Anda di halaman 1dari 38

TUGAS PENGOLAHAN BUANGAN

INDUSTRI HASIL PERIKANAN

Disusun Oleh :

1. Andreas Leonardo G. (17034010061)


2. Ayu Septyaning P. (17034010062)
3. Syafina Ramadhini E.R. (17034010063)

4. Nonna Shifa Cahaya D. (17034010064)


5. Geafiata Amalia N. (17034010065)

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Industri pengolahan hasil perikanan merupakan salah satu agroindustri yang
memanfaatkan hasil perikanan sebagai bahan baku untuk menghasilkan suatu produk
yang bernilai tambah lebih tinggi. Industri perikanan seperti juga industri-industri yang
lain selain menghasilkan produk yang diinginkan, juga menghasilkan limbah baik limbah
padat maupun limbah cair.
Pengelolaan lingkungan hidup di masa sekarang ini sangat penting dalam kehidupan
kita. Saat ini, masyarakat semakin peduli dengan lingkungannya diantaranya adalah
kawasan industri. Pemerintah juga memberikan berbagai aturan terkait pengelolaan
lingkungan hidup, karena hal ini sangat penting bagi kehidupan kita. Lingkungan hidup
yang dikelola dengan baik pada kawasan industri akan memberikan rantai dampak
sampai dengan kawasan perkotaan. Maka, disinilah perlunya produksi bersih
digalakkan.
Produksi bersih ini merupakan strategi dalam pengelolaan lingkungan yang
dilakukan untuk keterpaduan dan diharapkan akan bisa diterapkan pada keseluruhan
siklus produksi pada kawasan industri. Tujuan dilakukannya proses produksi bersih
adalah mengefisiensikan penggunaan bahan mentah, energi dan air, hemat biaya
produksi, mengurangi limbah namun hemat dalam segi pembiayan produksi. Sehingga
tujuan utama dilakukannya produksi bersih ini adalah efisiensi dalam proses awal
hingga akhir produksi sehingga tercapai kelestarian lingkungan (Ma’ruf, et al. 2013).
Indonesia merupakan negara maritim dimana wilayah lautnya mencakup tiga
perempat luas Indonesia atau 5,8 juta km2, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, luas
daratannya hanya 1,9 juta km2. Potensi lestari sumberdaya ikan laut Indonesia
diperkirakan 6,4 juta ton/tahun dan memiliki variasi sekitar 3000 jenis ikan (Bahar,
2006). Data diatas menunjukkan bahwa produksi bersih pada industri perikanan harus
dilakukan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang berkelanjutan.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui diagram alir dari pemanfaatan bahan baku, proses produksi, hingga
produk
2. Menganalisis sejauh mana produksi bersih bagi industri perikanan diterapkan
3. Mengetahui karakterisasi bahan dan limbah
4. Mengetahui identifikasi potensi limbah pada setiap tahapan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Limbah Hasil Perikanan


Limbah hasil perikanan adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan
tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomis,
yang ketika mencapai jumlah atau kosentrasi tertentu, dapat menimbulkan dampak negatif
bagi lingkungan (Gintings, 1992). Sedangkan menurut Setiyawan (2010) limbah
merupakan hasil sisa produk utama dari suatu proses yang berasal dari bahan dasar atau
bahan bantu proses tersebut. Lebih lanjut Setiyawan (2010) menyatakan limbah juga
dapat diartikan sebagai buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu
tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis.
Limbah yang dihasilkan dari kegiatan perikanan masih cukup tinggi, yaitu sekitar
20 – 30% dari produksi ikan yang telah mencapai 6.5 juta ton pertahun. Hal ini berarti
sekitar 2 juta ton terbuang sebagai limbah. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan
perikanan adalah berupa :
1) ikan rucah yang bernilai ekonomis rendah sehingga belum banyak dimanfaatkan
sebagai pangan; 2) bagian daging ikan yang tidak dimanfaatkan dari rumah makan, rumah
tangga, industri pengalengan, atau industri pemfiletan; 3) ikan yang tidak terserap oleh
pasar, terutama pada musim produksi ikan melimpah; dan 4) kesalahan penaganan dan
pengolahan (Ditjen Perikanan, 2007).

2..2 Limbah Industri Perikanan


Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu
sumber aktivitas manusia maupun proses alam dan belum mempunyai nilai ekonomis,
bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi negatif karena penanganan untuk membuang
atau membersihkan memerlukan biaya yang cukup besar disamping dapat mencemari
lingkungan. Menurut Laksmi dan Rahayu (1993) penanganan limbah yang kurang baik
merupakan masalah di dalam usaha industri termasuk industri perikanan yang
menghasilkan limbah pada usaha penangkapan, penanganan, pengangkutan, distribusi,
dan pemasaran. Limbah sebagai buangan industri perikanan dikelompokkan menjadi tiga
macam berasarkan wujudnya yaitu limbah cair, limbah padat, dan limbah gas. Limbah cair
adalah bahan-bahan pencemar berbentuk cair. Air limbah adalah air yang membawa
sampah (limbah)dari rumah tinggal, bisnis, dan industri yaitu campuran air dan padatan
terlarut atau tersuspensi dapat juga merupakan air buangan dari hasil proses yang dibuang
ke dalam lingkungan. Limbah cair yang dihasikan oleh industri pengolahan ikan
mempunyai pH mendekati 7 (netral), yang disebabkan oleh adanya dekomposisi
bahan-bahan yang mengandung protein dan banyaknya senyawa-senyawa amonia.
Kandungan limbah cair industri perikanan tergantung pada derajat kontaminasi dan
juga mutu air yang digunakan untuk proses (Gonzales dalam Heriyanto, 2006). Bau yang
timbul dari limbah cair perikanan disebabkan oleh dekomposisi bahan- bahan organik
yang menghasilkan senyawa amina mudah menguap, diamina dan amoniak. Limbah cair
industri perikanan memiliki kandungan nutrien, minyak, dan lemak yang tinggi sehingga
menyebabkan tingginya nilai COD (Chemical Oxygen Demand), terutama berasal dari
proses penyiangan usus dan isi perut serta proses pemasakan (Mendezet a1, 1992 dalam
Sari, 2005).

Jenis-jenis Limbah Hasil Perikanan


Usaha perikanan selain menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi, tetapi juga ikut
berperan dalam menghasilkan limbah. Limbah yang dominan dari usaha perikanan
adalah limbah dan cemaran yang berupa limbah cair yang membusuk sehingga
menghasilkan bau amis/busuk yang sangat menganggu estetika lingkungan (Ditjen
Perikanan, 2007), sedangkan menurut Dewantoro (2003) limbah yang dihasilkan dari
industri pengolahan hasil perikanan umumnya dapat di golongkan menjadi 3 kelompok
yaitu:
a. Limbah padat: limbah padat basah dan limbah padat kering
b. Limbah cair
c. Limbah hasil samping

Limbah Padat
Limbah padat bersifat basah dan dihasilkan oleh usaha perikanan berupa
potongan- potongan ikan yang tidak dimanfaatkan. Limbah ini berasal dari proses
pembersihan ikan sekaligus mengeluarkan isi perutnya yang berupa jerohan dan
gumpalan-gumpalan darah. Selain itu, limbah ini juga berasal dari proses cleaning, yaitu
membuang kepala, ekor, kulit, dan bagian tubuh ikan yang lain, seperti sisik dan insang
(Setiyawan, 2010).
Karena proses ini melibatkan banyak aktifitas yang lain, maka juga dihasilkan
limbah padat yang kering berupa sisa/potongan karton kemasan, plastik, kertas, kaleng,
tali pengemas, label kemasan dan potongan sterofoam, dan sebagainya. Kondisi limbah
padat kering ini dapat dalam keadaan bersih (belum terkontaminasi oleh bahan lain)
maupun sudah dalam keadaan terkontaminasi oleh bahan lain seperti ikan/udang, bahan
pencuci produk, darah, dan lendir ikan (Dwicaksono et al. 2013).

Menurut Dewantoro(2003) komposisi limbah padat usaha perikanan terdiri dari:


(1) Daging merah sebanyak 25%, (2) Bone (kepala, duri, ekor) sebanyak 55%, (3) Isi perut
(jerohan dan darah) sebanyak 15% dan (4) Karton, plastik, dan lain-lain sebanyak 5%.
Limbah berupa daging merah, bone (kepala, duri, ekor), isi perut, dan karton atau
plastik tersebut akan menimbulkan masalah yang serius terhadap lingkungan apabila
tidak dikelola dengan baik. Permasalahan yang mungkin timbul adalah adanya bau amis
dari potongan ikan yang disertai bau busuk karena proses pembusukan sehingga
mengundang datangnya berbagai vector penyakit diantaranya lalat dan tikus (Fitria,
2008).

