Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH MIKROBIOLOGI LANJUT

PERAN MIKROBA DALAM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TEKSTIL

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Mikrobiologi Lanjut
Dosen Pengampu : Anggita Rahmi Hafsari, M.Si.

oleh :
Nisrina Khairun Nisa NIM (1177020062)

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Kuasa, yang telah memberikan
anugerah, kesempatan dan pemikiran kepada saya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah berjudul “Peran Mikroba dalam Pengolahan Limbah Cair
Tekstil” ini tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini, saya banyak mendapat tantangan dan
hambatan, akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa
teratasi. Oleh karenanya, saya ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Semoga amal baik semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini mendapatkan
balasan yang berlipat ganda dari Allah Swt.
Saya menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah
ini, sehingga saya senantiasa terbuka untuk menerima saran dan kritik demi
penyempurnaan makalah berikutnya.

Saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca


sekalian. Akhir kata, saya ucapkan terimakasih teriring do’a jazaakumullahu
khairan katsiiran.

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii


DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
ISI .................................................................................................................. 1
I. Pendahuluan .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 2
1.3 Tujuan ..................................................................................... 2
II. Pembahasan ..................................................................................... 3
2.1 Limbah Cair Tekstil dan Dampaknya terhadap Lingkungan.. 3
2.2 Pengolahan Limbah Cair Tekstil ............................................ 6
2.3 Mikroba Pengurai Limbah Cair Tekstil .................................. 16
2.4 Metabolisme Mikroba Pengurai Limbah Cair Tekstil ............ 18
III. Penutup............................................................................................ 21
3.1 Simpulan ................................................................................. 21
3.2 Saran ....................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Memburuknya kualitas air pada badan-badan air di negeri ini tak lepas dari
kegiatan masyarakatnya yang beranekaragam serta kegiatan industri yang tak
seringkali berdampak buruk bagi lingkungan. Salah satu kegiatan industri yang
menjadi salah satu penyumbang dari pencemaran air adalah limbah cair tekstil.
Nisbah antara BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen
Demand) berkisar antara 1.99-2.54, angka ini menggambarkan bahwa limbah cair
tekstil sulit terurai secara sempurna. Apabila limbah cair tekkstil ini langsung
dialirkan ke badan-badan air disekitarnya, maka akan menyebabkan berbagai
kerusakan seperti aliran air yang semakin tercemar, merusak tatanan kehidupan di
perairan, merusak ketersediaan air untuk umum, menjadi sumber penyakit dan
lain sebagainya. Karena itu diperlukan suatu metode yang dapat mengurai limbah
cair tekstil ini sebelum dibuang ke lingkungan.
Metode konvensional secara fisika, mekanik, dan kimia biasanya kurang
efektif dalam menguraikan limbah cair tekstil ini, disamping karena terkendala
oleh biaya yang sangat tinggi dan kurang adaptasi terhadap pH dan salinitas yang
lebar. Ditambah lagi, metode fisika, kimia, dan mekanik ini biasanya hanya efektif
untuk proses penghilangan warna limbah tekstil jika volume buangannya kecil,
tapi seringkali gagal untuk mengurangi toksisitas limbah buangan, apalagi pada
volume buangan yang besar.
Dengan memanfaatkan aktifitas mikroba diharapkan senyawa organik
yang terkandung di dalam limbah cair tekstil dapat terurai menjadi senyawa yang
lebih sederhana dan tidak berbahaya bagi kehidupan perairan. Adapun aktifitas
mikroba yang diharapkan adalah perannya dalam proses penguraian (degradasi)
senyawa organik. Proses lain dalam pengolahan limbah ini adalah proses
koagulasi dan flokulasi yang merupakan proses destabilisasi muatan pada partikel
tersuspensi dan koloid yang dilanjutkan dengan fenomena aglomerasi dari partikel
yang terkoagulasi menjadi partikel yang terendapkan. Peran inilah yang

1
diharapkan mampu digantikan oleh mikroba, dimana sebelumnya terjadi dengan
proses fisik kimia.
Berangkat dari pemaparan di atas mengenai bahayanya limbah cair tekstil
yang dibuang sembarangan, beberapa metode untuk mengurai limbah cair tekstil,
serta mikroba yang diharapkan mampu menggantikan peran metode fisik dan
kimia yang dirasa kurang efektif dalam menguraikan limbah cair tekstil ini, maka
pada makalah singkat ini saya akan sedikit membahas mengenai peran mikroba
dalam proses penguraian limbah cair tekstil.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan limbah cair tekstil dan bagaimana dampaknya
terhadap lingkungan?
2. Bagaimana mekanisme pengolahan limbah cair tekstil dengan menggunakan
mikroba?
3. Mikroba seperti apa yang dapat menguraikan limbah cair tekstil?
4. Bagaimana metabolisme mikroba pengurai limbah cair tekstil?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan limbah cair tekstil dan
dampaknya terhadap lingkungan.
2. Untuk mengetahui mekanisme pengolahan limbah cair tekstil dengan
menggunakan mikroba.
3. Untuk mengetahui mikroba seperti apa yang dapat menguraikan limbah cair
tekstil?
4. Untuk mengetahui metabolisme mikroba pengurai limbah cair tekstil?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Limbah Cair Tekstil dan Dampaknya terhadap Lingkungan


