DI SUSUN
OLEH:
KELOMPOK 02
Anggota :
1. Herlin Tabuni : 1606103010053
2. Lia Nur Afrija : 1706103010023
3. M. Aziz Rizki : 1706103010035
4. Sara Kamisna : 1706103010041
5. Mitha Andrela : 1706103010065
halaman
DAFTAR ISI...................................................................................................................... i
I. PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. Latar belakang.................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................ 1
II. PEMBAHASAN .................................................................................................. 3
A. Pengertian Bioremediasi ................................................................................. 3
B. Peran Mikroba Dalam Proses Bioremediasi........................................................ 3
C. Tipe Dan Teknik Bioremediasi............................................................................ 7
D. Keuntungan Dan Kelemahan Bioremediasi.........................................................8
E. Aplikasi Bioremediasi di Indonesia...........................................................9
III. KESIMPULAN.............................................................................................…… 11
IV. DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................12
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Metode pemulihan lingkungan tercemar dapat dilakukan secara konvensional:
fisik (insinerasi, pencucian) dan kimia (ekstraksi, reaksi kimia, pengenceran). Namun
pada banyak kasus, metode ini hanya merupakan proses memindahkan pencemar dari
satu fase ke fase yang lain (satu tempat ke tempat yang lain). Metode lain yang dapat
dipilih adalah dengan cara biologis. Metode ini didasari oleh suatu kenyataan bahwa
dalam sebuah ekosistem yang utuh, mikroba (jamur dan bakteri) memiliki fungsi yang
sangat luas dan penting dalam mendaur ulang sisa buangan (hewan, jasad renik, dan
tanaman mati). Sejalan dengan waktu, dalam upaya pemulihan lingkungan tercemar,
metode bioremediasi telah menjadi metode yang ramah lingkungan dan diterima oleh
masyarakat luas. Bioremediasi berasal dari kata bio dan remediasi yang artinya
menyelesaikan masalah. Secara umum bioremediasi dimaksudkan sebagai penggunaan
mikroba untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan atau untuk menghilangkan
senyawa yang tidak diinginkan dari tanah, lumpur, air tanah atau air permukaan sehingga
lingkungan tersebut kembali bersih dan alamiah. Proses penguraian terjadi dalam arti yang
sebenarnya melalui proses metabolisme, mengkonversi polutan (substrates) menjadi
CO2 dan H2O atau produk antara melalui reaksi organik yang dikatalisasi oleh enzim.
Kelompok enzim oksidoreduktase dan hidrolase sangat berperan dalam proses
biodegradasi. Oksidoreduktase memecah ikatan utama kimia dalam sebuah molekul
dan membantu mentransfer elekton dari senyawa pendonor ke senyawa akseptor.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran mikroba dalam proses bioremediasi?
2. Apa saja tipe dan teknik bioremediasi?
3. Apa saja keuntungan dan kelemahan bioremediasi?
4. Bagaimana aplikasi bioremediasi di Indonesia ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui peran mikroba dalam proses bioremediasi
2. Untuk mengetahui tipe dan teknik bioremediasi Untuk mengetahui dampak negative dari
terobosan-terobosan yang telah di ciptakan
1
3. Untuk mengetahui keuntungan dan kelemahan bioremediasi
4. Untuk mengetahui aplikasi bioremediasi di Indonesia
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bioremediasi
Perkembangan ilmu pengetahuan yang dikuasai manusia mengacu pada
terminologi atau istilah “bioteknologi”, yaitu penerapan teknik biologi dalam proses
pengembangan produk dan jasa yang menguntungkan. aplikasi bioremediasi pertama
dilakukan untuk mengurai tumpahan minyak di Ambler, Pennsylvania. Kemudian tahun
1974 Richard Raymond untuk pertama kalinya mendapatkan paten tentang
bioremediasi setelah bioremediasi sukses dilakukan di lapangan. Semenjak itu
penelitian-penelitian dan aplikasi bioremediasi lebih terfokus dan mengarah pada
aplikasi untuk memodifikasi mikroba, memanfaatkan mikroba lokal, dan peningkatan
teknologi agar proses bioremediasi dapat berlangsung dengan cepat dan tepat.
