Anda di halaman 1dari 17

TL-5122 PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA BERACUN

MAKALAH ILLEGAL TRAFFIC OF HAZARDOUS WASTE

Disusun oleh :
KELOMPOK 3

Akhmad Masykur Hadi Musthofa 25320307


Diah Ayu Prawitasari 25320308
Novelia Jonanda 25320321
Kadek Sri Anik Suci 25321021
Muh. Farid 25321028

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2021

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................................. ii


BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
1.2 Identifikasi Masalah .................................................................................................................... 1
1.3 Maksud dan Tujuan ..................................................................................................................... 1
1.4 Metodologi .................................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................................... 3
2.1 Illegal Trafficking Limbah B3 dan Peran Konvensi Basel .............................................................. 3
2.2 Contoh Kasus Illegal Trafficking Limbah B3 ................................................................................. 6
2.2.1 Illegal Trafficking limbah B3 di Indonesia .............................................................................. 6
2.2.2 Illegal Trafficking Limbah B3 di Negara Lain ...................................................................... 12
BAB III PENUTUP................................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................. 15

ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang
mengandung zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak
lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup
manusia dan makhluk hidup lain. Limbah ini harus dikelola sejak di penghasil hingga ditimbun di
tempat penimbunan akhir. Pengelolaan ini pun harus memenuhi peraturan yang berlaku sehingga
tidak mencemari lingkungan.

Namun, seiring dengan bertambahnya kuantitas limbah B3 yang dihasilkan dan terbatasnya
fasilitas pengolahan atau penimbunan limbah B3, munculah beberapa masalah terkait pengelolaan
limbah B3. Salah satu masalah tersebut adalah adanya illegal trafficking limbah B3. Secara garis
besar, illegal trafficking merupakan pemindahan limbah B3 melalui lintas batas suatu negara tanpa
izin. Praktek ini dapat berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan dan masalah kesehatan di
wilayah negara penerima limbah sehingga dilarang berdasarkan Konvensi Basel. Konvensi Basel
telah mengatur lebih lanjut mengenai penyelasaian jika terjadi illegal trafficking limbah B3 di suatu
negara. Untuk memahami peran Konvensi Basel pada penyelesaian illegal trafficking, maka
makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai hal tersebut. Selain itu, makalah ini juga akan
membahas mengenai contoh-contoh kasus illegal trafficking limbah B3 yang pernah terjadi di
Indonesia dan negara lain.

1.2 Identifikasi Masalah


Beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain :

1. Bagaimana peran Konvensi Basel dalam penyelesaian suatu kasus illegal trafficking limbah
B3?
2. Apa contoh illegal trafficking limbah B3 di Indonesia dan negara-negara lain?

1.3 Maksud dan Tujuan


Maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui apa itu illegal trafficking
limbah B3. Sedangkan tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain :

1
1. Mengetahui peran Konvensi Basel dalam penyelesaian suatu kasus illegal trafficking limbah
B3.
2. Mengetahui contoh illegal trafficking limbah B3 di Indonesia dan negara-negara lain.

1.4 Metodologi
Pengambilan data dan informasi yang dituliskan pada makalah ini dilakukan dengan
metode studi pustaka dari berbagai literatur, seperti laporan instansi/badan terkait dan artikel
publikasi ilmiah. Jenis data yang dianalisis berupa data sekunder.

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Illegal Trafficking Limbah B3 dan Peran Konvensi Basel


Konvensi Basel mendefinisikan illegal trafficking sebagai larangan perpindahan lintas
batas limbah B3. Kegiatan berikut mencerminkan beberapa cara di mana illegal trafficking,
sebagaimana didefinisikan oleh Konvensi, dapat terjadi:

a. Menghilangkan informasi penting dari, atau membuat pernyataan palsu dalam Movement
Document atau dokumen kepatuhan lainnya, atau menggunakan label yang tidak benar;
b. Pengangkutan sampah tanpa Movement Document ;
c. Menambah atau mengganti limbah dalam kiriman saat mengganti carrier sehingga tidak sesuai
lagi dengan Movement Document ;
d. Mengangkut limbah ke fasilitas yang tidak ditentukan dalam kontrak, yang tidak memiliki
kapasitas teknis untuk menangani limbah yang bersangkutan
e. Pembuangan limbah berbahaya sedemikian rupa sehingga orang atau orang lain berada dalam
bahaya yang mengancam kesehatan mereka
f. Menyimpan atau membuang limbah yang melanggar ketentuan yang ditetapkan dalam
Pemberitahuan.

