Anda di halaman 1dari 24

http://matakuliahbiologi.blogspot.co.id/2012/06/bioremediasi.

html

Senin, 25 Juni 2012

Bioremediasi
2.1 Kajian Umum Mengenai Bioremediasi
Bioremediasi berasal dari dua kata yaitu bio dan remediasi yang dapat diartikan sebagai proses
dalam menyelesaikan masalah. Bio yang dimaksud adalah organisme hidup, terutama
mikroorganisme yang digunakan dalam pemanfaatan pemecahan atau degradasi bahan pencemar
lingkungan menjadi bentuk yang lebih sederhana dan aman bagi lingkungan tersebut. Bioremediasi
merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses
biologi dalam mengendalikan pencemaran atau polutan. Yang termasuk dalam polutan antara lain
logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti
pestisida, herbisida, dan lain-lain. Bioremediasi mempunyai potensi menjadi salah satu teknologi
lingkungan yang bersih, alami, dan paling murah untuk mengantisipasi masalah-masalah lingkungan.
Menurut Ciroreksoko (1996), bioremediasi diartikan sebagai proses pendegradasian bahan
organik berbahaya secara biologis menjadi senyawa lain seperti karbondioksida (CO2), metan, dan
air. Sedangkan menurut Craword (1996), bioremediasi merujuk pada penggunaan secara produktif
proses biodegradatif untuk menghilangkan atau mendetoksi polutan (biasanya kontaminan tanah, air
dan sedimen) yang mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat. Jadi
bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengatasi masalah lingkungan dengan
memanfaatkan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang dimaksud adalah khamir, fungi
(mycoremediasi), yeast, alga dan bakteri yang berfungsi sebagai agen bioremediator. Selain dengan
memanfaatkan mikroorganisme, bioremediasi juga dapat pula memanfaatkan tanaman air. Tanaman
air memiliki kemampuan secara umum untuk menetralisir komponen-komponen tertentu di dalam
perairan dan sangat bermanfaat dalam proses pengolahan limbah cair ( misalnya menyingkirkan
kelebihan nutrien, logam dan bakteri patogen). Penggunaan tumbuhan ini biasa dikenal dengan
istilah fitoremediasi. Jenis-jenis tanaman yang dapat melakukan remediasi disebut dengan tanaman
hiperakumulator, contohnya adalah sebagai berikut.

Proses fitoremediasi meliputi fitoakumulasi, rhizofiltrasi, fitostabilisasi, rizodegradasi, fitodegradasi,


dan fitovolatisasi.
* Fitoekstraksi atau fitoakumulasi yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari media
sehingga berakumulasi di sekitar akar tumbuhan.
* Rhizofiltrasi yaitu proses adsorbs atau pengendapan zat-zat kontaminan pada akar (menempel
pada akar).
* Fitostabilisasi yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap
ke dalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil) pada akar sehingga tidak akan
dibawa oleh aliran air dalam media.
* Rhizodegradasi atau fitostimulasi yaitu penguraian zat-zat kontaminan dengan aktivitas mikroba
yang berada di sekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan bakteri.
* Fitodegradasi atau fitotransformasi yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat
kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya
dengan susunan molekul yang lebih sederhana yang dapat berguna bagi pertumbuhan tanaman itu
sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar di sekitar perakaran
dengan bantuan enzim berupa bahan kimia yang mempercepat proses degradasi.
* Fitovolatilisasi yaitu proses menarik dan transp.irasi zat-zat kontaminan oleh tumbuhan dalam
bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi utnuk selanjutnya
diuapkan ke atmosfer.
Tujuan dari bioremediasi adalah untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan
yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air) atau dengan kata lain mengontrol
atau mereduksi bahan pencemar dari lingkungan. Bioremediasi telah memberikan manfaat yang luar
biasa pada berbagai bidang, diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Bidang Lingkungan
Pengolahan limbah yang ramah lingkungan dan bahkan mengubah limbah tersebut menjadi ramah
lingkungan. Contoh bioremediasi dalam lingkungan yakni telah membantu mengurangi pencemaran
dari limbah pabrik, misalnya pencemaran limbah oli di laut Alaska berhasil diminimalisir dengan
bantuan bakteri yang mampu mendegradasi oli tersebut.
2. Bidang Industri
Bioremediasi telah memberikan suatu inovasi baru yang membangkitkan semangat industri sehingga
terbentuklah suatu perusahaan yang khusus bergerak dibidang bioremediasi, contohnya adalah
Regenesis Bioremediation Products, Inc., di San Clemente, Calif.
3. Bidang Ekonomi
Karena bioremediasi menggunakan bahan-bahan alami yang hasilnya ramah lingkungan, sedangkan
mesin-mesin yang digunakan dalam pengolahan limbah memerlukan modal dan biaya yang jauh
lebih, sehingga bioremediasi memberikan solusi ekonomi yang lebih baik.
4. Bidang Pendidikan
Penggunaan mikroorganisme dalam bioremediasi dapat membantu penelitian terhadap
mikroorganisme yang masih belum diketahui secara jelas. Pengetahuan ini akan memberikan
sumbangan yang besar bagi dunia pendidikan sains.
Proses utama pada bioremediasi adalah biodegradasi, biotransformasi dan biokatalis. Saat
bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan
beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut. Enzim mempercepat proses tersebut
dengan cara menurunkan energi aktivasi, yaitu energi yang dibutuhkan untuk memulai suatu reaksi.
Pada proses ini terjadi biotransformasi atau biodetoksifikasi senyawa toksik menjadi senyawa yang
kurang toksik atau tidak toksik. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi.
Degradasi senyawa kimia oleh mikroba di lingkungan merupakan proses yang sangat penting untuk
mengurangi kadar bahan-bahan berbahaya di lingkungan, yang berlangsung melalui suatu seri reaksi
kimia yang cukup kompleks dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun.
Misalnya mengubah bahan kimia menjadi air dan gas yang tidak berbahaya misalnya CO2. Dalam
proses degradasinya, mikroba menggunakan senyawa kimia tersebut untuk pertumbuhan dan
reproduksinya melalui berbagai proses oksidasi. Enzim yang dihasilkan juga berperan untuk
mengkatalis reaksi degradasi, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai
keseimbangan. Lintasan biodegradasi berbagai senyawa kimia yang berbahaya dapat dimengerti
berdasarkan lintasan mekanisme dari beberapa senyawa kimia alami seperti hidrokarbon, lignin,
selulosa, dan hemiselulosa. Sebagian besar dari prosesnya, terutama tahap akhir metabolisme
umumnya berlangsung melalui proses yang sama.

