Anda di halaman 1dari 31

TUGAS MATA KULIAH

BIOLOGI LINGKUNGAN DAN PEMBELAJARANNYA

“BIOREMEDIASI”

Dosen Pengampu:

Dr. Bundahalang. MT

Disusun Oleh:
Isnaini Siwi Handayani (2020113320009)
Karunia Soliha Septiani (2020113320004)
Muhammad Guntur Al-Ghani (2020113310003)
Rahmi Murdiyanti (2020113320005)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BIOLOGI


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
MARET 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur tim penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya jualah tim penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini berisikan pembahasan-pembahasan mengenai bioremediasi.
Namun demikian, tim penyusun tetap menyadari akan adanya keterbatasan
dalam fikiran tim penyusun. Diakui pada makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan dan kekhilafan. Karena itu tim penyusun mengharapkan saran
maupun kritik yang bersifat fositip dan membangun demi kesempurnaan makalah-
makalah yang akan ditulis oleh tim penyusun dimasa mendatang.
Harapan tim penyusun, semoga makalah ini dapat menjadi bahan bacaan
ataupun referensi bagi semua pihak guna meningkatkan mutu pengetahuan
pembaca. Sebagai penutup, kepada semua pihak yang berpartisipasi dalam
penyusunan makalah ini, tim penyusun mengucapkan rasa terimakasih sebesar
besarnya, semoga mereka mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT.

Banjarmasin, Maret 2021

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Bioremediasi........................................................................................4
B. Teknologi dan Penerapan Bioremediasi.................................................................6
C. Studi Kasus Bioremediasi Lingkungan ...............................................................21
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................................26
B. Saran..................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................27.
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Lingkungan yang kita tempati merupakan karunia Tuhan Yang Maha
Esa dan tak ternilai harganya. Pada lingkungan yang normal, tanaman mampu
merubah senyawa kimia anorganik menjadi bentuk senyawa organik melalui
proses fotosintesis dengan bantuan klorofil dan enegi surya. Sementara
mikroba berperan sebaliknya mengkonversi kembali senyawa kimia organik
(hewan, jasad renik, dan tanaman mati) menjadi bentuk senyawa kimia
anorganik. Satu sama lain saling bekerjasama dan saling membutuhkan.
Selanjutnya, di manakah posisi manusia dalam lingkungan yang biasa
disebut dengan lingkungan hidup? Allah SWT telah memperingatkan kita
dalam QS Al-Baqarah, 2: 11, QS Al-A’raf, 7: 56, dan QS Al-Rum, 31: 41.
Inti dari peringatan-Nya adalah menempatkan posisi manusia sebagai
makhluk perusak di muka bumi ini. Ketika mereka diseru untuk tidak
merusak, manusia selalu mengatakan dan berdalih bahwa mereka justru
melakukan perbaikan. Peringatan tersebut nyata-nyata telah tampak terjadi,
lingkungan sedang rusak dan terancam. Baik itu di darat, laut, sungai,
maupun udara telah mengalami penurunan kualitas dan fungsinya secara
drastis. Tanah tak lagi subur, air bersih yang kita perlukan menjadi langka
dan tercemar, serta udara yang kita hirup berpolusi dan menyebabkan sakit.
Hal ini merupakan kehendak Allah agar manusia merasakan akibat dari
perbuatan tangannya dan kembali ke jalan yang benar.
Indonesia sebagai negara maritim memiliki jalur perdagangan laut
yang sibuk. Kaya akan sumberdaya alam, di mana bidang pertambangan dan
ekspoitasi minyak bumi menjadi sumber pendapatan negara terbesar. Survei
eksplorasi kandungan minyak mentah di Indonesia pertama kali dilakukan
pada tahun 1924. Tahun 1936 eksplotasi pertama kali dilakukan. Tidak bisa
dipungkiri bahwa wilayah Indonesia menjadi sangat rawan tercemar
tumpahan minyak mentah. Tercatat beberapa kejadian tumpahan minyak

1
terjadi di Provinsi Kalimantan Timur, Riau, dan Jawa Barat. Dari rentetan
peristiwa perusakan lingkungan ini, maka upaya penanganan, pencegahan,
dan pemulihan lingkungan tercemar menjadi sangat penting adanya. Sesuai
keinginan Allah SWT dalam QS. al-Baqarah 2:30 yang ingin menjadikan
seorang khalifah dimuka bumi, padahal menurut malaikat manusia hanya
akan membuat kerusakan. Sehingga hendaknya ada manusia yang menyadari
dirinya sebagai khalifah fil ard yang secara umum dimaknai sebagai penjaga
dan perawat bumi.
Metode pemulihan lingkungan tercemar dapat dilakukan secara
konvensional: fisik (insinerasi, pencucian) dan kimia (ekstraksi, reaksi kimia,
pengenceran). Namun pada banyak kasus, metode ini hanya merupakan
proses memindahkan pencemar dari satu fase ke fase yang lain (satu tempat
ke tempat yang lain). Metode lain yang dapat dipilih adalah dengan cara
biologis. Metode ini didasari oleh suatu kenyataan bahwa dalam sebuah
ekosistem yang utuh, mikroba (jamur dan bakteri) memiliki fungsi yang
sangat luas dan penting dalam mendaur ulang sisa buangan (hewan, jasad
renik, dan tanaman mati). Mereka melakukan penguraian tanpa henti walau
hanya sedetik. Bisa dibayangkan jika mereka berhenti melakukan fungsinya,
berjuta-juta tumpukan limbah akan menutupi dunia ini.
Sejalan dengan waktu, dalam upaya pemulihan lingkungan tercemar,
metode bioremediasi telah menjadi metode yang ramah lingkungan dan
diterima oleh masyarakat luas. Proses penguraian terjadi dalam arti yang
sebenarnya melalui proses metabolisme, mengkonversi polutan (substrates)
menjadi CO2 dan H2O atau produk antara melalui reaksi organik yang
dikatalisasi oleh enzim. Kelompok enzim oksidoreduktase dan hidrolase
sangat berperan dalam proses biodegradasi.
Selain itu, bioremediasi adalah metode yang paling murah dan jauh
lebih murah dibandingkan dengan metode konvensional. Tahun 1970,
aplikasi bioremediasi pertama kali dilakukan untuk mengurai tumpahan
minyak di Ambler, Pennsylvania. Tahun 1974 Richard Raymond untuk
pertama kalinya mendapatkan paten tentang teknik bioremediasi setelah

2
bioremediasi sukses dilakukan di lapangan. Sehingga berdasarkan latar
belakang tersebut maka makalah ini disusun untuk memberikan gambaran
lebih detail tentang pengertian bioremediasi, teknologi dan penerapan
bioremediasi, serta studi kasus bioremediasi lingkungan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian bioremediasi?
2. Seperti apa teknologi dan penerapan bioremediasi?
3. Seperti apa studi kasus bioremediasi lingkungan?

