Makalah Tugas C PLB3 Kelompok 3
Makalah Tugas C PLB3 Kelompok 3
Disusun oleh :
KELOMPOK 3
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
Namun, seiring dengan bertambahnya kuantitas limbah B3 yang dihasilkan dan terbatasnya
fasilitas pengolahan atau penimbunan limbah B3, munculah beberapa masalah terkait pengelolaan
limbah B3. Salah satu masalah tersebut adalah adanya illegal trafficking limbah B3. Secara garis
besar, illegal trafficking merupakan pemindahan limbah B3 melalui lintas batas suatu negara tanpa
izin. Praktek ini dapat berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan dan masalah kesehatan di
wilayah negara penerima limbah sehingga dilarang berdasarkan Konvensi Basel. Konvensi Basel
telah mengatur lebih lanjut mengenai penyelasaian jika terjadi illegal trafficking limbah B3 di suatu
negara. Untuk memahami peran Konvensi Basel pada penyelesaian illegal trafficking, maka
makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai hal tersebut. Selain itu, makalah ini juga akan
membahas mengenai contoh-contoh kasus illegal trafficking limbah B3 yang pernah terjadi di
Indonesia dan negara lain.
1. Bagaimana peran Konvensi Basel dalam penyelesaian suatu kasus illegal trafficking limbah
B3?
2. Apa contoh illegal trafficking limbah B3 di Indonesia dan negara-negara lain?
1
1. Mengetahui peran Konvensi Basel dalam penyelesaian suatu kasus illegal trafficking limbah
B3.
2. Mengetahui contoh illegal trafficking limbah B3 di Indonesia dan negara-negara lain.
1.4 Metodologi
Pengambilan data dan informasi yang dituliskan pada makalah ini dilakukan dengan
metode studi pustaka dari berbagai literatur, seperti laporan instansi/badan terkait dan artikel
publikasi ilmiah. Jenis data yang dianalisis berupa data sekunder.
2
BAB II PEMBAHASAN
a. Menghilangkan informasi penting dari, atau membuat pernyataan palsu dalam Movement
Document atau dokumen kepatuhan lainnya, atau menggunakan label yang tidak benar;
b. Pengangkutan sampah tanpa Movement Document ;
c. Menambah atau mengganti limbah dalam kiriman saat mengganti carrier sehingga tidak sesuai
lagi dengan Movement Document ;
d. Mengangkut limbah ke fasilitas yang tidak ditentukan dalam kontrak, yang tidak memiliki
kapasitas teknis untuk menangani limbah yang bersangkutan
e. Pembuangan limbah berbahaya sedemikian rupa sehingga orang atau orang lain berada dalam
bahaya yang mengancam kesehatan mereka
f. Menyimpan atau membuang limbah yang melanggar ketentuan yang ditetapkan dalam
Pemberitahuan.
Di bawah Konvensi Basel, illegal traffciking limbah berbahaya harus dianggap sebagai
pelanggaran pidana, dan semua pihak harus menerapkan undang-undang pelaksanaan yang
memadai untuk itu. Dalam mendeteksi lalu lintas ilegal, penggunaan undang-undang nasional yang
relevan sangat penting.
Pada tahun 1987, United Nation Environment Program (UNEP) menghasilkan Cairo
Guidelines yang merupakan kesepakatan tidak mengikat tentang pengelolaan limbah B3.
Kemudian UNEP juga telah memprakarsai perundingan internasional untuk menghasilkan sebuah
perjanjian internasional yang mengikat. Setelah melalui proses perundingan selama dua
tahun,wakil-wakil dari 103 negara pada 30 Mei 1989 berhasil menyepakati The Basel Convention
on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal 1989
(seterusnya disebut dengan Konvensi Basel) merupakan sebuah perangkat hukum internasional
yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah lingkungan hidup yang timbul akibat dari
perdagangan limbah B3 antar negara. Indonesia telah meratifikasi konvensi Basel dengan
Keputusan Presiden No.61 Tahun 1993. Konvensi Basel merupakan perangkat hukum internasional
yang berlingkup global.
