Anda di halaman 1dari 58

MAKALAH

MATA KULIAH TOKSIKOLOGI PERAIRAN

BIOAKUMULASI DAN BIOMAGNIFIKASI

Oleh:

SANTRIA : 2040101024
MUH RUSLI : 2040101004
HAFID : 2040101011
FAJERI : 2040101016

PROGRAM AKUAKULTUR
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
TARAKAN
2023
ABSTRAK

Pencemaran lingkungan khususnya perairan saat ini bukan hanya menjadi


salah satu masalah besar di Indonesia. Masalah pencemaran lingkungan tersebut
tidak bisa dipisahkan dengan toksikologi mengenai pengaruh-pengaruh bahan
kimia yang merugikan organisme hidup dalam suatu perairan yang dikonsumsi oleh
manusia sehingga menimbulkan efek kesehatan pada manusia. Toksikologi adalah
ilmu yang mempelajari efek merugikanmdari zat-zat kimia terhadap organisme
hidup. Selain itu toksikologi juga mempelajari kemampuan racun pada biota uji
untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk ke dalam tubuh dan lokasi organ
yang rentan terhadapnya toksisitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
komposisi dan jenis toksikan, konsentrasi toksikan, durasi dan frekuensi
pemaparan, sifat lingkungan, dan spesies biota penerima. Bioakumulasi adalah
jumlah dari dua proses: biokonstentrasi dan biomagnifikasi. Biokonstentrasi adalah
pengambilan langsung suatu zat oleh organisme hidup dari medium (misalnya, air)
melalui kulit, insang, atau paru-paru, sedangkan biomagnification adalah
pengumpulan kontaminan dari organisme diatasnya seperti terjadi pada ekosistem
mangrove, ikan, udang, bivalvia. Banyak kontaminan sintetis lebih larut dalam
lemak daripada dalam air. Biakumulasi dan biomagnifikasi berasal dari logam-
logam berat Logam berat ialah logam yang mempunyai berat 5 g atau lebih untuk
setiap cm3, dengan sendirinya logam yang beratnya kurang dari 5 g setiap cm3
termasuk logam ringan berupa : Hg, Pb, Cd, As, dan sebagainya.

Kata Kunci : Pencemaran, Toksikologi, Bioakumulasi, Biomaknifikasi, Logam


berat

ii
DAFTAR ISI

ABSTRAK ...................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... iv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... v

BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1


1.1 Latar Belakang .....................................................................................1
1.2 Tujuan ..................................................................................................5
1.3 Manfaat..................................................................................................5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 6


2.1 Pengertian Toksikologi ....................................................................... 6
2.2 Pengertian Bioakumulasi .................................................................... 6
2.3 pengertian biomagnifikasi ................................................................... 8
2.4 Logam Berat........................................................................................ 9
BAB 3. PEMBAHASAN ................................................................................ 18
3.1 Bioakumulasi ...................................................................................... 18
3.1.1 Bioakumulasi Pada Mangrove .................................................. 21
3.1.2 Bioakumulasi pada Crustacea ................................................... 24
3.1.3 Bioakumulasi pada Bivalvia (Anadara sp.) .............................. 26
3.2 Biomagnifikasi .................................................................................... 29
3.2.1 Jenis Polutan Terkait Biomagnifikasi ....................................... 31
3.2.2 Proses Masuknya Polutan Ke Perairan ..................................... 34
3.2.3 Dampak Pencemaran Pada Organisme ..................................... 36
3.2.4 Model Prediktif Rantai Makanan .............................................. 38
BAB 4. KESIMPULAN ................................................................................. 40
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 41

LAMPIRAN .................................................................................................... 51

iii
DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Biodinamik proses Bioakumulasi ................................................................ 19


2. Cara masuknya xenobiotic ........................................................................... 20
3. Dampak karsinogenik dalam makhluk hidup ............................................... 21
4. Proses Biomagnifikasi.................................................................................. 31
5. Biomagnifikasi Dalam Rantai Makanan ...................................................... 39

iv
DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman
1. Lampiran 1. Biodinamik proses Bioakumulasi ...................................... 51
2. Lampiran 2. Cara masuknya xenobiotik ............................................... 51
3. Lampiran 3. Dampak karsinogenik dalam makhluk hidup .................... 52
4. Lampiran 4. Proses Biomagnifikasi ....................................................... 52
5. Lampiran 5. Biomagnifikasi Dalam Rantai Makanan............................ 53

v
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan teknologi ditandai dengan peningkatan taraf hidup manusia.


Hal ini ditunjukkan dengan adanya perkembangan dunia industri, seperti industri
tekstil. Perkembangan industri memiliki dampak positif dapat meningkatkan taraf
hidup manusia. Di sisi lain pertumbuhan industri juga berefek negatif terhadap
lingkungan yaitu semakin meningkatnya jumlah limbah industri yang
berpotensimenimbulkan pencemaran sehingga menurunkan kualitas lingkungan.
Limbah cair tekstil dikeluarkan dalam jumlah banyak mengandung bermacam-
macam polutan seperti, Besi (Fe), Mangan (Mn), Seng (Zn), Kadmium (Cd),
Chromium (Cr), Tembaga (Cu), Timbal (Pb), Nikel (Ni), dan Raksa (Hg) (Yudo
2006).Kandungan polutan dalam limbah cair tekstil berasal dari sisa-sisa bahan
kimia yang digunakan dalam proses produksi. Proses pembuangan limbah cair
tekstil ini menimbulkan dampak negatif. Secara fisik pada air limbah tekstil
berwarna keruh dan berbau, sehingga merusak estetika dan mengganggu
pemanfaatan air. Selain itu limbah tekstil yang masuk perairan akan terakumulasi
pada sedimen dan organisme yang ada di perairan tersebut (Akoto et al 2008).

Bioakumulasi merupakan adanya pencemar dalam organisme dengan


konsentrasi yang lebih besar daripada konsentrasi di dalam lingkungannya
(Soemirat, 2009). Bioakumulasi bahan kimia pada suatu perairan merupakan
kriteria penting dalam mengevaluasi ekologi dan tingkat pencemaran suatu
lingkungan (Ivanciuc et al, 2006). Biota air sangat baik digunakan sebagai indikator
biologi adanya pencemaran logam berat di perairan, karena kandungan logam berat
dalam biota air biasanya akan bertambah dari waktu ke waktu karena sifat logam
yang bioakumulatif (Plaa, 2007). Salah satu biota air yang dapat digunakan untuk
uji bioakumulasi adalah ikan nila.

Logam berat merupakan jenis polutan yang terdistribusi secara luas di


dalam tanah dan mendapat perhatian secara khusus karena sifatnya yang tidak dapat
terdegradasi serta dapat bertahan lama di dalam lingkungan. Limbah padat dan atau
cair yang dihasilkan dari Edisi berbagai proses industri dan pertambangan

1
mengandung logam berat toksik (Essa et.al, 2002). Termasuk logam berat yang
sering mencemari habitat lingkungan diantaranya yaitu Cr, Cd, As Pb dan Hg
(Merkuri). Merkuri ini merupakan salah satu jenis polutan yang bersifat toksik
(Santi dan Goenadi, 2009). Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Selid,
et.al (2009) bahwa merkuri adalah unsur yang sangat beracun yang banyak tersebar
di atmosfer, litosfer, dan air permukaan. Merkuri menimbulkan masalah serius bagi
kesehatan manusia, seperti bioaccumulation merkuri dalam otak dan ginjal pada
akhirnya mengarah pada penyakit neurologis.

Merkuri (Hg) adalah logam berat yang bersifat toksik yang menyerang
syaraf dan otak serta sulit untuk didegradasi maupun dihancurkan dan dapat masuk
ke dalam tubuh manusia lewat makanan, air minum, atau melalui udara
(Martaningtyas, 2004). Kemampuan afinitas terhadap lipid dalam tubuh organisme
mengakibatkan Hg mengalami bioakumulasi dan biomagnifikasi dibandingkan
bentuk logam berat lainnya (Ravichandran, 2004). Merkuri telah mulai
dimanfaatkan sejak abad ke 18 untuk pembuatan ”felt hats”. Amalagam emas
adalah campuran dengan merkuri banyak digunakan dalam penyepuhan, sehingga
banyak menyebabkan kecelakaan bagi para pekerja. Hingga saat ini merkuri masih
digunakan secara luas dalam pertambangan rakyat di seluruh Indonesia untuk
memisahkan atau memurnikan emas yang baru ditambang dari bahan-bahan lain
yang ikut bersamanya saat digali. Di Indonesia, pertambangan berskala kecil atau
pertambangan emas tanpa izin (PETI) sampai saat ini masih terus bertambah karena
harga emas semakin melonjak tinggi dibanding pada tahun 1980-an. Diperkirakan
saat ini terdapat sekitar 250.000 penambang tanpa izin dan sekitar 1 juta orang
pekerja lainnya terlibat dalam kegiatan ini. Menurut perkiraan secara kolektif para
penambang tanpa izin ini bisa memproduksi sekitar 60 ton emas setiap tahun,
bandingkan dengan jumlah ekspor emas Indonesia secara resmi berjumlah 100 ton
per tahun (Wihardandi , 2013). Simson et al. (2005) melaporkan bahwa air laut di
atas pertambangan emas Ratatotok, Minahasa Selatan mengandung peningkatan
kadar As dan Hg (Sembel, 2015).

Proses bioakumulasi dari jalur air dan partikulat serta biomagnifikasi metil
merkuri pada rantai makanan akuatik (Suseno, 2011). Merkuri yang masuk ke rantai

2
makanan berawal dari plankton dengan tingkat absorpsi sebesar 26,67% (UNEP,
2013). Kemudian plankton ini akan dimakan ikan plankton feeder atau ikan non
predator. Salah satu ikan non predator dan plankton feeder adalah ikan Mackerel
(tongkol). Banyaknya MeHg yang ada dalam tubuh ikan bergantung pada
banyaknya plankton yang dimakan dan berat tubuh ikan itu sendiri. Pada proses
eksresi yaitu pada urine ikan dikeluarkan pula MeHg sebesar 6,1% (Bacaksızlar &
Önsel, 2013), hal ini akan mempengaruhi tingkat konsentrasi MeHg air. Level
MeHg ditoleransi pada ikan plankton feeder adalah 0,5 mg MeHg /kg.

Pencemaran tanah akibat logam berat yang berasal dari sampah terjadi
karena adanya leachate atau lindi yang dihasilkan dari proses dekomposisi sampah.
Lindi itu sendiri adalah cairan dari sampah yang mengandung unsur terlarut dan
tersuspensi (Ali, 2011). Lindi dari sampah perkotaan mengandung berbagai macam
logam berat, salah satunya adalah timbal (Pb). Pencemaran logam berat yang
berasal dari rembesan air lindi perlu diolah untuk mengurangi konsentrasi
pencemarnya. Salah satu pilihan yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah
kontaminasi logam Pb adalah bioremediasi menggunakan mikroba (Suhendrayatna,
2001). Menurut Priadie (2012), bioremediasi merupakan penggunaan
mikroorganisme yang telah dipilih untuk ditumbuhkan pada polutan tertentu
sebagai upaya untuk menurunkan kadar polutan tersebut. Mikroorganisme yang
mampu melakukan remediasi logam berat di antaranya adalah bakteri (Bacillus sp,
Pseudomonas sp, dan Escherichia coli); kapang (Penicillium chrysogenum,
Rhizopus stolonifer dan Aspergillus oryzae) dan khamir, Saccharomyces cerevisae)
(Suhendrayatna, 2001). Menurut Feliatra (1996) dalam Dharmawibawa (2004),
metode biologi atau biodegradasi oleh mikroorganisme merupakan salah satu cara
yang tepat, efektif dan hampir tidak ada pengaruh sampingnya pada lingkungan
karena tidak menghasilkan racun atau blooming. Penggunaan mikroba indigenous
untuk menurunkan atau mereduksi logam Pb perlu diuji sebagai alternatif untuk
pemulihan tanah ataupun air tercemar. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh
dan mengidentifikasi secara morfologis bakteri indigenous dari tanah tercemar air
lindi (leachate) yang berpotensi dapat mereduksi logam berat Pb. Penelitian ini
diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan mikroba indigenous
yang berasal dari tanah tercemar air lindi dalam penurunan logam berat Pb. Hasil

3
penelitian juga dapat mengungkapkan efektifitas mikroba dalam mendegradasi
logam berat Pb.

Endosulfan merupakan senyawa kimia dari golongan organoklorin yang


banyak di pergunakan di Indonesia sebagai bahan aktif dalam berbagai formulasi
insektisida yang diperdagangkan dengan beberapa nama dagang, antara lain:
Thiodan, Fanodan, Akodan, dan Termisidan (Komisi Pestisida, 1990). Sejak tahun
1996 penggunaan endosulfan di Indonesia sebenarnya sudah dilarang melalui Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 473/KPTS/ TP207/6/96, namun pada
kenyataannya sampai saat ini masih banyak digunakan oleh petani karena
insektisida endosulfan cukup efektif mengendalikan hama sasaran, harganya relatif
murah dan mudah didapatkan (Sulaksono, 2001).

Pencemaran lingkungan khususnya perairan saat ini bukan hanya menjadi


salah satu masalah besar di Indonesia. Masalah pencemaran lingkungan tersebut
tidak bisa dipisahkan dengan toksikologi mengenai pengaruh-pengaruh bahan
kimia yang merugikan organisme hidup dalam suatu perairan yang dikonsumsi oleh
manusia sehingga menimbulkan efek kesehatan pada manusia.

Menurut Achmad (2004) bahwa pada saat ini, di Indonesia pencemaran


berlangsung dimana - mana dengan laju begitu cepat, yang tidak pernah terjadi
sebelumnya, pembuangan senyawa kimia tertentu yang makin meningkat terutama
akibat kegiatan industri yang lainnya akibat penggunaan berbagai produk bioksida
dan bahan-bahan berbahaya aktivitas manusia. Sebelum adanya kegiatan industri
yang banyak mengeluarkan bahan pencemar ke lingkungan air yang disebabkan
oleh limbah domestik akibat kegiatan manusia telah merupakan faktor yang penting
yang menentukan kesejahteraan/kesehatan manusia. Sekarang ini beban
pencemaran dalam lingkungan air sudah semakin berat dengan masuknya limbah
industri dari berbagai bahan kimia yang kadang kala sangat berbahaya dan beracun
meskipun dalam konsentrasi yang masih rendah seperti bahan pencemar logam-
logam berat: Hg, Pb, Cd, As, dan sebagainya.

