Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dehidrasi osmosis merupakan suatu proses penghilangan sebagian air
dalam bahan selular misalnya buah dan sayuran. Prinsip dehidrasi osmosis
adalah perpindahan air yang terdapat dalam bahan pangan karena adanya
perbedaan tekanan osmotik antara bahan pangan dengan larutan di sekitarnya
lama waktu dehidrasi osmosis maka komponen gula yang masuk dalam
struktur sel manisan akan semakin besar pula dan kadar sukrosa dalam produk
akan meningkat. Struktur selular kompleks dari bahan pangan berperan
sebagai membran semipermiabel. Dikarenakan membran yang bertanggung
jawab terhadap transpor osmotik tidak benar-benar selektif, maka zat terlarut
lain yang ada dalam sel juga akan terikut ke dalam larutan osmotik. Laju
difusi air dari bahan yang terdiri dari beberapa jaringan tergantung dari faktor
seperti suhu dan konsentrasi larutan osmotik, bentuk, dan ukuran bahan,
perbandingan masa bahan dan larutan, dan tingkat pengadukan larutan.
Dehidrasi osmosis biasanya digunakan sebagai tahap awal pengeringan bahan
pangan sebelum proses pengolahan lebih lanjut misalnya pembekuan, freeze
drying, vacuum drying, dan air drying, melibatkan pencelupan bahan pangan
berkadar air tinggi ke dalam suatu larutan osmotik, misalnya larutan gula.
Dehidrasi osmotik didefinisikan sebagai perpindahan air secara parsial
pada suatu makanan dengan membenamkan atau merendam makanan tersebut
dalam suatu larutan hipertonik seperti sukrosa, glukosa, fruktosa, gliserol,
manitol, dan lain-lain. Beberapa kelebihan dari dehidrasi osmotik diantaranya
adalah penggunaan suhu yang relatif rendah sehingga kandungan vitamin dan
mineral pada bahan terjaga dengan baik, perbaikan karakteristik sensori, rasa,
tekstur serta penampakan produk akhir serta penghemat dan peningkatan
efesiensi energi karena tidak terjadi perubahan fase zat selama proses
berlangsung. Meskipun banyak keunggulan dan kemudahan yang ditawarkan
pada proses dehidrasi osmotik, dalam skala industri besar masih terdapat
kendala dalam hal penggunaan larutan osmotik serta waktu dehidrasi yang
diperlukan (Sari, 2019).
1.2 Batasan Masalah
Mempelajari pengaruh waktu pada proses dehidrasi osmosis untuk
membuat grafik hubungan kadar air tersisa dalam buah pepaya dengan ukuran
2 x 2 x 0,5 cm dengan larutan gula konsentrasi 15% dan 30% pada selang
waktu 7 menit.

1.3 Tujuan Percobaan


Mempelajari pengaruh waktu pada proses dehidrasi osmosis.

2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dehidrasi
Dehidrasi adalah kekurangan cairan tubuh karena jumlah cairan yang
keluar lebih banyak dari pada jumlah cairan yang masuk. Pengeluaran air
harus seimbang dengan pemasukan air, apabila terjadi ketidakseimbangan
cairan di dalam tubuh, akan timbul kejadian dehidrasi. Banyaknya energi yang
dipergunakan dalam aktivitas akan mengeluarkan cairan tubuh berupa keringat
melalui kulit dan karbon dioksida yang keluar melalui pernafasan. Keluarnya
cairan dalam jumlah yang banyak dapat meningkatkan suhu tubuh sehingga
mengganggu proses metabolisme dan juga mengakibatkan berkurangnya kadar
elektrolit yang berdampak pada penurunan kinerja fisik. Dehidrasi merupakan
kehilangan air secara berlebihan yang akan mengganggu ketidakseimbangan
tubuh. Semua cairan tubuh setiap waktu kehilangan dan mengalami
penggantian bagian-bagiannya, namun komposisi cairan harus dipertahankan
agar selalu berada dalam keadaan tetap (Hawa, 2018).

2.2 Dehidrasi Osmosis


Dehidrasi osmosis merupakan teknik pengurangan kadar air yang dapat
digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan cara
perendaman bahan pada larutan berkonsentrasi tinggi. Jika pada dua larutan
dengan konsentrasi yang berbeda, yang dipisahkan oleh adanya membran
suatu semipermeable, cairan pelarut tersebut akan cenderung berdifusi melalui
membran dari konsentrasi rendah ke larutan dengan konsentrasi yang tinggi.
Dehidrasi osmotik merupakan suatu metode yang dapat dilakukan pada
perlakuan awal pengeringan yaitu dengan cara merendam bahan ke dalam
larutan hipertonik tersebut (Fathurahmi et al., 2020)
Osmotic Dehydration (OD) adalah suatu operasi yang digunakan untuk
menghilangkan sebagian air dari jaringan suatu tanaman dengan cara
pencelupan dalam larutan hipertonik, gula atau larutan garam, untuk
mengurangi kadar makanan. Dehidrasi osmosis menjadi salah satu metode
untuk mengurangi kadar air dalam bahan pangan. Teknik ini adalah proses
dehidrasi parsial untuk memberikan peningkatan kualitas produk atas suatu
proses pengeringan konvensional (Rum, Supratomo and Mursalim, 2019)
Dehidrasi osmosis merupakan salah satu metode pengawetan bahan
pangan menggunakan prinsip perbedaan tekanan osmotik untuk mengeluarkan
sebagian kandungan air pada bahan. Pada proses dehidrasi osmotik, bahan
pangan direndam ke dalam media osmosis yang memiliki tekanan osmotik
lebih tinggi dari tekanan osmosis bahan sehingga air dari dalam bahan akan
keluar ke arah media untuk menyeimbangkan tekanan. Beberapa kelebihan
dari dehidrasi osmotik diantaranya adalah penggunaan suhu yang relatif
rendah sehingga kandungan vitamin dan mineral pada bahan terjaga dengan
baik, perbaikan karakteristik sensori, rasa, tekstur serta penampakan produk
akhir serta penghematan dan peningkatan efisiensi energi karena tidak terjadi
perubahan fase zat selama proses berlangsung dalam hal penggunaan larutan
osmotik serta waktu dehidrasi yang diperlukan. Selama proses dehidrasi
berlangsung air dari bahan akan keluar menuju larutan, sehingga dapat
menyebabkan konsentrasi larutan osmotik menjadi rendah atau encer. Untuk
produk buah umumnya digunakan perbandingan bahan dan larutan hingga
1:22 dengan waktu dehidrasi 5-10 jam. Secara ekonomi, penggunaan larutan
yang cukup besar ini perlu didaur ulang agar dapat mengoptimalkan
penggunaan larutan osmotik serta meningkatkan efektivitas proses dehidrasi.
Parameter-paremeter yang mempengaruhi dehidrasi osmosis, seperti jenis
larutan osmosis, konsentrasi agen osmosis temperatur proses, waktu proses
geometri makanan dan karakteristik (komposisi) dari makanan yang telah
diamati pada produk-produk makanan. Model perpindahan massa selama
dehidrasi osmosis telah dikembangkan berdasarkan teori maupun pendekatan
empiris. Meskipun persamaan empiris lebih disukai karena sederhana dalam
aplikasinya, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa persamaan
empiris hanya cocok untuk kondisi tertentu.
Dehidrasi osmosis dilakukan dengan cara merendam produk ke dalam
larutan gula, larutan garam, sorbitol, gliserol dan sebagainya sebelum proses

4
pengeringan. Proses ini biasa dilakukan dalam pembuatan produk pangan semi
basah. Selanjutnya produk dikeringkan dengan penjemuran atau pengeringan
buatan. Proses dehidrasi osmosis dapat digunakan untuk perlakuan
pengeringan awal yang dapat menurunkan kadar air bahan sampai 50% dari
kadar air awal bahan. Metode dehidrasi osmosis dikombinasikan dengan
pengeringan udara terbukti mampu menghasilkan buah kering awet dengan
kadar air sekitar 14%, sehingga kerusakan kimiawi, biologis dan enzimatis
dapat dihindari. Osmosis adalah aliran bersih dari molekul pelarut melalui
selaput semipermeabel dari larutan yang lebih encer atau dari pelarut murni ke
larutan yang lebih pekat. Osmosis bisa juga di artikan sebagai perpindahan
pelarut dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah melalui
membran semipermeabel. Osmosis harus melewati membran semipermeabel.
Jadi, jika terjadi perpindahan pelarut tanpa melalui membran selektif
semipermeabel bukanlah osmosis tetapi peristiwa tersebut dikenal sebagai
difusi.
Dengan metode dehidrasi osmosis, bahan pangan yang direndam akan
mengalami penurunan bobot. Hal tersebut terjadi karena cairan yang terdapat
di dalam bahan pangan keluar dan zat terlarut dari larutan masuk ke dalam
bahan pangan. Bahan pangan yang dihasilkan dari proses ini memiliki
kelebihan dibandingkan metode pengawetan bahan pangan lainnya yakni,
antara lain: meningkatkan kualitas produk bahan makanan yang diawetkan,
memberikan kisaran kadar air dan zat terlarut bahan yang diinginkan untuk
pengolahan pangan, meminimalisasi stress karena panas dan mengurangi input
energi pada pengeringan konvensional tersebut (Saputra, 2018).
Pada prosesnya, potongan buah-buahan direndam dalam larutan yang
berkonsentrasi tinggi, kemudian air dari dalam bahan akan terambil dan
berpindah ke larutan melalui dinding sel buah yang merupakan membran
semipermeable secara terus menerus sampai tercapai keadaan yang setimbang.
Gaya pendorong perpindahan massa air dari dalam buah ke larutan gula adalah
perbedaan tekanan osmosis.
Tekanan osmosis adalah tekanan yang dapat menghentikan aliran molekul
dari pelarut murni ke dalam larutan, melalui selaput semipermeable yaitu

