Anda di halaman 1dari 20

BIOREMEDIASI

KELOMPOK 1

NAMA ANGGOTA KELOMPOK: 1. AFIWIYUNA (1706103010056)


2. JANNATI (15061030100)
3. M. DAVID (1706103010059)
4. NADIATUL MAUIZAH (1706103010017)
5. NUR NADIA (1706103010074)
DOSEN PEMBIMBING : ISWADI, S.Pd., M.Si

PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSALAM, BANDA ACEH
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
tanpa berkat dan rahmat-Nya penulis tidak mampu menyelesaikan makalah ini pada
waktunya. Makalah ini berisitentangBioremediasi beserta uraian-uraiannya.
Terimakasih penulis ucapkan pula kepada Bapak Iswadi, S.Pd., M.Si selaku dosen
mata kuliah Bioteknologi yang telah memberikan tugas ini, kedua orang tua, dan juga teman-
teman yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
dan kesalahan, baik dari segi isi maupun redaksinya. Makalah ini jauh dari kesempurnaan,
karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang membangun agar penulis dapat menyusun
makalah yang lebih baik lagi dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat berguna
bagi pembaca maupun penulis sendiri.

Banda Aceh, 21 November 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB I : PENDAHULUAN 3
A. LatarBelakang 3
B. RumusanMasalah 4
C. Tujuan 4

BAB II: PEMBAHASAN 5


A. Pengertian Bioremediasi 5
B. Peran Mikroba dalam Proses Bioremediasi 5
C. Tipe atau Teknik Bioremediasi 9
D. Keuntungan dan Kelemahan Bioremediasi 15
E. Aplikasi Bioremediasi di Indonesia 15

BAB III: PENUTUP 18

Kesimpulan 18
DAFTAR PUSTAKA 19

2
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Laju pembangunan semakin pesat, terutama di daerah perkotaan. Industri-industri
yang berkembang selain memberikan dampak positif, juga menimbulkan dampak
negatif, di antaranya pencemaran lingkungan dari limbah yang dihasilkan, baik berupa
limbah organik maupun limbah anorganik seperti logam berat, pestisida dll.
Sementara daerah resapan air sendiri semakin berkurang, karena banyaknya bangunan
permanen seperti gedung-gedung bertingkat dan perumahan penduduk, sehingga
menghalangi proses siklus alami air di dalam tanah, termasuk di dalamnya proses
pengolahan limbah secara alami.
Bioremediasi berasal dari kata bio dan remediasi atau “remediate” yang artinya
menyelesaikan masalah. Secara umum bioremediasi dimaksudkan sebagai
penggunaan mikroba untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan atau untuk
menghilangkan senyawa yang tidak diinginkan dari tanah, lumpur, air tanah atau air
permukaan sehingga lingkungan tersebut kembali bersih dan alamiah.
Menurut Ciroreksoko (1996), bioremediasi diartikan sebagai proses
pendegradasian bahan organik berbahaya secara biologis menjadi senyawa lain seperti
karbondioksida (CO2), metan, dan air. Sedangkan menurut Craword (1996),
bioremediasi merujuk pada penggunaan secara produktif proses biodegradatif untuk
menghilangkan atau mendetoksi polutan (biasanya kontaminan tanah, air dan
sedimen) yang mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat. Jadi
bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengatasi masalah
lingkungan dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme.
Pada bioremediasi menggunakan mikroorganisme yang telah dipilih untuk
ditumbuhkan pada polutan tertentu sebagai upaya untuk menurunkan kadar polutan
tersebut. Pada saat proses bioremediasi berlangsung, enzim-enzim yang diproduksi
oleh mikroorganisme memodifikasi struktur polutan beracun menjadi tidak kompleks
sehingga menjadi metabolit yang tidak beracun dan berbahaya. Mikroba yang hidup
di tanah dan di air tanah dapat “memakan” bahan kimia berbahaya tertentu, terutama
organik, misalnya berbagai jenis minyak bumi. Mikroba mengubah bahan kimia ini
menjadi air (H2O) dan gas yang tidak berbahaya misalnya CO 2. Menurut Sri Harjati
Suhardi, seorang peneliti dan praktisi bioremediasi Pusat Ilmu Hayati ITB, faktor
utama agar mikroba dapat membersihkan bahan kimia berbahaya dari lingkungan,
yaitu adanya mikroba yang sesuai dan tersedia kondisi lingkungan yang ideal tempat
tumbuh mikroba seperti suhu, pH, nutrient dan jumlah oksigen.

