang diperoleh dari CEA. Sisanya dimasukkan ke dalam peti kemas berukuran 112 x
40' dan 228 x 20' dengan berat total 2.695.506 kg dan diamankan sesuai perintah
Pengadilan Tinggi CA (Writ) 303/19.

Ekspor peti kemas ini bertentangan dengan Pasal 6.1 dan 6.3 Konvensi Basel
karena pemberitahuan ekspor sebelumnya yang disyaratkan dan persetujuan tidak
diperoleh. Selain itu, kegiatan ekspor ini juga melanggar pasal 16 dan pasal 2 & 35
a/b/e/f PERATURAN (UE) No. 1013/2006 PARLEMEN EROPA DAN DEWAN 14
Juni 2006 tentang pengiriman limbah, yang melarang semua ekspor limbah yang tidak
terdaftar ke negara Non-OEeD yang memerlukan persetujuan dari focal point sebelum
diekspor. Adapun dampak kerugian ekonomi yang dihadapi adalah sebesar
Rp1.694.274.751,00. Selain itu, tak tersedianya fasilitas pembuangan limbah yang
aman dan memadai di dalam negeri menjadikan 6.089.753 MT limbah ini berpotensi
mencemari lingkungan, termasuk tanah, air, fauna dan flora. Limbah ini juga dapat
mempengaruhi masyarakat sekitar dan perekonomian jika limbah tersebut dibuang ke
lingkungan. Jika praktik ini dibiarkan terus, sikap masyarakat saat ini terhadap sampah
(misalnya saat ini, masyarakat tahu bahwa impor sampah tidak diperbolehkan dan
ilegal) yang dikembangkan oleh pemerintah akan berubah.

II.1.2 Kasus Pembuangan Sampah Elektronik dari Inggris ke Nigeria


Inggris merupakan salah satu negara yang banyak melakukan pelanggaran di
bidang pengelolaan limbah. Ada beberapa kasus yang tercatat menjadi sebuah
pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku terkait pengelolaan limbah. Salah satu
bentuk pelanggaran Inggris dalam pengelolaan limbah adalah ekspor ilegal e-waste
atau sampah elektronik. Lintas-batas ilegal limbah B3 dapat terjadi karena limbah
tersebut memiliki nilai jual yang cukup bagus di negara penerima. Hal ini dikarenakan
limbah yang paling bernilai di pasar luar negeri adalah sampah elektronik, kendaraan
yang mencapai masa akhir hidupnya dan ban bekas.

9
Sampah elektronik menjadi limbah yang sering diekspor karena dapat
dibongkar dan diproses di luar negeri tanpa perlu menerapkan standar lingkungan yang
tinggi. Di samping memiliki manfaat ekonomi bagi industri daur ulang domestik,
metode yang digunakan untuk membuang dan mengolah limbah peralatan listrik dan
elektronika (WEEE), seperti pembakaran, dapat mengakibatkan dampak kesehatan
yang buruk pada pekerja. Di fasilitas pembakaran dan daur ulang sampah elektronik
informal ini mengandung bahan kimia berbahaya termasuk arsenik, berilium,
kadmium, timbal dan merkuri dalam konsentrasi yang cukup tinggi dan dapat
menyebabkan masalah pernapasan, pencernaan, dan sistem saraf.

Inggris umumnya membuang sampah elektronik ke wilayah Afrika Barat


dengan sebagian kecil dibuang ke Pakistan. Sementara itu, sebagian besar sampah
yang dibuang di Afrika Barat sekarang masuk ke Nigeria. Meskipun tidak hanya
Inggris yang membuang sampah elektronik ke Nigeria, tetapi Inggris menjadi
penyumbang terbesar dari jumlah sampah elektronik tersebut. Berdasarkan laporan
UNEP tahun 2012, Inggris mendominasi ekspor antara Maret dan Juli 2010 hampir
sekitar 60%, diikuti oleh Jerman (Hamburg) dengan 16%. Dari 104 peti kemas
(kontainer) yang berasal dari Inggris, 75% di antaranya didatangkan dari Pelabuhan
Felixstowe.

Selain itu, alur sampah elektronik di Nigeria dapat masuk melalui distributor
lalu distributor akan memilih barang elektronik bekas yang dapat diperbaiki atau yang
tidak dapat diperbaiki sama sekali. Barang elektronik yang tidak dapat diperbaiki
biasanya dikelola dengan cara dibakar atau diambil komponen komponen yang masih
bisa dijual. Selain distributor, masih terdapat banyak pihak yang masuk ke dalam alur
pengelolaan dan daur ulang sampah elektronik ini.