5
selaput yang berbentuk lembaran lebar atau lapis tipis yang merupakan
jaringan berlubang kecil-kecil atau berpori-pori di mana molekul pelarut yang
kecil dapat melewati pori-pori ini, tetapi molekul terlarut tidak dapat
melewati. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi adanya perpindahan
massa selama dehidrasi osmosis adalah konsentrasi larutan osmosis yaitu pada
suhu dan lama waktu perlakuan yang diberikan terhadap buah, dimana
semakin tinggi suhu dan konsentrasi sampel buah maka akan semakin tinggi
pula penurunan kadar air pada suatu sampel buah. Pada dehidrasi osmotik,
kadar air bahan memegang peranan penting untuk menentukan sejauh mana
kemampuan proses tersebut berhasil diterapkan. Pada penelitian ini kadar air
pada bahan diukur sebelum perlakuan dehidrasi osmotik, selama proses
dehidrasi hingga akhir proses tersebut. Nilai kadar air yang digunakan untuk
perhitungan adalah kadar air basis kering (%db). Selama proses dehidrasi
osmosis berlangsung perpindahan massa air dari bahan, keluar menuju larutan
osmotik (Spetriani, 2019).
2.2.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dehidrasi Osmosis
Dehidrasi osmosis dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti agen
osmosis, konsentrasi zat terlarut, suhu, waktu, ukuran, dan bentuk dan
kekompakan jaringan bahan, agitasi dan rasio larutan atau sampel.
Teknik ini membantu menghemat energi keseluruhan relatif terhadap
prosedur pengeringan lainnya. Berikut beberapa faktor yang
mempengaruhi dehidrasi osmosis:
1. Jenis Zat Terlarut
Osmotik agen yang biasa digunakan adalah garam NaCl, sukrosa,
glukosa, fruktosa, laktosa, dekstrosa, maltosa, polisakarida,
maltodekstrin, corn starch syrup, whey, sorbitol, asam askorbat,
asam sitrat, kalsium klorida, dan kombinasi lainnnya. Pada dehidrasi
osmotik buah biasanya digunakan sukrosa, sedangkan pada dehidrasi
osmotik sayuran, ikan dan daging biasanya yang digunakan adalah
garam NaCl. Larutan gula dan larutan garam merupakan larutan
biner dan sudah umum digunakan.Larutan terner (gula-NaCl-air)

6
sangat efektif untuk sayuran.Pada dehidrasi osmotik tilapia (ikan
nila), NaCl signifikan menurunkan aw (aktivitas air) sedangkan
sukrosa signifikan menurunkan kelembaban sehingga kombinasi
keduanya efektif menurunkan aw dan kelembaban (Hermawan,
2015).
2. Konsentrasi Larutan Osmosis
Mengamati pada proses dehidrasi ikan sardin kenaikan dari
konsentrasi larutan osmosisakan meningkatkan kecepatan dan
jumlah kehilangan air dari dalam tubuh ikan. Hal ini juga terjadi
pada proses dehidrasi osmosis seperti pada wortel, namun efek
konsentrasi larutan tidak signifikan saat konsentrasi 5-15% (b/v).
3. Temperatur Larutan Osmosis
Selama temperatur dibawah 36oC, kecepatan waterloss
meningkat saat konsentrasi meningkat, dan diatas temperatur 36oC
kecepatan menurun saat konsentrasi meningkat. Sedang oladele
mengatakan peningkatan temperatur dan waktu perendaman pada
dehidrasi osmosis catfish mempengaruhi kelembaban dan water loss
namun tidak mempengaruhi weight reduction, salt gain, dan ikan
secara signifikan. Kontradiktif dengan hukum difusi secara umum
menemukan kenaikan temperatur menurunkan water loss dan solid
gain dehidrasi osmotik (Skallerud, Prot and Nordrum, 2011).
Kecepatan pengeringan dan kadar air dari produk akhir sangat
penting dalam proses pengeringan, faktor-faktor utama yang
memengaruhi kecepatan pengeringan bahan pangan adalah :
a. Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, komposisi, kadar
air)
b. Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat
atau media perantara pindah panas (cara penumpukan bahan,
frekuensi pembalikan dan lain-lain)
c. Tipe alat pengering (efisiensi permindahan panas)
d. Kondisi lingkungan (suhu, kelembaban dan kecepatan aliran udara)

7
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pengeringan adalah
suhu, kelembaban udara, laju aliran udara, kadar air awal bahan dan
kadar air akhir bahan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
menyebutkan bahwa penurunan kadar air semakin tinggi saat
menggunakan suhu perendaman yang tinggi dan konsentrasi yang tinggi.
Nilai water loss juga semakin meningkat seiring dengan meningkatnya
konsentrasi yang digunakan juga menyatakan bahwa peningkatan
konsentrasi larutan menyebabkan peningkatkan nilai solid gain, dimensi
atau ukuran bahan juga berpengaruh.
Pengeringan dehidrasi osmotik dapat dilakukan dengan cara
merendam bahan pangan di dalam larutan (garam, gula atau larutan lain)
dengan tingkat tekanan osmosis lebih tinggi daripada tingkat tekanan
osmosis intraseluler bahan pangan tersebut. Akibatnya air dalam bahan
akan berpindah dari tekanan osmosis yang rendah ke tekanan osmosis
yang lebih tinggi dengan melintasi membran sel menuju larutan
perendam. Pengeringan dehidrasi osmotik ini digunakan sebagai
praperlakuan untuk mengurangi kadar air bahan. Dengan berkurangnya
kadar air bahan sebelum proses pengeringan menggunakan oven, maka
energi yang dibutuhkan saat mengeringkan menggunakan oven akan
lebih sedikit dan waktu pengeringan pun akan lebih cepat meskipun
tersebut menggunakan suhu rendah (Octyaningrum, 2015).
Pada beberapa tahun terakhir, dehidrasi osmosis sering digunakan
untuk pengawetan buah dan sayuran, karena potensinya untuk menjaga
karakteristik sensori dan nutrisi menyerupai buah dan sayuran segar.
Proses ini memiliki beberapa kelemahan antara lain proses perendaman
memerlukan waktu yang lama jika dilakukan pada suhu kamar, larutan
yang digunakan harus larutan hypertonic dimana konsentrasi larutan
harus lebih tinggi dari konsentrasi dalam buah, karena proses pemasukan
larutan dalam bahan berlangsung karena adanya perbedaan konsentrasi,
penetrasi larutan kedalam bahan dapat mencuci nutrisi dari jaringan, jika
dilakukan pada suhu lebih tinggi dapat menimbulkan kerusakan akibat

8
perlakuan panas dan membutuhkan energi untuk proses pemanasan, dan
memungkinkan terjadinya reaksi oksidasi selama proses. Solusi yang
dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan
menggantikan proses perendaman dengan aplikasi Vacuum
Impregnation (VI). Vacuum Impregnation (VI) adalah teknik untuk
memasukkan suatu larutan ke dalam media berpori melalui mekanisme
hidrodinamik yang ditimbulkan oleh perubahan tekanan. Teknik VI
dapat diaplikasikan secara luas untuk buah dan sayuran, karena
fungsinya dapat digunakan untuk mengeluarkan air dan formulasi.
Aplikasi ini meliputi prehidrasi buah dan sayuran, pre-treatment sebelum
pembekuan, modifikasi fortified fruits, dan nutrisi sayuran,
pengembangan buah dan sayuran olahan minimal untuk meningkatkan
kualitas dan stabilan, serta dapat dikombinasikan dengan teknik lain
melalui hurdle technology untuk memperpanjang masa simpan.
Sebagaimana buah tropis lain, pepaya merupakan buah yang sangat
mudah rusak dan memerlukan teknik pengawetan untuk meningkatkan
daya simpan. Pada dehidrasi osmosis, perbedaan konsentrasi merupakan
penyebab terjadinya transfer massa, sehingga semakin tinggi konsentrasi
larutan, maka akan semakin banak padatan yang masuk dan semakin
banyak penurunan kandungan air. Perubahan kandungan air dalam
bahan, memiliki fenomena yang berbeda dengan perubahan kandungan
gula. Keuntungan aplikasi VI adalah peningkatan kualitas karena proses
berlangsung pada suhu rendah, sehingga meminimalisasi kerusakan
akibat panas dan mempertahankan nutrisi, warna dan aroma
menyediakan suatu proses osmosis yang akan berlangsung lebih cepat
(Yulianingsih, 2015).

2.3 Pengeringan
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan
sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di
kandung melalui penggunaan energi panas. Biasanya, kandungan air bahan

9
tersebut di kurangi sampai batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak dapat
tumbuh lagi di dalamnya. Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi
lebih awet dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan
menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan, berat bahan juga menjadi
berkurang sehingga memudahkan transpor, dengan demikian diharapkan biaya
produksi menjadi lebih murah. Kecuali itu, banyak bahan-bahan yang hanya
dapat di pakai apabila telah di keringkan, misalnya tembakau, kopi, teh dan
biji-bijian. Pengeringan bertujuan untuk menghambat aktivitas dan
pertumbuhan mikroorganisme serta aktivitas enzim yang dapat menyebabkan
kerusakan bahan tersebut. Disamping keuntungan-keuntungannya,
pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian yaitu karena sifat asal bahan
yang di keringkan dapat berubah, misalnya bentuknya, sifat-sifat fisik dan
kimianya, penurunan mutu dan sebagainya. Kerugian yang lainnya juga
disebabkan beberapa bahan kering perlu pekerjaan tambahan sebelum di
pakai, misalnya harus di basahkan kembali (rehidrasi) sebelum di gunakan.
Agar pengeringan dapat berlangsung, harus di berikan energi panas pada
bahan yang di keringkan, dan di perlukan aliran udara untuk mengalirkan uap
air yang terbentuk keluar dari daerah pengeringan. Penyedotan uap air ini
dapat juga di lakukan secara vakum. Pengeringan dapat berlangsung dengan
baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan tersebut, dan uap air
yang di ambil berasal dari semua permukaan bahan tersebut. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan benda, suhu
pengeringan, aliran udara, tekanan uap di udara, dan waktu pengeringan.
Pengeringan merupakan proses pengeluaran air dari suatu bahan pangan
menuju kadar air kesetimbangan dengan udara sekeliling atau pada tingkat
kadar air dimana mutu bahan pangan dapat dicegah dari serangan jamur,
enzim dan aktivitas serangga. Pengeringan diartikan juga sebagai proses
pemisahan atau pengeluaran air dari suatu bahan yang jumlahnya relatif kecil
dengan menggunakan panas. Metode pengawetan dengan pengeringan
berdasarkan prinsip bahwa mikroba dan reaksi-reaksi kimia hanya terjadi jika
air tersedia dalam jumlah cukup. Pengeringan merupakan proses pemindahan