B. Rumusan Masalah

3
1. Apakah pengertian bioremediasi?
2. Bagaimana peran mikroba dalam proses bioremediasi?
3. Apa saja tipe dan teknik bioremediasi?
4. Apa keuntungan dan kelemahan bioremediasi?
5. Bagaimana aplikasi bioremediasi di indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian bioremediasi
2. Untuk memahami peran mikroba dalam proses bioremediasi
3. Untuk mengetahui tipe dan teknik bioremediasi
4. Untuk memahami keuntungan dan kelemahan bioremediasi
5. Untuk mengetahui aplikasi bioremediasi di indonesia

BAB II

4
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bioredemediasi
Bioremidiasi adalah suatu strategi atau proses detoksifikasi polutan yang terdapat
dalam lingkungan dengan bantuan mikrobe, tumbuhan, atau biokatalisator (enzim)
baik, enzim mikrobe atau enzim tumbuhan. Detoksifikasi merupakan proses
menurunkan tingkat meracun. Saat bioremediasi terjadi, enzim yang diproduksi oleh
mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia
polutan tersebut. Peristiwa ini dinamakan biotransformasi. Proses biotransformasi
pada banyak kasus berujung pada biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi
strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak
berbahaya dan tidak beracun.
Bioremediasi dapat juga dikatakan sebagai proses degradasi biologis dari sampah
organik pada kondisi terkontrol menjadi suatu bahan yang tidak berbahaya atau
konsentrasinya di bawah batas yang ditentukan oleh lembaga berwenang. Definisi
bioremediasi menurut United States Environmental Protection Agency, adalah suatu
proses alami untuk membersihkan bahan-bahan kimia berbahaya. Ketika mikroba
mendegradasi bahan berbahaya tersebut,akan dihasilkan air dan berbahaya seperti
CO,. Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan
dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran dan cukup
menarik. Selain hemat biaya, dapat juga dilakukan secara in situ langsung di tempat
dan prosesnya alamiah. Laju degradasi mikroba terhadap logam berat tergantung pada
beberapa faktor, yaitu aktivitas mikroba, nutrisi, derajat keasaman dan faktor
lingkungan. Teknologi bioremediasi ada dua jenis, yaitu ex situ dan in
situ.Penggunaan bioreaktor, pengolahan lahan (landfarming), pengkomposan dan
beberapa bentuk perlakuan fase padat lainnya adalah contoh dari teknologi ex situ,
sedangkan teknologi in situ adalah perlakuan yang langsung diterapkan pada bahan-
bahan kontaminan di lokasi tercemar.

B. Peran Mikroba dalam Proses Bioremediasi

Secara umum bioremediasi dimaksudkan sebagai penggunaan mikroba untuk


menyelesaikan masalah-masalah lingkungan atau untuk menghilangkan senyawa yang
tidak diinginkan dari tanah, lumpur, air tanah atau air permukaan sehingga lingkungan
tersebut kembali bersih dan alamiah. Mikroba yang hidup di tanah dan di air tanah
dapat “memakan” bahan kimia berbahaya tertentu, terutama organik, misalnya
berbagai jenis minyak bumi. Mikroba mengubah bahan kimia ini menjadi air dan gas
yang tidak berbahaya misalnya CO2. Beberapa bakteri menggunakan karbon dari
hidrokarbon minyak bumi sebagai sumber makanannya disebut sebagai bakteri
petrofilik. Bakteri inilah yang memegang peranan penting dalam bioremediasi
lingkungan yang tercemar limbah minyak bumi. Faktor utama agar mikroba dapat
membersihkan bahan kimia berbahaya dari lingkungan, yaitu adanya mikroba yang
sesuai dan tersedia kondisi lingkungan yang ideal tempat tumbuh mikroba seperti
suhu, pH, nutrient dan jumlah oksigen. Mikroorganisme akan mendegradasi zat

5
pencemar atau polutan menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun.
Polutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu bahan pencemar organik dan sintetik
(buatan). Sedangkan senyawa-senyawa pencemar menurut keberadaannya dapat
dibedakan menjadi :

a. Senyawa-senyawa yang secara alami ditemukan di alam dan jumlahnya


(konsentrasinya) sangat tinggi, contohnya antara lain minyak mentah (hasil
penyulingan), fosfat dan logam berat.
b. Senyawa xenobiotik yaitu senyawa kimia hasil rekayasa manusia yang
sebelumnya tidak pernah ditemukan di alam, contohnya adalah pestisida,
herbisida, plastik dan serat sintesis.