C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan pengertian bioremediasi.
2. Mendeskripsikan teknologi dan penerapan bioremediasi.
3. Mendeskripsikan studi kasus bioremediasi lingkungan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bioremediasi
Bioremediasi berasal dari dua kata yaitu bio dan remediasi. Remediasi
atau remediate dapat diartikan sebagai pemulihan atau bisa dikatakan sebagai
proses dalam menyelesaikan masalah lingkungan. Sedangkan kata “Bio” yang
dimaksud adalah organisme hidup, terutama mikroorganisme yang digunakan
dalam pemanfaatan pemecahan atau degradasi bahan pencemar lingkungan
menjadi bentuk yang lebih sederhana dan aman bagi lingkungan tersebut.
Bioremediasi adalah proses pemulihan lahan yang tercemar dengan
mengeksploitasi kemampuan mikroorganisme untuk mendegradasi senyawa-
senyawa organik (Marsandi, 2016). Bioremediasi merupakan pengembangan
dari bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi
dalam mengendalikan pencemaran atau polutan. Polutan antara lain logam-
logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik
terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain. Bioremediasi
mempunyai potensi menjadi salah satu teknologi lingkungan yang bersih,
alami, dan paling murah untuk mengantisipasi masalah-masalah lingkungan.
Menurut Ciroreksoko (1996), bioremediasi diartikan sebagai proses
pendegradasian bahan organik berbahaya secara biologis menjadi senyawa
lain seperti karbondioksida (CO2), metan, dan air. Sedangkan menurut
Craword (1996), bioremediasi merujuk pada penggunaan secara produktif
proses biodegradatif untuk menghilangkan atau mendetoksi polutan (biasanya
kontaminan tanah, air dan sedimen) yang mencemari lingkungan dan
mengancam kesehatan masyarakat. Jadi bioremediasi adalah salah satu
teknologi alternatif untuk mengatasi masalah lingkungan dengan
memanfaatkan bantuan mikroorganisme.

4
Gambar 2.1 Bioremediasi

Tujuan dari bioremediasi adalah untuk memecah atau mendegradasi zat


pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon
dioksida dan air) atau mengontrol dan mereduksi bahan pencemar dari
lingkungan. Bioremediasi telah memberikan manfaat yang luar biasa pada
berbagai bidang, diantaranya yaitu sebagai berikut.
1. Bidang Lingkungan
Pengolahan limbah yang ramah lingkungan dan bahkan mengubah
limbah tersebut menjadi ramah lingkungan. Contoh bioremediasi dalam
lingkungan yakni telah membantu mengurangi pencemaran dari limbah
pabrik, misalnya pencemaran limbah oli di laut Alaska berhasil diminimalisir
dengan bantuan bakteri yang mampu mendegradasi oli tersebut.
2. Bidang Industri
Bioremediasi telah memberikan suatu inovasi baru yang
membangkitkan semangat industri sehingga terbentuklah suatu perusahaan
yang khusus bergerak dibidang bioremediasi, contohnya adalah Regenesis
Bioremediation Products, Inc., di San Clemente, Calif.

5
3. Bidang Ekonomi
Karena bioremediasi menggunakan bahan-bahan alami yang hasilnya
ramah lingkungan, sedangkan mesin-mesin yang digunakan dalam
pengolahan limbah memerlukan modal dan biaya yang jauh lebih, sehingga
bioremediasi memberikan solusi ekonomi yang lebih baik.
4. Bidang Pendidikan
Penggunaan mikroorganisme dalam bioremediasi dapat membantu
penelitian terhadap mikroorganisme yang masih belum diketahui secara jelas.
Pengetahuan ini akan memberikan sumbangan yang besar bagi dunia
pendidikan sains.

B. Teknologi dan Penerapan Bioremediasi


Menurut Ditjen Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun
Berbahaya (2015) Teknologi bioremediasi banyak digunakan pada pencemaran
di tanah karena beberapa keuntungan menggunakan proses alamiah / bioproses.
Tanah atau air tanah yang tercemar dapat dipulihkan ditempat tanpa harus
mengganggu aktifitas setempat karena tidak dilakukan proses pengangkatan
polutan. Teknik ini disebut sebagai pengolahan in-situ. Teknik bioremediasi
yang diterapkan di Indonesia adalah teknik ex-situ yaitu proses pengolahan
dilakukan ditempat yang direncanakan dan tanah tercemar / polutan diangkat
ke tempat pengolahan.
1. Bioremediasi in situ
Tipe atau Teknik Bioremediasi Penerapan aplikasi bioremediasi untuk
memulihkan lingkungan terkontaminasi dapat dilakukan dengan beberapa teknik
atau tipe bioremediasi. Teknik bioremediasi selalu mengalami perubahan,
perkembangan, dan perbaikan sehingga informasi yang akan dijelaskan pada
bagian ini akan memiliki keterbatasan dalam hal keterbaruan. Teknik
bioremediasi secara in-situ umumnya terdiri dari upaya penambahan dan tanpa
penambahan perlakukan (instrinsik). Kedua teknik bioremediasi in-situ ini benar-
benar mengandalkan proses penguraian kontaminan secara alamiah tanpa dan atau

6
dengan penambahan stimulan (biostimulasi). Laju dan lama waktu proses
penguraian sangat ditentukan oleh jenis, konsentrasi kontaminan, dan
karakterisasi lingkungan. Ketika teknik bioremediasi ini dipilih maka proses
evaluasi dan pemantauan harus dilakukan untuk memastikan bahwa mayoritas
proses penguraian terjadi secara biologis dan benar adanya. Pengambilan sampel
untuk tujuan pengujian, evaluasi, dan monitoring pada proses penguraian
dilakukan dengan mempertimbangkan alat analisis yang paling tepat agar dapat
memperkecil bias dan mewakili heterogenitas populasinya.
Teknik bioremediasi ini dikendalikan dengan cara memantau proses
penguraian untuk memastikan bahwa proses bioremediasi masih berlangsung.
Bioremediasi intrinsik biasanya dilakukan pada lokasi di mana laju penguraian
terjadi lebih besar daripada laju perpindahan kontaminan ke tempat lain. Proses
yang terjadi secara alami ini tidak hanya terbatas pada proses bioremediasi (reaksi
biologis) tetapi juga pada proses lain, meliputi pengenceran, dispersi, penyerapan,
penguapan, reaksi kimia seperti oksidasi, reduksi, dan stabilisasi. Sebelum
aplikasi bioremediasi intrinsik dilakukan, penilaian secara menyeluruh terhadap
proses tadi perlu dan wajib dilakukan sebagai dasar pengembangan model atau
disain. Penerapannya harus dilakukan secara hati-hati, baik monitoring maupun
pengendalian sehingga konsentrasi kontaminan benar-benar berada pada batas
ambang yang aman bagi manusia dan lingkungan (EPA 1998). Proses monitoring
memerlukan rentang waktu yang cukup lama, dan lebih mahal dibandingkan
dengan proses bioremediasi yang dilakukan secara aktif. Kegagalan proses
bioremediasi intrinsik ini harus dapat dihindar, seperti terbentuknya produk
pengurai berupa senyawa yang lebih beracun (EPA 1998).