II.1.3 Kasus Love Canal


Bencana ini dikenal dengan tragedi Love Canal. Love Canal adalah sebuah
kawasan di Niagara Falls, New York, yang menjadi subjek perhatian nasional dan
internasional, kontroversi, dalam kasus lingkungan hidup karena keberadaan 21.000

10
ton limbah beracun yang telah terkubur di dalam kanal oleh perusahaan Hooker Kimia.
Pada tahun 1940-an, Hooker Elektrokimia Perusahaan (kemudian dikenal sebagai
Hooker Chemical Company) didirikan oleh Elon Hooker, mulai mencari tempat untuk
membuang jumlah besar limbah kimia. Hooker diberikan izin oleh Power Niagara dan
Pengembangan Perusahaan tahun 1942 untuk membuang limbah di kanal. Kanal
terkuras dan dilapisi dengan tanah liat tebal. Ke situs ini, Hooker mulai menempatkan
metal 55-galon atau barrel serat. Kota Niagara Falls dan tentara melanjutkan
pembuangan sampah. Selama dasawarsa 1940-an dan 1950-an, lebih dari 20.000 ton
limbah kimia dibuang dalam drum-drum ke dasar-dasar kanal setempat yang kosong.

Pembuangan berlangsung sampai tahun 1953. Selama waktu ini, 21.000ton


bahan kimia seperti “Caustics, alkalines, asam lemak dan hidrokarbon diklorinasi dari
pembuatan pewarna, parfum, pelarut untuk resin karet dan sintetik” ditambahkan.
Bahan kimia ini terkubur di kedalaman dua puluh sampai dua puluh lima meter.
Belakangan setelah sampah itu ditutupi, diatasnya dibangun rumah-rumah. Hal itu
diawali ketika pemerintah mendukung pembelian Love Canal oleh salah satu pihak
sekolah, 99th Street School, yang putus asa mencari lahan pendidikan mereka karena
mau tidak mau mereka harus memperluas lahan untuk mengimbangi penduduk yang
mulai berdatangan. Satu dollar adalah harga yang akhirnya diberikan oleh Hooker
Chemical untuk seluruh lahan pembuangan setelah sebelumnya mereka mewanti-
wanti pihak pembeli akan bahaya yang akan dihadapi. Akhirnya perusahaan kimia
tersebut mengibarkan bendera putih atas argumennya dengan satu syarat: ia bebas dari
segala tuduhan bila ada kejadian buruk kedepannya.

Selama dasawarsa-dasawarsa berikutnya, zat-zat kimia itu meloloskan diri,


membunuh hewan dan tumbuhan, bahkan melumerkan sol sepatu manusia. Hal
tersebut awalnya mulai diketahui melalu investigasi wartawan lokal, David Pollak dan
David Russell pada tahun 1976, yang menemukan kandungan limbah kimia pada
sumber air di kawasan tersebut. Kemudian setahun berikutnya, kasus tersebut baru
mendapat perhatian. Pada awal musim panas tahun 1978, hasil investigasi reporter
Michael Brown, menemukan keterkaitan antara keberadaan limbah kimia dan

11
kesehatan warga. Hasil survey yang dilakukan, banyak menemukan cacat lahir dan
berbagai penyakit aneh di kaki, kepala, tangan, dan bagian tubuh manusia lainnya.
Areal itu kemudian dikosongkan dan biaya pembersihannya mencapai lebih dari $250
juta.

Pada literatur lain kasus ini bermula dari adanya keluhan dari penduduk yang
tinggal di sekitar Love Canal, yaitu suatu tempat pembuangan limbah militer dan
industri yang terletak dekat Niagara Falls, New York. Hampir semua penduduk di
sekitar Love Canal secara misterius mengalami bermacam-macam penyakit. Penyakit-
penyakit tersebut adalah epilepsi, kanker, penyakit kandung kemih, hiperaktivitas,
kelahiran cacat dan lain-lain. Sebagai akibat dari adanya kasus Love Canal ini,
masyarakat Amerika menjadi sangat sadar akan bahaya yang timbul dari pembuangan
limbah B3 secara sembarangan. Kesadaran masyarakat Amerika ini menjadikan
pengolahan dan pembuangan limbah sangat sulit untuk dilakukan, antara lain karena
seluruh masyarakat menolak lingkungan atau daerah tempat tinggalnya dijadikan
tempat pengolahan atau pembuangan limbah. Akibatnya banyak para penghasil limbah
berusaha untuk mengekspor limbahnya ke negara lain atau membuangnya di kawasan
atau perairan yang secara hukum belum terlindungi oleh persyaratan lingkungan.

II.2 Kasus Ilegal Masuknya Bahan/Limbah B3 ke Indonesia

II.2.1 Kasus Pembuangan Limbah Beracun Rumah Sakit ke Cirebon


Di Indonesia masih banyak kasus pembuangan limbah B3 secara sembarangan
atau tidak sesuai prosedur yang ditentukan. Kasus pembuangan illegal ini dapat
merugikan lingkungan serta masyarakat setempat. Salah satu contoh kasusnya ialah
pembuangan limbah beracun rumah sakit dari Jakarta hingga Surabaya di tepi jalan
Cirebon. Terdapat limbah medis B3 si tempat tersebut, antara lain jarum suntik bekas,
ampul bekas, botol/plastik infus bekas, selang infus bekas, jarum infus bekas, obat
kadaluwarsa, dan hasil sampel pengambilan darah.