Limbah Cair
Limbah cair dari hasil perikanan dapat berupa sisa cucian ikan/udang, darah dan
lendir ikan, yang banyak mengandung minyak ikan sehingga menimbulkan bau amis yang
menyengat. Limbah cair ini merupakan limbah yang dominan dari usaha perikanan
karena selama proses, membutuhkan air dalam jumlah yang cukup banyak. Limbah cair
juga berasal dari sanitasi dan toilet pada lokasi usaha tersebut (Gintings, 1992).
Limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik yang tinggi. Tingkat
pencemaran limbah cair industri pengolahan perikanan sangat tergantung pada tipe proses
pengolahan dan spesies ikan yang diolah (Ibrahim 2005). Terdapat 3 tipe utama aktivitas
pengolahan ikan, yaitu industri pengalengan dan pembekuan ikan, industri minyak dan
tepung ikan, dan industri pengasinan ikan (Priambodo 2011). Karakteristik limbah cair
perikanan dapat dilihat melalui parameter ph, jumlah padatan terlarut, suhu, bau, BOD,
COD, dan konsentrasi nitrogen serta fosfor (FAO 1996). Limbah cair industri pengolahan
ikan memiliki karakteristik jumlah bahan organik terlarut dan tersuspensi yang tinggi jika
dilihat dari nilai BOD dan COD. Lemak dan minyak juga ditemukan dalam jumlah yang
tinggi. Terkadang padatan tersuspensi dan nutrien seperti nitrogen dan fosfor juga
ditemukan dalam jumlah tinggi. Limbah cair industri pengolahan ikan juga mengandung
sodium klorida dalam konsentrasi tinggi dari proses pembongkaran kapal, air pengolahan,
dan larutan asin (Colic et al. 2007). Secara umum karakteristik limbah cair industri
pengolahan ikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik Limbah Cair Perikanan

Parameter Satuan Industri Industri Industri


pengalengan minyak ikan pengasinan
dan dan tepung ikan
pembekuan ikan
ikan
Amonia Mg/L 37 1,659 101
BOD Mg/L 35 204 127
COD Mg/L 34 196 360
Lemak dan Mg/L 1,401 12,750 1,305
Minyak
Sumber : Priambodo (2011)
Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau
jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan
dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan/atau kegiatan
(Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2007).. Baku mutu limbah cair industri
pengolahan perikanan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Baku mutu air limbah bagi usaha/kegiatan pengolahan perikanan
Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2014)
Pengolahan limbah cair yang pertama dilakukan adalah penyaringan (screening),
sedimentasi (sedimentation), pemisahan lemak dan minyak, dan pengapungan
(flotation). Pengolahan limbah cair pada tahap pertama ini dilakukan untuk padatan
yang mengapung dan mengendap. Penyaringan dapat menghilangkan padatan
berukuran besar (lebih besar 0,7 mm). Sedimentasi dilakukan untuk menghilangkan
padatan tersuspensi yang ada pada limbah cair. Limbah cair perikanan mengandung
jumlah minyak dan lemak yang berbeda. Gravity separation dapat dilakukan untuk
menghilangkan minyak dan lemak yang terdapat di permukaan dan tidak teremulsi.
Pengapungan adalah pengolahan limbah cair untuk menghilangkan minyak, lemak
dan padatan tersuspensi. Sistem pengapungan merupakan sistem pengolahan limbah
yang efektif karena dapat juga menghilangkan minyak dan lemak (FAO 1996).

Tahap kedua pengolahan limbah cair adalah proses biologi dan kimia yang
betujuan untuk menghilangkan material organik yang terdapat pada limbah cair.
Tujuan pengolahan limbah cair secara biologi adalah untuk menghilangkan padatan
yang tidak mengendap dan bahan organik terlarut dengan mikroba. Mikroorganisme
bertanggung jawab mendegradasi bahan organik dan menstabilkan limbah organik.
Pengolahan limbah cair secara biologi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
pengolahan limbah secara aerobik dan anaerobik. Proses pengolahan secara aerobik
terdiri dari sistem lumpur aktif, aerated lagoons, aerasi, trickling filters, rotating
biological contractors, dan pilihan pengolahan aerobik. Proses pengolahan secara
anaerobik terdiri dari digestion system dan imhoff tanks. Pengolahan limbah cair dapat
juga dilakukan secara fisikokimia, antara lain coagulation-floculation dan disinfection
yang terdiri dari klorinasi dan ozonasi (FAO 1996).

Karakteristik Limbah Perikanan


Limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik yang tinggi.
Tingkat pencemaran limbah cair industri pengolahan perikanan sangat tergantung pada
tipe proses pengolahan dan spesies ikan yang diolah.
Menurut River et al., (1998) jumlah debit air limbah pada efluen umumnya
berasal dari proses pengolahan dan pencucian. Setiap operasi pengolahan ikan akan
menghasilkan cairan dari pemotongan, pencucian, dan pengolahan produk. Cairan ini
mengandung darah dan potongan-potongan kecil ikan dan kulit, isi perut, kondensat
dari operasi pemasakan, dan air pendinginan dari kondensor.

Selanjutnya River et al., (1998) menyatakan bahwa bagian terbesar kontribusi beban
organik pada limbah perikanan berasal dari industri pengalengan dengan beban COD

37,56 kg/m3, disusul oleh industri pengolahan fillet ikan salmon yang menghasilkan

beban limbah 1,46 kg COD/m3. Kemudian industri krustasea dengan beban COD yang
kecil. Perbandingan beban organik yang disumbangkan oleh industri pengalengan,
pemfiletan salmon dan krustasea adalah 74,3%, 21,6% dan 4,1%. Peneliti yang lain
juga melaporkan hal yang sama dengan indikator beban pencemar organik yang lain
yang berasal dari industri pengolahan perikanan.
Tabel 1. Indikator Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Perikanan

Jenis Industri BOD COD Lemak/ Padatan


Minyak Tersuspensi

Pengolahan 3,32 kg/t - 0,348 kg/t 1,42 kg/t


Ikan
(manual)1)
Pengolahan 11,9 kg/t - 2,48 kg/t 8,92 kg/t
ikan

(mekanis) 1)
Pemiletan 3428– - 857-6000 -

herring1) 10000 mg/l


mg/l
Pengalengan 6,8–20 14-64 1,7-13 kg/t 3,8-17 kg/t

tuna1) kg/t kg/t


Pengolahan 9,22 kg/t 1,74 kg/t 5,41 kg/t

sardine1)
Pengolahan 4,8–5,5 7,2-7,8 0,21-0,3 0,7-0,78

rajungan1) kg/t kg/t kg/t kg/t


Pengolahan 5,14 kg/t - 0,145 kg/t 10,2 kg/t
kerang

(mekanis) 1)
Pengolahan 18,7 kg/t - 0,461 kg/t 6,35 kg/t
kerang
(konvensional)
1)

Pabrik tepung 2,96 kg/t - 0,56 kg/t 0,92 kg/t


Ikan

(fishmeal) 1)
Jenis Industri BOD COD Lemak/ Padatan
Minyak
Tersuspensi
Bloodwater 23500– 93000 0%-1,92% -

(fishmeal) 1) 34000 mg/l


mg/l
Stickwater 13000– - 60-1560 -

(fishmeal) 1) 76000 mg/l


mg/l
Udang Beku2) 160 mg/l 1780 - -
mg/l
Sumber : 1)Gonzales (1996); 2) Hayati (1998)

Dalam beban cemaran organik yang tinggi terkandung senyawa nitrogen yang
tinggi yang merupakan protein larut air setelah mengalami leaching selama pencucian,
defrost dan proses pemasakan (Battistoni et al., 1992; Mendez et al., 1992;
Veranita, 2001). Limbah cair ini dikeluarkan dalam jumlah yang tidak sama setiap
harinya. Pada waktu tertentu dalam jumlah yang banyak tetapi encer terutama
mengandung protein dan garam. Pada waktu yang lain dikeluarkan limbah cair dalam
jumlah sedikit tetapi pekat yang mengandung protein dan lemak. Beban limbah cair
tersebut berbeda-beda tergantung jenis pengolahannya. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah pemanfaatan dan pengeluaran air dalam Industri pengolahan hasil-
hasil perikanan

Jenis Pembekuan Pengolahan Pengalengan Tepung Jumlah


Umum Ikan/
Minyak Ikan

Jumlah fasilitas 25 136 6 11 178


Bahan yang diolah 725 983 161 325 2.194
(ton/hari) (A)
Air yang diperlukan 11.250 15.165 868 3.088 30.37

(m3/hari) 1

Jenis Pembekuan Pengolahan Pengaleng Tepung Jumlah


Umum an Ikan/
Minyak
Ikan
Air yang dikeluarkan 10.833 14.619 858 3.070 29.380

(m3/hari) (B)
Jumlah limbah cair per 14,9 14,9 5,3 9,4 13,14

setiap ton bahan (m3/t)


(B/A)
Sumber: Overseas Fishery Cooperation Foundation (1987)

Penyisihan Nutrien Secara Biologis

Tujuan pengolahan limbah cair secara biologis adalah menurunkan komponen


terlarut, khususnya senyawa organik sampai pada batas yang aman terhadap
lingkungan dengan memanfaatkan mikroba dan/atau tanaman. Dalam rangka
menyisihkan bahan organik yang terlarut, mikroorganisme yang ada akan
menggunakan bahan organik sebagai nutrien bagi pertumbuhannya menjadi sel-sel
baru dan karbondioksida. Proses biotransformasi terjadi dalam berbagai macam cara
sesuai dengan mikroorganisme yang berperan didalamnya, misalnya jenis mikroba
autotrof atau heterotrof (Loosdrecht dan Jetten, 1998). Secara konvensional
pengolahan limbah cair mencapai sukses menurunkan BOD dan COD, meskipun
penyisihan senyawa nutrien (nitrogen dan fosfor) masih terus dicarikan model dan cara
yang efisien (Grady dan Lim, 1980; Henze et al., 1987; Metcalf dan Eddy,
1991; Park et al., 2001).

