oleh :
Nisrina Khairun Nisa NIM (1177020062)
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Kuasa, yang telah memberikan
anugerah, kesempatan dan pemikiran kepada saya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah berjudul “Aplikasi Ilmu Genetika di Bidang Forensik” ini
tepat pada waktunya. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahlimpahkan
kepada Nabi Muhammad saw.
Dalam penyusunan makalah ini, saya banyak mendapat tantangan dan
hambatan, akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa
teratasi. Oleh karenanya, saya ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Semoga amal baik semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan makalah ini mendapatkan balasan yang berlipat
ganda dari Allah Swt.
Saya menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah
ini, sehingga saya senantiasa terbuka untuk menerima saran dan kritik demi
penyempurnaan makalah berikutnya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Genetika bisa sebagai ilmu pengetahuan murni, bisa pula sebagai ilmu
pengetahuan terapan. Sebagai ilmu pengetahuan murni ia harus ditunjang oleh
ilmu pengetahuan dasar lain seperti kimia, fisika dan matematika juga ilmu
pengetahuan dasar dalam bidang biologi sendiri seperti bioseluler, histologi,
biokimia, fisiologi, anatomi, embriologi, taksonomi dan efolusi. Sebagai ilmu
pengetahuan terapan ia menunjang banyak bidang kegiatan ilmiah dan pelayanan
kebutuhan masyarakat, salah satunya pada bidang forensik.
1
Dalam proses penyidikan suatu tindak pidana, mengetahui identitas korban
merupakan hal yang sangat penting. Dengan mengetahui identitas korban
merupakan sebagai langkah awal penyidikan sehingga dapat dilakukan langkah-
langkah selanjutnya. Apabila identitas korban tidak dapat diketahui, maka
sebenarnya penyidikan menjadi tidak mungkin dilakukan. Selanjutnya apabila
penyidikan tidak sampai menemukan identitasnya identitas korban, maka dapat
dihindari adanya kekeliruan dalam proses peradilan yang dapat berakibat fatal.
Selain itu mengetaui identitas korban untuk berbagai kehidupan sosial misalnya
asuransi, pembagian dan penentuan ahli waris, akte kelahiran, pernikahan
dansebagainya keterangan identitas mempunyai arti penting pula, yaitu untuk
mengetahui bahwa keterangan itu benar-benar keterangan yang dimaksud untuk
memperoleh yang menjadi haknya maupun untuk memenuhi kewajibannya.
2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan genetika?
2. Apa yang dimaksud dengan forensik?
3. Bagaimana penerapan ilmu genetika di bidang forensik?
4. Bagaimana metode analisis DNA dalam bidang forensik?
5. Apa saja cabang-cabang genetika forensik?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan genetika.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan forensik.
3. Untuk mengetahui penerapan ilmu genetika di bidang forensik.
4. Untuk mengetahui metode analisis DNA dalam bidang forensik.
5. Untuk mengetahui cabang-cabang genetika forensik.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Genetika
Genetika (kata serapan dari bahasa Belanda: genetica, adaptasi dari bahasa
Inggris: genetics, dibentuk dari kata bahasa Yunani: genno yang berarti
"melahirkan") adalah cabang biologi yang mempelajari pewarisan sifat pada
organisme maupun suborganisme (seperti virus dan prion). Secara singkat dapat
juga dikatakan bahwa genetika adalah ilmu tentang gen dan segala aspeknya
(Wikipedia, 2017).
Genetika merupakan salah satu bidang ilmu yang sejak dahulu kala sudah
menarik perhatian semua manusia. Tanpa menyadari dan tanpa mengenal hukum-
hukumnya, manusia ratusan tahun yang lalu sebenarnya sudah lama
mempraktikan ilmu ini terhadap hewan dan tumbuhan di lingkunganya demi
kepentingannya. Jauh sebelum mendel merumuskan hukum-hukumnya, para
orang tua pun sudah tidak merestui perkawinan antar sanak sodara yang dekat
hubungan keluarganya. Begitupun sebelum memungut atau bahasa baiknya
sebelum memilih menantunya, orang tua menyelidiki dulu apakah si calon
memilki nenek moyang yang cacat mental dan fisik atau tidak. Hal itu di lakukan
berdasarkan atas pengalaman dan pengamatan dari generasi ke generasi
sesudahnya secara turun temurun.
Genetika adalah ilmu yang mempelajari sifat-sifat keturunan (hereditas)
serta segala seluk beluknya secara ilmiah. Genetika disebut juga ilmu keturunan,
ilmu ini mempelajari berbagai aspek yang menyangkut pewarisan sifat,
bagaimana sifat keturunan itu diturunkan dari generasi kegenerasi serta variasi-
variasi yang mungkin timbul di dalamnya atau yang menyertainya. Pewarisan sifat
tersebut dapat terjadi melalui proses seksual. Hal yang di tekankan dalam ilmu
genetika antara lain material pembawa informasi untuk diwariskan (bahan
genetik), bagaimana informasi itu diekspresikan (ekspresi genetik) dan bagaimana
4
informasi itu dipindahkan dari satu individu ke individu yang lain (pewarisan
genetik).
