Anda di halaman 1dari 20

MATA KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PANGAN

DAN HASIL PERTANIAN


PENGOLAHAN LIMBAH DENGAN SISTEM LUMPUR AKTIF

Oleh:
KELOMPOK 6 / THP A
Loefi Candra Devi 141710101025
Angga Setiyawan 141710101040
Reni Soraya 141710101085
Pungky Wildan Zain 141710101106
Rio Bagus 141710101112
Adellia Sonia Borneoputeri 141710101121

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
2017
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Limbah merupakan sesuatu yang pada umumnya setiap orang
menyatakannya dengan hal yang dapat mencemari lingkungan, bau, dan sisa dari
hasil produksi suatu bahan atau produk. Limbah dapat dikatakan juga sebagai
sampah. Limbah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan, yang mengandung bahan
berbahaya atau beracun yang karena sifat, konsentrasi, atau jumlahnya, baik
secara langsung atau tidak langsung akan dapat membahayakan lingkungan,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia atau makhluk hidup lainnya
(Mahida,1984). Jenis-jenis limbah berdasarkan senyawanya terbagi menjadi
limbah organic dan limbah anorganik, sedangkan pengelompokan limbhah
berdasarkan wujudnya terbagi menjadi limbah cair, limbah padat dan limbah gas.
Pengelompokan limbah juga dapat berdasarkan sumbernya, yakni limbah
domestic, limbah industry, limbah pertanian, dan limbah pertambangan. Adapun
limbah dengan bahan berbahaya dan beracun yang umumnya disebut dengan
limbah B3. Limbah B3 ini merupakan sisa suatu kegiatan yang mengandung
bahan berbahaya dan beracun, yang karena sifat dan atau konsentrasinya, baik
secara langsung maupun tidak langsung merusak lingkungan hidup, kesehatan
maupun manusia.
Limbah disebut juga dengan sampah dikarenakan sifatnya yang mudah
membusuk dan mudah meracuni lingkungan. Factor-faktor yang dapat
mempengaruhi jumlah sampah ini, yaitu jumlah penduduk, system pembuangan
sampah, reuse dan recycle, kondisi geografis, factor waktu, factor social budaya,
musim, kebiasaan masyarakat, kemajuan teknologi, dan jenis sampah. Sampah
yang terus menumpuk sangat tidak baik bagi lingkungan dikarenakan sifatnya
yang dapat merusak bumi. Dengan begitu, harus dilakukan pengelolahan limbah
secara optimal. Pengelolahan limbah dapat dilakukan dengan cara fisik, kimia
maupun biologis.
Pengelolahan limbah secara biologis dengan mikroba salah satunya yaitu
dapat menggunakan lumpur aktif atau activated sludge. Lumpur aktif adalah
proses pertumbuhan mikroba tersuspensi yang pertama kali ditemukan pada awal
abad ke-19. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobic yang
mengoksidasi material organic menjadi CO2, H2O, NH4, dan sel biomassa baru.
Dalam pengelolahannya lumpur aktif terdapat 2 jenis, yaitu lumpur aktif
konvensional dan modifikasi. Metode lumpur aktif merupakan metode pengolahan
air limbah yang paling banyak dipergunakan, termasuk di Indonesia, hal ini
mengingat metode lumpur aktif dapat dipergunakan untuk mengolah air limbah
dari berbagai jenis industri seperti industri pangan, pulp, kertas, tekstil, bahan
kimia dan obat-obatan.
1.2 Tujuan
Penerapan teknologi ini dengan tujuan dapat menghilangkan limbah
organik sederhana dan mudah urai, organik kompleks seperti warna, bau. Proses
ini juga menghilangkan logam berat
1.3 Manfaat
Teknologi pengolahan lumbah bermanfaat dalam menurunkan total
padatan tersuspensi (TSS) hingga mencapai 91%. COD 62%, Fe 96% dan BOD5
97%. Adanya proses lumpur aktif ini juga dapat menghilangkan warna dan bau
dari limbah tersebut.
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Lumpur Aktif (Activated Sludge)