10
panas dan uap secara simultan yang memerlukan energi panas untuk
menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari permukaan bahan yang
dikeringkan oleh media pengering yang biasanya berupa panas.
Berbagai metode pengeringan yang umum dan telah lama dikenal antara
lain pengeringan dengan cara dijemur maupun pengeringan menggunakan alat
pengering. Pengeringan juga dapat berlangsung dengan cara lain yaitu dengan
memecahkan ikatan molekul-molekul air yang terdapat di dalam bahan.
Apabila ikatan molekul-molekul air yang terdiri dari unsur dasar oksigen dan
hidrogen dipecahkan, maka molekul tersebut akan keluar dari dalam bahan.
Akibatnya bahan tersebut akan kehilangan air yang dikandungnya itu
(Hermawan, 2015).
2.3.1 Pengeringan Osmosis
Pengeringan osmotik dengan larutan osmotik membutuhkan dua
sampai tiga kali lebih sedikit energi dibandingkan dengan pengeringan
secara konvensial, temperatur proses relatif rendah. Pengeringan osmotik
melibatkan proses perendaman bahan makanan berkadar air tinggi ke
dalam suatu larutan osmosis pada umumnya larutan gula atau garam.
Osmosis merupakan suatu proses di mana suatu liquid dapat melewati
suatu membran semipermeabel secara langsung.
Apabila terdapat dua larutan yang memiliki konsentrasi zat terlarut
yang berbeda dipisahkan oleh suatu membran semipermeable, maka
akan terjadi perpindahan air dari larutan hipotonik (larutan dengan
konsentrasi zat terlarut yang lebih rendah) ke larutan hipertonik (larutan
dengan konsentrasi zat lebih tinggi). Pori dalam membran
semipermeable terlalu kecil untuk dilewati oleh molekul zat terlarut
misalnya gula, tetapi cukup besar untuk dilewati molekul air. Molekul
air dari larutan maupun dari pelarut murni secara random dapat melewati
membran semipermeable.
Akan tetapi, laju pergerakan molekul air dari air larutan dengan laju
pergerakan molekul air dari larutan air ditentukan oleh besarnya entropi

11
dan tekanan yang diaplikasikan ke salah satu kaki karena entropi larutan
adalah lebih besar dibandingkan dengan entropi pelarut murni, maka
secara spontan laju molekul air yang melewati air-larutan akan lebih
cepat dibandingkan dengan laju molekul air dari larutan air.
Oleh sebab itu, bila kita membiarkan kedua larutan untuk selang
waktu tertentu maka ketinggian permukaan larutan pada salah satu kaki
akan mengalami kenaikan. Proses ini akan terus berlangsung sampai
ketinggian mencapai tinggi tertentu dimana pada ketinggian tersebut
tekanan larutan memiliki tekanan yang dapat menyeimbangkan laju
pergerakan molekul air air dari larutan-air dan air-larutan. Tekanan
inilah yang disebut sebagai tekanan osmosis (Octyaningrum, 2015).
2.3.2 Pengeringan Oven Drying
Pengeringan oven (oven drying) merupakan alternatif pengeringan
matahari. Tetapi metode pengeringan ini membutuhkan sedikit biaya
investasi. Pengeringan oven dapat melindungi pangan dari serangga,
debu, dan tidak tergantung pada cuaca. Pengeringan oven tidak
disarankan untuk pengeringan pangan karena energi yang digunakan
kurang efisien daripada alat pengering lain, selain itu sulit mengontrol
suhu rendah pada oven dan pangan yang dikeringkan dengan oven lebih
rentan hangus.
Keuntungan pengeringan oven yaitu tidak tergantung cuaca,
kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang diperlukan, tidak
memerlukan tempat yang luas dan kondisi pengeringan dapat dikontrol.
Proses pengeringan yang terjadi pada oven yaitu panas yang diberikan
pada bahan pangan dalam sebuah oven dapat melalui radiasi dari dinding
oven, konveksi dari sirkulasi udara panas, dan melalui konduksi melalui
wadah tempat bahan pangan diletakkan. Udara, gas lain, dan uap air
akan menguap akibat transfer panas secara konveksi, dan panas diubah
menjadi panas konduksi pada permukaan bahan dinding dan dinding
oven.

12
Rendahnya kelembaban udara dalam oven menciptakan gradien
tekanan uap yang menyebabkan perpindahan air dari bagian dalam
bahan menuju permukaan bahan, perluasan hilangnya air bahan
ditentukan oleh sifat alami bahan dan laju pemanasan dan perpindahan
air pada pada saat pengeringan bahan dalam oven. Perubahan ini serupa
dengan pengeringan dengan udara panas lainnya, semakin cepat
pemanasan dan semakin tinggi suhu yang digunakan menyebabkan
perubahan yang kompleks pada komponen permukaan bahan pangan
(Octyaningrum, 2015).
Drying adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan
air tersebut dengan menggunakan energi panas. Kelebihan dari proses
pengeringan ini adalah bahan menjadi lebih tahan lama, volume bahan
kecil sehingga memudahkan pengangkatan dan pengepakan, berat bahan
menjadi berkurang sehingga memudahkan pengangkutan.
Pengeringan juga mempunyai kekurangan yaitu dapat merusak sifat
dan karakteristik dari bahan yang dikeringkan, seperti contohnya bentuk,
sifat-sifat kimiawi, penurunan mutu. Pengeringan suatu bahan dapat
berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari
bahan tersebut dan uap air dikeluarkan dari seluruh permukaan bahan
tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan terutama adalah
luas permukaan bahan, suhu pengeringan, aliran udara dan tekanan uap
di udara.
Metode dalam pengeringan bermacam-macam sesuai dengan alat
pengeringan yang dipakai. Oven dryer adalah alat yang berguna untuk
memanaskan atau mengeringkan peralatan laboratorium, zat-zat kimia
maupun pelarut organik, dapat pula digunakan untuk mengukur kadar
air. Oven dryer dapat digunakan sebagai pengering apabila dengan
kombinasi pemanas dengan humidity rendah dan sirkulasi udara yang
cukup. Kecepatan pengeringan tergantung dari tebal bahan yang
dikeringkan, dimana penggunaan alat ini untuk skala kecil. Oven dryer

13
yang dipakai ini terdiri dari beberapa tray serta memiliki sirkulasi udara
di dalamnya. Kelebihan dari oven dryer adalah dapat dipertahankan dan
diatur suhu pengeringannya, pengeringan tidak bergantung pada cuaca,
dan lebih praktis cara kerjanya.
Dalam metode pengeringan, penambahan drying agent sangat
dibutuhkan karena untuk mempercepat suatu perpindahan air selama
terjadinya proses pengeringan sehingga waktu pengeringan berlangsung
lebih cepat. Hal ini disebabkan molekul pada drying agent, drying agent
memiliki kemampuan menghidrasi molekul struktural pada suatu bahan
yang ada di dalam air (Wibawanto, Ananingsih and Pratiwi, 2014).
2.3.3 Pengawetan Bahan Pangan
Pengawetan bahan pangan adalah tindakan mempertahankan
karakteristik bahan tersebut seperti keadaan awalnya dalam waktu
simpan sepanjang mungkin. Adapun faktor-faktor yang penyebab
kerusakan bahan adalah:
1. Pertumbuhan dan Aktivitas Mikrobiologi
Mikroba pathogen menghasilkan zat kimia yang bersifat racun.
Mikroba mengubah komposisi makanan dengan menghidrolisis pati
dan selulosa, menguraikan lemak, menguraikan protein, serta
membentuk lendir, gas, busa, asam, serta racun. Penguraian lemak
menyebabkan ketengikan. Penguraian proteinakan menimbulkan bau
busuk dan amoniak dalam makanan.
2. Aktivitas Enzim
Enzim mempercepat reaksi-reaksi kimia dalam makanan dan
menyebabkan perubahan komposisi pada makanan. Enzim juga dapat
berasal dari makanan itu sendiri atau dari mikroba yang mencemari
makanan. Pada hewan yang mati, enzim bekerja tidak terkendali
sehingga pada potongan daging dan ikan tekstur berubah dan akan
muncul bau yang amoniak.
3. Faktor Lingkungan

14
Temperatur, kelembaban relatif, oksigen dan cahaya
mempengaruhi proses pembusukan makanan. Pemanasan yang
berlebihan menyebabkan kerusakan struktur protein, kerusakan
vitamin, pemecahan lemak, serta mempercepat reaksi enzimatik.
Pembekuan dan pencairan kembali (thawing) menyebabkan makanan
menjadi kenyal atau kering sama sekali. Pengeringan dengan
temperatur awal tinggi dapat menyebabkan casehardening
(pengeringan bagian permukaan bahan). Kelembaban relatif sangat
mempengaruhi kadar air dalam bahan, bila kadar air bahan rendah
dan di sekitar tinggi maka terjadi penyerapan uap air dari udara,
permukaan bahan makanan menjadi basah dan memicu pertumbuhan
mikroba. Oksigen memicu pertumbuhan mikroba, merusak vitamin
A dan C, mengubah warna, dan menyebabkan proses oksidasi lemak
menimbulkan bau tengik. Cahaya mengkatalisasi perubahan protein,
memicu reaksi browning non enzimatik, merusak riboflavin, vitamin
A, vitamin C, dan warna makanan (Leviana and Paramita, 2017).
4. Waktu
Waktu mempengaruhi faktor penyebab kerusakan lainnya
(mikrobiologi aktivitas enzim, oksigen, cahaya). Waktu yang lebih
lama menyebabkan kerusakan lebih besar.
Metoda pengawetan pangan pada dasarnya adalah mengurangi
faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan tersebut antara lain
dengan:
a. Inhibisi
Inhibisi yaitu dengan memperlambat atau menghambat
kerusakan makanan akibat reaksi kimia dan pertumbuhan
mikroba. Inhibisi dilakukan melalui kontrol lingkungan, kontrol
temperatur, kontrol water activity, maupun kontrol pH.
1) Inhibisi menggunakan bahan kimia
Dimana yang kita ketahui inhibisi yaitu dengan
memperlambat atau menghambat kerusakan makanan. Bahan