Di bawah Konvensi Basel, illegal traffciking limbah berbahaya harus dianggap sebagai
pelanggaran pidana, dan semua pihak harus menerapkan undang-undang pelaksanaan yang
memadai untuk itu. Dalam mendeteksi lalu lintas ilegal, penggunaan undang-undang nasional yang
relevan sangat penting.

Pada tahun 1987, United Nation Environment Program (UNEP) menghasilkan Cairo
Guidelines yang merupakan kesepakatan tidak mengikat tentang pengelolaan limbah B3.
Kemudian UNEP juga telah memprakarsai perundingan internasional untuk menghasilkan sebuah
perjanjian internasional yang mengikat. Setelah melalui proses perundingan selama dua
tahun,wakil-wakil dari 103 negara pada 30 Mei 1989 berhasil menyepakati The Basel Convention
on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal 1989
(seterusnya disebut dengan Konvensi Basel) merupakan sebuah perangkat hukum internasional
yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah lingkungan hidup yang timbul akibat dari
perdagangan limbah B3 antar negara. Indonesia telah meratifikasi konvensi Basel dengan
Keputusan Presiden No.61 Tahun 1993. Konvensi Basel merupakan perangkat hukum internasional
yang berlingkup global.

3
Indonesia adalah salah satu Negara yang ikut meratifikasi konvensi Basel 1989. Konvensi
Basel yang terdiri dari mukadimah 29 artikel dan 6 anmex telah diratifikasi Indonesia dengan
keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 tahun 1993. Ratifikasi konvensi Basel
mencerminkan kesadaran pemerintah Republik Indonesia tentang adanya ancaman pencemaran
lingkungan akibat perpindahan atau pengangkutan limbah B3 dari luar negeri ke dalam negeri.
Adapun dalam pertimbangnnya dalam Keppres No. 61 Tahun 1993 tersebut yang menjadi alasan
bagi Pemerintah Indonesia untuk mengambil kebijakan meratifikasi konvensi basel tersebut, yaitu:

a. Bahwa secara geografis, wilayah Republik Indonesia terdiri dari pulau –pulau dengan perairan
terbuka, karena itu sangat potensial berbagai tempat pembuangan limbah B3 secara tidak sah
dari luar negeri
b. Untuk memelihara kelestarian lingkungan serta mencegah wilayah Republik Indonesia menjadi
tempat pembuangan limbah berbahaya dan beracun (LB3)

Perpindahan lintas batas limbah B3 dengan memakai sarana angkutan kapal laut dan
dengan demikian sangat potensial untuk mencemari laut akibat zat beracun, zat berbahaya yang
dibawa oleh kendaraan air tersebut. Perlindungan terhadap lingkungan laut dari pencemaran yang
bersumber dari kapal di Indonesia pada saat ini menjadi penting karena beberapa hal :

1. Lingkungan laut Indonesia sangat potensial tercemar


2. Adanya hak pelayaran internasional melalui perairan Indonesia
3. Pengaturan hukum antar rezim kelautan terhadap pencemaran belum jelas
4. Penegakan hukum yang berkaitan dengan koordinasi antar instansi dalam menangani kasus
pencemaran lingkungan laut

Dengan diratifikasinya konvensi Basel oleh Indonesia, maka memasukan limbah B3 ke


dalam wilayah Republik Indonesia harus seizin Pemerintah Indonesia secara tertulis, tanpa adanya
izin tertulis dari Pemerintah Indonesia maka kegiatan memasukan limbah B3 ke wilayah Indonesia
dapat dipandang sebagai suatu kejahatan dan Indonesia mempunyai kedaulatan untuk menegakan
atau memasukan hukum di Wilayah Republik Indonesia Dalam konvensi Basel ditetapkan bahwa
lalu lintas perpindahan limbah B3 secara ilegal adalah suatu tindakan kriminal. Setiap Negara akan
mengambil Tindakan legal untuk melaksanakan ketentuan konvensi ini termasuk tindakan
pencegahan dan menghukum pelanggar konvensi ini. Adapun perpindahan limbah B3 secara ilegal
apabila dilakukan sebagai berikut :