Supaya proses tersebut dapat berlangsung optimal, diperlukan kondisi lingkungan yang sesuai
dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangangbiakan mikroorganisme. Tidak terciptanya
kondisi yang optimum akan mengakibatkan aktivitas degradasi biokimia mikroorganisme tidak dapat
berlangsung dengan baik, sehingga senyawa-senyawa beracun menjadi persisten di lingkungan.
Agar tujuan tersebut tercapai diperlukan pemahaman akan prinsip-prinsip biologis tentang degradasi
senyawa-senyawa beracun, pengaruh kondisi lingkungan terhadap mikroorganisme yang terkait dan
reaksi-reaksi yang dikatalisnya. Salah satu cara untuk meningkatkan bioremediasi adalah melalui
teknologi genetik. Teknologi genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang
mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan
dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan
beracun menjadi tidak berbahaya.
Jenis-jenis bioremediasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu bioremediasi yang melibatkan
mikroba dan bioremediasi berdasarkan lokasinya.
1. Bioremediasi yang melibatkan mikroba
Teknologi bioremediasi dalam menstimulasi pertumbuhan mikroba dilakukan dengan tiga cara yaitu :
a. Biostimulasi
Biostimulasi adalah suatu proses yang dilakukan melalui penambahan zat gizi tertentu yang
dibutuhkan oleh mikroorganisme (misalnya nutrien dan oksigen) atau menstimulasi kondisi
lingkungan sedemikian rupa (misalnya pemberian aerasi) agar mikroorganisma tumbuh dan
beraktivitas lebih baik. Nutrien dan oksigen dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air
atau tanah yang tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang telah
ada di dalam air atau tanah tersebut. Namun sebaliknya, jika kondisi yang dibutuhkan tidak terpenuhi,
mikroba akan tumbuh dengan lambat atau mati.
b. Bioaugmentasi
Bioaugmentasi merupakan penambahan atau introduksi satu jenis atau lebih mikroorganisme baik
yang alami maupun yang sudah mengalami perbaikan sifat (improved/genetically engineered strains).
Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu kemudian ditambahkan
ke dalam air atau tanah yang tercemar. Tetapi proses ini mempunyai hambatan yaitu sangat sulit
untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroorganisme dapat berkembang dengan
optimal, karena mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk
beradaptasi. Dalam beberapa hal, teknik bioaugmentasi juga diikuti dengan penambahan nutrien
tertentu.
c. Bioremediasi Intrinsik
Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami (tanpa campur tangan manusia) dalam air atau tanah yang
tercemar.
2. Bioremediasi berdasarkan lokasi
Bioremediasi berdasarkan lokasi dapat dilakukan secara in-situ dan ex-situ.
a. Bioremediasi in-situ, yaitu proses pengelolaan limbah di lokasi limbah itu berada dengan
mengandalkan kemampuan mikroorganisme yang telah ada di lingkungan tercemar untuk
mendegradasinya.
b. Bioremediasi ex-situ, yaitu bioremediasi yang dilakukan dengan mengambil limbah di suatu lokasi
lalu ditreatment di tempat lain, setelah itu baru dikembalikan ke tempat asal. Kemudian diberi
perlakuan khusus dengan memakai mikroba. Bioremediasi ini bisa lebih cepat dan mudah dikontrol
dibanding in-situ, ia pun mampu me-remediasi jenis kontaminan dan jenis tanah yang lebih beragam.
Secara umum proses bioremidiasi memiliki beberapa kelebihan, namun kelebihan tersebut selalu
diimbangi dengan kelemahan walaupun sedikit. Berikut ini merupakan perbandingan kelebihan dan
kelemahan dalam bioremediasi.
> Kelebihan bioremediasi
* Bioremediasi sangat aman digunakan karena menggunakan mikroba yang secara alamiah sudah
ada dilingkungan.
* Bioremediasi tidak menggunakan atau menambahkan bahan kimia berbahaya (ramah lingkungan).
* Tidak melakukan proses pengangkatan polutan.
* Teknik pengolahannya mudah diterapkan dan murah biaya.
* Dapat dilaksanakan di lokasi atau di luar lokasi.
* Menghapus resiko jangka panjang
> Kelemahan bioremediasi
* Tidak semua bahan kimia dapat diolah secara bioremediasi.
* Membutuhkan pemantauan yang intensif
* Berpotensi menghasilkan produk yang tidak dikenal
* Membutuhkan lokasi tertentu

2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Bioremediase


Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim. Dengan demikian
mikroorganisme yang berpotensi menghasilkan enzim pendegradasi hidrokarbon perlu dioptimalkan
aktivitasnya dengan pengaturan kondisi dan penambahan suplemen yang sesuai. Dalam hal ini perlu
diperhatikan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi proses bioremediasi, yang meliputi kondisi
tanah, temperature, oksigen, dan nutrient yang tersedia.
1. Tanah
Proses biodegradasi memerlukan tipe tanah yang dapat mendukung kelancaran aliran nutrient,
enzim-enzim mikrobial dan air. Terhentinya aliran tersebut akan mengakibatkan terbentuknya kondisi
anaerob sehingga proses biodegradasi aerobik menjadi tidak efektif. Karakteristik tanah yang cocok
untuk bioremediasi in situ adalah mengandung butiran pasir ataupun kerikil kasar sehingga disp.ersi
oksigen dan nutrient dapat berlangsung dengan baik. Kelembaban tanah juga penting untuk
menjamin kelancaran sirkulasi nutrien dan substrat di dalam tanah.
2. Temperatur
Temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokaron adalah 30-40oC. Ladislao, et. al. (2007)
mengatakan bahwa temperatur yang digunakan pada suhu 38oC bukan pilihan yang valid karena
tidak sesuai dengan kondisi di Inggris untuk mengontrol mikroorganisme patogen. Pada temperatur
yang rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan volatilitas alkana rantai pendek yang
bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan meningkat sehingga proses biodegradasi akan
terhambat. Suhu sangat berpengaruh terhadap lokasi tempat dilaksanakannya bioremediasi.
3. Oksigen
Langkah awal katabolisme senyawa hidrokaron oleh bakteri maupun kapang adalah oksidasi substrat
dengan katalis enzim oksidase, dengan demikian tersedianya oksigen merupakan syarat
keberhasilan degradasi hidrokarbon minyak. Ketersediaan oksigen di tanah tergantung pada (a)
kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah, (b) tipe tanah dan (c) kehadiran substrat lain yang
juga bereaksi dengan oksigen. Terbatasnya oksigen, merupakan salah satu faktor pembatas dalam
biodegradasi hidrokarbon minyak.
4. Nutrien
Mikroorganisme memerlukan nutrisi sebagai sumber karbon, energy dan keseimbangan metabolism
sel. Dalam penanganan limbah minyak bumi biasanya dilakukan penambahan nutrisi antara lain
sumber nitrogen dan fosfor sehingga proses degradasi oleh mikroorganisme berlangsung lebih cepat
dan pertumbuhannya meningkat.
5. Interaksi antar Polusi
Fenomena lain yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam mengoptimalkan aktivitas
mikroorganisme untuk bioremediasi adalah interaksi antara beberapa galur mikroorganisme di
lingkungannya. Salah satu bentuknya adalah kometabolisme. Kometabolisme merupakan proses
transformasi senyawa secara tidak langsung sehingga tidak ada energi yang dihasilkan.