4
1.2 Tujuan

Dari latar belakang yang sudah diuraikan maka tujuan dari penulisan makalah
ini adalah untuk mengetahui pengertian toksikologi perairan, bioakumulasi dan
biomagnifikasi.

1.3 Manfaat

Berdasarkan tujuan di atas, manfaat dari makalah Pengelolaan kualitas air


tambak organik ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan pengetahuan kepada penulis dan masyarakat tentang


toksikologi perairan.

2. Memberikan informasi mengenai berbagai macam toksikologi berupa


bioakumulasi dan biomagnifikasi.

5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Toksikologi


Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari efek merugikanmdari zat-zat
kimia terhadap organisme hidup. Selain itu toksikologi juga mempelajari
kemampuan racun pada biota uji untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk ke
dalam tubuh dan lokasi organ yang rentan terhadapnya toksisitas dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain komposisi dan jenis toksikan, konsentrasi toksikan,
durasi dan frekuensi pemaparan, sifat lingkungan, dan spesies biota penerima
(USEPA, 2002).

Yang dimaksud dengan LC-50 (Median Lethal Concentration) yaitu


konsentrasi yang menyebabkan kematian sebanyak 50 % dari organisme uji untuk
interval waktu yang ditentukan, padasuatu waktu pengamatan tertentu, misalnya
LC – 50, 48 jam, LC- 50, 96 jam sampai waktu hidup hewan uji. Serta mempelajari
secara kuantitatif dan kualitatif pengaruh negatif dari zat kimiawi, fisis, dan biologis
terhadap sistem biologis (Cetis, 2009). Toksikan dapat mempengaruhi organisme
hidup melalui dua cara, yaitu:

1. Secara langsung
Toksikan langsung masuk ke dalam tubuh organisme melalui
saluran dalam tubuh, sehingga akan menimbulkan gangguan pada proses
biokimia.
2. Secara tidak langsung
Toksikan secara tidak langsung menimbulkan gangguan terhadap organisme
dengan jalan mengubah kondisi kimia dan fisik lingkungan yang
mengakibatkan terancamnya kehidupan organisme.
2.2 Pengertian Bioakumulasi
Bioakumulasi merupakan proses penumpukan suatu zat di dalam atau
sebagian tubuh organisme. Bioakumulasi pada dasarnya merupakan gabungan dari
dua proses yaitu bikonsentrasi dan biomagnifikasi. Biokonsentrasi adalah
masuknya bahan pencemar secara langsung dari air oleh makhluk hidup melalui
jaringan seperti insang atau kulit. Sedangkan bioakumulasi adalah masuknya bahan

6
pencemar oleh makhluk hidup dari suatu lingkungan melalui suatu mekanisme atau
lintasan. Sementara biomagnifikasi adalah proses dimana bahan pencemar
konsentrasinya semakin meningkat dengan meningkatnya posisi makhluk hidup
pada suatu rantai makanan (Hidayah et al. 2014).
Menurut Utama (2011), zat yang meningkatkan konsentrasi dalam
organisme hidup saat mereka mengambil di udara, air, atau makanan yang
terkontaminasi dimana zat tersebut sangat lambat dimetabolisme atau dikeluarkan
disebut dengan bioakumulan. Meskipun terkadang bioakumulasi dan
biokonsentrasi digunakan secara bergantian, perbedaan penting yang dapat ditarik
antara keduanya yaitu jika bioakumulasi terjadi dalam tingkat trofik, dan
merupakan peningkatan konsentrasi dari zat bioakumulan tertentu dalam jaringan
tubuh suatu organisme karena penyerapan dari makanan dan lingkungan, sedang
biokonsentrasi terjadi ketika serapan dari air lebih besar daripada ekskresinya.
Proses bioakumulasi suatu zat logam berat pada ikan dapat terjadi melalui
dua cara yaitu secara fisis dan biologis. Secara fisis zat logam berat tersebut
menempel pada bagian tubuh luar ikan, insang, dan juga lubang membran lainnya
dimana logam berat tersebut nantinya akan menyebabkan terganggunya proses
absorbsi dan pertukaran zat melalui insang dan kulit ikan. Bioakumulasi secara
biologis, terjadi melalui proses rantai makanan (Purnomo dan Muchyiddin 2007).
Menurut Wisnu dan Hartati (2000), bioakumulasi logam berat oleh ikan di
lingkungan perairan dapat terjadi melalui tiga cara akumulasi, yaitu:
a. Akumulasi logam berat dari partikulat tersuspensi
b. Akumulasi logam berat dari makanan ikan
c. Akumulasi logam berat yang terlarut dalam air
Menurut Akbar (2002), logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh
organisme secara umum melalui 3 cara yaitu:
a. Endositosis, dimana pengambilan partikel dari permukaan sel dengan
membentuk wahana perpindahan oleh membran plasma, proses ini sepertinya
berperan dalam bentuk tidak terlarut.
b. Diserap dari media air, sebanyak 90% kandungan logam berat dalam jaringan
berasal dari penyerapan oleh sel-sel epitel insang.

7
c. Diserap dari makanan dan sedimen, penyerapan logam berat dari makanan
dan sedimen oleh organisme air tergantung pada strategi untuk mendapatkan
makanan.
Menurut Oost et al. (2003), suatu logam berat yang bersifat hidrofobik
(molekul zat tersebut tidak larut dalam air) secara terus-menerus dapat menumpuk
di organisme air melalui mekanisme yang berbeda, yaitu melalui penyerapan
langsung dari air dengan insang atau kulit (biokonsentrasi), melalui penyerapan
partikel tersuspensi (konsumsi) dan melalui konsumsi makanan yang
terkontaminasi (biomagnifikasi). Bahkan tanpa terdeteksi efek akut atau kronisnya
dalam tes ekotoksisitas standar, bioakumulasi dianggap sebagai peristiwa yang
cukup berbahaya untuk suatu organisme, karena beberapa efeknya hanya dapat
dilihat pada fase kehidupan selanjutnya, efek multi-generasi atau hanya pada
organisme yang lebih tinggi pada jaring-jaring makanan.
Bioakumulasi merupakan suatu proses yang dinamik dan melibatkan
banyak variabel maupun faktor yang saling berhubungan diantaranya yaitu pH,
suhu, oksigen terlarut, CO2 bebas dan alkalinitas. Menurut Konasewich (1982)
dalam Suseno (2007), potensi suatu polutan (termasuk kadmiun) terakumulasi
dalam tubuh biota laut dan jaring-jaring makanannya tergantung dari sifat kimiawi
antara lain hydrophobicity, lipophilicity, dan faktor-faktor lingkungan seperti
salinitas, suhu, pH, O2 terlarut dan CO2 terlarut. Faktor biotik juga menentukan
proses bioakumulasi, antar lain: cara makan, posisi dalam trofik, konsentrasi
dalam lemak dan metabolisme serta bioavailability.
2.3 Pengertian Biomagnifikasi
Bioakumulasi logam-logam berat pada biota memang menjadi keprihatinan
para pemerhati lingkungan hidup, karena logam-logam yang beracun itu bersifat
persisten, tidak akan mudah terurai, bahkan akan bertahan lama. Hal yang paling
diprihatinkan adalah aspek kelanjutan bioakumulasi yaitu biomagnifikasi, dimana
dengan semakin tinggi posisi dalam rantai makanan, beresiko peningkatan kadar
ogam, dan akumulator logam yang terakhir adalah manusia yang mengkonsumsi
biota yang sudah mengakumulasi logam tersebut (Rumampuk & Warouw, 2015).
Sifat bioakumulatif logam berat timbal, maka bisa terjadi konsentrasi logam
tersebut dalam bentuk terlarut dalam air adalah rendah, dalam sedimen semakin

8
meningkat akibat proses fisika, kimia dan biologi perairan, dan dalam tubuh
hewan air meningkat sampai beberapa kali lipat atau yang disebut biomagnification
(Sitorus, 2004).
Menurut Soemirat (2010), logam berat memiliki sifat bioakumulasi dan
biomagnifikasi terhadap makhluk hidup. Bioakumulasi adalah penumpukan
pencemar yang terus menerus dalam organ tubuh, sedangkan biomagnifikasi adalah
masuknya zat kimia dari lingkungan melalui rantai makanan yang pada akhirnya
tingkat konsentrasi zat kimia di dalam organisme sangat tinggi dan lebih tinggi dari
bioakumulasi.
Martuti (2016) menyampaikan, bahwa proses bioakumulasi logam berat
pada ikan bisa terjadi secara fisis maupun biologis (biokimia). Proses fisis berupa
menempelnya senyawa logam berat pada bagian tubuh, luar tubuh, insang dan
lubang-lubang membran lainnya yang berasal dari air maupun dari
senyawa yang menempel pada partikel (biokonsentrasi). Proses biologis terjadi
melalui proses rantai makanan (biomagnifikasi) dan tidak menutup kemungkinan
terabsorbsinya logam berat yang sebelumnya hanya menempel (Martuti, 2012).
Selain adanya bioakumulasi, biomagnifikasi juga berpengaruh terhadap
kadar logam berat dalam tubuh ikan. Hal ini sesuai pendapat Zainuri et al. (2011)
bahwa proses biomagnifikasi di perairan menyebabkan konsentrasi logam berat
akan terus meningkat. Biomagnifikasi itu sendiri adalah proses dimana bahan
pencemar konsentrasinya meningkat dengan meningkatnya posisi makhluk hidup
pada suatu rantai makanan. Logam berat yang berada di air dan sedimen diserap
oleh bakteri, fitoplankton, dan zooplankton, kemudian mikroorganisme dimakan
oleh ikan hingga berlanjut ke manusia.
2.4 Logam Berat

Logam digolongkan kedalam dua katagori, yaitu logam berat dan logam
ringan. Logam berat ialah logam yang mempunyai berat 5 g atau lebih untuk setiap
cm3, dengan sendirinya logam yang beratnya kurang dari 5 g setiap cm3 termasuk
logam ringan (Darmono, 1995) Logam berat sejatinya unsur penting yang
dibutuhkan setiap makhluk hidup. Sebagai trace element, logam berat yang esensial
seperti tembaga (Cu), selenium (Se), Besi (Fe) dan Zink (Zn) penting untuk
menjaga metabolisme tubuh manusia dalam jumlah yang tidak berlebihan, jika

9
berlebihan akan menimbulkan toksik pada tubuh. Logam yang termasuk elemen
mikro merupakan kelompok logam berat yang nonesensial yang tidak mempunyai
fungsi sama sekali dalam tubuh. Logam tersebut bahkan sangat berbahaya dan
dapat menyebabkan keracunan ( toksik) pada manusia yaitu: timbal (Pb), merkuri
(Hg), arsenik (As) dan cadmium (Cd) Logam berat merupakan komponen alami
yang terdapat di kulit bumi yang tidak dapat didegradasi ataupun dihancurkan dan
merupakan zat yang berbahaya karena dapat terjadi bioakumulasi. Bioakumulasi
adalah peningkatan konsentrasi zat kimia dalam tubuh mahluk hidup dalam waktu
yang cukup lama, dibandingkan dengan konsentrasi zat kimia yang terdapat di alam
(Arsentina Panggabean, 2008).

Logam berat telah lama dikenal sebagai suatu elemen yang


mempunyaimeluas dalam produk lampu neon, baterai, thermometer, industri
pembuatan cat, pembuatan gigi palsu, peleburan emas, pembasmi serangga (racun
tikus) dan lain-lain daya racun yang sangat potensil dan memiliki kemampuan
terakumulasi dalam organ tubuh manusia. Bahkan tidak sedikit yang menyebabkan
kematian. Beberapa logam berat yang berbahaya adalah, timbal (Pb), mercuri (Hg),
arsen (As), kadmium (Cd). Daya toksisitas logam ini dipengaruhi oleh beberapa
factor yaitu kadar logam yang termakan, lamanya konsumsi, umur, spesies, jenis
kelamin, kebiasaan makan-makanan tertu, kondifisik, dan kemampuan jaringan
tubuh untuk mengakumulasi logam (Darmono, 1995) Made Astawa (2009) sumber
utama kontaminan logam berat sesungguhnya berasal dari udara dan air yang
mencemari tanah. Selanjutnya semua tanaman yang tumbuh di atas tanah yang telah
tercemar akan mengakumulasikan logam-logam tersebut pada semua bagian (akar,
batang, daun dan buah).Ternak akan memanen logam-logam berat yang ada pada
tanaman dan menumpuknya pada dagingnya. Lalu manusia yang termasuk
kelompok omnivore (pemakan segalanya), akan tercemar logam tersebut dari empat
unsur utama, yaitu udara yang dihirup saat bernafas, air minum, tanaman (sayuaran
dan buah- buahan), serta ternak (berupa daging, telur, dan susu) Kandungan
alamiah logam pada lingkungan dapat berubah-ubah, tergantung pada kadar
pencemaran oleh ulah manusia atau perubahan alam, seperti erosi.