15
kimia dapat ditambahkan dalam makanan sebagai anti
mikroba, anti oksidan (mencegah oksidasi lemak yang dapat
menyebabkan ketengikan), bahan aditif, dan pengontrol pH.
Contohnya penggunaan antioksidan Tertiary Buthyl
Hydroquinone (TBHQ), vitamin E (antioksi dan alami), nitrit
dan nitrat sebagai aditif dan antioksidan, propionat, sorbat,
benzoat mengontrol pH rendah (Pratiwi and Widari, 2018).
2) Inhibisi dengan mengontrol air
Air yang perlu dikontrol adalah water activity (aw) atau
aktivitas air. Aw menunjukkan air yang diperlukan untuk
aktivitas mikroba, aktivitas enzimatik dan reaksi kimia. Aw
didefinisikan sebagai perbandingan tekanan uap air dalam
bahan makanan dan tekanan uap jenuh air pada temperatur
yang sama. Aw minimum untuk pertumbuhan mikroba
umumnya 0,6-0,7, bakteri pathogen 0,85-0,86 sedangkan
khamir dan kapang 0,62. Penurunan harga aw dilakukan
dengan mengeluarkan air atau menambahkan beberapa ml zat
terlarut.
3) Inhibisi dengan mengontrol tekstur
Tekstur dikontrol agar tidak terjadi pengerutan dan
perubahan tampilan karena kehilangan air terlalu banyak.
4) Inhibisi dengan mengontrol atmosfer
Kontrol atmosfer dilakukan dengan merubah komposisi
gas dalam kemasan makanan. Oksigen dan uap air
dihilangkan, CO2 diperbanyak, etilen dan volatil yang
mempengaruhi aroma diserap menggunakan bahan tertentu.
b. Inaktivasi
Dimana yang kita ketahui bahwa inaktivasi merupakan
menonaktifkan yang terdapat pada bakteri, khamir, jamur, dan
enzim secara langsung.Inaktivasi dilakukan dengan
caramenggunakan energi panas (pasteurisasi, sterilisasi,

16
memasak, menggoreng), tekanan tinggi, ultrasonik, energi listrik,
radiasi atau medan magnet. Menghindari dari rekontaminasi
(secara tidak langsung) adalah dengan cara dapat melalui
pengemasan dan manajemen yang berkualitas bagus (Pratiwi and
Widari, 2018).

2.4 Kadar Air


Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang
dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat
penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan,
tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut
menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang
tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk
berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan.
Penentuan kadar air sangat penting dalam banyak masalah industri,
misalnya dalam evaluasi material balance atau kehilangan selama pengolahan.
Kita harus tahu kandungan air (dan kadang juga distribusi air) untuk
pengolahan optimum, misalnya dalam penggilingan serealia, pencampuran
adonan sampai konsistensi tertentu, dan produksi roti dengan daya awet dan
tekstur tinggi. Kadar air harus diketahui dalam penentuan nilai gizi pangan,
untuk memenuhi standar komposisi dan peraturan-peraturan pangan.
Kepentingan yang lain adalah bahwa kadar air diperlukan untuk penentuan
mengetahui pengolahan terhadap komposisi kimia yang sering dinyatakan
pada dasar dry matt. Penentuan kadar air yang cepat dan akurat bervariasi
tergantung struktur dan komposisinya. Dari segi analisis pangan, kandungan
air dalam pangan dapat dibagi menjadi tiga macam bentuk. Air bebas adalah
air dalam bentuk sebagai air bebas dalam ruang intergranular dan dalam pori-
pori bahan.
Air demikian ini berlaku sebagai agensia pendispersi bahan-bahan koloidal
dan sebagai solvent senyawa-senyawa kristalin. Air yang terserap (teradsorpsi)
pada permukaan koloid makromolekular (pati, pektin, selulosa, protein). Air

17
ini berkaitan erat dengan makromolekul-makromolekul yang mengadsorpsi
dengan gaya absorpsi, yang diatributkan dengan gaya Van der Waals atau
dengan pembentukan ikatan hidrogen. Air terikat, berkombinasi dengan
berbagai substansi, sebagai air hidrat. Klasifikasi tersebut tidak mutlak. Istilah
air bebas, terabsorpsi, dan terikat itu relatif (Aventi, 2015).
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan pangan
yang dinyatakan dalam bentuk persen. Kadar air menunjukkan jumlah absolut
air yang terdapat dalam pangan. Kadar air dihitung sebagai persentase
kandungan air suatu bahan yang dinyatakan dalam basis basah atau basis
kering.
Kadar air sangat berhubungan dengan kelembaban nisbi (RH) udara.
Kelembaban nisbi adalah perbandingan antara tekanan uap air di udara dengan
tekanan uap air jenuh pada suhu yang sama. Jika kadar air bahan rendah
sedangkan RH disekitarnya tinggi maka akan terjadi perpindahan uap air dari
lingkungan ke bahan, dengan demikian bahan menjadi lembab sehingga kadar
airnya menjadi lebih tinggi. Jumlah air yang berada di dalam bahan pangan
dinyatakan dalam persentase yang merupakan hasil analisis secara gravimetri.
Nilai ini menujukkan jumlah kadar air keseluruhan pada bahan pangan,
kecuali air tipe I, yaitu air terikat.
Kadar air merupakan salah satu parameter penting untuk menentukan
umur simpan produk pangan. Semakin tinggi kadar air, pangan akan semakin
mudah untuk rusak, baik karena kerusakan mikrobiologis maupun reaksi
kimia. Pada buah-buahan dan sayuran segar, kandungan air menunjukkan
tingkat kesegaran produk tersebut. Namun, pada produk pangan kering seperti
biskuit, peningkatan kadar air menyebabkan produk tersebut mengalami
penurunan mutu menjadi tidak renyah ataupun lunak.
Penurunan mutu tersebut diartikan bahwa pangan sudah mencapai batas
umur simpannya, hal ini disebabkan karena sudah melewati batas kritis kadar
airnya. Kualitas biskuit juga akan menurun jika terjadi perubahan biologis,
seperti adanya pertumbuhan mikroorganisme, reaksi enzimatis dan

18
pencoklatan nonenzimatik, perubahan fisik dan sifat sensorik seperti tekstur,
kerenyahan, kekerasan, warna serta rasa. Oleh sebab itu kadar air sangat
berperan penting dalam menentukan daya awet bahan pangan.
Kadar air juga dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa
bahan pangan. Pangan dengan kadar air yang tinggi lebih mudah
terkontaminasi mikroba, hal ini disebabkan karena air dapat membantu
mikroba untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan
pangan. Bahan pangan kering dapat juga menghasilkan air bila terjadi
peningkatan suhu selama pengepakan, akibatnya kelembaban pada permukaan
akan berubah. Uap air ini akan berkondensasi pada permukaan bahan pangan
terutama jika suhu penyimpanan menurun. Namun jika disimpan dengan
benar, maka kemungkinan kerusakan tersebut dapat diminimalisir, sehingga
dapat meningkatkan shelf life produk (Amelia, 2016).

2.5 Gula
Gula sering kita jumpai pada kehidupan sehari –hari dan biasanya
digunakan sebagai pemanis dalam membuat minuman seperti teh, kopi, susu
dan lain sebagainya gula juga bisa digunakan dalam pemanis untuk jajanan
pasar seperti dadar gulung, kelanting dan lain sebagainya. Gula banyak sekali
macamnya ada gula aren atau gula merah, gula pasir yang sering kita
konsumsi, gula halus untuk pembuatan roti. Dari peryataan itulah maka kita
dapat mempelajari kandungan gula pada suatu makanan maupun minuman.
Apa bila kita kekurangan gula kita juga dapat terkena penyakit seperti pusing,
lemas tidak ada tenaga. Gula memiliki beberapa jenis diantaranya:
2.5.1 Monosakarida
Monosakarida yang pada umumnya terasa manis. Dalam bahan
makanan hanya tiga jenis monosakarida yang mempunyai arti gizi yaitu
glukosa, fruktosa dan galaktosa.
Dalam proses metabolisme, glukosa merupakan bentuk karbohidrat
yang beredar di dalam sel merupakan sumber energi. Tingkat kemanisan
glikosa hanya separoh dari sukrosa, sehingga dapat digunakan lebih

19
banyak untuk tingkat kemanisan yang sama. Fruktosa, dinamakan juga
levulosa atau gula buah, adalah gula paling manis. Fruktosa mempunyai
rumus kimia yang sama dengan glukosa, C 6H12O6, namun strukturnya
berbeda. Susunan atom dalam fruktosa merangsang lidah sehingga
menimbulkan rasa manis. Miniman ringan banyak menggunakan sirup
jagung tinggi fruktosa sebagai bahan pemanis di dalam tubuh, fruktosa
merupakan hasil pencernaan sukrosa. Galaktosa, tidak terdapat bebas di
alam seperti halnya glukosa dan fruktosa, akan tetapi terdapat dalam
tubuh sebagai hasil pencernaan laktosa.
Glukosa atau dinamakan juga dekstrosa atau gula anggur, terdapat
luas di alam dalam jumlah sedikit, yaitu di dalam sayur, buah, sirup
jagung, sari pohon dan bersamaan dengan fruktosa dalam madu. Tetapi,
glukosa memegang peranan sangat penting dalam ilmu gizi. Glukosa
merupakan hasil akhir dari pencernaan pati, sukrosa, maltosa, dan
laktosa pada hewan dan manusia (Asseggaf, 2015).
Monosakarida adalah karbohidrat yang susunan molekulnya paling
sederhana. Dalam tubuh monosakarida langsung diserap oleh dinding
usus halus, kemudian masuk ke aliran darah. Monosakarida merupakan
hasil akhir pemecahan sempurna dari karbohidrat yang lebih kompleks
susunannya dalam proses pencernaan. Monosakarida yang penting yaitu
glukosa, fruktosa, galaktosa. Glukosa disebut juga dekstrosa, banyak
terdapat dalam buah-buahan dan sayuran. Semua karbohidrat dalam
tubuh akhirnya akan diubah menjadi glukosa. Fruktosa (levulosa)
terdapat bersama dalam buah, sayur, dan madu. Galaktosa hanya
ditemukan berasal dari penguraian disakarida (Muntikah and Razak,
2017).
2.5.2 Disakarida
Disakarida adalah suatu karbohidrat yang jika dihidrolisis
menghasilkan gabungan dua macam monosakarida. Beberapa contoh
disakarida adalah sebagai berikut:

20
a. Maltosa
Disakarida Maltosa digunakan pada makanan bayi dan pada
susu bubuk beragi (malted milk). Gula ini merupakan disakarida
utama yang diperoleh dari hidrolisis pati. Pati diurai menjadi maltosa
secara acak, oleh enzim yang terdapat pada air liur. Maltosa
ditemukan sebagai hasil perantara dari penguraian pati. Maltosa akan
dipecah menjadi dua molekul glukosa.
b. Sukrosa
Disakarida sukrosa ialah gula pasir biasa. Tebu ditanam di
pekarangan sejak 6000 tahun sebelum Masehi di India. Gula inversi
adalah campuran D-glukosa dan D-fruktosa yang diperoleh dengan
hidrolisis asam atau enzimatik dari sukrosa. Enzim yang mengkatalis
hidrolisis sukrosa adalah invertase. Sukrosa terdapat dalam gula tebu
dan gula aren. Dalam pencernaan sukrosa dipecah menjadi glukosa
dan fruktosa.
c. Laktosa
Laktosa meruoakan suatu disakarida alamiah yang dijumpai
hanya pada binatang-binatang menyusui, air susu manusia dan sapi
mengandung kira-kira 5% Laktosa. Laktosa diperoleh secara
komersial sebagai hasil sampingan. Laktosa banyak terdapat dalam
susu, di dalam tubuh akan dipecah menjadi glukosa dan galaktosa.
d. Selobiosa
Disakarida yang diperoleh dari hidrolisis selulosa disebut
selobiosa. Seperti maltosa, selobiosa tersusun dari dua satuan
glukopranosa yang digabung menjadi satu. Hidrolisis kimia dari
selobiosa dalam asam berair menghasilkan suatu campuran glukosa,
produk-produk yang sama seperti yang diperoleh dari maltosa.
2.5.3 Oligosakarida
Oligosakarida merupakan gabungan dari molekul-molekul
monosakarida yang jumlahnya antara 2 (dua) sampai dengan 8 (delapan)

21
molekul monosakarida. Sehingga oligosakarida dapat berupa disakarida,
trisakarida dan lainnya. Oligosakarida secara eksperimen banyak
dihasilkan dari proses hidrolisa polisakarida dan hanya beberapa
oligosakarida yang secara alami terdapat di alam. Oligosakarida yang
paling banyak digunakan dan terdapat di alam adalah bentuk disakarida
seperti maltosa, laktosa dan sukrosa.
Sering terjadi salah kaprah dalam mengenal definisi gula, karena
umumnya gula bagi masyarakat adalah gula pasir. Padahal gula pasir
adalah suatu disakarida. Molekul disakarida yang disusun oleh dua
molekul monosakarida yang dihubungkan oleh ikatan glikosida. Ikatan
glikosida terjadi dari kondensasi gugus hidroksil dua molekul
monosakarida, yaitu berasal dari gugus hidroksil dari atom Carbon yang
pertama dengan salah satu gugus hidroksil pada atom karbon nomor 2, 4,
atau 6, yang berasal dari monosakarida yang kedua.
2.5.4 Polisakarida
Polisakarida adalah karbohidrat dengan susunan molekul kompleks,
terdiri dari banyak molekul monosakarida. Contoh: pati, glikogen dan
selulosa. Pati merupakan sumber energi yang sangat penting karena
sebagian besar karbohidrat terdapat dalam bentuk pati. Molekul dekstrin
lebih sederhana bentuknya dibanding tepung, mudah larut dalam air,
mudah dicerna, sehingga baik untuk makanan bayi.
Glikogen merupakan cadangan karbohidrat yang disimpan dalam
hati dan otot, jumlahnya terbatas. Bila diperlukan oleh tubuh, glikogen
diubah kembali menjadi glukosa. Selulosa adalah polisakarida yang
tidak dapat dicerna, tetapi berguna dalam mekanisme pencernaan yaitu
merangsang alat pencernaan mengeluarkan getah bening, membentuk
volume makanan sehingga terasa kenyang, serta memadatkan sisa-sisa
zat gizi yang tidak diserap lagi oleh dinding usus (Muntikah dan Razak,
2017).

22
Pada umumnya polisakarida mempunyai molekul besar dan lebih
kompleks daripada mono dan oligosakarida.Molekul polisakarida terdiri
atas banyak molekul monosakarida. Polisakarida yang terdiri atas satu
macam monosakarida saja disebut homopolisakarida, sedangkan yang
mengandung senyawa lain disebut heteropolisakarida.
Berat molekul polisakarida bervariasi dari beberapa ribu hingga lebih
dari satu juta. Polisakarida yang dapat larut dalam air akan membentuk
larutan koloid. Beberapa polisakarida yang penting di antaranya ialah
amilum, glikogen, dekstrin dan selulosa.
Polisakarida adalah senyawa dalam mana molekul-molekul
mengandung banyak satuan monosakarida yang disatukan dengan ikatan
gukosida. Polisakarida memenuhi tiga maksud dalam sistem kehidupan
sebagai bahan bangunan, makanan dan zat spesifik. Polisakarida bahan
bangunan misalnya selulosa dan kitin. Polisakarida makanan yang lazim
adalah pati dan glikogen. Sedangkan polisakarida zat spesifik adalah
heparin, satu polisakarida mencegah koagulasi darah (Asseggaf, 2015).

2.6 Larutan
Larutan merupakan campuran homogen yang terdiri dari dua zat atau
lebih. Suatu larutan terdiri dari zat terlarut (solute) dan pelarut (solvent). Zat
yang jumlahnya banyak biasanya disebut pelarut, sementara zat yang
jumlahnya sedikit disebut zat terlarut. Tetapi ini tidak mutlak. Bisa saja dipilih
zat yang lebih sedikit sebagai pelarut, tergantung pada keperluannya, tetapi di
sini akan digunakan pengertian yang biasa digunakan untuk pelarut dan
terlarut. Campuran yang dapat saling melarutkan satu lama lain dalam segala
perbandingan dinamakan larutan miscible. Udara merupakan larutan miscible.
Jika dua cairan yang tidak bercampur membentuk dua fasa dinamakan cairan
immiscible. Suatu larutan sudah pasti berfasa tunggal. Berdasarkan wujud dari
pelarutnya, suatu larutan dapat digolongkan ke dalam larutan padat, cair
ataupun gas. Zat terlarut dalam ketiga fasa larutan tersebut juga dapat berupa

23
gas, cair ataupun padat. Campuran gas selalu membentuk larutan karena
semua gas dapat saling campur dalam berbagai perbandingan.
Dalam larutan cair, cairan disebut “pelarut” dan komponen lain (gas atau
zat padat) disebut “terlarut”. Jika dua komponen pembentuk larutan adalah
cairan maka komponen yang jumlahnya lebih besar atau strukturnya tidak
berubah dinamakan pelarut.
Contoh, 25 gram etanol dalam 100 gram air, air disebut sebagai pelarut,
sedangkan etanol sebagai zat terlarut, sebab etanol lebih sedikit daripada air.
Contoh lain adalah sirup, dalam sirup, gula pasir merupakan komponen paling
banyak daripada air, tetapi gula dinyatakan sebagai zat terlarut dan air sebagai
pelarut, sebab struktur air tidak berubah, sedangkan gula berubah dari padat
menjadi cairan. Beberapa jenis-jenis larutan:
2.6.1 Larutan Ideal dan Non-Ideal
Dalam suatu sistem, atom-atom, ion-ion, dan molekul-molekul nyata
saling mempengaruhi satu sama lain sehingga perilakunya sukar
diramalkan secara tepat. Akibat kesukaran meramalkan perilaku zat
nyata menimbulkan cara atau model yang dapat menjelaskan perilaku
secara teoritis, yang dinamakan juga sebagai hukum ideal
(Khoerunnisa, 2017).
Oleh karena itu, muncul istilah larutan ideal, sebagai upaya untuk
menjelaskan keadaan sistem dari larutan nyata. Molekul-molekul gas
ideal dipandang sebagai molekul-molekul bebas yang tidak berantaraksi
satu sama lain. Dalam larutan cair pendekatan keidealan berbeda dengan
gas ideal. Dalam larutan ideal partikel-partikel pelarut dan terlarut yang
dicampurkan berada dalam kontak satu sama lain. Pada larutan ideal
dengan zat terlarut molekuler, gaya antaraksi antara semua partikel
pelarut dan terlarut setara.
Dalam larutan non-ideal, gaya antar atom, ion atau molekul harus
dipertimbangkan dalam perhitungan. Sebagai contoh perhatikan daya
hantar listrik larutan elektrolit kuat, misalnya NaCl. Jika larutan NaCI

24
sangat encer kurang dari 0,01 M, daya hantarnya diharapkan sesuai
dengan disosiasi garam ke dalam ion-ionnya, tetapi jika konsentrasi
larutan besar perbedaan antara harapan dan amatan menjadi lebih besar.
Penyebabnya, ion-ion berlawanan muatan mengadakan baku tarik satu
sama lain, baku tarik ini menimbulkan ion-ion saling berdekatan
sehingga larutan jadi lebih pekat. Setiap ion dikelilingi oleh molekul
pelarut yang berlawanan muatan, kecenderungan ini dapat menghambat
laju ion-ion menuju elektroda yang menyebabkan daya hantar listriknya
lebih rendah dari harapan itu.
2.6.2 Larutan Jenuh, Tak Jenuh dan Lewat Jenuh
Larutan jenuh dari sebuah zat adalah larutan yang di dalamnya
terdapat zat terlarut berada dalam kesetimbangan dengan zat yang tidak
larut. Misalnya, untuk membuat larutan jenuh NaCl dalam air pada
25°C, kita harus menambahkan NaCl berlebih ke dalam air dan
mengaduknya terus sampai tidak ada lagi NaCl yang melarut.
Larutan tak jenuh mengandung zat terlarut dengan konsentrasi lebih
kecil daripada larutan jenuh. Larutan NaCl pada 25°C yang mengandung
NaCl kurang dari 36,5 gram disebut larutan tak jenuh. Dalam larutan tak
jenuh belum dicapai kesetimbangan antara zat terlarut dan zat yang tidak
larutnya. Jika zat terlarut ditambahkan ke dalam larutan maka larutan
mendekati tersebut akan mendekati suatu titik jenuh (Khoerunnisa,
2017).
Larutan lewat jenuh menunjukkan keadaan yang tidak stabil, sebab
larutan mengandung zat terlarut yang jumlahnya melebihi konsentrasi
kesetimbangannya. Larutan lewat jenuh umumnya terjadi jika larutan
yang sudah melebihi jenuh pada suhu tinggi diturunkan sampai
mendekati pada suhu kamar.
2.6.3 Larutan elektrolit dan non-elektrolit
Dalam larutan cair, zat padat dapat berada dalam bentuk ion-ionnya
maupun molekulernya. Jika NaCl terlarut dalam air, ion Na+ dan ion Clˉ

