Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI LINGKUNGAN

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU SECARA FITOREMEDIASI


MENGGUNAKAN ECENG GONDOK

KELOMPOK 1/2F:

Abdul Rauf Hilaby NIM. 1730122 Indhira Vimmy NIM. 1730149

Allysha Aly NIM. 1730126 M. Nurkholis NIM. 1730158

Anggia Rizki F NIM. 1730128 Reza Agustini B NIM. 1730171

Donny Agung N NIM. 1730138 Ronaldi Rauf NIM. 1730175

Fachry ikhwanudin NIM. 1730140 Yoga Pratama NIM . 1630120

Indah Dwi P NIM. 1730148

POLITEKNIK AKA BOGOR

PROGRAM STUDI PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas rahmat
dan karunianya kami dapat menyusun laporan hasil praktikum Bioteknologi
Lingkungan yang berjudul “Pengolahan Limbah Cair Tahu Secara Fitoremediasi
Menggunakan Eceng Gondok” dengan tepat waktu.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah


membantu kelancaran dalam pembuatan laporan ini terutama kepada ibu Jenny AM
T, M.Si dan dosen beserta asisten dosen laboratorium Lingkungan.

Laporan hasil praktikum dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah praktik
Bioteknologi Lingkungan Politeknik AKA Bogor. Laporan ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat
diharapkan sehingga penyusunan laporan akan lebih baik dimasa yang akan datang.

Akhir kata, semoga laporan ini bermanfaat dan memberikan pengetahuan


mengenai Bioteknologi lingkungan pengolahan limbah cair tahu secara
fitoremediasi menggunakan eceng gondok bagi pembacanya.

Bogor, 22 November 2018

Kelompok 1

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1


1.2 Tujuan ................................................................................................................2
1.3 Manfaat ..............................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1Air Sungai...........................................................................................................3
2.2 Baku Mutu Air Sungai.......................................................................................3
2.3 Kebutuhan Oksigen Kimiawi.............................................................................4
2.4 Klorida dalam air sungai....................................................................................6
BAB III METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan ...................................................................................................8
3.1.1 Alat............................................................................................................8
3.1.2 Bahan.........................................................................................................8
3.2 Cara kerja ...........................................................................................................9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Sampling .................................................................................................10
4.2 Data Pelaksanaan.............................................................................................10
4.3 Data Pengamatan..............................................................................................11
4.4 Pembahasan......................................................................................................13
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpula…....................................................................................................17
5.2 Saran .................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................18
LAMPIRAN ..........................................................................................................19

3
DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I Data Fisik…................................................................................19


LAMPIRAN II Data pengukuran...…………………………………………….23
LAMPIRAN III Perhitungan….............................................................................
LAMPIRAN IV Dokumentasi.........…………………………………………….
LAMPIRAN V Laporan sementara........................................................................

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Logam berat merupakan salah satu komponen pencemar lingkungan,


baik di darat, perairan maupun udara. Logam berat yang sering mencemari
lingkungan terutama adalah merkuri (Hg), timbal (Pb), cadmium (Cd), arsenik
(Ar), chromium (Cr), nikel (Ni) dan besi (Fe) (Palar, 2004). Salah satu lingkungan
yang mudah tercemar yaitu perairan, sebab limbah dari industri berupa limbah cair
kebanyakan langsung dibuang ke sungai tanpa diolah terlebih dahulu.

Logam berat dapat meracuni tubuh makhluk hidup apabila terakumulasi di


dalam tubuh dalam waktu yang lama dan di atas ambang batas toleran.
Sebaliknya beberapa jenis logam biasanya digunakan untuk pertumbuhan
kehidupan biologis, misalnya pada pertumbuhan alga atau tanaman air lain. Apabila
tidak ada logam maka pertumbuhannya akan terhambat, namun jumlah yang
berlebihan akan mempengaruhi kegunaannya karena menimbulkan

Terjadinya kontaminasi tanah dan air oleh logam – logam berat misalnya
sebagai akibat dariaktivitas manusia, pertanian dan industry. Diantara logam
berat tersebut, logam timbal (Pb) merupakan pencemar potensial yang mudah
terakumulasi dalam tanah dan sedimen. Peraturan pemerintah Nomor 18 Tahun
1999, menyatakan logam timbal (Pb) adalah salah satu logam berat yang
termasuk ke dalam kelompok bahan beracun dan berbahaya (B3). Keberadaann
logam timbal di perairan dpat bertambah bila terjadi introduksi dari berbgai
sumber yang mengandung logam tersebut. Logam timbal diperairan berada
dalam berbagai keadaan, baik berbetuk ion bebas maupun kompleks yang larut
tersorbsi (Bahri. 2010).

Konsep mengolah air limbah dengan menggunakan media tanaman atau


lebih populer disebut “fitoremediasi” telah lama dikenal oleh manusia, bahkan
digunakan juga untuk mengolah limbah berbahaya (B3) atau untuk limbah
radioaktif. Fitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan atau pohon untuk

5
menyisihkan atau menetralkan kontaminan, seperti yang berada dalam tanah atau
air yang tercemar.

Fakta membuktikan bahwa tumbuhan air dapat mengakumulasi logam-logam


dari lingkungannya dan kadarnya bertambah pada trofik dengan pengaruh
akumulasinya. (Miretzky, dkk. 2004 dalam Bahri, 2010). Diantara tumbuhan air
yang hidupnya mengapung adalah eceng gondok (Eichornia crassipes).
Dipilihnya enceng gondok karena berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya
tanaman ini memiliki kemampuan untuk mengolah limbah, baik itu berupa logam
berat, zat organik maupun anorganik.

Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan tumbuhan akuatik yang


secara teroritis dapat menyerap air dan unsur yang terdapat didalamnya sehingga
dapat digunakan sebagai bioindikator dalam penyebaran radionuklida dan
depolutan pada limbah radiaktif. (Setiawati. 2004).

1.1 Tujuan

1. Mengetahui mekanisme fitoremediasi


2. Mengetahui efektifitas eceng gondok dalam fitoremediasi

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian fitoremediasi ?


2. Bagaimana mekanisme fitoremdiasi ?

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Cari Industri
Menurut Mahmud (1990) bahan baku tahu adalah kedelai yang
tersusun dari komponen–komponen yang berupa: protein berkisar 40-60%,
karbohidrat berkisar 25-50%, lemak berkisar 8-12%, dan sisanya berupa
kalsium, besi, fosfor, dan vitamin. Protein merupakan komponen yang
dominan di dalam tahu. Protein adalah senyawa organik yang mengandung
atom karbon, hidrogen, oksida, dan nitrogen. Suprapti (2005) menyebutkan
bahwa berdasarkan Standar Industri Indonesia (SII) No.0270-80
persyaratan standar kualitas tahu adalah mengandung protein minimal 9%,
abu maksimal 1%, serat kasar maksimal 0,1%, tidak mengandung logam
berbahaya, bau dan rasa khas tahu, tidak berjamur dan tidak mengandung
bakteri Coli.