Genetika bisa sebagai ilmu pengetahuan murni, bisa pula sebagai ilmu
pengetahuan terapan. Sebagai ilmu pengetahuan murni ia harus ditunjang oleh
ilmu pengetahuan dasar lain seperti kimia, fisika dan matematika juga ilmu
pengetahuan dasar dalam bidang biologi sendiri seperti bioseluler, histologi,
biokimia, fisiologi, anatomi, embriologi, taksonomi dan efolusi. Sebagai ilmu
pengetahuan terapan ia menunjang banyak bidang kegiatan ilmiah dan pelayanan
kebutuhan masyarakat.
2.2 Forensik
5
mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-lengkapnya tentang
suatu perbuatan ataupun tindak pidana yang telah terjadi (Owen, 2000).
6
memberikan bukti yang nyata akan adanya suatu tindak pidana yang berhubungan
dengan tubuh manusia melalui visum et repertum (Guyton & Hall, 2007).
7
PCR meningkatkan sensitifitas analisis DNA ketingkat profil DNA bisa
didapatkan dari sejumlah kecil sel. PCR juga ikut mengurangi waktu yang
dibutuhkan untuk memproduksi profil, dan bisa digunakan pada DNA yang telah
terdegradasi, serta memungkinkan untuk menganalisis beberapa polimorfisme
pada genom (Goodwin et al., 2007).
Seiring dengan pesatnya perkembangan bidang ilmu biologi molekuler
(imunologi dan genetik) belakangan ini, pemanfaatan bidang ilmu ini dalam
proses peradilan meningkat dengan sangat pesat. Sejak awal perkembangannya
pemanfaatan serologi/biologi molekuler dalam bidang forensik lebih banyak
untuk keperluan identifikasi personal baik pelaku atau korban. Sistem
penggolongan darah (sistem ABO) pertama kali dikembangkan untuk keperluan
penyidikan (asal dan sumber bercak darah pada tempat kejadian). Belakangan
dengan pesatnya perkembangan ilmu genetika (analisis DNA) telah membuktikan,
bahwa setiap invidu memiliki kekhasan sidik DNA, sehingga kedepan sidik DNA
dapat digunakan untuk menggantikan peran sidik jari, pada kasus dimana sidik
jari sudah tidak bisa diperoleh. Dilain hal, analisa DNA sangat diperlukan pada
penyidikan kasus pembunuhan mutilasi, penelusuran paternitas. Analisa
serologi/biologi molekuler dalam bidang forensik bertujuan untuk, uji darah untuk
menentukan sumbernya (darah manusia atau hewan, atau warna dari getah
tumbuhan, darah pelaku atau korban, atau orang yang tidak terlibat dalam tindak
kejahatan tersebut), uji cairan tubuh lainnya (seperti : air liur, semen vagina atau
sperma, rambut, potongan kulit) untuk menetukan sumbernya, uji imonologi atau
DNA individu untuk mencari identitas seseorang.
Selama 20 tahun terakhir perkembangan dan penerapan genetika telah
merevolusi ilmu forensik. Pada tahun 1984, analisis daerah polimorfik DNA
menghasilkan apa disebut 'sidik jari DNA. Tahun berikutnya, atas permintaan
United Kingdom Home Office, pembuatan profil DNA berhasil diterapkan pada
kasus nyata, ketika digunakan untuk menyelesaikan perselisihan imigrasi.
Setelah itu, pada tahun 1986, DNA Bukti digunakan untuk pertama
kalinya dalam kasus pidana dan mengidentifikasi Colin Pitchfork sebagai
pembunuh dua gadis sekolah di Leicestershire, Inggris. Dia divonis pada bulan
8
Januari 1988. Penggunaan genetika dengan cepat diadopsi oleh komunitas
forensik dan memiliki sebuah peran penting di seluruh dunia dalam penyelidikan
tindak kriminal. Baik lingkup dan skala DNA analisis dalam ilmu forensik akan
terus berkembang di masa yang akan datang.
Pekerjaan ahli genetika forensik akan sangat bervariasi tergantung pada
laboratorium dan negara tempat mereka bekerja, dan bisa melibatkan analisis
materi yang dipulihkan adegan kejahatan, uji coba ayah dan identifikasi jenazah
manusia. Dalam beberapa kasus, bahkan dapat digunakan untuk analisis DNA dari
tumbuhan, hewan dan mikroorganisme. Laboratorium forensik akan menerima
materi yang telah ditemukan dari scene kejahatan, dan contoh referensi dari kedua
tersangka dan korban. Peran forensik Genetika dalam proses investigasi adalah
membandingkan sampel yang ditemukan dari kejahatan adegan dengan tersangka,
menghasilkan sebuah laporan yang bisa dipresentasikan di pengadilan atau
intelijen yang mungkin menginformasikan penyelidikan (Gambar 1).