25
masing-masing terhidrasi dalam air, dan ion-ion yang terhidrasi itu
secara bebas dapat bergerak ke seluruh medium larutan. Akan tetapi
apabila glukosa atau etanol larut dalam air, zat-zat tersebut tidak berada
dalam bentuk ioniknya melainkan dalam bentuk molekulernya. Zat-zat
yang di dalam air membentuk ion-ion dinamakan zat elektrolit, dan
larutan yang dibentuknya dinamakan larutan elektrolit. Secara
eksperimen larutan elektrolit dapat diketahui dari sifatnya, misalnya
dapat menghantarkan arus listrik. Zat-zat yang tergolong elektrolit, yaitu
asam, basa, dan garam.
Zat-zat seperti etanol dan glukosa yang di dalam pelarut air
membentuk molekuler dinamakan non-elektrolit, dan larutan yang
dibentuknya dinamakan larutan non-elektrolit. Dalam keadaan murni,
asam merupakan senyawa kovalen, tetapi jika dilarutkan ke dalam air
akan terurai menjadi ion-ionnya (Khoerunnisa, 2017).
Zat elektrolit yang terurai sempurna di dalam air dinamakan
elektrolit kuat, sedangkan zat elektrolit yang hanya terurai sebagian
membentuk ion-ionnya di dalam air dinamakan elektrolit lemah. Asam
dan basa yang merupakan elektrolit kuat disebut asam kuat dan basa
kuat. Asam dan basa yang hanya terionisasi sebagian di dalam air
dinamakan asam lemah dan basa lemah. Selain HCl, HBr, HI, HNO 3,
H2SO4, dan HClO4, umumnya tergolong asam lemah. Basa kuat adalah
hidroksida dari logam alkali dan alkali tanah kecuali berlium.Lemah atau
kuatnya suatu asam dan basa tidak ada kaitannya dengan kereaktifan
asam atau basa. Larutan HF, misalnya merupakan asam lemah yang
hanya 8% terionisasi dari larutan sebesar 0,1 M, tetapi pada larutan HF
sangat reaktif terhadap banyak zat, termasuk reaktif terhadap suatu
gelas (polisilikat) (Khoerunnisa, 2017).
2.7 Pelarut
Air adalah pelarut ini memiliki beberapa keuntungan dimana relatif murah,
mudah diperoleh, tidak toksik, stabil, tidak mudah menguap, tidak mudah

26
terbakar, dan digunakan bila senyawa yang akan diekstrak larut air. Namun
tidak dipungkiri pula dengan penggunaan pelarut air ini dapat dimungkinkan
terjadinya reaksi hidrolisa, dapat ditumbuhi jamur dan mikroba, tidak selektif,
titik didih 100°C atau tidak cocok untuk senyawa yang terurai pada
temperatur tinggi, dan untuk pengeringan dibutuhkan waktu yang lama.
Pelarut organik dalam ekstraksi juga dapat dilangsungkan dengan berbagai
jenis pelarut organik lainnya. Dengan pemakaian pelarut organik senyawa
tidak terhidrolisis sebagaimana bila digunakan pelarut air. Keuntungan lainnya
pemakaian pelarut organik adalah titik didihnya yang relatif rendah sehingga
tidak perlu dilakukan pemanasan tinggi, dan tidak dapat ditumbuhi jamur.
Namun, pemakaian pelarut organik ini memiliki beberapa kerugian seperti
mahal, beberapa pelarut organik bersifat toksik (karsinogenik), dan berbahaya
(bisa terbakar) seperti etanol, metanol, CHCl3, dan heksan (Khoerunnisa,
2017).
2.7.1 Macam-macam pelarut
Ada beberapa macam pelarut yang digunakan dalam ekstraksi.
Berikut macam-macam pelarut :
1. n-Heksana
Seperti kebanyakan senyawa dari gugus alkana, heksana
merupakan senyawa non-polar. Karena sifat non-polar inilah
kebanyakan senyawa dari gugus alkana termasuk n-Heksana larut
dalam pelarut non-polar atau sedikit polar seperti dietil eter
(CH3CH2OCH2CH3), atau benzena. Kelarutan disebabkan oleh gaya
tarik Van der Walls antara pelarut dan zat terlarut. Seperti halnya
senyawa-senyawa gugus alkana lainnya adalah n-Heksana tidak larut
dalam air. Sifat racun akut n-Heksana relatif kecil. Fraksi n-Heksana
yang diproduksi dari industri mendidih pada 65-70°C.
2. Etanol
Etanol yang juga disebut etil alkohol merupakan jenis pelarut
yang mudah menguap, mudah terbakar, dan tidak berwarna serta
memiliki aroma yang khas. Etanol merupakan pelarut serbaguna,
dapat larut dengan air dan banyak pelarut organik termasuk asam

27
asetat, aseton, benzen, karbon tetraklorida, kloroform, dietil eter,
etilen glikol, gliserol, nitrometana, piridin dan toluen. Etanol juga
larut dengan hidrokarbon alifatik ringan seperti pentana dan heksana,
dan alifatik klorida seperti trikloroetana (Khoerunnisa, 2017).
2.7.2 Kelarutan
Sebutir kristal gula pasir merupakan gabungan dari beberapa
molekul gula. Jika kristal gula itu dimasukkan ke dalam air, maka
molekul-molekul gula akan memisah dari permukaan kristal gula
menuju ke dalam air (disebut melarut). Molekul gula itu bergerak secara
acak seperti gerakan molekul air, sehingga pada suatu saat dapat
menumbuk permukaan kristal gula atau menumbuk molekul gula yang
lain.
Sebagian molekul gula akan terikat kembali dengan kristalnya atau
saling bergabung dengan molekul gula yang lain sehingga kembali
membentuk kristal (mengkristal ulang). Jika laju pelarutan gula sama
dengan laju pengkristalan ulang, maka proses itu berada dalam
kesetimbangan dan larutannya disebut jenuh.
Larutan jenuh adalah larutan yang mengandung zat terlarut dalam
jumlah yang diperlukan untuk adanya kesetimbangan antara solute yang
terlarut dan yang tak terlarut. Banyaknya solute yang melarut dalam
pelarut yang banyaknya tertentu untuk menghasilkan suatu larutan jenuh
disebut kelarutan (solubility) zat itu. Kelarutan umumnya dinyatakan
dalam gram zat terlarut per 100 mL pelarut, atau per 100 gram pelarut
pada temperatur yang tertentu.
Jika kelarutan zat kurang dari 0,01 gram per 100 gram pelarut, maka
zat itu dikatakan tak larut (insoluble). Jika jumlah solute yang terlarut
kurang dari kelarutannya, maka larutannya disebut tak jenuh
(unsaturated). Larutan tak jenuh lebih encer (kurang pekat)
dibandingkan dengan larutan jenuh. Jika jumlah solute yang terlarut
lebih banyak dari kelarutannya, maka larutannya disebut lewat jenuh
(supersaturated). Larutan lewat jenuh lebih pekat daripada larutan jenuh.

28
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan antara lain jenis zat
terlarut, jenis pelarut, temperatur, dan tekanan.
1. Pengaruh jenis zat pada kelarutan
Zat-zat dengan struktur kimia yang mirip umumnya dapat
saling bercampur dengan baik, sedangkan zat-zat yang struktur
kimianya berbeda umumnya kurang dapat saling bercampur (like
dissolves like). Senyawa yang bersifat polar akan mudah larut dalam
pelarut polar, sedangkan senyawa non-polar akan mudah larut dalam
pelarut nonpolar. Contohnya alkohol dan air bercampur sempurna
(completely miscible), air dan eter bercampur sebagian (partially
miscible), sedangkan pada minyak dan air tersebut tidak dapat
bercampur (completely immiscible) (Khoerunnisa, 2017).
2. Pengaruh tekanan pada Kelarutan
Perubahan tekanan pengaruhnya kecil terhadap kelarutan zat cair
atau padat. Perubahan tekanan sebesar 500 atm hanya merubah
kelarutan NaCl sekitar 2,3 % dan NH4Cl sekitar 5,1 %. Kelarutan gas
sebanding dengan tekanan partial gas itu. Menurut hukum Henry
massa gas yang melarut dalam sejumlah tertentu cairan (pelarutnya)
berbanding lurus dengan tekanan yang dilakukan oleh gas itu
(tekanan partial), yang berada dalam kesetimbangan dengan larutan
itu.
Contohnya kelarutan oksigen dalam air bertambah menjadi 5 kali
jika tekanan partial-nya dinaikkan 5 kali. Hukum ini tidak berlaku
untuk gas yang bereaksi dengan pelarut, misalnya HCl atau NH3
dalam air.
3. Pengaruh temperatur pada kelarutan
Kelarutan gas umumnya berkurang pada suatu temperatur yang
lebih tinggi. Misalnya jika air dipanaskan, maka timbul sebuah
gelembung-gelembung gas yang keluar dari dalam air, sehingga gas
yang terlarut dalam air tersebut menjadi berkurang. Kebanyakan zat

29
padat kelarutannya lebih besar pada temperatur yang lebih tinggi.
Ada beberapa zat padat yang kelarutannya berkurang pada
temperatur yang lebih tinggi, misalnya natrium sulfat dan serium
sulfat.
Pada larutan jenuh terdapat kesetimbangan antara proses
pelarutan dan proses pengkristalan kembali. Jika salah satu proses
bersifat endoterm, maka proses sebaliknya bersifat eksoterm. Jika
temperatur dinaikkan, maka sesuai dengan azas Le Chatelier
kesetimbangan itu bergeser ke arah proses endoterm. Jadi jika proses
pelarutan bersifat endoterm, maka kelarutannya bertambah pada
temperatur yang lebih tinggi. Sebaliknya jika proses pelarutan
bersifat eksoterm, maka kelarutannya berkurang pada suhu lebih
tinggi (Khoerunnisa, 2017)
2.7.3 Proses Pelarutan
Bagaimana proses yang terjadi ketika suatu zat dicampurkan
membentuk suatu larutan. Hal ini bergantung pada struktur dan sifat zat
yang akan dicampurkan. Zat-zat yang memiliki struktur sama atau mirip
dengan zat yang akan dicampurkan akan mudah saling melarutkan,
sebaliknya zat-zat yang berbeda struktur satu dengan lainnya, tidak akan
saling melarutkan. Selain itu, kepolaran suatu zat akan membantu
meramalkan kelarutan zat.
a. Pelarutan cair-cair
Dalam membahas pelarutan zat cair dalam zat cair lainnya,
banyak Ilmuwan kimia mengemukakan istilah like dissolved like
sebagai prinsip umum untuk menyatakan pelarutan. Istilah ini
mempunyai makna bahwa zat-zat cair yang mempunyai struktur
serupa akan saling melarutkan satu sama lain dalam segala
perbandingan, sebab molekul-molekul zat cair yang dicampurkan
mempunyai gaya tarik antarmolekul sama atau hampir sama dalam
jenis maupun kekuatan ikatannya.