Dalam Kristanto (2004) dikatakan bahwa, limbah atau polutan


adalah sisa atau bahan buangan dari suatu usaha/kegiatan. Jadi limbah
industri adalah hasil buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat
tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomi.
Limbah yang dihasilkan oleh industri tahu ada beberapa jenis, yaitu berupa
limbah padat kering, limbah padat basah, dan limbah cair. Limbah padat
kering dan padat basah tidak menjadi masalah karena bisa dimanfaaatkan.
Limbah padat keringnya dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak sedangkan
limbah padat basahnya dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuatan tepung
kedelai, bahan pengembang roti, bahan pembuatan tempe gembus, kecap,
dan pigmen merah (Jenie, 1995).

Limbah cair tahu dalam kondisi baru tidak menimbulkan bau dan
baru berbau setelah 12 jam kemudian. Limbah cair tahu masih dapat
dimanfaatkan untuk beberapa keperluan misalnya: bahan penggumpal tahu
untuk periode berikutnya, bahan minuman ternak, bahan pupuk tanaman,
bahan campuran pakan lele, bahan pembuatan nata de soya, asam cuka, dan
lahan penanaman eceng gondok (Suprapti, 2005).

Limbah cair tahu berasal dari proses pembuatan, proses


penyaringan, proses penekanan, pencucian kedelai, pencucian peralatan,
pencucian lantai, dan air bekas rendaman kedelai. Limbah cair tahu
mengandung zat padat tersuspensi misalnya potongan tahu yang hancur
pada saat pemrosesan karena kurang sempurna pada saat penggumpalan.
Limbah cair tahu pada umumnya mengandung kadar protein yang tinggi.
Limbah cair industri tahu berupa cairan kental yang terpisah dari gumpalan
tahu yang disebut air dadih (Suprapti, 2005; Damayanti, 2004).

3
Limbah cair tahu mengandung senyawa organik yang tinggi dan
sedikit mengandung senyawa anorganik. Ketika limbah cair tahu dibuang
ke sungai, maka akan terjadi peruraian senyawa komplek menjadi senyawa
yang lebih sederhana. Proses peruraian bahan organik oleh mikroorganisme
aerob memerlukan oksigen dalam jumlah besar untuk memperoleh energi.
Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan konsentrasi oksigen terlarut di
dalam air. Penurunan yang melewati ambang batas akan mengakibatkan
kematian biota air lain akibat kekurangan oksigen. Ketika oksigen terlarut
tidak tersedia lagi, peruraian zat organik dilakukan oleh mikroorganisme
anaerob yang mengeluarkan gas asam sulfida (H2S) dan gas metana (CH4)
yang berbau seperti telur busuk. Tingginya konsentrasi zat organik dalam
limbah cair tahu termasuk kandungan amoniak akan menyebabkan terjadi
penurunan kandungan oksigen dalam air sehingga kebutuhan oksigen
biologi dan kebutuhan oksigen kimia dalam perairan tinggi (Khiatudin,
2003; Murdjito, 1995).

Khiatuddin (2003) menyebutkan beberapa metoda yang sering


dipakai untuk mengukur besarnya pencemaran bahan organik terhadap
lingkungan air adalah mengukur Biological Oxygen Demand (BOD),
Chemical Oxygen Demand (COD) dan Dissolved Oxygen (DO). Limbah
cair industri tahu mempunyai BOD, COD cukup tinggi dan DO sangat
rendah.

Ciri-ciri limbah cair tahu adalah sebagai berikut: limbah cair tahu
pada umumnya berada pada kondisi temperatur tinggi. Hal ini disebabkan
karena dalam proses pembuatan tahu selalu pada kondisi panas, baik pada
saat penggumpalan atau pada saat penyaringan yaitu pada suhu 60–80 C.
Pencucian dengan menggunakan air dingin selama proses berjalan tidak
mampu menurunkan suhu limbah cair tersebut. Limbah cair tahu berwarna
kuning muda dan disertai adanya suspensi berwarna putih (Purnama, 2007;
Yulianti, 2001).

Bau busuk pada air buangan industri tahu disebabkan adanya proses
pemecahan protein yang mengandung sulfur atau sulfat tinggi oleh mikroba
alam. Padatan yang terlarut dan tersuspensi dalam air limbah pabrik tahu
menyebabkan air keruh. Zat yang menyebabkan air keruh adalah zat organik
atau zat- zat tersuspensi dari tahu atau kedelai yang tercecer sehingga air
limbah berubah menjadi seperti emulsi keruh.

Pengolahan limbah cair tahu dilakukan untuk memenuhi standar air


limbah sesuai ketentuan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Oleh karena itu
sebelum limbah cair dibuang ke sungai perlu diadakan pengolahan terlebih
dahulu. Limbah industri yang dibuang langsung ke badan air tanpa
mengalami pengolahan terlebih dahulu, dapat menimbulkan gangguan
kesehatan dan dapat menimbulkan berubahnya tatanan ekosistem air yang

4
dibuktikan dengan matinya organisme air. Oleh karena itu, untuk mengatasi
berbagai persoalan tersebut sebelum limbah dibuang ke perairan perlu
dilakukan pengolahan terlebih dahulu dengan cara–cara yang efektif
sehingga dapat menurunkan daya cemar tersebut baik dengan cara fisika,
kimia, atau biologi (Setiadi dan Dewi, 2003).

Pramudyanto (1991) dan Antara (1993) menyebutkan secara umum,


limbah cair tahu yang mengandung polutan bahan organik dapat diolah
dengan cara: fisika, kimia, atau biologi. Cara fisika biasanya dilakukan pada
awal penanganan, misalnya limbah cair tahu pada tahap awal dilakukan
penyaringan. Saringan dapat bertahap dari saringan kasar sampai saringan
halus, selain itu juga dilakukan pengendapan dengan memperlambat aliran
buangan sehingga benda-benda padat dan berat dapat tinggal dalam bak
pengendap. Cara kimia adalah penanganan air buangan dengan
menggunakan bahan kimia misalnya: netralisasi, penggumpalan,
penyerapan, klorinasi, dan ozonisasi. Cara biologi bertujuan untuk
menghilangkan bahan organik dengan penguraian hayati, mengubah
menjadi gas dan massa. Junaidi (2006) mengatakan bahwa keberhasilan
pengolahan limbah secara biologi tergantung dari aktifitas mikroorganisme
di dalamnya. Karena itu diperlukan perlakuan khusus yang mampu menjaga
keseimbangan pertumbuhan mikroorganisme.

Seluruh proses di atas bertujuan untuk menghilangkan kandungan


padatan tersuspensi, koloid dan bahan–bahan organik maupun anorganik.
Dalam prakteknya, tidak semua proses itu harus dilakukan. Penentuan jenis
proses yang akan diambil sangat tergantung dengan karakteristik
limbahnya, serta berbagai faktor lainnya (Siregar, 2005).