Di beberapa organisasi satu orang akan bertanggung jawab untuk
mengumpulkan bukti, analisis genetik dan biologi sampel, dan akhirnya
mempresentasikan hasilnya ke pengadilan hukum Namun, tren di banyak
organisasi besar adalah untuk individu.
9
Gambar 1. Pengenalan Genetika Forensik
Peran ahli forensik genetika adalah untuk memastikan apakah sampel dari
TKP sama dengan tersangka. Sampel referensi yang diberikan dari tersangka dan
juga korban tindak kejahatan. Bertanggung jawab hanya untuk tugas yang sangat
spesifik dalam prosesnya, seperti ekstraksi DNA dari bahan bukti atau analisis dan
interpretasi profil DNA yang telah dihasilkan oleh ilmuwan lain.
10
terbatas pada banyak kasus forensik dengan jumlah biologis bahan yang
dibutuhkan untuk memberikan hasil yang sangat diskriminatif. Protein
juga rentan terhadap degradasi pada paparan terhadap lingkungan.
Pada tahun 1960-an dan 1970-an, perkembangan biologi
molekuler, termasuk pembatasan enzim, Sanger sequencing dan Southern
blotting, memungkinkan para ilmuwan untuk memeriksa urutan DNA.
Pada tahun 1978, polimorfisme DNA dapat dideteksi dengan
menggunakan Southern Blotting dan pada tahun 1980 analisis polimorfik
pertamalokus dilaporkan. Baru pada bulan September 1984 Alec Jeffreys
menyadari aplikasi forensik potensi bilangan bulat mengulangi tandem
(VNTR) lokus yang pernah dia pelajari. Teknik yang dikembangkan oleh
Jeffreys.
Proses yang terlibat dalam menghasilkan profil DNA setelah
melakukan kejahatan. Beberapa jenis bahan, khususnya darah dan air
mani, sering ditandai sebelum DNA diekstrak. Ekstaksi DNA dan
dipotong dengan enzim restriksi, sebelum melakukan gel agarose
elektroforesis, Southern blotting dan probe hybridization untuk mendeteksi
polimorfiklokus. Hasil akhirnya adalah rangkaian pita hitam pada film
sinar-X. VNTR Analisis adalah alat yang ampuh namun mengalami
beberapa keterbatasan: relatif besar jumlah DNA yang dibutuhkan, tidak
akan bekerja dengan DNA terdegradasi, perbandingan antara laboratorium
sulit, dan analisisnya memakan waktu lama.
Perkembangan kritis dalam sejarah genetika forensik datang
dengan munculnya proses yang dapat memperkuat daerah spesifik dari
DNA-polymerase chain reaction (PCR). Proses PCR dikonseptualisasikan
pada tahun 1983 oleh Kary Mullis, seorang ahli kimia.
Analisis VNTR menggunakan lokus probe tunggal: tangga
dijalankan bersama sampel yang diuji yang memungkinkan ukuran
fragmen DNA yang akan di estimasi. Sebuah sampel kontrol K562
dianalisis bersama dengan sampel yang diuji. Bekerja untuk Cetus
Corporation di Amerika Serika. Suatu pengembangan efek mendalam pada
11
semua aspek biologi molekuler termasuk genetika forensik, dan pengakuan
tentang pentingnya pengembangan PCR, Kary Mullis dianugerahi Hadiah
Nobel Kimia pada tahun 1993. PCR meningkatkan sensitivitas analisis
DNA ke titik di manaprofil DNA dapat dihasilkan dari hanya beberapa sel,
mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan profil, bisa
digunakan dengan DNA yang rusak dan memungkinkan hampir semua
polimorfisme dalam genom untuk dianalisis.
Aplikasi pertama dari PCR dalam kasus forensik melibatkan
analisis polimorfisme nukleotida tunggal dalam lokus DQA. Ini segera
diikuti oleh analisis mengulangi tandem pendek (STR) yang saat ini
merupakan penanda genetik yang paling umum digunakan dalam ilmu
forensik. Pesatnya perkembangan teknologi untuk menganalisis DNA
termasuk kemajuan dalam ekstraksi DNA dan metodologi kuantifikasi,
pengembangan komersial mengetik kotak dan peralatan berdasarkan PCR
untuk mendeteksi polimorfisme DNA.
Selain kemajuan teknis, bagian penting lain dari pengembangan
profiling DNA yang berdampak pada seluruh bidang ilmu forensik adalah
kontrol kualitas. Diterimanya bukti DNA serius ditantang di Amerika
Serikat pada tahun 1987 'People v Castro’; kasus ini dan kasus-kasus
berikutnya telah mengakibatkan peningkatan tingkat standarisasi dan
kontrol kualitas dalam genetika forensik dan daerah lain ilmu forensik.