2.3 Jenis-Jenis Mikroorganisme yang berperan dalam bioremediasi


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif
untuk mengatasi masalah lingkungan dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme.
Mikroorganisme yang dimaksud adalah khamir, fungi (mycoremediasi), yeast, alga dan bakteri.
Mikroorganisme akan mendegradasi zat pencemar atau polutan menjadi bahan yang kurang beracun
atau tidak beracun. Polutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu bahan pencemar organik dan sintetik
(buatan). Bahan pencemar dapat dibedakan berdasarkan kemampuan terdegradasinya di lingkungan
yaitu :
a. Bahan pencemar yang mudah terdegradasi (biodegradable pollutant), yaitu bahan yang mudah
terdegradasi di lingkungan dan dapat diuraikan atau didekomposisi, baik secara alamiah yang
dilakukan oleh dekomposer (bakteri dan jamur) ataupun yang disengaja oleh manusia, contohnya
adalah limbah rumah tangga. Jenis polutan ini akan menimbulkan masalah lingkungan bila kecepatan
produksinya lebih cepat dari kecepatan degradasinya.
b. Bahan pencemar yang sukar terdegradasi atau lambat sekali terdegradasi (nondegradable
pollutant), dapat menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius. Contohnya adalah jenis logam
berat seperti timbal (Pb) dan merkuri.
Sedangkan senyawa-senyawa pencemar menurut keberadaannya dapat dibedakan menjadi :
a. Senyawa-senyawa yang secara alami ditemukan di alam dan jumlahnya (konsentrasinya) sangat
tinggi, contohnya antara lain minyak mentah (hasil penyulingan), fosfat dan logam berat.
b. Senyawa xenobiotik yaitu senyawa kimia hasil rekayasa manusia yang sebelumnya tidak pernah
ditemukan di alam, contohnya adalah pestisida, herbisida, plastik dan serat sintesis.