2.2 Eichornia Crassipes (Eceng Gondok )


Gerbano (2005) menyebutkan, eceng gondok termasuk famili
Pontederiaceae. Tanaman ini hidup di daerah tropis maupun subtropis.
Eceng gondok digolongkan sebagai gulma perairan yang mampu
menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan dan berkembang biak
secara cepat. Tempat tumbuh yang ideal bagi tanaman eceng gondok
adalah perairan yang dangkal dan berair keruh, dengan suhu berkisar
antara 28-30°C dan kondisi pH berkisar 4-12. Di perairan yang dalam dan
berair jernih di dataran tinggi, tanaman ini sulit tumbuh. Eceng gondok
mampu menghisap air dan menguapkanya ke udara melalui proses
evaporasi.

Daun eceng gondok berbentuk bulat telur, berwarna hijau segar,


dan mengkilap. Di perairan yang mengandung nitrogen tinggi, eceng
gondok memiliki daun yang relatif lebar dan berwarna hijau tua.
Sebaliknya di perairan yang mengandung nitrogen rendah, eceng gondok
memiliki daun yang relatif kecil dan berwarna kekuning-kuningan, karena

5
pertumbuhan eceng gondok tergantung dari nutrisi yang tersedia dan
cahaya matahari untuk fotosintesis (Ripley, 2006). Tangkai daun
memanjang, berbentuk silindris, dengan diameter 1-2 cm. Tangkai ini
mengandung air yang dibalut serat yang kuat dan lentur. Akar tanaman ini
mampu menetralisir air yang tercemar limbah sehingga seringkali
dimanfaatkan untuk penanganan limbah industri.

Eceng gondok memiliki keunggulan dalam kegiatan fotosintesis,


penyediaan oksigen dan penyerapan sinar matahari. Bagian dinding
permukaan akar, batang dan daunnya memiliki lapisan yang sangat peka
sehingga pada kedalaman yang ekstrem sampai 8 meter di bawah
permukaan air masih mampu menyerap sinar matahari serta zat-zat yang
larut di bawah permukaan air. Akar, batang, dan daunnya juga memiliki
kantung-kantung udara sehingga mampu mengapung di air. Keunggulan
lain dari eceng gondok adalah dapat menyerap senyawa nitrogen dan
fosfor dari air yang tercemar, berpotensi untuk digunakan sebagai
komponen utama pembersih air limbah dari berbagai industri dan rumah
tangga. Karena kemampuanya yang besar, tanaman ini diteliti oleh NASA
untuk digunakan sebagai tanaman pembersih air di pesawat ruang angkasa
(Little, 1979; Thayagajaran, 1984). Menurut Zimmel (2006) dan Tripathi
(1990) eceng gondok juga dapat digunakan untuk menurunkan konsentrasi
COD dari air limbah.

Menurut Widyaningsih (2007), struktur anatomi eceng gondok


terdiri dari struktur batang, struktur daun dan struktur akar. Batang
tanaman eceng gondok (petiola) yang berbentuk bulat menggembung, di
dalamnya penuh dengan ruangruang udara yang berfungsi untuk
mengapung di atas permukaan air. Lapisan terluar dari petiola adalah
epidermis. Lapisan epidermis pada eceng gondok tidak berfungsi sebagai
alat perlindungan jaringan, tetapi berfungsi untuk mengabsorbsi gas-gas
dan zat-zat makanan secara langsung dari air. Jaringan di sebelah dalam
banyak terdapat jaringan pengangkut yang terdiri dari xylem dan floem,
dengan letak yang tersebar merata di dalam parenkim.

Menurut ratnani pada tahun 2008 dalam meneliti mengenai


kemampuan eceng gondok untuk mengolah limbah cair tahu didapatkan
kesimpulan bahwa eceng gondok dapat digunakan untuk mengolah limbah
cair tahu. Dalam penelitian tersebut eceng gondok juga dapat
meningkatkan pertumbuhan eceng gondok.
Akar eceng gondok dapat mengumpulkan lumpur. Lumpur akan
melekat di antara bulu-bulu akar. Di belakang tudung akar (kaliptra) akan
terbentuk sel-sel baru untuk jaringan akar baru (meristem). Syarat
pertumbuhan yang optimum bagi eceng gondok adalah air yang dangkal,
ruang tumbuh luas, air tenang, cukup cahaya matahari, suhu antara 20-
30◦C, cukup unsur hara, dan pH antara 7-7,5.

6
Eceng gondok merupakan tumbuhan yang sangat toleran terhadap
kadar unsur hara yang rendah dalam air, tetapi respon terhadap kadar unsur
hara yang tinggi juga sangat besar. Pertumbuhan eceng gondok
dipengaruhi oleh pH. Pada pH sekitar 7,0-7,5, eceng gondok mempunyai
pertumbuhan yang lebih baik. Pada pH di bawah 4,2 dapat meracuni
pertumbuhan eceng gondok, sehingga eceng gondok mati.

Eceng gondok dapat dimanfaatkan untuk proses pemulihan


lingkungan. Pemanfaatan tumbuhan dalam aktivitas kehidupan manusia
untuk proses pemulihan lingkungan yang tercemar dengan menggunakan
tumbuhan telah dikenal luas dengan istilah fitoremediasi
(phytoremediation). Proses dalam sistem ini berlangsung secara alami
dengan enam tahap proses secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap
zat kontaminan/pencemar yang berada di sekitarnya.

Menurut Mangkoedihardjo (2005) keenam tahapan tersebut adalah


sebagai berikut:
1. Phytoaccumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan
menarik zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi di sekitar akar
tumbuhan. Proses ini disebut juga hyperaccumulation.

2. Rhizofiltration (rhizo=akar) adalah proses adsorpsi atau


pengendapan zat kontaminan oleh akar dengan cara menempel pada akar.
Proses ini telah dibuktikan dengan percobaan menanam bunga matahari
pada kolam mengandung zat radio aktif di Chernobyl, Ukraina.

3. Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu


pada akar yang tidak mungkin terserap ke dalam batang tumbuhan. Zat-zat
tersebut menempel erat pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran
air dalam media.

4. Rhyzodegradation yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh


aktivitas mikroba yang berada di sekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi,
fungi dan bakteri.

5. Phytodegradation (phytotransformation) yaitu proses yang


dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai
rantai molekul yang kompleks menjadi molekul yang sederhana yang
dapat berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat
berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar sekitar akar dengan
bantuan enzim yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri.

6. Phytovolatilization yaitu proses menarik dan transpirasi zat


kontaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan

7
terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya
diuapkan ke atmosfer. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air 200-
1000 liter per hari untuk setiap batang.

Mekanisme Penyerapan Limbah Organik. Metode penurunan atau


penghilangan substansi toksis dalam air limbah dengan media tanaman
lebih dikenal dengan istilah fitoremediasi. Fitoremediasi adalah
pemanfaatan tanaman untuk mengekstraksi, menghilangkan, dan
mendetoksifikasi polutan dari lingkungan. Eceng gondok dapat menyerap
zat organik melalui ujung akar. Zat– zat organik yang terserap akan masuk
ke dalam batang melalui pembuluh pengangkut kemudian menyebar ke
seluruh bagian tanaman eceng gondok. Pada proses ini zat organik akan
mengalami reaksi biologi dan terakumulasi di dalam batang tanaman,
kemudian diteruskan ke daun (Sriyana, 2006).