Akibatnya, akreditasi baik laboratorium dan individu merupakan isu yang
semakin penting dalam ilmu forensik. Kombinasi kemajuan teknis, tingkat
tinggi standardisasi dan kontrol kualitas telah menyebabkan analisis DNA
forensik diakui sebagai alat forensik kuat dan dapat diandalkan di seluruh
dunia.
12
persidangan di berbagai belahan dunia semakin memperkokoh peranan
analisis DNA dalam sistem peradilan (Idries, 2009).
Peranan tes DNA dalam proses penegakan hukum menurut Idries
(2009) dapat dilihat dari pemanfaatan teknologi tes DNA tersebut untuk :
1. Identifikasi Personal
Identifikasi personal dilakukan pada kasus penemuan korban
tidak dikenal, seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, bencana
massal, kecelakaan pesawat terbang, dan lain sebagainya.
13
mengetahui dengan jelas penyebabnya. Penelitian lebih lanjut oleh Avery,
MacLeod, dan McCarthy pada tahun 1944 menunjukkan bahwa
perbedaan ekspresi sifat tersebut karena struktur seperti tangga, terdiri dari
dua pita yang berlawanan arah, yang akhirnya dikenal dengan DNA.
Penemuan struktur DNA oleh James Watson dan Francis Crick pada tahun
1953 merupakan temuan penting dalam perkembangan genetika di dunia.
Model struktur DNA hasil analisis Watson dan Crick mampu menjelaskan
bagaimana DNA membawa informasi genetis sebagai cetak biru
(blueprint) yang dapat dicopy dan diperbanyak saat sel membelah
sehingga sel-sel baru juga mengandung informasi genetis yang sama.
Inilah mengapa sifat dan ciri fisik seseorang berasal dari pewarisan orang
tua dan nantinya akan diturunkan ke anak cucunya.
Terjadinya pewarisan sifat dari kedua orang tua, ayah dan ibu ke
anak turunannya adalah akibat terjadinya peleburan kromosom dari sel
sperma dan sel telur. Masing-masing sel kelamin memiliki 22 autosom dan
satu gonosom yaitu X atau Y. Peleburan dua set sel kelamin sekaligus
menyatukan kromosom pada sel sperma dan sel telur. Sel telur yang telah
dibuahi, bakal calon anak atau zigot, mengandung dua set gen dalam
kromosom dengan demikian untuk setiap pasangan kromosom yang
bersesuaian, kita mewarisi satu kromosom dari ayah dan satu kromosom
dari ibu. Ini menjelaskan mengapa ada sifat dan karakter tubuh kita yang
mirip ayah dan di sisi lain ada sifat dan karakter tubuh kita yang mirip ibu
(Griffiths et al., 1996).
Sepanjang pita DNA berisi struktur yang terdiri dari gula pentosa
(deoksiribosa), gugus fosfat dan basa nitrogen, bersusun membentuk rantai
panjang dan berpasangan secara teratur seperti terlihat pada gambar 2.
14
Gambar 2. DNA (Sumber: Gipeng, 2016)
15
kejadian perkara (TKP) segera ditutup dengan pita kuning police line
untuk mencegah pencemaran bukti-bukti penting. Ahli forensik harus
bergegas ke tempat kejadian sebelum bukti penting yang mungkin
membantu mengungkap kejadian hilang/dirusak. Barang bukti forensic
yang ditemukan harus diambil sampelnya untuk diperiksa di laboratorium
demi mendapatkan data pelengkap dan pendukung. Salah satu
pemeriksaan yang penting dan hasilnya bisa didapat dengan cepat adalah
tes sidik DNA. Tes sidik DNA dalam kasus Pita DNA terdiri dari gula
pentose dan fosfat Nukleotida yang saling berpasangan forensik utamanya
dilakukan untuk tujuan identifikasi korban walaupun sekarang tes sidik
DNA juga bisa dilakukan untuk melacak pelaku kejahatan.
Pelacakan identitas forensik akan dilakukan dengan mencocokkan
antara DNA korban dengan terduga keluarga korban. Hampir semua
sampel biologis tubuh dapat digunakan untuk sampel tes siik DNA, tetapi
yang sering digunakan adalah darah, rambut, usapan mulut pada pipi
bagian dalam (buccal swab), dan kuku. Untuk kasus kasus forensik,
sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis apa saja yang
ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan sampel tes
sidik DNA (Lutfig & Richey, 2000).
16
detektif dan laboratorium kepolisian sejak tahun 1930 (Pertiwi & Yulianti,
2011).
Pada tahun 1980, Alec Jeffreys dengan teknologi DNA berhasil
mendemonstrasikan bahwa DNA memiliki bagian-bagian pengulangan
(sekuen) yang bervariasi. Hal ini dinamakan polimorfisme, yang dapat
digunakan sebagai sarana identifikasi spesifik (individual) dari seseorang.