4
a. Tanpa pemberitahuan kepada Negara yang bersangkutan
b. Tanpa Persetujuan menurut ketentuan konvensi ini dari Negara yang bersangkutan
c. Dengan izin, tetapi terjadi karena pemalsuan, intepretasi yang keliru, penipuan
d. Tidak sesuai dengan dokumen – dokumen. Pembuangan secara sengaja (adanya penumpukan)
yang bertentangan dengan konvensi ini dan prinsip hukum internasional

Apabila terjadi perpindahan limbah B3 secara illegal, maka Negara pengekspor harus :

a. Mengambil kembali limbah B3 tersebut


b. Dibuang menurut ketentuan konvensi ini dalam tempo 30 hari setelah diberitahu bahwa
perpindahan yang Negara tersebut lakukan adalah illegal

Dalam hal eksport dan impor limbah B3 tidak dibenarkan mengekspor limbah B3 kepada
Negara yang tidak menjadi peserta dan peratifikasi konvensi Basel demikian juga untuk import
tidak dibenarkan melakukan import ke Negara yang tidak terkait dengan Konvensi Basel walaupun
ada ketentuan yang demikian, Negara peserta bisa saja melakukan perjanjian bilateral, multilateral
atau regional dalam hal pengangkutan, perpindahan lintas batas limbah B3 dengan Negara yang
tidak terkait dengan konvensi ini asalkan tidak menyalahi pengelolaan limbah B3 yang ramah
lingkungan sebagaimana yang diharapkan oleh konvensi ini dan ketentuan tersebut dengan
memperhatikan Negara – Negara yang sedang berkembang.

Konvensi Basel, yang terdiri dari 180 negara anggota, bertujuan untuk melindungi
kesehatan manusia serta lingkungan hidup dari efek buruk yang disebabkan oleh kurang baiknya
pengelolaan limbah B3 dan lainnya. Program ini dikelola oleh United Nations Environment
Programme (UNEP). Konvensi Basel mempunyai tujuan utama yaitu :

1. Meminimalisir dihasilkannya limbah B3.


2. Memastikan bahwa pembuangan atau pengelolaan akhir atas limbah B3 dilakukan dengan
memenuhi kaidah keselamatan lingkungan serta diupayakan agar dilakukan sedekat mungkin
dengan lokasi dihasilkannya limbah tersebut.
3. Meminimalkan perpindahan limbah B3 secara internasional

Secara umum, terkait dengan perpindahan limbah B3 lintas negara, setiap negara pihak
berkewajiban untuk mencegah atau melarang dilakukannya pengiriman limbah (ekspor, impor dan
transit) termasuk untuk daur ulang ke negara non pihak kecuali telah memiliki perjanjian
sebagaimana diatur dalam pasal 11 Konvensi, ke Antartika, dan ke negara-negara yang melarang

5
importasi limbah B3. Pencegahan atau pelarangan pengiriman limbah B3 juga harus dilakukan oleh
negara pihak, jika :

1. Fasilitas untuk pembuangan atau daur ulang telah tersedia di negara penghasil kecuali jika
limbah tersebut nyata dibutuhkan sebagai bahan baku sekunder untuk di daur ulang di negara
pengimpor.
2. Dipercaya bahwa pengelolaan berwawasan lingkungan atau pilihan pengelolaan akhir tidak
tersedia di negara tujuan ekspor.

Konvensi Basel memiliki sekretariat yang berkedudukan di Jenewa, Swiss. Karenanya,


kecuali ada pertimbangan lain seluruh pertemuan terkait konvensi Basel akan berlokasi di Jenewa.
Sekretariat dipimpin oleh seorang Eksekutif Sekretaris yang berperan untuk memfasilitasi seluruh
kegiatan resmi konvensi. Badan lain yang terdapat dalam rezim Konvensi Basel adalah Expanded
Bureau (EB). EB terdiri atas perwakilan dari berbagai kelompok regional sesuai pengelompokan
UN. EB berperan memberikan arahan berkaitan dengan isu penting, strategi pelaksanaan, atas
usulan tema yang akan dilakukan pada suatu pertemuan terkait konvensi. Namun demikian, arah
kebijakan dan perkembangan Konvensi Basel ditentukan oleh badan tertinggi dalam Konvensi
yaitu Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties disingkat COP). COP bersidang setiap dua
tahun sekali atau sesuai pertimbangan kebutuhannya berdasarkan kesepakatan. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1999 pasal 1, yang dimaksud dengan limbah bahan berbahaya
dan beracun (B3) adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun karena
sifat dan/atau konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan kesehatan
manusia.4 Konvensi Basel menjadi harapan banyak negara untuk terciptanya perlindungan dan
keadilan melalui pembentukan tatanan perpindahan limbah B3 lintas negara secara terkendali.