Penanganan limbah B3 sejumlah rumah sakit selama ini ditangani secara


khusus menggunakan jasa pihak ketiga. Pasalnya, tidak semua rumah sakit memiliki

12
fasilitas pengolahan limbah B3. Oleh karena itu, pihak rumah sakit tidak tahu ke mana
pihak ketiga membuang limbah B3. Kegiatan pengumpulan itu sendiri harus
mengajukan permohonan secara tertulis kepada pemerintah. Kemudian alat
pengangkutannya punya rincian tersendiri yang diatur dalam peraturan menteri.
Adapun lokasi dan tata cara pembuangan limbah B3 memiliki beragam kriteria teknis
yang harus dipenuhi sehingga pembuangan tidak bisa begitu saja dilakukan ke
lingkungan hidup tanpa izin.

Atas kejadian ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)


melakukan pengamanan lokasi dengan melakukan penyegelan karena adanya dugaan
tindak pidana Pasal 104 UU 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan
dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin, terancam
pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar (Wirawan,
2017).

II.2.2 Kasus Jombang Sebagai Tempat Penampungan Ilegal Limbah B3 Terbesar di


Jawa Timur
Kasus pembuangan limbah B3 secara semarang didapati pada daerah
Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Diperkirakan lebih dari 100 juta ton limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3) dibuang secara sembarangan di lahan terbuka, dekat
permukiman, sawah, kebun, dan sungai di Jombang, selama lebih dari 40 tahun.
Pembuangan limbah B3 ini terkait aktivitas masyarakat yang mengolah limbah B3 abu
slag alumunium menjadi bahan kebutuhan rumah tangga atau dilebur kembali menjadi
batangan alumunium. Timbunan ilegal limbah B3 abu aluminium yang timbul
dihasilkan dari sisa produksi 136 industri kecil peleburan aluminium yang berlangsung
sejak 1970.

Menurut Prigi Arisandi (Direktur Eksekutif Ecological Observation and


Wetlands Conservation (Ecoton)), dampak yang ditimbulkan dari timbunan tersebut
menyebabkan senyawa beracun yang terkandung dalam limbah abu slag alumunium

13
tersebut mencemari sungai dan membahayakan kesehatan masyarakat disekitarnya.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapat terdapat peningkatan kasus ISPA
di Sumobito, Kesamben. Terdapat juga kasus gangguan liver pada ibu hamil, yang
diterangai berasal dari abu tersebut.

Pengurus Asosiasi Pengusaha Aluminium Indonesia (Aspalindo) Jombang,


Jarot Subiyantoro mengatakan, banyak pelaku industri pengolahan limbah di Jombang
pada awalnya tidak mengetahui kategori bahan yang diolah termasuk limbah B3.
Penetapan dan penerbitan peraturan perundangan dilakukan pada tahun 2009, tetapi
sosialisasi baru diterima pada tahun 2011. Hal tersebut menyebabkan ketidaktahuan
perusahaan dan limbah tersebut dimanfaatkan kembali menjadi batangan alumunium.

Penanganan pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3 di Kabupaten


Jombang perlu dilakukan melalui kerjasama semua pihak, seperti keikutsertaan
stakeholder terkait pengendalian pencemaran, kesehatan, pekerjaan umum dan
perumahan rakyat, koperasi, dunia usaha, dan masyarakat Kabupaten Jombang
khususnya. Kontribusi masing-masing pihak dilakukan dalam penyelesaian persoalan
baik dari sisi ekonomi masyarakat, sosial dan lingkungan. Tindakan yang telah
dilakukan oleh KLHK berupa penyegelan wilayah-wilayah secara uji sampling dan
dipatkan bukti bahwa wilayah mengandung limbah B3. Selain penindakan hukum,
dilakukan kerjama dengan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur dan
Kabupaten Jombang melakukan langkah-langkah penaganan lingkungan yang telah
tercemar limbah B3 tersebut dengan menggandeng beberapa perusahaan besar, seperti
PT Semen Indonesia, PT Solusi Bangun Indonesia, dan masih terdapat beberapa
perusahaan lainnya.

Tindakan yang dilakukan dalam melakukan pemulihan:


1. Delineasi ulang lahan terkontaminasi Limbah B3.

2. Pertemuan koordinasi rencana pemulihan di Surabaya.

3. Sosialiasi Pengelolaan Limbah B3 di Jombang.

14
Hasil delineasi ini nantinya menentukan luasan dan jumlah tanah
terkontaminasi yang akan dipulihkan oleh KLHK. Setelah dilakukan pemulihan
selanjutnya secara langsung lokasi lahan terkontaminasi akan dibangun turap oleh
Kementerian PUPR dalam hal ini dibangun oleh Badan Besar Wilayah Sungai
Berantas (BBWS-Berantas).