Perbedaan sidik DNA setiap orang atau individu layaknya sidik jari, sidik
DNA ini juga bisa dibaca. Tidak seperti sidik jari pada ujung jari
seseorang yang dapat diubah dengan operasi, sidik DNA tidak dapat
dirubah oleh siapapun dan dengan alat apapun. Bahkan, sidik DNA
mempunyai kesamaan pada setiap sel, jaringan dan organ pada setiap
individu. Oleh karena itu sidik DNA menjadi suatu metode identifikasi
yang sangat akurat (Lutfig & Richey, 2000).
Hanya sekitar 3 juta basa DNA yang berbeda antara satu orang
dengan orang lain. Para ahli menggunakan daerah yang berbeda ini untuk
menghasilkan profil DNA dari seseorang individu, menggunakan sampel
dari darah, tulang, rambut atau jaringan tubuh yang lain. Pada kasus
kriminal, biasanya melibatkan sampel dari barang bukti dan tersangka,
mengekstrak DNAnya, dan menganalisanya untuk melihat suatu daerah
khusus pada DNA (marker). Para ilmuwan telah menemukan marker di
dalam sampel DNA dengan mendesain sepotong kecil DNA (probe) yang
masing-masing akan mencari dan berikatan dengan sekuen DNA
pasangan/komplementernya pada sampel DNA. Satu seri probe akan
berikatan dengan DNA sampel dan menghasilkan pola yang berbeda
antara satu individu dengan individu yang lain. Para ahli forensik
membandingkan profil DNA ini untuk menentukan apakah sampel dari
tersangka cocok dengan sampel pada bukti. Marker sendiri biasanya tidak
bersifat khusus untuk setiap individu, jika dua sampel DNA mirip pada
empat atau lima daerah, sampel tersebut mungkin berasal dari individu
yang sama. jika profil sampel tidak sama, berarti seseorang tersebut bukan
17
pemilik DNA yang ditemukan pada lokasi kriminalitas. Jika pola yang
ditemukan sama, tersangka tersebut kemungkinan memiliki DNA pada
sampel bukti (Marks et al., 1996).
DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah DNA mitokondria
dan DNA inti sel. DNA yang paling akurat untuk tes adalah DNA inti sel
karena inti sel tidak bisa berubah sedangkan DNA dalam mitokondria
dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu, yang dapat berubah
seiring dengan perkawinan keturunannya. Kasus-kasus kriminal,
penggunaan kedua tes DNA di atas, bergantung pada barang bukti apa
yang ditemukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Seperti jika
ditemukan puntung rokok, maka yang diperiksa adalah DNA inti sel yang
terdapat dalam epitel bibir karena ketika rokok dihisap dalam mulut, epitel
dalam bibir ada yang tertinggal di puntung rokok. Epitel ini masih
menggandung unsur DNA yang dapat dilacak. Misalnya dalam kasus
korban ledakan bom, serpihan tubuh para korban yang sulit dikenali
diambil sekuens genetikanya. Bentuk sidik DNA berupa garis-garis yang
mirip seperti bar-code di kemasan makanan atau minuman.
Membandingkan kode garis-garis DNA, antara 30 sampai 100 sekuens
rantai kode genetika, dengan DNA anggota keluarga terdekatnya, biasanya
ayah atau saudara kandungnya, maka identifikasi korban forensik atau
kecelakaan yang hancur masih dapat dilacak. Untuk kasus pemerkosaan
diperiksa spermanya tetapi yang lebih utama adalah kepala
spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel di dalamnya. Jika di TKP
ditemukan satu helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal ada
akarnya. Namun untuk DNA mitokondria tidak harus ada akar, cukup
potongan rambut karena diketahui bahwa pada ujung rambut terdapat
DNA mitokondria sedangkan akar rambut terdapat DNA inti sel (Lutfig &
Richey, 2000).
Teknologi DNA memiliki keunggulan mencolok dalam hal potensi
diskriminasinya dan sensitifitasnya maka tes sidik DNA menjadi pilihan
dalam penyelidikan kasus-kasus forensik dibanding teknologi
18
konvensional seperti serologi dan elektroforesis. Kedua tes ini hanya
mampu menganalisis perbedaan ekspresi protein dan membutuhkan
sampel dengan jumlah relatif besar. Tes sidik DNA sebaliknya hanya
membutuhkan sampel yang relatif sedikit. Metode Southern Blots
misalnya sudah mampu menedeteksi loki polimorfisme dengan materi
DNA sekecil 60 nanogram, sedangkan metode Polymerase Chain Reaction
(PCR) hanya memerlukan DNA sejumlah beberapa nanogram saja. Pada
kasus kriminal dengan jumlah sampel barang bukti yang diambil di TKP
sangat kecil dan kemungkinan mengalami degradasi maka metode yang
cocok dan sensitif adalah PCR (Marks et al., 1996).
19
akhirnya muncullah pita-pita yang unik untuk setiap individu (Marks et al.,
1996).