Bioremediasi adalah usaha untuk mengakselerasikan terjadinya penguraian
material bersifat toksik secara alami melalui optimalisasi faktor tumbuh pada kondisi
suboptimum. Konsep bioremediasi ini kemudian menjadi sebuah metode yang
menawarkan proses pemulihan lingkungan tercemar menjadi kembali normal dan aman
bagi kehidupan. Sebelumnya, untuk mengembalikan lingkungan tercemar, dilakukan
serangkaian operasi dengan metode konvensional, seperti: insinerasi, solidifikasi,
desorpsi thermal (thermal desorption), dan pencucian. tujuan penting aplikasi
bioremedasi adalah 1) meningkatkan laju dan tingkat penguraian dari target
kontaminan, 2) mengaktivasi mikroba yang dapat bertahan (survive) dari keberadaan
kontaminan yang bersifat toksik, dan 3) memanfaatkan mikroba tersebut untuk
mengurai kontaminan
di mana hasil penguraian bukan untuk mendapatkan senyawa yang lebih toksik
dibanding kontaminan asalnya.
3
dengan kemampuannya dalam mendegradasi hidrokarbon. Beberapa bakteri yang
memanfaatkan hidrokarbon sebagai senyawa pertumbuhan serta secara tidak langsung
berperan dalam bioremediasi adalah :
1. Pseudomonas sp.
Pseudomonas sp. merupakan salah satu bakteri yang memanfaatan bakteri menjadi
biosurfaktan. Dengan demikian, jenis bakteri ini dapat dimanfaatkan dengan baik dalam
melakukan bioremediasi dengan hidrokarbon. Tetapi terdapat beberapa faktor, salah
satu faktor tersebut adalah kelarutannya yang rendah, sehingga sulit mencapai
sel bakteri.Dalam produksi biosurfaktan, berkaitan dengan keberadaan enzim regulatori
yang berperan dalam sintesis biosurfaktan. Ada dua macam biosurfaktan yang
dihasilkan bakteri Pseudomonas :
Surfaktan dengan berat molekul rendah (seperti glikolipid, soforolipid, trehalosalipid,
asam lemak dan fosfolipid) yang terdiri dari molekul hidrofobik dan hidrofilik.
Kelompok ini bersifat aktif permukaan, ditandai dengan adanya penurunan tegangan
permukaan medium cair.
Polimer dengan berat molekul besar, yang dikenal dengan bioemulsifier polisakarida
amfifatik. Dalam medium cair, bioemulsifier ini mempengaruhi pembentukan emulsi
serta kestabilannya dan tidak selalu menunjukkan penurunan tegangan permukaan
medium.
Biosurfaktan merupakan komponen mikroorganisme yang terdiri atas molekul
hidrofobik dan hidrofilik, yang mampu mengikat molekul hidrokarbon tidak larut air
dan mampu menurunkan tegangan permukaan.Selain itu biosurfaktan secara
ekstraseluler menyebabkan emulsifikasi hidrokarbon sehingga mudah untuk didegradasi
oleh bakteri.Biosurfaktan meningkatkan ketersediaan substrat yang tidak larut melalui
beberapa mekanisme. Dengan adanya biosurfaktan, substrat yang berupa cairan akan
teremulsi dibentuk menjadi misel-misel, dan menyebarkannya ke permukaan sel bakteri.
Substrat yang padat dipecah oleh biosurfaktan, sehingga lebih mudah masuk ke dalam
sel (Pelezar, 1986).
Pelepasan biosurfaktan ini tergantung dari substrat hidrokarbon yang ada.