10
Kandungan logam tersebut dapat meningkat bila limbah perkotaan,
pertambangan, pertanian, dan perindustrian yang banyak mengandung logam berat
masuk ke lingkungan. Dari berbagai limbah tersebut, umumnya yang paling banyak
mengandung logam berat adalah limbah industri. Hal ini disebabkan senyawa atau
unsur logam berat dimanfaatkan dalam berbagai industri, baik sebagai bahan baku,
katalisator, maupun sebagai bahan tambahan. Logam berat masuk ke dalam tubuh
manusia biasanya melalui mulut, yaitu makanan yang terkontaminasi alat memasak,
wadah (minum/makanan kaleng) dan juga melalui pernafasan seperti asap dari
pabrik, dan buangan limbah industry. Kontaminasi makanan juga dapat terjadi dari
tanaman pangan (bidang pertanian) yang diberi pupuk dan pestisda yang
mengandung logam. Penyebab utama logam berat menjadi bahan pencemar
berbahaya adalah karena sifatnya yang tidak dapat dihancurkan (nondegradable)
oleh organisme hidup yang ada di lingkungan. Akibatnya, logam-logam tersebut
terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan membentuk
senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara adsorbsi dan
kombinasi.

a) Timbal (Pb)

Timbal (Pb) merupakan logam yang sangat populer dan banyak dikenal
oleh masyarakat awam. Hal ini disebabkan oleh banyaknya Pb yang digunakan di
industri nonpangan dan paling banyak menimbulkan keracunan pada makhluk
hidup. Pb adalah sejenis logam yang lunak dan berwarna cokelat kehitaman, serta
mudah dimurnikan dari pertambangan. Dalam pertambangan, logam ini berbentuk
sulfida logam (PbS), yang sering disebut galena. Senyawa ini banyak ditemukan
dalam pertambangan di seluruh dunia. Bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan
Pb ini adalah sering menyebabkan keracunan. Menurut Darmono (1995), Pb
mempunyai sifat bertitik lebur rendah, mudah dibentuk, mempunyai sifat kimia
yang aktif, sehingga dapat digunakan untuk melapisi logam untuk mencegah
perkaratan. Bila dicampur dengan logam lain, membentuk logam campuran yang
lebih bagus daripada logam murninya, mempunyai kepadatan melebihi logam lain.
Dewasa ini pelepasan Pb ke atmosfir meningkat tajam akibat pembakaran minyak
dan gas bumi yang turut menyumbang pembuangan Pb ke atmosfir. Selanjutnya Pb

11
tersebut jatuh ke laut mengikuti air hujan. Dengan kejadian tersebut maka banyak
negara di dunia mengurangi tetraeil Pb pada minyak bumi dan gas alam untuk
mengurangi pencemaran Pb di atmosfir.

Logam Pb banyak digunakan pada industri baterai, kabel, cat (sebagai zat
pewarna), penyepuhan, pestisida, dan yang paling banyak digunakan sebagai zat
antiletup pada bensin. Pb juga digunakan sebagai zat penyusun patri atau solder dan
sebagai formulasi penyambung pipa yang mengakibatkan air untuk rumah tangga
mempunyai banyak kemungkinan kontak dengan Pb Logam Pb dapat masuk ke
dalam tubuh melalui pernapasan, makanan, dan minuman. Logam Pb tidak
dibutuhkan oleh manusia, sehingga bila makanan tercemar oleh logam tersebut,
tubuh akan mengeluarkannya sebagian. Sisanya akan terakumulasi pada bagian
tubuh tertentu seperti ginjal, hati, kuku, jaringan lemak, dan rambut. Sumber
kontaminan timbal (Pb) terbesar dari buatan manusia adalah bensin beraditif timbal
untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Diperkirakan 65 persen dari semua
pencemaran udara disebabkan emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor.
Pencemaran udara dari asap kendaraan bermotor acapkali dituduh sebagai sumber
kontaminasi timbel dalam makanan, selain kemasan, zat warna tekstil, dan limbah
industri. Tuduhan ini bukan tak ada alasannya. Data yang dikeluarkan Bapedal DKI
tahun 1998, kadar timbel yang melayang-layang di udara Jakarta ratarata telah
mencapai 0,5 mikrogram per m kubik udara. Untuk kawasan tertentu, seperti
terminal bus dan daerah padat lalu lintas, kadar timbel bisa mencapai 2-8
mikrogram per meter kubik. Pencemaran ini telah menyebabkan sayuran yang
ditanam dekat jalan padat lalu lintas, mengandung timbel di atas ambang batas yang
ditentukan oleh WHO. Yakni antara 15,5 ppm hingga 29,9 ppm. Padahal WHO
memberi ambang batas hanya sampai 2 ppm. Demikian pula makanan jajanan di
sekitar terminal bus tak terhindarkan lagi dari kontaminasi timbal (Posman, 2000).
Sumber lain adalah peralatan dapur, khususnya yang digunakan untuk memasak
dan menyajikan makanan. Timbel yang terdapat pada lapisan gelas yang terbuat
dari keramik Cina, porselen, atau tanah liat dapat larut oleh makanan yang bersifat
asam. Air minum yang disalurkan lewat pipa timbal akan tinggi kandungan timbal
yang terlarut dalam air tersebut. Demikian pula makanan kaleng akan tinggi

12
kandungan timbalnya bila masih menggunakan teknologi pematrian dengan timbel
(Pb).

Logam berat di dalam bahan pangan tidak hanya terdapat secra alami,
namun juga dapat merupakan hasil migrasi dari bahan pengemasnya . Oleh karena
itu, pengemasan bahan pangan harus dilakukan secara hati- hati.Beberapa kertas
kemasan dan non- kemasan (kertas koran dan majalah) yang sering digunakan
untuk membungkus makanan terdeteksi mengandung timbel melebihi batas yang
ditentukan, karena terjadinya migrasi logam berat terutama Pb dari tinta pada koran
ke makanan. Pengemasan makanan dengan aroma kuat, seperti PVC ( poly Vinyl
Chlorida) dan strrofoa, memungkinkan terjadinya migrasi arsen kemakanan (Made
Astawa, 2009). Posman (2000) makanan yang mengandung kadar timbel yang
tinggi adalah dari kelompok makanan kaleng, jeroan (hati, ginjal dari hasil ternak),
ikan, kerang-kerangan, sayuran, dan buah-buahanyanga ditanam di tepi jalan yang
padat lalu lintasnya.Sayuran seperti ini kadar timbelnya bisa 10 kali lebih tinggi
daripada di daerah pedesaan). Kontaminasi logam berat pada daging sapi dan ayam
terutama dari sumber pakan. Rumput yang tumbuh di tanah tercemar, air minum
yang tercemar, bahkan sampah yang tercemar,hingga konsetrat ( makanan padat
selain daun hijau yang diperoleh dari tulang-tulang ikan yang tercemar). Daging
sapi potong dan ayam potong yang diajakan di pasar terbuka pinggir jalan yang lalu
lintasnya cukup padat, akan menampung cemaran timbal diudara.

Sedangkan keracunan akut dapat terjadi jika timbel masuk ke dalam tubuh
seseorang lewat makanan atau menghirup uap timbel dalam waktu yang relatif
pendek dengan dosis atau kadar yang relatif tinggi. Gejala yang timbul berupa mual,
muntah, sakit perut hebat, kelainan fungsi otak, tekanan darah naik, anemia berat,
keguguran, penurunan fertilitas pada laki-laki, gangguan sistim saraf, kerusakan
ginjal, bahkan kematian dapat terjadi dalam waktu 1-2 hari. Keracunan timbel pada
anak- anak dapat mengurangi kecerdasan. Bila dalam darah mereka ditemukan
kadar timbel tiga kali batas normal (asupan normal sekitar 0,3 miligram per hari)
menyebabkan penurunan kecerdasan intelektual (IQ) di bawah 80. Kelainan fungsi
otak terjadi karena timbel secara kompetitif menggantikan peranan mineral-mineral
utama seperti seng, tembaga, dan besi dalam mengatur fungsi sistem syaraf pusat.

13
Hingga pada gilirannya akan mengurangi peluang bagi anak untuk berhasil dalam
sekolahnya. Dampak lebih jauh, bila tidak ada pengendalian polusi udara di
perkotaan, suatu saat nanti anak-anak di desa akan lebih pintar daripada anak-anak
yang dibesarkan di kota-kota besar.

b) Mercury (Hg)

Merkuri (Hg) atau air raksa adalah logam yang ada secara alami, merupakan
satu-satunya logam yang pada suhu kamar berwujud cair. Logam murninya
berwarna keperakan/putih keabuan-abuan, cairan tak berbau, dan mengkilap. Bila
dipanaskan sampai suhu 3570C, Hg akan menguap. Walaupun Hg hanya terdapat
dalam konsentrasi 0,08 mg/kg kerak bumi, logam ini banyak tertimbun di daerah
penambangan. Hg lebih banyak digunakan dalam bentuk logam murni dan organik
daripada bentuk anorganik. Logam Hg dapat berada pada berbagai senyawa. Bila
bergabung dengan klor, belerang, atau oksigen, Hg akan membentuk garam yang
biasanya berwujud padatan putih. Merkuri (Hg) terdapat di udara dari deposit
mineral dan dari area industri. Logam Hg yang ada di air dan tanah terutama berasal
dari deposit alam, buangan limbah, dan akitivitas vulkanik. Logam Hg dapat pula
bersenyawa dengan karbon membentuk senyawa Hg organik. Manusia telah
menggunakan mercury oksida (HgO) dan mercury sulfida (HgS) sebagai zat
pewarna dan bahan kosmetik (kream pemutih) diduga juga untuk pewarna bibir dan
krim antiseptik digunakan secara meluas dalam produk lampu neon, baterai,
thermometer, industri pembuatan cat, pembuatan gigi palsu, peleburan emas,
pembasmi serangga (racun tikus) dan lain-lain.

Merkuri (Hg) terdapat di udara dari deposit mineral dan dari area industri.
Logam Hg yang ada di air dan tanah terutama berasal dari deposit alam, buangan
limbah, dan akitivitas vulkanik. Logam Hg dapat pula bersenyawa dengan karbon
membentuk senyawa Hg organik. Senyawa Hg organik yang paling umum adalah
metil merkuri, yang terutama dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri) di air dan
tanah. Bila bakteri itu kemudian termakan oleh ikan, ikan tersebut cenderung
memiliki konsentrasi merkuri yang tinggi. Logam ini digunakan secara luas untuk
mengekstrak emas dari bijihnya, baik sebelum maupun sesudah proses sianidasi
digunakan. Ketika Hg dicampur dengan bijih tersebut, Hg akan membentuk

14
amalgam dengan emas atau perak. Untuk mendapatkan emas dan perak, amalgam
tersebut harus dibakar untuk menguapkan merkurinya. Para penambang emas
tradisional menggunakan merkuri untuk menangkap dan memisahkan butir-butir
emas dari butir-butir batuan. Endapan Hg ini disaring menggunakan kain untuk
mendapatkan sisa emas. Endapan yang tersaring kemudian diremas-remas dengan
tangan. Air sisa-sisa penambangan yang mengandung Hg dibiarkan mengalir ke
sungai dan dijadikan irigasi untuk lahan pertanian. Kontaminasi merkuri dapat
terjadi karena pembuangan limbah industri yang mengandung merkuri ke laut atau
sungai kemudian mencemari ikan dan sejenisnya yang hidup di air laut. Jika air
sungai tersebut dijadikan sumber air minum tanpa pengolahan yang menghilangkan
merkuri maka air tersebut dapat menimbulkan keracunan merkuri kronik.
Keracunan merkuri dapat juga terjadi melalui penggunaan fungisida yang tidak
sesuai dengan petunjuk penggunaan, sehingga mencemari bahan pangan seperti
beras, daging, atau karena kekeliruan pemakaian fungisida, karena label tidak jelas.
Kadmium mudah diserap oleh zat-zat organik dalam tanah dan menjadi sangat
berbahaya jika kadmium dalam tanah tersebut diserap melalui makanan, hal ini bisa
terjadi karena tanah yang mengandung kadmium akan diserap oleh tanaman dan
dimakan oleh hewan yang hidupnya tergantung pada tanaman.

Dampak kontaminasi mercury (Hg) Berkaitan dengan kesehatan, merkuri


merupakan logam berat berbahaya yang bisa menimbulkan gangguan kesehatan.
Gangguan kesehatan tersebut dapat digolongkan sebagai berikut: Gangguan sistem
syaraf, kerusakan fungsi otak,kerusakan DNA dan kromosom, reaksi alergi,
menghasilkan ruam kulit, kelelahan dan sakit kepala Efek negatif reproduksi seperti
kerusakan sperma, kecacatan pada bayi dan keguguran. Kerusakan fungsi otak
dapat menyebabkan penurunan kemampuan belajar, perubahan personaliti,
temor/gemetaran, gangguan penglihatan, ketulian, gangguan kordinasi otot dan
kehilangan memori

c) Kadmium (Cd)

Kadmium ditemukan di kulit bumi ataupun hasil letusan gunung vulkanik.


Selain itu cadmium dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia, baik disengaja
maupun tidak disengaja. Contoh penggunaan bahan bakar, kebakaran hutan, limbah

15
industri maupun penggunaan pupuk dan pestisida. Kadmium telah digunakan
secara meluas pada berbagai industri antara lain pelapisan logam, peleburan logam,
pewarnaan, baterai, minyak pelumas, bahan bakar. Bahan bakar dan minyak
pelumas mengandung Cd sampai 0,5 ppm, batubara mengandung Cd sampai 2 ppm,
pupuk superpospat juga mengandung Cd bahkan ada yang sampai 170 ppm.
Limbah cair dari industri dan pembuangan minyak pelumas bekas yang
mengandung Cd masuk ke dalam perairan laut serta sisa- sisa pembakaran bahan
bakar yang terlepas ke atmosfir dan selanjutnya jatuh masuk ke laut. Konsentrasi
Cd pada air laut yang tidak tercemar adalah kurang dari 1 mg/l atau kurang dari 1
mg/kg sedimen laut.

Kadmium dapat terakumulasi dalam tubuh hewan yang dimakan manusia.


Pencemaran logam berat pada tanaman sumbernya bisa didapat dari pupuk,
pestisida, air yang dipakai untuk menyiram, atau bahkan dari udara sekitar. Masih
banyak pemakaian pupuk organik (sitetis) yang mengandung logam berat cadmium
(Cd), walau jumlahnya tidak banyak, jika tanah secara rutin diberi pupuk serupa,
tentu saja kadar Cd-nya akan terakumulasi dan diserap oleh sayuran yang tumbuh
dilahan tersebut. Sementara itu kadmium dalam ekosistem air dapat terakumulasi
dalam kupang, tiram, udang, udang laut dan ikan. Kepekaan terhadap kadmium
dapat sangat bervariasi antara organisme air. Organisme air asin diketahui lebih
resisten terhadap keracunan kadmium daripada organisme air tawar. Kadmium (Cd)
menjadi populer sebagai logam berat yang berbahaya setelah timbulnya
pencemaran sungai di wilayah Kumamoto Jepang yang menyebabkan keracunan
pada manusia. Pencemaran kadmium pada air minum di Jepang menyebabkan
penyakit “itai-itai”. Gejalanya ditandai dengan ketidak-normalan tulang dan
beberapa organ tubuh menjadi mati. Keracunan kronis yang disebabkan oleh Cd
adalah kerusakan sistem fisiologis tubuh seperti pada pernapasan, sirkulasi darah,
penciuman, serta merusak kelenjar reproduksi, ginjal, jantung dan kerapuhan
tulang.