a) Bioremediasi Biostimulasi
Peningkatan laju penguraian dengan cara penambahan stimulan untuk
memodifikasi lingkungan dan meminimalisasi faktor pembatas disebut dengan
bioremediasi biostimulasi. Stimulasi harus mampu mengaktifkan mikroba lokal
(indigenous) sebagai agen pengurai. Bioremediasi ini biasanya diaplikasi di zona
vedosa tanah, air tanah, dan sedimen. Bioremediasi Biostimulasi terbagi menjadi 2

7
(dua) yaitu Bioremediasi pada Zona Vedosa Tanah dan Bioremediasi pada Air
Tanah dan Zona Tanah Jenuh.

b) Bioremediasi pada Zona Vedosa Tanah


Zona tanah yang berada di antara permukaan tanah dan muka air tanah disebut
zona vedosa. Zona ini bersifat penting untuk menahan pergerakan pencemar ke
dalam air tanah. Pergerakan pencemar pada zona vedosa ditentukan oleh sifat,
karakteristik fisik, dan kimia tanah serta jenis pencemar. Pada saat kontaminan
berada dalam zona ini, aktivitas biologis sangat miskin. Penambahan perlakuan
atau stimulasi dilakukan untuk mengaktivasi baik mikroba aerobik dan juga
anaerobik (EPA 2000). Teknologi yang umum digunakan adalah bioventing.
Berdasarkan pemberian stimulan, bioventing dipisahkan menjadi bioventing
areobik (suplai oksigen dan nutrisi), bioventing anaerobik (tanpa suplai oksigen,
penambahan nutrisi, dan donor elektron), dan bioventing ko-metabolik
(penambahan substrat organik, seperti propane). Gambar di bawah ini
menggambarkan contoh teknik bioventing secara umum.

Gambar 1. Teknik bioremediasi dengan bioventing


(Sumber: EPA 2006; National Research Council 2003)

8
c) Bioremediasi pada Air Tanah dan Zona Tanah Jenuh
Aplikasi bioremediasi pada zona ini dapat dilakukan dengan membuat penghalang
reaktif biologi, biosparging, dan bioslurping. Penghalang reaktif biologis terletak
pada zona tertentu yang aktif melakukan proses bioremediasi, memanfaatkan
mikroba aerobik dan anaerobik. Materi penghalang tersusun atas campuran pasir,
nutrisi (bahan organik seperti pupuk kandang, kompos), dan materi lain yang
bersifat oksidator atau reduktor. Kontaminasi akan terurai ketika air tanah
melewati dan terperangkap dalam penghalang reaktif biologis seperti gambar
berikut:

Gambar 2. Teknik bioremediasi dengan penghalang reaktif


biologis (Sumber: EPA 2000)

Gambar 3. Teknik bioremediasi dengan biosparging


(Sumber: National Research Council 2003)

9
Biosparging melibatkan injeksi gas (baca: oksigen) ke dalam air tanah
(Gambar 3). Injeksi juga terkadang dikombinasikan dengan penambahan beberapa
nutrisi. Mikroba akan menjadi aktif dan laju penguraian meningkat. Melalui
teknik ini kontak antara tanah dan air tanah akan meningkat (Vidali 2001).
Bioslurping merupakan penggabungan teknik bioventing dan vakum (Gambar 4).
Teknik ini sangat cocok digunakan untuk jenis senyawa kontaminan yang
mengapung di atas permukaan air dan mudah menguap. Bioventing merangsang
mikroba areobik tanah menjadi aktif, sementara vakum akan menghisap uap
(kontaminan yang mudah menguap) menuju sebuah perangkat atau pemisah.
Penghisapan ini mampu meningkatkan aerasi dalam tanah sehingga proses
penguraian secara aerobik dapat meningkat (Miller 1996). Keterbatasan yang
menonjol dari teknik ini adalah aplikasinya yang terbatas sampai kedalaman 25
meter (EPA 2006).

Gambar 4. Teknik bioremediasi dengan bioslurping


(Sumber: EPA 2006)

2. Bioremediasi Ex situ
Melalui bioremediasi ek-situ, matriks yang terkontaminasi harus
dipisahkan dan diangkut ke tempat lain. Di tempat yang baru ini, beberapa
perlakuan diberikan. Bioremediasi ek-situ yang dikembangkan sangat tergantung
dari matriks yang terkontaminasi, apakah berupa tanah, campuran antara air dan

10
tanah (slurry) serta air. Uraian di bawah akan difokuskan pada pembahasan
tentang teknik bioremedasi ek-situ pada matriks tanah. Tiga teknik bioremediasi
eksitu yang umum digunakan untuk tanah yang terkontaminasi adalah
landfarming, composting, dan biopiles.
a) Landfarming
Landfarming atau juga disebut mekanisme pengolahan tanah
mengandalkan mikroba aerobik sebagai agen pengurai (Gambar 5). Teknik ini
sangat cocok untuk penguraian jenis senyawa kontaminan yang memiliki sifat
fisika tidak mudah menguap. Pengolahan tanah dilakukan secara periodik dengan
harapan agar mikroba aerobik secara aktif hidup dan melimpah. Perlakukan
berupa pengendalian kelembapan, penambahan nutrisi, dan stabilisai pH
diperlukan untuk memfasilitasi tumbuh serta berkembangnya mikroba lokal.
Teknik ini merupakan teknik bioremediasi yang paling mudah. Meskipun teknik
ini diuraikan pada bagian bioremediasi ek-situ, tetapi aplikasi teknik ini dapat
diaplikasikan secara in-situ.

Gambar 5. Teknik bioremediasi dengan landfarming


(Sumber: Walworth et al. 2008)

Mekanisme pengolahan tanah dan pemberian perlakukan sangat bergantung dari


jumlah dan tipe senyawa kontaminan. Apabila kontaminan memiliki sifat mudah
terurai maka teknik ini sangat cocok untuk diaplikasikan. Ketika kontaminan
memiliki sifat yang lebih sulit terurai, seperti PAH, pestisida, atau senyawa
organik terklorinasi maka pengujian awal perlu dilakukan untuk menverifikasi