8
BAB III

METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 alat
1. 1 Bak 20L
2. 1 batang pengaduk
3. 1 beaker gelass
4. 1 multiparameter
5. 1 Buret
6. 2 Pinggan penguap
7. 4 Labu takar
8. 2 botol reaktor
9. 2 bunsen
3.1.2 Bahan
1. air limbah tahu 18 liter
2. FAS 0,2 N
3. Aquades
4. K2Cr2O7
5. Alkohol
6. Ag2SO4-H2SO4
7. H2SO4

3.2 Cara Kerja


1. Persiapan sampel limbah cair
Sampel limbah cair yang diambil adalah limbah tahu yang
baru selesai diproduksi. Limbah cair diambil pada pukul 08.00 hari
selasa sebanyak 20 liter di pabrik tahu menggunakan jerigen 25 liter.
Sampel limbah cair diukur kadar COD ,TSS,TDS,TS,ph, suhu.
2. Penyediaan tanaman eceng gondok (eichornia crassipes)
Tanaman yang digunakan adalah tanaman eceng gondok
yang diambil secara langsung di gang sawo tanah baru kota bogor.
Tahap pertama yang dilakukan adalah aklimatisasi eceng gondok
yang bertujuan untuk mengatur kondisi tanaman agar dapat
beradaptasi dengan limbah cair yang akan diolah. Aklimatisasi
dilakukan dengan memasukan eceng gondok kedalam bak yang
berisi air bersih selama 7 hari. Jenis tanaman yang digunakan
ditentukan dengan cara determinasi untuk mendapatkan tanaman
yang sejenis, hijau segar dan memiliki ukuran yang relatif sama
untuk setiap jenis tanaman air. Tanaman eceng gondok yang
digunakan adalah tanaman dengan kriteria ,3-6 helai daun, dengan
panjang 10-15 cm.
3. Proses fitoremediasi limbah cair pemeriksaan awal sampai
akhir

9
Sampel limbah cair yang digunakan dimasukan ke dalam 6
bak, bak satu digunakan untuk bak kontrol yang tidsk dimasukan
eceng gondok namun hanaya bersi limbah cair. Bak 2 sampai bak 6
dimasukan eceng gondok yang telah diaklimatisasi dengan limbah
cair. Eceng gondok yang dimasukan adalah kelipatan 2 pada
masing-masing bak. Pengamatan COD , TDS, TSS, TS, suhu, dan
ph pada hari ke nol, hari ke dua, hari ke tujuh. Hari ke sepuluh dan
hari hari ke 14.

 Uji TS

Timbang Bobot Awal Pipet 25 mL sampel Uapkan sampai kering

Masukan oven suhu 105o selama 30 menit Lap bawah pinggan menggunakan
alcohol.

Masukan desikator dan timbang.

 Uji TDS

Timbang Bobot Awal Pipet 25 mL sampel,saring Uapkan sampai


kering

Masukan oven suhu 105o selama 30 menit Lap bawah pinggan menggunakan
alcohol.

Masukan desikator dan timbang.

 Uji COD

Siapkan Tabung reactor Tambahkan masing-masing 2 mL sampel/blanko,


K2Cr2O7,
Ag2SO4-H2SO4

Dinginkan tabung reactor menggunakan air. Di reactor selama 2 jam

Dimasukan ke dalam Erlenmeyer dan Titrasi menggunakan FAS (0,2N) yang


telah ditambahkan indicator feroin.

10
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Sampling


Nama sampel : Air Limbah Tahu
Hari tanggal : Senin, 5 November 2018
Waktu sampling : 07:30 WIB
Lokasi sampling : Pabrik Tahu Depan Puskesmas
Cuaca sampling : Cerah
Petugas : M Reza Pahlevi
Lukman Nil Hakim
Warna sampel Wujud sampel Bau sampel
Kuning Keruh Cair Bau khas limbah cair
tahu

4.2 Data Parameter Tanaman


Tinggi batang : 10-15 cm
Jumlah daun : 4-5 helai
Keadaan daun : Segar
Asal tanaman : Kolam ikan gg.sawo
4.3 Data Pelaksanaan
Judul pengujian : Pengolahan Limbah Cair Tahu Secara
Fitoremediasi mengggunakan eceng gondok
Tempat : Lab Lingkungan politeknik AKA Bogor
Dosen PJ :Jenny AM T, M.Si
Jumlah petugas : 11 Orang

11
4.3 Data Pengamatan

Tabel 1. Pengamatan keadaan fisik ( bak perlakuan)


(TERLAMPIR 1)

Tabel 2. Data pengukuran TS,TDS,TSS,COD,pH, dan suhu


(TERLAMPIR 2)

Tabel 3. Data COD blanko

volume blanko
hari ke-0 hari ke-2 hari ke-7 hari ke- 10 hari ke-13
v1 1,97 2,55 3 2,67 2,67
v2 1,90 2,43 3,1 2,75 2,69

Tabel 4. Standardisasi FAS 0,2 N

bobot dan volume standardisasi FAS 0,2N

hari ke-0 hari ke-2 hari ke-7 hari ke- 10 hari ke-13
Bobot
K2Cr207
(mg) 1 0,2452 0,2460 0,2471 0,2450 0,2452
Bobot
K2Cr207
mg)2 0,2455 0,2642 0,2451 0,2448 0,2449

v1(mL) 25,16 23,23 25,07 27,33 27,65

v2(mL) 25,13 23,25 25,13 27,27 27,45


Konsentrasi
(N) 0,1992 0,2161 0,2001 0,1831 0,1816

Pembahasan
Mekanisme kerja fitoremediasi terdiri dari beberapa konsep dasar
yaitu: fitoekstraksi, fitovolatilisasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, rhizofiltrasi dan
interaksi dengan mikroorganisme pendegradasi polutan (Kelly, 1997).
Fitoekstrasi atau proses absorbsi (penyerapan) kontaminan/polutan oleh
akar dan diikuti dengan translokasi melalui xylem dan diakumulasi di vakuola sel
batang dan daun (Chaudary, 1998),. Setelah polutan terakumulasi, tanaman bisa
dipanen dan tanaman tersebut tidak boleh dikonsumsi tetapi harus di musnahkan
dengan insinerator ke Bmudian dilandfiling.