Menurut Loosdrecht dan Jetten (1998) akhir-akhir ini penyisihan nitrogen


dalam proses pengolahan limbah cair menjadi aspek yang sangat penting. Jumlah
nitrogen dengan konsentrasi yang tinggi dalam limbah cair dapat memungkinkan
terjadi reaksi yang sangat beragam. Banyaknya keragaman ini telah membangkitkan
konsep-konsep baru proses- proses tentang oksidasi amonium dan reduksi nitrat/nitrit
yang telah berlangsung sejak lama (Winogradsky, 1890 dan Breal, 1892 dalam
Loosdrecht dan Jetten, 1998). Proses-proses baru tentang denitrifikasi aerobik,
nitrifikasi heterotrofik dan oksidasi ammonium anaerobik menjadikan evaluasi
konversi senyawa nitrogen menjadi lebih kompleks.

Secara konvensional proses nitrifikasi adalah merupakan aktivitas


mikroorganisme autotrof atau mixotrof. Proses ini terjadi melalui oksidasi ammonium
menjadi nitrit dan selanjutnya menjadi nitrat. Telah diketahui banyak jenis mikroba
nitrifikasi yang berperan didalamnya, tetapi tidak satupun yang dapat merubah
langsung ammonium menjadi nitrat. Proses oksidasi ammonium menjadi nitrit
dilakukan oleh Nitrosomonas sp, dan oksidasi nitrit dilakukan oleh Nitrobacter sp
(Grady dan Lim, 1980; Henze et al., 1987; Metcalf dan Eddy, 1991; Loosdrecht dan
Jetten, 1998). Sedangkan proses denitrifikasi adalah proses reduksi senyawa nitrat
menjadi gas nitrogen. Kebanyakan studi tentang denitrifikasi oleh bakteri denitrifikasi
heterotrof menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan nitrat sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan dan jenis sumber karbon sebagai donor elektron dalam proses reduksi
nitrat (Grady dan Lim, 1980; Zayed dan Winter, 1998; Mansell dan Schroeder, 1999;
Brdjanovic et al., 2000; Battistoni dan Fava, 1995).

Berdasarkan pengamatan-pengamatan di lapangan dan laporan penelitian


disebutkan adanya proses penyisihan N yang telah terjadi secara non-konvensional,
misalnya terjadinya nitrifikasi heterotrofik dan denitrifikasi aerobik (Loosdrecht dan
Jetten, 1998). Proses oksidasi amonium oleh bakteri heterotrof membutuhkan energi,
yang menyebabkan penurunan koefisien yield (kondisi ini bertolak belakang dengan
nitrifikasi autotrof). Hal ini terjadi pada Thiosphaera pantotropha (Robertson dan
Kuenen, 1990 dan Patureau et al., 1994 dalam Loosdrecht dan Jetten, 1998). Proses
denitrifikasi aerobik telah dilaporkan terjadi pada saat COD/N lebih dari 10 (Robertson,
1990 dalam Loosdrecht dan Jetten, 1998). Hal ini masih menjadi perdebatan, karena
kondisi ini bukanlah kondisi yang normal. Akan tetapi apabila denitrifikasi aerobik
terjadi dalam proses lumpur aktif maka dapat dijelaskan dimana dalam kondisi oksigen
yang terbatas organisme melakukan respirasi oksigen dan nitrat dalam waktu yang
bersamaan. Kondisi ini menunjukkan bahwa sesungguhnya flok lumpur aktif
berkondisi anaerobik sebagian, sehingga dapat dikatakan bahwa proses ini merupakan
denitrifikasi normal (Loosdrecht dan Jetten, 1998).

Secara teoritis ammonium dapat dioksidasi dengan cara berperan sebagai


elektron donor dalam reaksi denitrifikasi. Energi bebas dalam reaksi ini sebanding
dengan energi dari proses nitrifikasi. Sehingga dalam proses denitrifikasinya tidak
membutuhkan senyawa organik lain. Proses ini disebut juga dengan anaerobic
ammonium oxidation (Anammox) (Jetten et al, 1997b dalam Loosdrecht dan Jetten,
1998). Proses Anammox memiliki kapasitas mengkonversi ammonium mencapai 2,4 kg

NH4-N/m3.hari atau 4,8 kg N- total/m3ha.

a) Pemanfaatan Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan untuk setiap usaha pengolahan ikan juga
tergantung dari jenis produksinya. Sebagian industri menggunakan bahan baku dari
buangan ikan industri lainnya, seperti industri tepung ikan banyak menggunakan
potongan ikan dan isi perut ikan dari perusahaan pengalengan ikan untuk diproses
menjadi tepung ikan. Begitu juga untuk industri minyak ikan, banyak menggunakan
ikan buangan dari perusahaan lain. Dengan demikian maka untuk menghitung
penyerapan bahan baku ikan ini dilakukan pendekatan- pendekatan sesuai dengan
jenis kegiatan yang ada berdasarkan hasil survai dan diskusi dengan para pengusaha
setempat.
Pendekatan pemakaian sumber daya ikan laut untuk industri pengolahan ikan
adalah sebagai berikut:

 Industri pengalengan ikan :

Jumlah produk = jumlah bahan baku,


 Industri tepung ikan:

Jumlah produk = 30% jumlah bahan baku,


 Industri cold storage ikan :

Jumlah produk = jumlah bahan baku,


 Industri minyak ikan :

Jumlah produk = 7% jumlah bahan baku,


 Industri pengolahan ikan lainnya : Jumlah produk = jumlah bahan baku.

Dengan menggunakan asumsi seperti tersebut, maka jumlah penyerapan


ikan dapat dihitung, dan total kebutuhan bahan baku (ikan laut) untuk 69 perusahaan
pengolahan ikan tersebut adalah 1.438,5 ton/hari.
Identifikasi Potensi Limbah

Pencemaran yang ditimbulkan dari industri pengolahan ikan berasal dari beberapa
sumber, mulai dari transportasi bahan baku, pemindahan bahan baku, pencucian
bahan, proses produksi, kegiatan laboratorium (quality control), aktivitas karyawan
(limbah domestik) dan lain-lain. Dari hasil survai diketahui bahwa potensi sumber
limbah industri pengolahan ikan mulai ada sejak kegiatan pendaratan ikan,
transportasi ikan, pencucian bahan baku, proses produksi, sampai sarana pengolahan
limbah yang kurang berfungsi dengan baik.

Potensi Jumlah Limbah Yang Dihasilkan

Berdasarkan sumbernya, air limbah yang dihasilkan di kawasan


industri pengolahan ikan ini dikelompokkan atas 2 jenis, yaitu:

1. Air limbah domestik, yaitu air limbah yang berasal dari kamar mandi, toilet, kantin,

wastavel dan tempat wudu. Sesuai dengan aktivitasnya, maka sumber air limbah
domestik ini dihasilkan oleh semua industri yang ada.
2. Air limbah produksi, berasal dari aktivitas dalam produksi seperti pencucian

komponen peralatan dan lantai rumah produksi.


BAB III
PEMANFAATAN BAHAN LIMBAH

Limbah industri perikanan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umat manusia.


Limbah padat merupakan penyumbang terbesar terhadap keseluruhan limbah
industri perikanan. Berikut beberapa alternatif pemanfaatan limbah padat hasil
perikanan menjadi produk yang bernilai tambah.

a. Tepung Ikan

Tepung ikan adalah suatu produk padat kering yang dihasilkan dengan jalan
mengeluarkan sebagian besar cairan dan sebagian atau seluruh lemak yang
terkandung di dalam tubuh ikan.Proses Pembuatan Tepung Ikan menurut El Nino
Ramadhan (2012) dapat dilihat pada Gambar 1.