Keberhasilan metode ini sangat tergantung pada isolasi sejumlah
DNA tanpa terdegradasi. Pada persidangan kasus kriminal, hal ini bisa
menjadi suatu masalah jika jumlah DNA sangat sedikit dan kualitasnya
rendah. Ini terlihat dari hasil pita-pita sidik DNA yang tidak tajam. Jumlah
pita sidik DNA yang dapat dianalisis sangat penting karena jika jumlah
pitanya berkurang akibat terdegradasi secara statistik menurunkan taraf
kepercayaan. Semakin banyak pita yang cocok akan semakin meyakinkan.
Oleh karena itu pada kasus ini dapat digunakan teknik sidik DNA dengan
memperkuat (mengamplifikasi) daerah spesifik pada DNA yang disebut
mikrosatelit dengan satuan pengulangan yang dinamakan Simple Tandem
Repeat (STR). Analisis dengan PCR pada daerah STR tersebut dapat
mengatasi masalah tersebut. Teknik ini dapat menghasilkan data dalam
waktu singkat dan sangat cocok untuk otomatisasi (Hartati & Maksum,
2004).
20
Kesederhanaan dan tingginya tingkat kesuksesan amplifikasi sekuens
DNA yang diperoleh menyebabkan teknik ini semakin luas
penggunaannya (Parrangan et al., 2014).
Polymerase chain reaction (PCR) digunakan untuk membuat jutaan
coppy DNA dari sampel biologis. Amplifikasi DNA dengan menggunakan
PCR menyebabkan analisis DNA pada sampel biologis hanya
membutuhkan sedikit sampel dan dapat diperoleh dari sampel yang halus
seperti rambut. Kemampuan PCR untuk mengamplifikasi sejumlah kecil
DNA memungkinkan untuk menganalisa sampel yang sudah terdegradasi
sekalipun. Namun, tetap saja harus dicegah kontaminasi dengan materi
biologis yang lain selama melakukan identifikasi, koleksi dan menyiapkan
sampelnya (Marks et al., 1996).
Tes DNA dilakukan dengan cara mengambil DNA dari kromosom
sel tubuh (autosom) yang mengandung area STR (short tandem repeats),
suatu area ini tidak memberi kode untuk melakukan sesuatu. STR inilah
yang bersifat unik karena berbeda pada setiap orang. Perbedaannya
terletak pada urutan pasang basa yang dihasilkan dan urutan pengulangan
STR. Pola STR ini diwariskan dari orang tua.Aplikasi teknik ini misalnya
pada tes DNA untuk paternalitas (pembuktian anak kandung) yaitu tes
DNA untuk membuktikan apakah seorang anak benar-benar adalah anak
kandung dari sepasang suami dan istri. Cara memeriksa tes DNA
dilakukan dengan cara mengambil STR dari anak. Selanjutnya, di
laboratorium akan dianalisa urutan untaian STR ini apakah urutannya
sama dengan seseorang yang dijadikan pola dari seorang anak. Urutan
tidak hanya satu-satunya karena pemeriksaan dilanjutkan dengan melihat
nomor kromosom. Misalnya, hasil pemeriksaan seorang anak ditemukan
bahwa pada kromosom nomor 3 memiliki urutan kode AGACT dengan
pengulangan 2 kali. Bila ayah atau ibu yang mengaku orang tua
kandungnya juga memiliki pengulangan sama pada nomor kromosom
yang sama, maka dapat disimpulkan antara 2 orang itu memiliki hubungan
keluarga. Seseorang dapat dikatakan memiliki hubungan darah jika
21
memiliki urutan dan pengulangan setidaknya pada 16 STR yang sama
dengan kelurga kandungnya, maka kedua orang yang dicek memiliki
ikatan saudara kandung atau hubungan darah yang dekat. Jumlah ini cukup
kecil dibandingkan dengan keseluruhan ikatan spiral DNA dalam tubuh
kita yang berjumlah miliaran. Sementara itu, Federal Bureau of
Investigation (FBI) menggunakan satu set dari 13 daerah STR khusus
untuk CODIS. CODIS merupakan program software yang mengoperasikan
database dari profil DNA local, daerah dan nasional dari tersangka, bukti
tindak kriminalitas yang belum selesai kasusnya dan orang hilang.
Kemungkinan bahwa dua individu mempunyai 13 loci yang sama pada
profil DNAnya adalah sangat jarang (Hartati & Maksum, 2004).
22
investigasi orang hilang atau temuan kerangka yang sudah berusia puluhan
tahun (Lutfig & Richey, 2000).
DNA mitokondria sangat baik untuk digunakan sebagai alat untuk
analisis DNA, karena mempunyai 3 sifat penting, yaitu DNA ini
mempunyai copy number yang tinggi sekitar 1000-10.000 dan berada di
dalam sel yang tidak mempunyai inti seperti sel darah merah atau eritrosit.