Menurut Sulaeman (2009) limbah adalah buangan yang dihasilkan dari
suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga) yang
kehadirannya pada saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki karena tidak
memiliki nilai ekonomis. Kehadiran limbah dapat berdampak negatif bagi
lingkungan terutama kesehatan manusia sehingga perlu dilakukan penanganan
terhadap limbah tersebut. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh
limbah tergantung jenis dan karakteristik limbah.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, definisi dari
air limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair.
Pengertian limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh
kegiatan industri. Limbah dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan
kualitas lingkungan. Sunu (2001) menjelaskan bahwa ada beberapa komponen
pencemaran air antara lain limbah padat, limbah bahan makanan, limbah bahan
organik, limbah anorganik dan limbah zat kimia. Komponen pencemaran air akan
menentukan terjadinya indikator pencemaran air. Komponen yang berhubungan
dengan pencemaran air karena limbah tekstil adalah limbah anorganik dan limbah
zat kimia.
Limbah zat kimia dapat berupa insektisida, bahan pembersih, larutan
penyamak kulit dan zat warna kimia. Kandungan zat warna kimia yang ada di
dalam air akan mempengaruhi pH air lingkungan dan kandungan oksigen. Hampir
semua zat warna kimia bersifat racun dan jika masuk ke dalam tubuh manusia
akan ikut merangsang tumbuhnya kanker (Sunu, 2001).
Pada proses produksinya, industri tekstil banyak menggunakan zat-zat
kimia yang sulit diurai, salah satunya zat pewarna. Menurut Rambe (2009), zat
warna adalah senyawa yang dipergunakan dalam bentuk larutan atau dispersi pada
suatu bahan lain sehingga berwarna. Tingginya pemakaian zat pewarna pada

3
kegiatan industri tertentu membawa dampak pada peningkatan jumlah bahan
pencemar dalam limbah cair yang dihasilkan.
Menurut Selvam dkk (2003), sekitar 10.000 jenis pewarna digunakan pada
industri tekstil dan lebih dari 7 x 105 ton bahan pewarna diproduksi setiap
tahunnya. Selama proses pewarnaan, 10–15 % dari zat warna tekstil yang
digunakan akan terbuang bersama limbah.
Zat warna untuk tekstil dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan
sumbernya yaitu zat warna alami dan zat warna sintesis. Zat warna alami adalah
zat warna yang diperoleh dari alam seperti tumbuh tumbuhan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Bahan pewarna alam yang biasa digunakan
untuk tekstil diperoleh dari hasil ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar,
kayu, daun, biji ataupun bunga, sedangkan zat warna sintesis adalah zat warna
buatan (Laksono, 2012).
Zat warna sintesis dalam tekstil merupakan turunan hidrokarbon aromatik
seperti benzene, toluene, naftalena dan antrasena. Sifat zat warna sintesis lebih
stabil dibandingkan zat warna alam. Zat warna naptol merupakan salah satu yang
banyak digunakana dalam industri tekstil (Laksono, 2012).
Salah satu pencemar organik yang bersifat non biodegradable adalah zat
warna tekstil. Zat warna tekstil umumnya dibuat dari senyawa azo dan turunannya
yang merupakan gugus benzena. Senyawa azo bila terlalu lama berada di
lingkungan, akan menjadi sumber penyakit karena sifatnya karsinogen dan
mutagenik maka perlu dicari alternatif efektif untuk menguraikan limbah tersebut
(Christina dkk., 2007). Senyawa azo memiliki struktur umum R─N═N─R’,
dengan R dan R’ adalah rantai organik yang sama atau berbeda. Senyawa ini
memiliki gugus ─N═N─ yang dinamakan struktur azo (Widjajanti dkk., 2011).
Fosfat diketahui berada dalam air limbah dalam bentuk organik, sebagai
ortophosfat anorganik atau sebagai fosfat-fosfat kompleks. Fosfat kompleks
mewakili kira-kira separuh dari fosfat air limbah perkotaan dan berasal dari
penggunaan bahan-bahan detergen sintetis. Fosfat kompleks mengalami hidrolisis
selama pengolahan hayati menjadi bentuk ortofosfat (PO43-) (Budi, 2006). Fosfat