Ada substrat (misal seperti pada pelumas) yang menyebabkan biosurfaktan hanya
melekat pada permukaan membran sel, namun tidak diekskresikan ke
dalam medium.Namun, ada beberapa substrat hidrokarbon (misal heksadekan) yang
menyebabkan biosurfaktan juga dilepaskan ke dalam medium.Hal ini terjadi karena
4
heksadekan menyebabkan sel bakteri lebih bersifat hidrofobik.Oleh karena itu,
senyawa hidrokarbon pada komponen permukaan sel yang hidrofobik itu dapat
menyebabkan sel tersebut kehilangan integritas struktural selnya sehingga melepaskan
biosurfaktan untuk membran sel itu sendiri dan juga melepaskannya ke dalam medium.
2. Bakteri Nictobacter
Bakteri ini merupakan bakteri probioaktif yang mampu bekerja menguraikan
bahan organik protein,karbohidrat,dan lemak secara biologis. Bermanfaat dalam
menguraikan NH3 dan NO pada sampah,tinja,dan kotoran hewan ternak, dan dapat
menekan populasi bakteri patogen pada penampung tinja yang menyebabkan sumber air
tanah akan terkontaminasi jika air remebesan tinja bercampur dengan sumber air tanah.
3. Bakteri Endogenous
Tidak hanya mengendalikan senyawa amoniak dan nitrit, teknik bioremediasi
dengan menggunakan bakteri endogenus juga bertujuan untuk mengendalikan senyawa
H2S yang banyak menumpuk di sedimen tambak. Dengan menggunakan bakteri
fotosintetik dari jenis Rhodobakter untuk menghilangkan senyawa H2S.“Hasilnya H2S
tidak terdeteksi sama sekali di tambak,”Untuk mengatasinya dia menggunakan bakteri
dari jenis Bacillus. “Karena bakteri Bacillus yang di gunakan merupakan bakteri
endogenous, maka efektivitasnya lebih baik jika dibandingkan dengan produk
bioremediasi dengan menggunakan bakteri dari luar Indonesia,”
4. Bakteri Nitrifikasi
Nitirifikasi untuk menjaga keseimbangan senyawa nitrogen anorganik (amonia,
nitrit dan nitrat) di sistem tambak. Pendekatan bioremediasi ini diharapkan dapat
menyeimbangkan kelebihan residu senyawa nitrogen yang berasal dari pakan,
dilepaskan bempa gas N2 1 N20ke atmosfir. Peran bakteri nitrifikasi adalah
mengoksidasi amonia menjadi nitrit atau nitrat, sedangkan bakteri denitrifikasi akan
mereduksi nitrat atau nitrit menjadi dinitrogen oksida (N20)atau gas nitrogen (Nz).
5. Bakteri Pereduksi Sulfat
Kemampuan BPS dalam menurunkan kandungan sulfat sehingga dapat
meningkatkan pH tanah bekas tambang batubara ini sangat bermanfaat pada kegiatan
rehabilitasi lahan bekas tambang batubara. Peningkatan pH yang dicapai hampir
mendekati netral (6,66) sehingga sangat baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman
revegetasi maupun kehidupan biota lainnya.
5
6. Arthrobacter
Pada kultur yang masih muda Arthrobacter berbentuk batang yang tidak teratur
0,8 – 1,2 x 1 – 8 mikrometer. Pada proses pertumbuhan batang segmentasinya
berbentuk cocus kecil dengan diameter 0,6 – 1 mikrometer. Gram positif, tidak
berspora, tidak suka asam, aerobik, kemoorganotropik. Memproduksi sedikit atau tidak
sama sekali asam dan gas yang berasal dari glukosa atau karbohidrat lainnya. Katalase
positif, temperatur optimum 25 – 30oC
7. Acinetobact
Memiliki bentuk seperti batang dengan diameter 0,9 – 1,6 mikrometer dan
panjang 1,5- 2,5 mikrometer. Berbentuk bulat panjang pada fase stasioner
pertumbuhannya. Bakteri ini tidak dapat membentuk spora. Tipe selnya adalah gram
negatif, tetapi sulit untuk diwarnai. Bakteri ini bersifat aerobik, sangat memerlukan
oksigen sebagai terminal elektron pada metabolisme. Semua tipe bakteri ini tumbuh
pada suhu 20-300 C, dan tumbuh optimum pada suhu 33-350 C. Bersifat oksidasi
negatif dan katalase positif. Bakteri ini memiliki kemampuan untuk menggunakan rantai
hidrokarbon sebagai sumber nutrisi, sehingga mampu meremidiasi tanah yang tercemar
oleh minyak. Bakteri ini bisa menggunakan amonium dan garam nitrit sebagai sumber
nitrogen, akan tetapi tidak memiliki pengaruh yang signifikan. D-glukosa adalah satu-
satunya golongan heksosa yang bisa digunakan oleh bakteri ini, sedangkan pentosa D-
ribosa, D-silosa, dan L-arabinosa juga bisa digunakan sebagai sumber karbon oleh
beberapa strain.