Lumpur aktif (activated sludge) merupakan metode penanganan limbah
cair dengan memanfaatkan mikroorganisme tersuspensi. Mikroorganisme sendiri
selain menguraikan dan menghilangkan kandungan material, juga menjadikan
material yang terurai tadi sebagai tempat berkembang biaknya.Metode lumpur
aktif pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang mengoksidasi material
organik menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan sel biomassa baru. Udara disalurkan
melalui pompa blower (diffused) atau melalui aerasi mekanik. Sel mikroba
membentuk flok yang akan mengendap di tangki penjernihan. Anna dan Malte
(1994) berpendapat keberhasilan pengolahan limbah secara biologi dalam tertentu
diatur oleh kemampuan bakteri untuk membentuk flok.
Proses lumpur aktif merupakan proses pengolahan secara biologis aerobic
dengan mempertahankan jumlah massa mikroba dalam suatu reaktor dan dalam
keadaan tercampur sempurna. Suplai oksigen adalah mutlak dari peralatan
mekanis, yaitu aerator dan blower, karena selain berfungsi untuk suplai oksigen
juga dibutuhkan pengadukan yang sempurna. Perlakuan untuk memperoleh massa
mikroba yang tetap adalah dengan melakukan resirkulasi lumpur dan
pembuangan lumpur dalam jumlah tertentu.

2.2 Proses Lumpur Aktif Secara Konvensional


Sebelum memasuki proses air limbah diendapkan terlebih dahulu dalam
bak pengendap awal. Pengendap awal berfungsi untuk menurunkan padatan
tersuspensi sekitar 30-40 % serta BOD sekitar 25% (Ninftyas,2015). Air limbah
dari bak pengendap awal dialirkan menuju bak aerasi secara gravitasi.
Pada proses pengolahan limbah pada sistem lumpur aktif terdapat empat
proses penting, diantaranya adalah tangki aerasi, tangki pengendapan, resirkulasi
lumpur, serta penghilangan lumpur sisa (Ninftyas,2015). Proses earasi terjadi di
dalam biological reactor (aeration tank). Biomassa dapat terbentuk dikarenakan
adanya substart pada lumpur. Pengendapan biomassa terjadi di dalam tangki
pengendapan sekunder. Solid yang terbentuk kemudian dialirkan ke dalam tangki
aerasi untuk mempertahankan konsentrasi biomassa dalam reaktor sehingga akan
berpengaruh tehadap efisiensi sistem. Lumpur sisa dari pengolahan dialirkan
menuju tempat pengolahan lumpur awal (bak aerasi). Jadi dapat diketahui terdapat
tiga jenis lumpur yang dihasilkan yaitu yaitu lumpur sisa, lumpur biomassa yang
berada pada bak aerasi, serta lumpur sekunder yang berada pada tangki
pengendapan (Sperling, 2007)
Air limpasan dari tangki pengendapan sekunder dialirkan menuju bak
klorinasi. Air limbah ditambah dengan senyawa khlor untuk membunuh
mikroorganisme patogen. Air dari proses klorinasi tersebut dapat langsung
dibuang ke sungai atau saluran umum. Dengan proses ini air limbah dengan
konsentrasi BOD 250-300 mg/L dapat diturunkan kadar BOD-nya menjadi 20-30
mg/L. Surplus lumpur dari keseluruhan proses ditampung dalam bak pengering
lumpur sedangkan air resapannya ditampung kembali di bak penampung air
limbah (Sholichin, 2012). Ilustrasi sederhana pengolahan limbah dengan sistem
lumpur aktif dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 1. Ilustrasi sederhana pengolahan limbah dengan sistem lumpur aktif


Mikroorganisme yang ditemukan pada bak aerasi diantaranya adalah
bakteri, protozoa, metazoa, bakteri berfilamen, dan fungi. Sedangkan
mikroorganisme yang paling berperan pada proses lumpur aktif adalah bakteri
aerob (Anderson, 2007). Nilai pH pada bak aerasi harus dikontrol agar sesuai
dengan pertumbuhan mikroba. Untuk mengatur nilai pH maka dilakukan
penambahan asam atau basa pada mixed liquor. Selain itu, terdapat penambahan
urea dan asam posfat sebagai sumber N dan P untuk mibroba (Sustarcic,2009).
Parameter
Parameter yang umum digunakan dalam lumpur aktif (Davis dan
Cornwell, 1985) adalah sebagai berikut:
a. Mixed-liquor suspended solid (MLSS) adalah jumlah total dari padatan
tersuspensi yang berupa material organic dan mineral, termasuk
mikroorganisme. MLSS ditentukan dengan cara menyaring lumpur dengan
kertas saring, kemudian dikeringkan pada suhu 105oC, dan berat padatan
ditimbang.
b. Mixed-liquor volatile suspended solid (MLVSS) merupakan material
organik tidak berisi mikroba. LVSS diukur dengan memanaskan terus
sampel filter yang telah kering pada 600 650oC, dan nilainya mendekati
65-75% dari MLSS.
c. Food-to-microorganism ratio (F/M Ratio). Parameter ini merupakan
indikasi beban organik yang masuk ke dalam sistem lumpur aktif dan
diwakili nilainya dalam kilogram BOD per kilogram MLSS per hari.
Adapun rumusnyanya sebagai berikut:

Keterangan:
Q = Laju alir limbah Juta Galon per hari (MGD)
BOD = BOD(mg/l)
MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l)
V = Volume tangki aerasi (Gallon)
Rasio F/M dikontrol oleh laju sirkulasi lumpur aktif. Lebih tinggi laju
sirkulasi lumpur aktif lebih tinggi pularasio F/M-nya. Untuk tangki aerasi
konvensional rasio F/M adalah 0,2 - 0,5 lb BOD/hari/lb MLSS, tetapi
dapat lebih tinggi hingga 1,5 jika digunakan oksigen murni. Rasio F/M
yang rendah Mencerminkanbahwa mikroorganisme dalam tangki aerasi
dalam kondisi lapar, semakin rendah rasio F/M pengolah limbah semakin
efisien.
d. Hidraulic retention time (HRT). Waktu tinggal hidraulik (HRT) adalah
waktu ata-rata yang dibutuhkan oleh larutan influent masuk dalam tangki
aerasi untuk proses lumpur aktif; nilainya berbanding terbalik dengan laju
pengenceran (D) (Sterritt dan Lester, 1988).

Keterangan:
V = Volume tangki aerasi
Q = Laju influent air limbah ke dalam tangki aerasi
D = Laju pengenceran.
e. Umur lumpur (Sludge age). Umur lumpur adalah waktu tinggal rata-rata
mikroorganisme dalam sistem. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam,
maka waktu tinggal sel mikroba dalam tangki aerasi dapat dalam hari
lamanya. Parameter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan
mikroba. Umur lumpur dihitung dengan formula sebagai berikut:

Keterangan:
MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l).
V = Volume tangki aerasi (L)
SSe = Padatan tersuspensi dalam effluent (mg/l)
SSw = Padatan tersuspensi dalam lumpur limbah (mg/l)
Qe = Laju effluent limbah (m3/hari)
Qw = Laju influent limbah (m3/hari).

Umur lumpur dapat bervariasi antara 5 - 15 hari dalam konvensional


lumpur aktif. Pada musim dingin lebih lama dibandingkan musim panas.
Parameter penting yang mengendalikan operasi lumpur aktif adalah laju
pemuatan organik, suplay oksigen,dan pengendalian dan operasi tangki
pengendapan akhir.
2.3 Proses Modifikasi Lumpur Aktif Konvensional
Terdapat beberapa modifikasi dari proses lumpur aktif yang banyak
digunakan di lapangan, yakni antara lain sistem aerasi berlanjut (extended
aeration system), Sistem aerasi bertahap (step aeration), Sistem aerasi berjenjang
(tappered aeration), sistem stabilisasi kontak (contact stabilization system),
Sistem oksidasi parit (oxydation ditch), Sistem lumpur aktif kecepatan tinggi (high
rate activated sludge), dan sistem lumpur aktif dengan oksigen murni (Pure
oxygen activated sludge). Beberapa pertimbangan untuk pemilihan proses tersebut
antara lain : jumlah air limbah yang akan diolah, beban organik kualitas air olahan
yang diharapkaq lahan yang diperlukan serta kemudahan operasi dan lainnya.
a. Sistem Aerasi Berlanjut (Extended Aeratian System)
Proses ini biasanya dipakai untuk pengolahan air limbah dengan sistem
paket (package treatment) dengan beberapa ketentuan antara lain :
Waktu aerasi lebih lama (sekitar 30 jam) dibandingkan sistem
konvensional. Usia lumpur juga lebih lama dan dapat diperpanjang sampai
15 hari.
Limbah yang masuk dalam tangki aerasi tidak diolah dulu dalam
pengendapan primer.
Sistem beroperasi dengan F/M ratio yang lebih rendah (umumnya < 0,1 kg
BOD/ per kg MLSS per hari) dengan sistem lumpur aktif konvensional
(0,2 - 0,5 kg BOD per kg MLSS per hari).
Sistem ini membutuhkan sedikit aerasi dibandingkan dengan pengolahan
konvensional dan terutama cocok untuk
Komunitas yang kecil yang menggunakan paket pengolahan.
b. Proses dengan Sistem Oksidasi Parit (Oxidation Ditch)
Sistem oksidasi parit terdiri dari bak aerasi berupa parit atau saluran yang
berbentuk oval yang dilengkapi dengan satu atau lebih rotor rotasi untuk aerasi
limbah. Saluran atau parit tersebut menerima limbah yang telah disaring dan
mempunyai waktu tinggal hidraulik (hiraulic retention time) mendekati 24 jam.
Proses ini umumnya digunakan untuk pengolahan air limbah domestik untuk
komuditas yang relatif kecil dan memerlukan lahan yang cukup besar. Diagram
proses pengolahan air limbah dengan sistem Salah satu contoh instalasi
pengolahan air limbah dengan proses oksidasi parit ditunjukkan seperti pada
Gambar 2.