Didalam tubuh, kadmium diangkut ke hati oleh darah. Selanjutnya akan


membentuk ikatan dengan protein dan diangkut keginjal. dan terakumulasi diginjal,
jika terkontaminasi akan mengganggu fungsi ginjal dan kerusakan ginjal dampak

16
lainnya adalah diare, sakit perut dan muntah- muntah, keretakan tulang, kegagalan
reproduktif bahkan ketidak suburan/kemandulan, Kerusakan sistem syaraf pusat,
kerusakan sistem imunitas, gangguan psikologis, kerusakan DNA atau kanker.

17
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Bioakumulasi

Bioakumulasi adalah penumpukkan dari zat-zat kimia seperti pestisida,


metilmerkuri, dan kimia organik lainnya di dalam atau sebagian tubuh organisme.
Dasar pengertian bioakumulasi dikembangkan oleh ilmuwan tahun 1870an yang
menemukan fenomena prinsip perilaku bahan-bahan kimia dalam lingkungan dan
makhluk hidup. Bioakumulasi suatu bahan kimia oleh suatu makhluk hidup dapat
dilihat dalam banyak situasi sebagai suatu proses partisi.

Bioakumulasi adalah jumlah dari dua proses: biokonstentrasi dan


biomagnifikasi. Biokonstentrasi adalah pengambilan langsung suatu zat oleh
organisme hidup dari medium (misalnya, air) melalui kulit, insang, atau paru-paru,
sedangkan biomagnification adalah pengumpulan kontaminan dari organism di
atasnya . Banyak kontaminan sintetis lebih larut dalam lemak daripada dalam air.
Poliklorinasi bifenil (PCB), misalnya, yang dapat hadir dalam danau atau air sungai,
cenderung baik untuk menjerap partikel atau untuk berdifusi ke dalam sel-sel
organisme. Jadi, PCB terbiokonstentrasi di tingkat rendah, misalnya, dalam
fitoplankton dengan faktor sekitar 250. Ikan yang aktif menyaring sejumlah besar
air melalui insang mereka tunduk pada biokonsentrasi yang jauh lebih tinggi. Selain
itu, biomagnification terjadi dalam organisme pemangsa. PCB beban mangsa
ditransfer ke pemangsa. Ikan seperti mencium bau yang mengkonsumsi sejumlah
besar mysids dan memperbesar zooplankton konsentrasi PCB. Ini mengarah pada
faktor bioakumulasi sebanyak 2,8 juta pada spesies ikan pemangsa seperti danau
bass trout dan bergaris. Mamalia-termasuk manusia yang makan ikan, reptil, dan
burung-PCB terakumulasi lebih lanjut.

Salah satu konsekuensi dari pelepasan dan penyebaran substansi pencemar


di lingkungan adalah penangkapan (uptake) dan penimbunan (accumulation) oleh
makhluk hidup mengikuti alur rantai makanan (food chain). Umumnya relasi antara
konsentrasi substansi pencemar di lingkungan dan di dalam jaringan mahluk hidup
dinyatakan dalam parameter faktor biokonsentrasi (BCF = bioconcentration
factor). Parameter ini merupakan nisbah antara konsentrasi suatu senyawa di
lingkungan dan konsentrasi senyawa yang sama dalam jaringan makhluk hidup.

18
Gambar 4. Biodinamik proses Bioakumulasi
a. Penyebab Bioakumulasi

Bioakumulasi dalam tubuh makhluk hidup, akan berbahaya tergantung


beberapa faktor, antara lain:

1. Cara penerimaan xenobiotik


Bioakumulasi xenobiotik dalam makhluk hidup masuk ke dalam tubuh
melalui 3 cara, yaitu: sentuhan kulit, inhalasi, dan oral. Xenobiotik
masuk ke dalam sel dan mempengaruhi kinerja sel tersebut.

19
Gambar 5. Cara masuknya xenobiotik
2. Distribusi xenobiotik
Xenobiotik yang masuk ke dalam tubuh, terdistribusi dan bertumpuk
pada jaringan yang rentan diserangnya. Sifat reaktif zat xenobiotik dan
dan jumlah xenobiotik yang terkumpul mempengaruhi lamanya zat
tersebut akan berpengaruh pada makhluk hidup.

b. Dampak Bioakumulasi
Dampak dari Bioakumulasi diantaranya rusaknya sistem kesehatan
makhluk hidup, baik pada manusia atau hewan, dan rusaknya keseimbangan
ekosistem karena dampak panjang yang diberikan pada rantai makanan.
1. Dampak Kesehatan
Dampak pada kesehatan yang diterima dalam proses bioakumulasi lebih pada
sifat kronis jangka panjang. Biasanya zat-zat xenobiotik ini bersifat
karsinogenik. Penimbunan xenobiotik merugikan pada tubuh akan
menyebabkan penyakit-penyakit kronis seperti kanker, dan gangguan organ
syaraf, gangguan hormon.
Selain dampak karsinogenik, bioakmulasi juga berdampak adanya proses
mutagenik dan teratogenik. Misalnya, dampak yang diberikan oleh senjata
kimia mengakibatkan gangguan kehamilan dan cacat janin.

20
Gambar 6. Dampak karsinogenik dalam makhluk hidup
2. Dampak Ekosistem
Keseimbangan ekosistem akan terganggu dengan adanya bioakumulasi di tubuh
mahkluk hidup. Timbunan zat di lingkungan secara cepat dan lambat akan
mempengaruhi daya dukung lingkungannya. Gangguan dalam kesehatan
makhluk hidup dapat berpengaruh pada mutasi gen dan teratogenik makhluk
hidup yang akan berujung pada kepunahan suatu spesies. Dengan hilangnya
suatu spesies tertentu, maka rantai makanan akan kacau dan lingkungan menjadi
tidak seimbang. Ketidakseimbangan lingkungan akan berdampak pada
kepunahan spesies lain.
3.1.1 Bioakumulasi Pada Mangrove

Salah satu jenis vegetasi yang mampu hidup dan berkembang dengan baik
di kawasan pesisir adalah mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem
yang berada pada daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. (Setiawan,
2013). Vegetasi mangrove yang banyak tumbuh di wilayah perairan pesisir
merupakan bagian dari ekosistem pesisir yang memiliki tingkat produktivitas
paling tinggi dibandingkan dengan ekosistem pesisir lainnya. Keberadaan
ekosistem mangrove di kawasan perairan pesisir menjadi sangat penting karena

21
vegetasi mangrove mempunyai kemampuan mengakumulasi logam berat dan
membantu mengurangi tingkat konsentrasi bahan pencemar di air (Setiawan,
2013). Parvaresh et al. (2010) menyebutkan bahwa selain dapat terakumulasi
dalam sedimen, logam berat juga dapat terakumulasi dalam struktur mangrove.
Ulqodry (2001) menjelaskan lebih lanjut bahwa ekosistem mangrove juga
memegang peranan penting sebagai polutant trap untuk berbagai unsur logam dan
nutrien, baik yang berasal dari darat maupun laut.

Mangrove dapat digunakan sebagai bioindikator lingkungan yang tercemar


oleh logam berat, terutama untuk jenis Pb, Cd, dan Cu (Setiawan, 2013).
Mangrove memiliki kemampuan menyerap bahan-bahan organik dan non
organik dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel
(Kamaruzzaman et al., 2008). Lebih lanjut, Rosmarkam dan Nasih (2002) bahwa
ada tiga jalan yang dapat ditempuh oleh air dan ion-ion yang terlarut bergerak
menuju sel-sel xylem dalam akar, yaitu (1) melalui dinding sel (apoplas)
epidermis dan sel-sel korteks, (2) melalui sistem sitoplasma (simplas) yang
bergerak dari sel ke sel, dan (3) melalui sel hidup pada akar, dimana sitosol dari
setiap sel membentuk suatu jalur. Logam berat Pb, Cd, dan Cu merupakan
unsur logam berat yang tidak dapat terurai oleh proses alam, serta dapat
membahayakan kesehatan manusia, meskipun mangrove tumbuh pada
lingkungan dengan tingkat konsentrasi logam berat yang tinggi, hal tersebut
tidak berpengaruh terhadap kesehatan vegetasi mangrove itu sendiri (Silva et al.,
2006), namun ekosistem mangrove itu sendiri memiliki kemampuan yang
terbatas dalam menyerap dan menetralisir bahan pencemar sehingga dapat
mengancam keberadaan mangrove dan ekosistem sekitarnya yang berakibat pada
kematian organisme-organisme penghuni ekosistem (Mahayani, 2005).

Akumulasi logam bisa dilihat dengan cara membandingkan konsentrasi


antar organ tumbuhan mangrove (Manikasari et al. 2018). Baker dan Brooks
(1989) dalam Hamzah dan Setiawan (2010) menyatakan bahwa tumbuhan
mampu mengakumulasi logam berat hingga > 1000 mg/kg dan dikenal sebagai
hiperakumulator. Akar mangrove dapat menyerap logam-logam berat yang
terdapat pada sedimen maupun air dan pangkal ranting serta daun muda yang

22
terdapat pada ujung ranting tersebut. Menurut Rini (2008), mekanisme yang
dilakukan oleh tumbuhan untuk menghadapi konsentrasi polutan yang tinggi di
sekitarnya adalah dengan cara penanggulangan (ameliorasi) dan toleransi. Selain
itu dapat pula dengan mekanisme penghindar fenologis dan eksklusi (Fitter &
Hay, 1991) Penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan (2009) menyatakan bahwa
kandungan logam berat Pb pada akar lebih besar dari pada daun. Besarnya
kandungan logam berat di jaringan akar diduga karena jaringan akar mempunyai
kontak langsung dengan sedimen dan air yang telah terkontaminasi oleh logam
berat yang mengendap. Lakitan (2001) menyatakan unsur hara dapat kontak
dengan permukaan akar melalui tiga cara, yakni secara difusi dalam larutan
tanah, secara pasif terbawa aliran air tanah dan karena akar kontak dengan hara
tersebut di dalam tanah. Penelitian yang dilakukan oleh Kumar et al. (2010),
menyatakan bahwa logam berat Cd paling banyak terakumulasi pada bagian daun,
dimana semakin tinggi pohon mangrove maka akumulasi Cd dalam tanaman juga
semakin tinggi. Penelitian Arisandi (2005), menyatakan bahwa kandungan logam
berat Cu pada jaringan akar dibandingkan dengan pada jaringan daun dan
ranting sangat berkaitan dengan proses masuknya logam Cu pada jaringan. Cu
merupakan logam berat yang cenderung mudah untuk terendapkan dalam
sedimen, sehingga akumulasi logam Cu pada sedimen akan lebih tinggi
dibandingkan akumulasi pada kolom air (Setiawan, 2013).

Secara keseluruhan, akumulasi logam berat pada jaringan tumbuhan


mangrove yang terbesar pada jaringan akar karena jaringan akar merupakan
bagian tumbuhan yang mengalami kontak langsung dengan sedimen yang
tercemar. Kandungan suatu logam berat di dalam sedimen sangat berpengaruh
terhadap kandungan logam berat tersebut di dalam tubuh tumbuhan
(Kusumastuti, 2009). Selain menyerap logam berat pada sedimen, jaringan akar
mangrove juga menyerap zat pencemar lain yang terdapat pada kolom air,
mengingat jaringan akar mangrove selalu terendam air pada saat air pasang
(Setiawan, 2013). Hardiani (2009) menjelaskan, secara umum tumbuhan
melakukan penyerapan oleh jaringan akar, baik yang berasal dari sedimen maupun
air, kemudian terjadi translokasi ke bagian tumbuhan yang lain dan lokalisasi
atau penimbunan logam pada jaringan tertentu. Daun juga merupakan jaringan

23
yang dapat mengakumulasikan logam berat karena terdapat kemungkinan tingkat
mobilitasi logam berat yang tinggi dan jaringan daun sebagai tempat penimbunan
logam berat sebelum dilepas ke lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Chaney et al. (1998), logam berat akan didistribusi ke seluruh jaringan tanaman
sampai daun, melalui proses uptake pada akar, ditahan pada jaringan, dan dilepas
ke lingkungan melalui pelepasan daun.

Setiawan (2013) menjelaskan akumulasi logam ke dalam akar tumbuhan


melalui bantuan transpor molekul dalam membran akar, kemudian akan
membentuk transpor logam kompleks yang menembus xilem dan terus menuju
sel daun. Setelah sampai di daun, logam akan melewati plasmalemma,
sitoplasma, dan tonoplasma untuk memasuki vakuola. Di dalam vakuola
transpor, molekul kompleks bereaksi dengan akseptor terminal molekul untuk
membentuk akseptor kompleks logam kemudian transpor molekul dilepas dan
akseptor kompleks logam terakumulasi dalam vakuola yang tidak akan
berhubungan dengan proses fisiologi sel tumbuhan.

3.1.2 Bioakumulasi pada Crustacea

(P. monodon) Udang Windu (P. monodon) sebagai salah satu organisme
yang terdampak adanya lumpur lapindo, karena air tambak sebagai habitatnya
ikut tercemar oleh adanya lumpur. Penyerapan Pb yang terus meningkat dalam
tubuh udang windu dimungkinkan oleh beberapa jalur penyerapan antara lain
melalui pakan, penyerapan langsung dari air, dan proses difusi melalui karapas
yang didukung oleh faktor-faktor internal maupun eksternal udang windu. Pb
yang masuk ke dalam sistem metabolisme akan mengalami proses sirkulasi
melalui peredaran darah, sehingga menyebar dan akan terkonsentrasi dalam
setiap organ sebesar kapasitas kerja dan fungsinya. Selain itu, adanya proses
osmoregulasi dan difusi melalui kulit memungkinkan peningkatan dalam organ
karapas (Masak et al. 2002).