3
Indonesia adalah salah satu Negara yang ikut meratifikasi konvensi Basel 1989. Konvensi
Basel yang terdiri dari mukadimah 29 artikel dan 6 anmex telah diratifikasi Indonesia dengan
keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 tahun 1993. Ratifikasi konvensi Basel
mencerminkan kesadaran pemerintah Republik Indonesia tentang adanya ancaman pencemaran
lingkungan akibat perpindahan atau pengangkutan limbah B3 dari luar negeri ke dalam negeri.
Adapun dalam pertimbangnnya dalam Keppres No. 61 Tahun 1993 tersebut yang menjadi alasan
bagi Pemerintah Indonesia untuk mengambil kebijakan meratifikasi konvensi basel tersebut, yaitu:
a. Bahwa secara geografis, wilayah Republik Indonesia terdiri dari pulau –pulau dengan perairan
terbuka, karena itu sangat potensial berbagai tempat pembuangan limbah B3 secara tidak sah
dari luar negeri
b. Untuk memelihara kelestarian lingkungan serta mencegah wilayah Republik Indonesia menjadi
tempat pembuangan limbah berbahaya dan beracun (LB3)
Perpindahan lintas batas limbah B3 dengan memakai sarana angkutan kapal laut dan
dengan demikian sangat potensial untuk mencemari laut akibat zat beracun, zat berbahaya yang
dibawa oleh kendaraan air tersebut. Perlindungan terhadap lingkungan laut dari pencemaran yang
bersumber dari kapal di Indonesia pada saat ini menjadi penting karena beberapa hal :
4
a. Tanpa pemberitahuan kepada Negara yang bersangkutan
b. Tanpa Persetujuan menurut ketentuan konvensi ini dari Negara yang bersangkutan
c. Dengan izin, tetapi terjadi karena pemalsuan, intepretasi yang keliru, penipuan
d. Tidak sesuai dengan dokumen – dokumen. Pembuangan secara sengaja (adanya penumpukan)
yang bertentangan dengan konvensi ini dan prinsip hukum internasional
Apabila terjadi perpindahan limbah B3 secara illegal, maka Negara pengekspor harus :
Dalam hal eksport dan impor limbah B3 tidak dibenarkan mengekspor limbah B3 kepada
Negara yang tidak menjadi peserta dan peratifikasi konvensi Basel demikian juga untuk import
tidak dibenarkan melakukan import ke Negara yang tidak terkait dengan Konvensi Basel walaupun
ada ketentuan yang demikian, Negara peserta bisa saja melakukan perjanjian bilateral, multilateral
atau regional dalam hal pengangkutan, perpindahan lintas batas limbah B3 dengan Negara yang
tidak terkait dengan konvensi ini asalkan tidak menyalahi pengelolaan limbah B3 yang ramah
lingkungan sebagaimana yang diharapkan oleh konvensi ini dan ketentuan tersebut dengan
memperhatikan Negara – Negara yang sedang berkembang.
Konvensi Basel, yang terdiri dari 180 negara anggota, bertujuan untuk melindungi
kesehatan manusia serta lingkungan hidup dari efek buruk yang disebabkan oleh kurang baiknya
pengelolaan limbah B3 dan lainnya. Program ini dikelola oleh United Nations Environment
Programme (UNEP). Konvensi Basel mempunyai tujuan utama yaitu :
Secara umum, terkait dengan perpindahan limbah B3 lintas negara, setiap negara pihak
berkewajiban untuk mencegah atau melarang dilakukannya pengiriman limbah (ekspor, impor dan
transit) termasuk untuk daur ulang ke negara non pihak kecuali telah memiliki perjanjian
sebagaimana diatur dalam pasal 11 Konvensi, ke Antartika, dan ke negara-negara yang melarang
5
importasi limbah B3. Pencegahan atau pelarangan pengiriman limbah B3 juga harus dilakukan oleh
negara pihak, jika :
1. Fasilitas untuk pembuangan atau daur ulang telah tersedia di negara penghasil kecuali jika
limbah tersebut nyata dibutuhkan sebagai bahan baku sekunder untuk di daur ulang di negara
pengimpor.