Gambar 2. Proses Oxidation Ditch


Cara Kerja
Air limbah diskrin dulu dengan coarse screen dan dikominusi dengan
comminutor agar ranting dan sampah menjadi berukuran kecil dan dapat
disisihkan. Setelah itu air limbah dialirkan ke dalam grit chamber untuk
menyisihkan pasirnya.
Tahap selanjutnya adalah primary settling tank yang berfungsi mengendapkan
partikel yang lolos dari grit chamber. Efluen settling tank ini selanjutnya masuk ke
parit oksidasi. Pada setiap unitnya, air limbah selalu mengalami pengenceran
(dilusi) otomatis ketika kembali mengalir melewati bagian inlet. Faktor dilusi ini
bisa mencapai nilai 20 s.d 30 sehingga nyaris teraduk sempurna meskipun bentuk
baknya mendukung aliran plug flow, yakni hanya teraduk pada arah radial saja
dengan aliran yang searah (unidirectional). Influennya serta merta bercampur
dengan air limbah yang sudah dioksigenasi dan mengalami fase kekurangan
oksigen. Pengulangan ini berlangsung terus-menerus selama pengoperasian parit
oksidasi.
Kelebihan : Biayarendah
Kekurangan : Membutuhkan lahan yang luas
Efisiensi penurunan zat organik sangat terbatas, (influen + 200 mg/lt BOD, efluen
+ 50 mg/l BOD) dan masih mengandung zat padat tersuspensi yang tinggi dari
adanya algae (100 200 mg/l). Efisiensi tidak stabil (menurun pada malam hari)
karena proses photosyntesa terhenti.
c. Rotating Biological Contactors (RBC)
Rotating Biological Contactor (RBC) adalah suatu proses perngolahan air
limbah secara biologis yang terdiri atas didsc melingkar yang diputar oleh poros
dengan kecepatan tertentu. Unit pengolahan ini berotasi dengan pusat pada sumbu
atau as yang digerakkan oleh motor drive system dari diffuser yang dibenam
dalam air limbah, dibawah media.

Gambar 3. Rotating Biological Contactor


Cara Kerja
Mekanisme aerasi terjadi ketika mikroba terpapar oksigen di luar air limbah
sehingga terjadi pelarutan oksigen akibat difusi. Sesaat kemudian, mikroba ini
tercelup lagi ke dalam air limbah sekaligus memberikan oksigen kepada mikroba
yang tersuspensi di dalam bak. Bersamaan dengan itu terjadi juga reintake
material organik dan anorganik yang merekat didalam biofilm. Tetesan air
berbutir-butir yang jatuh dari media plastik dan bagian biofilm yang merekat
dipermukaan plastik juga memberikan peluang reaerasi. Begitu seterusnya secara
kontinyu 24jam sehari, ada yang bagian terendam, ada bagian yang terpapar
oksigen.
Kelebihan : Mudah dioperasikan, Mudah dalam perawatan. Tidak
membutuhkan banyak lahan. Beberapa variasi parameter dapat di kontrol
seperti kecepatan putaran disc, resirkulasi, dan waktu detensi.
Kekurangan : Kerusakan pada materialnya seoerti as, coupling, bearing,
rantai, gear box, motor listrik, dll. Biaya kapital dan pemasangan mahal
Biaya investasi mahal jika debit airnya besar.
d. Trickling Filter (Saringan Menetes)
Trickling Filter merupakan salah satu aplikasi pengolahan air limbah dengan
memanfaatkan teknologi Biofilm. Trickling filter ini terdiri dari suatu bak dengan
media fermiabel untuk pertumbuhan organisme yang tersusun oleh materi lapisan
yang kasar, keras, tajam dan kedap air.
Kegunaannya adalah untuk mengolah air limbah dengan dengan mekanisme
air yang jatuh mengalir perlahan-lahan melalui melalui lapisan batu untuk
kemudian tersaring.