12
Fitovolatilisasi merupakan proses penyerapan polutan oleh tanaman dan
polutan tersebut dirubah menjadi bersifat volatil dan kemudian ditranspirasikan
oleh tanaman. Polutan yang di lepaskan oleh tanaman keudara bisa sama seperti
bentuk senyawa awal polutan, bisa juga menjadi senyawa yang berbeda dari
senyawa awal.
Fitodegradasi adalah proses penyerapan polutan oleh tanaman dan
kemudian polutan tersebut mengalami metabolisme didalam tanaman. Metabolisme
polutan didalam tanaman melibatkan enzim antara lain nitrodictase, laccase,
dehalogenasedan nitrilase.
Fitostabilisasi merupakan proses yang dilakukan oleh tanaman untuk
mentransformasi polutan didalam tanah menjadi senyawa yang non toksik tanpa
menyerap terlebih dahulu polutan tersebut kedalam tubuh tanaman. Hasil
transformasi dari polutan tersebut tetap berada didalam tanah.
Rhizofiltrasi adalah proses penyerapan polutan oleh tanaman tetapi
biasanya konsep dasar ini berlaku apabila medium yang tercemarnya adalah badan
perairan Pertumbuhan eceng gondok sangat memerlukan cahaya matahari yang
cukup, dengan suhu optimum antara 25o C - 30o C. Pertumbuhannya akan terganggu
bila suhu di bawah 10o C atau di atas 40o C dan akan mati bila suhu perairan 45o C.
Total solid atau total padatan, (TS) adalah ukuran dari semua padatan baik
tersuspensi, koloid, dan terlarut dalam sampel air. Zat terlarut adalah campuran
padatan dengan cairan di level ion atau molekul. Zat terarut biasanya transparan,
yang berarti kita dapat melihat menembusnya. Contoh zat terlarut adalah gula dan
garam.
Secara umum, konsentrasi total padatan terlarut adalah jumlah ion kation
(bermuatan positif) dan anion (bermuatan negatif) dalam air. Padatan
terlarut biasanyamemberikan kontribusi yang signifikan terhadap jumlah total
padatan dalam air. Bahkan, massa padatan terlarut kadang-kadang lebih tinggi dari
massa partikel. padatan terlarut dalam sampel air tawar termasuk garam larut yang
menghasilkan ion seperti kalsium, klorida, bikarbonat, nitrat, fosfat, dan besi.
Total Solids (TS) dalam analisa laboratorium ditentukan dengan sampel
diletakkan ke piring keramik yang ditempatkan dalam oven pengeringan pada suhu
103 oC. Setelah sampelmengering, suhu ditingkatkan menjadi 180 oC untuk
menghilangkan air yang tersumbat, yaitu, molekul air yang terperangkap dalam
matriks mineral. Nilai TDS adalah berat cawan dan kertas saring setelah
dipanaskan dikurangi berat cawan dan kertas saring awal dikalikan seribu dibagi
besaran (ml) sampel.

Total Dissolved Solids (TDS) dalam analisa laboratorium ditentukan


dengan menyaring sampel melalui saringan serat. Filtrat (saringan) kemudian
diletakkan ke piring keramik yang ditempatkan dalam oven pengeringan pada suhu
103 oC. Setelah sampel mengering, suhu ditingkatkan menjadi 180 oC untuk
menghilangkan air yang tersumbat, yaitu, molekul air yang terperangkap dalam
matriks mineral. Nilai TDS adalah berat cawan dan kertas saring setelah
dipanaskan dikurangi berat cawan dan kertas saring awal dikalikan seribu dibagi
besaran (ml) sampel. Total padatan terlarut yang tinggi dapat mempengaruhi
kualitas estetika air, mengganggu mencuci pakaian dan korosi perlengkapan pipa.
Total padatan tersuspensi (TSS) adalah partikel yang ukurannya lebih besar
dari 2 mikron, dan dapat ditemukan di kolom air. Sesuatu yang lebih kecil dari 2

13
mikron (rata-rata ukuran filter) dianggap sebagai padatan terlarut. Kebanyakan
TSS terdiri dari bahan anorganik, walaupun bakteri dan ganggang juga dapat
berkontribusi untuk konsentrasi total padatan.
Nilai total padatan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, dapat
mempengaruhi kesehatan sungai dan organisme yang hidup di sana. Tingginya
kadar total padatan akan mengurangi kejernihan air. Hal ini dapat mengurangi
jumlah sinar matahari yang mampu menembus air, sehingga mengurangi laju
fotosintesis. Karena kurang cahaya menembus air. Kurang oksigen dihasilkan oleh
tumbuhan dan alga, ada penurunan lebih lanjut dalam tingkat oksigen terlarut.
Ketika air keruh, sinar matahari yang hangat itu lebih efisien. Hal ini terjadi
karena partikel tersuspensi dalam air menyerap sinar matahari
yang dapat menghangatkan air di sekitarnya. Hal ini menyebabkan masalah lain
yang terkait dengan meningkatnya suhu di badan air dan kemudian mengurangi
tingkat oksigen terlarut (air hangat memiliki oksigen yang lebih sedikit dari air
dingin).
Untuk air limbah point source, pengolahan yang memadai diperlukan untuk
memastikan bahwa padatan tersuspensi tidak hadir pada tingkat di atas baku
mutu.Pengolahan biasanya seperti unit pengendapan sebelum air limbah
tersebut dibuang.
Untuk air limbah non point source, tindakan pengendalian harus
dilaksanakan untuk mengurangi beban padatan tersuspensi ke sungai, aliran dan
danau. praktek pertanian seperti meminimalkan erosi tanah dan membantu
melindungi kualitas air perlu diterapkan. Untuk situs konstruksi, kontrol seperti
pagar lumpur dan cekungan sedimentasi dirancang untuk mencegah erosi
tanah mengalir ke air permukaan. Di daerah perkotaan, kolam retensi air hujan atau
jadwal rutin menyapu jalan mungkin efektif dalam mengurangi jumlah padatan
tersuspensi pada limpasan air hujan

Pada praktikum fitoremediasi kali ini dilakukan percobaan terhadap air


limbah yang diberi perlakuan berbeda beda setiap bak kontrol, bak kontrol tidak
diberi eceng gondok, bak perlakuan 1 diberi 2 eceng gondok, bak perlakuan 2 diberi
4 eceng gondok, bak perlakuan 3 diberi 6 eceng gondok, bak perlakuan 4 diberi 8
eceng gondok, dan bak perlakuan 5 diberi 10 eceng gondok.
Berdasarkan data hasil pengujian TS dan TDS dalam air limbah terlihat
semua sampel air dari baskom yang berisi tanaman sampai hari ke-13 menunjukkan
penurunan kadar TSS yang lebih kecil dibandingkan sampel air dari baskom yang
tidak diisi tanaman pada hari ke 13, diperkirakan bahwa tanaman telah menyerap
sebagian padatan dari air limbah. Hasil pengujian menunjukkan bahwa penurunan
kadar TDS dan TS dalam baskom perlakuan tidak berbeda nyata dengan baskom
kontrol, hal ini bisa disebabkan karena kesalahan analis (human error).
Pada hari ke-2 pengujian, kadar TS dan TDS menunjukkan penurunan pada
bak kontrol dan setiap bak perlakuan, penurunan kadar TDS dan TS ini diduga
disebabkan karena kemampuan tanaman dalam menyerap total padatan. Penurunan
kadar TDS dan TS dalam air limbah mengindikasikan bahwa telah terjadi
pemindahan padatan dari air ke tanaman.