Kemampuan absorpsi Pb yang lebih tinggi daripada laju eliminasi juga


merupakan faktor penentu semakin tingginya akumulasi, dimana proses
detoksifikasi oleh udang windu terhadap Pb yang terserap lebih kecil. Loomis

24
(1978) menyatakan bahwa kadar zat kimia dalam tubuh suatu hewan akan stabil
dalam suatu selang waktu bila laju absorpsi sama dengan laju eliminasinya.
Konsentrasi Pb yang terus meningkat akan menyebabkan kerusakan dalam
jaringan udang windu terutama menghambat fungsi masing-masing organ.
Loomis (1978) berpendapat bahwa apabila dosis tunggal suatu zat kimia
mengubah fungsi bagian dalam dari seekor hewan kemudian pemberian zat
tersebut dihentikan, maka mekanisme biokimia, fungsi, dan struktur apapun yang
telah berubah biasanya kembali ke normal dalam waktu tertentu, setelah zat
kimia tersebut meninggalkan hewannya secara ekskresi atau detoksikasi, yaitu
dengan mengganti sel-sel yang rusak. Namun jika kerusakan sedemikian besar
akibat pemberian secara terus menerus akan menyebabkan penumpukan,
sehingga efek toksiknya lebih sensitif. Pengambilan awal logam oleh makhluk
hidup air dapat terjadi dalam tiga proses utama yaitu dari air melalui
permukaan pernafasan (misalnya insang); penyerapan dari air ke dalam
permukaan tubuh; dan dari makanan, partikel, atau air yang dicerna melalui
sistem pencernaan (Connel & Miller, 1995).

Kecepatan penyerapan dipengaruhi oleh perubahan dalam faktor fisika-


kimia, misalnya suhu, pH, dan salinitas, sedangkan pengeluaran logam berat
dari dalam tubuh organisme laut melalui dua cara yaitu ekskresi melalui
permukaan tubuh dan insang serta melalui isi perut dan urin (Hutagalung,
1991). Penyerapan logam oleh krustasea menurut Connel & Miller (1995)
yakni jika logam larut dalam air melalui permukaan tubuh, misalnya kulit ari,
diikuti dengan difusi melalui permukaan, misalnya epitelium insang, atau
dilekatkan pada ligan organik dan protein dalam. Jika logam masuk bersama
makanan maka pada krustase yang lebih besar, misalnya udang karang,
penyerapan dari perut atau sistem pencemaan muncul lebih penting. Penyerapan
dari larutan tampak paling penting bagi udang dan isopoda-isopoda laut. Namun
kandungan logam sedimen juga sangat berpengaruh terhadap bioakumulasi
logam, karena krustasea selalu bergerak di dasar perairan (Masak et al. 2002).

25
3.1.3 Bioakumulasi pada Bivalvia (Anadara sp.)

Salah satu spesies yang tinggal dalam ekosistem mangrove adalah kerang
(Anadara sp.), dimana kerang mendapatkan makanannya dengan menyaring
makanan yang berupa mikroalga, bahan organik dan partikel lain dari perairan.
Logam berat yang terakumulasi oleh kerang pada umumnya berasal dari air,
sedimen, padatan tersuspensi dan fitoplankton (King dan Davis, 1987). Unsur
tersebut masuk ke dalam tubuh organisme melalui rantai makanan, insang,
dan difusi oleh permukaan kulit (Hutagalung, 1991). Clark (1994) menjelaskan
bahwa logam berat masuk ke dalam tubuh melalui makanan, penumpukan
senyawa logam dan koloid logam melalui sistem pengumpul makanan seperti
insang pada bivalvia. Kondisi ini tentunya sangat berpengaruh bagi mikroalgae
dan kerang. Mikroalgae jenis diatomae mampu mengakumulasi logam berat
dalam selnya, demikian juga dengan kerang merupakan bioakumulan bagi
logam berat. Semakin meningkat konsentrasi logam berat dalam lingkungan
perairan dimana kerang tersebut hidup, akan diikuti dengan meningkatnya
akumulasi logam berat dalam kerang tersebut, baik yang masuk melalui rantai
makanan dengan perantara diatomae atau secara kontak langsung dengan
jaringan insang pada saat penyaringan makanan (Suryono, 2006). Mekanisme
masuknya logam berat melewati membran sel melalui empat cara, yaitu difusi pasif
lewat membran, filtrasi lewat pori pori membran, dan transpor dengan perantaran
organ pengangkut dan penyerapan oleh sel (Suryono, 2006). Apabila akumulasi
logam berat semakin meningkat seiring dengan waktu atau peningkatan
konsentrasi logam berat ke perairan, maka kerang akan mengalami gangguan
dalam melakukan filtrasi makanan sehingga kerang tersebut akan mengalami
penurunan dalam pertumbuhan dan bahkan dimungkinkan mengalami kematian.
Walne (1978) menjelaskan kerang dalam menyaring makanan dalam air dengan
menggunakan insang (Walne, 1978). Akumulasi logam berat oleh kerang dalam
insang menyebabkan menurunnya aktivitas respirasi sehingga secara tidak
langsung akan berpengaruh terhadap penyerapan makanan. Sorensen (1991)
mengatakan logam berat seperti Pb dan Cu akan terakumulasi dalam jaringan
insang kerang hijau, yang biasanya akan di respon kerang hijau dengan
mengeluarkan lendir yang menyeliputi insang. Hal inilah yang kemungkinan besar

26
berakibat pada penurunan filtrasi kerang, karena dalam memfiltrasi kerang
menggunakan insangnya.

Hutagalung dan Razak (1981) juga menginformasikan bahwa semakin


tinggi konsentrasi logam berat maka semakin tinggi pula penyerapan dan
peningkatan logam berat tersebut oleh kerang dalam jaringan tubuh seperti insang,
mantel, gonad, usus, dan lambung. Dengan demikian penurunan filtrasi kerang
bulu yang terpaparkan logam berat diduga disebabkan oleh adanya gangguan
aktifitas kerja sistem organ tersebut. Kerang mempunyai kemampuan
mengakumulasikan logam berat dalam tubuhnya, maka kandungan logam berat
dalam tubuh kerang akan meningkat terus bersamaan dengan lamanya kerang
tersebut tinggal dalam perairan yang mengandung logam berat, bahkan
kandungan logam berat dalam tubuh kerang dapat lebih tinggi dibandingkan
dengan dengan kandungan di lingkungannya (Hutagalung dan Razak, 1981).
Simkiss dan Mason (1983) dalam Suryono (2006) menyebutkan bahwa Bivalvia
mempunyai kemampuan untuk mendetoksifikasi logam berat dengan mensintesis
metallothionein. Sepanjang akumulasi logam berat tersebut bersesuaian dengan
sintesis metallothinein maka kerang dapat terus bertahan hidup. Ketika akumulasi
logam berat dalam tubuh kerang meningkat sintesis metallothinein mungkin
akan mencapai tingkat maksimum. Hal inilah yang diduga sebagai sebab tetap
bertahan hidupnya kerang pada media yang tercemar logam berat. Hutagalung
(1991) menyatakan logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan
organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga
kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air.
Penjelasan tersebut didukung oleh Harahap (1991) yang menyatakan bahwa
logam berat memiliki sifat yang mudah mengikat dan mengendap di dasar
perairan dan bersatu dengan sedimen. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa
seiring dengan berjalannya waktu maka logam Pb dan Zn ini juga akan
terakumulasi di dalam tubuh biota (kerang) yang hidup dan mencari makan di
dalamnya.

Pencemaran lingkungan oleh logam berat dapat terjadi jika industri yang
menggunakan logam tersebut tidak memperhatikan keselamatan lingkungan,

27
terutama saat membuang limbahnya. Logam-logam tertentu dalam konsentrasi
tinggi akan sangat berbahaya bila ditemukan didalam lingkungan (air, tanah dan
udara). Logam berat masuk kedalam tubuh manusia melalui mulut, yaitu makanan
yang terkontaminasi oleh alat masak, wadah (minum/makanan kaleng) dan juga
melalui pernapasan seperti asap dari pabrik, proses industri dan buangan limbah.
Kontaminasi makanan juda bisa terjadi dari tanaman pangan ( bidang pertanian)
yang diberi pupuk dan pestisida yang mengandung logam (Darmono,1995) Logam
berat terserap kedalam jaringan tanaman melalui akar dan daun, yang selanjutnya
melalui siklus rantai makanan (Alloway,1990).

Sumber utama kontaminan logam berat sesungguhnya berasal dari udara dan
air yang mencemari tanah. Selanjutnya semua tanaman yang tumbuh di atas tanah
yang telah tercemar akan mengakumulasikan logam-logam tersebut pada bagian
akar, batang, daun dan buah. Gayatri (1994) logam akan terakumulasi pada jaringan
tubuh dan dapat menimbulkan keracunan pada manusia, hewan, dan tumbuhan
apabila melebihi batas toleransi. Di Indonesia, kadar residu pestisida yang
terkandung dalam bahan pangan sayuran, seperti wortel, kentang, sawi, bawang
merah, cabe merah dan kubis dari berbagai tempat budi daya sayuran di jawa Barat
dan Jawa Tengah pada tahun 1992 diketahui mengandung residu yang melampaui
batas maksimum. Penelitian yang dilakukan oleh salah satu dosen Universitas
Dipenegoro Semarang pada tahun 2006, ditemukan kadar Pb (timbal) pada hati sapi
sebesar 2,48 ppm, pada sapi yang digembalakan ditempat pembuangan sampah di
Solo dan Semarang (Charlena,2009). Ternak akan memanen logam-logam berat
yang ada pada tanaman dan sampah dan menumpuknya dibagian-bagian dagingnya.
Lalu manusia yang termasuk ke dalam kelompok omnivore (pemakan segalanya),
akan tercemar logam tersebut jika mengkonsumsinya. Tanpa disadari, kontiminasi
timbal juga terjadi dalam rumah kita sendiri, dari pipa air yang berkarat. Lebih
mengkhawatirkan karena timbal dapat terakumulasi dalam setiap makluk hidup dan
keseluruhan rantai makanan. Manusia dapat terkontiminasi logam berbahaya ini
melalui makanan (65%), air (20%), maupun udara (15%). Sementara itu diketahui
bahwa timbal tidak memiliki fungsi apapun bagi tubuh manusia. Jadi penyerapan
timbal melalui makanan, air, udara hanyalah menimbulkan kerugian saja (Nissan
Reishi,2008) Darmono (1995) mengungkapkan, toksisitas logam pada manusia

28
yang dapat menyebabkan terutama timbulnya kerusakan jaringan,terutama jaringan
detoksikasi dan ekskresi (hati dan ginjal).Beberapa logam mempunyai sifat
karsinogenik (pembentuk kanker), maupun teratogenik (salah bentuk organ).

3.2 Biomagnifikasi

Seiring dengan perkembangan pembangunan, wilayah disekitar pesisir laut


berkembang untuk pemukiman, pusat perniagaan, industri dan pelabuhan. Aktivitas
tersebut dapat menimbulkan penurunan kualitas perairan pesisir dan laut, dengan
adanya limbah-limbah yang langsung dibuang ke lingkungan pesisir, tanpa melalui
pengolahan (Setiawan, 2014). Terdapat berbagai limbah yang ada di laut, salah
satunya limbah logam berat merupakan yang limbah berbahaya bagi kesehatan
manusia. Logam berat yang ada pada perairan menyebabkan biota laut memiliki
peluang yang sangat besar untuk terkontaminasi logam berat tersebut. Jika biota
laut yang telah terkontaminasi logam berat tersebut dikonsumsi, maka akan
merusak sistem biokimia, dan menjadi ancaman serius bagi kesehatan manusia dan
hewan.
Pesatnya laju pertumbuhan pembangunan terutama di bidang industri, pertanian,
pertambangan dan sebagainya yang ditunjang oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, memungkinkan manusia memanfaatkan berbagai jenis
bahan kimia termasuk logam berat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini
telah menimbulkan kekhawatiran yang sangat besar akan terjadinya perubahan nilai
dari perairan tersebut, baik kualitas maupun kuantitasnya sehingga dapat
mencemari perairan (Lubis et al., 2015). Beberapa contoh limbah yang dapat
mencemari perairan yaitu limbah rumah tangga, limbah pembuangan pasar,
perkotaan dan proses erosi (Suprianto & Lelifajri, 2009), aktivitas kapal laut yang
keluar masuk pelabuhan guna melakukan aktivitas bongkar muat barang dan juga
penggantian bahan bakar minyak oleh kapal-kapal (Ika et al., 2012) dan limbah
industri, pertambangan serta pertanian (Yudo, 2006).
Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa sebagian besar perairan di
Indonesia baik itu sungai maupun laut telah mengalami pencemaran oleh logam
berat berbahaya seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), arsen (As), kadmium (Cd), dan

29
nikel (Ni). Tidak hanya mencemari air akan tetapi logam berat juga terakumulasi
pada biota air seperti ikan, kerang-kerangan, dan tumbuhan air. Logam berat dalam
perairan tidak mengalami regulasi oleh organisme air, tetapi terus terakumulasi
dalam tubuh organisme air. Semakin tinggi kandungan logam berat dalam perairan
akan semakin tinggi pula kandungan logam berat yang terakumulasi dalam tubuh
organisme (Rochyatun & Rozaq, 2007).
Bahan Pencemar (racun) masuk ke tubuh organisme atau ikan melalui
proses absorpsi. Absorpsi merupakan proses perpindahan racun dari tempat
pemejanan atau tempat absorpsinya ke dalam sirkulasi darah. Bahan pencemaran
seperti timbal (Pb) dan kadmium (Cd) dalam tubuh organisme terabsorpsi dalam
bentuk ion Pb2+ dan ion Cd2+ (Hidayah et al., 2014).
Didalam tubuh manusia, timbal (Pb) bisa menghambat aktivitas enzim yang
terlibat dalam pembentukan hemoglobin (Hb) dan sebagian kecil Pb diekskresikan
lewat urin atau feses karena sebagian terikat oleh protein, sedangkan sebagian lagi
terakumulasi dalam ginjal, hati, kuku, jaringan lemak, dan rambut (Widowati et al.,
2008). Sedangkan keracunan yang disebabkan oleh kadmium (Cd) dapat bersifat
akut dan keracunan kronis. Keracunan akut yaitu seperti timbul rasa sakit dan panas
pada bagian dada yang dapat menimbulkan penyakit paru-paru yang akut,
sedangkan keracunan yang bersifat kronis pada umumnya berupa kerusakan-
kerusakan pada banyak sistem fisiologis tubuh (Palar, 2008).
Biomagnifikasi mengacu pada peningkatan konsentrasi polutan ketika
mereka bergerak dari satu tingkat trofik ke tingkat trofik berikutnya. Contoh dari
biomagnifikasi akan ketika ikan kecil memakan organisme mikroskopis yang
terkontaminasi, dan ikan besar memakan ikan kecil. Jadi, pertama, polutan
ditransfer dari organisme mikroskopis ke ikan kecil yang memakannya, dan
kemudian ke ikan besar yang memakan ikan-ikan kecil. Sebagai beban polutan
dilewatkan dari satu organisme ke organisme lain, itu akan diperkuat, dan dengan
demikian, biomagnifikasi juga dikenal sebagai bioamplifikasi.. Zainuri et al. (2011)
Pada dasarnya, biomagnifikasi adalah proses biologis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bioakumulasi. Orang mungkin bertanya apa bisa berbahaya
polutan dalam konsentrasi kecil berada di lingkungan? Jawabannya akan menjadi
bahaya yang signifikan, mengingat konsentrasi polutan ini meningkat karena

30
mereka membuat jalan mereka ke atas rantai makanan, akhirnya mencapai tingkat
di mana mereka dapat menyebabkan masalah kesehatan pada organisme. Semakin
panjang rantai makanan, akan lebih rentan, itu adalah untuk proses biomagnifikasi.
Ini juga diperhatikan bahwa konsumen tersier dan kuaterner lebih rentan daripada
konsumen sekunder.