Penyortiran dilakukan untuk memisahkan antara bahan baku yang bagus, setengah bagus
dan yang tidak bagus serta kotoran-kotoran atau sampah yang terdapat pada limbah ikan.
Tahap perebusan dilakukan untuk menghilangkan lemak lemak yang mengganggu proses
selanjutnya dan bakteri-bakteri yang tidak berguna. Perebusan dilakukan dengan cara yaitu
bahan baku dimasukan ke dalam alat perebus selama dua menit untuk menghilangkan
lemak, kemudian bahan baku tersebut diangkat untuk diproses lebih lanjut. Tahap
pencacahan bertujuan mencacah bahan baku yang telah mengalami proses perebusan untuk
dicacah menjadi potongan-potongan sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan. Setelah
pencacahan, selanjutnya dilakukan pengeringan guna mengeringkan bahan baku yang telah
mengalami proses pencacahan. Tahap penggilingan dilakukan guna menggiling bahan baku
yang telah dikeringkan. Tahap penggilingan ini menghasilkan tepung ikan.
Selanjutnya dilakukan pengepakan tepung ikan dan penyimpanan di dalam
silo. Pada saat ini penggunaan tepung ikan sebagai pakan hewan maupun ternak
semakin terkenal. Tepung ikan adalah suatu produk padat kering yang dihasilkan
sebagai dengan jalan mengeluarkan sebagaian besar cairan dan sebagian atau
seluruh lemak yang dikandung di dalam tubuh ikan. Tepung ikan sebagai bahan
pakan ternak dan ikan untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani dibuat dari sisa
sisa olahan (limbah) atau kelebihan hasil penangkapan dalam memaksimalkan
pemanfaatan ikan yang pada akhirnya juga memaksimalkan nilai ekonomis sisa
olahan dan kelebihan hasil tangkapan tersebut. Bahan mentah yang sebaiknya
dipakai adalah ikan yang tidak berlemak (lean fish) untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya oksidasi lemak yang akan menyebabkan rancidity.

Kegunaan utama tepung ikan adalah sebagai bahan campuran makanan ikan
atau ternak lain. Karena kandungan proteinnya yang tinggi dan komposisi asam
aminonya pun cukup seimbang, tepung ikan merupakan bagian penting terutama
untuk makanan ayam, babi maupun ikan. Bahkan berdasarkanhasil percobaan yang
telah dilakukan, ternyata ikan dapat tumbuh lebih cepat bila dalam makanannya
ditambahkan tepung ikan sebesar 10 - 40% (Afrianto dan Liviawaty, 1989).

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk membuat tepung ikan dari
ikan segar. Metode yang paling mudah yaitu dilakukan pengeringan dibawah sinar
matahari. Sebagian besar proses pembuatan tepung ikan melalui tahap pemanasan,
pengepresan, pengeringan dan penggilingan menggunakan mesin yang telah
dirancang sebelumnya. Meskipun prosesnya mudah, akan tetapi pada prinsipnya
membutuhkan keterampilan dan pengalaman khusus untuk menghasilkan produk
tepung ikan dengan mutu tinggi.

Ketika ikan dipanaskan, sebagian besar air dan minyak akan hilang. Air dan
minyak ini juga dapat hilang pada saat dilakukan pengepresan. Alat pemanas yang
saat ini banyak digunakan berbentuk silinder uap air yang tertutup dimana ikan
dipindahkan menggunakan alat berbentuk sekrup. Jika pemanasan kurang, maka
hasil pressing nantinya tidak memuaskan dan pemanasan yang terlalu berlebihan
dapat menyebabkan ikan terlalu halus untuk dipress. Bahan baku ikan segar tidak
dilakukan pengeringan selama tahap proses pemanasan. Pemanasan biasanya
dilakukan pada suhu 95oC sampai 100 oC dalam waktu 15 sampai 20 menit
Pada tahap pressing terjadi pemindahan sebagian minyak dan air. Ikan
berada dalam tabung yang berlubang, hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan
tekanan dengan bantuan sekrup. Selama proses pressing, kadar air menurun dari
70% menjadi 50% dan minyak menurun sekitar 4 %. Setelah dilakukan
penyaringan untuk memisahkan material kasar dan material yang padat, kemudian
material yang padat dan keras ini dilakukan pressing semetode terus-menerus dan
disentrifugasi untuk memindahkan minyak. Minyak yang disuling adalah minyak
yang dapat dimanfaatkan dan digunakan dalam industri pembuatan minyak goreng
dan mentega.

Bagian cair dari proses pressing liquor dikenal dengan nama stickwater yang
berisi material yang telah dihancurkan yang beratnya sekitar 9% dari total padatan.
Material terbentuk kembali akibat penguapan stickwater sampai berbentuk sirup
yang terdiri dari 30 sampai 50 % padatan dan kadang-kadang dijual sebagai ikan
padat yang dilarutkan. Pada umumnya produk hasil pressing liquor jika dipress
kembali dan dikeringkan maka akan berbentuk tepung.

Ada dua jenis alat pengering, yaitu alat pengering langsung dan alat pengering tidak
langsung. Tepung sebaiknya tidak dipanaskan pada suhu yang sangat tinggi, karena
penguapan air yang cepat menyebabkan keadaan ikan mendingin, semetode normal

produk dipanaskan pada suhu 100oC. Tepung ikan ini diproses dengan metode
yang mudah, yaitu dengan metode memasak dan mengeringkan saja. Fleksibilitas
penggunaan ikan yang berminyak, kurang berminyak atau campuran dari
keduanya. Proses pemindahan air dengan pressing dan penguapan dari stickwater
lebih murah karena pengaruh penguapan lebih efisien dibandingkan dengan
menggunakan alat pemanas. Langkah terakhir yang dilakukan dalam pembuatan
tepung ikan adalah penggilingan untuk memecahkan gumpalan-gumpalan atau
partikel dari tulang dan dilakukan pengemasan tepung ikan untuk selanjutnya
dilakukan penyimpanan di dalam silo. Dari tempat industri pengolahan tepung ikan,
tepungi kan yang sudah siap jual kemudian ditransportasikan.
b. Silase Ikan

Silase ikan adalah suatu produk cair yang dibuat dari ikan-ikan utuhatau
sisa-sisa industri pengolahan ikan yang dicairkan menyerupai bubur oleh enzym-
enzym yang terdapat pada ikan-ikan itu sendiri dengan bantuan asamatau mikroba
yang sengaja ditambahkan. Menurut Suharto (1997) bahwa ada dua macam proses
pembuatannya yaitu dengan cara kimiawi dan cara biologis . Pembuatan silase ikan
dengan cara kimiawi adalah dengan menambahkan bahan kimia ke dalam ikan dan
atau sisa-sisa ikan yang telah digiling seperti HCI, H 2SO4, Asam Propionat, Asam
Formiat atau campuran keduanya. Sedangkan, silase ikan secara biologis dibuat
dengan cara memanfaatkan mikroba yang ada yaitu mengaktifkan mikroba tersebut
melalui penambahan bahan yang mengandung karbohidrat yang tinggi, seperti
dedak padi, jagung dan molases.

Silase dapat digunakan sebagai penambah atau sumber protein yangutama dalam
pembuatan pakan unggas, babi dan ikan budidaya. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Sub Balai Penelitian Perikanan Laut Lipi, 4 kg silase ikan dapat
menggantikan 1 kg tepung ikan. Sedangkan hasil analisa laboratorium dari silase
ikan menunjukkan kandungan air 70 - 75%, protein 18 - 20%, lemak 1 - 2%, dan abu
4 - 6%. Pembuatan silase ikan secara kimiawi, hasil yang terbaik adalah dengan
mengunakan campuran asam propionat dan asam formiat dengan perbandingan 1 :
1. Menurut Hertrampf (1987), asam propionat dapat mencegah pembentukan
aflatoksin, sedangkan kelebihan asam propionat yang lainnya adalah meningkatkan
daya cema bahan pakan, meningkatkan nilai gizi bahanpakan, mencegah terjadinya
penggumpalan .Silase ikan dapat digunakan langsung dalam bentuk cair terutama
untuk pakan babi atau itik atau dengan mencampurkan silase cair dengan jagung
atau dedak padi. Adapun perbandingannya adalah 1 : 1 dan setelah tercampur
merata kemudian dikeringkan, lalu digiling. Cara pemberian seperti ini dapat
diberikan sebagai campuran pakan ayam, itik dan ikan budidaya.

c. Pengolahan Chitin dan Chitosan

Chitin adalah suatu polimer dari N-Acetyl glucosamine yang terkandung


dalam kepala/kulit udang dan jenis crustecea lainnya yang mempunyai struktur
rantai molekul mirip dengan cellulosa, sedangkan chitosan adalah turunan dari
chitin.
Menurut Saparinto (2011) bahwa chitosan adalah bahan pengawet pengganti
formalin yang aman digunakan. Chitosan merupakan limbah atau produk samping
dari pengolahan udang dan rajungan.Kandungan chitosan adalah polikation
bermuatan positif sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang.
Berdasarkan hasil uji coba, menunjukkan bahwa ikan asin seperti jambal roti, teri
kering, cumi asin yang dalam proses pembuatannya diberi chitosan mampu
bertahan hinga tiga bulan, sedang tanpa pemberian chitosan hanya mampu bertahan
hingga dua bulan.

Gambar 2. Prosedur Pembuatan Chitin dan Chitosan.