30
Misalnya pada molekul pentana, C5H12 dan heksana, C6H14, yang
keduanya adalah molekul non-polar. Kedua zat tersebut jika
dicampurkan akan saling bercampur satu sama lain dalam segala
perbandingan. Mengapa demikian? Molekul-molekul zat non-polar
berantaraksi satu sama lain melalui gaya dispersi yang sama kuat.
Gaya tarik antar molekul C5H12 dalam cairan pentana murni dan gaya
tarik antar molekul C6H14 dalam heksana mumi hampir sama dengan
gaya tarik antar molekul C5H12 dan molekul C6H14 dalam campuran
heksana dan pentana.
Dengan demikian, molekul pentana akan menyebar dalam
molekul-molekul heksana atau sebaliknya karena tidak mengalami
perubahan lingkungan dalam proses pelarutan. Perbedaan kepolaran
antara zat terlarut dan pelarut tidak mempengaruhi proses pelarutan
selama perbedaannya tidak terlalu besar. Kloroform, CHCl 3 yang
polar dan karbon tetraklorida, CCl4 yang non-polar dapat saling
melarutkan dalam segala perbandingan. Kedua zat tersebut tampak
memiliki sifat pelarut yang sama yakni merupakan pelarut berbagai
senyawa karbon, seperti hidrokarbon, lemak, dan minyak.
Hal ini menunjukkan gaya tarik antarmolekul dalam CHCl3 dan
CCl4 mendekati sama, sekalipun kepolarannya beda. Berdasarkan
kasus ini tampak bahwa sumbangan gaya dipol sangat kecil dalam
pelarutan CHCl3 dalam CCl4. Sering dijumpai zat-zat non-polar
mempunyai kelarutan sangat kecil di dalam air. Contohnya, minyak
bumi yang merupakan campuran hidrokarbon tidak larut dalam air.
Fraksi mol pentana (non-polar) yang dapat larut dalam air hanya
sekitar 0,00003.
Fakta ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Agar pentana larut
dalam air harus mampu memecahkan ikatan hidrogen yang mengikat
sesama molekul air. Namun demikian, tidak ada gaya antaraksi
antarmolekul C5H12 dan H2O yang dapat disumbangkan sebagai
energi untuk memecahkan ikatan hidrogen antarmolekul air. Oleh
karena itu, kelarutan pentana dalam air sangat kecil Banyak cairan

31
zat organik larut dalam air secara mudah. Kebanyakan zat organik
yang larut dalam air adalah yang mengandung oksigen dan memiliki
massa molekul rendah, contohnya metanol dan etanol. Baik metanol
maupun etanol larut dalam air dalam segala perbandingan. Kedua
golongan alkohol itu mengandung gugus hidroksil (Khoerunnisa,
2017).
b. Pelarutan Padat-Cair
Zat padat umumnya mempunyai kelarutan terbatas dalam pelarut
cair. Fraksi mol I2 dalam CCl4 mencapai jenuh pada 25°C sekitar
0,011. Jika dibandingkan dengan Br2 yang berwujud cair pada suhu
yang sama tidak mempunyai batas kelarutan dalam CCl4 sehingga Br2
dalam CCl4 tidak dapat membentuk larutan jenuh.
Perbedaan gaya tarik antar molekuler menyebabkan zat padat
mempunyai kelarutan terbatas di dalam suatu pelarut. Gaya tarik
antar molekuler dalam zat padat lebih besar daripada gaya tarik antar
molekuler dalam zat cair untuk suhu yang sama sehingga dapat
diduga bahwa gaya tarik antar molekul I2 lebih besar daripada gaya
tarik antar molekul CCl4.
Oleh sebab itu, kelarutan I2 dalam CCl4 relatif rendah. Keadaan
ini didukung oleh fakta bahwa zat padat dengan titik leleh lebih
rendah akan memiliki kelarutan lebih besar dibandingkan dengan zat
padat yang memiliki titik leleh lebih tinggi untuk struktur molekuler
yang serupa.
Zat padat non-polar atau sedikit polar memiliki kelarutan tinggi
dalam zat cair yang memiliki kepolaran rendah, tetapi kelarutannya
rendah dalam pelarut polar. Contohnya DDT yang dimana memiliki
struktur serupa dengan CCl4 dan CHCl3 sehingga DDT larut baik
dalam pelarut non-polar atau sedikit polar sebagaimana halnya CCl4
dan CHCl3 dibandingkan dalam pelarut polar seperti air.
c. Pelarutan Gas-Cair

32
Terdapat dua prinsip utama yang berkaitan dengan kelarutan gas
dalam cairan. Pertama, yaitu makin tinggi titik cair suatu gas, maka
gaya tarik antarmolekul makin mendekati sifat cairan. Dengan
demikian, gas dengan titik cair lebih tinggi memiliki kelarutan lebih
besar. Kedua, yaitu pelarut baik untuk gas adalah pelarut
mempunyai gaya tarik antarmolekul mirip yang dimiliki gas
(Khoerunnisa, 2017).
2.8 Dehidrasi Osmosis Di Industri
Beberapa penerapan dehidrasi osmosis di bidang indudstri di antaranya
adalah:
2.8.1 Manisan Buah
Manisan buah adalah buah yang diawetkan dengan gula. Pemberian
gula berfungsi sebagai pemanis atau penambah cita rasa terhadap produk
olahan, dan sebagai pengikat komponen flavor. Ada dua macam bentuk
olahan manisan buah, yaitu manisan basah dan manisan kering. Manisan
basah diperoleh setelah penirisan buah dari larutan gula, sedangkan
manisan kering diperoleh bila manisan yang pertama kali dihasilkan
(manisan basah) dijemur sampai kering, kemudian menambahkan bahwa
manisan kering adalah manisan basah yang telah ditiriskan kemudian
dikeringkan di bawah sinar matahari atau menggunakan alat pengering
mekanis sampai kadar air mencapai ± 20%.
Pada pembuatan manisan kering, terdapat kombinasi teknologi
pengawetan bahan pangan yaitu pengeringan dan penambahan gula
dengan konsentrasi yang tinggi sekitar 60-75%. Proses pengeringan akan
menurunkan kadar air bahan sehingga aktivitas airnya (aw) juga
menurun. Pengolahan manisan sayur-sayuran atau buah-buahan dapat
bersifat mengawetkan, yaitu dengan cara pemberian gula yang
mengakibatkan aktivitas air (aw) rendah dan dikombinasikan dengan
pengeringan sehingga kadar air bahan menjadi rendah. Gula bertindak
sebagai bahan pengikat air yang juga menurunkan aktivitas air (aw)

33
sehingga tidak dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroba seperti
bakteri, jamur dan khamir.
2.8.2 Ikan Teri
Ikan merupakan sumber protein hewani yang potensial dan sangat
dibutuhkan oleh masyarakat. Biasanya kadar protein ikan 15-20%
tergantung jenis ikannya. Meskipun demikian, ikan merupakan produk
yang cepat busuk karena kadar airnya yang tinggi (70-80%) sehingga
memicu proses pembusukan oleh bakteri.
Ikan yang telah dikeringkan memiliki kelebihan, yaitu kadar protein
per 100 g bahannya menjadi lebih tinggi. Ikan asin digemari bukan
hanya di Indonesia saja, melainkan juga di mancanegara. Permintaan
ikan asin di Jepang dan Amerika sebenarnya masih tinggi, tapi karena
kualitas ikan asin kita yang masih rendah maka ekspor Indonesia untuk
ikan asin justru juga menurun.
Pembuatan ikan asin di Indonesia umumnya dilakukan secara
tradisional tanpa kontrol yang memadai. Pemberian garam seringkali
berlebihan sehingga rasa ikan terlalu asin, disamping itu kemungkinan
terjadi case hardening juga besar dan ada pula bagian yang masih basah
sehingga tinggi exposurenya terhadap pertumbuhan mikroba.
Pengeringan dilakukan menggunakan sinar matahari tanpa kontrol kadar
nutrisi ikan menjadi menurun (Witono, Miryanti dan Yuniarti, 2014).
Saat intensitas sinar matahari tidak konstan, ada pengolah ikan yang
menambahkan bahan kimia berbahaya seperti pestisida dan formalin.
Faktor kebersihan dalam pengolahan tradisional juga sulit dikontrol
karena ada kemungkinan serangan belatung atau lalat selama
penjemuran, terutama bila dijemur dalam waktu lama.
Dehidrasi osmosis adalah teknik ekstraksi air dari materi melalui
perendaman dalam larutan osmotik. Kemudian terjadi arus berlawanan
simultan yaitu aliran air dari bahan ke dalam larutan dan secara

