Review Konvensi Basel
Review Konvensi Basel
TL 3104 - PENGELOLAAN B3
KONVENSI BASEL
DAFTAR ISI 1
BAB I 2
PENDAHULUAN 2
I.1 Latar Belakang 2
I.2 Rumusan Masalah 2
I.3 Maksud dan Tujuan 3
BAB II 4
METODOLOGI 4
II.1 Metode Penelitian 4
II.2 Objek dan Ruang Lingkup Penelitian 4
II.3 Teknik Pengumpulan Data 5
BAB III 6
PEMBAHASAN 6
III.1 Sejarah dan Latar Belakang Konvensi Basel 6
III.2 Tujuan dan Peran Konvensi Basel 7
III.3 Hal dan/atau Isu yang Diatur 7
III.4 Prosedur PIC 9
III.5 Kelompok Limbah yang Diatur 10
III.6 Keanggotaan dan Peran 11
III.7 Posisi Indonesia 15
BAB IV 17
PENUTUP 17
IV.1 Kesimpulan 17
IV.2 Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 19
LAMPIRAN A 20
1
BAB I
PENDAHULUAN
Jumlah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang dihasilkan setiap tahunnya di
dunia meningkat dari sekitar lima juta ton pada tahun 1947 hingga melewati angka 300
juta ton pada tahun 1988. Dari angka 300 juta ton tersebut, sekitar 265 juta tonnya
dihasilkan oleh Amerika Serikat dan 35 juta ton lainnya dihasilkan oleh negara-negara di
Eropa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa kasus pembuangan Limbah B3 marak
dilakukan oleh negara maju ke negara berkembang. Fakta ini menarik perhatian
negara-negara di seluruh dunia sehingga mulai bermunculan konvensi-konvensi
internasional yang membahas permasalahan B3 dan limbah B3.
Penemuan sejumlah besar limbah beracun impor di Afrika dan bagian Dunia ketiga
lainnya pada tahun 1980-an menyebabkan dibentuknya Konvensi Basel tentang
pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya pada
tahun 1989. Pada Konvensi Basel, suatu cara yang dipercayai paling efektif untuk
melindungi lingkungan dan kesehatan manusia dari bahaya yang ditimbulkan oleh
limbah B3 adalah pengurangan dari produksi limbah hingga kuantitas yang terendah.
Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Basel 1989 dengan
Keputusan Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993 sebelum pada tahun 2005,
dikeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2005 untuk
mengesahkan amandemen terhadap Konvensi Basel 1989.
Adapun rumusan masalah pada pembahasan laporan ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana latar belakang dari pembentukan Konvensi Basel 1989?