Beberapa bakteri dan fungi diketahui dapat digunakan untuk mendegradasi minyak
bumi.Beberapa contoh bakteri yang selanjutnya disebut bakteri hidrokarbonuklastik yaitu
bakteri yang dapat menguraikan komponen minyak bumi karena kemampuannya
mengoksidasi hidrokarbon dan menjadikan hidrokarbon sebagai donor elektronnya.
Adapun contoh dari bakteri hidrokarbonuklastik yaitu bakteri dari genus Achromobacter,
Arthrobacter, Acinetobacter, Actinomyces, Aeromonas, Brevibacterium, Flavobacterium,
Moraxella, Klebsiella, Xanthomyces dan Pseudomonas, Bacillus. Beberapa contoh fungi
yang digunakan dalam biodegradasi minyak bumi adalah fungi dari genus Phanerochaete,
Cunninghamella, Penicillium, Candida, Sporobolomyce, Cladosporium, Debaromyces,
Fusarium, Hansenula, Rhodosporidium, Rhodoturula, Torulopsis, Trichoderma,
Trichosp.oron. Sejumlah bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter
calcoaceticus, Arthrobacter sp., Streptomyces viridans dan lain-lain menghasilkan
senyawa biosurfaktan atau bioemulsi.Kemampuan bakteri dalam memproduksi
biosurfaktan berkaitan dengan keberadaan enzim regulatori yang berperan dalam sintesis
biosurfaktan. Berikut merupakan beberapa mikroorganisme yang berperaan :
1. Pseudomonas sp.
Pseudomonas berbentuk batang dengan diameter 0,5 – 1 x 1,5 – 5,0 mikrometer.
Bakteri ini merupakan organisme gram negatif yang motilitasnya dibantu oleh satu
atau beberapa flagella yang terdapat pada bagian polar tetapi ada juga yang hampir
tidak mampu bergerak. Bersifat aerobik obligat yaitu oksigen berfungsi sebagai
terminal elektron aseptor pada proses metabolismenya. Kebanyakan spesies ini tidak
bisa hidup pada kondisi asam pada pH 4,5 dan tidak memerlukan bahan-bahan
organik. Bersifat oksidasi negatif atau positif, katalase positif dan kemoorganotropik.
Dapat menggunakan H2 dan CO sebagai sumber energi. Bakteri pseudomonas yang
umum digunakan sebagai pendegradasi hidrokarbon antara lain Pseudomonas
aeruginosa, Pseudomonas stutzeri, dan Pseudomonas diminuta. Pseudomonas sp.
merupakan salah satu bakteri yang memanfaatan bakteri menjadi biosurfaktan.
Dengan demikian, jenis bakteri ini dapat di,amanfaatkan dengan baik dalam
melakukan bioremediasi dengan hidrokarbon.

6
Gambar. Pseudomonas sp.

2. Bacillus sp.
Umumnya bakteri ini merupakan mikroorganisme sel tunggal, berbentuk batang
pendek (biasanya rantai panjang). Mempunyai ukuran lebar 1,0-1,2 mm dan panjang
3-5 mm. Merupakan bakteri gram positif dan bersifat aerob. Adapun suhu
pertumbuhan maksimumnya yaitu 30-50oC dan minimumnya 5-20oC dengan pH
pertumbuhan 4,3-9,3. Bakteri ini mempunyai kemampuan dalam mendegradasi
minyak bumi, dimana bakteri ini menggunakan minyak bumi sebagai satu-satunya
sumber karbon untuk menghasilkan energi dan pertumbuhannya.Pada konsentrasi
yang rendah, bakteri ini dapat merombak hidrokarbon minyak bumi dengan cepat. 
Jenis Bacillus sp. yang umumnya digunakan seperti Bacillus subtilis, Bacillus cereus,
Bacillus laterospor.

Gambar. Bacillus sp.


3. Arthrobacter sp.
Pada kultur yang masih muda Arthrobacter berbentuk batang yang tidak teratur 0,8 –
1,2 x 1 – 8  mikrometer. Pada proses pertumbuhan batang segmentasinya berbentuk
cocus kecil dengan diameter 0,6 – 1 mikrometer. Gram positif, tidak berspora, tidak
suka asam, aerobik, kemoorganotropik. Memproduksi sedikit atau tidak sama sekali
asam dan gas yang berasal dari glukosa atau karbohidrat lainnya. Katalase positif,
temperatur optimum 25 – 30oC.

7
Gambar. Arthrobacter sp.
4. Acinetobacter sp.
Memiliki bentuk seperti batang dengan diameter 0,9 – 1,6 mikrometer dan panjang
1,5- 2,5 mikrometer. Berbentuk bulat panjang pada fase stasioner
pertumbuhannya.Bakteri ini tidak dapat membentuk spora.Tipe selnya adalah gram
negatif, tetapi sulit untuk diwarnai.Bakteri ini bersifat aerobik, sangat memerlukan
oksigen sebagai terminal elektron pada metabolisme.Semua tipe bakteri ini tumbuh
pada suhu 20-300 C, dan tumbuh optimum pada suhu 33-350 C. Bersifat oksidasi
negatif dan katalase positif.Bakteri ini memiliki kemampuan untuk menggunakan
rantai hidrokarbon sebagai sumber nutrisi, sehingga mampu meremidiasi tanah yang
tercemar oleh minyak. Bakteri ini bisa menggunakan amonium dan garam nitrit
sebagai sumber nitrogen, akan tetapi tidak memiliki pengaruh yang signifikan. D-
glukosa adalah satu-satunya golongan heksosa yang bisa digunakan oleh bakteri ini,
sedangkan pentosa D-ribosa, D-silosa, dan L-arabinosa juga bisa digunakan sebagai
sumber karbon oleh beberapa strain.