14
Selanjutnya kadar TDS dan TS pada air limbah cenderung semakin menurun
sampai pada hari ke-7 untuk semua kelompok, tingkat penyerapan tanaman
terhadap total padatan mengalami kenaikan yang ditunjukkan dengan kadar TDS
dan TS yang nilainya lebih kecil dibandingkan dengan hari ke 2.
Kemudian pada hari ke-10 kadar TDS dan TS pada air limbah semakin
menurun di semua kelompok kecuali pada bak perlakuan 3, dan bak perlakuan 5
yang malah menunjukkan kenaikan kadar TDS dan TS nya hal ini bisa terjadi
karena kemampuan penyerapan tanaman eceng gondok mulai berkurang dan hanya
mampu menyerap total padatan menjadi lebih sedikit. Hal ini menujukkan bahwa
semakin lama pertumbuhan eceng gondok dalam air maka semakin tinggi total
padatan yang diserap dan diakumulasi oleh eceng gondok
Terakhir pada hari ke-13 kadar TDS dan TS pada air limbah semakin
menurun di semua kelompok terkecuali pada bak perlakuan 2, bak perlakuan 3, bak
perlakuan 4 dan bak perlakuan 5 yang mengalami kenaikan kadar TDS hal terjadi
bisa dikarenakan kesalahan analis saat proses menyaring sampel, lalu pada kadar
TS terjadi kenaikan pada bak perlakuan 3. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman
eceng gondok melakukan penyerapan pada total padatan.

15
BAB V

PENUTUP

16
5.1 Kesimpulan

Berdasarkan percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan ,


bahwa kadar COD, TS, TDS, TSS dalam Limbah cair tahu
mengalami penurunan signifikan pada perlakuan 10 rumpun eceng
gondok.

5.2 Saran

Dari hasil analisis kadar COD,TS, TDS, TSS dalam


Limbah Cair Tahu diharapkan dapat mengetahui efektifitas rumpun
untuk mengolah limbah cair secara Fitoremediasi , sehingga dapat
mengolah berbagai jenis limbah cair.

17
DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Syamsul. 2010. Firoremediasi Timbal (Pb) dalam Air


Tercemar oleh Tumbuhan Air Great Duckweed (Spirodela
polyrhiza). Jurnal Teknik Hidraulik. Vol.1 No,2 : 95 – 192.
Setiawati. 2005. Kajian Eceng Gondok Sebagai Fitoremediasi 134
Cs. Jurnal Penelitian. Vol. 7 No. 1 : 11 – 15.Bab II Tinjauan
Ratnani, Rita Dwi, Indah Hartati, dan Laeli Kurniasari. 2010.
Pemafaatan eceng gondok (Eichornia Crassipes) untuk
menurunkan kandungan COD, Ph, dan warna pada limbah
cair tahu. Laporan Penelitian Terapan. UniversitasWahid
Hasyim. Semarang. Di download pada
https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id/index.php/LPPM/arti
cle/download/837/950

18
Perlakuan Hari ke-13
Hari ke-10
Eceng Hari ke-0 Hari ke-2 Hari ke-7
gondok
Keadaan Limbah tahu Lapisan putih Ada ulat& Serangga kecil
limbah Ada jentik
segar di permukaan jentik
Wujud Cair Cair Cair Cair Cair
Bak
kontrol (0) Warna Putih Hitam keruh
Putih keruh keruh Coklat keruh
kekuningan
Bau Bau khas limbah Bau khas Bau khas Bau khas Bau khas
tahu pembusukan pembusukan pembusukan pembusukan
Keaadaan Limbah tahu Ada lapisan Cacing & Cacing &
Ada jentik
limbah segar putih hewan kecil hewan kecil
Wujud Cair Cair Cair Cair Cair

2 Warna Coklat
Putih
Putih keruh Coklat keruh Coklat keruh kehitaman
kekuningan
keruh
Bau Bau khas limbah Bau khas Bau khas Bau khas Bau khas
tahu pembusukan pembusukan pembusukan pembusukan
Keaadaan Limbah tahu Ada lapisan Ada jentik Ada jentik
Ada jentik
limbah segar putih nyamuk nyamuk
Wujud Cair Cair Cair Cair Cair
4 Warna Putih Abu abu
Putih keruh Keruh Coklat keruh
kekuningan keruh
Bau Bau khas limbah Bau khas Bau khas Bau khas Bau khas
tahu pembusukan pembusukan pembusukan pembusukan
Keaadaan Limbah tahu Ada cacing& Ada jentik
Ada jentik Ada jentik
limbah segar hewan kecil
Wujud Cair Cair Cair Cair Cair
6 Warna Putih Coklat keruh
Putih keruh Coklat keruh Coklat keruh
kekuningan
Bau Bau khas limbah Bau busuk
Bau busuk Bau busuk Bau busuk
tahu
Keaadaan Limbah tahu Ada cacing& Ada jentik
Ada jentik Ada jentik
limbah segar hewan kecil
Wujud Cair Cair Cair Cair Cair
8 Warna Putih Coklat keruh
Putih keruh Coklat keruh Coklat keruh
kekuningan
Bau Bau khas limbah Bau busuk
Bau busuk Bau busuk Bau busuk
tahu
Keaadaan Ada jentik &
Limbah tahu Ada benih Ada jentik &
limbah Ada jentik kotoran
segar jentik hewan lain
hewan
Wujud Cair Cair Cair Cair Cair
10
Warna Putih Kuning sedikit Kuning sedikit Kuning jernih
Kuning keruh
kekuningan keruh jernih
Bau Bau khas limbah Bau sedikit Bau sedikit Bau sedikit Bau sedikit
tahu busuk busuk busuk busuk

19
LAMPIRAN 2

Hari ke-0

COD(mg/L) TDS(mg/L) TS (mg/L)

Tanpa
500 X 1000 X 1:5 Tanpa Pengenceran Pengenceran Pengenceran
Pengenceraan

4720 1624 7624 5772


191,232 127,488 1147,392
4580 1656 7716 5936
Hari ke-0

TDS(mg/L) TS (mg/L) TSS (mg/L) Suhu


Suhu ruang
pH lingkungan
Tanpa Tanpa (°C)
FP FP Tanpa FP FP (°C)
FP FP

4650 1640 7818 1924 3168 284 6 27 29

Perlakuan
TDS TS TSS
Hari Eceng COD (mg/L) Suhu pH Tinggi Air
(mg/L) (mg/L) (mg/L)
Gondok