Chitosan dapat berfungsi untuk memperbaiki tampilan dan meningkatkan cita rasa.
Manfaat lain chitosan adalah sebagai pengolahan limbah, penyerapan warna pada industri
tekstil, menyerap logam berat, melapisi bahan makanan, menyerap lemak, sehingga bisa
digunakan sebagai pelangsing. Chitosan biasanya dijual dalam bentuk cairan karena jika
dipasarkan dalam bentuk tepung, dikhawatirkan dosisnya tidak terkontrol. Dosis
penggunaan chitosan adalah adalah 1,5% yang artinya dalam 1 liter air, dibutuhkan
chitosan sekitar 15 gram. Beberapa keuntungan menggunakan chitosan antara lain: berat
olahan dapat dipertahankan, tidak mengubah warna, bau, rasa dan tekstur, efektif dalam
menghambat pertumbuhan bakteri, harganya terjangkau, serta sisa larutan chitosan yang
telah dipakai bisa dipakai kembali. Prosedur pembuatan chitin dan chitosan Harini et al.
(2004) seperti terlihat pada Gambar 2.

a. Kecap Ikan

Kecap ikan adalah salah satu produk perikanan tradisional yang diolah
secara fermentasi.Warnanya bening kekuningan sampai cokelat muda dan banyak
mengandung nitrogen. Kecap ikan sangat digemari oleh masyarakat karena selain
rasanya gurih juga pembuatannya mudah dan murah. Dalam pembuatan kecap ikan
tidak memerlukan jenis ikan tertentu dan dapat digunakan ikan yang tidak bernilai
ekonomis serta limbah ikan (sisa pengolahan). Kecap rasa khusus berbahan ikan
jenis khusus pula. Rasanya gurih serta pembuatannya mudah dan murah.

b. Terasi Ikan/Udang

Terasi adalah salah satu produk hasil fermentasi ikan atau udang yang
hanya mengalami perlakuan penggaraman kemudian dibiarkan beberapa saat agar
terjadi fermentasi. Proses fermentasi dapat berlangsung karena adanya aktivitas
enzim yang berasal dari tubuh ikan/udang itu sendiri (Afrianto dan Liviawaty,
1989).

Pembuatan terasi ikan/udang merupakan salah satu upaya pemanfaatan


limbah padat hasil perikanan yang kualitasnya sudah tidak memenuhi syarat untuk
digunakan sebagai makanan manusia atau produk sampingan dari usaha budidaya
(misalnya produksi udang rebon di tambak bandeng). Permintaan luar negeri (Arab
Saudi dan Belanda) akan terasi cukup besar dan sebagian belum terpenuhi. Peluang
ekspor terasi Indonesia sangat baik.
Pemanfaatan Limbah Hasil Perikanan
1. Limbah Sisik Ikan
Sisik ikan merupakan alternatif dalam rangka mengurangi limbah dari
olahan perikanan sekaligus sebagai informasi bahan produk lem juga dapat
dibuat dari bahan alami, tidak seperti lem komersial pada umumnya.
Menurut Rohmah et al. (2015), lem komersial yang beredar dipasaran
sebagian besar merupakan lem sintetis yang dibuat menggunakan bahan-bahan
kimia seperti lem Polyvinyl Acetate (PVAc), Polystyrene, Urea Formaldehida,
dan lain sebagainya. Inovasi pengolahan sisik ikan berupa lem ikan masih
sangat jarang, padahal limbah sisik sangat melimpah, terutama ikan yang
banyak dikonsumsi oleh masyarakat seperti ikan Kakap Putih, Bandeng, dan
Nila. Perbedaan jenis sisik dan habitat ikan memungkinkan dapat
menghasilkan karakteristik dan kualitas lem ikan. Pada penelitian Nagai et al.
(2004), kolagen terdapat pada sisik ikan sardin dalam bobot
kering sebesar 50.9 %, red sea bream 37.5 %, dan Japanese sea bass 41.0 %.
Menurut Rohmah et al. (2015), mutu lem ikan dari tiga jenis tulang ikan
yang berbeda dipengaruhi oleh kadar protein jenis ikan dan juga habitat ikan
tersebut berasal. Setiap jenis ikan akan menghasilkan lem ikan dengan daya
rekat yang berbeda. Kolagen tersebut berpotensi lebih untuk dikembangkan
menjadi produk non-pangan, salah satunya itu lem ikan (fish glue).
Kolagen merupakan bagian dari protein serat atau protein fibrosa yang
memiliki beberapa rantai polipeptida yang dihubungkan oleh berbagai ikatan
silang membentuk triple helix. Kolagen dapat mengembang karena daya ikat
pada struktur molekulnya melemah saat diberikan perlakuan pH di bawah 4
atau dinaikkan sampai pH 10. Lem ikan dapat di aplikasikan pada industri
kertas dan kayu. Lem ikan merupakan bahan perekat yang berasal dari hasil
ekstraksi dan hidrolisis kolagen yang banyak terdapat pada sisik, tulang dan
kulit ikan. Kandungan utama pada kolagen terdiri dari glisin, alanin, prolin,
dan hidroksiprolin
Lem berasal dari penguraian kolagen yaitu sebuah protein berantai
panjang yang banyak. Kolagen tidak larut dalam air, tetapi dapat diuraikan
dengan pemanasan di dalam air,
serta bahan kimia lain (zat asam atau basa). Komposisi lem ikan dipengaruhi
oleh jenis-jenis ikan. Setiap ikan memiliki kandungan kolagen yang berbeda.
Jumlah kolagen ikan bertulang rawan adalah 10 % dari total protein dan ini
lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan bertulang keras, yaitu sekitar 3 %.
(Nugroho et al., 2015).
Lem ikan dengan bahan baku sisik ikan Kakap Putih (Lates calcarifer),
ikan Bandeng (Chanos chanos Forks), dan ikan Nila (Oreochromis niloticus)
berpengaruh nyata terhadap nilai keteguhan rekat, kerusakan permukaan kayu,
viskositas, dan kadar air lem ikan yang dihasilkan, sedangkan derajat keasaman
(pH) tidak berpengaruh nyata. Lem ikan dengan bahan baku sisik ikan Kakap
Putih merupakan produk yang terbaik dengan kriteria mutu: keteguhan rekat
8.64 N/mm2 ; kerusakan permukaan kayu 40.47 %; viskositas 7.68 poise; pH
4.80; dan kadar air 52.92 %.
Rohmah et al. (2015), mengatakan bahwa kolagen dari kulit ikan
manyung lebih baik dibandingkan dari kulit bandeng dan ikan nila setelah diberi
perlakuan asam asetat (CH3COOH) konsentrasi 5 %, dan yang terbaru dari
penelitian Akter et al. (2017), menyatakan bahwa lem dari kulit ikan nila
dengan perlakuan menggunakan pelarut asam mempunyai nilai pH 3.26 dan
kadar air 30.35 %.
2. Gelatin Ikan
Pada tahun-tahun terakhir, para peneliti sudah banyak yang meneliti
sumber- sumber bahan baku yang sifatnya halal, higienis dan dapat diterima oleh
berbagai penganut agama. Jenis bahan baku gelatin yang saat ini telah banyak
diteliti yaitu dari tulang ikan dan dari kulit ikan. Tulang ikan dan kulit ikan adalah
hasil limbah yang belum dimanfatkan secara maksimal, dari hasil industri ikan tuna
loin di Bitung Sulawesi Utara. Limbah ikan tuna yang belum dimanfaatkan dapat
mencemari lingkungan dengan bau yang menyengat maupun banyak lalat
disekitarnya, bagi para penampung limbah ini yang hanya dimanfaatkan untuk
pakan ternak, pakan ini didapat dari limbah yang hanya dijemur dengan panas
matahari. Limbah industri ikan tuna loin dapat dipergunakan sebagai bahan baku
pembuatan gelatin ikan, sekaligus dapat mengatasi limbahnya dan dapat
dikembangkan usaha pengolahan gelatin ikan untuk memperoleh nilai ekonomis
yang tinggi dan mempunyai daya saing industri dalam bidang perikanan.
Gelatin adalah hasil hidrolisa protein yang terdapat pada tulang dan kulit
ikan, mudah dicerna oleh tubuh manusia, adalah intake yang cepat dalam
tubuh. Mempunyai sifat rendah kalori, protein tinggi , serta bebas kandungan
gula. Gelatin yang dengan air apabila dipanaskan akan membentuk gel pada
temperature di bawah 35ºC, ini unik karena sesuai dengan suhu tubuh
manusia. Gelatin dapat diaplikasikan dengan mudah untuk keperluan industri
pangan, farmasi dan fotografi.

Dalam bidang industri pangan, dapat dimanfaatkan sebagai produk


yang memerlukan pembentukan busa (whipping agent), biasanya pada
pembuatan es krim, sedang produk yang perlu menstabilkan pada hasilnya,
maka gelatin ini berfungsi sebagai stabilizer. Ada produk yang memerlukan
gelatin ini untuk meningkatkan viskositas dan juga berfungsi sebagai
pengikat. Dalam bidang farmasi, gelatin digunakan sebagai bahan makanan
(food aditif), yang berfungsi untuk pertumbuhan otot precursor dari keratin,
sebagai penambah rasa enak, dengan kandungan lemak yang bebas (rendah)
sehingga dapat mengatasi penyakit yang disebabkan karena kegemukan,
dengan cara membantu mengurangi enegi karena kelebihan lemak. Dalam
bidang fotografi, gelatin digunakan untuk memperpanjang daya simpan
dalam menyimpan foto, yaitu sebagai fotoresist yang dapat menghindari
(coating) dari adanya cahaya yang sensitif.