2.2 Contoh Kasus Illegal Trafficking Limbah B3


Berikut adalah beberapa contoh illegal trafficking limbah B3 yang pernah terjadi di
Indonesia dan beberapa negara di dunia.

2.2.1 Illegal Trafficking limbah B3 di Indonesia


a. Latar Belakang Pelarangan Impor Limbah B3 di Indonesia
Ada tiga alasan yang menyebabkan Indonesia harus tetap menerapkan
larangan impor limbah B3 di Indonesia, yaitu (1) Komitmen terhadap Konvensi Basel;

6
(2) Pengalaman sejarah; dan (3) Fasilitas pengolahan limbah B3 yang minim. Ketiga
alasan tersebut akan dijelaskan secara berurutan sebagai berikut.

Konvensi Basel yang diselenggarakan untuk pertama kalinya pada tahun 1989
merupakan wujud perhatian dunia internasional dalam mencegah penyelundupan
limbah B3 melalui pengaturan perpindahan lintas batas limbah B3. Pada awalnya
konvensi ini hanya mengatur tentang adanya kesepakatan antara negara pengekspor
dan pengimpor limbah B3 dalam melakukan praktik tersebut. Namun hal ini dirasa
kurang melindungi negara-negara miskin dan berkembang yang merupakan sasaran
potensial pembuangan limbah B3. Oleh karena itu, pada Conference of the Parties
(COP–2) pada Maret 1994 diusulkan lah Basel Ban Amendment (BBA) yang
sepenuhnya melarang ekspor limbah B3 yang selanjutnya ditetapkan melalui Decision
III/1 pada COP-3. Larangan ekspor limbah B3 selain berlaku atas kegiatan
pembuangan akhir (final disposal), juga berlaku meskipun dengan alasan daur ulang
(reuse, recycle, dan recovery). Namun dalam perjalanannya, BBA kurang mendapat
sambutan baik dari negara-negara industri maju (terutama Amerika Serikat, Kanada,
Jepang, Australia, dan Selandia Baru). Sekali lagi, negara-negara maju menunjukkan
sikap setengah hati dalam berbagai permasalahan internasional. Komitmen mereka
selalu berbanding lurus dengan keuntungan apa yang dapat mereka dapatkan. Hingga
COP-9 di Bali tahun 2009 yang lalu, BBA masih berada dalam status tidak mengikat.
Dalam Pasal 12 hasil Konvensi Basel dinyatakan bahwa hasil konvensi akan mengikat
secara resmi (legally binding) jika sudah diratifikasi tiga perempat negara yang
meratifikasi Konvensi Basel.

Bagi negara-negara yang pendukung BBA, pasal tersebut diartikan bahwa


dibutuhkan tiga per empat dari total negara penanda tangan BBA pada 1995, yaitu
minimal 62 dari 88 negara. Sementara bagi negara-negara yang menolak, pasal tersebut
diartikan bahwa dibutuhkan tiga perempat dari total negara penandatangan saat ini,
yaitu minimal 120 dari 170 negara. Hingga saat ini, telah terdapat 69 negara yang
meratifikasi BBA, termasuk Indonesia pada Oktober 2005 lalu.2 Perbedaan pandangan
tersebut menyebabkan kegiatan ekspor-impor limbah B3 terus berlangsung dan tetap
mengancam kelestarian lingkungan di negara-negara miskin dan berkembang.
Komitmen Indonesia dalam memberlakukan pelarangan impor limbah B3 mengalami
pasang surut. Sebelum meratifikasi Konvensi Basel pada tahun 1993 melalui Keppres
No. 61, secara hukum Indonesia memperbolehkan impor limbah B3. Dengan

7
meratifikasi hasil konvensi ini, Indonesia secara otomatis melarang aktivitas
perpindahan lintas batas limbah B3. Namun dengan alasan keterbatasan teknologi
pengolahan di dalam negeri, Indonesia masih memperbolehkan ekspor limbah B3
untuk tujuan pengolahan.