2. Apakah tujuan dan peran dari Konvensi Basel?
3. Apa saja hal yang diatur pada Konvensi Basel?
4. Apa saja prosedur PIC yang diatur pada Konvensi Basel?
5. Apa saja kelompok limbah yang diatur pada Konvensi Basel?
6. Bagaimana keanggotaan dan peran anggota pada Konvensi Basel?
7. Bagaimana posisi Indonesia pada Konvensi Basel?
2
I.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dari pembuatan laporan adalah sebagai pembahasan mengenai tujuan, peran,
dan fungsi Konvensi Basel yang mengatur lintas batas limbah B3 di dunia. Tujuan dari
pembuatan laporan ini adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi latar belakang dari pembentukan Konvensi Basel
2. Mengidentifikasi tujuan dan peran dari Konvensi Basel
3. Mengidentifikasi hal-hal yang diatur dalam Konvensi Basel
4. Mengidentifikasi PIC yang diatur dalam Konvensi Basel
5. Mengidentifikasi klasifikasi limbah yang diatur pada Konvensi Basel
6. Mengidentifikasi keanggotaan negara yang terikat pada Konvensi Basel
7. Mengidentifikasi pengaruh Konvensi Basel terhadap pengelolaan limbah di
Indonesia
3
BAB II
METODOLOGI
Objek penelitian pada makalah ini adalah Konvensi Basel tahun 1989 beserta
tujuan, peran, dan fungsinya dalam mengatur lalu lintas limbah B3 di dunia. Berikut
adalah ruang lingkup penelitian agar bahasan dapat lebih terarah dan mampu
menjawab rumusan masalah,
1. Sejarah dan latar belakang penyelenggaraan Konvensi Basel
2. Tujuan dan peran Konvensi Basel
3. Hal atau isu yang diatur dalam Konvensi Basel
4. Kelompok limbah yang diatur dalam Konvensi Basel
5. Keanggotaan dan peran negara yang terikat dalam Konvensi Basel
6. Posisi Indonesia dalam Konvensi Basel
4
II.3 Teknik Pengumpulan Data
5
BAB III
PEMBAHASAN
6
III.2 Tujuan dan Peran Konvensi Basel
Target utama Konvensi Basel adalah melindungi kesehatan manusia dan lingkungan
terhadap efek buruk yang mungkin timbul dari pembangkitan, pergerakan, dan
pengelolaan limbah berbahaya dan limbah lainnya. Untuk mencapai ini, terdapat
beberapa tujuan yang harus dipenuhi (National Environment Agency, 2022)
- Mengurangi perpindahan limbah seminimal mungkin sesuai dengan
pengelolaan yang ramah lingkungan dan efisien, serta mengendalikan
transboundary movement yang diizinkan berdasarkan ketentuan Konvensi;
- Meminimalkan jumlah dan bahaya limbah yang dihasilkan dan memastikan
pengelolaan limbah secara ramah lingkungan dilakukan sedekat mungkin
dengan sumbernya;
- Membantu negara-negara berkembang dalam pengelolaan yang ramah
lingkungan dari limbah berbahaya dan limbah lainnya yang mereka hasilkan.
Terdapat dua hal dan/atau isu yang diatur pada Konvensi Basel, yaitu
1. Pengelolaan Limbah Berbahaya yang Ramah Lingkungan
Negara pihak yang meratifikasi Konvensi Basel harus mensyaratkan
bahwa Limbah berbahaya yang mengalami perpindahan lintas batas harus
dikelola secara ramah lingkungan dimanapun tempat pembuangannya (Pasal 4
ayat 8); Negara memiliki kewajiban untuk mengelola limbah secara ramah
lingkungan agar tidak dialihkan untuk diekspor ataupun di transit (Pasal 4 ayat
10). Negara penghasil limbah dilarang untuk mengekspor limbah berbahaya
jika tidak ada jaminan pengolahan limbah secara ramah lingkungan di negara
penerima (Pasal 4 ayat 2 (e)). Begitu Pula negara harus melarang pengiriman
limbah berbahaya ke negaranya jika, negara tersebut belum mampu untuk
mengelola limbah secara ramah lingkungan (Pasal 4 ayat 2 (g)). Inti tujuan
atau tujuan umum dari Konvensi Basel yaitu memastikan limbah berbahaya
atau limbah lainnya dikelola secara ramah lingkungan sehingga dapat
melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari efek samping yang
mungkin akan ditimbulkan dari limbah tersebut.
7
2. Produksi dan perpindahan lintas batas dari limbah bahan berbahaya dan
beracun
Dilatarbelakangi dengan adanya tanggapan terhadap pola perdagangan
yang tidak tepat pada tahun 1970-an dimana negara-negara maju ditemukan
mengekspor limbah berbahaya ke negara-negara berkembang. Konvensi Basel
ini kemudian membatasi perdagangan limbah yang dikategorikan sebagai
"limbah berbahaya" di bawah Konvensi itu sendiri atau di bawah definisi
hukum nasional pihak Basel untuk limbah berbahaya. Awalnya, Konvensi
melarang ekspor limbah berbahaya untuk tujuan pembuangan, dari negara
maju ke negara berkembang. Terdapat aturan yang telah ditetapkan oleh
Konvensi Basel terhadap pembatasan perpindahan Limbah berbahaya lintas
negara.
1) Setiap pihak yang melakukan lalu lintas limbah harus melapor kepada
pihak sekretariat Konvensi (Pasal 4 ayat 1 (a), Pasal 13 ayat 2 (c)).