4
dalam limbah pewarnaan utamanya digunakan pada proses persiapan dan
pewarnaan tekstil (Smiths, 1988).
Pencemaran air atau penurunan mutu air diakibatkan oleh sejumlah
kegiatan manusia salah satunya yang berasal dari industri tekstil yang tidak
dikelola sebagaimana mestinya, namun dibuang langsung ke aliran air atau
permukaan tanah. Limbah industri tekstil yang langsung dibuang ke sungai dapat
menimbulkan pencemaran berupa: perubahan warna, bau dan rasa pada air;
terhambatnya dan hilangnya aktivitas biologi perairan; pencemaran tanah dan air
tanah; serta perubahan fisik tumbuhan, binatang dan manusia oleh zat kimia
(Laksono 2012).
Air limbah secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kualitas air
tanah. Tingkat pencemaran limbah tersebut jika tidak terlalu tinggi akan diikat dan
dinetralisir oleh lapisan tanah, tetapi jika melebihi kapasitas tanah, maka
kandungan limbah tersebut akan mencapai air tanah dan mencemarinya. Hal
tersebut dipengaruhi oleh jarak sumur dengan sungai, jenis dan keadaan sumur,
genangan air sungai, jenis cemaran dan curah hujan (Tejokusumo, 2007).
Muzamil (2010) menjelaskan kualitas air juga dapat diketahui melalui
analisa sifat kimia air tanah. Sifat kimia air tanah yang diteliti meliputi kesadahan
sebagai CaCO3, pH, unsur-unsur kimia dominan yang larut dalam air seperti,
Natrium (Na), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Sulfat (SO4), Klorida (Cl), Besi
(Fe), serta unsur-unsur kimia yang lain sebagai indikator pencemar limbah
domestik seperti: Nitrat (NO3), Nitrit (NO2), Fosfat, BOD (Biochemical Oxygen
Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand).
Pembuangan limbah cair dengan kandungan fosfat yang tinggi ke dalam
badan air dapat menyebabkan eutrofikasi, yaitu tumbuhnya lumut dan mikroalga
yang berlebihan dalam badan air yang menerima limbah tersebut. Menurut
Lawrence, et.al. (2002), air yang mengandung P > 0,015 mg/L yang tersedia
secara biologi dapat menyebabkan eutrofikasi sehingga timbul beberapa masalah
penting dalam air. Peningkatan populasi tumbuhan dapat menyebabkan turunnya
kandungan oksigen terlarut dalam air. Hal ini disebabkan karena menurunnya
kadar sinar matahari yang masuk ke dalam perairan sehingga fotosintesis oleh

5
tumbuhan air juga menurun dan lebih lanjut terjadi penurunan kadar oksigen hasil
fotosintesis. Penurunan kandungan oksigen juga disebabkan karena pada malam
hari tumbuhan menggunakan oksigen dalam badan air, serta adanya tumbuhan
yang mati dan terdekomposisi oleh mikrobia. Kondisi tersebut menurunkan
kualitas lingkungan sebagai habitat berbagai spesies ikan dan organisme lain
(Khusnuryani, 2008).

2.2 Pengolahan Limbah Cair Tekstil


Limbah cair tekstil pada umumnya diolah secara fisik, kimia dan biologi,
sebagaimana diuraikan pedoman pengelolaan limbah industri tekstil dalam
Komarawidjaja (2007), bahwa pengolahan limbah tersebut dilakukan melalui
pengaturan sedimentasi, koagulasi, pH, oksigen terlarut (DO) dan pembuatan
kolam lumpur aktif (activated sludge).
Limbah cair tekstil memiliki karakteristik padatan tersuspensi (SS), suhu,
alkalinitas, dan kebutuhan oksigen biokimia / Biochemical Oxygen Demand
(BOD) yang tinggi. Akan tetapi, tinggi rendahnya kandungan BOD dalam limbah
tekstil sangat dipengaruhi oleh bahan baku tekstil yang digunakan dalam proses
produksi. Dalam Nemerow (1978) antara lain disebutkan bahwa limbah cair
tekstil dari bahan baku rayon menghasilkan BOD (1200-1800 mg/ L) lebih tinggi
dibandingkan dengan limbah cair tekstil dengan bahan baku katun yang
menghasilkan kadar BOD berkisar anatar 220-600 mg/L.
Selanjutnya ditinjau dari bahan baku dan bahan penolong dalam proses
pembuatan tekstil, ternyata limbah yang dihasilkan didominasi oleh senyawa
organik yang ditunjukan oleh dominasi konsentrasi BOD yang tinggi dalam
limbah. Dengan karakteristik tersebut, maka pemanfaatan mikroba pengurai
dalam pengolahan limbah tekstil merupakan pertimbangan yang tepat. Oleh
karena itu, meskipun awalnya penggunaan teknologi proses pengolahan limbah
secara fisika dan kimia lebih menonjol, secara bertahap penggunaan proses
biologi yang memanfaatkan konsorsium mikroba telah menjadi alternatif, baik
karena merupakan teknik pengolahan yang sederhana maupun alasan ekonomis
karena penggunaan bahan kimia yang semakin dikurangi (Komarawidjaja, 2007).