11
dan menentukan teknik pengolahan yang paling sesuai (Walworth et al. 2008).
Landfarming hanya mampu mengurai kontaminan yang berada pada kedalaman
10–35 cm di atas permukaan tanah (Vidali 2001).
b) Composting (Pengomposan)
Composting adalah teknik bioremediasi dengan mengkombinasikan tanah
tercemar dengan limbah organik yang tidak berbahaya (bulk agents), meliputi:
limbah pertanian, serasah, jerami, kayu, dan lain-lain. Selama proses
pengomposan terjadi, populasi dan jenis mikroba sangat dinamik untuk berubah.
Hal ini dikarenakan proses pengomposan terjadi melalui 3 tahap, yaitu mesofilik,
termofilik, dan tahap akhir (maturasi). Pada saat awal proses composting, bakteri
mesofilik sangat dominan dan setelah suhu mencapai lebih dari 40̊C, bakteri
termofilik dan jamur muncul. Pada saat suhu mencapai 60̊C maka aktivitas
mikroba akan menurun dan saat suhu kembali normal (baca dingin) mesofilik
mikroba kembali aktif (McKinley, Vestal 1985).
c) Biopiles
Biopiles dapat dikatakan sebagai teknik bioremediasi yang merupakan
perbaikan dari teknik landfarming dan composting. Pipa-pipa disetting sedimikian
rupa pada tumpukan kontaminan sehingga aerasi menjadi meningkat. Dengan
demikian indigenous mikroba terstimulasi untuk tumbuh secara aktif. Biopiles
sangat cocok diaplikasikan di mana kontaminan berada pada lapisan atas (Vidali
2001). Pipa aerasi ditempatkan pada kedalaman 2–3 meter, sementara tanah
terkontaminasi berada diatasnya. Laju aliran udara yang diberikan harus diatur
untuk mengoptimalkan proses degradasi dan mencegah terjadinya penguapan. Jika
konsentrasi kontaminan banyak (tinggi) dan mudah menguap, tanah
terkontaminasi harus ditutup rapat. Mikroba yang hadir adalah mesofilik, bekerja
pada suhu antara 10–45̊C.

Prospek Perkembangan Teknologi


Mekanisme penguraian zat pewarna dan beberapa mikroba protensial
yang berperan didalamnya telah diuraikan secara singkat di sub-bab sebelumnya.
Hal ini membuktikan bahwa mikroorganisme adalah anugerah Tuhan yang sangat

12
berharga dan tak terbantahkan dalam menyeimbangkan kondisi lingkungan.
Tanaman merubah kimia anorganik menjadi bentuk organik melalui fotosintesis,
sementara mikroba berperan sebaliknya; mengkonversi kembali kimia organik
(hewan, jasad renik dan tanaman mati) menjadi bentuk kimia anorganik.
Meningkatnya produk dan penggunaan kimia sintetis akhirakhir ini,
mengakibatkan mereka terakumulasi dan menyebabkan penurunan kualitas
lingkungan. Kualitas lingkungan yang menurun itu perlu segera dipulihkan.
Pemulihan dengan berprinsip pada pemanfaatan mikroba potensial adalah cara
yang paling tepat untuk mengatasi masalah dengan tanpa masalah.
Mikroba adalah alien berupa reaktor biologis yang mengkonversi produk
kimia sintetis menjadi benar-benar menurun, tidak berwana, aman dan bahkan
menjadi molekul sederhana berupa H2O, CO2 serta ion garam. Proses penguraian
zat pewarna sangat dipengaruhi banyak faktor seperti: pH, suhu, konsentrasi,
kandungan nitrogen dalam medium kultur, kehadiran garam, agitasi, aerasi, dan
tipe zat pewarna. Faktor tersebut harus diperhitungkan saat mengaplikasikan
metode bioremediasi. Mikroba secara sempurna akan memanfaatkan molekul zat
pewarna sebagai sumber karbon, nitrogen dan energi sehingga penurunan
konsentrasi polutan terjadi dalam makna yang sesungguhnya. Akhir-akhir ini
penelitian mengarah pada penemuan beberapa peluang pemanfaatan mikroba
sebagai agen bioremediasi. Penelitian menuju peningkatan laju dan waktu
degradasi yang merupakan tantangan penelitian di masa depan. Selain itu, aspek
pengembangan penelitian untuk aplikasi skala besar juga merupakan tantangan
yang sangat menarik, karena penelitian yang dilakukan saat ini masih terbatas
pada skala laboratorium. Di bawah ini dijelaskan beberapa capaian penelitian
sebagai berikut :
1. Melalui isolasi enzim, aplikasi degradasi menjadi sangat mudah dan
sederhana. Laju degradasi berkorelasi positif dengan peningkatan
konsentasi enzim yang diaplikasikan (Young, Yu 1997; Schleiphake et al.
2000). Enzim dimanfaatkan secara langsung, di mana enzim terlebih
dahulu harus diisolasi dan dimurnikan. Enzim lakase dari Pycnoporus
cinnabarinus, mangan perosidase (MnP) dari Trametes versicolor dan

13
lignin peroksidase (Lip) dari Phanerochaete chrysosporium secara cepat
mampu (< 1 jam) mengurai zat pewarna (Schlei-phake et al. 2000;
Champagne, Ramsay 2005; Ferreira-Leitao et al. 2007). Laju peningkatan
degradasi juga masih dapat ditambahkan melalui penambahan aktivator
dan kofaktor enzim.
2. Melalui kultur mikroba, aplikasi ini sangat menjamin bahwa enzim akan
tersedia dan tidak rusak. Romero et al. (2006) menyebutkan bahwa laju
degradasi tertinggi hanya dicapai dengan aplikasi kultur mikroba
dibanding aplikasi enzim. Hal ini terjadi karena beberapa produk hasil
penguraian akan menghambat secara langsung aktivitas enzim. Sementara,
jika menggunakan kultur mikroba, enzim akan terlidungi karena mereka
berasosiasi dengan selnya. Begitu juga keberadaan kofaktor akan tersedia
secara terus menerus (mikroba memproduksinya). Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hidayat, Tachibana (2015), di mana
aplikasi enzim hanya mampu mendegradasi limbah zat pewarna sebesar
48%, sementara melalui kultur jamur degradasi mencapai 98% dalam
kurun waktu reaksi 24 jam. Sementara itu, melalui penambahan kofaktor
dan aktivator enzim pada saat aplikasi enzim secara langsung
mengakibatkan dampak negatif untuk aplikasi skala besar karena bersifat
mutagenik dan karsinogenik (veratryl alcohol, 1- hydroxybenzotriazole
(HBT)). Aplikasi enzim atau kultur jamur secara langsung masih menjadi
perdebadan karena hasil yang diperoleh tidak selalu konsinten untuk setiap
tipe zat pewarna dan strain mikroba yang digunakan. Oleh karena itu,
sebelum aplikasi skala pengembangan, riset dasar mutlak diperlukan.
3. Melalui kombinasi dengan absorban, aplikasi ini mengunakan sebuah
pendekatan bahwa zat pewarna yang tercecer terlebih dahulu di serap oleh
sebuah matrik absorban. Aplikasi ini memungkinkan diterapkan unuk
tingkat kontaminasi yang tinggi. Absorban berupa limbah pertanian,
seperti: jerami padi atau gandum, serbuk gergaji, tongkol jagung, memiliki
kemampuan menyerap zat pewarna 70-75% dari konsentrasi awal sekitar
500 ppm (Nigam et al. 2000). Zat pewarna yang telah terabsopsi dalam