Dalam bioremediasi, lintasan biodegradasi berbagai senyawa kimia yang berbahaya dapat
dimengerti berdasarkan lintasan mekanisme dari beberapa senyawa kimia alami seperti hidrokarbon,
lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Sebagian besar dari prosesnya, terutama tahap akhir metabolisme,
umumnya berlangsung melalui proses yang sama. Polimer alami yang mendapat perhatian karena
sukar terdegradasi di lingkungan adalah lignoselulosa (kayu) terutama bagian ligninnya. Berikut ini
merupakan beberapa jenis-jenis mikroorganisme yang berperan dalam mendegradasi polutan minyak
bumi dan logam berat menjadi bahan yang tidak beracun.
1. Pencemaran minyak bumi
Bahan utama yang terkandung di dalam minyak bumi adalah hidrokarbon alifatik dan aromatik.
Minyak bumi menghasilkan fraksi hidrokarbon dari proses destilasi bertingkat. Apabila keberadaan
minyak bumi berlebihan di alam, masing-masing fraksi minyak bumi akan menyebabkan pencemaran
yang akan mengganggu kestabilan ekosistem yang dicemarinya. Di dalam minyak bumi terdapat dua
macam komponen yang dibagi berdasarkan kemampuan mikroorganisme menguraikannya, yaitu
komponen minyak bumi yang mudah diuraikan oleh mikroorganisme dan komponen yang sulit
didegradasi oleh mikroorganisme.
* Komponen minyak bumi yang mudah didegradasi oleh bakteri merupakan komponen terbesar
dalam minyak bumi atau mendominasi, yaitu alkana yang bersifat lebih mudah larut dalam air dan
terdifusi ke dalam membran sel bakteri. Jumlah bakteri yang mendegradasi komponen ini relatif
banyak karena substratnya yang melimpah di dalam minyak bumi. Isolat bakteri pendegradasi
komponen minyak bumi ini biasanya merupakan pengoksidasi alkana normal.
* Komponen minyak bumi yang sulit didegradasi merupakan komponen yang jumlahnya lebih kecil
dibanding komponen yang mudah didegradasi. Hal ini menyebabkan bakteri pendegradasi komponen
ini berjumlah lebih sedikit dan tumbuh lebih lambat karena kalah bersaing dengan pendegradasi
alkana yang memiliki substrat lebih banyak. Isolasi bakteri ini biasanya memanfaatkan komponen
minyak bumi yang masih ada setelah pertumbuhan lengkap bakteri pendegradasi komponen minyak
bumi yang mudah didegradasi.
Beberapa bakteri dan fungi diketahui dapat digunakan untuk mendegradasi minyak bumi.
Beberapa contoh bakteri yang selanjutnya disebut bakteri hidrokarbonuklastik yaitu bakteri yang
dapat menguraikan komponen minyak bumi karena kemampuannya mengoksidasi hidrokarbon dan
menjadikan hidrokarbon sebagai donor elektronnya. Adapun contoh dari bakteri hidrokarbonuklastik
yaitu bakteri dari genus Achromobacter, Arthrobacter, Acinetobacter, Actinomyces, Aeromonas,
Brevibacterium, Flavobacterium, Moraxella, Klebsiella, Xanthomyces dan Pseudomonas, Bacillus.
Beberapa contoh fungi yang digunakan dalam biodegradasi minyak bumi adalah fungi dari genus
Phanerochaete, Cunninghamella, Penicillium, Candida, Sp.orobolomyce, Cladosp.orium,
Debaromyces, Fusarium, Hansenula, Rhodosp.oridium, Rhodoturula, Torulopsis,
Trichoderma, Trichosp.oron. Sejumlah bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter
calcoaceticus, Arthrobacter sp., Streptomyces viridans dan lain-lain menghasilkan senyawa
biosurfaktan atau bioemulsi. Kemampuan bakteri dalam memproduksi biosurfaktan berkaitan dengan
keberadaan enzim regulatori yang berperan dalam sintesis biosurfaktan. Biosurfaktan merupakan
komponen mikroorganisme yang terdiri atas molekul hidrofobik dan hidrofilik, yang mampu mengikat
molekul hidrokarbon tidak larut air dan mampu menurunkan tegangan permukaan. Selain itu
biosurfaktan secara ekstraseluler menyebabkan emulsifikasi hidrokarbon sehingga mudah untuk
didegradasi oleh bakteri. Biosurfaktan meningkatkan ketersediaan substrat yang tidak larut melalui
beberapa mekanisme. Dengan adanya biosurfaktan, substrat yang berupa cairan akan teremulsi
dibentuk menjadi misel-misel, dan menyebarkannya ke permukaan sel bakteri sehingga lebih mudah
masuk ke dalam sel. Umumnya ada dua macam biosurfaktan yang dihasilkan bakteri yaitu :
* Surfaktan dengan berat molekul rendah (seperti glikolipid, soforolipid, trehalosalipid, asam lemak
dan fosfolipid) yang terdiri dari molekul hidrofobik dan hidrofilik. Kelompok ini bersifat aktif permukaan,
ditandai dengan adanya penurunan tegangan permukaan medium cair.
* Polimer dengan berat molekul besar, yang dikenal dengan bioemulsifier polisakarida amfifatik.
Dalam medium cair, bioemulsifier ini mempengaruhi pembentukan emulsi serta kestabilannya dan
tidak selalu menunjukkan penurunan tegangan permukaan medium.
Pelepasan biosurfaktan ini tergantung dari substrat hidrokarbon yang ada. Ada substrat (misalnya
seperti pada pelumas) yang menyebabkan biosurfaktan hanya melekat pada permukaan membran
sel, namun tidak diekskresikan ke dalam medium. Namun, ada beberapa substrat hidrokarbon (misal
heksadekan) yang menyebabkan biosurfaktan juga dilepaskan ke dalam medium. Hal ini terjadi
karena heksadekan menyebabkan sel bakteri lebih bersifat hidrofobik. Oleh karena itu,
senyawa hidrokarbon pada komponen permukaan sel yang hidrofobik itu dapat menyebabkan sel
tersebut kehilangan integritas struktural selnya sehingga melepaskan biosurfaktan untuk membran
sel itu sendiri dan juga melepaskannya ke dalam medium.
Secara umum terdapat tiga cara transpor hidrokarbon ke dalam sel bakteri yaitu sebagai berikut.
a. Interaksi sel dengan hidrokarbon yang terlarut dalam fase air. Pada kasus ini, umumnya rata-rata
kelarutan hidrokarbon oleh proses fisika sangat rendah sehingga tidak dapat mendukung.
b. Kontak langsung (perlekatan) sel dengan permukaan tetesan hidrokarbon yang lebih besar
daripada sel mikroba. Pada kasus yang kedua ini, perlekatan dapat terjadi karena sel bakteri bersifat
hidrofobik. Sel mikroba melekat pada permukaan tetesan hidrokarbon yang lebih besar daripada sel
dan pengambilan substrat dilakukan dengan difusi atau transpor aktif. Perlekatan ini terjadi karena
adanya biosurfaktan pada membran sel bakteri Pseudomonas.
c. Interaksi sel dengan tetesan hidrokarbon yang telah teremulsi atau tersolubilisasi oleh bakteri.
Pada kasus ini sel mikroba berinteraksi dengan partikel hidrokarbon yang lebih kecil daripada sel.
Hidrokarbon dapat teremulsi dan tersolubilisasi dengan adanya biosurfaktan yang dilepaskan oleh
bakteri Pseudomonas ke dalam medium.
Berikut ini merupakan jenis-jenis bakteri pendegradasi hidrokarbon pada minyak bumi yaitu:
1) Pseudomonas sp.
Pseudomonas berbentuk batang dengan diameter 0,5 1 x 1,5 5,0 mikrometer. Bakteri ini
merupakan organisme gram negatif yang motilitasnya dibantu oleh satu atau beberapa flagella yang
terdapat pada bagian polar. Akan tetapi ada juga yang hampir tidak mampu bergerak. Bersifat
aerobik obligat yaitu oksigen berfungsi sebagai terminal elektron aseptor pada proses
metabolismenya. Kebanyakan sp.esies ini tidak bisa hidup pada kondisi asam pada pH 4,5 dan tidak
memerlukan bahan-bahan organik. Bersifat oksidasi negatif atau positif, katalase positif dan
kemoorganotropik. Dapat menggunakan H2 dan CO sebagai sumber energi. Bakteri pseudomonas
yang umum digunakan sebagai pendegradasi hidrokarbon antara lain Pseudomonas aeruginosa,
Pseudomonas stutzeri, dan Pseudomonas diminuta.

Salah satu faktor yang sering membatasi kemampuan bakteri Pseudomonas dalam mendegradasi
senyawa hidrokarbon adalah sifat kelarutannya yang rendah, sehingga sulit mencapai sel bakteri.
Adapun mekanisme degradasi hidrokarbon di dalam sel bakteri Pseudomonas yaitu:
* Mekanisme degradasi hidrokarbon alifatik
Pseudomonas menggunakan hidrokarbon tersebut untuk pertumbuhannya. Penggunaan hidrokarbon
alifatik jenuh merupakan proses aerobik (menggunakan oksigen). Tanpa adanya O2, hidrokarbon ini
tidak didegradasi. Langkah pendegradasian hidrokarbon alifatik jenuh oleh Pseudomonas meliputi
oksidasi molekuler (O2) sebagai sumber reaktan dan penggabungan satu atom oksigen ke dalam
hidrokarbon teroksidasi.