Gambar 4. Metode Trickling Filter

Cara Kerja
Air limbah dialirkan ke bak pengendapan awal untuk mengendapakan
padatan tersuspensi. Selanjutnya Air limbah dialirkan ke bak Trickling Filter
melalui pipa berlubang yang berputar, kemudian keluar melalui pipa under-drain
yang ada didasar bak dan keluar melalui saluran efluen. Air limbah dialirkan ke
bak pengendapan akhir dan limpasan dari bak pengendapan akhir merupakan air
olahan. Lumpur yang mengendap selanjutnya disirkulasikan ke inlet bak
pengendapan awal
Kelebihan : Tidak membutuhkan lahan yang luas. Operator tidak perlu
terampil
Kekurangan : Sering timbul lalat dan bau yang timbul dari reaktor, karena
suplai oksigen tidak merata. Sering terjadi pengelupasan biofilm. Timbul
sumbatan. Hanya untuk mengolah limbah encer dengan beban BOD rendah.
e. Sistem Aerasi Bertingkat (Stq Aeration)
Limbah hasil dari pengolahan primer (pengendapan) masuk dalam tangki
aerasi melalui beberapa lubang atau saluran, sehingga meningkankan disribusi
dalam tangki aerasi dan membuat lebih efisien dalam penggunaan oksigen. Proses
ini dapat meningkafkan kapasitas sistem pengolahan. Diagram proses pengolahan
air limbah dengan sistem Step Aeration dan kriteria perencanaan ditunjukkkan
seperti pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram Proses Pengolahan Air Limbah Dengan Sistem "Step


Aeration" Dan Kriteria Perencanaan
f. Sistem Stabilisasi Kontak (Contact Stabilization)
Setelah limbah dan lumpur bercampur dalam tangki reaktor kecil untuk
waktu yang singkat (40 menit), aliran campuran tersebut dialirkan 16 tangki
penjernih dan lumpur dikembalikan ke tangki stabilisasi dengan waktu tinggal 4
8 jam. Sistem ini menghasilkan sedikit lumpur. Diagram proses pengolahan air
limbah dengan sistem "Contact Stabilization" dan kriteria perencanaan
ditunjukkan seperti pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram Proses Pengolahan Air Limbah Dengan Sistem " Contact
Stabilization " Dan Kriteria Perencanaan.

2.4 Biologi Lumpur Aktif


Sistem lumpur aktif berfungsi sebagai oksidasi material organik yang
biodegradable dalam tangki aerasi, kemudian dikonversi menjadi bentuk sel baru.
Selain itu, sistem lumpur juga sebagai flokulasi yaitu memisahkan biomassa yang
baru terbentuk dari air effluent (Herlambang dan Wahyono, 1999). Tujuan
penggunaan sistem lumpur aktif bertujuan untuk penghilangan BOD, nitrifikasi,
serta denitrifikasi (Anderson, 2010). Menurut Ningtyas (2015) pada sistem lumpur
aktif, penghilangan BOD, umpan limbah dimetabolisme oleh mikroba pada
lumpur aktif sebagai substrat sehingga terkonversi menjadi biomassa, air, karbon
dioksida, dan gas lainnya. Pada proses nitrifikasi, terjadi oksidasi ammonia
menjadi nitrit dan nitrat oleh bakteri. Sedangkan proses denitrifikasi, nitrit dan
nitrat terkonversi menjadi gas, khususnya adalah gas nitrogen.
Biomassa terpisah pada tangki sedimentasi sekunder sehingga mengalami
flokulasi dan pengendapan (Ningtyas, 2015). Flok dalam aktifitas lumpur
mengandung sel mirkoorganisme (biomassa) yaitu bakteri, protozoa, dan
mikroorganisme lain, kemudian setelah pembentukan floc makroskopis akan
tersedimentasi (Sperling, 2007). Flok Lumpur aktif dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Flok Lumpur aktif (Activated Sludge Floc)