Gambar 4. Proses Biomagnifikasi

Polutan yang terlibat dalam biomagnifikasi termasuk pestisida, logam berat


yang mencapai air sebagai akibat dari limpasan permukaan; serta bahan kimia dari
industri, yang sengaja dirilis di lingkungan dalam banyak kasus. Menariknya,
beberapa ciri khusus yang berhubungan dengan polusi. Misalnya, mereka semua
memiliki kehidupan yang cukup lama, sebagai akibat dari mereka tidak merusak
dengan cepat. Bahwa mereka larut dalam lemak juga menambah umur panjang
mereka.

3.2.1 Jenis Polutan Terkait Biomagnifikasi


Logam Cr juga merupakan logam non esensial, nilai BCF logam Cr pada
ikan nila berkisar 4.33-5.33. Logam Cr juga bersifat akumulatif rendah karena nilai
BCF < 100. Sumber logam Cr di perairan ini sebagian besar berasal dari proses
pengikisan (erosi) batuan mineral dari daerah tangkapan air di sekitar danau dan
juga limbah rumah tangga yang mengandung logam Cr seperti sabun detergen
maupun produkproduk konsumer lainnya. Erosi batuan mineral dimungkinkan

31
berasal dari limbah hasil pertambangan batu andesit yang ada di daerah sekitar
Danau Rawapening.
Logam Pb merupakan logam non esensial yang belum diketahui
kegunaannya dalam tubuh makhluk hidup sehingga adanya unsur tersebut lebih dari
normal dapat menyebabkan keracunan. Keberadaan logam Pb dalam tubuh
seringkali menggantikan logam esensial dalam aktivitas kerja enzim dan bersifat
menghambat kerja enzim (Palar, 2004). Berdasarkan Tabel 2 nilai BCF logam Pb
pada ikan nila bersifat akumulatif rendah. Nilai BCF logam Pb berkisar antara 3,67-
6. berasal dari buangan bahan bakar yang mengandung logam Pb dari perahu motor
yang digunakan untuk kegiatan pariwisata maupun alat transportasi oleh nelayan
Selain itu diduga juga berasal dari limbah pertanian yang mengandung residu
pestisida. Limbah pertanian ini berasal dari daerah tangkapan air Danau
Rawapening yaitu di Kecamatan Getasan, Ambarawa dan Bandungan yang
merupakan sentra daerah pertanian sayur mayur yang tentunya banyak
menggunakan pestisida sebagai pembasmi hama tanaman. Berdasarkan penelitian
dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Batu (2009) terhadap kualitas tanah untuk
lahan tanaman pangan, sayuran dan buah-buahan diperoleh data bahwa residu
pestisida yang digunakan oleh para petani untuk membasmi hama mengandung
logam berat Pb, Cu dan Hg
Terdapat pula pestisida (Organoklorin) kemungkinan terjadinya
biomagnifikasi. Dikarenakan karakteristiknya yang sulit terbiodegradasi dan
kelarutannya yang tinggi dalam lemak, organoklorin dapat terakumulasi dalam
jaringan hewan yang prosesnya disebut biokonsentrasi. Biomagnifikasi dapat
terjadi pada hewan yang terlibat dalam rantai makanan. Pestisida jenis ini masih
digunakan di negara-negara berkembang, terutama di daerah khatulistiwa. Hal ini
dikarenakan harganya yang sangat murah, keefektifannya, dan persistensinya.
Kebanyakan negara berkembang terletak di daerah yang beriklim tropis dimana
pada umumnya memiliki temperatur dan curah hujan yang tinggi. Iklim yang
seperti itu dapat membuat perpindahan residu melalui udara dan air secara cepat
dan akhirnya berkonstribusi terhadap kontaminasi global. Proporsi pestisida yang
akan mencapai target, seperti hama, ditemukan tidak lebih dari 0,3% dari yang

32
diaplikasikan, sedangkan 99% lainnya akan berada di lingkungan (Karina et al.,
2002).
Salah satu jenis Pestisida yang umum digunakan di Indonesia adalah
golongan organoklorin. Kelompok Pestisida organoklorin mulai diperkenalkan
pemerintah pada pertanian sejak awal 1950. DDT digunakan selama program
pemberantasan penyakit malaria sebanyak 2600 ton/tahun selama tahun 1974 –
1982 khususnya di Pulau Jawa. Organoklorin dikelompokkan menjadi 3, yaitu :
diklorodifenil etan (contoh : DDT, DDD, portan, metosiklor, dan metioklor),
siklodin (contoh : aldrin, dieldrin, heptaklor, klordan, dan endosulfan), dan
sikloheksan benzene terklorinasi (contoh : HCB, HCH, dan lindan). Organoklorin
merupakan pencemar utama dalam golongan Persistent Organic Pollutant yang
sedang dipermasalahkan di dunia akibat sifatnya yang toksik kronis, persisten dan
bioakumulatif (Zhou et al., 2006). Dalam jangka waktu 40 tahun, organoklorin
masih ditemukan di lingkungan dan biota, dan terdistribusi secara global bahkan ke
daerah terpencil di mana organoklorin tidak pernah digunakan (Sudaryanto et al.,
2007).
Organoklorin sebagai senyawa yang mencemari air Di dalam air, partikel
pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton-mikroplankton. Oleh karena
pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam tubuh mikroplankton akan
meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan pestisida yang mengambang di
dalam air. Mikroplanktonmikroplankton tersebut kelak akan dimakan zooplankton.
Dengan demikian pestisida tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi yang
dimiliki pestisida, menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton
meningkat lagi hingga puluhan mungkin ratusan kali dibanding dengan yang ada di
dalam air. Bila zooplankton zooplankton tersebut dimakan oleh ikan-ikan kecil,
konsentarsi pestisida di dalam tubuh ikan-ikan tersebut lebih meningkat lagi.
Demikian pula konsentrasi pestisida di dalam tubuh ikan besar yang memakan ikan
kecil tersebut. Rantai konsumen yang terakhir yaitu manusia yang mengkonsumsi
ikan besar, akan menerima konsentrasi tertinggi dari pestisida tersebut, Selanjutnya.
Senyawa Organofospat merupakan penghambat yang kuat dari enzim
cholinesterase pada syaraf. Asetyl cholin berakumulasi pada persimpangan
persimpangan syaraf (neural jungstion) yang disebabkan oleh aktivitas

33
cholinesterase dan menghalangi penyampaian rangsangan syaraf kelenjar dan otot-
otot. Golongan ini sangat toksik untuk hewan bertulang belakang.Organofosfat
disintesis pertama kali di Jerman pada awal perang dunia ke-II. Bahan tersebut
digunakan untuk gas syaraf sesuai dengan tujuannya sebagai insektisida. Pada awal
sintesisinya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan
schordan yang sangat efektif sebagai insektisida tetapi juga toksik terhadap
mamalia. Penelitian berkembang tersebut dan ditemukan komponen yang paten
terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap manusia (misalnya : malathion).
Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida
lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam
jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan beberapa
milligram untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat
menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel
darah merah. Organofosfat dapat terurai di lingkungan dalam waktu ± 2 minggu.
Ketika pestisida organofosfat memasuki tubuh manusia atau hewan,pestisida
menempel pada enzim kholinesterase. Karena kholinesterase tidak dapat
memecahkan asetilkholin, impuls syaraf mengalir terus (konstan) menyebabkan
suatu twiching yang cepat dari otot-otot dan akhirnya mengarah kepada
kelumpuhan. Pada saat otot-otot pada sistem pernafasan tidak berfungsi terjadilah
kematian.
3.2.2 Proses Masuknya Polutan Ke Perairan
Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh organisme hidup melalui
makanan yang dimakannya, karena hampir 90% logam berat masuk ke dalam tubuh
melalui jalur makanan. Logam berat masuk pada jalur tersebut melalui dua cara,
yaitu lewat air (minuman) dan tanaman (makanan). Sisanya akan masuk secara
difusi atau perembesan lewat jaringan dan melalui pernafasan (insang).
Logam berat juga dapat menghambat laju pertumbuhan ikan. Toksisitas
logam berat timbal (Pb) dapat memberikan pengaruh terhadap laju pertumbuhan,
semakin lama pemaparan timbal dan semakin tinggi konsentrasi timbal akan
menurunkan laju pertumbuhan. Timbal (Pb) dalam tubuh dengan konsentrasi yang
tinggi akan menghambat aktivitas enzim. Kegiatan industri, pertanian, pariwisata
maupun rumah tangga menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan,

34
bila pengelolaan limbahnya belum dilakukan dengan baik. Kualitas air ditentukan
oleh beberapa parameter, diantaranya kandungan beberapa ion logam dan non
logam dalam air (Widiyanti 2005)
Kadar logam dalam tubuh mahluk hidup dalam hal ini hewan, dapat
dideteksi melalui daging, urine, darah, dan tulang. Kadar logam dalam daging dan
tulang berhubungan dengan kadar logam dalam darah dan urine saat daging dan
tulang terbentuk dengan demikian, daging dan tulang merupakan bagian tubuh
hewan yang banyak mengakumulasi logam berat (Nurrachmi 2010). Fungsi ginjal
dimulai pada glomerolus yaitu pembentuk ultrafilter dari plasma. Ultrafilter akan
memasuk kapsula Bowmen dan menuju ke lumen pada tubulus (Riauwaty 2012).
Tinggi dan rendahnya kandungan logam Pb yang terdapat pada tubuh ikan timpakul
disebabkan karena logam Pb bersifat logam non essensial yang berarti logam ini
tidak dibutuhkan didalam tubuh organisme, akan tetapi logam tersebut dalam
jaringan tubuh akan terus naik jika terjadi kenaikan konsentrasi logam berat
didalam badan perairan (Selpiani 2015).
Pembuangan limbah ke perairan sungai mengakibatkan air sungai keruh
akibat sedimen dan masih mengandug limbah, sehingga mengindikasikan
terjadinya pencemaran di ekosistem perairan sungai. Di sisi lain sungai merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari rantai makanan dalam suatu ekosistem.
Keberadaan logam berat dalam sistem rantai makanan menyebakan terjadinya
bioakumulasi logam berat dalam tubuh organisme pada sistem rantai makanan
tersebut. Bioakumulasi merupakan proses peningkatan konsentrasi logam berat
dalam tubuh makhluk hidup sesuai tingkatan piramida makanan (Bank MS, et al,
2007).
Makin tinggi struktur tropik satu jenis organisme dalam rantai makanan
makin besar pula kadar logam berat yang terkandung dalam tubuh organisme
tersebut. (Campbell LM, et al, 2003). Burung perairan merupakan salah satu
komponen biotik dalam rantai makanan di ekosistem pesisir. Species burung
perairan pemakan organisme air merupakan salah satu konsumer (predator) yang
menempati posisi puncak dalam struktur tropik (Burger, 2002). Jika organisme air
seperti ikan, kepiting dan kerang yang hidup di perairan sungai tercemar logam
berat ini kemudian dikonsumsi oleh burung perairan, maka akan terjadi akumulasi

35
logam berat yang cukup tinggi dalam tubuh burung, dan kondisi ini dapat
menyebabkan gangguan penyakit, kelainan dan kematian (Ogola et al., 2002; Baker
et al., 2004). Burung perairan merupakan organisme yang sangat rentan terhadap
pencemaran perairan. Untuk mengetahui adanya akumulasi logam merkuri pada
tubuh burung maka dipandang perlu melakukan kajian terhadap species burung
yang menggunakan habitat perairan yang berhubungan dengan kegiatan
pengolahan pertambangan emas tradisional. Dalam hal ini, apa saja species burung
perairan yang mencari makan di habitat pesisir yang berhubungan dengan aliran
limbah penambangan emas tradisional, serta berapa kadar merkuri yang
terkonsentrasi pada organ-organ tubuh burung tersebut
3.2.3 Dampak Pencemaran Pada Organisme
Menurut Shukla et al. (2007) bahwa di dalam tubuh ikan, logam diabsorpsi
darah dan berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh
jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam detoksikasi (hati)
dan ekskresi (ginjal). Akumulasi logam berat dalam tubuh organisme tergantung
pada konsentrasi logam berat dalam air/lingkungan, suhu, keadaan spesies dan
aktifitas fisiologis. Bahan Pencemar (racun) masuk ke tubuh ikan melalui proses
absorpsi. Absorpsi merupakan proses perpindahan racun dari tempat pemejanan
atau tempat absorpsinya ke dalam sirkulasi darah. Absorpsi, distribusi dan ekskresi
bahan pencemar tidak dapat terjadi tanpa transpor melintasi membran. Proses
transportasi dapat berlangsung dengan 2 cara: transpor pasif (yaitu melalui proses
difusi) dan transpor aktif (yaitu dengan sistem transport khusus, dalam hal ini zat
lazimnya terikat pada molekul pengemban) (Hidayah et al., 2014).
Menurut Supriyanto et al. (2007), kandungan logam berat dalam tubuh ikan
erat kaitannya dengan pembuangan limbah industri di sekitar tempat hidup ikan
tersebut, seperti sungai, danau dan laut. Banyaknya logam berat yang terserap dan
terdistribusi pada ikan tergantung pada bentuk senyawa dan konsentrasi polutan,
aktivitas mikroorganisme, tekstur sedimen, serta jenis dan unsur ikan yang hidup di
lingkungan tersebut.
Timbal (Pb) merupakan logam yang sangat populer dan banyak dikenal oleh
masyarakat. Hal ini disebabkan oleh banyaknya Pb yang digunakan dalam bidang
industri dan paling banyak menimbulkan keracunan. Pb dapat masuk ke dalam