2. Dipercaya bahwa pengelolaan berwawasan lingkungan atau pilihan pengelolaan akhir tidak
tersedia di negara tujuan ekspor.
6
(2) Pengalaman sejarah; dan (3) Fasilitas pengolahan limbah B3 yang minim. Ketiga
alasan tersebut akan dijelaskan secara berurutan sebagai berikut.
Konvensi Basel yang diselenggarakan untuk pertama kalinya pada tahun 1989
merupakan wujud perhatian dunia internasional dalam mencegah penyelundupan
limbah B3 melalui pengaturan perpindahan lintas batas limbah B3. Pada awalnya
konvensi ini hanya mengatur tentang adanya kesepakatan antara negara pengekspor
dan pengimpor limbah B3 dalam melakukan praktik tersebut. Namun hal ini dirasa
kurang melindungi negara-negara miskin dan berkembang yang merupakan sasaran
potensial pembuangan limbah B3. Oleh karena itu, pada Conference of the Parties
(COP–2) pada Maret 1994 diusulkan lah Basel Ban Amendment (BBA) yang
sepenuhnya melarang ekspor limbah B3 yang selanjutnya ditetapkan melalui Decision
III/1 pada COP-3. Larangan ekspor limbah B3 selain berlaku atas kegiatan
pembuangan akhir (final disposal), juga berlaku meskipun dengan alasan daur ulang
(reuse, recycle, dan recovery). Namun dalam perjalanannya, BBA kurang mendapat
sambutan baik dari negara-negara industri maju (terutama Amerika Serikat, Kanada,
Jepang, Australia, dan Selandia Baru). Sekali lagi, negara-negara maju menunjukkan
sikap setengah hati dalam berbagai permasalahan internasional. Komitmen mereka
selalu berbanding lurus dengan keuntungan apa yang dapat mereka dapatkan. Hingga
COP-9 di Bali tahun 2009 yang lalu, BBA masih berada dalam status tidak mengikat.
Dalam Pasal 12 hasil Konvensi Basel dinyatakan bahwa hasil konvensi akan mengikat
secara resmi (legally binding) jika sudah diratifikasi tiga perempat negara yang
meratifikasi Konvensi Basel.
7
meratifikasi hasil konvensi ini, Indonesia secara otomatis melarang aktivitas
perpindahan lintas batas limbah B3. Namun dengan alasan keterbatasan teknologi
pengolahan di dalam negeri, Indonesia masih memperbolehkan ekspor limbah B3
untuk tujuan pengolahan.
8
insenerasi, dan tank cleaning. Begitu pula dengan fasilitas landfilling, Indonesia tidak
memiliki TPA khusus limbah B3 yang dikelola oleh pemerintah. Melihat kondisi di
atas, pelarangan impor limbah B3 di Indonesia sangatlah beralasan. Peningkatan
kapasitas pengolahan limbah dalam negeri perlu ditingkatkan. Namun orientasinya
untuk mengolah limbah B3 dalam negeri, bukan menerima limbah dari luar yang
berpotensi mencemari manusia dan lingkungan hidup Indonesia.
9
kasus impor limbah B3 dari Korea Selatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota
Semarang. Kegiatan ini digagalkan dengan adanya surat larangan yang dikirimkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup.
Selain itu, Indonesia masih saja terjebak dalam kondisi yang secara tidak
langsung mengesahkan impor limbah B3 melalui perjanjian bilateral. Perjanjian
dagang dengan Jepang misalnya, program IJEPA (Indonesia-Japan Economic
Partnership Agreement) yang menyangkut perdagangan bebas, investasi, dan
kebijakan ekonomi, mencantumkan daftar barang-barang yang boleh diperdagangkan.
Salah satu barang yang dimaksud adalah limbah B3. Walaupun perjanjian dagang ini
pada prinsipnya harus mengacu pada hukum nasional, namun ini menunjukkan bahwa
tidak semua pihak memahami kebijakan Indonesia yang melarang impor limbah B3.
10
memasukkan limbah B3 ke wilayah Indonesia yaitu mengimpor barang yang tidak
sesuai dengan dokumen yang terdaftar.