Negara pihak tidak dapat mengizinkan pengiriman limbah berbahaya
terhadap negara yang melarang adanya impor limbah (Pasal 4 ayat 1
(b)). Negara pihak juga harus melarang adanya impor limbah kepada
negara yang tergabung dalam kelompok perhimpunan ekonomi atau
politik yang melarang adanya impor limbah serta undang-undang
nasional yang melarang adanya impor limbah (Pasal 4 ayat 2 (e)). Hal
ini juga berlaku pada kegiatan ekspor limbah dimana dilakukan sesuai
dengan sistem peraturan Konvensi Basel (Pasal 4 ayat 1 (c), Pasal 9
ayat 1).
2) Pada pasal 4 ayat 5 menetapkan negara pihak yang meratifikasi
Konvensi Basel tidak diizinkan ekspor ataupun impor limbah ke
negara yang non-pihak. Transit limbah berbahaya melalui negara pihak
diizinkan jika dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi (Pasal 4,
ayat 5 e contrario; dan pasal 7), namun konsep ini dimodifikasi
dikarenakan perjanjian multilateral, bilateral maupun regional
menyetujui adanya perpindahan limbah berbahaya dengan pihak
Konvensi maupun Non-Konvensi. Jika ketentuan Konvensi tidak
terpenuhi dapat dilakukan sesuai dengan instruksi dalam perjanjian
asalkan tetap melapor kepada sekretariat Konvensi.
8
3) Larangan untuk membuang limbah ke Antartika, dimana Konvensi
Basel melarang ekspor Limbah berbahaya ke daerah di selatan 60º
lintang selatan (Pasal 4 ayat 6).
9
tidak berada di bawah yurisdiksi nasional, setidaknya dua Negara terlibat dalam
gerakan tersebut.
Para pihak pengiriman yang dikirimkan berkewajiban untuk mengambil
langkah-langkah untuk memastikan bahwa pengiriman lintas negara limbah
berbahaya dan limbah lainnya hanya diperbolehkan jika salah satu dari tiga kondisi
berikut terpenuhi:
● Negara pengekspor tidak memiliki kapasitas teknis dan fasilitas yang
diperlukan, kapasitas atau tempat pembuangan yang sesuai untuk
membuang limbah tersebut dengan “cara yang berwawasan
lingkungan”;
● Limbah dimaksud diperlukan sebagai bahan baku industri daur ulang
atau pemulihan di negara pengimpor
● Pengiriman lintas negara yang bersangkutan sesuai dengan kriteria lain
yang diputuskan oleh pihak terkait (kriteria tersebut biasanya
ditemukan dalam keputusan yang diadopsi oleh Conference of the
Parties).
Konvensi Basel mensyaratkan bahwa hanya orang yang berwenang atau
diizinkan untuk mengangkut atau membuang limbah yang melakukan operasi
tersebut, dan limbah yang akan dikirimkan lintas negara harus dikemas, diberi label,
dan diangkut sesuai dengan aturan dan standar internasional yang diterima dan diakui
secara umum. Konvensi Basel menetapkan prosedur Prior Informed Consent (PIC)
yang terperinci dengan persyaratan ketat untuk pengiriman lintas negara limbah
berbahaya dan limbah lainnya. Prosedur tersebut merupakan inti dari sistem kontrol
Konvensi Basel dan didasarkan pada empat tahap utama (1) pemberitahuan; (2)
persetujuan dan penerbitan dokumen pengiriman; (3) pengiriman lintas batas; dan (4)
konfirmasi pengiriman limbah.
10
mudah terbakar, berbahaya bagi lingkungan, dan buangan infeksius (Environment,
2017). Kemudian pada Konferensi Basel yang diadakan pada 29 April—10 Mei 2019,
pemerintah mengamandemen Konvensi Basel untuk memasukkan limbah plastik pada
kerangka kerja supaya transboundary movement pada plastik dapat lebih transparan
dan diregulasikan lebih tegas.
Terdapat 5 lampiran yang membahas definisi limbah berbahaya yang diatur
dalam Konvensi Basel diantaranya yaitu Annex I (kategori limbah yang harus
dikontrol), Annex II (kategori limbah yang membutuhkan pertimbangan khusus),
Annex III (daftar karakterisitik Limbah berbahaya), dan Annex VIII (karakteristik
sebagai limbah berbahaya berdasarkan Konvensi Basel Pasal 1 ayat 1 (a)).