Secara umum terdapat tiga cara transpor hidrokarbon ke dalam sel bakteri yaitu sebagai
berikut:
a. Interaksi sel dengan hidrokarbon yang terlarut dalam fase air. Pada kasus ini, umumnya
rata-rata kelarutan hidrokarbon oleh proses fisika sangat rendah sehingga tidak dapat
mendukung.
b. Kontak langsung (perlekatan) sel dengan permukaan tetesan hidrokarbon yang lebih
besar daripada sel mikroba. Pada kasus yang kedua ini, perlekatan dapat terjadi karena
sel bakteri bersifat hidrofobik. Sel mikroba melekat pada permukaan
tetesan hidrokarbon yang lebih besar daripada sel dan pengambilan substrat dilakukan
dengan difusi atau transpor aktif. Perlekatan ini terjadi karena adanya biosurfaktan pada
membran sel bakteri Pseudomonas.
c. Interaksi sel dengan tetesan hidrokarbon yang telah teremulsi atau tersolubilisasi oleh
bakteri. Pada kasus ini sel mikroba berinteraksi dengan partikel hidrokarbon yang lebih
6
kecil daripada sel. Hidrokarbon dapat teremulsi dan tersolubilisasi dengan adanya
biosurfaktan yang dilepaskan oleh bakteri Pseudomonas ke dalam medium.
Menurut (Wignyanto, 2020) Ada dua teknik bioremediasi yang dikenal sampai saat ini,
yaitu
1) Teknik biopile, merupakan tanah yang terkontaminasi bahan cemaran ditimbun di atas lapisan
yang tidak tembus air kemudian diberi oksigen untuk keperluan pertumbuhan mikroba dengan
cara memasang pipa-pipa sehingga dapat memberikan oksigen melalui bawah sistem
bertumpukan tersebut. Pompa udara dipasang di ujung-ujung pipa sehingga semua mikroba
dan polutan yang berada di sekat ujung pipa akan berkontak dengan udara. Dengan teknik ini,
tinggi timbunan diatur sekitar 1 sampai 1,5 meter.
2) Teknik landfarming, merupakan cara yang diatur sedemikian rupa sehingga hamparan tanah
yang terkontaminasi bahan cemaran tertumpuk di atas lapisan tidak tembus air. Hamparan
tanah diatur ketebalannya 30-50 cm sehingga udara dapat bersinggungan dengan mikroba.
Untuk adanya kepastian bahwa semua bagian dari tanah yang diolah terjadi kontak dengan
udara, maka harus dilakukan pembalikan hamparan tanah secara berkala. Penguraian
7
hidrokarbon dalam bioremediasi harus terjadi secara terkontrol dan berkelanjutan.