Gambar. Acinetobacter sp.


5. Bakteri Nictobacter
Bakteri ini merupakan bakteri probioaktif yang mampu bekerja menguraikan bahan
organik protein,karbohidrat,dan lemak secara biologis. Nitrobacter memiliki pH
optimum antara 7,3 dan 7,5 serta akan mati pada suhu 120 F (49 C) atau di bawah 32
F (0 C).Bermanfaat dalam menguraikan NH3 dan NO pada sampah,tinja,dan kotoran
hewan ternak, dan dapat menekan populasi bakteri patogen pada penampung tinja
yang menyebabkan sumber air tanah akan terkontaminasi jika air remebesan tinja
bercampur dengan sumber air tanah.

8
Gambar. Bakteri Nictobacter
6. Bakteri Endogenous
Tidak hanya mengendalikan senyawa amoniak dan nitrit, teknik bioremediasi dengan
menggunakan bakteri endogenus juga bertujuan untuk mengendalikan senyawa H2S
yang banyak menumpuk di sedimen tambak .Dengan menggunakan bakteri
fotosintetik dari jenis Rhodobakter untuk menghilangkan senyawa H2S.“Hasilnya H2S
tidak terdeteksi sama sekali di tambak, Untuk mengatasinya menggunakan bakteri
dari jenis Bacillus. “Karena bakteri Bacillus yang di gunakan merupakan bakteri
endogenous, maka efektivitasnya lebih baik jika dibandingkan dengan produk
bioremediasi dengan menggunakan bakteri dari luar Indonesia,”

Jamur dari golongan Deuteromycota (Aspergillus niger, Penicillium glabrum,


P. janthinellum, Zygomycete, Cunninghamella elegans ), Basidiomycetes (Crinipellis
stipitaria) diketahui juga dapat mendegradasi hidrokarbon polisiklik aromatik. Sistem
enzim monooksigenase Sitokrom P-450 pada jamur ini memiliki kemiripan dengan
sistem yang dimiliki mamalia. Adapun langkah-langkahnya yaitu pembentukan
monofenol, difenol, dihidrodiol dan quinon dan terbentuk gugus tambahan yang larut
air (misalnya sulfat, glukuronida, ksilosida, glukosida). Senyawa ini merupakan hasil
detoksikasi pada jamur dan mamalia.

C. Tipe atau Teknik Bioremediasi


Penerapan aplikasi bioremediasi untuk memulihkan lingkungan terkontaminasi
dapat dilakukan dengan beberapa teknik atau tipe bioremediasi. Teknik bioremediasi
selalu mengalami perubahan, perkembangan, dan perbaikan sehingga informasi yang
akan dijelaskan pada bagian ini akan memiliki keterbatasan dalam hal keterbaruan.

a. Bioremediasi In-Situ
Teknik bioremediasi secara in-situ umumnya terdiri dari upaya penambahan
dan tanpa penambahan perlakukan (instrinsik). Kedua teknik bioremediasi in-situ
ini benar-benar mengandalkan proses penguraian kontaminan secara alamiah
tanpa dan atau dengan penambahan stimulan (biostimulasi). Laju dan lama waktu
proses penguraian sangat ditentukan oleh jenis, konsentrasi kontaminan, dan
karakterisasi lingkungan. Ketika teknik bioremediasi ini dipilih maka proses
evaluasi dan pemantauan harus dilakukan untuk memastikan bahwa mayoritas
proses penguraian terjadi secara biologis dan benar adanya. Pengambilan sampel
untuk tujuan pengujian, evaluasi, dan monitoring pada proses penguraian