6
Pengolahan air limbah dapat dilakukan dengan menggunakan metode
biologi. Proses pengolahan limbah dengan metode biologi adalah metode yang
memanfaatkan mikroorganisme sebagai katalis untuk menguraikan material yang
terkandung di dalam air limbah. Mikroorganisme sendiri selain menguraikan dan
menghilangkan kandungan material, juga menjadikan material yang terurai tadi
sebagai tempat perkembangbiakan. Metode pengolahan lumpur aktif (activated
sludge) merupakan proses pengolahan air limbah yang memanfaatkan proses
mikroorganisme tersebut (Megasari, 2012).
Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba
tersuspensi yang pertama kali dilakukan di Inggris pada awal abad 19. Sejak itu
proses ini diadopsi seluruh dunia sebagai pengolah air limbah domestik sekunder
secara biologi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang
mengoksidasi material organik menjadi CO2, H2O, NH4, dan sel biomassa baru
(Megasari, 2012).
Berbagai metode seperti penukar ion, penyerapan dengan karbon aktif dan
pengendapan secara elektrolisis telah dilakukan untuk menyerap bahan pencemar
beracun dari limbah, tetapi cara ini membutuhkan biaya yang sangat tinggi dalam
pengoperasiannya. Penggunaan bahan biomaterial sebagai penyerap ion logam
berat dan warna merupakan alternatif yang memberikan harapan.
Pada proses lumpur aktif senyawa organik akan diuraikan secara biologis
oleh aktifitas mikrobia yang tumbuh tersuspensi di dalam bioreaktor. Mekanisme
yang terjadi melalui dua tahap, yaitu penyerapan secara fisika kimiawi dan
interaksi antar partikel-partikel terlarut menjadi suspensi yang kemudian
terpisahkan dari air limbah. Tahap selanjutnya adalah stabilisasi yang dapat
berlangsung secara paralel melalui penyerapan polutan organik ke dalam partikel
biomassa yang diuraikan menjadi gas CO 2 dan H2O oleh aktifitas mikroba. Proses
lumpur aktif sangat sensitif terhadap perubahan kondisi dan lonjakan beban
polutan (Megasari, 2012)
Herlambang dan Wahjono (1999) menyatakan proses lumpur aktif dalam
pengolahan air limbah tergantung pada pembentukan flok lumpur aktif yang
terbentuk oleh mikroorganisme (terutama bakteri), partikel anorganik, dan

7
polimer eksoselular. Selama pengendapan flok, material yang terdispersi, seperti
sel bakteri dan flok kecil, menempel pada permukaan flok. Flokulasi dan
sedimentasi flok tergantung pada hipobisitas internal dan eksternal dari flok dan
material eksopolimer dalam flok, dan tegangan permukaan larutan mempengaruhi
hidropobisitas lumpur granular dari reaktor lumpur anaerobik.
Mikroba merupakan salah satu mikroorganisme yang mampu
menghasilkan senyawa flokulan yang berfungsi dalam proses flokulasi koloid dan
partikel tersuspensi dalam limbah cair. Di dalam Lachhwani (2005), disebutkan
bioflokulan dihasilkan mikroba secara ekstraselular oleh mikroba lumpur aktif.
Bahkan lebih lanjut dilaporkan bahwa penghasil biofloklan dalam lumpur aktif
tersebut adalah antara lain mikroba dari jenis Bacillus dan Rhodococcus. Hal
serupa dikemukakan juga dalam Komarawidjaja (2007), bahwa salah satu isolat
mikroba lumpur aktif termasuk jenis Bacillus sp.
Kasmidjo (1991), mempertegas pentingnya pembentukan flok dalam
proses lumpur aktif dalam campuran cairan dan tipe mikroflora yang ada pada
lumpur. Mikroflora pada penanganan limbah secara biologis berasal dari tangki
aerasi yang sebelumnya telah mengalami proses aklimatisasi atau penyesuaian
diri. Pengujian menunjukkan bahwa mikroflora yang terdapat di lumpur aktif
sangat bervariasi. Pada umumnya terdapat spesies bakteri dari genus Bacillus,
Enterobacter, Pseudomonas, Zooglea, dan Nitrobacter yang ada pada lumpur aktif.
Hasil Penelitian Haydar dkk (2007) berjudul “Pengolahan Biologi Limbah
Tekstil Menggunakan Proses Lumpur Aktif” menunjukkan bahwa efisiensi di atas
90% dan 80% untuk BOD dan COD. Nilai BOD awalnya 882 mg/l, setelah
diproses selama 12 jam menjadi 54 mg/l dan nilai COD awal nya 1475 mg/l
setelah diproses selama 12 jam menjadi 233 mg/l.
Contoh sistem pengolahan limbah secara biologi :

8
Gambar 1. Unit Pengolah Limbah Tekstil Kapasitas 200 m3/hari.
(Sumber: Herlambang dan Wahjono, 1999)

Gambar 2. Bak penampung yang masih panas.


(Sumber: Herlambang dan Wahjono, 1999)

9
Gambar 3. Bak pengendap pertama.
(Sumber: Herlambang dan Wahjono, 1999)

Gambar 4. Pemberian koagulan (ferro sulfat) untuk menghilangkan warna.


(Sumber: Herlambang dan Wahjono, 1999)

10
Gambar 5. Bak pengendap (clarifier) setelah diberi koagulan ferro sulfat.
(Sumber: Herlambang dan Wahjono, 1999)

Gambar 6. Menara pendingin (Colling Tower) sebelum air masuk ke dalam bak aerasi.
(Sumber: Herlambang dan Wahjono, 1999)

11
Gambar 7. Bak aerasi tahap petama.
(Sumber: Herlambang dan Wahjono, 1999)

Gambar 8. Lumpur aktif dari bak pengendap akhir dikembalikan ke bak aerasi tahap pertama.
(Sumber: Herlambang dan Wahjono, 1999)

12
Gambar 9. Bak pengendap akhir.
(Sumber: Herlambang dan Wahjono, 1999)

Gambar 10. Contoh air di bak pengendap akhir.