Diterbitkannya PP No. 19/1994 tentang Pengelolaan Limbah B3 menegaskan


pelarangan impor limbah B3 dengan alasan apa pun. Atas desakan kepentingan
industri, melalui PP No. 12/1995 tentang Perubahan PP No. 19/1994 Indonesia
kemudian menerapkan pelarangan Impor dengan pengecualian jika dibutuhkan untuk
penambahan bahan baku bagi kegiatan industri. Tindakan ini dianggap memberikan
peluang berdirinya industri-industri baru yang menggunakan limbah B3 sebagai bahan
baku yang disinyalir sebagai modus baru aliran masuk limbah B3 ke Indonesia.
Dengan diundangkannya UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP
No. 12/1995 dinilai bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi.

Dengan diterbitkannya PP No. 18/1999 yang kemudian diubah menjadi PP No.


85/1999, Indonesia akhirnya kembali menetapkan pelarangan impor limbah B3 secara
total dengan alasan apapun. Hingga saat ini, PP tersebut masih berlaku dan menjadi
acuan bagi pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya,
lahir pula UU baru yang menguatkan komitmen Indonesia, yaitu UU No. 18/2008
tentang Persampahan dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (PPLH). Landasan hukum tersebut sangat cukup untuk
menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang melarang impor limbah B3 atau
tindakan memasukkan limbah B3 ke dalam batas wilayah NKRI adalah tindakan yang
ilegal.

Pengalaman sejarah pengelolaan limbah B3 di berbagai belahan dunia yang


dikemukakan sebelumnya, seharusnya cukup bagi Indonesia untuk bersikap tegas
melarang impor limbah B3. Sementara, jumlah pengolah limbah B3 di Indonesia masih
sangat rendah. Satu-satunya perusahaan yang mampu mengelola limbah dengan
kemampuan yang tinggi adalah PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI).
Kepemilikan saham PPLI sebagian besarnya dipegang oleh swasta (95%) dan sisanya
oleh pemerintah Indonesia. Berdasarkan data rekapitulasi status perizinan pengelolaan
B3 dan Limbah B3 periode Januari–Oktober 2010, terdapat 7 perusahaan lain yang
mendapatkan izin sebagai pengolah limbah B3. Izin lain yang diberikan bersifat
khusus, yaitu terbatas pada proses pengolahan tertentu, seperti bioremediasi,

8
insenerasi, dan tank cleaning. Begitu pula dengan fasilitas landfilling, Indonesia tidak
memiliki TPA khusus limbah B3 yang dikelola oleh pemerintah. Melihat kondisi di
atas, pelarangan impor limbah B3 di Indonesia sangatlah beralasan. Peningkatan
kapasitas pengolahan limbah dalam negeri perlu ditingkatkan. Namun orientasinya
untuk mengolah limbah B3 dalam negeri, bukan menerima limbah dari luar yang
berpotensi mencemari manusia dan lingkungan hidup Indonesia.

b. Permasalahan Pelaksanaan Kebijakan Pelarangan Impor Limbah B3 di


Indonesia
Melalui wawancara yang dilakukan dengan pihak Dirjen Bea Cukai dalam
rangka penelitian Tim Hubungan Internasional P3DI Setjen DPR RI tentang kejahatan
transnasional pada bulan Mei 2011, dijelaskan tentang modus memasukkan limbah B3
ke wilayah Indonesia, antara lain (a) mencampurkan limbah B3 dengan bahan lain; (b)
memalsukan dokumen barang; atau (c) membuang limbah B3 di lepas pantai (open sea
discharge). Menurut pihak bea cukai, meskipun pengamanan telah dilakukan secara
rutin, masih terdapat temuan penyelundupan kontainer yang mengandung limbah B3
dengan modus seperti disebutkan di atas.

Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) Wilayah Barat, menyatakan


bahwa pencemaran laut dan penyelundupan limbah B3 termasuk ke dalam salah satu
bentuk kerawanan laut. Bakorkamla adalah badan yang dibentuk berdasarkan PP No.
81/2005 yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan penegakan hukum, keamanan dan
keselamatan di laut, serta terdiri dari lembaga lintas kementerian, kejaksaan,
kepolisian, intelijen, dan TNI. Kendala yang dialami dalam mengamankan wilayah laut
dari penyelundupan limbah B3 adalah keterbatasan petugas dan fasilitas pengamanan.
Fasilitas utama yang paling diperlukan dalam memantau masuknya limbah B3 di
pelabuhan adalah laboratorium pemeriksaan. Fasilitas tersebut sama sekali belum
menjadi perhatian untuk diadakan atau dioperasikan.