Pengontrolan harus terjadi dengan mengawasi jumlah nutrien yang ditambahkan pada saat-
saat tertentu serta faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan dan metabolisme mikroba
seperti pengaturan suhu, pH, dan oksigen terlarut. Dalam aktivitasnya bakteri membutuhkan
adanya kerja sama dengan bakteri lain yang dapat dari spesies yang lain, karena senyawa
hidrokarbon dalam bentuk bahan organik yang bahan pencemar lingkungan terdiri dari
banyak gugus yang bermacam-macam, sehingga bakteri pendegradasi tersebut hanya dapat
menggunakan hidrokarbon pada gugus-gugus tertentu saja. Akibatnya jika ada perbedaan
sedikit saja, maka membutuhkan mikroba lain yang mampu tumbuh pada hidrokarbon yang
berbeda tadi.
8
Peraturan yang belum jelas, berhubungan dengan penerimaan kriteria bersih hasil
bioremediasi yang masih sulit didefinisikan.
E. Aplikasi Bioremediasi di Indonesia
UU No. 32 Tahun 2009 tentang lingkungan disebutkan bahwa kalimat remediasi
dijelaskan sebagai salah satu cara pemulihan lingkungan tercemar. Bidang usaha
pertambangan minyak bumi merupakan bidang usaha yang mendapatkan prioritas dari
pemerintah. Tidak hanya karena kontribusinya dalam pemerimaan Negara yang besar
tetapi juga dampak yang ditimbulkan besar terhadap perubahan lingkungan.
Perubahan regulasi tentang cara pemulihan lingkungan tercemar karena kegiatan
produksi minyak mentah terjadi pada tahun 2003 No 128 tentang Kepmen Lingkungan
Hidup, regulasi tersebut mengatur bahwa cara pemulihan lingkungan tercemar minyak
bumi dilakukan secara bioremediasi. Secara detail Kepmen ini mengatur tentang 1)
izin yang diajukan oleh pemilik limbah, 2) rancangan bangun yang disyaratkan untuk
suatu instalasi pengolahan, 3) persyaratan kondisi limbah sebelum diolah, 4)
monitoring selama proses biodegradasi, 5) persyaratan relokasi tanah setelah
pengolahan meliputi pemeriksaan, relokasi dan pemantauan.
Berkaitan dengan substansi Kepmen No. 128 tahun 2003, antara lain:
a. Mempersyaratkan hasil akhir olahan Total Petroleum Hidrokarbon (THP) < 1%
dengan konsentrasi awal TPH <15% (Bab IV). Jika 1. Olahan TPH > 2% (Proses
bioremediasi dilanjutkan), 2. Olahan TPH 1-2% (Landfill katagori III, Kepdal No.
Kep-4/Bapedal/09/1995), 3. Olahan TPH < 1% (Proses bioremediasi selesai, dapat
dimanfaatkan secara khusus dan terbatas). Peraturan ini terbit dengan pertimbangan
bahwa limbah minyak bumi memiliki sifat yang khusus, dan karena kekhususannya
maka pemulihannya dilakukan secara biologis.
b. Analisis tentang tipe jenis mikroba serta populasinya harus menjadi persyaratan
mutlak selama proses pengolahan berlangsung. Jika mikroba terdeteksi maka perlu
dipertegas dengan uji biodegradabiliti, “uji kemampuan mikroba dalam mengurai
target polutan, bisa mikroba tunggal atau konsorsium”. Pengujian-pengujian ini
dapat dilakukan dengan cepat melalui analisis genomic atau proteomic, tanpa harus
melalui pengujian secara konvensional, jika sumber dayanya mendukung.
c. Perizinan pengelolaan limbah minyak secara biologis mengacu pada PP No. 18
tahun 1999. Pengolahan limbah dapat dilakukan sendiri, atau diserahkan
pekerjaannya kepada badan usaha lain untuk melakukan pengolahan. Proses
pengolahan limbah minyak bumi sifatnya khusus, oleh karenanya badan usaha yang
9
bergerak dalam pengolahannya pun harus memiliki sertifikat kelayakan untuk
mengoperasikan proses pengolahan.