11
5. Pada Jumat 22/6/2012, sejumlah 24 kontainer terakhir diberangkatkan ke
Rotterdam Belanda. Sedangkan reekspor 89 kontainer telah diberangkatkan ke
Felixstowe Inggris Pada 14-15 April 2012.
• Penyortiran
Setelah itu e-waste tersebut dikelompokkan sesuai dengan tipe dan kondisinya. Dari
sampah elektronik yang masuk akan dipilih mana saja yang termasuk e-waste yang
bisa digunakan kembali (reusable), di servis atau disimpan untuk dijual kembali.
12
• Open Burning
Dilakukan pada komponen-komponen tertentu, baik untuk diambil materinya dan
komponen pentingnya dalam keperluan recycling atau servis atau diambil material
berharganya seperti emas, baja dan timah untuk dijual kembali.
• Open Dumping
Sisanya, untuk e-waste yang tidak bernilai guna dan bekas diperetel pada akhirnya
akan berakhir di tempat pembuangan, dimana ancaman kesehatan, lingkungan dan
sosial.
Dengan bahaya e-waste seperti yang dipaparkan sebelumnya, menjadi fakta yang
menakutkan ketika mengetahui banyak negara berkembang, termasuk Nigeria e-waste
biasanya diproses secara backyard industry atau lokakarya kecil dengan menggunakan
metode yang paling primitif dan jauh di bawah standar. Kegiatan daur ulang primitif yang
bertujuan memulihkan bahan yang bermanfaat dan pembongkaran ewaste sering dilakukan
dengan tangan kosong dan dengan tidak ada atau sangat sedikit peralatan pribadi
perlindungan kesehatan, tindakan pengendalian pencemaran atau fasilitas pengolahan air
limbah dan gas buang, karena mereka tidak mempunyai modal yang cukup untuk
melaksanakan langkah-langkah keamanan dalam pengolahan e-waste yang baik. Dengan
demikian, proses pembongkaran sering terjadi menggunakan pembakaran udara terbuka,
sianida leaching, dan pot mencair sederhana untuk memulihkan terutama tembaga, emas
dan perak dengan keuntungan yang tidak seberapa.
13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal yaitu :
1. Konvensi Basel berperan sebagai fasilitator dalam penyelesaian masalah illegal trafficking
limbah B3. Konvensi Basel juga berperan sebagai dasar hukum dalam proses pelarangan impor
limbah B3 tanpa izin. Negara yang melakukan illegal trafficking limbah B3 wajib mengambil
kembali limbah B3 tersebut atau membuang limbah tersebut menurut ketentuan konvensi ini
dalam tempo 30 hari setelah diberitahu bahwa perpindahan yang Negara tersebut lakukan
adalah illegal.
2. Salah satu contoh illegal trafficking limbah B3 di Indonesia terjadi pada 20 Januari 2012. Pihak
Bea Cukai menahan 113 kontainer asal Inggris dan Belanda yang diduga memuat besi tua yang
tercampur limbah B3 di Pelabuhan Tanjung Priok. Sedangkan di negara lain, contoh illegal
trafficking limbah B3 adalah impor limbah e-waste ke Nigeria yang dilakukan oleh Inggris.
14
DAFTAR PUSTAKA
Hilam, M. 2015. Konvensi Basel: Transboundary Movement of Hazardous Waste. Workdhop Penanganan
Limbah Lintas Batas Ilegal di Batam.
Kompas. (2019, Oktober 18). Kompas. Retrieved from
https://money.kompas.com/read/2012/06/22/13493342/reekspor.113.kontainer.selesai.dilakukan
Kummer, Katharina. 1995. The Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of
Hazardous Wastes and their Disposal. Oxford : Clarendon Press.
The Globalization of World Politic: An Introduction to International Relation, (2004). The Globalization
of World Politic: An Introduction to International Relation. New York : Oxford University Press.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
United Nation of Environmental Project (UNEP) : Basel Convention (2006). Training Manual on Illegal
Traffic For Customs and Enforcement Agencies. Switzerland : Secretariat of the basel convention
International Environment House.
15