34
bersamaan zat terlarut dipindahkan dari larutan ke dalam bahan
makanan. Pembuatan ikan asin melalui perendaman dalam larutan garam
pekat merupakan proses dehidrasi osmosis. Kelebihan pembuatan ikan
asin menggunakan dehidrasi osmosis antara lain kadar nutrisi ikan dapat
dipertahankan, tidak membutuhkan energi besar untuk mengeringkan
ikan, dan prosesnya sederhana. Saat ini proses dehidrasi osmosis telah
banyak diaplikasikan terutama untuk produk buah dan sayur, sedangkan
produk ikan masih jarang sehingga ini perlu diteliti (Witono, Miryanti
and Yuniarti, 2014).
2.9 Buah Pepaya
Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman buah berupa herba dari
family Caricaceae. Pepaya merupakan tanaman asli Amerika tropis yang
berasal dari persilangan alami Carica peltata Hook. & Arn. dan sekarang
tersebar luas di seluruh daerah tropik dan subtropik di seluruh dunia (Villegas,
1991). Indonesia yang merupakan salah satu daerah tropika, hampir di seluruh
daerahnya terdapat tanaman pepaya. Buah pepaya banyak disukai oleh
masyarakat karena memiliki rasa yang manis dan mengandung banyak nutrisi
dan vitamin.
Tanaman pepaya termasuk dalam tumbuhan yang dapat tumbuh setahun
atau lebih. Sistem perakarannya memiliki akar tunggang dan akar-akar cabang
yang tumbuh mendatar pada kedalaman 1 meter menyebar ke sekitar 60-150
cm. Tinggi tanaman pepaya dapat mencapai 5 meter atau lebih. Batang
tanaman berbentuk bulat lurus, berbuku-buku dan bagian tengahnya berongga.
Daun tanaman pepaya bertulang menjari dengan permukaan daun bagian atas
berwarna hijau tua dan bagian bawah hijau muda. Buah pepaya bulat sampai
lonjong, kulit berwana hijau ketika muda dan orange apabila sudah tua.
Tanaman pepaya memiliki kandungan vitamin dalam 100 g bagian pepaya
sebanyak 0,45 g vitamin A: 0,074 g vitamin C dan kandungan mineral 0,034 g

35
kalsium dan 0,011 g fosfor. Tanaman pepaya juga mengandung senyawa
bioaktif yang bermanfaat baik pada organ daun, buah, getah, maupun biji.
Tangkai daun tanaman pepaya terletak dekat dengan daun yang menyirip
lima. Bentuk tangkai daun pepaya yaitu panjang, bulat silindris, berongga,
panjang 25-100 cm, berwarna putih kekuningan atau kehijauan dan berlubang
di 6 bagian tengahnya. Tangkai daun pepaya tidak mengandung protein,
namun keberadaan lemak dan karbohidrat masih terdeteksi sehingga tangkai
daun pepaya dapat digunakan sebagai bahan makanan. Tangkai daun pepaya
mengandung beberapa senyawa sebagai hasil dari metabolit sekunder yaitu
alkaloid, sterol, tanin, flavonoid, dan glikosida. Glikosida merupakan salah
satu senyawa aktif tanaman yang termasuk dalam kelompok metabolit
sekunder. Glikosida tersebar luas diberbagai bagian tanaman, seperti batang,
tangkai, daun dan akar. Glikosida adalah senyawa yang menghasilkan satu
atau lebih gula dan komponen bukan gula pada reaksi hidrolisis. Glikosida
terdiri atas gabungan dua bagian senyawa, yaitu gula yang disebut dengan
glikon dan bukan gula biasa disebut aglikon. Apabila glikon dan aglikon
saling terikat maka senyawa ini disebut glikosida.
Menurut Samson (1980) buah pepaya mengandung 10% gula, vitamin A
dan vitamin C. Menurut Villegas (1991) kandungan gula utamanya adalah
sukrosa 48.3%, glukosa 29.8% dan fruktosa 21.9%. Perkiraan kandungan
vitamin A 450 mg dan vitamin C 74 mg dari 100 g bagian yang dapat
dimakan. Pepaya tergolong tanaman tidak bermusim, sehingga buahnya
tersedia setiap saat, harganya juga relatif murah dan terjangkau. Berdasarkan
data BPS (2012) produksi buah pepaya pada tahun 2010 adalah sebesar
675.801 ton dan pada tahun 2011 sebesar 958.251 ton sehingga angka
produksi pada tahun 2011 lebih tinggi dari tahun 2010.
Total produksi pepaya pada tahun 2011 menempati urutan ke-6 dalam
produksi buah-buahan di Indonesia setelah pisang, jeruk, nanas, mangga, salak
dengan sentra produksi di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung,

36
dan Nusa Tenggara Timur. Peningkatan produksi pepaya tentunya berkaitan
dengan tingginya permintaan dari konsumen. Tingginya permintaan konsumen
terhadap pepaya dipengaruhi oleh kesadaran untuk mengkonsumsi buah-
buahan sebagai sumber zat gizi berupa vitamin dan mineral sebagai dampak
dari tingkat pemahaman dan kemampuan daya beli masyarakat yang juga
meningkat. Seiring dengan meningkatnya tingkat pemahaman masyarakat juga
terjadi pergeseran tren konsumsi buah khususnya pepaya di masyarakat.
Pergeseran tren konsumsi pepaya di masyarakat menyebabkan pepaya yang
akan dikonsumsi dituntut memiliki kuantitas dan kualitas yang sesuai dengan
keinginan konsumen. Langkah yang dapat ditempuh untuk mendapatkan
tanaman pepaya yang sesuai dengan keinginan konsumen tersebut adalah
melalui kegiatan pemuliaan tanaman (Febjislami, Suketi and Yunianti, 2018).
2.10 Vacuum Impregnation (VI) dan Tekanan Osmotik
Vacuum Impregnation (VI) adalah teknik untuk memasukkan suatu
larutan ke dalam media berpori melalui mekanisme hidrodinamik yang
ditimbulkan oleh perubahan tekanan. Teknik VI dapat diaplikasikan secara
luas untuk buah dan sayuran, karena fungsinya dapat digunakan untuk
mengeluarkan air dan formulasi. Aplikasi ini meliputi prehidrasi buah dan
sayuran, pre-treatment sebelum pembekuan, modifikasi fortified fruits, dan
nutrisi sayuran, pengembangan buah dan sayuran olahan minimal untuk
meningkatkan kualitas dan stabilan, serta dapat dikombinasikan dengan
teknik lain melalui hurdle technology untuk memperpanjang masa simpan.
Sebagaimana buah tropis lain, pepaya merupakan buah yang sangat mudah
rusak dan memerlukan teknik pengawetan untuk meningkatkan daya
simpan.
Perpindahan massa sukrosa dan air ke dalam buah sangat dipengaruhi
oleh tekanan vakum yang dipublikasikan selama proses. Semakin
menurunnya koefisien perpindahan massa pada tekanan yang lebih tinggi
disebabkan karena pada tekanan yang tinggi disebabkan karena pada
tekanan tinggi gradien tekanan yang dimiliki lebih kecil jika dibanding

37
dengan tekanan rendah. Pada saat bahan direndam dalam larutan, tekanan di
dalam dan diluar kapiler sama dengan tekanan atmosfer dan dalam kondisi
seimbang .
Pada saat tekanan vakum diaplikasikan, maka terjadi perbedaan tekanan
antara tekanan di dalam dan di luar kapiler sehingga udara dalam bahan
keluar. Perubahan tekanan pada bagian luar menyebabkan deformasi dan
ekspansi kapiler, dimana ini merupakan bagian awal deformasi-relaksasi.
Pada saat tekanan dinaikkan kembali ke tekanan atmosfer, akan terjadi
penyusutan kapiler meskipun volumenya lebih besar dari sebelumnya, dan
pada saat yang bersamaan akan terjadi aliran larutan ke dalam bahan sebagai
akibat dari aksi tekanan kapiler dan dekompresi.
Pada dehidrasi osmosis, perbedaan konsentrasi merupakan penyebab
terjadinya transfer massa, sehingga semakin tinggi konsentrasi larutan, maka
akan semakin banak padatan yang masuk dan semakin banyak penurunan
kandungan air. Perubahan kandungan air dalam bahan, memiliki fenomena
yang berbeda dengan perubahan kandungan gula. Keuntungan aplikasi VI
adalah peningkatan kualitas karena proses berlangsung pada suhu rendah,
sehingga meminimalisasi kerusakan akibat panas dan mempertahankan
nutrisi, warna dan aroma menyediakan suatu proses osmosis yang akan
berlangsung lebih cepat (Yulianingsih, Sugiarto and Putranto, 2015).
Tekanan osmotik suatu larutan yang encer memiliki tekanan uap yang
lebih besar daripada larutan yang lebih pekat. Artinya,molekul-molekul
pelarutdalam larutan encer memiliki kecenderungan lolos ke yang lebih
besar. Marilah kita amati apa yang terjadi jika suatu larutan yang encer dan
suatu larutan yang pekat dipisahkan oleh selaput semipermeable, yaitu
selaput yang dapat dtembus oleh molekul pelarut, tetapi tidak dapat
ditembus oleh molekul zat terlarut.selaput semipermeabel ini dapat
berupagelatin, kertas perkamen,lapisan film selofan, membrane sel makhluk
hidup seperti selaput pada telur. Maka terjadilah peristiwa osmosis, tekanan
osmotik adalah proses mengalirnya molekul-molekul pelarutyang memiliki

38
konsentrasi yang encer /rendah menuju konsentrasi yang lebih tinggi atau
pekat melalui selaput semi permeabel. Tekanan osmosis adalah tekanan
yang dapat menghentikan aliran molekul dari pelarut murni ke dalam
larutan, melalui selaput semipermeable yaitu selaput yang berbentuk
lembaran lebar atau lapis tipis yang merupakan jaringan berlubang kecil-
kecil atau berpori-pori di mana molekul pelarut yang kecil dapat melewati
pori-pori ini, tetapi molekul terlarut tidak dapat melewati. Faktor-faktor
utama yang mempengaruhi adanya perpindahan massa selama dehidrasi
osmosis adalah konsentrasi larutan osmosis yaitu pada suhu dan lama waktu
perlakuan yang diberikan terhadap buah, dimana semakin tinggi suhu dan
konsentrasi sampel buah maka akan semakin tinggi pula penurunan kadar air
pada suatu sampel buah. Pada dehidrasi osmotik, kadar air bahan memegang
peranan penting untuk menentukan sejauh mana kemampuan proses tersebut
berhasil diterapkan. Pada penelitian ini kadar air pada bahan diukur sebelum
perlakuan dehidrasi osmotik, selama proses dehidrasi hingga akhir proses
dehidrasi yang dilakukan itu (Spetriani, 2019)

39

Anda mungkin juga menyukai