36
tubuh melalui pernapasan, makanan, dan minuman. Pb tidak dibutuhkan oleh
manusia, sehingga bila makanan tercemar oleh logam tersebut, tubuh akan
mengeluarkannya sebagian, sisanya akan terakumulasi pada bagian tubuh tertentu
seperti ginjal, hati, kuku, jaringan lemak, dan rambut (Agustina, 2014).
Pb merupakan logam yang bersifat toksik terhadap manusia, yang bisa
berasal dari tindakan mengkonsumsi makanan, salah satunya ikan. Ikan yang telah
terkontaminasi Pb akan diakumulasi oleh tubuh sehingga kandungan Pb dalam
tubuh meningkat dan menyebabkan keracunan. Hal ini diperjelas melalui penelitian
Widowati et al. (2008) yang menyatakan bahwa logam Pb bisa menghambat
aktivitas enzim yang teribat dengan pembentukan hemoglobin (Hb) di dalam tubuh
manusia dan sebagian kecil Pb diekskresikan lewat urin atau feses dan sebagian
terikat protein, sedangkan sebagian lagi terakumulasi dalam ginjal, hati, kuku,
jaringan lemak dan rambut.
Senyawa organik ini akan terserap oleh jasad renik (biota) perairan, dan
dapat menimbulkan dampak biologis sehingga mengakibatkan penurunan kualitas
dan kuantitas sumberdaya hayati perairan. Bila jasad renik ini masuk ke mata rantai
makanan ikan, kepiting, kerang maka terjadi bioakumulasi dalam tubuh biota air
tersebut (Kambey et al., 2001; Limbong et al., 2003; Widhiyatna, 2005). Seiring
dengan sistem rantai makanan pada burung-burung perairan pesisir, maka terjadi
bioakumulasi merkuri pada tubuh burung-burung perairan yang memakan biota air.
Merkuri dalam jumlah kecil dalam air laut diserap oleh alga (umumnya sebagai
methylmercury). Di ekosistem perairan kawasan pesisir, bioakumulasi dan hasil
biokonsentrasi di dalam jaringan lemak (adiposa) organisme air pada tingkat trofik
berturut-turut adalah: zooplankton, nekton kecil, ikan, kemudian organsime lebih
besar yang makan ikan ini juga mengkonsumsi semakin tinggi tingkat merkuri pada
ikan (Bank MS, et al, 2007).
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar merkuri
dalam tubuh ikan dalam bentuk metil merkuri. Bahan kimia ini masuk ke tubuh
ikan melalui insang, lewat rantai makanan, dan dalam jumlah terbesar terdapat pada
ikan jenis carnivora. Dalam proses ini tampak bahwa predator seperti ikan hiu dan
burung pemakan ikan memiliki konsentrasi merkuri yang lebih tinggi dalam
jaringan tubuhnya daripada organisme yang dapat kontak langsung dengan

37
perairan. Kondisi ini memungkinkan akan lebih lama merkuri tersimpan dalam
jaringan lemak tubuh organisme predator dan adanya peningkatan daya racun
merkuri (Croteau dkk, 2005). Burung memiliki organ hati yang berfungsi menyerap
senyawa kimia dan menyimpan cadangan energy bagi tubuh. Logam berat merkuri
yang terkonsumsi bersama makanan akan tersebar ke seluruh tubuh dan sebagian
disimpan sebagai cadangan energi dalam organ hati (Moore et al, 1986).
3.2.4 Model Prediktif Rantai Makanan

Model, merupakan representasi atau gambaran contoh dari suatu konsep


atau sistem nyata dengan tujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan penting
yang terkait. Dalam pemodelan, model dirancang sebagai suatu penggambaran
operasi dari suatu sistem nyata secara ideal dapat menunjukkan hubungan
komponen-komponen penting. Berdasarkan fungsinya, model prediktif merupakan
model yang menunjukan apa yang akan terjadi bila sesuatu terjadi (Dhillon, 2004).
Rantai makanan merupakan sebuah model yang menunjukkan aliran energi dan
nutrisi bergerak melalui ekosistem, dalam proses makan atau dimakan, energi
mengalir dari satu tingkat tropik ke tropik yang lain. Tumbuhan berkhlorofil
menggunakan energi cahaya matahari untuk memproduksi karbohidrat untuk
makanan, dan dialirkan ke organisme herbivora lain, kemudian karnivora pemangsa
herbivora, yang pada gilirannya dimangsa oleh omnivora. Pada tahap akhir, apa pun
yang tersisa akan diuraikan oleh dekomposer. Rantai makanan adalah model
sederhana dan hanya menampilkan satu jalur transfer energi dan materi. Sebagian
besar hewan membutuhkan lebih dari satu sumber makanan untuk bertahan hidup,
sehingga berbagai mata rantai makanan berinteraksi membentuk jaring makanan.
Ekosistem yang stabil tergantung pada berbagai kelompok spesies untuk bertahan
hidup dalam kondisi biotik dan abiotiknya yang mendukung.
Di perairan pesisir hidup berbagai jenis hewan, tumbuhan, dan jasad renik
yang membentuk rantai makanan hingga berinteraksi dalam jaring makanan. Di
ekosistem pesisir hidup berbagai jenis ikan, kerang, kepiting, udang, dan mikro
fauna dan flora lainnya yang membentuk rantai makanan dan secara sistemik
berinteraksi menjadi jaring-jaring makanan. Ekosistem pesisir tidak lepas dari
sistem ekologi di perairan sungai yang bermuara di pesisir. Pencemaran perairan
akibat limbah logam berat merkuri adalah salah satu ancaman bagi keragaman

38
hayati di ekosistem perairan pesisir dan sungai. Di kawasan pesisir yang tercemar
logam berat menunjukkan paparan logam berat merkuri pada organ tubuh burung-
burung perairan. Penelitian tahun 2013 di muara sungai Buladu dimana terdapat
aktivitas penambangan emas yang menggunakan merkuri, tiga species burung
perairan di pesisir utara Gorontalo menunjukkan konsentrasi merkuri yang
bervariasi. Ini mengindikasikan bahwa biota pesisir seperti jenis ikan, kerang,
kepiting dan moluska yang menjadi rantai makanan burung perairan telah terpapar
merkuri (Utina, dan A.S Katili, 2013). Data hasil penelitian kadar merkuri pada
berbagai orgasnime di ekosistem pesisir dapat disusun dalam bentuk model
prediktif rantai makanan ekosistem pesisir.

Gambar 5. Biomagnifikasi Dalam Rantai Makanan

39
BAB 4. KESIMPULAN

Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari efek merugikanmdari zat-zat


kimia terhadap organisme hidup. Selain itu toksikologi juga mempelajari
kemampuan racun pada biota uji untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk ke
dalam tubuh dan lokasi organ yang rentan terhadapnya toksisitas dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain komposisi dan jenis toksikan, konsentrasi toksikan,
durasi dan frekuensi pemaparan, sifat lingkungan, dan spesies biota penerima.
Bioakumulasi adalah jumlah dari dua proses: biokonstentrasi dan biomagnifikasi.
Biokonstentrasi adalah pengambilan langsung suatu zat oleh organisme hidup dari
medium (misalnya, air) melalui kulit, insang, atau paru-paru, sedangkan
biomagnification adalah pengumpulan kontaminan dari organisme diatasnya
seperti terjadi pada ekosistem mangrove, ikan, udang, bivalvia. Banyak kontaminan
sintetis lebih larut dalam lemak daripada dalam air. Biakumulasi dan
biomagnifikasi berasal dari logam-logam berat digolongkan kedalam dua katagori,
yaitu logam berat dan logam ringan. Logam berat ialah logam yang mempunyai
berat 5 g atau lebih untuk setiap cm3, dengan sendirinya logam yang beratnya
kurang dari 5 g setiap cm3 termasuk logam ringan berupa : Hg, Pb, Cd, As, dan
sebagainya.

40
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1998. How Does The Aquatic Ecosystem React on Pollutants. Dilansir
pada http://www.lenntech.com/aquatic/toxicity-response.html

Achmad. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Akbar HS. 2002. Pendugaan Tingkat Akumulasi Logam Berat Cd, Pb, Cu,
Zn dan Ni pada Kerang Hijau (Penna viridis L) ukuran > 5 cm di
Perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta. (Skripsi). Bogor.

Arisandi P. 2005. Mangrove Surabaya East Coast, The Forgotten Forest. Lembaga
Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah.

Arsentina Panggabean,2008. Logam Berat Pb (t Timbal) Pada Jeroan Sapi,

Prosiding PPI Standardisasi.

Ali M. 2011. Monograf Rembesan Air Lindi (Leachate) Dampak Pada Tanaman
Pangan Dan Kesehatan. UPN Press. Surabaya.

Akoto O, TNBruce, &G Darko.2008.Heavy metals pollution profiles in streams


serving the Owabi reservoir. African Journal of Environmental Science and
Technology 2 (11): 354-359.

Agustina, T. (2014). Kontaminasi Logam Berat pada Makanan dan Dampaknya


pada Kesehatan. Teknubuga, 1(1), 52-65.

Bank MS, Chesney E, Shine JP, Maage A, Senn DB. 2007. Mercury
bioaccumulation and trophic transfer in sympatric snapper species from the
Gulf of Mexico. Ecological Applications, 17:2100-2110

Burger J (2002) Food chain differences affect heavy metals in bird eggs in Barnegat
Bay, New Jersey. Environmental Research, 90:33-39.

Bacaksızlar, N.G., & Önsel, N. (2013). Modeling The Dynamics Of Methylmercury


Biomagnification. Boğaziçi Universityindustrial Engineering Department,
34342 Bebek Istanbul Turkey.

41
Campbell LM, Hecky RE, Nyaundiv J, Muggide R, Dixon DG. 2003. Distribution
and food-web transfer of mercury in Napolean and Winam Gulfs, Lake
Victoria, East Africa. Journal of the Great Lakes Research, 29:267-282.

Cetis. 2009. Comprehensive Environmental Toxicity Information System: Users


Manual. Tidepool Scientific Software, McKinleyville, CA.

Chaney R.L, Angle J.S & Brown S.L. 1998. Soil-Root Interface : Food Chain
Contamination and Ecosystem Health. Madison WI : Soil Sci Soc Am.
3 : 9-11. Clark, R.B. 1994. Marine Pollution. Oxford : Oxford Science
Publications.

Connef , D.W. & G.J. Miiler. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.
Jakarta : UI Press.

Dharmawibawa I.D. 2004. Isolasi identifikasi dan uji kemampuan bakteri pengurai
minyak solar dari perairan pelabuhan Benoa Bali. Universitas Udayana.
Bali.

Darmono,1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup, UI Press, Jakarta.

Dhillon, S.S., Jasbir Sigh. 2004. Agricultural Geography. 3rd edition. Tata
Mc.Grew-Hill Education. New Delhi. 492 pages.

Essa, A.M.M., L. E. Macaskie and N. L. Brown. Mechanisms of mercury


bioremediation. Biochemical Society Transactions (2002) Volume 30, part
4.

Ernawati. 2010. Kerang Bulu (Anadara Inflata) sebagai Bioindikator Pencemaran


Logam Berat Timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) di Muara Sungai Asahan.
Thesis. Medan : Universitas Sumatera Utara

Fitter, A.H., dan Hay R.K. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.

42
Gunradi, R, dan Sukandar, M., 2007. Penelitian Endapan Lumpur di Daerah
Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Bandung : Pusat
Sumber Daya Geologi

Hardiani H. 2009. Potensi Tanaman dalam Mengakumulasi Logam Cu pada


Media Tanah Terkontaminasi Limbah Padat Industri Kertas. Berita
Selulosa. 44 (1) : 27 – 40.

Hidayah, A. M., Purwanto, & Tri, R. S. (2014). Bokonsentrasi Faktor Logam Berat
Pb, Cd, Cr dan Cu pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus Linn.) di Keramba
Danau Rawa Pening. BIOMA, 16(1), 1-9.

Hutagalung, H. P & Razak, H. 1981. Kandungan Logam Berat dalam Beberapa


Perairan Laut Indonesia, dalam Kondisi Lingkungan Pesisir dan Laut
Indonesia. Jakarta : Puslitbang Oceanologi LIPI.

Herawati, N. 2007. Analissis Risiko Lingkungan Aliran Air Lumpur Lapindo ke


Badan Air (Studi Kasus Sungai Porong dan Aungai Aloo, Kabupaten
Sidoarjo). Thesis. Semarang : Universitas Diponegoro

Hutagalung, H. P. 1991. Pencemaran Laut oleh Logam Berat dalam Beberapa


Perairan Indonesia. Jakarta : Puslitbang Oceanologi LIPI. Jakarta.

Jaibet, J. 2007. Analisis Logam Berat Cd, Cu, dan Pb dalam Sedimen dan Air
Laut di Teluk Salut Tuaran. Thesis. Sabah : Sekolah Sains dan
Teknologi Universiti Malaysia Sabah.