Upaya pengamanan wilayah laut Indonesia dari masuknya limbah B3 hingga


saat ini masih belum menjadi prioritas. Upaya pengamanan masih berorientasi kepada
jenis kejahatan potensial, seperti trafficking, illegal logging, illegal mining, illegal
fishing, narkoba, serta praktik pencucian uang. Desentralisasi pemerintahan turut
mendorong banyak eksportir limbah B3 melirik kabupaten, terutama di daerah
terpencil, untuk menerima limbah B3. Tawaran tersebut diikuti dengan iming-iming
kompensasi yang besar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), seperti

9
kasus impor limbah B3 dari Korea Selatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota
Semarang. Kegiatan ini digagalkan dengan adanya surat larangan yang dikirimkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup.

Selain tawaran dana yang menggiurkan bagi pemerintah daerah, pengetahuan


tentang potensi bahaya limbah B3 dan pemahaman terhadap kebijakan pelarangan
impor limbah B3 yang rendah turut menjadi alasan kejadian seperti ini masih saja
terjadi. Jika pengetahuan kepala daerah masih rendah seperti sekarang ini, peluang
lolosnya limbah B3 ke Indonesia tentu sangat besar. Contoh kasus lain masuknya
limbah B3, yakni akhir September 2004 di Pulau Galang Baru, Kota Batam, Provinsi
Kepulauan Riau. Sebanyak 1.762 kantong besar dari Singapura yang disebutkan
material organik ternyata mengandung limbah B3 seberat 1.149 ton.

Selain itu, Indonesia masih saja terjebak dalam kondisi yang secara tidak
langsung mengesahkan impor limbah B3 melalui perjanjian bilateral. Perjanjian
dagang dengan Jepang misalnya, program IJEPA (Indonesia-Japan Economic
Partnership Agreement) yang menyangkut perdagangan bebas, investasi, dan
kebijakan ekonomi, mencantumkan daftar barang-barang yang boleh diperdagangkan.
Salah satu barang yang dimaksud adalah limbah B3. Walaupun perjanjian dagang ini
pada prinsipnya harus mengacu pada hukum nasional, namun ini menunjukkan bahwa
tidak semua pihak memahami kebijakan Indonesia yang melarang impor limbah B3.

c. Contoh Kasus Illegal Trafficking Limbah B3 di Indonesia


Pada 20 Januari 2012 pihak Bea Cukai menahan 113 kontainer asal Inggris
dan Belanda yang diduga memuat besi tua yang tercampur limbah B3 di Pelabuhan
Tanjung Priok. Dalam dokumen impor PT HHS sebagai pengimpor mencantumkan isi
kontainer adalah besi tua yang akan didaur ulang menjadi produk besi baru. Hasil
temuan ini kemudian ditindaklanjuti oleh pihak Bea Cukai dengan permintaan untuk
bekerja sama dengan Kementrian Lingkungan Hidup dalam menentukan apakah
memang kontainer-kontainer tersebut berisi limbah B3 atau tidak. Sebagai negara yang
sudah meratifikasi isi perjanjian Basel Convention, Indonesia melarang impor dan
masuknya limbah ke wilayah negara Indonesia. Aturan larangan impor limbah B3
tertera dalam Undang Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, sedangkan pelarangan impor sampah tertera dalam
Undang-undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Undang-undang
Kepabeanan. PT HHS sebagai pengimpor juga diduga melanggar aturan selain usaha

10
memasukkan limbah B3 ke wilayah Indonesia yaitu mengimpor barang yang tidak
sesuai dengan dokumen yang terdaftar.