DNA mitokondria dapat digunakan untuk analisa meskipun jumlah sampel
yang ditemukan terbatas, mudah terdegradasi dan pada kondisi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukan analisa terhadap DNA inti. Kedua, DNA
mitokondria manusia diturunkan secara maternal, sehingga setiap individu
pada garis keturunan ibu yang sama memiliki tipe DNA mitokondria yang
identik. Karakteristik DNA mitokondria ini dapat digunakan untuk
penyelidikan kasus orang hilang atau menentukan identitas seseorang
dengan membandingkan DNA mitokondria korban terhadap DNA
mitokondria saudaranya yang segaris keturunan ibu. Ketiga, DNA
mitokondria mempunyai laju polimorfisme yang tinggi dengan laju
evolusinya sekitar 5-10 kali lebih cepat dari DNA inti. D-loop merupakan
daerah yang mempunyai tingkat polimorfisme tertinggi dalam DNA
mitokondria dimana terdapat dua daerah hipervariabel dengan tingkat
variasi terbesar antara individu-individu yang tidak mempunyai hubungan
kekerabatan. Karena itu, dalam penentuan identitas seseorang atau studi
forensik dapat dilakukan hanya dengan menggunakan daerah D-loop DNA
mitokondria saja (Hartati & Maksum, 2004).
23
cabang ilmu genetika forensik yang penyusun dapatkan dari berbagai jurnal
penelitian.
24
2.5.2 Botany Forensic Genetics
Forensik botani masih kurang dimanfaatkan dalam kasus forensik,
meskipun telah digunakan pada berbagai kesempatan. Bahan tanaman
sering ditemui dalam penyelidikan kriminal tetapi sering diabaikan sebagai
bukti potensial karena ketidakmampuan untuk secara cepat, akurat, dan
biaya-efektif mengidentifikasi spesimen botani yang menjadi tanda jejak
kriminal (Ward et al., 2009).
Dalam jurnal penelitian Coyle et al. (2005), dinyatakan bahwa
pengakuan, pengumpulan, dan preservasi bukti botani sangat penting
untuk proses pengujian laboratorium berikutnya. Tanpa langkah pertama
yang dilakukan dengan benar, penerimaan hukum bukti ke pengadilan
dapat dipertanyakan. Seperti bentuk-bentuk lain dari bukti forensik, bahan
tanaman mungkin diuji menggunakan mikroskop sederhana atau yang
lebih canggih dalam tes DNA tanaman untuk meningkatkan informasi
yang diperoleh dari penyelidikan.
Sejalan dengan bentuk lain dari pengujian forensik, botani forensik
pertama memerlukan identifikasi spesies tanaman dengan karakteristik
morfologi, mikroskop, atau biologi molekular. Setelah spesies
diidentifikasi karakteristik kelasnya, maka dibuat individualisasi sampel.
Efektivitas upaya sumber atribusi dari bahan tanaman akan tergantung
pada bagaimana keunikan spesies ini di wilayah geografis dan sejarah
genetik. Jika sebuah Tanaman ini sangat langka, sumber atribusi mungkin
tidak sulit. Namun, banyak tanaman mungkin memerlukan DNA
pengujian untuk mengkonfirmasi bahwa sampel pembuktian berasal dari
tanaman sumber, jika dihasilkan dengan biji, atau populasi sumber jika
dihasilkan oleh reproduksi klonal. Pada akhirnya, informasi dari gen
database DNA tanaman erating dapat digunakan untuk koreksi akhir
penanda khusus dengan varietas tanaman yang diketahui; untuk
membangun hubungan forensik, untuk membuat aplikasi paten untuk
varietas baru, dan untuk menilai derajat variasi genetik yang ditemukan
dalam populasi tanaman. Dalam jurnal penelitian…. dibahas beberapa
25
kasus di mana bukti botani digunakan untuk menyelesaikan kasus dan
menggambarkan dasar prinsip forensik pengakuan, koleksi, dan pelestarian
tanaman sebagai bukti.
26
(Sumber: Coyle et al., 2005)
27
2.5.4 Wild Animal Forensic Genetics
Ilmu satwa liar forensik adalah sub-disiplin ilmu forensik yang
dapat membantu pihak berwenang dalam hal kejahatan satwa liar (Ewart et
al., 2017). Ilmu ini telah menjadi sarana utama menegakkan undang-
undang seputar perdagangan ilegal satwa dilindungi dan terancam punah
(Ogden & Linacre, 2015).
Perburuan illegal dan pembalakan liar dapat menebangi spesies
ikonik, namun saat ini tingkat keberhasilan dalam menegakkan perudang-
undangan mengenai hal itu masih rendah. Karenanya perkembangan
forensic satwa liar ini diharapkan dapat diterapkan untuk system peradilan
pidana (Ogden & Linacre, 2015).