Kamariah & Fajriyanto. 2009. Pemanfaatan Lumpur Lapindo sebagai Komposit


Ramah Lingkungan Berbasis Fiber Reinforced Concrete (FRC). Seminar
Nasional Teknik Kimia (SNTKI). ISBN 978-979-98300-1-2

Kamaruzzaman B.Y, Ong M.C, Jalal K.C.A, Shahbudin S. & Nor OM. 2008.
Accumulation of Lead and Copper in Rhizophora apiculata from Setiu
Mangrove Forest, Terengganu, Malaysia. J. Environmental Biology : 821
-824.

43
Kambey, J.L., A.P. Farrel, & L.I. Bendell-Young. 2001. Influence of illegal gold
mining on mercury levels in fish of Nort Sulawesi’s Minahasa Peninsula
(Indonesia). Environ. Pollution J. 114: 299-302.

Konasewich DE, Chapman PM, Gerencher E, Vigers G & Treloar N.


1982. Effects, pathways, processes, and transformation of Puget
Sound contaminants of concern. NOAA technical memorandum
OMPA 20:357.

King and Davis. 1987. Laboratory and Field Studies of The Accumulation of
Mercury By The Mussel Mytilus Edulis. Mar Pol Bull. 13 (1) : 27 - 29.

Kumar J.I.N, Sajih P.R, Kumar R.N, George B & Viyol S. 2010. An Assessment
of the Accumulation Potential of Lead (Pb), Zinc (Zn) and Cadmium (Cd)
by Avicennia marina (Forssk.) Vierh. in Vamleshwar Mangroves Near
Narmada Estuary, West Coast of Gujarat, India. World Journal of Fish and
Marine Sciences. 2 (5) : 450 - 454.

Kusumastuti W. 2009. Evaluasi Lahan Basah Bervegetasi Mangrove dalam


Mengurangi Pencemaran Lingkungan: Studi Kasus di Desa Kepetingan
Kabupaten Sidoarjo. Thesis. Semarang : Universitas Diponegoro.

Lakitan B. 2001. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada.


Jakarta. Lindsey HD, James MM, Hector MG. 2004. An Assessment of
Metal Contamination in Mangrove Sediments and Leaves from Punta
Mala Bay, Pacific Panama. Marine Pollution Bulletin. 50 : 547-552.
Loomis, T.A. 1978. Toksikotogi Dasar. Ed Ketiga. Terj. lmono Argo
Donatus. Semarang : IKIP Semarang Press.

Made Astawa, 2009. Bahaya Logam Berat Pada Makanan.http://www.bmf.litbang


de pkes.go.id. 30 oktober 2009.

Mahayani, N.P.D. 2005. Kemampuan Hutan Mangrove sebagai Biofilter


Terhadap Pencemaran Lingkungan (Studi Kasus di Hutan Mangrove
Ngurah Rai Prapat Benoa, Bali). Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.

44
Manahan, S.E. 1994. Environmental Chemistry. Sixth Ed. USA : CRC Press Inc.
Manikasari, G.P. & N.P.D. Mahayani. 2018. Peran Hutan Mangrove
sebagai Biofilter dalam Pengendalian Polutan Pb dan Cu di Hutan
Mangrove Sungai Donan, Cilacap, Jawa Tengah. J. Nasional Teknologi
Terapan. 2 (2) : 105-117.

Masak, P.R.P. Rachmansyah. 2002. Akumulasi Logam Berat Pb pada Kondisi


Salinitas Berbeda. J. Penelitian Perikanan Indonesia. 8 (3) : 65-71 Mason,
C. 2002. Biology of Freshwater Pollution. Fourth Ed. England : Prentice
Hall.

Martuti, N. K. T., Widianarko, B., & Yulianto, B. (2016). Copper Accumulations


On Avicennia Marina In Tapak, Tugurejo, Semarang, Indonesia. Water
Technology Journal, 4(1), 40-45.

Ma’ruf, M. 2007. Analisis Konsentrasi Logam Berat pada Ikan Baronang


(Siganus sp.) dan Lingkungan Perairan untuk Pengelolaan Wilayah
Pesisir Bontang. Thesis. Samarinda : Universitas Mulawarman.

Moore, S.J., J.D. Norris, & I.K. Ho. 1986. The efficacy of ketoglutaric acid in the
antagonism of cyanide intoxication. Toxicol Appl Pharmacol. J. 82: 40-44.

Muhsoni, F.F., Hartono, Sigit. 2010. Penggunaan Sistem Informasi Geografis


dan Citra Ikonos untuk Kajian Pemodelan Lokasi Alternatif Kolam
Pembuangan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. J. Kelautan. 3 (1)
: 75-81.

Nurrachmi I., B. Amin. 2010. Kandungan Logam Cd, Cu, Pb, dan Zn pada ikan
gulama (Sciaena russelli) dari Perairan Dumai, Riau: Amankah untuk
dikonsumsi. Jurnal Teknobiologi 1(1): 72-84.

Ogola, J.S., W. V. Mitulla, & M.A. Omulo, 2002. Impact of gold mining on the
invironment and human health. Environmental Geochemistry and Health J.
24: 141-158.

45
Oost RJB & Nico PEV. 2003. Fish bioaccumulation and biomarkers in
environmental risk assessment:a review. Environmental Toxicology
and Pharmacology 13:57-149.

Palar, H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta : Penerbit


Rieneka Cipta.

Priadie B. 2012. Teknik bioremediasi sebagai alternatife dalam upaya pengendalian


pencemaran air. Jurnal Ilmu Lingkungan 10(1), 38-48.

Panjaitan, G.Y. 2009. Akumulasi Logam Berat Tembaga (Cu) dan Timbal
(Pb) pada Pohon Avicennia Marina di Hutan Mangrove. Skripsi. Medan

Parvaresh H.Z., Abedi P., Farhchi M., Karami N., Khorasani & Karbassi A.
2010. Bioavalability and Concentration of Heavy Metals in the
Sediments and Leaves of Grey Mangrove, Avicennia marina (Forsk.)
Vierh, in Sirik Azini Creek, Iran. J. Biology Trace Elem. Res. DOI
10.1007/s12011-010-8891-y

Puspitasari, R. 2007. Laju Polutan dalam Ekosistem Laut. J. Oseana. XXXII (2)
: 21-28 Rosmakam, A dan Nasih W. Y. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah.
Yogyakarta: Kanisius.

Riauwanty SM. 2012. Histopatologi Hati dan Ginjal Ikan Patin (Pangasius
hypopthalmus) yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila dan Diobati dengan
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza ROXB.). Repository University of
Riau.

Ravichandran, M. (2004). Interactions between mercury and dissolved organic


matter. Journal Chemosphere, 55, 319-331.

Selid, Paul D., Hanying Xu, E. Michael Collins, Marla Striped FC and Julia X Z.
Sensing Mercury for Biomedical and Environmental Monitoring.
Sensor.2009.9.5446- 5459

46
Suhendrayatna. 2001a. Bioremoval logam berat dengan menggunakan
mikroorganisme: Suatu Kajian Kepustakaan. Makalah. Disampaikan pada
Seminar Bioteknologi, Kagoshima University, Tokyo.

Suhendrayatna. 2001b. Bioremoval logam berat dengan menggunakan


mikroorganisme. Suatu kajian kepustakaan (heavy metal bioremoval by
microorganism : a literature study. Synergy forum- ppi Tokyo institute of
technology. Sulaksono, I.C. 2001. Kajian jenis dan tingkat residu
insektisida serta pengaruhnya terhadap komunitas makrozoobentos di
sentra produksi padi Pantai Utara Jawa Barat. Tesis. Program
Pascasarjana, IPB. Bogor, 98 hlm. Martaningtyas, D. (2004). Bahan
Cemaran Logam Berat. Cakrawala, Jakarta.

Simson, S.S., Apte, R., Jung, G.B., & Hales, L. (2005). Trace metal concentration
in water, sedimets and fish tissues from marine locations in the vicinity of
the Minahasa Raya gold mining (North Sulawesi) [Proceeding].
Proceeding of international seminar on mining, environment, and
sustainable development : a lesson from the gold mining, controversy in
Buyat Bay, North Sulawesi, Indonesia.

Sembel, D.T. (2015). Toksikologi lingkungan. Dampak pencemaran dari berbagai


bahan kimia dalam kehidupan sehari-hari. Andi. Yogyakarta.

Suseno, H. (2011). Bioakumulasi Merkuri Dan Metil Merkuri Oleh Oreochromis


Mossambicus Menggunakan Aplikasi Perunut Radioaktif: Pengaruh
Konsentrasi, Salinitas, Partikulat, Ukuran Ikan Dan Kontribusi Jalur Pakan.
Disertasi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi
Doktor Ilmu Kimia, Universitas Indonesia Depok.

Selpiani L, Umroh, Rosalina D. 2015. Konsentrasi Logam Berat (Pb, Cu) pada
Karang Darah (Anadara Granosa) di Kawasan Pantai Keranji Bangka
Tengah dan Pantai Teluk Kelabat Bangka Barat. 9(01): 21-34.

47
Setiawan, H. 2013. Akumulasi dan Distribusi Logam Berat pada Vegetasi
Mangrove di Perairan Pesisir Sulawesi Selatan. J. Ilmu Kehutanan. VII
(1) : 12-24.

Shukla, V., Dhankhar, M., Prakash, J., & Sastry, K.V. (2007). Bioaccumulation of
Zn, Cu and Cd in Channa punctatus. Journal of Environmental Biology,
28(2), 395-397.

Subagyo. 2008. Skandal Ekosida Lumpur Lapindo. Diakses dari


http://korbanlumpur.info/opini/artikel Suprapto, S.J., R. Gunadi, Y.R.
Ramli. 2007. Geokimia Sebaran Unsur Logam pada Endapan Lumpur
Lapindo. Bandung : Pusat Sumber Daya Geologi.

Sudaryanto A, Monirith I, Kajiwara N, Takahashi S, Hartono P, Muawanah, Tanabe


S. 2007. Levels and Distribution of Organochlorine In Fish from Indonesia.
Environmental International, 33(6), 750-758.

Sitorus, S.R.P. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Tarsito Bandung.

Soemirat, J. (2010). Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University


Press.

Supriyanto, C., Samin & Kamal, Z. (2007). Analisis Cemaran Logam Berat Pb, Cu
dan Cd Pada Ikan Air Tawar dengan Metode Spektometri Nyala Serapan
Atom (SSA). Yogyakarta: Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir BATAN.

Suseno, Heny. 2007. Bioakumulasi Kromium oleh Perna viridis Teluk


Jakarta Berdasarkan Studi Menggunakan Perunut Radioaktif 15Cr.
Dalam:Prosiding PPI – PDIPTN. Pustek Akselerator dan Proses
Bahan BATAN.

Suryono, C.A. 2006. Bioakumulasi Logam Berat melalui Sistem Jaringan


Makanan dan Lingkungan pada Kerang Bulu Anadara inflata. J. Ilmu
Kelautan. 11 (1) : 19-22 Sorensen, E. M. 1991. Metal Poisoning in Fish.
New York : CRC Fish Ulqodry T.Z. 2001. Kandungan Logam Berat dalam
Jaringan Mangrove Sonneratia alba dan Avicennia marina di Pulau

48
Ajkwa dan Pulau Kamora, Kabupaten Timika, Papua. Skripsi. Semarang
: Universitas Diponegoro.

USEPA. (2002). Solid Waste Management and Greenhouse Gases: A Life-Cycle


Assessment of Emissions and Sinks. Washington DC: EPA.

Utama BA. 2011. Biomagnifikasi. On line at www.Wikipedia.org [Di


akses tanggal 18 November2015]

Utina, R., A.S. Katili, 2013. Inventory of Waterbird Species Which Accumulate
Mercury From Mining Waste of Coastal Area North Gorontalo Regency,
Indonesia. Proceeding of International Conference on Research,
Implementation and Education of Mathematics and Sciences 2014,
Yogyakarta State University.

UNEP. (2013). Global Mercury Assessment 2013: Sources, Atmospheric and


Aquatic Releases and Transport. UNEP’s Division of Technology

Posman Sibuea,2000. Kuliner Indonesia: (Kliping Kuliner & Wisata Nusantara).

Purnomo T & Muchyiddin. 2007. Analisis Kandungan Timbal (Pb) pada


Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsk.) di Tambak Kecamatan
Gresik. Majalah Ilmiah Kelautan Neptunus Universitas Negeri
Surabaya 14 (1):68-77

Walne, P. R. 1978. Culture Of Bivalve Molluscs. London : The White Priars


Press. Wiguna, I.P.A., W. Citrosiswoyo., A. Widodo. 2009.
Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo.Surabaya : Pusat Studi
Kebumian dan Bencana (PSKB), Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).

Widowati, W., Astiana, S., & Raymon, J.R. (2008). Efek Toksik Logam,
Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Wisnu MA & Hartati A. 2000. Penyerapan Logam Berat Merkuri Dan


Kadmium Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio). Jurnal Purifikasi ITS
Surabaya 1 (2).

49
Wulan, S.P. Thamrin & Amin B. 2013. Konsentrasi, Distribusi, dan Korelasi
Logam Berat Pb, Cr, dan Zn pada Air dan Sedimen di Perairan Sungai
Siak sekitar Dermaga PT. Indah Kiat Pulp and Paper Perawang, Provinsi
Riau. Riau : Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau.

Wolf, H.D, Ulomi S.A, Backeljau T., Pratap H.B & Blust R.. 2001. Heavy
Metal Levels in the Sediments of Four Dar Es Salaam Mangroves
Accumulation in, and Effect on the Morphology of the Periwinkle L.
scraba (Mollusca: Gastropoda). J. Environment International. 26: 243-249

Yalcin G, Narin I., & Solyak M. 2008. Multivariate Analysis of Heavy Metal
Contents of Sediments from Gumusler Creek, Nigde, Turkey. J.
Environmental Geology. 54: 1155-1163

Yudo S. 2006. Kondisi Pencemaran Logam Berat di Perairan Sungai DKI Jakarta.
Jurnal Penelitian 2 (1). Jakarta: Pusat Teknologi Lingkungan BPPT.

50
LAMPIRAN

Lampiran 7. Biodinamik proses Bioakumulasi

Lampiran 8. Cara masuknya xenobiotik

51
Lampiran 9. Dampak karsinogenik dalam makhluk hidup

Lampiran 4. Proses Biomagnifikasi

52
Lampiran 5. Biomagnifikasi Dalam Rantai Makanan

53

Anda mungkin juga menyukai