14
sebuah absorban kemudian dijadikan sebagai media tumbuh mikroba (P.
chrysosporium dan C. versicolor). Jika hasil penguraian berjalan dengan
sempurna, maka matrik absoban yang telah difermentasi dapat digunakan
sebagai pupuk organik. Namun demikian, meskipun aplikasi ini terlihat
sangat sederhana tetapi sebelumnya perlu dilakukan kajian agar hasil yang
diperoleh maksimal, aman dan ramah terhadap lingkungan.
4. Melalui immobilized enzymes (IE) atau mikroba (IMF). Teknologi dengan
berpijak pada sebuah pendekatan bahwa enzim atau mikroba adalah agen
pendegradasi utama. Enzim-enzim pendegrasi diekstraksi/diisolasi atau
strain potensial dipilih, kemudian ditraping dalam sebuah butiran Ca-
alginat atau jenis lainnya. Aplikasi ini sangat cocok untuk diaplikasikan
pada bioreaktor sederhana. Pengunaan IE atau IMF dapat digunakan
berulang-ulang, biasanya 5 kali pengulangan.
5. Melalui rekyasa genetik. Pada suatu kondisi tertentu mikroba akan
mengalami proses aklimatisasi yang mengarah pada proses evolusi.
Kondisi di mana mikroba akan meningkat kemampuannya jika konsentrasi
polutan ditingkatkan secara bertahap dan teratur. Mikroba yang tahan
terhadap paparan polutan berkonsentrasi tinggi akan mengalami proses
evolusi. Mereka akan menemukan dan menentukan mekanisme atau jalur
penguraian. Evolusi ini diekspresikan oleh gen pembawa sifat dari enzim
yang paling bertanggung jawab dalam proses degradasi. Gen-gen
pembawa sifat tadi selanjutnya diidentifikasi, diisolasi dan ditransfer ke
mikroba lain agar kemampuannya meningkat. Dengan demikian maka
mikroba yang memiliki kemampuan berupa laju dan waktu penguraian
yang baik dapat diciptakan. Namun konsep rekayasa genetik ini masih
mendapat tekanan dari beberapa ilmuwan, karena mereka khawatir jika
mikroba hasil GMO digunakan akan mengakibatkan masalah lingkungan
baru dimasa datang.

15
Penerapan Bioremediasi di Lingkungan
1. Degradasi Plastik
Saat ini plastik dan polimer sintetik semakin meluas penggunaan dan
produksinya. Plastik ini dibuat dari senyawa petrokimia yang bersifat persisten
pada lingkungandan merupakan salah satu penyebab polusi yang paling tinggi.
Plastik petrokimia inimembutuhkan waktu ratusan tahun untuk didegradasi.
Beberapa usaha mengurangi polusi akibat plastik tersebut dengan:
 Photobiodegradable plastics. Polimer yang berubah strukturnya ketika
diberi perlakuan dengan radiasi UV membentuk material yang
biodegradable
 Starch-linked biodegradable plastics. Pati yang digabungkan pada
struktur plastik sehingga dapat didegradasi oleh mikroba
 Bacterial plastics. Sejumlah mikroba yang secara alam memproduksi
polimer biodegradable yang sesuai untuk industri plastik. Misalnya bakteri
Alcaligenes eutrophus memproduksi poliester poli-beta-hidroksibutirat
(PHB) sebagai simpanan karbon. Satuan monomer dari PHB adalah beta
-hydroxybutyrate. Kekuatan, kelelelawar dan kristalinitas dari polimer
tersebut konstruktif oleh jumlah satuan penyusunnya, media dan tipe
bakteri yang digunakan untuk memproduksi polimer tersebut. Faktor
utama yangmembatasi penggunaan PHB adalah sifatnya yang rapuh.
 GMO yang memproduksi plastik. Dengan memasukkan gen dari
bakteri penghasil PHB ke tanaman sehingga diharapkan menghasilkan tan
amantransgenik penghasil plastik. Namun hal ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk mengatahui dampak tingginya PHB terhadap
lingkungan. Masih terlalu dini dan beresiko menumbuhlan PHB dalam
skala besar
2. Degradasi Hidrokarbon Alifatik
Hidrokarbon alifatik didegradasi secara aerobik oleh bakteri, fungi atau yeast.
Reaksi degradasinya meliputi :

16
oksidasi pada ujung metil: alkana → alkohol → asam lemak→ keton → CO2 dan
H2O. Hidrokarbon rantai pendek, hidrokarbon dengan rantaicabang atau
berbentuk cincin lebih sulit untuk didegradasi
3. Degradasi Hidrokarbon Aromatik
Mikroorganisme mampu mendegradasi hidrokarbon aromatis cincin tunggal
secaraaerobik. Hidrokarbon aromatik dengan dua atau tiga cincin seperti
naphthalene, anthracene, dan phenanthrene dapat didegradasi secara lambat
ketika terdapatoksigen. Sedangkan hidrokarbon aromatik dengan emat cicin sulit
didegradasi da bersifat persisten.
4. Degradasi Hidrokarbon Alifatik Terklorinasi
Degradasi dapat berlangsung secara kimiawi atau biologis. Degradasi
denganmenggunakan mikroorganisme hanya menghasilkan degradasi parsial.
Hanya sedikitkarbon terklorinasi yang dapat digunakan sebagai substrat primer
untuk sumberenergi dan pertumbuhan

Contoh penerapan di Bioremediasi:

a) Teknologi Bioremediasi untuk Pengolahan POPs

Teknologi pengolahan POPs saat ini sudah banyak dikembangkan, misalnya


sebagai berikut:

1. Proses destruksi termal pada temperature tinggi dengan menggunakan


pembakaran dengan temperature tinggi dan teknologi non-pembakaran
(Plasma Arc, Geo Melt, GPCR, desorpsi termal, dan pirolisis, dll)
2. Teknologi pembakaran non-oksidatif (SCWO, oksidasi katalitik, Oksidasi
Elektrokimia ter-mediasi (CerOx, AEA, silver II), dll)

3. Teknologi reduksi (Base Catalysed Destruction/BCD process, APEG,


Dehalogenasi berkatalis tembaga, Proses Hagenmaier, Reduksi
Natrium, Solvated Electron Technology, dll)
4. Teknologi perusakan fotolitik (Solar Detoxification, degradasi fotokimia,
destruksi UV, foto-katalisis)

17
5. Bioremediasi/biodegradasi

Aplikasi teknologi bioremediasi untuk penguraian dan pengolahan POPs


sudah banyak dilakukan. Pada prinsipnya, bioremediasi untuk senyawa POPs
tidak memiliki banyak perbedaan prinsipil secara signifikan, karena keberhasilan
proses terletak pada proses modifikasi, pengkondisian, juga pemilihan bakteri
yang tepat.