Mikroorganisme yang dapat ditemukan pada sistem lumpur aktif
diantaranya adalah bakteri, protozoa, metazoa, bakteri berfilamen, dan fungi.
Sedangkan mikroorganisme yang paling berperan pada proses lumpur aktif adalah
bakteri aerob (Anderson, 2010). Berikut ini adalah beberapa mikroorganisme
dalam flok lumpur aktif:
a) Bakteri
Mikroorganisme utama dalam flok lumpur aktif yaitu bakteri, terdapat lebih
dari 300 jenis bakteri yang dapat ditemukan dalam lumpur aktif. Bakteri
tersebut bertanggungjawab terhadap oksidasi material organik dan transformasi
nutrien an bakteri menghasilkan polisakaria an material polimer yang
membantu flokulasi biomassa mikrobiologi. Genus bakteri yang sering terdapat
pada lumpur aktif yaitu Zooglea, Pseudomonas, Flavobacterium, Alcaligenes,
Bacillus, Achromobacter, Corynebacterium, Comomonas, Brevibacterium, dan
Acinetobacter. Flok lumpur aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri
autotrofik seperti bakteri nitrit (Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat
merubah amonia menjadi nitrit.
b) Protozoa
Protozoa merupakan predator dalam lumpur aktif, protozoa akan memakan
bakteri. Pemakanan bakteri tersebut dapat mereduksi toksikan, seperti
Aspidisca costata yang memakan bakteri dalam lumpur aktif dapat
menurunkan Kadmium (Hoffman dan Atlas, 1987). Protozao yang sering
ditemukan dalam lumpur aktif yaitu Carchesium, Paramecium sp.,
Opercularia sp., Chilodenella sp., dan Vorticella sp.
c) Fungi
Lumpur aktif biasanya tidak mendukung kehidupan fungi walaupun beberapa
fungi berfilamen kadang-kadang masih ditemukan dalam flok lumpur aktif
(Herlambang dan Wahyono, 1999). Fungi dapat tumbuh pesat di bawah kondisi
pH rendah, toksik, dan limbah yang kekurangan nitrogen. Genus yang dominan
ditemukan dalam lumpur aktif yaitu Geotrichum, Penicillium,
Cephalosporium, Cladosporium dan Alternaria.

2.5 Proses Pengendapan Lumpur Aktif


Pada proses pengendapan, campuran air dan lumpur dipindahkan dalam
tangki aerasi menuju tangki pengendapan, dimana pada tangki ini lumpur
dipisahkan dari air yang sudah diolah. Lumpur yang sudah dipisahkan
dikembalikan lagi ke tangki aerasi. Selanjutnya lumpur yang ada dalam tangki
aerasi akan ditumbuhi oleh sel mikroba yang berbentuk flok, nantinya apabila
densitasnya sudah cukup maka lumpur akan mengendap.
Pengendapan lumpur tergantung dari ratio F/M dan umur dari lumpur.
Pengendapan lumpur yang baik yaitu terjadi apabila rasio F/M rendah. Menurut
Gaudy dan Gaudy (1988) menyatakan bahwa ratio F/M yang optimum adalah
antara 0,2 sampai 0,5. Sedangkan untuk umur lumpur, rata-rata waktu tinggal sel
yang efektif untuk pengendapan adalah 3-4 hari (Metcalf dan Eddy. 1986).
Pengendapan lumpur yang tidak baik dapat terjadi akibat gangguan dari beberapa
faktor baik itu dari gangguan secara fisik (suhu dan pH), kekurangan nutrisi bagi
mikroorganisme (N, suhu dan mikronutrien), serta kehadiran zat racun (logam
berat) yang berakibat pada hancurnya flok (Chudoba, 1989).
Pengendapan lumpur dapat dipantau dengan cara menentukan indeks
volume sludge (Sludge Volume Indeks = SVI) dengan cara sebagai berikut:

SVI (ml/g) =

Keterangan:
SVI = Sludge Volume Indeks
SV = Volume Lumpur
MLSS = Mixed Liqour Suspended Solid (ml/g)