28
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Genetika adalah ilmu yang mempelajari sifat-sifat keturunan (hereditas)
serta segala seluk beluknya secara ilmiah. Genetika disebut juga ilmu keturunan,
ilmu ini mempelajari berbagai aspek yang menyangkut pewarisan sifat,
bagaimana sifat keturunan itu diturunkan dari generasi kegenerasi serta variasi-
variasi yang mungkin timbul di dalamnya atau yang menyertainya.
Genetika bisa sebagai ilmu pengetahuan murni, bisa pula sebagai ilmu
pengetahuan terapan. Sebagai ilmu pengetahuan murni ia harus ditunjang oleh
ilmu pengetahuan dasar lain seperti kimia, fisika dan matematika juga ilmu
pengetahuan dasar dalam bidang biologi sendiri seperti bioseluler, histologi,
biokimia, fisiologi, anatomi, embriologi, taksonomi dan efolusi. Sebagai ilmu
pengetahuan terapan ia menunjang banyak bidang kegiatan ilmiah dan pelayanan
kebutuhan masyarakat. Salah satu contohnya yaitu pada bidang forensik.
Ilmu pengetahuan forensik adalah sebuah ilmu pengetahuan yang
ditujukan untuk membantu proses peradilan terutama dalam bidang pembuktian.
Fungsi ilmu forensik adalah membuat suatu perkara menjadi jelas yaitu dengan
mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-lengkapnya tentang
suatu perbuatan ataupun tindak pidana yang telah terjadi.
Perkembangan disiplin ilmu forensik sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Biologi molekuler forensik berkembang secara pesat
menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri dan mempengaruhi sistem penegakan
hukum dan peradilan karena penerapannya yang sangat berguna. Perkembangan
ini juga diikuti oleh isu-isu sosioetikolegal terhadap pemanfaatan luas biologi
molekuler forensik.
Metode analisis DNA dalam bidang forensik antara lain :
1. Identifikasi Forensik dengan Tes Sidik DNA
2. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
29
3. Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR)
4. Analisis Mitochondrial DNA
3.2 Saran
Dalam proses pembuatan makalah ini saya selaku penyusun mendapatkan
banyak pengetahuan baru yang sangat berharga mengenai penerapan ilmu
genetika, khususnya pada bidang forensik. Untuk itu, saya menyarankan kepada
pembaca sekalian, khususnya mahasiswa biologi yang tertarik untuk
memperdalam ilmunya pada bidang genetika, untuk mempelajari berbagai aplikasi
ilmu genetika, karena dengan mempelajari hal-hal tersebut kita bukan hanya
mahir berteori namun juga bisa mengaplikasikan ilmu yang kita miliki di
kehidupan sehari-hari untuk membantu menyelesaikan berbagai permasalahan
yang ada di sekitar kita.
30
DAFTAR PUSTAKA
Coyle, H. M., Lee, C. L., Lin, W. Y., Lee, H. C., and Palmbach, T, M. 2005.
Forensic Botany: Using Plant Evidence to Aid in Forensic Death
Investigation. Croat Med J. Vol. 46 (4): 611
Ewart, K. M., Frankham, G. J., McEwing, R., Webster, L. M., Ciavaglia, S. A.,
Linacre, A. M. T., The, D. T., Ovouthan, K., and Johnson, R, N. 2017. An
Internationally Standardized Species Identification Test for Use on Suspected
Seized Rhinoceros Horn in The Illegal Wildlife Trade. Forensic Science
International: Genetics. Vol. 32: 33.
Guyton, A.C., dan Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11 ed. Jakarta:
EGC.
Hartati, Y. W., dan Maksum, I. P. 2004. Amplifikasi 0,4 Kb Daerah D-Loop DNa
Mitokondria Dari Sel Epitel Rongga Mulut Untuk Keperluan Forensik.
Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Padjadjaran. Hasil Penelitian. Tidak
dipublikasi.
Kayser, M., and Knijff, P. 2011. Improving Human Forensics Through Advances
in Genetics, Genomics and Molecular Biology. Nature Reviews Genetics.
Vol. 12: 179.
31
Luftig, M. A., and Richey, S. 2000. DNA and Forensic Science. New England
Law Review .Vol. 35 (3): 609-613.
Marks, D.B., Marks, A.D., and Smith, C.M. 1996. Basic Medical Biochemistry.
Baltimore: Williams & Wilkins.
Ogden, R., and Linacre, A. 2015. Wildlife Forensic Science: A Riview of Genetic
Geographic Origin Assignment. Forensic Science International: Genetics.
Parrangan, Y. F., Nelly, A., dan Firsty, S, A. 2014. Penggunaan Teknik PCR
dalam Identifikasi Forensik. Makassar: Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas
Hasanuddin.
Rapley, R., and Whitehouse, D. 2007. Molecular Forensics. West Sussex: John
Wiley & Sons Ltd.
Ward, J., Gilmore, S. R., Robertson, J., and Peakall, R. 2009. A Grass Molecular
Identification System for Forensic Botany: A Critical Evaluation of the
Strengths and Limitations. Journal of Forensic Science. Vol. 54 (6): 1254.
32