Hasil pertemuan koordinasi menghasilkan notulensi tentang peran dari masing-


masing instansi:
1. Menutup aktivitas pembakaran limbah elektronik yang dilakukan oleh
masyarakat dengan memberikan alternatif profesi, karena kegiatan yang
dilakukan ilegal dan mencemari udara.
2. Merelokasi aktivitas pembakaran limbah elektronik yang dilakukan oleh
masyarakat dengan mencari lokasi dan teknologi yang sesuai untuk
pengelolaan limbah, “menjadi tanggungjawab Kab. Jombang”.
3. Melakukan kerjasama antara masyarakat dengan pihak pemanfaat,
dengan memberdayakan masyarakat pengrajin sebagai pengumpul
limbah elektronik (sampah spesifik).
4. Masyarakat membentuk sendiri badan hukumnya bersama sama antar
perajin sesuai dengan ketentuan teknis dan perizinan.
6. Memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat terutama tentang
dampak Limbah B3 terhadap kesehatan manusia.
7. Membangun desa wisata contohnya wisata sungai atau eco riparian di
daerah DAM Yani setelah lahan terkontaminasi dipulihkan.

Sementara untuk sosialisasi terbentuk hasil kesepakatan untuk membentuk


koperasi dan pola bapak asuh oleh pembina pelaku usaha untuk mewadahi
masyarakat dalam melakukan pengelolaan Limbah B3.

II.3 Prosedur Notifikasi Lintas-Batas Menurut Konvensi Basel

Dalam konvensi Basel ditetapkan bahwa lalu lintas perpindahan limbah B3 secara
ilegal adalah suatu tindakan kriminal. Setiap Negara akan mengambil tindakan legal untuk

15
melaksanakan ketentuan konvensi ini termasuk tindakan pencegahan dan menghukum
pelanggar konvensi ini. Adapun perpindahan limbah B3 secara ilegal apabila dilakukan
sebagai berikut:

1. Tanpa pemberitahuan kepada Negara yang bersangkutan.


2. Tanpa Persetujuan menurut ketentuan konvensi ini dari Negara yang bersangkutan.
3. Dengan izin, tetapi terjadi karena pemalsuan, intepretasi yang keliru, penipuan.
4. Tidak sesuai dengan dokumen – dokumen.
5. Pembuangan secara sengaja (adanya penumpukan) yang bertentangan dengan
konvensi ini dan prinsip hukum internasional.

Apabila terjadi perpindahan limbah B3 secara illegal, maka Negara pengekspor harus:

1. Mengambil kembali limbah B3 tersebut.


2. Di buang menurut ketentuan konvensi ini dalam tempo 30 hari setelah diberitahu
bahwa perpindahan yang Negara tersebut lakukan adalah illegal.

Dalam hal ekspor dan impor limbah B3 tidak dibenarkan mengekspor limbah B3
kepada Negara yang tidak menjadi peserta dan peratifikasi konvensi Basel demikian juga
untuk import tidak dibenarkan melakukan import ke Negara yang tidak terkait dengan
Konvensi Basel walaupun ada ketentuan yang demikian, Negara peserta bisa saja
melakukan perjanjian bilateral, multilateral atau regional dalam hal pengangkutan,
perpindahan lintas batas limbah B3 dengan Negara yang tidak terkait dengan konvensi ini
asalkan tidak menyalahi pengelolaan limbah B3 yang ramah lingkungan sebagaimana
yang diharapkan oleh konvensi ini dan ketentuan tersebut dengan memperhatikan Negara
– Negara yang sedang berkembang.

Konvensi Basel adalah pengaturan terhadap perpindahan lintas batas limbah B3,
yang selanjutnya pengaturan tersebut dipahami melalui mekanisme prior informed consent
(PIC). Mekanisme tersebut pada dasarnya adalah kewajiban negara ekspor untuk
memberitahukan perpindahan limbah B3 ke negara impor atau transit secara transparan.
Transparan disini bertujuan agar proses pemindahan limbah selalu disertai dengan
kelengkapan dokumen dan memastikan keamanan bagi negara tujuan.

16
Prosedur PIC dibagi menjadi tiga tahap untuk memastikan perpindahan limbah B3
dilaksanakan dengan baik. Pada tahap pertama, penghasil limbah atau eksportir
mengajukan permintaan terhadap negara ekspor untuk melakukan kontak dengan negara
impor agar dilakukan perpindahan limbah B3 (notifikasi) kepada importir limbah (Hilman
2015). Pada tahap kedua, negara impor menanggapi permintaan dari negara ekspor terkait
perpindahan limbah (Hilman 2015). Pada tahap terakhir, perpindahan limbah dilaksanakan
dan setelahnya importir memberikan laporan dari perpindahan limbah yang telah dilakukan
kepada negara ekspor (Hilman 2015). Negara-negara yang terikat memiliki kewajiban
sebagaimana tertulis dalam Pasal 4 Konvensi Basel.