9
dilakukandengan mempertimbangkan alatanalisis yang paling tepat agar
dapatmemperkecil bias dan mewakili heterogenitaspopulasinya.
a) BioremediasiIntrinsik
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa bioremediasi intrinsik
sangat bergantung terhadap proses penguraian secara alami tanpa
menambahkan sedikit pun stimulan. Teknik bioremediasi ini dikendalikan
dengan cara memantau proses penguraian untuk memastikan bahwa proses
bioremediasi masih berlangsung. Bioremediasi intrinsik biasanya dilakukan
pada lokasi di mana laju penguraian terjadi lebih besar daripada laju
perpindahan kontaminan ke tempat lain. Proses yang terjadi secara alami ini
tidak hanya terbatas pada proses bioremediasi (reaksi biologis) tetapi juga
pada proses lain, meliputi pengenceran, dispersi, penyerapan, penguapan,
reaksi kimia seperti oksidasi, reduksi, dan stabilisasi. Sebelum aplikasi
bioremediasi intrinsik dilakukan, penilaian secara menyeluruh terhadap
proses tadi perlu dan wajib dilakukan sebagai dasar pengembangan model
atau disain. Penerapannya harus dilakukan secara hati-hati, baik monitoring
maupun pengendalian sehingga konsentrasi kontaminan benar-benar berada
pada batas ambang yang aman bagi manusia dan lingkungan (EPA 1998).
Proses monitoring memerlukan rentang waktu yang cukup lama, dan lebih
mahal dibandingkan dengan proses bioremediasi yang dilakukan secara aktif.
Kegagalan proses bioremediasi intrinsik ini harus dapat dihindar, seperti
terbentuknya produk pengurai berupa senyawa yang lebih beracun (EPA
1998).
b) BioremediasiBiostimulasi
Peningkatan laju penguraian dengan cara penambahan stimulan untuk
memodifikasi lingkungan dan meminimalisasi faktor pembatas disebut
dengan bioremediasi biostimulasi. Stimulasi harus mampu mengaktifkan
mikroba lokal (indigenous) sebagai agen pengurai. Bioremediasi ini biasanya
diaplikasi di zona vedosa tanah, air tanah, dan sedimen.
1. Bioremediasi pada Zona Vedosa Tanah
Zona tanah yang berada di antara permukaan tanah dan muka air
tanah disebut zona vedosa. Zona ini bersifat penting untuk menahan
pergerakan pencemar ke dalam air tanah. Pergerakan pencemar
padazona vedosa ditentukan oleh sifat, karakteristik fisik, dan kimia
tanah serta jenis pencemar. Pada saat kontaminan berada dalam zona ini,
aktivitas biologis sangat miskin. Penambahan perlakuan atau stimulasi
dilakukan untuk mengaktivasi baik mikroba aerobik dan juga anaerobik
(EPA 2000). Teknologi yang umum digunakan adalah bioventing.
Berdasarkan pemberian stimulan, bioventing dipisahkan menjadi
bioventing areobik (suplai oksigen dan nutrisi), bioventing anaerobik
(tanpa suplai oksigen, penambahan nutrisi, dan donor elektron), dan
bioventing ko-metabolik (penambahan substrat organik, seperti
propane). Gambar 1. menggambarkan contoh teknik bioventing secara
umum.

10
Gambar 1. Teknik bioremediasi dengan bioventing (Sumber: EPA
2006; National Research Council 1993)
2. Bioremediasi pada Air Tanah dan Zona Tanah Jenuh
Aplikasi bioremediasi pada zona ini dapat dilakukan dengan
membuat penghalang reaktifbiologi, biosparging, dan bioslurping.
Penghalang reaktifbiologis terletak pada zona tertentu yang
aktifmelakukan proses bioremediasi, memanfaatkan mikroba aerobik
dan anaerobik. Materi penghalang tersusun atas campuran pasir, nutrisi
(bahan organic seperti pupuk kandang, kompos), dan materi lain yang
bersifat oksidator atau reduktor. Kontaminasi akan terurai ketika air
tanah melewati dan terperangkap dalam penghalang reaktif biologis
(Gambar 2).

Gambar 2. Teknik bioremediasi dengan penghalang reaktif biologis


(Sumber: EPA 2000)

11
Gambar 3. Teknik bioremediasi dengan biosparging (Sumber: National
Research Council 1993)
Biosparging melibatkan injeksi gas (baca: oksigen) ke dalam air
tanah (Gambar 3). Injeksi juga terkadang dikombinasikan dengan
penambahan beberapa nutrisi. Mikroba akan menjadi aktif dan laju
penguraian meningkat. Melalui teknik ini kontak antara tanah dan air
tanah akan meningkat (Vidali 2001).
Bioslurping merupakan penggabungan teknik bioventing dan vakum
(Gambar 4). Teknik ini sangat cocok digunakan untuk jenis senyawa
kontaminan yang mengapung di atas permukaan air dan mudah
menguap. Bioventing merangsang mikroba areobik tanah menjadi aktif,
sementara vakum akan menghisap uap (kontaminan yang mudah
menguap) menuju sebuah perangkat atau pemisah. Penghisapan ini
mampu meningkatkan aerasi dalam tanah sehingga proses penguraian
secara aerobik dapat meningkat (Miller 1996). Keterbatasan yang
menonjol dari teknik ini adalah aplikasinya yang terbatas sampai
kedalaman 25 meter (EPA 2006).