Limbah Cair Hasil Industri Perikanan


Limbah cair adalah bahan-bahan pencemar berbentuk cair. Air limbah adalah
air yang membawa sampah (limbah) dari rumah tinggal, bisnis, dan industri yaitu
campuran air dan padatan terlarut atau tersuspensi dapat juga merupakan air buangan
dari hasil proses yang dibuang ke dalam lingkungan. Limbah cair yang dihasikan oleh
industri pengolahan ikan mempunyai pH mendekati 7 (netral), yang disebabkan oleh
adanya dekomposisi bahan-bahan yang mengandung protein dan banyaknya senyawa-
senyawa amonia.
Kandungan limbah cair industri perikanan tergantung pada derajat kontaminasi
dan juga mutu air yang digunakan untuk proses (Gonzales dalam Heriyanto, 2006).
Bau yang timbul dari limbah cair perikanan disebabkan oleh dekomposisi
bahan organik yang menghasilkan senyawa amina mudah menguap, diamina dan
amoniak. Limbah cair industri perikanan memiliki kandungan nutrien, minyak, dan
lemak yang tinggi sehingga menyebabkan tingginya nilai COD terutama berasal dari
proses penyiangan usus dan isi perut serta proses pemasakan (Mendezet a1, 1992
dalam Sari, 2005). Limbah cair dari hasil perikanan dapat berupa sisa cucian
ikan/udang, darah dan lendir ikan, yang banyak mengandung minyak ikan sehingga
menimbulkan bau amis yang menyengat. Limbah cair ini merupakan limbah yang
dominan dari usaha perikanan karena selama proses, membutuhkan air dalam jumlah
yang cukup banyak. Limbah cair juga berasal dari sanitasi dan toilet pada lokasi usaha
tersebut.

Proses Pengolahan Limbah Cair

Metode dan tahapan proses pengolahan limbah cair yang telah dikembangkan
sangat beragam. Limbah cair dengan kandungan polutan yang berbeda kemungkinan
akan membutuhkan proses pengolahan yang berbeda pula. Proses- proses pengolahan
tersebut dapat diaplikasikan secara keseluruhan, berupa kombinasi beberapa proses
atau hanya salah satu. Proses pengolahan tersebut juga dapat dimodifikasi sesuai
dengan kebutuhan atau faktor finansial.

Limbah cair yang dihasilkan dari pengolahan ini berasal dari pencucian ikan.
Pencucian ikan menggunakan banyak air pada setiap prosesnya. Limbah cair tersebut
mengalir pada setiap selokan-selokan kecil di pojokan ruang produksi yang alirannya
langsung kepada pusat pengolahan limbah cair yang berada di luar ruang produksi.
Limbah cair tersebut tidak hanya berisi air cucian, namun ada limbah padat seperti
sisik ikan yang ikut tercampur di dalam limbah tersebut. Dalam penanganan limbah
cair dilakukan tahap penghilangan sisik ikan menggunakan mesin khusus, sehingga
sisik-sisik yang tercampur dalam limbah cair dapat diambil.

Limbah cair yang dihasilkan tidak hanya berasal dari air cucian ikan saja,
namun juga berasal dari cucian alat-alat yang digunakan pada proses pengolahan.
Pencucian air tersebut menggunakan klorin yang berbeda konsentrasi dan volume
yang digunakan. Penanganan limbah cair ini bertahap pada setiap prosesnya hingga
mencapai air bersih yang dibuang ke laut.
Menurut Azizah (2013), pengelolaan limbah cair yang diterapkan melalui 5 tahap
penanganan yaitu tahap pertama penanganan pendahuluan (Pre Treatment),

tahap kedua yaitu penanganan pertama (Primary Treatment), tahap ketiga penanganan
kedua (Biological Treatment), dan tahap keempat pengendapan dan tahap yang
terakhir yaitu penanganan pemeliharaan bakteri. Masing-masing unit penanganan
dapat dirincikan sebagai berikut.
 Penanganan Pendahuluan (Pre Treatment)

Penanganan pendahuluan merupakan proses atau tahapan fisik untuk


memisahkan padatan yang mengendap dan mengapung dengan cara
penyaringan padatan kasar menggunakan alat penyaring. Alat penyaring
limbah berfungsi untuk memisahkan padatan kasar yang terbawa air limbah.
Padatan berupa serpihan daging dan sisik ikan. Pemisahan padatan dapat
mengurangi resiko penyumbatan pipa akibat pengendapan padatan dan
mengurangi beban pengolahan biologis. Pada tahap penanganan ini lemak
terbentuk dari limbah cair yang terus-menerus mengalir pada bak atau kolam

yang tersedia. Kolam pada penanganan pendahuluan ini berukuran 2 x 3 m2.

 Penanganan Pertama (Primary Treatment)

Penanganan pertama pada IPAL bertujuan untuk menghilangkan padatan


yang tercampur melalui proses pengendapan atau pengapungan. Tahap
penanganan pertama yaitu dengan menggunakan bak atau kolam ekualisasi.
Bak atau kolam ekualisasi merupakan bak pendukung pada proses pengolahan
pendahuluan. Bak ekualisasi digunakan setelah proses pemisahan padatan
kasar yang berfungsi untuk menampung air limbah sementara sebelum
memasuki proses berikutnya. Fungsi dari bak ekualisasi adalah untuk
menstabilkan debit air limbah yang akan memasuki proses pengolahan
biologis, yaitu dengan mengatur volume pemompaan sehingga jumlah air
limbah yang memasuki proses selanjutnya dapat dikontrol. Selain itu, bak
ekualisasi juga berfungsi untuk menghomogenkan air limbah karena air limbah
yang masuk dengan konsentrasi yang berbeda akan tercampur dan tecapai
konsentrasi yang homogen.
Pada tahapan ini terdapat alat semacam blower yang berada di dasar
kolam yang berguna sebagai aerasi. Dengan adanya blower maka lemak-lemak
yang berada pada air limbah akan menggumpal ke atas dan bergerak secara
berputar-putar seperti siklus. Lemak-lemak yang telah terbentuk dan
menggumpal biasanya diambil oleh petugas pengelolaan limbah cair, lemak
tersebut dibuang maupun ditampung dalam wadah untuk dijual kepada
pengepul.

 Penanganan Kedua (Biological Treatment)

Pengolahan biologis merupakan tahapan pengolahan air limbah yang


melibatkan mikroorganisme dalam prosenya dengan tujuan untuk mengurangi
padatan tersuspensi dan bahan organik yang terkandung dalam air limbah.
Penanganan limbah secara biologis pada industri perikanan ini hanya dengan
cara aerob, yaitu membutuhkan oksigen dalam prosesnya.

Mikroorganisme atau bakteri digunakan dalam proses pengolahan air


limbah ini bertujuan agar menguraikan bahan-bahan organik di dalam limbah
tersebut dengan bantuan oksigen di dalamnya memecah lemak, karbohidrat,
dan protein. Oksigen berfungsi untuk membuat partikel yang berukuran besar
menjadi kecil atau dapat menyederhanakan limbah. Pada kolam ini terdapat
pula blower sebagai aerasi bakteri. Mikroorganisme seperti alga, bakteri,
jamur/khamir digunakan untuk memecah limbah. Bakteri dapat memecah
protein menjadi asam amino, sedangkan jamur/khamir dapat memecahkan
karbohidrat menjadi glukosa. Protein yang mengandung asam amino akan
terurai menjadi NH3, H2S, dan N2. Lemak yang mengandung asam lemak
akan terurai menjadi asam karboksilat dan karbohidrat yang mengandung gula
akan terurai menjadi CO2 dan H2O. Bahan-bahan hasil dari penguraian
tersebut apabila terkena panas akan menguap dan menghasilkan bau limbah
yang kurang enak.
 Tahap Pengendapan