1. Prosedur Notifikasi

Tujuan dari prosedur notifikasi ini adalah sebagai pemberitahuan kepada negara impor
terkait informasi rinci mengenai pihak pihak yang terlibat, limbah B3 yang akan
diekspor, jenis recovery operation limbah tersebut, serta detail detail lainnya. Segala
informasi ini menjadi panduan negara impor dalam membuat keputusan apakah akan
menolak atau menyetujui proses pemindahan limbah B3 tersebut. Berikut tahapan
prosedur notifikasi:

17
Gambar II.1 Tahapan Prosedur Notifikasi (OECD, 2009)

Berdasarkan pasal 6 ayat 1 Konvensi Basel menyatakan bahwa negara pengekspor


harus memberitahukan, atau akan mewajibkan penghasil atau pengekspor untuk
memberitahukan secara tertulis, melalui saluran pejabat yang berwenang dari negara
pengekspor terkait dengan usulan perpindahan lintas batas limbah berbahaya atau limbah
lainnya. Pemberitahuan tersebut harus dilakukan melalui dokumen pemberitahuan khusus
yang berisi pernyataan dan informasi yang ditentukan dalam Lampiran V A, yang ditulis
dalam bahasa yang dapat diterima oleh Negara pengimpor. Hanya satu pemberitahuan yang
perlu dikirim ke setiap Negara Bagian yang bersangkutan. Dokumen pemberitahuan harus
memperhatikan hal hal berikut, yaitu:

18
• Dokumen pemberitahuan harus berisi semua informasi yang terkait.
• Pemberitahuan harus dibuat dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pejabat yang
berwenang di negara pengimpor (khusunya) dan negara negara lain yang
bersangkutan.
• Dokumen pemberitahuan harus dikeluarkan oleh otoritas nasional yang berwenang
dari negara pengekspor. Biasanya untuk memudahkan identifikasi, pada dokumen
terdapat kode unik nomor yang sesuai dengan penomoran nasional.
• Di beberapa negara, dokumen pemberitahuan juga diberikan dalam bentuk
elektronik dengan adanya tambahan persyaratan lain tertentu.

Jangka waktu maksimum pemberitahuan adalah satu tahun untuk prosedur kasus 1
(perpindahan ke fasilitas pemulihan biasa) dan 3 tahun untuk prosedur kasus 2
(perpindahan ke fasilitas pemulihan yang telah disetujui sebelumnya). Setelah menerima
dokumen pemberitahuan yang lengkap, pihak negara impor harus mengirimkan salinan
tersebut kepada negara lain yang terlibat dalam waktu 3 hari kerja sejak diterimanya
pemberitahuan. Jika dokumen pemberitahuan dianggap tidak dapat diterima, pihak negara
pengimpor wajib memberitahukan kepada eksportir dalam waktu 3 hari kerja sejak
diterima dokumen bahwa persetujuan akan ditunda sampai eksportir memberikan
informasi yang jelas dan lengkap di dokumen tersebut.

II.4 Prosedur Kontrol Menurut Konvensi Basel

II.4.1 Tahap Utama dari Prosedur Kontrol

Langkah utama dari prosedur control konvensi Basel adalah eksportir


menyimpulkan kontrak dengan disposer dan mengatur jaminan keuangan serta asuransi
yang diperlukan. Setelah itu eksportir kemudian menyajikan suatu pemberitahuan kepada
negara ekspor, dan dari sana ke daerah impor dan transit. Jika berdasarkan dari negara
impor, negara impor dapat memberikan persetujuan atau keberatan terlebih dahulu.
Sedangkan bagi negara yang dijadikan transit, memberikan suatu admisi dan memberikan
persetujuan tertulis atau keberatan dalam waktu 60 hari. Setelah itu negara ekspor akan
mengeluarkan keputusan dengan otorisasi atau keberatan. Jika negara ekspor memutuskan
keberatan, maka transboundary tidak diperbolehkan untuk diproses. Namun jika negara

19
memutuskan untuk setuju (otorisasi), maka perpindahan lintas daerah dapat diproses. Lalu
eksportir melengkapi dokumen pergerakan saat mengambil alih konsinyasi (consignment).
Kemudian operator akan melengkapi dokumen lintas batas saat mengambil kepemilikan
konsinyasi. Setelah menerima limbah, kemudian disposer akan melengkapi dokumen lintas
batas dan mengirimkan salinan yang ditandatangani ke eksportir. Setelah menyelesaikan
pembuangan, disposer kemudian melengkapi dokumen perpindahan (lintas batas), lalu
mempertahankan yang asli untuk pengarsipan dan mengirimkan salinan yang
ditandatangani ke eksportir. Untuk jaminan keunangan dapat dirilis oleh otoritas yang
kompeten.