Pada Annex I kategori limbah yang harus dikontrol beberapa diantaranya yaitu
sampah medis pada fasilitas kesehatan, limbah dari produksi kegiatan farmasi, limbah
dari penggunaan biosida dan fitofarmaka, limbah yang memiliki konstituen, dan
lain-lain. Pada Annex II kategori limbah yang membutuhkan pertimbangan khusus
yaitu limbah yang dikumpulkan dari rumah tangga dan residu yang timbul dari
pembakaran sampah rumah tangga. Pada Annex III limbah yang diatur yaitu limbah
dengan kandungan berbahaya seperti limbah yang mudah meledak, mudah terbakar,
mudah teroksidasi, beracun, infeksius, dan korosif. Kemudian, pada Annex IV limbah
B3 yang diatur yaitu limbah metal dan limbah yang terdiri dari paduan antimoni,
arsenik, berilium, cadmium, lead, merkuri, selenium, tellurium, dan talium.
11
1. Setiap pihak anggota diharuskan untuk:
a. Memberitahukan pihak lain terkait keputusan untuk melarang
masuknya (impor) limbah berbahaya atau limbah lainnya untuk
pembuangan sesuai dengan pasal 13;
b. Melarang atau tidak mengijinkan pengiriman (ekspor) limbah
berbahaya atau limbah lainnya ke pihak yang telah melarang masuknya
(impor) limbah-limbah tersebut melalui notifikasi atau pemberitahuan
yang dijelaskan pada bagian (a);
c. Melarang atau tidak mengijinkan pengiriman (ekspor) limbah
berbahaya dan limbah lainnya apabila negara penerima tidak
menyatakan persetujuannya terhadap penerimaan (impor)
tertentu/spesifik secara tertulis, ini berlaku ketika negara penerima
belum melarang penerimaan limbah-limbah tersebut.
2. Setiap pihak anggota harus mengambil langkah yang tepat untuk:
a. Memastikan perkembangan dari limbah berbahaya dan limbah lain
yang termasuk di dalamnya dikurangi hingga jumlah minimum,
dengan juga mempertimbangkan aspek sosial, teknologi, dan ekonomi;
b. Memastikan persediaan fasilitas pembuangan yang mumpuni, untuk
pengelolaan dengan cara environmentally sound management (ESM)
limbah berbahaya dan limbah lainnya, yang harus ditempatkan, sedapat
mungkin, di dalamnya, apapun tempat dari pembuangannya;
c. Memastikan orang-orang yang terlibat di pengelolaan limbah
berbahaya atau limbah lainnya yang termasuk di dalamnya mengambil
langkah-langkah tertentu yang diperlukan untuk mencegah polusi yang
dihasilkan dari pengelolaan limbah berbahaya atau limbah lain dan
apabila telah ada polusi, untuk meminimalisirkan konsekuensi terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan;
d. Memastikan perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan limbah
lain dikurangi hingga ke kondisi minimum sesuai dengan
environmentally sound dan pengelolaan yang efisien terhadap
limbah-limbah tersebut, dan dilakukan dengan cara yang akan
memproteksi kesehatan manusia dan lingkungan dari efek merugikan
yang mungkin timbul akibat perpindahan tersebut;
12
e. Tidak memperbolehkan pengiriman (ekspor) limbah berbahaya atau
limbah lain ke sebuah negara atau sebuah kumpulan negara yang
termasuk dalam sebuah organisasi integrasi ekonomi dan/atau politik
yang merupakan pihak, khususnya negara berkembang, yang telah
melarang segala jenis penerimaan (impor) melalui peraturan
perundang-undangannya, atau apabila telah ada alasan untuk
mempercayai bahwa limbah-limbah tidak akan dikelola dengan cara
yang environmentally sound, sesuai dengan kriteria yang telah
diputuskan oleh pihak-pihak dalam pertemuan pertama;
f. Memberi informasi tentang permintaan perpindahan lintas batas
limbah berbahaya dan limbah lainnya kepada negara terkait, sesuai
dengan Annex V A, ke negara yang jelas-jelas terkena efek dari
perpindahan tersebut terhadap kesehatan manusia dan lingkungan;
g. Mencegah penerimaan (impor) limbah berbahaya dan limbah lain
apabila telah ada alasan untuk percaya bahwa limbah tersebut
dipertanyakan tidak akan dikelola dengan cara yang environmentally
sound.