(Sumber: Herlambang dan Wahjono, 1999)

13
Gambar 11. Air hasil olahan sebelum dibuang ke lingkungan.
(Sumber: Herlambang dan Wahjono, 1999)

Gambar 12. Bioassay.


(Sumber: Herlambang dan Wahjono, 1999)

14
Gambar 13. Contoh air baku sampai dengan air hasil olahan.
(Sumber: Herlambang dan Wahjono, 1999)

Gambar 14. Sistem Pengolah Limbah Lumpur Aktif PT. UNITEX


(Sumber: Herlambang dan Wahjono, 1999)

15
2.3 Mikroba Pengurai Limbah Cair Tekstil
Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi
polutan di lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi
oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur
kimia polutan tersebut, sebuah peristiwa yang disebut biotransformasi. Pada
banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan
beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi
metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun. Saat ini, bioremediasi telah
berkembang pada perawatan limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa
kimia yang sulit untuk didegradasi), yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan
industri.
Salah satu biota yang berperan dalam sistem pengolahan limbah dengan
sistem lumpur aktif adalah bakteri. Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme
yang mampu melakukan metabolisme bahan organik sehingga merupakan bagian
terpenting dalam pengolahan air limbah. Bakteri akan menyintesis unsur-unsur
organik yang terlarut dalam air.
Beberapa penelitian yang telah dilaporkan menyatakan bahwa keberadaan
mikroba dalam lumpur aktif sangat beragam dari sistem ke sistem. Beragamnya
jenis mikroba disebabkan oleh perkembangan secara alami jenis mikroba dari air
limbah, udara dan partikel-partikel lumpur. Mikroba tersebut akan teraklimatisasi
terhadap cairan limbah dan memudahkan proses penghilangan bahan cemaran
(Carawan, 1979). Dwipayana dan Ariesyady (2010) menjelaskan hasil identifikasi
keberagamana bakteri pada lumpur hasil pengolahan cat salah satunya adalah
Bacillus.
Degradasi pewarna oleh kultur campur umumnya lebih baik dibanding
kultur tunggal mengingat kemampuan tiap bakteri beragam dan macam pewarna
yang digunakan juga beragam. Oleh karena itu penggunaan kultur campur bakteri
atau mikroorganisme dalam proses degradasi pewarna lebih dianjurkan
(Meitiniarti, 2011).
Penurunan fosfat secara biologi dapat ditempuh dengan sttrategi enhanced
biological phosphorus removal (EBPR) dengan memanfaatkan aktivitas mikrobia

16
pengakumulasi fosfat (polyphosphate accumulating organism/PAO). Beberapa
bakteri diperkirakan merupakan bakteri pengakumulasi fosfat. PAO tidak hanya
mengkonsumsi fosfor untuk pembentukan komponen selulernya saja, tetapi juga
mengakumulasi sejumlah besar polifosfat dalam selnya, sehingga fosfor dalam
organisme ini berkisar 57% dari biomassa sel (Khusnuryani, 2008). Beberapa
bakteri yang termasuk dalam golongan PAO adalah Acinetobacter, Pseudomonas,
Aerobacter, Moraxella, E.coli, Mycobacterium dan Beggiatoa (Bitton, 1994).
Berdasarkan hasil isolasi dapat dikoleksi 17 isolat dan diidentifikasi
sebagai Bacillus sp., Bacillus pantothenticus, Bacillus megaterium,
Flacobacterium sp., Flacobacterium breve, Klebsiella aerogenes, dan
Pseudomonas sp. dapat melarutkan P terikat dari P alam dan Ca3(PO4)2 lebih
besar dibandingkan kontrol tanpa inokulasi (Suliasih dkk., 2001).
Mikroba aerob yang hidup pada limbah cair sangat tergantung kepada
kualitas limbah sebagai habitatnya. Untuk menciptakan kondisi habitat, ada
beberapa faktor lingkungan yang harus diperhatikan seperti suhu, pH, DO dan
nutrien.
Suhu merupakan salah satu parameter penting bagi kehidupan organisme
perairan, karena dapat mempengaruhi keseimbangan oksigen terlarut, aktivitas
kimia dan biologi dalam air. Kondisi suhu yang stabil akan menunjang
keseimbangan DO dan kelangsungan aktivitas mikroba dalam air.
Menurut Komarawidjaja (2007), pH untuk proses bioflokulasi yang baik
dibutuhkan kisaran pH 6.5 dan 7.5, dimana proses sporulasi, pertumbuhan
vegetatif, biodegradasi dan bioflokulasi limbah oleh mikroba berjalan secara
optimum.
DO adalah salah satu parameter yang penting untuk proses metabolisme
mikroba aerob. Kebutuhan oksigan mikroba sangat bervariasi tergantung dengan
jenis, stadia dan aktivitasnya. Kelarutan oksigen di dalam air dipengaruhi oleh
faktor lain seperti suhu air, tekanan parsial oksigen diatmosfir dan kandungan
garam yang terlarut. Konsentrasi SS, kekeruhan, DHL dan kesadahan yang tinggi
dapat menyebabkan kelarutan oksigen di dalam limbah menurun. Demikian juga