* Mekanisme degradasi hidrokarbon aromatik


Banyak senyawa ini digunakan sebagai donor elektron secara aerobik oleh bakteri Pseudomonas.
Degradasi senyawa hidrokarbon aromatik disandikan dalam plasmid atau kromosom oleh gen xy/E.
Gen ini berperan dalam produksi enzim katekol 2,3-dioksigenase. Metabolisme senyawa ini oleh
bakteri diawali dengan pembentukan Protocatechuate atau catechol atau senyawa yang secara
struktur berhubungan dengan senyawa ini. Kedua senyawa ini selanjutnya didegradasi oleh enzim
katekol 2,3-dioksigenase menjadi senyawa yang dapat masuk ke dalam siklus Krebs (siklus asam
sitrat), yaitu suksinat, asetil KoA, dan piruvat.

2) Arthrobacter sp.
Pada kultur yang masih muda Arthrobacter berbentuk batang yang tidak teratur 0,8 1,2 x 1
8 mikrometer. Pada proses pertumbuhan batang segmentasinya berbentuk cocus kecil dengan
diameter 0,6 1 mikrometer. Gram positif, tidak berspora, tidak suka asam, aerobik,
kemoorganotropik. Memproduksi sedikit atau tidak sama sekali asam dan gas yang berasal dari
glukosa atau karbohidrat lainnya. Katalase positif, temperatur optimum 25 30oC.

3) Acinetobacter sp.
Memiliki bentuk seperti batang dengan diameter 0,9 1,6 mikrometer dan panjang 1,5- 2,5
mikrometer. Berbentuk bulat panjang pada fase stasioner pertumbuhannya. Bakteri ini tidak dapat
membentuk spora. Tipe selnya adalah gram negatif, tetapi sulit untuk diwarnai. Bakteri ini bersifat
aerobik, sangat memerlukan oksigen sebagai terminal elektron pada metabolisme. Semua tipe
bakteri ini tumbuh pada suhu 20-300 C, dan tumbuh optimum pada suhu 33-350 C. Bersifat oksidasi
negatif dan katalase positif. Bakteri ini memiliki kemampuan untuk menggunakan rantai hidrokarbon
sebagai sumber nutrisi, sehingga mampu meremidiasi tanah yang tercemar oleh minyak. Bakteri ini
bisa menggunakan amonium dan garam nitrit sebagai sumber nitrogen, akan tetapi tidak memiliki
pengaruh yang signifikan. D-glukosa adalah satu-satunya golongan heksosa yang bisa digunakan
oleh bakteri ini, sedangkan pentosa D-ribosa, D-silosa, dan L-arabinosa juga bisa digunakan sebagai
sumber karbon oleh beberapa strain.

4) Bacillus sp.
Umumnya bakteri ini merupakan mikroorganisme sel tunggal, berbentuk batang pendek (biasanya
rantai panjang). Mempunyai ukuran lebar 1,0-1,2 ?m dan panjang 3-5 ?m. Merupakan bakteri gram
positif dan bersifat aerob. Adapun suhu pertumbuhan maksimumnya yaitu 30-50oC dan minimumnya
5-20oC dengan pH pertumbuhan 4,3-9,3. Bakteri ini mempunyai kemampuan dalam mendegradasi
minyak bumi, dimana bakteri ini menggunakan minyak bumi sebagai satu-satunya sumber karbon
untuk menghasilkan energi dan pertumbuhannya. Pada konsentrasi yang rendah, bakteri ini dapat
merombak hidrokarbon minyak bumi dengan cepat. Jenis Bacillus sp. yang umumnya digunakan
seperti Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Bacillus laterospor.

Selain dari golongan bakteri, mikroba pendegradasi hidrokarbon juga dapat dilakukan oleh fungi.
Fungi pendegradasi hidrokarbon umumnya berasal dari genus Phanerochaete, Cunninghamella,
Penicillium, Candida, Sporobolomyces, Cladosporium. Jamur dari genus ini mendegradasi
hidrokarbon polisiklik aromatik. Jamur Phanerochaete chrysosporium mampu mendegradasi berbagai
senyawa hidrofobik pencemar tanah yang persisten. Adapun oksidasi dan pelarutan hidrokarbon
polisiklik aromatik oleh Phanerochaete chrysosporium menggunakan enzim lignin peroksidase. Bila
terdapat H2O2, enzim lignin peroksidase yang dihasilkan akan menarik satu elektron dari PAH yang
selanjutnya membentuk senyawa kuinon yang merupakan hasil metabolisme. Cincin benzena yang
sudah terlepas dari PAH selanjutnya dioksidasi menjadi molekul-molekul lain dan digunakan oleh sel
mikroba sebagai sumber energi misalnya CO2.
Jamur dari golongan Deuteromycota (Aspergillus niger, Penicillium glabrum, P. janthinellum,
Zygomycete, Cunninghamella elegans ), Basidiomycetes (Crinipellis stipitaria) diketahui juga dapat
mendegradasi hidrokarbon polisiklik aromatik. Sistem enzim monooksigenase Sitokrom P-450 pada
jamur ini memiliki kemiripan dengan sistem yang dimiliki mamalia. Adapun langkah-langkahnya yaitu
pembentukan monofenol, difenol, dihidrodiol dan quinon dan terbentuk gugus tambahan yang larut air
(misalnya sulfat, glukuronida, ksilosida, glukosida). Senyawa ini merupakan hasil detoksikasi pada
jamur dan mamalia.
2. Pencemaran Logam Berat
Secara umum diketahui bahwa logam berat merupakan unsur yang berbahaya di permukaan bumi,
sehingga kontaminasi logam berat di lingkungan merupakan masalah yang besar. Persoalan spesifik
logam berat di lingkungan terutama akumulasinya sampai pada rantai makanan dan keberadaannya
di alam menyebabkan keracunan terhadap tanah, udara maupun air. Bahan pencemar senyawa
anorganik/mineral misalnya logam-logam berat seperti merkuri (Hg), kadmium (Cd), Timah hitam (pb),
tembaga (Cu), timbal (Pb), dan garam-garam anorganik. Bahan pencemar berupa logam-logam berat
yang masuk ke dalam tubuh biasanya melalui makanan dan dapat tertimbun dalam organ-organ
tubuh. Mikroba memerlukan logam sebagai fungsi struktural dan katalis serta sebagai donor atau
reseptor elektron dalam metabolisme energi. Kemampuan interaksi mikroba terhadap logam antara
lain :
a. Mengikat ion logam yang ada di lingkungan eksternal pada permukaan sel serta membawanya ke
dalam sel untuk berbagai fungsi sel. Contohnya bakteri Thiobaccilus sp. Mampu menggunakan Fe
dalam aktivasi enzim format dehidrogenase pada sitokrom.
b. Menggunakan logam sebagai donor atau akseptor elektron dalam metabolisme energi.
c. Mengikat logam sebagai kation pada permukaan sel yang bermuatan negatif dalam proses yang
disebut biosorpsi.
Mikroba mengurangi bahaya pencemaran logam berat dapat dilakukan dengan cara detoksifikasi,
biohidrometakurgi, bioleaching, dan bioakumulasi.
* Detoksifikasi (biosorpsi) pada prinsipnya mengubah ion logam berat yang bersifat toksik menjadi
senyawa yang bersifat tidak toksik. Proses ini umumnya berlangsung dalam kondisi anaerob dan
memanfaatkan senyawa kimia sebagai akseptor elektron.
* Biohidrometalurgi pada prinsipnya mengubah ion logam yang terikat pada suatu senyawa yang
tidak dapat larut dalam air menjadi senyawa yang dapat larut dalam air.
* Bioleaching merupakan aktivitas mikroba untuk melarutkan logam berat dari senyawa yang
mengikatnya dalam bentuk ion bebas. Biasanya mikroba menghasilkan asam dan senyawa pelarut
untuk membebaskan ion logam dari senyawa pengikatnya. Proses ini biasanya langsung diikuti
dengan akumulasi ion logam.
* Bioakumulasi merupakan interaksi mikroba dan ion-ion logam yang berhubungan dengan lintasan
metabolism.