Adapun beberapa teknologi bioremediasi yang telah diidentifikasi


keberhasilannya dalam pengolahan POPs adalah sebagai berikut:

1. Biodegradasi aerobic dengan menggunakan Mikroorganisme Tanah


Terisolasi
2. Degradadi dieldrin dengan menggunakan jamur terisolasi dari tanah
tercemar endosulfan
3. Biodegradasi secara simultan dengan menggunakan konsorsium bakteri
baru untuk mengolah kloro-metiltio-s-triazin
4. Proses Bioremediasi Anaerobik Menggunakan Tepung Darah.

b) Teknologi Daramend
Daramend telah digunakan untuk mengolah limbah berkekuatan rendah yang
terkontaminasi dengan Toxaphene dan DDT. Namun pada dasarnya teknologi ini
adalah modifikasi dari bioremediasi yang menggunakan pembuatan
pengkondisian an-oksik dan oksik secara berurutan. Penambahan
DARAMEND®sebagaibahan organic pendegradasi, besi bervalensi 0, dan air akan
merangsang pengurangan oksigen secara biologi dan kimia, serta menghasilkan
kondisi (anoksik) yang sangat kuat dalam matriks tanah. Teknologi ini sudah
banyak digunakan untuk mem-bioremediasi tanah yang tercemar pestisida
toxafen, HCB, DDT dan juga kontaminan lainnya, tapi tidak bisa digunakan untuk
mengolah ataumenghancurkan senyawa PCB, dioksin, dan furan. Teknologi ini
juga bisa digunakan secara in-situ dan ex-situ.
Teknologi fitoteknologi untuk bioremediasi POPs menggunakan bakteri pada
akar tanaman untuk mendegradasi, menstabilkan atau bahkan menghancurkan
senyawa POPs yang terkandung dalam air tanah dan juga dalam tanah. Namun

18
sejauh ini, teknologi ini baru berkembang sejauh pilot plant. Adapun mekanisme
teknologi ini dijelaskan sebagai berikut:
1. Memperluas dan meningkatkan kemampuan bio-degradasi senyawa
polutan dalam tanah sekitar akar tanaman

2. Phytovolatilization (transfer senyawa polutan menuju udara melalui proses


respirasi tumbuhan)

3. Phytoextraction atau phytoaccumulation yaitu dengan menyerap senyawa


dengan proses absorpsi oleh akar tanaman lalu mentranslokasikannya menuju
daun atau bagian akar

4. Phytostabilization, yaitu produksi senyawa kimia oleh tanaman untuk


melumpuhkan kontaminan pada antarmuka akar dan tanah

5. Kendali hidrolik, penggunaan pohon untuk mencegah dan


mentranspirasikan sejumlah besar air tanah atau air permukaan untuk control

6. Evapotranspiration, penggunaan kemampuan tanaman untuk menangkap


air hujan untuk mencegah infiltrasi dan mengambil dan menghilangkan
volume yang signifikan dari air setelah memasuki bawah permukaan untuk
meminimalkan perkolasi ke dalam limbah yang terkandung.

c) Bioremediasi limbah rumah tangga dengan sistem simulasi tanaman air


1. Bioremediasi dengan simulasi tanaman air dapat meningkatkan kualitas
limbah rumah tangga, yang meliputi kualitas fisik, kimia dan
mikrobiologis. Parameter limbah yang diuji mengalami
peningkatan kualitas dari kondisi yang tidak memenuhi syarat
menjadi memenuhi syarat sesuai baku mutu yang telah ditetapkan;
2. Komposisi tanaman air dan pengenceran limbah berinteraksi
dalam memberikan efek terhadap peningkatan kualitas limbah rumah
tangga pada proses bioremdiasi. Efek bioremediasi yang optimal terjadi
pada percobaan yang menggunakan empat jenistanaman air,

19
yaitu Mendong (Iris sibirica), Teratai (Nymphaea firecrest), Kiambang
(Spirodella polyrrhiza) dan Hidrilla (Hydrilla verticillata);
3. Kualitas limbah rumah tangga yang telah melalui proses
bioremediasi dengan simulasi tanaman air, pada umumnya telah
memenuhi syarat untuk dilepas ke lingkungan, baik ditinjau dari kualitas
fisik dan kimia, maupun kualitas mikrobiologis.

d) Penggunaan Biokompos dalam Bioremediasi Lahan Tercemar Limbah


Minyak Bumi

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah vermikompos steril, n-


heksan, rumput gajah, limbah lumpur minyak bumi yang didapatkan dari
pertambangan tradisional Cepu Jawa Timur. Sedangkan alat-alat yang digunakan
adalah Oven listrik, tanur, cawan petri, desikator, neraca analitik, pot plastik, pH
indikator, ketas saring, Erlenmeyer dan peralatan gelas lainnya.
Cara Kerja Penelitian yang dilakukan adalah uji biodegradasi hidrokarbon
minyak bumi dengan media uji pot menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan
perlakuan dilakukan berdasarkan perbedaan rasio C/N yaitu 15 dengan simbol A,
10 dengan simbol B, dan 5 dengan simbol C. Perlakuan yang dilakukan ada yang
diberi inokulan dan tanpa inokulan selama 35 hari. Kemudian sampel dikode
dengan huruf A, B, dan C. Setiap sampel A, B, dan C dilakukan pengulangan
empat kali, sampel A tanpa inokulan dikode dengan A11, A12, A13, dan 14,
dengan inokulan dikode dengan A21, A22, A23, dan A24. Pada sampel B tanpa
inokulan dikode dengan B11, B12, B13, dan B14, untuk dengan inokulan dikode
dengan B21, B22, B23, dan B24. Sedangkan untuk sampel C tanpa inokulan
dikode dengan C11, C12, C13, dan C14, dan sampel dengan inokulan dikode
dengan C21, C22, C23, dan C24. Semua sampel dianalisis pada awal dan akhir
perlakuan. Sebelum sampel dimasukkan ke dalam media pot, dianalisis terlebih
dahulu secara duplo.
Pembuatan Media Dalam Pot Sebanyak 100 g berat kering kompos tambah
inokulan sebesar 5 g yang dinamakan biokompos. Kemudian disisihkan sebagian

20
untuk poting, lalu dicampurkan dengan lumpur minyak bumi yang sebelumnya
sudah ditambahkan urea sesuai rasio C/N yang digunakan, diaduk hingga merata,
selanjutnya dimasukan dalam pot. Cara memasukan media dalam pot seperti
gambar berikut :