12
Gambar 4.Teknik bioremediasi dengan bioslurping (Sumber: EPA
2006)

b. BioremediasiEk-Situ
Melaluibioremediasiek-situ, matriks yang terkontaminasiharusdipisahkan dan
diangkutketempatlain. Di tempat yang baruini, beberapaperlakuandiberikan.
Bioremediasiek-situ yang dikembangkansangattergantungdarimatriks yang
terkontaminasi, apakahberupatanah, campuranantara air dan tanah (slurry) serta
air. Uraian di bawahakandifokuskan pada
pembahasantentangteknikbioremedasiek-situ pada matrikstanah.
Tigateknikbioremediasieksitu yang umumdigunakanuntuktanah yang
terkontaminasiadalah landfarming, composting, dan biopiles.
a) Landfarming
Landfarming atau juga disebut mekanisme pengolahan tanah
mengandalkan mikroba aerobik sebagai agen pengurai (Gambar 5). Teknik
ini sangat cocok untuk penguraian jenis senyawa kontaminan yang memiliki
sifat fisika tidak mudah menguap. Pengolahan tanah dilakukan secara
periodik dengan harapan agar mikroba aerobik secara aktif hidup dan
melimpah. Perlakukan berupa pengendalian kelembapan, penambahan
nutrisi, dan stabilisai pH diperlukan untuk memfasilitasi tumbuh serta
berkembangnya mikroba lokal. Teknik ini merupakan teknik bioremediasi
yang paling mudah. Meskipun teknik ini diuraikan pada bagian bioremediasi
ek-situ, tetapi aplikasi teknik ini dapat diaplikasikan secara in-situ.

13
Gambar 5. Teknik bioremediasi dengan landfarming (Sumber: Walworth et
al. 2008)
Mekanismepengolahantanah dan
pemberianperlakukansangatbergantungdarijumlah dan
tipesenyawakontaminan.
Apabilakontaminanmemilikisifatmudahteruraimakateknikinisangatcocokuntu
kdiaplikasikan. Ketika kontaminanmemilikisifat yang lebihsulitterurai,
seperti PAH, pestisida,
atausenyawaorganikterklorinasimakapengujianawalperludilakukanuntukmen
verifikasi dan menentukanteknikpengolahan yang paling sesuai (Walworth et
al. 2008). Landfarminghanyamampumenguraikontaminan yang berada pada
kedalaman 10–35 cm di ataspermukaantanah (Vidali 2001).
b) Composting (Pengomoposan)
Composting adalah teknik bioremediasi dengan mengkombinasikan
tanah tercemar dengan limbah organik yang tidak berbahaya (bulk agents),
meliputi: limbah pertanian, serasah, jerami, kayu, dan lain-lain. Selama
proses pengomposan terjadi, populasi dan jenis mikroba sangat dinamik
untuk berubah. Hal ini dikarenakan proses pengomposan terjadi melalui 3
tahap, yaitu mesofilik, termofilik, dan tahap akhir (maturasi). Pada saat awal
proses composting, bakteri mesofilik sangat dominan dan setelah suhu
mencapai lebih dari 40̊C, bakteri termofilik dan jamur muncul. Pada saat
suhu mencapai 60̊C maka aktivitas mikroba akan menurun dan saat suhu
kembali normal (baca dingin) mesofilik mikroba kembali aktif (McKinley,
Vestal 1985).
c) Biopiles
Biopiles dapat dikatakan sebagai teknik bioremediasi yang merupakan
perbaikan dari teknik landfarming dan composting. Pipa-pipa disetting
sedimikian rupa pada tumpukan kontaminan sehingga aerasi menjadi
meningkat. Dengan demikian indigenous mikroba terstimulasi untuk tumbuh
secara aktif. Biopiles sangat cocok diaplikasikan di mana kontaminan berada
pada lapisan atas (Vidali 2001). Pipa aerasi ditempatkan pada kedalaman 2–3
meter, sementara tanah terkontaminasi berada diatasnya. Laju aliran udara

14
yang diberikan harus diatur untuk mengoptimalkan proses degradasi dan
mencegah terjadinya penguapan. Jika konsentrasi kontaminan banyak
(tinggi) dan mudah menguap, tanah terkontaminasi harus ditutup rapat.
Mikroba yang hadir adalah mesofilik, bekerja pada suhu antara 10–45̊C.