500x 1000x Air Lingkungan


0 (bak
kontrol) 138,304 77,798 1060 1172 112 27 29 5 14,5

2 224,85 224,85 1144 1284 140 27,7 29 5 19,3

2 4 276,61 276,61 1052 1320 268 27 29 5 16,80

6 484,064 311,184 872 1008 136 27,7 29 5 15

8 121,016 164,372 944 1264 320 26,7 29 5 15,5

10 250,68 286,61 1284 2632 1348 27 29 5 18

0 1344,672 416,208 936 932 -4 25,5 29 6 14,8

2 360,18 280,14 968 1056 88 25,3 29 6 18,3

4 520,54 656,66 744 620 -124 26,7 29 5 15,5


7
6 520 440 568 304 -264 25 29 6 14

8 680,17 117,152 820 1160 340 29 29 7 15,5

10 520,26 480,24 380 630 250 26,5 28,7 7 17

20
0 7,2340 14,6480 488 684 196 27,8 29 6 13

2 58,6 7,32 820 888 20 25,3 29 7 16,5

4 7,324 58,592 672 720 308 27,7 29 6 13,40


10
6 80,52 43,92 668 748 116 25 29 7 14

8 117,184 80,564 760 1020 300 25,3 29 7 13,5

10 -43,94 -65,92 850 970 120 26 29 7 16

0 36,32 36,32 524 644 120 27 28,5 6 12,5

2 239,33 94,33 784 808 24 27 29 7 16,5

4 -51,38 -152,334 740 720 -20 28 28,5 6 10,50


13
6 58,016 94,276 776 820 44 25,3 29 7 12

8 36,27 7,254 776 820 44 25 29 7 11,4

10 -36,28 -79,82 880 670 -120 25 28,5 7 14

21
LAMPIRAN PERHITUNGAN

Hari Ke-0

Standardisasi FAS 0,2N

𝑚𝑔 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7
𝑁 FAS =
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 (𝑚𝐿) 𝑥 𝐵𝐸 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7

245,2 𝑚𝑔
𝑁1 FAS = = 0,1989 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
25,16 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘

245,5 𝑚𝑔
𝑁2 FAS = = 0,1994 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
25,13 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘

N2 − N1
% 𝑅𝑃𝐷 = × 100 %
𝑁2 + 𝑁1
2
(0,1994 − 0,1989) 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
= × 100% = 0,25%
0,1994 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 0,1989𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
2

0,1994 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 0,1989𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿


rerata N FAS =
2
= 0.1992 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿

Kadar COD dalam sampel

mg
COD( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
(𝑣 blanko − v sampel ) (𝑚𝐿) × 𝑁 FAS ( ) × 𝐵𝐸 𝑂 ( ) × 1000
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘
=
volume sampel (mL)

𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
mg (1,94 − 0,50) (𝑚𝐿) × 0,1992 ( ) × 8 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000
𝑚𝐿
Kadar COD500X ( ) =
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 1147,392
𝐿

22
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
mg (1,94 − 1,70) (𝑚𝐿) × 0,1992 ( ) × 8 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000
𝑚𝐿
Kadar COD500X ( ) =
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 191,232
𝐿
mg
Kadar COD1000X ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
(1,94 − 2,10) (𝑚𝐿) × 0,1992 ( ) × 8 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000
𝑚𝐿
=
2 (mL)
𝑚𝑔
= 127,488
𝐿

Total Solid (TS)

 Pengenceran
mg (43,5869−43,5837) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔)
TS1( L )= = 1928 mg
L
0,025 𝐿

mg (40,6975−40,6594) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg


TS2( L )= = 1920 L
0,025 𝐿
C2 − C1 (1928 − 1920) 𝑚𝑔/𝐿
% 𝑅𝑃𝐷 = × 100% = 𝑚𝑔 × 100%
𝐶2 + 𝐶1 1928 𝐿 + 1920𝑚𝑔/𝐿
2
2
= 0,42%

̅̅̅ pengenceran = 5772 𝑚𝑔/𝐿+5936𝑚𝑔/𝐿 = 1924 mg


̅𝑇𝑆
2 L

 Tanpa pengenceran
mg (42,2296−42,0386) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg
TS1( L )= = 7624 L
0,025 𝐿

mg (42,8537−42,6534) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔)


TS2( L )= = 8012 mg
L
0,025 𝐿
C2 − C1 (8012 − 7624 𝑚𝑔/𝐿
% 𝑅𝑃𝐷 = × 100% = 𝑚𝑔 × 100%
𝐶2 + 𝐶1 8012 𝐿 + 7624 𝑚𝑔/𝐿
2
2
= 4,96%

8012𝑚𝑔/𝐿+7624𝑚𝑔/𝐿
̅̅̅̅̅̅
𝑇𝐷𝑆 tanpa pengenceran = = 7818 mg
L
2

23
Total Dissolve Solid (TDS)

 Pengenceran
mg (39,7403−39,6997) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg
TDS1 ( L )= = 1624 L
0,025 𝐿
𝑚𝑔
(40,4843−40,4429)𝑔 𝑥 1000 ( )
mg 𝑔 mg
TDS2 ( L )= = 1656 L
0,025 𝐿

C2 − C1 (1656 − 1624) 𝑚𝑔/𝐿


% 𝑅𝑃𝐷 = × 100% = × 100%
𝐶2 + 𝐶1 1656 𝑚𝑔/𝐿 + 1624𝑚𝑔/𝐿
2 2
= 1,95 %

̅̅̅̅̅̅ pengenceran = 1656 𝑚𝑔/𝐿+1624𝑚𝑔/𝐿 = 1640 mg


𝑇𝐷𝑆
2 L

 Tanpa pengenceran
mg (40,2228−,1048) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg
TDS1 ( L )= = 4720 L
0,025 𝐿
mg (43,5718−43,4573) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) mg
TDS2 ( L )= = 4580 L
0,025 𝐿

C2 − C1 (4720 − 4580) 𝑚𝑔/𝐿


% 𝑅𝑃𝐷 = × 100% = 𝑚𝑔 × 100%
𝐶2 + 𝐶1 4720 𝐿 + 4580 𝑚𝑔/𝐿
2
2
= 3,01%

̅̅̅̅̅̅ tanpa pengenceran = 4720 𝑚𝑔/𝐿+4580𝑚𝑔/𝐿 = 4650 mg


𝑇𝐷𝑆
2 L

Total suspensi Solid (TSS)

 Pengenceran
𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑚𝑔
TSS( 𝐿 )= (TS – TDS) 𝐿 = (1924- 1640 ) 𝐿 = 284 𝐿

 Tanpa pengenceran
𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑚𝑔
TSS( 𝐿 )= (TS – TDS) 𝐿 = (7818- 4650 ) 𝐿 = 3168 𝐿

Hari ke-2

24
Standardisasi FAS 0,2N

𝑚𝑔 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7
𝑁 FAS =
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 (𝑚𝐿) 𝑥 𝐵𝐸 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7

246 𝑚𝑔
𝑁1 FAS = = 0,2161𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
23,23 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘

246,2 𝑚𝑔
𝑁2 FAS = = 0,2161 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
23,25 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘

N2 − N1
% 𝑅𝑃𝐷 = × 100 %
𝑁2 + 𝑁1
2
(0,2161 − 0,2161) 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
= × 100% = 0,00 %
0,2161 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 0,2161𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
2

0,2161 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 0,2161 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿


rerata N FAS =
2
= 0.2161𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿

Kadar COD dalam sampel

mg
COD( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
(𝑣 blanko − v sampel ) (𝑚𝐿) × 𝑁 FAS (
𝑚𝐿 ) × 𝐵𝐸 𝑂 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000
=
volume sampel (mL)

𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
mg (2,49 − 2,40) (𝑚𝐿) × 0,2161 ( ) × 8( ) × 1000
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘
Kadar COD500X ( ) =
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 77,7960
𝐿
mg
Kadar COD1000X ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
(2,49 − 2,33) (𝑚𝐿) × 0,2161 ( ) × 8 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000
𝑚𝐿
=
2 (mL)
𝑚𝑔
= 138,3040
𝐿