3. Studi Kasus Bioremediasi Lingkungan


Studi kasus yang diambil berasal dari jurnal yang berjudul
Bioremediasi Limbah Cair Industri Tahu Menggunakan Efektif
Mikroorganisme (Em4). Pada jurnal tersebut, dinyatakan bahwa bioremediasi
ialah salah satu cara meanangani limbah pada lingkungan dengan
menggunakan mikroorganisme. Mikroorganisme yang digunakan ialah
Efektif Mikroorganisme (EM4) yang telah diaktifkan sebelumnya
mikroorganisme tersebut difermentasi dan akhirnya dicampurkan pada limbah
tahu dengan perbandingan tertentu, yaitu 1:10 dan 1:20. Percobaan dilakukan
selama 15 hari, dan setelahnya dilakukan perhitungan COD dan BOD. Dari
penelitian ini diperoleh bahwa penurunan konsentrasi BOD untuk perlakuan
A dan B dibandingkan dengan konsentrasi limbah cair yang tidak
ditambahkan dengan EM4 (control) diberikan pada gambar 1.
Pada hari pertama terlihat, bahwa persentase penurunan BOD relatif
kecil, akan tetapi seiring dengan bertambahnya waktu proses bioremediasi
(hari) menyebabkan penurunan konsentrasi BOD semakin meningkat, karena
tempat kontak antara mikroorganisme dan limbah cair tahutersedia cukup

21
banyak. Dengan kondisi ini interaksi antara efektif mikroorganisme (EM4)
dengan limbah cair tahu berlangsung dengan baik. Mengingat bakteri yang
digunakan untuk mendegradasi limbah adalah bakteri aerob yang
membutuhkan oksigen bebas, maka dengan menambahkan aerasi secara
kontinyu proses pengolahan limbah menjadi lebih optimal. Oleh karena itu
berkembang biaknya mikroorganisme, penguraian senyawa polutan menjadi
lebih efektif. Dengan demikian mengindikasikan bahwa efektif
mikroorganisme (EM4) diperkirakan lebih aktif mendegradasi kandungan
organik limbah cair tahu.

Gambar 1.Penurunan Konsentrasi BOD Perlakuan A dan B (limbah


cair tahu ditambahkanEM4 1:20 dan 1:10) dan waktu proses Bioremediasi
(hari).
Dari data hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa pemberian EM4
pada limbah cair tahu, perlakuan A maupun perlakuan B (limbah cair tahu
ditambahkan EM4 1:20 dan 1:10) mampu menurunkan konsentrasi BOD
pada limbah cair tahu tersebut. Disamping itu mikroorganisme (EM4) lebih
mampu mendegradasi senyawa-senyawa organik dalam limbah cair tahu lebih
cepat dari pada hanya menggunakan mikroorganisme alami yang terdapat
dalam limbah tersebut, hal ini dapat dilihat dari grafik limbah cair tahu yang

22
juga diberi perlakuan aerasisebagai kontrol, tidak menunjukkan penurunan
konsentrasi BOD yang signifkan.

Pada hari pertama proses bioremediasi limbah cair tahu oleh


mikroorganisme (EM4) sudah berlangsung. Penurunan konsentrasi COD pada
perlakuan A dan B (limbah cair tahu ditambahkan EM4 1:20 dan 1:10) adalah
8,61% dan 6,85 %. Penurunan konsentrasi COD untuk kedua perlakuan terus
berlangsung, pada hari ke 5 adalah 38,48 % dan 31,31 % hinggahari ke 13
dengan persentase penurunan mencapai 98,65 dan 89,95 % mikroorganisme
masihaktif. Tingginya persentase penurunan konsentrasi COD dapat diartikan
mikroorganisme (EM4) bekerja dengan optimal.
Mikroorganisme (EM4 ) mampu mendegradasi limbah dengancepat.
Mikroorganisme dalam limbah terus menerus melakukan proses metabolism
zsepanjang kebutuhan energinya terpenuhi dan akan menghasilkan senyawa-
senyawa yang dapat memberikan dampak terhadap turunnya nilai COD
(Fardiaz, 1992). Sedangkan selanjutnya pada hari ke 14 dan 15, penurunan
konsentrasi COD tidak signifikan lagi.
Keaktifan mikroorganisme berkurang seiring dengan berkurangnya
nutrisi yang menjadi sumber pertumbuhannya. Uji Chemical Oxygen
Demand (COD) menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi dari
pada uji BOD karena bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan
mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD (Fardiaz,1992).
Sebagai pembanding konsentrasi COD pada kontrol yang tidak mengalami
penurunanyang berarti, meskipun dilakukan aerasi secara terus-menerus
selama 15 hari seperti halnya dengan perlakuan A dan B (limbah cair tahu
ditambahkan EM4 1:20 dan 1:10). Untuk control penurunan konsentrasi COD
hanya bergantung pada mikroorganisme yang ada pada limbahcair tahu saja
tanpa penambahan EM4. Penurunan konsentrasi COD untuk perlakuan A dan
B(limbah cair tahu ditambahkan EM4 1:20 dan 1:10) dan Kontrol dapat
dilihat dalam gambar 2.

23
Gambar 2. Penurunan Konsentrasi COD Perlakuan A dan B (limbah
cair tahu ditambahkan EM4 1:20 dan 1:10) dan waktu proses Bioremediasi
(hari).
Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa dari hari pertama hingga hari ke 13
konsentrasi COD untuk perlakuan A dan B menurun hampir secara beraturan,
sampai 262,50 ppm untuk treatmen A dan sampai 1.944,80 ppm pada
treatmen B. Meskipun demikian laju penurunan konsentrasi COD untuk
perlakuan B tidak seperti perlakuan A. Hal ini diduga disebabkanoleh
kemampuan mendapatkan makanan atau kemampuan metabolisme di
lingkungan bervariasi, mikroorganisme yang mempunyai kemampuan
adaptasi dan mendapatkan makanan dalam jumlah besar dengan kecepatan
yang maksimum akan berkembang biak dengan cepat dan akan menjadi
dominan di lingkungannya. Dengan lebih besarnya konsentrasi EM4
perlakuan B (1:10) dari pada konsentrasi EM4 perlakuan A(1:20),persaingan
antar mikroorganisme pun lebih tinggi dan mengakibatkan sebagian
mikroorganisme akan kalah sehingga proses bioremediasi limbah menjadi
tidak maksimal.
Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa limbah cair yang layak
dibuang kelingkungan hanya dari perlakuan A (limbah cair tahu ditambahkan
EM4 1:20) pada hari ke 13dengan konsentrasi COD 262,50 ppm. Pada hari ke
13 nilai COD-nya menurun menjadi262,50 ppm dari .ppm pada awal
perlakukan. Kelayakan limbah ini sudah bisa dibuang kedalam perairan