2.6 Contoh Penggunaan Lumpur Aktif Pada Industri


Instalasi pengelolahan air limbah PT. Unitex dibangun pada tahun 1988 di
atas tanah seluas 4000 m2, dan mampu mengolah limbah tekstil lebih dari 2000
m3/ hari. Proses pengolahan limbah PT. Unitex terbagi atas tiga tahap pemrosesan,
yaitu:
a. Proses primer yang meliputi penyaringan kasar, penghilangan warna,
ekualisasi, penyaringan halus, pendinginan
b. Proses sekunder yang meliputi proses biologi dan sedimentasi
c. Proses tersier yang merupakan tahap lanjutan dengan penambahan bahan
kimia
Adapun proses pengolahan limbah di PT. Unitex secara garis besar menurut
(Arie dan Heru, 1999) adalah sebagai berikut:
a. Proses penghilangan warna dengan system koagulasi dan sedimentasi
b. Proses penguraian bahan organic dengan system lumpur aktif
c. Proses pemisahan air limbah yang telah bersih dengan lumpur aktif dari
kolam aerasi
d. Proses penghilangan padatan tersuspensi setelah pengendapan
e. Proses pemanfaatan lumpur padat setelah pengepresan di belt press
Berikut adalah tujuan dari proses-proses pengolahan limbah PT. Unitex :

1. Penyaringan Kasar : Untuk mencegah agar sisa-sisa benang/kain tidak terbawa

2. Penghilangan warna : Dengan penambahan FeSO4 (mengikat warna) , Kapur


(menaikkan pH), polimer (mempercepat proses pengendapan)

3. Ekualisasi : penghilangan unsur-unsur yang terkandung yang tidak diinginkan

4. Saringan halus : memisahkan padatan (sisa-sisa serat benang) dan larutan

5. Cooling tower : mengoptimalkan kerja bakteri dalam sistem lumpur aktif

6. Proses Biologi : dengan aerasi (lumpur aktif konvensional)

7. Sedimentasi : pengendapan lumpur

8. Pemberian Bahan kimia untuk memgendapkan flok : Alumunium sulfat,


polimer, dan antifoam

Gambar 8. Penampungan limbah lumpur PT. Unitex


Gambar 9. Air limbah jenis hasil proses pengolahan
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Limbah biologis menggunakan mikroorganisme salah satunya dapat
dengan menggunakan cara lumpur aktif. Lumpur aktif terbagi menjadi 2 jenis,
yaitu secara konvensional dan secara modifikasi. Dalam penerapannya lumpur
aktif dapat menggunakan mikroba jenis Comamonas-Pseudomonas; Alkaligenes;
Pseudomonas; Paracoccus; Unidentified; Aeromomas; dsb. Lumpur aktif adalah
ekosistem yang complex yang terdiri dari berbagai macam bakteri, protozoa, virus
dan organism-organisme lainnya. Lumpur aktif dapat dicirikan oleh beberapa
parameter, yaitu indeks volume lumpur (SVI) dan SSVI. Dengan menggunakan
system lumpur aktif, maka untuk limbah domestic maupun industry akan maka
akan dapat menurunkan total padatan tersuspensi (TSS) hingga mampu mencapai
91%, selain itu dengan menggunakan system lumpur aktif maka dapat
menghilangkan warna dan bau yang dihasilkan dari limbah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, P., 2010. Activated sludge design, startup, operation, monitoring, and
troubleshooting. Ohio Water Environment Association.

Chudoba, J. 1989. Activated Sludge-Bulking Control. Encyclopedia of


Environmental Control. Wastewater Treatment Technology. Vol: 3
Huston: P.N Cheremisinioff, Gulf Publishing Company. 171-194

Gaudy, A.F., dan Gaudy, E.T. 1988. Microbiology for Evirontmental Scientist and
Engineer. New York: McGraw Hill Book Company

Herlambang, A., dan Wahjono., H.D. 1999. Teknologi Pengolahan Limbah


Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif. Badan Pengkajian Dan Penerapan
Teknologi. Jakarta.

Metcalf dan Eddy. 1986. Wastewater Engineering Third Edition. New York:
McGraw Hill Book Company

Ningtyas, R. 2015. Pengolahan Air Limbah dengan Proses Lumpur Aktif. 1-11

Sholichin, M. 2012. Pengelolaan air limbah: Proses pengolahan air limbah


tersuspensi. Jurusan Teknik Pengairan, Universitas Brawijaya.

Sperling, M.V. 2007. Activated sludge and aerobic biofilm reactor. Department of
Sanitary and Environment Engineering, Federal University of Minas
Gerais, Brazil.

Sustarsic, M. 2009. Wastewater treatment: Understanding the Activated Sludge


Process. Tetra Tech NUS.

Anda mungkin juga menyukai