Agar penjelasan dapat lebih mudah dipahami, dapat dilihat pada figure dibawah ini:

Gambar II.2 Flow Chart Prosedur Notifikasi dan Kontrol dari Konvensi Basel (NEA
Singapore, 2020)

20
Gambar II.3 Flow Chart Prosedur Notifikasi dan Kontrol dari Konvensi Basel (NEA
Singapore, 2020)

II.4.2 Tahap Eksportir

Daftar yang harus dilakukan oleh eksportir sesuai dengan Konvensi Basel:

1. Langkah 1 Periksa apakah material yang dimaksudkan untuk pergerakan lintas batas
sesuai pada prosedur kontrol di bawah Konvensi Basel;
2. Langkah 2 Periksa apakah gerakan yang dimaksud dapat dilakukan sesuai dengan
Konvensi Basel dan undang-undang nasional negara-negara terkait;
3. Langkah 3 Hubungi otoritas yang berwenang dari negara pengekspor;
4. Langkah 4 Buat kontrak dengan importir;
5. Langkah 5 Mengatur jaminan keuangan dan asuransi;
6. Langkah 6 Dapatkan semua informasi yang diperlukan misal pembuangan/proses
daur ulang dll;

21
7. Langkah 7 Selesaikan notifikasi;
8. Langkah 8 Kirim salinan pemberitahuan kepada otoritas yang berwenang dari Negara
pengekspor;
9. Langkah 9 Berikan data dan informasi tambahan jika diperlukan;
10. Langkah 10 Tunggu otorisasi atau izin dari otoritas yang berwenang;
11. Langkah 11 Setelah otorisasi atau izin untuk mengekspor, lengkapi dokumen
pergerakan untuk menyertai setiap pergerakan limbah;
12. Langkah 12 Penandatanganan dokumen perpindahan oleh pengangkut;
13. Langkah 13 Sertifikasi penerimaan limbah;
14. Langkah 14 Sertifikasi pembuangan;
15. Langkah 15 Pelepasan jaminan keuangan oleh negara bagian ekspor.

Berikut adalah prosedur langkah yang harus dilakukan dalam bentuk diagram flowchart.

Gambar II.4 Langkah yang Harus Dilakukan Eksportir dalam Prosedur Kontrol (NEA
Singapore, 2020)

22
II.4.3 Tahap Disposer

Biasanya pengekspor atau penghasil limbah yang bertanggung jawab untuk


memberi tahu pihak berwenang terkait perpindahan suatu limbah yang dimaksud. Diagram
di bawah ini menjelaskan kewajiban fasilitas pembuangan/pemulihan ketika tanggung
jawab pemberitahuan dilakukan oleh eksportir.

Gambar II.5 Langkah yang Harus Dilakukan Disposer dalam Prosedur Kontrol (NEA
Singapore, 2020)

Tahap-Tahap yang harus dilakukan untuk importir:

1. Langkah 1: Buat kontrak dengan eksportir


2. Langkah 2: Berikan informasi yang diperlukan mis. proses pembuangan dll.

23
3. Langkah 3: Pemberitahuan oleh negara bagian ekspor ke negara bagian impor dan
negara bagian transit, jika ada
4. Langkah 4: Sertifikasi penerimaan limbah
5. Langkah 5: Sertifikasi pembuangan

II.5 Prosedur Notifikasi Lintas-Batas Menurut Peraturan di Indonesia

1. Prosedur Notifikasi Berdasarkan PP 74 Tahun 2001


a. Setiap orang yang melakukan kegiatan ekspor B3 yang terbatas dipergunakan, wajib
menyampaikan notifikasi ke otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit, dan
instansi yang bertanggung jawab (Pasal 7 ayat 1), ekspor dapat terlaksana setelah
adanya ketiga persetujuan tersebut (Pasal 7 ayat 2). Instansi yang bertanggung jawab
wajib memberikan jawaban atas notifikasi dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan notifikasi (Pasal 7 ayat 3).
b. Setiap orang yang melakukan kegiatan impor B3 yang terbatas dipergunakan dan atau
yang pertama kali diimpor, wajib mengikuti prosedur notifikasi (Pasal 8 ayat 1),
diawali oleh permohonan notifikasi yang disampaikan oleh otoritas negara pengekspor
kepada instansi yang bertanggung jawab. Instansi yang bertanggung jawab wajib
memberikan jawaban atas notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya
permohonan notifikasi.
c. Setiap orang yang melakukan kegiatan impor B3 yang baru yang tidak termasuk dalam
daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) (Pasal 9 ayat 1), notifikasi wajib
disampaikan oleh otoritas negara pengekspor kepada instansi yang bertanggung jawab.
Instansi yang bertanggung jawab segera memberitahukan kepada Komisi B3 untuk
meminta saran dan atau pertimbangan Komisi B3.Komisi B3 memberikan saran dan
atau pertimbangan kepada instansi yang bertanggung jawab mengenai B3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). Berdasarkan saran dan atau
pertimbangan yang diberikan oleh Komisi B3 kepada instansi yang bertanggung jawab,
maka instansi yang bertanggung jawab:
a) mengajukan perubahan terhadap lampiran Peraturan Pemerintah ini; dan

24
b) memberikan persetujuan kepada instansi yang berwenang di bidang
perdagangan sebagai dasar untuk penerbitan atau penolakan izin impor.