Tahap selanjutnya adalah tahap pengendapan. Pengendapan adalah kegiatan


utama dalam tahap pengolahan air limbah dan berlangsung dalam kondisi yang
tenang. Proses pengendapan dapat menggunakan atau tidak penambahan bahan
kimia untuk menetralkan air limbah. Proses pengendapan dapat mengurangi
kebutuhan oksigen pada pengolahan biologis dan pengendapan dilakukan
secara gravitasi (Sugiharto, 1987).
Panas yang dihasilkan dari pengolahan air limbah pada tahap ini dapat
menimbulkan proses penguapan biomassa yaitu lumpur (sludge). Lumpur mengandung
bakteri yang dimanfaatkan pada kolam sebelumnya. Tahapan pengendapan ini terdapat
sistem lumpur aktif konvensional yang menggunakan sistem aerasi untuk memasok
kebutuhan oksigen dan memanfaatkan lumpur aktif sebagai sumber kebutuhan nutrient
untuk pertumbuhan mikroorganisme. Sistem lumpur aktif mampu menstabilkan zat-zat
organik terlarut sampai tingkat kadar yang rendah dalam waktu yang relatif singkat,
percepatan terjadi karena massa mikroorganisme membentuk flok-flok zat biologis
padat pada konsentrasi tinggi yang realtif tetap. Kestabilan konsentrasi diperoleh
dengen mengembalikan sebagian lumpur dari clarifier akhir ke tangki aerasi, selain itu
juga mendorong terjadinya inokulasi lumpur aktif terus-menerus agar waktu tinggal
lumpur lebih panjang dan mikroorganisme mampu beradaptasi dengan nutrient yang ada
(Tyoso, 1991). Tujuan dari proses lumpur aktif adalah untuk memisahkan bahan organik
terlarut dan yang tidak terlarut dari limbah dan mengkonversikan material tersebut
menjadi suspense flokulan microbial yang siap diendapkan dengan teknik pemisahan
padatan cairan secara gravitasi (Eckenfelder, 1989). Bentuk dari clarifier yaitu persegi
empat dengan dasar mengerucut ke bawah. Di bagian tepi permukaan clarifier terdapat
parit dengan lebar ± 40 cm. Parit tesebut berfungsi untuk menampung air pada
permukaan clarifier yang telah jernih dan kemudian mengalir menuju kolam
penampungan akhir atau kolam outlet.
3.1 Definisi dan Ruang Lingkup Produksi Bersih
Produksi bersih merupakan suatu tindakan preventif yang terpadu dan
terintegrasi yang bisa diaplikasikan dalam proses produksi, dan jasa untuk
meningkatkan efesiensi bagi proses tersebut dan mengurangi dampak buruk bagi
manusia dan lingkungan (Thrane, et al 2009). Terdapat beberapa aspek yang ada
pada kegiatan di proses produksi bersih ini, meliputi polusi lingkungan, energi dan
isu perubahan iklim. Sekarang ini, fokus pada kegiatan produksi bersih untuk
menangani, dikhususkan untuk membangun dan menerapkan produksi bersih untuk
problem polusi lingkungan (Visvanathan et al., 1999).
Teknologi yang digunakan dalam konsep produksi bersih ini menggunakan
beberapa modifikasi dalam setiap tahapan proses produksi, sehingga mendapatkan
keuntungan dalam hal pengurangan jumlah bahan baku, pengurangan energi, dan
pengurangan limbah yang dihasilkan (Ibrahim, 2004).
Definisi dan Ruang Lingkup Produksi Bersih dapat dilihat pada Gambar 1.

UNEP (United Nation Environment Program) pertama kali


memperkenalkan konsep produksi bersih pada tahun 1989 / 1990. Produksi bersih
merupakan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu
yang bertujuan
mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan (Kristanto, 2013). Terdapat
kata kunci yang dipakai untuk pengelolaan lingkungan pada proses produksi bersih
yaitu : pencegahan pencemaran, proses, produk, jasa, peningkatan efisiensi,
minimisasi resiko. Sikap, manajemen yang bertanggung-jawab pada lingkungan dan
evaluasi teknologi yang dipilih sangat penting dalam proses ini. Produksi bersih
pada proses industri berarti meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku, energi,
mencegah atau mengganti penggunaan bahan-bahan berbahaya dan beracun,
mengurangi jumlah dan tingkat racun semua emisi dan limbah sebelum
meninggalkan proses. (Purwanto, 2005).

3.2 Limbah Industri Perikanan


Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan (UU No 32 Tahun 2009).
Semua ikan dan semua bahan makanan yang diambil dari laut harus senantiasa
mendapat perhatian mulai dari tempat – tempat pengambilan dari dalam air sampai
di meja untuk dimakan. Ikan merupakan bahan makanan yang paling mudah busuk
dibandingkan dengan yang lain. Hal yang harus diperhatikan dalam sanitasi bidang
perikanan adalah cara pengangkutan, cara penyimpanan dan cara pengolahan
(Santoso, 2015). Bappenas pada tahun 2014 menyebutkan bahwa pemerintah
menargetkan pertumbuhan produk olahan hasil perikanan menjadi 6,8 juta ton pada
tahun 2019 (Herdiawan, 2016). Ini yang menyebabkan industri perikanan
mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga limbah yang dihasilkannya
pun bukan tidak mungkin akan semakin banyak. Contoh dari kegiatan industri di
bidang perikanan tersebut adalah kegiatan pengolahan hasil perikanan, seperti:
industri rumah tangga kegiatan pengiriman ikan segar, industri rumah tangga
kegiatan fillet ikan, industri rumah tangga kegiatan pengasinan ikan, industri
kegiatan pembuatan tepung ikan dan lain-lain (Wibowo, et al 2013).

Proses produksi bersih dalam industri perikanan, dapat dilakukan pada tahapan
perancangan proses dan pabrik, perubahan reaksi atau dengan pengendalian arus
masukan dan limbah (Ibrahim, 2004). Pada industri perikanan juga terdapat limbah
yang dihasilkan. Limbah perikanan mengandung nutrisi yang tidak berbeda dari
bahan utamanya dan telah banyak juga diteliti pemanfaatannya Hasil samping
industri pengolahan perikanan umumnya berupa kepala, jeroan, kulit, tulang, sirip,
darah dan air bekas produksi. Kegiatan industri pengolahan perikanan secara
tradisional umumnya kurang mampu memanfaatkan hasil samping ini, bahkan tidak
termanfaatkan sama sekali sehingga terbuang begitu saja. Hasil samping kegiatan
industri perikanan dapat digolongkan menjadi lima kelompok utama, yaitu hasil
samping pada pemanfaatan suatu spesies atau sumberdaya; sisa pengolahan dari
industri - industri pembekuan, pengalengan, dan tradisional, produk ikutan, surplus
dari suatu panen utama atau panen raya, dan sisa distribusi (Sukarno (2001) dalam
Syukron (2013).
Beberapa macam proses pengolahan yang ada yakni sortasi, grading,
gutting, mengupas kulit (misal kerang), fillet, dan pemotongan. Pada beberapa ikan
atau produk kerang. Proses pengolahan tergantung pada jenis produk. Ikan pelagis,
tinggi akan kandungan minyak dan lemak, namun memberikan air limbah dan
polusi yang tinggi. Pengolahan ikan demersal relatif lebih sederhana pengolahannya
daripada ikan pelagis yang biasanya diolah menjadi produk perikanan yang lebih
halus namun cara pengolahannya lebih kompleks misalnya ikan kalengan. Ikan
segar pada pengolahan ikan kalengan, dibawa ke tempat produksi dalam keadaan
utuh dan masih segar, kemudian dihilangkan kepalanya dan dibekukan. Ikan ini
kemudian disimpan dalam temperatur -32°C. Kulit ikan segar ini dihilangkan pada
proses produksinya kemudian dimasak dan didinginkan yang sebelumnya dilakukan
proses filleting. Proses pengolahan ikan ini selanjutnya adalah penambahan air
garam, pegalengan, sterilisasi dengan autoklaf dan penyimpanan. Untuk
minimalisasi limbah secara biologis dilakukan unit pengolahan air limbah yang
dipisahkan dari air yang sudah tercemar yg lain, cara ini bisa menunjukkan
kepedulian terhadap lingkungan. Penggunaan microwave dapat memberikan
kualitas terbaik dan mengurangi tingkat energi karena adanya penghematan dan
ventilasi pada alat tersebut, namun kelemahan menggunakan microwave adalah
ukuran ikan yang tidak sama akan menjadi masalah tersendiri. Peningkatan kualitas
produk akhir dapat memberikan kemudahan dalam mengontrol kadar buangan air
limbah karena adanya subtitusi soda alkali. Pembakar gas hanya digunakan untuk
energy yang kecil karena bisa memberikan efek bahaya kebakaran (Thrane et al,
2009).
3.3 Produksi Bersih dalam Bidang Perikanan
Pola pendekatan produksi bersih dalam melakukan pencegahan dan
pengurangan limbah yaitu dengan strategi 1E4R (Elimination, Reduce, Reuse,
Recycle, Recovery) (UNEP, 1999). Prinsip-prinsip pokok dalam strategi produksi
bersih dalam Kebijakan Nasional Produksi Bersih (KLH, 2003) dituangkan dalam 5R
(Re-think, Re- use, Reduction, Recovery and Recycle). Hal ini bisa diterapkan pada
industri perikanan, yakni :
1. Elimination (pencegahan) merupakan upaya untuk mencegah timbulan limbah
langsung dari sumbernya, mulai dari bahan baku, proses produksi sampai produk
(Purwanto, 2005). Industri perikanan dalam proses produksinya mengkonsumsi air
dalam jumlah besar, yang digunakan dalam proses penanganan, pengolahan dan
pencucian. Proses – proses ini menyebabkan limbah cair industri perikanan yang
dihasilkan cukup besar mencapai 20m3 per ton produk yang dihasilkan (River et al,
1998 dalam Ibrahim, el al 2010). Teknologi pengolahan limbah cair yang sering
digunakan dalam industri perikanan adalah kolam aerasi secara biologis dengan
lumpur aktif (Fauzie et al, 2003 dalam Ibrahim et a,l 2010). Proses ini dinamakan
nitrifikasi yang menghasilkan nitrat.