D. Keunggulan dan Kelemahan Bioremediasi


1. Keuntungan
 Bioremediasi adalah proses alami sehingga mudah diterima oleh public
sebagai cara untuk memulihkan lingkungan yang tercemar. Mikroba yang
dapat menguraikan kontaminan dapat meningkat sejalan dengan
meningkatnya kontaminan dan ketika kontaminan terurai maka populasi
mikroba juga turun. Hasil bioremediasi adalah produk yang tidak
berbahaya.
 Dapat digunakan untuk mendegradasi limbah berbahaya dan beracun
menjadi tidak berbahaya.
 Dapat merusak dengan sempurna polutan yang berbahaya dan beracun
 Dapat dilakukan langsung pada tanah yang tercemar (on site) sehingga
tidak perlu transportasi
 Teknologi bioremediasi lebih murah dari pada penggunaan teknologi lain
untuk membersihkan lingkungan.
2. Kekurangan
 Aplikasi bioremediasi terbatas hanya untuk senyawa yang dapat
terdegradasi oleh makhluk hidup terutama mikroorganisme. Tidak semua
senyawa cocok untuk proses biodegradasi yang lengkap dan cepat.
 Dikawatirkan produk hasil biodegradasi lebih persisten atau lebih toksik
dari pada senyawa asalnya.
 Sulit untuk ekstrapolasi dari skala bench ke skala pilot
 Penelitian diperlukan untuk mengembangkan teknologi bioremediasi yang
sesuai untuk tanah dan lokasi yang tercemar campuran kontaminan, baik
yang berbentuk padat, cair, dan gas.
 Bioremediasi memerlukan waktu yang lebih lama dari pada perlakuan lain
seperti pembakaran dan penimbunan.
E. Aplikasi Bioremediasi di Indonesia

Aplikasi bioremediasi di Indonesia mengacu pada Keputusan Menteri Negara


Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 (KepMen LH no. 128/2003) mengatur
tentang tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah dan tanah terkontaminasi
oleh minyak bumi secara biologis. .

Bioremediasi di PT. Chevron Pasific Indonesia

PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI) merupakan perusahaan minyak asing


terbesar di Indonesia. Dulu CPI bernama PT. Caltex yang merupakan anak perusahaan

15
dari Chevron dan Texaco. Perubahan nama menjadi CPI terjadi pada tahun 2005
didasari oleh arah perubahan pemilik saham. Kegiatan eksplorasi, pengeboran
pertama kali dilakukan tahun 1939 di daerah Kubu I, diikuti tahun berikutnya di
daerah Minas I, Sebanga dan Duri. Wilayah operasi CPI secara keseluruhan mencapai
42.000 Km2, mencakup 4 Propinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatra Utara, dan Aceh. Dari
wilayah operasi di Sumatra, CPI mampu memproduksi 50% dari kapasitas produksi
minyak mentah Indonesia.

Sebagai perusahan yang bergerak dalam bidang usaha migas, tidak bisa dihindari
bahwa pasti akan menghasilkan limbah selama proses eskploitasi dan pemurnian yang
dilakukan oleh CPI. Mereka memiliki kewajiban dan tanggung jawab melakukan
pemulihan lahan terkontaminasi sebagaimana tertuang dalam UU No. 32 tahun 2009.
Sebenarnya dalam pemulihan lingkungan tercemar, CPI adalah penggagas dan pionir
dalam aplikasi bioremediasi di Indonesia. Mereka melakukan bioremediasi secara ek-
situ di Propinsi Riau, dengan membangun 9 fasilitas bioremedisi berkapasitas 42.000
m3 tanah/siklus perlakuan. Aplikasi bioremediasi dimulai pada tahun 1994 sampai
saat ini. Awalnya bioremediasi hanya dilakukan pada skala laboratorium, pilot,
lapangan dan akhirnya pada tahun 2002 bioremediasi diaplikasikan pada skala besar
(full-scale). Sampai dengan saat ini mereka mengklaim bahwa bioremediasi yang
telah dilakukannya berhasil memulihkan tanah tercemar lebih dari 500.000 m3, di
mana tanah tersebut digunakan untuk proses penghijauan seluas 60 ha.

Teknik bioremediasi yang dilakukan oleh CPI adalah land farming secara ek-situ.
Tanah yang terkontaminasi dipisahkan, diangkut dan diolah/dipulihkan ditempat lain.
Monitoring proses bioeremediasi dilakukan setiap 2 minggu sampai 8 bulan, seperti
yang dipersyaratkan dalam Kepmen LH No.128/2003. Mereka juga melanjutkan
monitoring tanah hasil olahan (TPH < 1%) setiap 6 bulan selama 2 tahun untuk
mempertegas bahwa tanah hasil olahan aman dan tidak berbahaya jika dikembalikan
ke lingkungan. Hasil pengerjaan bioremediasi dilaporkan kepada kementerian
Lingkungan Hidup, dan pada akhirnya mereka akan mendapat Surat Status
Penyelesaian Lahan Terkontaminasi (SSPLT). Untuk mengoperasikan proses
pemulihan secara bioremediasi ini, CPI memperkerjakan Ɵdak kurang dari 100 tenaga
ahli, peneliti, serta teknisi dengan didukung oleh laboratorium terakreditasi.