Tata cara notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan
Pasal 9 ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab (Pasal 10).
Berdasarkan ketentuan internasional, instansi yang berwenang dalam memberikan notifikasi B3
adalah instansi yang bertanggung jawab. Sedangkan kewenangan menerbitkan izin impor
merupakan kewenangan instansi yang berwenang di bidang perdagangan. Oleh karena itu,
notifikasi tersebut perlu diteruskan ke instansi tersebut untuk penerbitan atau penolakan izin impor.
Penerbitan izin tersebut diberikan setelah perubahan terhadap lampiran Peraturan Pemerintah ini
selesai dilakukan.

2. Prosedur persetujuan impor masuknya barang ke Indonesia, terdapat beberapa lini


agar barang sesuai ketentuan pembatasan Permendag.
a. Lini pertama adalah pembebanan syarat-syarat yang harus diajukan pelaku usaha
untuk mendapatkan Persetujuan Impor Limbah Non-B3 dari Direktur Jenderal
Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan. Persetujuan Impor ini berlaku
untuk 1 (satu) tahun, dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dalam
hal ini, Permendag No. 31 Tahun 2016 mensyaratkan pengajuan bukti bahwa usaha
merupakan produsen yang mampu mengolah sendiri limbah B3 yang diimpor dan
pengajuan rekomendasi dari Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK serta
Dirjen Industri Kimia.
b. Lini kedua adalah pengawasan atas ketaatan importir terhadap persetujuan impor
sebelum pengiriman limbah non-B3, dengan verifikasi atau penelusuran teknis di
negara muat sebelum barang dikapalkan. Verifikasi dimaksud paling sedikit mencakup
pemeriksaan dokumen serta pemeriksaan jumlah/volume atau berat, jenis dan
spesifikasi, serta nomor pos tarif / kode HS limbah non-B3 yang diimpor. Hasil
verifikasi dituangkan dalam bentuk Laporan Surveyor (LS) yang merupakan dokumen
pelengkap pabean dalam penyelesaian kepabeanan di bidang impor. Verifikasi ini
dilakukan oleh surveyor yang ditetapkan oleh Menteri.

25
c. Lini ketiga adalah pengawasan atas ketaatan pengelolaan limbah non-B3 oleh
pengimpor secara ramah lingkungan, dengan kewajiban penyampaian laporan
pelaksanaan impor limbah non B3. Laporan ini wajib disampaikan setiap 3 (tiga) bulan,
paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan pertama triwulan berikutnya kepada Dirjen
Perdagangan Luar Negeri Kemendag. Kewajiban hukum yang wajib dimuat dan akan
diawasi melalui laporan ini tidak dirinci dalam Permendag. Namun, jika dibaca secara
sistematis, seharusnya mencakup pelaksanaan persetujuan impor, termasuk
pelaksanaan larangan lainnya. Di luar persetujuan impor, importir limbah non B3
dilarang untuk memindahtangankan dan/atau memperdagangkan limbah non B3 yang
diimpor kepada pihak lain. Kegagalan memenuhi kewajiban pelaporan ini diancam
dengan sanksi administratif pembekuan PI limbah non-B3, yang dapat ditindaklanjuti
dengan pencabutan PI. Namun, untuk pelanggaran kewajiban pemindahtanganan dan
pengolahan sendiri, kewajiban pengekspor kembali, atau pemalsuan isi PI limbah non-
B3 maupun surat pernyataan dari eksportir, pencabutan PI limbah non-B3 dapat
langsung dilakukan.

3. Ketentuan Larangan Impor Sampah dalam UU Pengelolaan Sampah Dalam UU


Pengelolaan Sampah, yaitu Indonesia memiliki ketentuan melarang perbuatan
“memasukkan sampah ke dalam wilayah Indonesia,”dan/atau “mengimpor sampah.” dan
mengancam pelanggar nya dengan sanksi pidana. Namun belum ada aturan dalam PP yang
menjelaskan lebih lanjut tentang muatan limbah baik volume atau jumlah.

4. Ketentuan Larangan Perdagangan Limbah dan Limbah B3 dalam UU Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang secara tegas melarang setiap orang untuk
“memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah NKRI ke media lingkungan hidup
NKRI.” dijelaskan bahwa larangan ini “dikecualikan bagi yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.”

5. Ketentuan Perdagangan, Impor dan Ekspor Bahan Baku Plastik dan Limbah Plastik
UU Perdagangan mengasumsikan bahwa semua barang dapat diekspor atau diimpor,
kecuali yang dilarang, dibatasi, atau ditentukan lain oleh Undang-Undang.52 Secara tegas,

26
UU ini memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk melarang impor atau ekspor untuk
kepentingan nasional. Namun,ada ketentuan impor bahan baku plastik. Batasannya yakni:
a) gas petroleum dan gas hidrokarbon lainnya berupa etilena yang dicairkan, dengan
tingkat kemurnian kurang dari 95%;
b) hidrokarbon asiklik tidak jenuh berupa etilena, dengan kemurnian tidak kurang
dari 95%;
c) kopolimer propilena berbentuk butiran;
d) kopolimer propilena selain dalam bentuk cair atau pasta.