24
berdasarkan standar baku mutu untuk COD yaitu, 300 ppm. Sedangkan untuk
perlakuan B (limbah cair tahu ditambahkan EM4 1:10) pada hari ke 13
dengan konsentrasi COD 1.944,80 ppm, jauh melampaui baku mutu sehingga
tidak layak dibuang ke lingkungan, karena akan mencemari lingkungan
disekitarnya.
Secara umum pengolahan aerob dengan bioremediasi menggunakan
mikroorganisme EM4 mampu menurunkan konsentrasi BOD dan COD
limbah cair tahu, dimana persentase penurunan konsentrasi mencapai 93,61-
97,87%. Dari data yang diperoleh konsentrasi penurunan BOD dan COD
dengan proses aerob lebih tinggi dari pada konsentrasi penurunanBOD dan
COD dengan proses anaerob.
Proses aerob ini lebih baik dari pada proses anaerobuntuk menurunkan
konsentrasi BOD dan COD limbah cair tahu. Sebagai perbandingan
hasilpenelitian (Nusa dan Heru, 1999) untuk konsentrasi BOD dan COD
limbah cair tahu yangdiolah dengan cara anerob persentase penurunan
konsentrasinya berkisar antara 70-80%, kemudian penelitian yang sama
dilakukan oleh (Nuraida, 1985) penurunan konsentrasi BOD dan COD
mencapai 70-75%. Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa cara
mengolah limbah tahu secara aerob ini diperkirakan sangat cocok dengan
industri skala kecil, mengingat biaya relatif lebih terjangkau.

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi
lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam
mengendalikan pencemaran atau polutan.
2. Teknologi penerapan bioremidiasi terbagi menjadi dua yaitu
bioremidiasi in situ dan ex situ. Penerapan bioremidiasi dilingkungan
bisa berupa dekradasi plastik, degradasi hidrokarbon alifatik,
degradasi hidrokarbon aromatik dan degradasi hidrokarbon alifatik
terklorinasi
3. Studi kasus yang diambil berasal dari jurnal yang berjudul
Bioremediasi Limbah Cair Industri Tahu Menggunakan Efektif
Mikroorganisme (Em4). Pada jurnal tersebut, dinyatakan bahwa
bioremediasi ialah salah satu cara meanangani limbah pada
lingkungan dengan menggunakan mikroorganisme.

B. Saran
Makalah ini disusun dengan segala keterbatasan yang dimiliki tim
penyusun baik dari segi ilmu pengetahuan maupun dari segi literasi
pendukung. Oleh karenanya diperlukan penggalian lebih lanjut dan
mendalam oleh pembaca untuk mendukung segala hal yang telah
dituangkan dalam makalah ini. Kritik yang bersifat positif dan
membangun juga diperlukan tim penyusun untuk perbaikan dimasa
mendatang serta bahan koreksi bagi pengetahuan penulis.

26
DAFTAR PUSTAKA

Champagne PP, Ramsay JA. (2005). Contribution of manganese peroxidase and


laccase to dye decolouration by Trametes versicolor. Appleid
Microbiology and Biotechnology. 69: 276–285.

Environmental Protection Agency (EPA). (1998). Seminar Series on Monitored


Natural Attenuation for Ground Water, EPA/625/K98/001. Washington,
DC: Office of Solid Waste and Emergency Response.

Environmental Protection Agency (EPA). (2000). Engineered Approaches to In


Situ Bioremediation of Chlorinated Solvents: Fundamentals and Field
Applications, EPA-542-R-00-008. Washington, DC: Office of Solid Waste
and Emergency Response, 2000.

Environmental Protection Agency (EPA). (2006). In Situ and Ex Situ


Biodegradation Technologies for Remediation of Contaminated Site.
Engineering issue, EPA/625/R-06/015, Office of Research and
Development National Risk ManagementResearch Laboratory Cincinnati,
OH 45268.

Ferreira-Leitao VS, Kling SH, Da Silva Jr JG, Bon EPS. (2003). Methylene Blue
and azure B oxidation by horseradish peroxidase: a comparative evaluation
of class II and class III peroxidases. Applied Catalysis B: Environment. 42:
213–221.

Hidayat A, Tachibana S. 2015. Biodegradation of wastewater textile dyes by


recycling of immobilized fungus, isolated from forest, in a small-scale
bioreactor. Proceeding INAFOR, 21–22 October 2015, IPB Convention
Center, Bogor. pp. 243–249.

Hidayat, A., & Siregar, A. C. (2017). Telaah mendalam tentang Bioremediasi:


Teori dan aplikasinya dalam upaya konservasi tanah dan air. Bogor: IPB
Press–Bogor.

Jasmiati, Sofia, A., Thamrin. (2012). Bioremediasi Limbah Cair Industri Tahu
Menggunakan Efektif Mikroorganisme (Em4), Riau.

Marsandi, F., & Estuningsih, S. P. (2016). Asosiasi Konsorsium Bakteri


Pseudomonas Pseudoalcaligenes dan Micrococus Luteus dengan Lamtoro
(Leucaena Leucocephala (Lamk.) De Wit) dalam Upaya Meningkatkan
Bioremediasi Minyak Bumi. In Prosiding Seminar Biologi (Vol. 13, No. 1,
pp. 807-813).

27
McKinley VL, Vestal JR. (1985). Physical and chemical correlates of microbial
activity and biomass in composting municipal sewage sludge. Applie and
Environmental Microbiology. 50: 1395–1403.

Miller RR. (1996). Bioslurping, Technology Overview Report TO-9605.


Groundwater Remediation Technologies Analysis Center, October 1996.

National Research Council (NRC). (2003). Oil in the Sea III: Inputs, Fates, and
Effects. The National Academy of Science, The National Academies Press,
Washington, D.C

Nigam P, Armour G, Banat IM, Singh D, Marchant R. (2000). Physical removal


of textile dyes from effluents and solid-state fermentation of dye-adsorbed
agricultural residues. Bioresource Technology. 72: 219–226.

Romero S, Blanquez P, Caminal G, Font X, Sarra M, Gabarrell X. (2006).


Different approaches to improving the textile dye degradation capacity of
Trametes versicolor. Biochemical Engineering Journal. 31: 42–47.

Schleiphake K, Mainwaring DE, Lonergan GT, Jones IK, Baker WL. (2000).
Transformation and degradation of the disazo dye Chicago Sky Blue by a
purified laccase from Pycnoporus cinnabarinus. Enzyme and Microbial
Technology. 27: 100–107.

Schleiphake K, Mainwaring DE, Lonergan GT, Jones IK, Baker WL. (2000).
Transformation and degradation of the disazo dye Chicago Sky Blue by a
purified laccase from Pycnoporus cinnabarinus. Enzyme and Microbial
Technology. 27: 100–107.

Vidali M. (2001). Bioremediation. An overview. Pure and Applied Chemistry. 73:


1163–1172.

Walworth JL, Reynolds CM, Rutter A, Snape I. (2008). Landfarming. In : Filler


DM, Snape I, Barnes DL, Ed. Bioremediation of Petroleum Hydrocarbons
in Cold Regions. New York: Cambridge University Press , The United
States of America.

Young L, Yu J. (1997). Ligninase catalysed decolourization of synthetic dyes.


Water Resources. 31: 1187–1193.

28

Anda mungkin juga menyukai