Sebagai upaya menindak lanjuti temuan kontainer terduga berisi limbah B3


tersebut maka Kementrian Lingkungan Hidup, Bea Cukai, dan BAPETEN melakukan
inspeksi lapangan terhadap kontainer–kontainer yang berada di Pelabuhan Tanjung
Priok. Dari hasil pemeriksaan terhadap 20 kontainer yang di buka, di dalamnya berisi
scrap logam dalam kondisi tidak dalam keadaan bersih, tercampur dengan tanah dan
ditemukan adanya limbah B3 (limbah elektronik, tar, aspal, bekas kemasan bahan
kimia) dan limbah domestik/sampah. Berdasarkan hasil pemeriksaan secara visual
tersebut disimpulkan bahwa importir telah melanggar izin impor limbah B3 yang
dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan, karena dalam izin tersebut dicantumkan
persyaratan jenis limbah yang diimpor adalah dalam kondisi bersih dan tidak
terkontaminasi dengan limbah B3.

Langkah tindak lanjut hasil temuan tersebut adalah,

1. Sehubungan hal tersebut kemudian Kementrian Lingkungan Hidup mengirim surat


kepada Dirjen Bea & Cukai dan Kementerian Perdagangan dengan No.B-
761/Dep.IV/LH/01/2012 perihal Pelanggaran Impor Limbah Non B3 PT.HHS.
Sedangkan isi surat pada intinya mengharapkan pihak Bea & Cukai serta
Kementerian Perdagangan untuk ditindak lanjuti sebagaimana mestinya sesuai
dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
2. Menginformasikan ke focal point Konvensi Basel di Belanda dan Inggris. Ketiga
negara terlibat adalah negara-negara yang sudah meratifikasi hasil Basel
Convention maka setiap negara memiliki perwakilan pada forum focal point.
Perwakilan Indonesia menotifikasi perwakilan Inggris dan Belanda bahwa terdapat
dugaan pelanggaran yang dilakukan negara terkait.
3. Setelah mendapat notifikasi, pihak Indonesia menyiapkan data mendetail yang
diminta oleh pihak Belanda dan Inggris.
4. Indonesia melaporkan hasil investigasi ke pemerintah Belanda dan Inggris serta
mendiskusikan ketersediaan Inggris dan Belanda untuk menerima kembali
kontainer berisi limbah tersebut. Belanda dan Inggris menyatakan bersedia
menerima kontainer berisi limbah tersebut kembali ke negaranya.

11
5. Pada Jumat 22/6/2012, sejumlah 24 kontainer terakhir diberangkatkan ke
Rotterdam Belanda. Sedangkan reekspor 89 kontainer telah diberangkatkan ke
Felixstowe Inggris Pada 14-15 April 2012.

2.2.2 Illegal Trafficking Limbah B3 di Negara Lain

Negara-negara berkembang seperti negara-negara di Afrika Barat, khususnya


Nigeria, sering kali dijadikan tujuan utama dalam aliran e-waste dari negara-negara maju.
Sementara itu, Inggris merupakan salah satu negara industri maju dengan catatan
pengiriman e-waste terbesar ke Nigeria sehingga membawa efek detrimental pada negara
berkembang tersebut. Sebagian besar ekspor sampah elektronik Inggris masuk dalam aliran
pasar gelap. Diperkirakan bahwa lebih dari setengah dari semua sampah elektronik yang
dihasilkan di Inggris masuk dalam aliran perdagangan ilegal. Dalam hal ini banyak pelaku
bisnis ilegal tersebut merupakan perusahaan yang masuk sebagai recycler. Penelitian dari
berbagai media dan NGOs telah berulang kali mendokumentasikan ekspor sampah
elektronik dari Inggris ke berbagai negara tujuan, khususnya Nigeria, Ghana dan Pakistan.

Dalam Ekspor e-waste ke Nigeria, e-waste yang diekspor harus melalui


pemeriksaan konten yang dikirim serta melengkapi surat-surat yang dibutuhkan. Nigeria
sendiri merupakan negara yang telah meratifikasi Konvensi Basel dan Konvensi Bamako.
Namun faktanya aliran sampah elektronik berbahaya tersebut tetap saja terjadi dengan
berbagai cara dalam menyiasatinya. Selain dalam bentuk ekspor yang sebagian besar
dikirim dengan label palsu (tidak sesuai dengan isi yang dikirim), Aliran sampah elektronik
Inggris ke Nigeria dilakukan dengan dalih sebagai charity atau bantuan pendidikan. Alasan
lainnya, Pengiriman tersebut juga dilakukan untuk menjembatani digital divide atau gap
akan akses terhadap barang elektronik yang ada di negara negara tepi barat Afrika tersebut,
khususnya Nigeria. Sampah elektronik sendiri dikirim melalui perusahaan pihak ketiga
(ghost companies) untuk menghindari pelacakan, pembayaran dengan sistem transfer tanpa
melalui rekening dan dilakukan secara sembunyi sembunyi melalui jalur darat, laut
maupun udara.. Perlakuan E-Waste di Nigeria sebagai Receiver Limbah. Sesampainya e-
waste di Nigeria, beberapa perlakuan dilakukan terhadap e-waste tersebut.