25
Total Solid (TS)

𝑚𝑔 (43,5698−43,5405) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) 𝑚𝑔


TS ( )= = 1172
𝐿 0,025 𝐿 𝐿

Total Dissolve Solid (TDS)

𝑚𝑔 (43,5698−43,5405) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) 𝑚𝑔


TDS ( )= = 1060
𝐿 0,025 𝐿 𝐿

Total suspensi Solid (TSS)


𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑚𝑔
TSS( )= (TS – TDS) = (1172- 1060 ) = 112
𝐿 𝐿 𝐿 𝐿

Hari ke-7

Standardisasi FAS 0,2N

𝑚𝑔 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7
𝑁 FAS =
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 (𝑚𝐿) 𝑥 𝐵𝐸 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7

247,1 𝑚𝑔
𝑁1 FAS = = 0,2012𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
25,07 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘

245,1 𝑚𝑔
𝑁2 FAS = = 0,1990 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
25,13 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘

N2 − N1
% 𝑅𝑃𝐷 = × 100 %
𝑁2 + 𝑁1
2
(0,2012 − 0,1990) 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
= × 100% = 1,10%
0,2012 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 0,1990𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
2

0,2012 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 0,1990 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿


rerata N FAS =
2
= 0.2001𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿

Kadar COD dalam sampel

26
mg
COD( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
(𝑣 blanko − v sampel ) (𝑚𝐿) × 𝑁 FAS ( ) × 𝐵𝐸 𝑂 ( ) × 1000
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘
=
volume sampel (mL)

𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
mg (3,05 − 1,37) (𝑚𝐿) × 0,2001 ( ) × 8( ) × 1000
𝑚𝐿 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘
Kadar COD500X ( ) =
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 1344,672
𝐿
mg
Kadar COD1000X ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
(3,05 − 2,53) (𝑚𝐿) × 0,2001 ( ) × 8 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000
𝑚𝐿
=
2 (mL)
𝑚𝑔
= 416,2080
𝐿

Total Solid (TS)

𝑚𝑔 (43,3319−43,3086) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) 𝑚𝑔


TS ( )= = 932
𝐿 0,025 𝐿 𝐿

Total Dissolve Solid (TDS)

𝑚𝑔 (41,4636−41,4402) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) 𝑚𝑔


TDS ( )= = 936
𝐿 0,025 𝐿 𝐿

Total suspensi Solid (TSS)


𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑚𝑔
TSS( )= (TS – TDS) = (932- 936 ) = -4
𝐿 𝐿 𝐿 𝐿

Hari ke-10

Standardisasi FAS 0,2N

𝑚𝑔 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7
𝑁 FAS =
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 (𝑚𝐿) 𝑥 𝐵𝐸 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7

245 𝑚𝑔
𝑁1 FAS = = 0,1829𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
27,33 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘

27
244,8𝑚𝑔
𝑁2 FAS = = 0,1832 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
27,27 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘

N2 − N1
% 𝑅𝑃𝐷 = × 100 %
𝑁2 + 𝑁1
2
(0,1832 − 0,1829) 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
= × 100% = 0,16 %
0,1832 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 0,1829𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
2

0,1832 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 0,1829 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿


rerata N FAS =
2
= 0.1831𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿

Kadar COD dalam sampel

mg
COD( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
(𝑣 blanko − v sampel ) (𝑚𝐿) × 𝑁 FAS (
𝑚𝐿 ) × 𝐵𝐸 𝑂 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000
=
volume sampel (mL)

𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
mg (2,71 − 2,70) (𝑚𝐿) × 0,1831 ( ) × 8 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000
𝑚𝐿
Kadar COD500X ( ) =
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 7.3240
𝐿
mg
Kadar COD1000X ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
(2,71 − 2,71) (𝑚𝐿) × 0,1831 ( ) × 8 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000
𝑚𝐿
=
2 (mL)
𝑚𝑔
= 14.6480
𝐿

Total Solid (TS)

𝑚𝑔 (40,1206−40,1035) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) 𝑚𝑔


TS ( )= = 684
𝐿 0,025 𝐿 𝐿

Total Dissolve Solid (TDS)

𝑚𝑔 (46,2657−46,2535) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) 𝑚𝑔


TDS ( 𝐿
)= 0,025 𝐿
= 488 𝐿

28
Total suspensi Solid (TSS)
𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑚𝑔
TSS( )= (TS – TDS) = (684- 488 ) = 196
𝐿 𝐿 𝐿 𝐿

Hari ke-13

Standardisasi FAS 0,2N

𝑚𝑔 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7
𝑁 FAS =
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 (𝑚𝐿) 𝑥 𝐵𝐸 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7

245,2 𝑚𝑔
𝑁1 FAS = = 0,1810𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
27,65 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘

244,9 𝑚𝑔
𝑁2 FAS = = 0,1821 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
27,45 𝑚𝐿 × 49 𝑚𝑔/𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘

N2 − N1
% 𝑅𝑃𝐷 = × 100 %
𝑁2 + 𝑁1
2
(0,1821 − 0,1810) 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
= × 100% = 0,61 %
0,1821 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 0,1810𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿
2

0,1821 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿 + 0,1810 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿


rerata N FAS =
2
= 0.1816𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘/𝑚𝐿

Kadar COD dalam sampel

mg
COD( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
(𝑣 blanko − v sampel ) (𝑚𝐿) × 𝑁 FAS (
𝑚𝐿 ) × 𝐵𝐸 𝑂 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000
=
volume sampel (mL)

𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
mg |2,65 − 2,73| (𝑚𝐿) × 0,1816 ( ) × 8 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000
𝑚𝐿
Kadar COD500X ( ) =
L 2 (mL)
𝑚𝑔
= 36,32
𝐿

29
mg
Kadar COD1000X ( )
L
𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑚𝑔
|2,65 − 2,73| (𝑚𝐿) × 0,1816 ( ) × 8 (𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘) × 1000
𝑚𝐿
=
2 (mL)
𝑚𝑔
= 36,32
𝐿

Total Solid (TS)

𝑚𝑔 (55,1484−55,1323) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) 𝑚𝑔


TS ( )= = 644
𝐿 0,025 𝐿 𝐿

Total Dissolve Solid (TDS)

𝑚𝑔 (41,4566−41,4435) 𝑔 𝑥 1000 (𝑚𝑔/𝑔) 𝑚𝑔


TDS ( )= = 524
𝐿 0,025 𝐿 𝐿

Total suspensi Solid (TSS)


𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑚𝑔
TSS( )= (TS – TDS) = (644- 524 ) = 120
𝐿 𝐿 𝐿 𝐿

30
LAMPIRAN DOKUMENTASI

Pengenceran Limbah tahu 1:5

Pengukuran suhu

Pengukuran pH

31
Hari ke-0 hari ke-2 hari ke-7

Hari ke-10 hari ke-13

Pengukuran COD

Pengukuran TS- TDS

32
Bak kontrol hari ke-7 bak kontrol hari ke-10 bak kontrol hari ke-13

33

Anda mungkin juga menyukai