1. Bioremediasi di PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI)
PT. CPI merupakan perusahaan minyak asing di Indonesia. Kegiatan eksplorasi,
pengeboran pertama kali dilakukan tahun 1939 di daerah Kubu I, diikuti tahun
berikutnya di daerah Minas I, Sebanga dan Duri. Wilayah operasi CPI secara
keseluruhan mencapai 42.000 Km2, mencakup 4 Propinsi, yaitu Riau, Jambi,
Sumatra Utara, dan Aceh. Dari wilayah operasi di Sumatra, CPI mampu
memproduksi 50% dari kapasitas produksi minyak mentah Indonesia. Sebagai
perusahan yang bergerak dalam bidang usaha migas, tidak bisa dihindari bahwa pasti
akan menghasilkan limbah selama proses eskploitasi dan pemurnian yang dilakukan
oleh CPI. Mereka memiliki kewajiban dan tanggung jawab melakukan pemulihan
lahan terkontaminasi sebagaimana tertuang dalam UU No. 32 tahun 2009.
Sebenarnya dalam pemulihan lingkungan tercemar, CPI adalah penggagas dan pionir
dalam aplikasi bioremediasi di Indonesia. Mereka melakukan bioremediasi secara
ek-situ di Propinsi Riau, dengan membangun 9 fasilitas bioremedisi berkapasitas
42.000 m3 tanah/siklus perlakuan.
Teknik bioremediasi yang dilakukan oleh CPI adalah land farming secara ek-
situ. Tanah yang terkontaminasi dipisahkan, diangkut dan diolah ditempat lain.
Monitoring proses bioremediasi dilakukan setiap 2 minggu sampai 8 bulan, seperti
yang dipersyaratkan dalam Kepmen LH No.128/2003. Mereka juga melanjutkan
monitoring tanah hasil olahan (TPH < 1%) setiap 6 bulan selama 2 tahun untuk
mempertegas bahwa tanah hasil olahan aman dan tidak berbahaya jika dikembalikan
ke lingkungan. Hasil pengerjaan bioremediasi dilaporkan kepada kementerian
Lingkungan Hidup, dan pada akhirnya mereka akan mendapat Surat Status
Penyelesaian Lahan Terkontaminasi (SSPLT). Untuk mengoperasikan proses
pemulihan secara bioremediasi ini, CPI memperkerjakan tidak kurang dari 100
tenaga ahli, peneliti, serta teknisi dengan didukung oleh laboratorium terakreditasi.
10
BAB III
KESIMPULAN
Sejalan dengan waktu, dalam upaya pemulihan lingkungan tercemar, metode bioremediasi
telah menjadi metode yang ramah lingkungan dan diterima oleh masyarakat luas. Konsep
bioremediasi ini kemudian menjadi sebuah metode yang menawarkan proses pemulihan
lingkungan tercemar menjadi kembali normal dan aman bagi kehidupan. Sebelumnya, untuk
mengembalikan lingkungan tercemar, dilakukan serangkaian operasi dengan metode
konvensional, seperti: insinerasi, solidifikasi, desorpsi thermal (thermal desorption), dan
pencucian. tujuan penting aplikasi bioremedasi adalah 1) meningkatkan laju dan tingkat
penguraian dari target kontaminan, 2) mengaktivasi mikroba yang dapat bertahan (survive)
dari keberadaan kontaminan yang bersifat toksik, dan 3) memanfaatkan mikroba tersebut
untuk mengurai kontaminan di mana hasil penguraian bukan untuk mendapatkan senyawa
yang lebih toksik dibanding kontaminan asalnya. Beberapa mikroba yang berperan dalam
bioremediasi yaitu : Pseudomonas sp., bakteri Nictobacter, bakteri Endogenous, bakteri
Nitrifikasi, Acinobacter, dan beberapa jenis bakteri lainnya. Dalam bioremediasi ada
beberapa teknik yang digunakan yaitu: teknik landfarming, dan teknik biopile. Dalam
bioremediasi yang dilakukan oleh PT. Chevron Pasific Indonesia di gunakan teknik land
farming dimana tanah yang terkontaminasi dipisahkan, diangkut dan diolah ditempat lain.
11
DAFTAR PUSTAKA
12