17
adanya kenaikan suhu air akan menurunkan kelarutan oksigen (Komarawidjaja,
2007).
Faktor terakhir adalah kandungan nutrien, unsur nutrien pada limbah ini
digambarkan oleh konsentrasi BOD dan COD. Jadi, suhu, pH, DO dan BOD
merupakan factor lingkungan yang berpengaruh terhadap peningkatan populasi
mikroba pada kolam lumpur aktif. Faktor lain yang berpengaruh terhadap
perubahan populasi adalah keterbatasan kemampuan mikroba dalam penguraian
bahan organik, sehingga akan membatasi pemasokan unsur hara bagi aktivitas
mikroba dan secara tidak langsung membatasi peningkatan populasi mikroba
dalam sistem tersebut. Padahal sumber nutrien dan unsur hara yang tersedia dalam
limbah terbatas (Komarawidjaja, 2007).

2.4 Metabolisme Mikroba Pengurai Limbah Cair Tekstil


Pemberian oksigen ke dalam limbah cair akan dapat memenuhi kebutuhan
oksigen oleh mikroorganisme pengurai yang ada di dalam limbah cair dan
kebutuhan oksigen untuk oksidasi bahan-bahan kimia yang ada di dalam limbah
cair. Perlakuan aerasi dapat meningkatkan kualitas limbah kearah yang lebih baik.
Proses aerasi yang akan digunakan pada pengolahan limbah yaitu menggunakan
proses pengolahan secara biologi dengan memanfaatkan bakteri aerob. Bakteri
aerob adalah kelompok bakteri yang mutlak memerlukan oksigen bebas untuk
proses metabolismenya. Dengan tersedianya oksigen yang mencukupi selama
proses biologi, maka bakteri-bakteri tersebut dapat bekerja dengan optimal. Hal
ini akan bermanfaat dalam penurunan konsentrasi zat organik di dalam limbah
cair. Selain diperlukan untuk proses metabolisme bakteri aerob, kehadiran oksigen
juga bermanfaat untuk proses oksidasi senyawa-senyawa kimia di dalam limbah
cair serta untuk menghilangkan bau.
Aerasi dapat dilakukan secara alami, maupun difusi. Dengan
menggunakan proses Aerasi Secara Biologi dapat menurunkan COD sampai 90%.
Pengolahan air limbah secara biologi merupakan pengolahan air limbah dengan
memanfaatkan mikroorganisme. Mikroorganisme ini dimanfaatkan untuk

18
menguraikan bahan-bahan organik yang terkandung dalam air limbah menjadi
bahan yang lebih sederhana dan tidak berbahaya.
Dengan adanya oksigen, mikroba aerob akan mengoksidasi senyawa
organik membentuk sel-sel baru dan bentuk yang lebih stabil disamping
menghasilkan CO2, NH3, dan H2O, sedangkan mikroba anaerob dengan tidak
adanya oksigen akan mengoksidasi senyawa organik menjadi sel-sel baru dan
senyawa akhir seperti CH4, CO2, NH3 dan lain-lain.
Secara aerob reaksi metabolismenya sebagai berikut:
Senyawa organik + Mikroba + O2 → CO2, NH3, H2O + sel baru
Sedangkan secara anaerob metabolismenya sebagai berikut:
Senyawa organik + mikroba metanogen → Mikroba sel baru asinogen + Alkohol
+ CH4, H2O, H2S NH3, CO2

Gambar . Penghilangan Bahan Organik Dalam Proses Lumpur Aktif.


(Curds dan Hawkes, 1983 dalam Bitton, 1994)

Kecepatan reaksi mikrobilogis ini dikontrol oleh adanya enzim sebagai


katalis biologis yang dihasilkan oleh mikroba. Enzim mempunyai spesifik yang
tinggi, mengkatalisnya hanya reaksi yang khusus dan dipengaruhi oleh beberapa
faktor lingkungan seperti suhu, pH, dan lain sebagainya (Sirait dkk., 2008).

19
Zat warna buangan industri terdapat dalam bentuk larutan dispersi dan
larutan murni. Zat warna azo adalah senyawa kimia xenobiatik yang mempunyai
ciri-ciri struktur tidak alami dan tidak biasa ditemukan di alam. Karena tidak
ditemukan di alam, maka jarang terjadi reaksi biolagi dan harus dibuat sesuai
dengan lingkungan. Perhatian lingkungan difakuskan pada polusi dan potensi zat
warna yang menghasilkan produk degradasi yang bersifat racun. Zat warna azo
sengaja dibuat dengan kualitas yang baik sehingga sulit dirombak. Umumnya
degradasi zat warna azo mengalami 2 tahap yaitu pertama tahap anaerob dan
kedua tahap aerob.
Browm dan Frowein (1937), menyatakan biadegradasi senyawa azo dapat
terjadi dalam sistem anaerob dan aerob. Tahap pertama biodegradasi adalah
pembelahan kelampak azo (secara ), dimana te~adi penghilangan warna. Tahap
kedua (kondisi aerob), senyawa aromatik ada dapat di degradasi melalui
hydoxylation dan membuka cincin. Tahap ini dilakukan untuk mendekomposisi
lebih lanjut kemungkinan amina aromatik yang bersifat racun dan karsiogenik.