Pada pertengahan tahun 2012, proses bioremediasi yang dilakukan CPI selama ini
di terjang badai kasus bioremediasi fiktif. Pelaksanaan kegiatan bioremediasi dari
tahun 2003 sampai 2011 diduga merugikan negara sebesar Rp200 Miliar dari nilai
kegiatan Rp2,5 Triliun. Pemberitaan mengenai kasus ini mencapai 1511 berita, baik di
media cetak maupun elektonik. Terlepas benar, objekƟf dan keilmiahan tidaknya
dakwaan yang dituduhkan, pemulihan lahan tercemar dengan bioremediasi tidak boleh
terhenti. Pendekatan bioremediasi yang dilakukan oleh CPI “biostimulasi” tidak salah,
sesuai dengan Kepmen LH No. 128 tahun 2003. Kefiktifan ini disinyalir karena
adanya dana pemulihan yang diberikan oleh Negara. Cara, metode, analisis,
monitoring, dan evaluasi yang dilakukan oleh semua pihak harus benar-benar objektif,
jujur, dan berintergritas sesuai dengan apa adanya. Hal ini mungkin juga serupa

16
dengan skenario DR untuk sektor kehutanan, yaitu apabila reboisasi kawasan hutan
konsesi dilakukan dengan benar maka hutan akan kembali normal sampai saat ini.
Terlepas dari aktivitas lain seperti alih fungsi hutan, perambahan, illegal logging, dan
sebagainya. Jangan sampai proses bioremediasi bernasib sama dengan upaya reboisasi
eks-hutan konsesi yang pada akhirnya lingkungan rusak dan masyarakat awam yang
tidak berdosa menjadi korban.

17
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Sejalan dengan waktu, dalam upaya pemulihan lingkungan tercemar, metode


bioremediasi telah menjadi metode yang ramah lingkungan dan diterima oleh masyarakat
luas. Konsep bioremediasi ini kemudian menjadi sebuah metode yang menawarkan proses
pemulihan lingkungan tercemar menjadi kembali normal dan aman bagi kehidupan.
Sebelumnya, untuk mengembalikan lingkungan tercemar, dilakukan serangkaian operasi
dengan metode konvensional, seperti: insinerasi, solidifikasi, desorpsi thermal (thermal
desorption), dan pencucian. tujuan penting aplikasi bioremedasi adalah 1) meningkatkan laju
dan tingkat penguraian dari target kontaminan, 2) mengaktivasi mikroba yang dapat bertahan
(survive) dari keberadaan kontaminan yang bersifat toksik, dan 3) memanfaatkan mikroba
tersebut untuk mengurai kontaminan di mana hasil penguraian bukan untuk mendapatkan
senyawa yang lebih toksik dibanding kontaminan asalnya. Beberapa mikroba yang berperan
dalam bioremediasi yaitu : Pseudomonas sp., bakteri Nictobacter, bakteri Endogenous,
bakteri Nitrifikasi, Acinobacter, dan beberapa jenis bakteri lainnya. Dalam bioremediasi ada
beberapa teknik yang digunakan yaitu: teknik landfarming, dan teknik biopile. Dalam
bioremediasi yang dilakukan oleh PT. Chevron Pasific Indonesia di gunakan teknik land
farming dimana tanah yang terkontaminasi dipisahkan, diangkut dan diolah ditempat lain.

18
DAFTAR PUSTAKA

Hafiluddin, 2011. Bioremediasi Tanah Tercemar Minyak Dengan Teknik Bioaugmentasi dan


Biostimulasi. Embriyo 8:1, 47 – 52
Hidayat, Acep. & Chairil Anwar Siregar. 2017. Telaah Mendalam tentang Bioremediasi:
Teori dan Aplikasinya dalam Upaya Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Munawar, dkk. 2007. Bioremediasi Tumpahan Minyak Mentah Dengan Metode Biostimulasi
Nutrien Organik Di Lingkungan Pantai Surabaya Timur. Berk. Penel. Hayati 13.2, 91 –
96
Munir, Erman. 2006. Pemanfaatan Mikroba Dalam Bioremediasi: Suatu Teknologi Alternatif
Untuk Pelestarian Lingkungan. Medan : USU e-Respositori
Pelczar, M.J. and E.C.S. Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerjemah: Hadi, R.S.
Jakarta: UI Press
Rahayu, Sri Pudji. (2008). Peranan Mikroorganisme dalam Bioremediasi Tanah yang
Tercemar Logam Berat dari Limbah Industri. Jurnal Kimia dan Kemasan, 1:1, 21-29.

Suryani, Yuni. 2011. Bioremediasi Limbah Merkuri Dengan Menggunakan Mikroba Pada
Lingkungan Yang Tercemar. Jurnal Edisi Juni. Vol.5(1): 139-148.
Wignyanto. 2020. Bioremediasi dan Aplikasi. Jakarta: UB Press.
Zam, Syukira I. 2006. Bioremeiasi Limbah Pengilangan Minyak Bumi Pertamina Up II
Sungai Pakning Dengan Menggunakan Bakteri Indigen. Tesis. Bandung. ITB

19

Anda mungkin juga menyukai