h. Bekerjasama dalam kegiatan dengan pihak lain dan
organisasi-organisasi yang tertarik, secara langsung atau melalui
sekretariat, termasuk penyebaran informasi tentang perpindahan lintas
batas limbah berbahaya dan limbah lain, dengan maksud untuk
meningkatkan pengelolaan yang berbasis lingkungan (Environmentally
Sound Management) terhadap limbah-limbah tersebut dan mencegah
daripada lalu lintas yang ilegal.
3. Pihak menganggap lalu lintas atau perdagangan ilegal dalam limbah
berbahaya atau limbah lain sebagai tindak kriminal atau kejahatan.
4. Setiap pihak harus mengambil langkah hukum, administratif, dan lainnya yang
tepat untuk mengimplementasi dan memberlakukan ketentuan-ketentuan di
dalam konvensi ini, termasuk langkah untuk menghalangi dan menghukum
tindakan yang bertentangan dengan konvensi ini.
5. Pihak tidak boleh mengijinkan limbah berbahaya atau limbah lain dikirim
(ekspor) kenon-pihak atau menerima (impor) dari non-pihak.
13
6. Pihak-pihak setuju untuk tidak memperbolehkan pengiriman limbah
berbahaya atau limbah lain untuk dibuang di dalam area 60° Lintang Selatan,
meskipun limbah tersebut termasuk dalam perpindahan lintas batas atau tidak.
Penerapan regulasi mulai efektif pada 1990 setelah dilakukan ratifikasi oleh negara
peserta dan dibentuklah COP (The Conference of the Parties) atau Konferensi Para
Pihak sebagai badan pelaksana dengan sekretariat berkedudukan di Jenewa,
Switzerland. Dalam perkembangannya, Indonesia dan Swiss memimpin inisiatif untuk
meningkatkan efektivitas Konvensi Basel yaitu dengan memberlakukan amandemen
larangan (Ban Amendment). Ban Amendment mengatur larangan ekspor limbah
berbahaya dari para Pihak yang termasuk dalam negara anggota Uni Eropa, OECD
(Organization for Economic Cooperation and Development), dan Liechtenstein ke
seluruh negara.
Walaupun demikian, Jepang yang merupakan negara pihak Konvensi Basel,
memilih untuk tidak meratifikasi Basel Ban Amendment yaitu amandemen pelarangan
total pengiriman limbah B3 yang telah ditetapkan oleh Konvensi Basel. Namun,
Jepang berjanji untuk tidak melakukan pembuangan limbah B3 dan limbah lainnya ke
negara lain serta mendukung Konvensi Basel.
Selain itu, terdapat pelanggaran yang dilakukan salah satu pihak anggota yaitu
Inggris. Penelitian yang dilaksanakan oleh media dan LSM telah berulang kali
mendokumentasikan ekspor sampah elektronik ilegal dari Inggris ke berbagai negara,
terutama Nigeria, Ghana dan Pakistan (The Times, 2009 dalam Yulius 2017). Sampah
elektronik tersebut diekspor karena dapat dibongkar dan diolah di luar negeri tanpa
perlu menerapkan standar lingkungan yang tinggi sehingga lebih murah namun jauh
lebih merusak. Selain keuntungan finansial, metode yang digunakan untuk membuang
dan mengolah WEEE (Waste Electrical and Electronic Equipment), seperti
pembakaran, dapat mengakibatkan dampak kesehatan yang buruk pada pekerja. Di
situs-situs pembakaran dan daur ulang sampah elektronik informal ini, bahan kimia
berbahaya seperti arsenik, berilium, kadmium, timbal dan merkuri terkandung pada
tingkat yang cukup tinggi dan dapat menyebabkan masalah pernapasan, pencernaan,
dan sistem saraf. Oleh karena itu, Inggris berkali-kali diberi peringatan oleh komisi
Eropa dan dibawa ke Pengadilan Uni Eropa.