27
BAB III

KESIMPULAN

Beberapa kasus illegal traffic limbah B3 terjadi di beberapa negara di dunia, diantaranya
adalah pengiriman sampah elektronik oleh Inggris ke Nigeria, penyelundupan illegal limbah B3
oleh United Kingdom ke Sri Lanka, dan pembungan bahan kimia di Niagara Falls. Di Indonesia,
juga terdapat beberapa kasus illegal traffic, yaitu pembuangan limbah beracun rumah sakit dari
Jakarta hingga Surabaya di tepi jalan Cirebon dan pembuangan limbah B3 secara sembarangan di
lahan terbuka di daerah Jombang.

Dalam melakukan kegiatan perdagangan limbah B3 lintas batas negara, harus sesuai
dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku dimana salah satu syaratnya adalah mempunyai
kelengkapan dokumen untuk memastikan keamanannya bagi negara yang dituju. Pengaturan
mengenai perdagangan limbah B3 lintas batas negara diatur dalam Konvensi Basel. Pada konvensi
tersebut, disebutkan juga mengenai tahapan-tahapan prosedur kontrol dan notifikasinya.
Sedangkan di Indonesia sendiri juga terdapat prosedur notifikasi limbah B3 yang diatur oleh
peraturan perundang-undangan. Dengan adanya prosedur-prosedur tersebut, diharapkan kegiatan
illegal traffic limbah B3 tidak terjadi lagi.

28
DAFTAR PUSTAKA

Anggita, Nehru. 2018. Analisis Sikap Good Faith Non-Compliance Indonesia dalam Upaya
Implementasi Konvensi Basel. Journal of International Relations, Volume 4, Nomor 3, 2018, hal.
332-340.

Rahman, Fitrah Fitriani. 2019. RASIONALITAS INDONESIA MENYETUJUI KLAUSUL


PERDAGANGAN LIMBAH B3 DALAM KERANGKA INDONESIA JAPAN ECONOMIC
PARTNERSHIP AGREEMENT (IJEPA). Universitas Muhammadiyah Malang.

Basel International. 2020. Cases of Illegal Traffic: Confirmed Cases of Illegal Traffic Reported by
Parties – Sri Lanka. United Nations Environment Program.
http://www.basel.int/Implementation/LegalMatters/IllegalTraffic/CasesofIllegalTraffic/tabid/342
4/Default.aspx.
http://www.basel.int/Implementation/LegalMatters/IllegalTraffic/CasesofIllegalTraffic/tabid/342
4/ctl/Download/mid/10889/Default.aspx?id=7&ObjID=24045

Yulius, H. 2017. Pelanggaran Inggris terhadap Konvensi Basel: Digital Dumping Ground di
Nigeria (Doctoral dissertation, Faculty of Social and Political Sciences).

Sollcup. 2011. Tragedi Love Canal.


https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://newberkeley.wordpress.com/
2011/06/04/tragedi-love-
canal/amp/&ved=2ahUKEwi4qZvjhdTzAhV57HMBHboRA8sQFnoECAMQAQ&usg=AOvVa
w2VeA-2X6zcTft_paOCmiMs&ampcf=1

Wirawan, J. 2017. Limbah Beracun Rumah Sakit dari Jakarta hingga Surabaya Dibuang di Tepi
Jalan Cirebon. Diambil kembali dari www.bbc.com: https://www.bbc.com/indonesia/majalah-
42406704

29
Riski, Petrus.2018. Jombang, Tempat Penampungan Ilegal Limbah B3 Terbesar di Jatim.
https://www.voaindonesia.com/a/jombang-tempat-penampungan-ilegal-limbah-b3-terbesar-di-
jatim/4425215.html

Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Timur. 2020. DLH Jatim Angkut Timbunan
Limbah B3 di Jombang. http://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/dlh-jatim-angkut-timbunan-
limbah-b3-di-jombang

Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. 2019. PEMULIHAN LAHAN TERKONTAMINASI LIMBAH BAHAN BERBAHAYA
DAN BERACUN DI KABUPATEN JOMBANG, JAWA TIMUR.
http://pslb3.menlhk.go.id/read/pemulihan-lahan-terkontaminasi-limbah-bahan-berbahaya-dan-
beracun-di-kabupaten-jombang-jawa-timur

Organisation for economic co-operation and development (OECD). 2009. Guidance Manual for
the control of transboundary movements of recoverable wastes.

Anindito, D. 2012. Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Ekpor-Impor Limbah B3 yang


Disepakati Dalam Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA). Jakarta: Skripsi
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Hilman, Masnelllyarti. 2002. Transboundary Movement of Hazardous Waste in Indonesia, Jakarta:


Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia.

The National Environmental Agency (NEA). 2020. Basel Convention Control Procedure.
https://www.nea.gov.sg/corporate-functions/resources/legislation-international-law/multilateral-
environmental-agreements/chemical-safety/basel-convention/basel-convention-control-procedure

30

Anda mungkin juga menyukai