Gambar 15. Biodegradasi zat warna azo dengan proses anaerob dan aerob.
(Sumber: Manurung dkk., 2004)

Proses anaerobik dapat digunakan untuk mendegradasi senyawa aromatik


berantai panjang menjadi senyawa aromatik berantai pendek. Senyawa aromatik
dapat didegradasi lebih lanjut dalam kondisi aerob. Peneliti menunjukkan bahwa
kondisi aerob lebih ditujukan untuk mineralisasi, dengan sedikit atau tidak ada
degradasi senyawa seperti yang terjadi pada kondisi anaerob. Perlakuan aerob
lebih layak untuk mineralisasi produk degradasi.

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik
industri maupun domestik (rumah tangga) yang kehadirannya pada saat dan
tempat tertentu tidak dikehendaki karena tidak memiliki nilai ekonomis. Limbah
cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri.
Kehadiran limbah dapat berdampak negatif bagi lingkungan terutama kesehatan
manusia sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah tersebut.
Limbah cair tekstil pada umumnya diolah secara fisik, kimia dan biologi.
Proses pengolahan limbah dengan metode biologi adalah metode yang
memanfaatkan mikroorganisme sebagai katalis untuk menguraikan material yang
terkandung di dalam air limbah. Mikroorganisme sendiri selain menguraikan dan
menghilangkan kandungan material, juga menjadikan material yang terurai tadi
sebagai tempat perkembangbiakan. Metode pengolahan lumpur aktif (activated
sludge) merupakan proses pengolahan air limbah yang memanfaatkan proses
mikroorganisme tersebut.
Salah satu biota yang berperan dalam sistem pengolahan limbah dengan
sistem lumpur aktif adalah bakteri. Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme
yang mampu melakukan metabolisme bahan organik sehingga merupakan bagian
terpenting dalam pengolahan air limbah. Bakteri akan menyintesis unsur-unsur
organik yang terlarut dalam air.
Dengan adanya oksigen, mikroba aerob akan mengoksidasi senyawa
organik membentuk sel-sel baru dan bentuk yang lebih stabil disamping
menghasilkan CO2, NH3, dan H2O, sedangkan mikroba anaerob dengan tidak
adanya oksigen akan mengoksidasi senyawa organik menjadi sel-sel baru dan
senyawa akhir seperti CH4, CO2, NH3 dan lain-lain.
Secara aerob reaksi metabolismenya sebagai berikut:
Senyawa organik + Mikroba + O2 → CO2, NH3, H2O + sel baru

21
Sedangkan secara anaerob metabolismenya sebagai berikut:
Senyawa organik + mikroba metanogen → Mikroba sel baru asinogen + Alkohol
+ CH4, H2O, H2S NH3, CO2

3.2 Saran
Dalam proses pembuatan makalah ini saya selaku penyusun mendapatkan
banyak pengetahuan baru yang sangat berharga mengenai penerapan ilmu
mikrobiologi, khususnya pada pengolahan limbah (bioremediasi). Untuk itu, saya
menyarankan kepada pembaca sekalian, khususnya mahasiswa biologi yang
tertarik untuk memperdalam ilmunya pada bidang mikrobiologi, untuk
mempelajari berbagai aplikasi ilmu ini, karena dengan mempelajari hal-hal
tersebut kita bukan hanya mahir berteori namun juga bisa mengaplikasikan ilmu
yang kita miliki di kehidupan sehari-hari untuk membantu menyelesaikan
berbagai permasalahan yang ada di sekitar kita.

22
DAFTAR PUSTAKA

Bitton, G. 1994. Wastewater Microbiology. New York: Willey-Liss.

Browm, Frowein, dikutip dari Zaoyan, Y., Ke, S., Guangliang, S., Fan, Jinshan,
D. dan Haunian, M. 1992. Anaerobic-aerobic Treatment of a Dye Wstewater
by Combination of RBC with Activated Sludge. Wat. Sci. Tech. Vol. 26: 9-
11.

Budi, S. S. 2006. Penurunan Fosfat Dengan Penambahan Kapur (Lime), Tawas


Dan Filtrasi Zeolit Pada Limbah Cair (Studi Kasus Rs Bethesda Yogyakarta).

Carawan, R. E. 1979. Spinoff on Wastewater Treatment of Food Processing


Effluents. Extensionspecial report No. AM-18J.

Christina, M. Mu’Nisatun. Saptaaji, R dan Marjanto, D. 2007. Studi Pendahuluan


Mengenai Degradasi Zat Warna Azo (Metil Orange) dalam Pelarut Air
Menggunakan Mesin Berkas Elektron 350 keV/10 mA. JFN. Vol. 1: 1.
Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir BATAN, Yogyakarta.

Dwipayana dan Ariesyady, H D. 2010. Identifikasi Keberagaman Bakteri pada


Lumpur Hasil Pengolahan Limbah Cat dengan Teknik Konvensional. Jurnal
Teknik Lingkungan. ITB. Bandung.