14
III.7 Posisi Indonesia
15
Indonesia semestinya berpartisipasi aktif dalam penegakkan Konvensi Basel
karena negara Indonesia adalah negara kepulauan dengan persentase perairan jauh
lebih besar daripada daratan. Indonesia tergolong juga negara maritim yang terletak
strategis di jalur pelayaran dunia, sehingga menjadikannya rentan terhadap jalur
masuk limbah atau sumber pencemar lainnya. Dalam rangka pengawasan transportasi
lintas limbah serta bahan kimia secara ilegal, diperlukan kerjasama Indonesia dengan
negara lain. Konvensi Basel juga mempermudah akses dan jalur informasi terkait
pergerakan bahan kimia, limbah B3, serta peptisida B3 yang dilarang dan dibatasi
sesuai persetujuan seluruh negara partisipan.
16
BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Limbah yang tergolong berbahaya adalah limbah yang memiliki sifat eksplosif,
mudah terbakar, oksidator, beracun, infeksius, korosif, dan ekotoksik. Tidak sedikit
industri yang mencoba mengirimkan limbah berbahaya dan beracun ke negara-negara
berkembang yang tidak memiliki regulasi yang solid untuk meregulasi jalannya hal
tersebut. Hal ini disebabkan oleh peningkatan biaya pengelolaan limbah berbahaya dan
beracun pada tahun 1980-an. Untuk mengurangi masalah tersebut beserta dampaknya,
negara-negara di dunia menghadiri Konvensi Basel. Pertemuan ini memiliki objektif
meminimalisasi produksi, penyelundupan ilegal dan transportasi lintas batas bahan
berbahaya dan beracun, serta mempublikasikan ESM dari limbah berbahaya dan
beracun agar timbulnya gangguan kesehatan manusia dapat ditekan. Pada tahun 2019,
dilakukan amandemen mengenai pengendalian perdagangan limbah plastik.
Selain itu, diatur pula limbah yang memerlukan pertimbangan khusus dan dikontrol
pengelolaannya. Prinsip perpindahan lintas batas limbah berbahaya yang beracun yang
diberlakukan antarnegara adalah Prior Informed Consent (PIC). PIC terdiri dari empat
tahap: pemberitahuan, persetujuan dan penerbitan dokumen perjalanan, perpindahan
lintas batas, serta konfirmasi pembuangan. Walaupun kewajiban yang dirumuskan
sebagai hasil Konvensi Basel bersifat tidak mutlak, Konvensi Basel membantu
Indonesia dengan berkurangnya jumlah limbah B3 yang masuk secara ilegal melalui
pemalsuan dokumen dan sebagainya. Indonesia telah meratifikasikan Konvensi Basel
melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993 dalam rangka
menekan angka illegal traffic of hazardous waste yang dibuang ke Indonesia.
IV.2 Saran
17
evaluasi tahunan tentang ketercapaian penerapan Konvensi Basel di Indonesia agar
keberjalanan penerapan Konvensi Basel di Indonesia dalam satu tahun ke belakang
dapat direfleksikan dan dijadikan motivasi untuk lebih patuh lagi.
2. Pengiriman limbah berbahaya dan beracun yang dengan sengaja diselundupkan ke
Indonesia kembali ke negara pengirim, serta melakukan penindakan lebih lanjut
sesuai hukum di negara yang bersangkutan.
18
DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN A
Ratification,
Signature,
Acceptance (A),
Participant Succession to Entry into force
Approval (AA),
Signature
Accession (a)
20
Bolivia (Plurinational State
of) 22/03/1989 15/11/1996 13/02/1997
21
Democratic People's
Republic of Korea 10/07/2008 (a) 08/10/2008
22
Guinea 26/04/1995 (a) 25/07/1995
Haiti 22/03/1989
23
Liberia 22/09/2004 (a) 21/12/2004
Micronesia (Federated
States of) 06/09/1995 (a) 05/12/1995
24
New Zealand 18/12/1989 20/12/1994 20/03/1995
25
Sao Tome and Principe 12/11/2013 (a) 10/02/2014
26
Türkiye 22/03/1989 22/06/1994 20/09/1994
United Republic of
Tanzania 07/04/1993 (a) 06/07/1993
Venezuela (Bolivarian
Republic of) 22/03/1989 03/03/1998 01/06/1998
27