Interaksi mikroba dengan logam di alam adalah imobilisasi logam dari fase larut menjadi
tidak atau sedikit larut sehingga mudah dipisahkan. Adapun contoh mikroba pendegradasi logam
yaitu :
1) Enterobacter cloacae dan Pseudomonas fluorescens mampu mengubah Cr (VI) menjadi Cr (III)
dengan bantuan senyawa-senyawa hasil metabolisme, misalnya hidrogen sulfida, asam askorbat,
glutathion, sistein, dll.
2) Desulfovibrio sp. membentuk senyawa sulfida dengan memanfaatkan hidrogen sulfida yang
dibebaskan untuk mengatasi pencemaran logam Cu.
3) Desulfuromonas acetoxidans merupakan bakteri anerobik laut yang menggunakan sulfur dan besi
sebagai penerima elektron untuk mengoksidasi molekul organik dalam endapan yang bisa
menghasilkan energi.
4) Bakteri pereduksi sulfat contohnya Desulfotomaculum sp. Dalam melakukan reduksi sulfat, bakteri
ini menggunakan sulfat sebagai sumber energi yaitu sebagai akseptor elektron dan menggunakan
bahan organik sebagai sumber karbon. Karbon tersebut selain berperan sebagai sumber donor
elektron dalam metabolismenya juga merupakan bahan penyusun selnya. Adapun reaksi reduksi
sulfat oleh bakteri ini adalah sebagai berikut.

5) Bakteri belerang, khususnya Thiobacillus ferroxidans banyak berperan pada logam-logam dalam
bentuk senyawa sulfida untuk menghasilkan senyawa sulfat. Secara umum reaksinya adalah:

6) Mikroalga contohnya Spirulina sp., merupakan salah satu jenis alga dengan sel tunggal yang
termasuk dalam kelas Cyanophyceae. Sel Spirulina sp. berbentuk silindris, memiliki dinding sel tipis.
Alga ini mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengikat ion-ion logam dari larutan dan
mengadsorpsi logam berat karena di dalam alga terdapat gugus fungsi yang dapat melakukan
pengikatan dengan ion logam. Gugus fungsi tersebut terutama gugus karboksil, hidroksil, amina,
sulfudril imadazol, sulfat dan sulfonat yang terdapat dalam dinding sel dalam sitoplasma.
7) Jamur Saccharomyces cerevisiae dan Candida sp. dapat mengakumulasikan Pb dari dalam
perairan, Citrobacter dan Rhizopus arrhizus memiliki kemampuan menyerap uranium. Penggunaan
jamur mikoriza juga telah diketahui dapat meningkatkan serapan logam dan menghindarkan tanaman
dari keracunan logam berat.