Haydar, S. J., A. Aziz dan M. S. Ahmad. 2007. Biological Treatment of Tannery


Wastewater Using Activated Sludge Process. Associate Professor, Institute of
Environment Engineering and Research, UET Lahore.

Herlambang, A dan Wahjono, H D. 1999. Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil


dengan Sistem Lumpur Aktif. Kelompok Teknologi Pengolahan Air Bersih
dan Limbah Cair. Jakarta: Direktorat Teknologi Lingkungan, Deputi Bidang
Teknologi Informasi, Energi, Material dan Lingkungan Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi.

Kasmidjo, H.A. 1991. Pemanfaatan Limbah Pertanian, Perkebunan, dan Industri


Pangan. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM.

23
Khusnuryani, A. 2008. Mikrobia sebagai Agen Penurun Fosfat pada Pengolahan
Limbah Cair Rumah Sakit. Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi
IST AKPRIND Yogyakarta. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Komarawidjaja, W. 2007. Peran Mikroba Aerob dalam Pengolahan Limbah Cair


Tekstil. Jurnal Teknik Lingkungan. Vol. 8 (3): 223-228.

Lachhwani, P. 2005. Study on Polymeric Bioflocculant Producing


Microorganisms. Patalia: Dept. of Biotech and Environment. Sci. Thapar
Institute of Engineering & Technology, Deemed University.

Laksono, S. 2012. Pengolahan Biologis Limbah Batik dengan Media Biofilter.


Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia.

Lawrence, J.R., Thomas R. Neu, dan Kevin C. Marshall. 2002. Colonization,


Adhesion, Aggregation, and Biofilm, dalam Christon J Hurs, Manual of
Environmental Microbiology. Washington DC: ASM Press.

Manurung, R., Hasibuan, R dan Irvan. 2004. Perombakan Zat Warna Azo Reaktif
Secara Anaerob – Aerob. Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia Universitas
Sumatera Utara.

Megasari, R. Biyatmoko, D. Ilham, W dan Hadie, J. 2012. Identifikasi Keragaman


Jenis Bakteri pada Proses Pengolahan Limbah Cair Industri Minuman dengan
Lumpur Aktif Limbah Tahu. Enviro Scientae. Vol. 8: 89.

Meitiniarti, V. I., dan Krave, A. S. 2011. Isolasi dan Identifikasi Bakteri


Pendegradasi Pewarna Tekstil. Makalah Semnas. Keanekaragaman Hayati
dan Layanan Ekosistem. Universitas Padjajaran. Bandung.

Muzamil, M. 2010. Dampak Limbah Cair Pabrik Tekstil PT Kenari terhadap


Kualitas Air Sungai Winong sebagai Irigasi Pertanian di Desa Purwosuman
Kecamatan Sidoharjo Kabupaten Sragen. Skripsi. Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

24
Nemerow, N. L., 1978. Industrial Water Pollution, Origins, Characteristics, and
Treatment. Sydney: Addison-Wesley Publishing Coy.

Rambe, A.M. 2009. Pemanfaatan Biji Kelor Moringa Oleifera sebagai Koagulan
Alternatif dalam Proses Penjernihan Limbah Cair Industri Tekstil. Skripsi.
Universitas Sumatera Utara.

Selvam, K., Swaminathan, dan Chae, K. C. 2003. Decolourization of Azo Dyes


and A Dye Industry Effluent by A White Rot Fungus (Thelephora sp).
Bioresource Technology. Vol. 88.

Sirait, R. F., Simamora, S. M. S., dan Damanik, S.P. D. 2008. Mekanisme


Penguraian Limbah Cair Organik Secara Aerob. Departemen Teknik Kimia,
Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

Smith, B. 1988. A Workbook For Pollution Prevention by Source Reduction in


Textile Wet Processing. Polllution Prevention Pays Program of the North
Carolina Dibision of Enviromental Management.

Sulaeman, D. 2009. Pengelolaan Limbah Agroindustri. Makalah disampaikan


pada acara penyusunan “Pedoman Desain Teknik IPAL Agroindustri” di
Bogor, Mei 2009.

Suliasih, A. Sugiharto, H. J. D., Latupapua, dan S. Widawati. 2001. Kemampuan


Melarutkan P terikat oleh Bakteri Pelarut Fosfat Asal Wamena, Irian Jaya.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. Jakarta :


Gramedia.

Tejokusumo, B. 2007. Limbah Cair Industri serta Dampaknya terhadap Kualitas


Air Tanah Dangkal Di Desa Gumpang Kecamatan Kartasura. Skripsi.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.

25
Utami, L. I., Wihandhita, W., Marsela, S., dan Wahyusi, K. N. 2017. Pengolahan
Limbah Cair Minyak Bumi Secara Biologi Aerob Proses Batch. Jurnal Teknik
Kimia. Vol. 11 (2): 38.

Widjajanti, E., Regina T. P., dan Utomo, M. P. 2011. Pola Adsopsi Zeolit
Terhadap Pewarna Azo Metil Merah dan Metil Jingga. Prosiding Seminar
Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. Fakultas MIPA
Universitas Negeri Yogyakarta.

26

Anda mungkin juga menyukai