2. Re-think (berpikir ulang), adalah suatu konsep pemikiran yang harus dimiliki pada
saat awal kegiatan akan beroperasi, dengan implikasi (Purwanto, 2005). Pada
proses berpikir ulang ini, maka pengusaha bisa melihat apakah proses produksinya
dan konsumsi sudah berlaku dengan baik, perlu dipikirkan dan dikaji ulang
mengenai analisis daur hidup produk. Adanya dukungan dari semua pihak misal
pemerintah, masyarakat, pekerja produksi dan pelaku usaha mengenai perubahan
dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku sangat diperlukan dalam keberhasilan
produksi bersih ini. Sebagai contoh, pada industri pengolahan terasi yang dibuat
dari produk awetan ikan- ikan kecil atau rebon yang telah diolah melalui proses
pemeraman atau fermentasi, penggilingan atau penumbukan, dan penjemuran yang
berlangsung selama ± 20 hari kemudian produk tersebut ditambahkan garam yang
berfungsi sebagai bahan pengawet. Terasi udang warnanya coklat kemerahan
sedangkan terasi ikan warnanya kehitaman. Kandungan gizi dalam 100 g terasi
menurut Daftar Analisis Bahan Makanan Fakultas Kedokteran UI, 1992 dalam
Suprapti (2002), kandungan protein sebesar 30 g, kandungan lemak sebesar 3.5 g,
kandungan karbohidrat sebesar 3.5 g, kandungan mineral sebesar 23.0 g, dan
mengandung kalsium, fosfor, juga besi. Proses produksi terasi pada dasarnya tidak
banyak menghasilkan limbah. Namun dalam proses pengolahannya masih bisa ditingkatkan
efisiensi dan higienitasnya. Upaya yang bisa dilakukan adalah membuat SOP (standar
operasi kerja) pengolahan terasi, menyediakan tempat penyimpanan bahan baku dan
mengatur tata letak peralatan yang digunakan. Sedangkan dari sisi pemasaran berupaya
mengikuti event/ pameran industri makanan, menganalisa kandungan nilai gizi serta
memberikan lebel berupa sertifikasi halal, tanggal kadaluarsa dan komposisi bahan gizi
(Ma’ruf et al., 2013).
3. Reduce (pengurangan) adalah upaya untuk menurunkan atau mengurangi timbulan
limbah pada sumbernya (Purwanto, 2009). Reduce pada industri perikanan dapat
dilakukan dengan meningkatkan efisiensi dalam penggunaan bahan baku, sehingga
akan mengurangi biaya bahan baku, meminimalkan buangan limbah, sehingga akan
mengurangi biaya penanganan dan pembuangan limbah, mengurang atau
mengeliminasi kebutuhan akan penanganan dengan konsep EOP (end of pipe).
Namun penanganan end of pipe ini lebih mahal dibandingkan dengan pencegahan
dari awal. Bisa juga dilakukan dengan optimalisasi alat dengan menggunakan steam
dan autoklaf, penggunaan siklon dapat dilakukan sebagai cara untuk pemisahan
minyak ikan dari air limbah. Fokus pada konsumsi air dan emisi air limbah serta
sumberdaya dan efisiensi energi (Thrane et al., 2009).
4. Reuse (pakai ulang/penggunaan kembali) adalah upaya yang memungkinkan suatu
limbah dapat digunakan kembali tanpa perlakuan fisika, kimia atau biologi
(Purwanto, 2009). Pada industri perikanan limbah dari tulang ikan dapat digunakan
kembali sebagai gelatin untuk mencegah banyaknya timbulan limbah. Ekstraksi
gelatin dari tulang ikan merupakan usaha pemanfaatan limbah industri pengolahan
ikan yaitu dari industri pengalengan dan filet. Selama ini tulang ikan sebagai limbah
belum termanfaatkan secara optimal, yaitu hanya digunakan untuk bahan
pembuatan pakan atau pupuk sehingga nilai ekonomisnya sangat kecil. Selain itu,
pemanfaatan tulang ikan sebagai bahan baku gelatin merupakan pengolahan bersih
(cleaner production) dari pengolahan ikan. Gelatin dari bisa diperoleh dari industri
perikanan berupa tulang ikan Nila, tulang ikan Tuna, campuran tulang ikan Nila-
Tuna. Proporsi tulang ikan terhadap tubuh ikan mencapai 12,4 persen. Tulang ikan
yang dihasilkan dari industri filet nila pada tahun 2003 sekitar 900 ton sedangkan
dari pengalengan ikan tuna sekitar 5.803 ton. Umumnya rendemen gelatin dari
tulang ikan sekitar 12 persen, sehingga diperkirakan gelatin yang dapat diperoleh
dari 6.703 ton tulang ikan adalah 804,6 ton (Abudullah, 2005 dalam Junianto et al
2006).

5. Recycle (daur ulang) adalah upaya mendaur ulang limbah untuk memanfaatkan
limbah dengan memrosesnya kembali ke proses semula melalui perlakuan fisika,
kimia dan biologi. Bahan organik dalam limbah industri perikanan terbilang cukup
tinggi, karena mempunyai kandungan lemak, protein dan nutrien lainnya. Dengan
adanya bahan organik yang tinggi ini, menyebabkan limbah ini menjadi sumber
pertumbuhan bagi mikroba. Sebanyak 1.300 m3/hari limbah cair dihasilkan pada
musim ikan (Romli dan Suprihatin 2009 dalam Ibrahim et al. 2014). Limbah cair
perikanan dapat digunakan sebagai sebagai penghasil listrik melalui teknologi
microbial fuel cell (MFC), serta mengetahui jumlah elektroda yang optimal untuk
menghasilkan energi listrik dalam sistem MFC. Sistem MFC ini dapat menurunkan
rata-rata total N dalam limbah cair perikanan sebesar 16,98%, BOD sebesar
32,05%, COD sebesar 37,4%, dan nilai Total Amonia Nitrogen sebesar 71,74%
(Ibrahim et al, 2014).
6. Recovery adalah upaya mengambil bahan - bahan yang masih mempunyai nilai
ekonomi tinggi dari suatu limbah, kemudian dikembalikan ke dalam proses produksi
dengan atau tanpa perlakuan fisika, kimia dan biologi (Purwanto, 2009). Recovery
yang bisa dilakukan dalam industri minyak ikan adalah memanfaatkan soapstock
dari proses pemurnian ikan untuk sabun colek atau biodisel, cairan residu ikan (limbah
cair) untuk pupuk cair, dan memanfaatkan minyak ikan yang kualitasnya terlalu
rendah untuk aditif pembakaran boiler (Suprihatin dan Romli, 2009). Meskipun
prinsip produksi bersih bisa dilakukan dengan strategi 1E4R atau 5R, namun perlu
ditekankan bahwa strategi utama perlu ditekankan pada Pencegahan dan Pengurangan
(1E1R) atau 2R pertama. Bila strategi 1E1R atau 2R pertama masih menimbulkan
pencemar atau limbah, baru kemudian melakukan strategi 3R berikutnya (reuse,
recycle, dan recovery) sebagai suatu strategi tingkatan pengelolaan limbah.
BAB IV

KESIMPULAN

Dengan teknologi pengolahan, limbah padat hasil perikanan berupa ikan rucah, sisa
olahan dari pabrik, kesalahan dalam penanganan, ikan hasil tangkapan yang tidak
bernilai ekonomis atau karena produksi yang berlebihan dapat dimanfaatkan
menjadi produk yang bernilai tambah seperti tepung ikan, silase ikan, chitin dan
chitosan, kecap ikan, terasi ikan/udang dan kerupuk udang.
BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan.Kanisius.


Yogyakarta.

Harini, N., S. Winarni, E. Setyaningsih. 2004. Pemanfaatan Teknologi Pengolahan Limbah `

Kulit/Kepala Udang menjadi Chitosan untuk Ingredient Pembuatan Permen di Home


Industri Kebon Agung Kepanjen Malang. Jurnal Dedikasi Volume 1 Nomor 2 Novemver
2004.

Hertrampt, J. 1987. Nutrisi dan Feed Additive pada Hewan. Poulry


IndonesiaNo.95/Tahun VIII Nopember 1987.

Ramadhan, E. 2012. Proses Pembuatan Tepung Ikan. Http://ag1992.blogspot.com/.


[diakses pada: 5 Oktober 2019].

Saparinto, C. 2011. Fishpreneurship: variasi olahan produk perikanan skala industri &
rumah tangga. Lyli Publisher. Yogyakarta.

Suharto. 1997. Teknik Pembuatan Silase Ikan. Lokakarya Fungsional Non Peneliti. Balai
Penelitian Ternak Ciawi.

Vatria, B., Y.T. Johari, L.Wibowo. 2010. Penerapan Teknologi Pengolahan Kerupuk
Udang dengan Bahan Baku Limbah Kepala Udang sebagai Usaha Peningkatan Ekonomi
dan Gizi Masyarakat di Kelurahan Batulayang Kecamatan Pontianak Utara. Jurnal Vokasi
2010 Volume 6 Nomor 2.

Anda mungkin juga menyukai