• Penyortiran
Setelah itu e-waste tersebut dikelompokkan sesuai dengan tipe dan kondisinya. Dari
sampah elektronik yang masuk akan dipilih mana saja yang termasuk e-waste yang
bisa digunakan kembali (reusable), di servis atau disimpan untuk dijual kembali.

12
• Open Burning
Dilakukan pada komponen-komponen tertentu, baik untuk diambil materinya dan
komponen pentingnya dalam keperluan recycling atau servis atau diambil material
berharganya seperti emas, baja dan timah untuk dijual kembali.
• Open Dumping
Sisanya, untuk e-waste yang tidak bernilai guna dan bekas diperetel pada akhirnya
akan berakhir di tempat pembuangan, dimana ancaman kesehatan, lingkungan dan
sosial.

Dengan bahaya e-waste seperti yang dipaparkan sebelumnya, menjadi fakta yang
menakutkan ketika mengetahui banyak negara berkembang, termasuk Nigeria e-waste
biasanya diproses secara backyard industry atau lokakarya kecil dengan menggunakan
metode yang paling primitif dan jauh di bawah standar. Kegiatan daur ulang primitif yang
bertujuan memulihkan bahan yang bermanfaat dan pembongkaran ewaste sering dilakukan
dengan tangan kosong dan dengan tidak ada atau sangat sedikit peralatan pribadi
perlindungan kesehatan, tindakan pengendalian pencemaran atau fasilitas pengolahan air
limbah dan gas buang, karena mereka tidak mempunyai modal yang cukup untuk
melaksanakan langkah-langkah keamanan dalam pengolahan e-waste yang baik. Dengan
demikian, proses pembongkaran sering terjadi menggunakan pembakaran udara terbuka,
sianida leaching, dan pot mencair sederhana untuk memulihkan terutama tembaga, emas
dan perak dengan keuntungan yang tidak seberapa.

13
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal yaitu :

1. Konvensi Basel berperan sebagai fasilitator dalam penyelesaian masalah illegal trafficking
limbah B3. Konvensi Basel juga berperan sebagai dasar hukum dalam proses pelarangan impor
limbah B3 tanpa izin. Negara yang melakukan illegal trafficking limbah B3 wajib mengambil
kembali limbah B3 tersebut atau membuang limbah tersebut menurut ketentuan konvensi ini
dalam tempo 30 hari setelah diberitahu bahwa perpindahan yang Negara tersebut lakukan
adalah illegal.
2. Salah satu contoh illegal trafficking limbah B3 di Indonesia terjadi pada 20 Januari 2012. Pihak
Bea Cukai menahan 113 kontainer asal Inggris dan Belanda yang diduga memuat besi tua yang
tercampur limbah B3 di Pelabuhan Tanjung Priok. Sedangkan di negara lain, contoh illegal
trafficking limbah B3 adalah impor limbah e-waste ke Nigeria yang dilakukan oleh Inggris.

14
DAFTAR PUSTAKA

Hilam, M. 2015. Konvensi Basel: Transboundary Movement of Hazardous Waste. Workdhop Penanganan
Limbah Lintas Batas Ilegal di Batam.
Kompas. (2019, Oktober 18). Kompas. Retrieved from
https://money.kompas.com/read/2012/06/22/13493342/reekspor.113.kontainer.selesai.dilakukan
Kummer, Katharina. 1995. The Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of
Hazardous Wastes and their Disposal. Oxford : Clarendon Press.
The Globalization of World Politic: An Introduction to International Relation, (2004). The Globalization
of World Politic: An Introduction to International Relation. New York : Oxford University Press.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
United Nation of Environmental Project (UNEP) : Basel Convention (2006). Training Manual on Illegal
Traffic For Customs and Enforcement Agencies. Switzerland : Secretariat of the basel convention
International Environment House.

15

Anda mungkin juga menyukai