2.4 Teknik-teknik yang berperan dalam bioremediasi di lingkungan terestrial dan akuatik
Polutan dapat tersebar dengan mudah di lingkungan terestrial dan akuatik. Namun dengan
bantuan beberapa mikroorganisme yang telah dijelaskan di atas, polutan tersebut dapat diremediasi.
Adapun teknik yang berperan dalam bioremediasi di lingkungan terestrial dan akuatik adalah sebagai
berikut.
1. Teknik bioremediasi di lingkungan terestrial
Lingkungan terestrial atau tanah apabila tercemar oleh polutan maka akan merusak lingkungan
dan mempengaruhi kehidupan mahluk hidup. Secara umum untuk menghilangkan polutan pada
tanah tersebut, ada beberapa teknik bioremediasi yang digunakan, yaitu :
a. Composting
Pada teknik ini, bahan-bahan yang tercemar dicampur dengan bahan organik padat yang relatif
mudah terombak, dan diletakkan membentuk suatu tumpukan. Bahan organik yang dicampurkan
dapat berupa limbah pertanian, sampah organik, atau limbah gergajian. Untuk mempercepat
perombakan kadang-kadang diberi pupuk N, P, atau nutrient anorganik lain. Bahan yang telah
dicampur sering ditumpuk membentuk barisan yang memanjang, yang disebut windrow. Selain itu
dapat juga ditempatkan dalam wadah yang besar atau luas dan diberi aerasi, khusus untuk bahan
yang tercemari bahan kimia berbahaya. Aerasi diberikan melalui pengadukan secara mekanis atau
menggunakan alat khusus untuk memberikan aerasi. Kelembaban bahan campuran tetap dijaga.
Setelah diinkubasikan terjadi pertumbuhan mikroba, dan suhu tumpukan meningkat mencapai 50-
600C. Meningkatnya suhu dapat meningkatkan perombakan bahan oleh mikroba. Metode composting
telah digunakan misalnya untuk mengatasi tanah yang terkontaminasi klorofenol. Pada skala
lapangan menunjukkan bahwa dengan metode ini dapat menurunkan konsentrasi bahan peledak
TNT, RDX, dan HMX dalam sedimen yang tercemar oleh bahan-bahan tersebut.
b. Biopile
Teknik biopile merupakan pengembangan dari teknik pengomposan. Biopile merupakan salah satu
teknik bioremediasi ex-situ yang dilakukan di permukaan tanah. Teknik ini juga disebut sebagai
aerated compost pile. Oleh karena aerasi pada pengomposan terjadi secara alami, sedangkan pada
biopile menggunakan pompa untuk menginjeksikan oksigen ke dalam tumpukan tanah tercemar yang
diolah. Proses biodegradasi dipercepat dengan optimasi pasokan oksigen, pemberian nutrien dan
mikroba serta pengaturan kelembaban. Biopile merupakan teknik penanggulangan lahan tercemar
yang mirip dengan landfarning. Pada teknik landfarming, aerasi diberikan dengan cara membolak-
baliktanah dengan cara dibajak, sedangkan pada biopile aerasi diberikan menggunakan peralatan.
Pada biopile ada dua cara pemberian aerasi. Pertama dengan pompa penghisap untuk memasukkan
oksigen dari udara ke lapisan tanah, dan yang ke-dua menggunakan blower untuk menginjeksikan
udara ke dalam tanah. Secara umum dilakukan pencampuran bahan terlebih dahulu, kemudian
diproses biopile dan hasil proses biopile dilakukan revegetasi.

Urutan proses biopile adalah : (1) Diberi aerasi menggunakan pipa-pipa, (2) Diberi mikroba
pendegradasi bahan pencemar, (3) pH diatur dengan pemberian kapur, (4) Diberi tambahan nutrien
NPK, (5) Diberi bulking agent untuk menggemburkan tanah (6) Diberi tanah pencampur untuk
menurunkan kandungan bahan pencemar (7) Dari hasil uji dapat menurunkan TPH sampai dibawah
1% dalam waktu 1 bulan
c. Landfarming
Landfarming sering juga disebut dengan landtreatment atau landapplication. Cara ini merupakan
salah satu teknik bioremediasi yang dilakukan di permukaan tanah. Prosesnya memerlukan kondisi
aerob, dapat dilakukan secara in-situ maupun ex-situ. Landfarming merupakan teknik bioremediasi
yang telah lama digunakan, dan banyak digunakan karena tekniknya sederhana. Beberapa faktor
yang perlu diperhatikan dalam melakukan teknik ini, yaitu kondisi lingkungan, sarana, pelaksanaan,
sasaran dan biaya. Kondisi lingkungan, kondisi tanah yang tercemar, pencemar, dan kemungkinan
pelaksanaan teknik landfarming. Untuk tanah tercemar, tanah hendaknya memiliki konduktivitas
hidrolik sedang seperti lanau (loam) atau lanau kelempungan (loamy clay). Apabila diterapkan pada
tanah lempung dengan kandungan clay lebih dari 70% akan sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan
sifat lempung yang mudah mengeras apabila terkena air. Kegiatan landfarming dapat dilakukan
secara ex-situ maupun in-situ. Namun bila letak tanah tercemar jauh diatas muka air (water table)
maka landfarming dapat dilakukan secara in-situ. pencemar yang tersusun atas bahan yang
mempunyai penguapan rendah masih sesuai untuk ditangani secara labdfarming. Bahan pencemar
yang mudah menguap tidak cocok menggunakan teknik ini karena dilakukan secara terbuka.
Sebaiknya kandungan TPH dibawah 10%.
Kemungkinan pelaksanaannya apabila tersedia lahan, alat berat untuk menggali dan meratakan
tanah, serta kondisi lingkungan yang mendukung. Apabila ini dipenuhi, maka memungkinkan untuk
diterapkan teknik landfarming secara ex-situ. Kondisi lingkungan; iklim di lingkungan tempat kegiatan
landfarming sangat mempengaruhi proses. Panas yang terik dapat mengakibatkan tanah cepat
mengering, maka kelembaban harus selalu dijaga dengan penyiraman. Sebaliknya pada musim hujan,
tanah menjadi terlalu jenuh air, sehingga menghambat biodegradasi pencemar karena aerasi
terhambat.

Sarana yang harus disediakan adalah lahan pengolah, pengendali limpahan air, pengendali
resapan, dan sarana pemantau. Lahan pengolah untuk menampung tanah tercemar dan tempat
pengolahan landfarming dilaksanakan. Pengendali limpahan air, terutama berfungsi saat musim
hujan, untuk menjaga kemungkinan terjadinya pencemaran baru akibat limpahan air tercampur
polutan. Pengendali resapan terletak di dasar lahan pengolah, biasanya berupa lapisan clay yang
dipadatkan sampai bersifat kedap air (liner). Pengendali yang lebih baik adalah lapisan plastik
geomembran HDPE (High Density Polyethylene). Sarana pemantau berupa alat pemantau gas, udara,
cuaca, air tanah dan sebagainya.
Apabila dilaksanakan secara ex-situ, tanah tercemar yang diambil dari lokasi yang tercemar
dibersihkan terlebih dahulu dari batu-batu dan bahan lain. Selanjutnya tanah dicampur dengan
nutrien dan pHnya diatur. Penambahan nutrient juga disebut biostimulation. Pada jenis tanah tertentu,
perlu ditambahkan bahan penyangga berupa serbuk gergaji, kompos, atau bahan organik lain untuk
meningkatkan porositas dan konduktivitas hidrolik. Setelah tercampur, tanah ditebarkan di lahan
pengolah. Hamparan tanah selalu dijaga kelembabannya agar kandungan air kurang lebih 15%.
Secara periodik, lapisan tanah dibajak agar tanah mendapat aerasi yang cukup. Penambahan O2
juga disebut bioventing. Apabila diperlukan pada periode tertentu, juga diberi nutrisi agar proses
biodegradasi cepat berlangsung. Selain penambahan nutrien dan O2, juga dapat ditambah inokulum
mikroba. Nutrien umumnya adalah pupuk NPK/urea dan sumber karbon yang mudah didegradasi.
Dari hasil uji dapat menurunkan TPH sampai 49% Selama kegiatan landfarming, secara periodik
dilakukan monitoring untuk mengamati kandungan pencemar, aktivitas mikroba, dan pengaruhnya
terhadap lingkungan. Dari data hasil monitoring dapat diketahui waktu penyelesaian proses
landfarming.
Salah satu pencemaran yang dapat terjadi pada tanah adalah pencemaran minyak bumi. Minyak
yang merembes ke dalam tanah dapat menyebabkan tertutupnya suplai oksigen dan meracuni
mikroorganisme tanah sehingga mengakibatkan kematian mikroorganisme tersebut. Tumpahan
minyak di lingkungan dapat mencemari tanah hingga ke daerah sub-surface dan lapisan aquifer air
tanah. Pengolahan limbah minyak bumi dapat dilakukan menggunakan teknik bioremediasi eks-situ.
Pada teknik ini, lapisan dasar lahan harus disiapkan agar mencegah terjadinya infiltrasi. Penyiapan
lapisan dasar harus menggunakan lapisan tanah liat dan geomembran serta dilengkapi sistem
drainase. Limbah yang keluar dari tempat bioremediasi harus ditampung untuk kemudian diolah
sebagai limbah cair. Tahapan bioremediasi minyak bumi pada tanah adalah sebagai berikut.
1) Penyiapan lokasi
Lapisan tanah dipadatkan dengan ketebalan minimal 60 cm dan permeabilitas K< 10-7 m/detik atau
jenis lapisan sintetis lain yang mempunyai karakteristik sama. Selanjutnya dilapisi dengan
geomembran dengan ketebalan 1,5-2,0 mm, lapisan gravel 30 cm, dan penutup sementara.
2) Tahap bioremediasi
Limbah minyak bumi yang diolah, maksimal mengandung minyak 20% berat. Kemudian dicampur
dengan tanah bulking agent sampai rata. Perbandingan antara materi pencampur (tanah dan bulking
agent lain) dengan limbah sludge maksimal 3:1. Agar terjaga kelembabannya maka dicampur dengan
air yang sudah diperkaya nutrien untuk pertumbuhan bakteri. Mikroba atau bakteri perombak minyak
bumi dapat ditambahkan ke dalam air pencampur untuk mempercepat proses dan untuk menjamin
terjadinya penurunan TPH (Total Petroleum Hydrocarbon). Penggunaan bakteri perombak minyak
bumi sebaiknya menggunakan bakteri lokal yang diisolasi dari lokasi atau tempat lain di Indonesia.
Penggunaan bakteri impor hanya diizinkan apabila bakteri tersebut termasuk GMO (genetically
modified microorganism) dan harus mendapat persetujuan dari Departemen Pertanian. Melakukan
pengamatan terhadap penurunan kandungan minyak atau dalam bentuk TPH untuk meyakinkan
terjadinya proses biodegradasi dapat dilakukan dengan pengukuran terhadap pertumbuhan jumlah
bakteri dalam tanah dan transformasi nitrogen. Proses bioremediasi limbah sludge lebih baik
dilakukan pada kondisi aerob, sehingga perlu suplai oksigen. Kelembaban perlu dijaga agar tidak
terlalu basah dan tidak terlalu kering. Pengolahan secara bioremediasi dinyatakan layak apabila
berhasil menurunkan kadar minyak sebesar 70% dari total kandungan minyak sebelum proses dalam
waktu 4 bulan dan menurunkan kandungan petroleum hidrokarbon dengan C< 9 sebesar 80% dari
total kandungan C< 9 sebelum proses dalam waktu 4 bulan. Limbah padat sisa bioremediasi dapat
ditimbun ke dalam landfill dan atau dimanfaatkan. Landfilling harus sesuai tata cara landfill yang
diatur pemerintah.
2. Teknik bioremediasi di lingkungan akuatik
Lingkungan akuatik atau perairan apabila tercemar oleh polutan juga akan merusak lingkungan
dan mempengaruhi kehidupan mahluk hidup. Oleh sebab itu, bioremediasi juga dilakukan di
lingkungan akuatik atau perairan. Namun bioremediasi yang dilakukan di perairan cukup sulit karena
terdapat beberapa faktor pembatas, antara lain :
* Jumlah bakteri (semakin lama waktu degradasi, maka semakin tinggi total bakteri sampai batas
tertentu sebelum terjadi fase kematian).
* Suhu air laut yang rendah.
* Kurangnya sumber nitrogen dan garam fosfat yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri
menyebabkan degradasi alami yang dilakukan bakteri terjadi dalam waktu lama.
Pencemaran yang paling sering terjadi pada lingkungan akuatik adalah di laut, dengan jenis
polutannya minyak bumi. Limbah minyak adalah buangan yang berasal dari hasil eksplorasi produksi
minyak, pemeliharaan fasilitas produksi, fasilitas penyimpanan, pemrosesan, dan tangki
penyimpanan minyak pada kapal laut. Pada umumnya, pengeboran minyak bumi di laut
menyebabkan terjadinya peledakan (blow out) di sumur minyak. Ledakan ini mengakibatkan
semburan minyak ke lokasi sekitar laut, sehingga menimbulkan pencemaran. Ketika minyak masuk
ke lingkungan laut, maka minyak tersebut dengan segera akan mengalami perubahan secara fisik
dan kimia. Diantara proses tersebut adalah membentuk lapisan (slick formation), menyebar
(dissolution), menguap (evaporation), polimerasi (polymerization), emulsifikasi (emulsification), emulsi
air dalam minyak ( water in oil emulsions ), emulsi minyak dalam air (oil in water emulsions), foto
oksida, biodegradasi mikorba, sedimentasi, dicerna oleh plankton dan bentukan gumpalan.
Beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak diantaranya adalah secara in-situ burning,
penyisihan secara mekanis, bioremediasi, penggunaan sorbent, penggunaan bahan kimia dispersan,
dan washing oil.
a. In-situ burning, adalah pembakaran minyak pada permukaan laut, sehingga mengatasi kesulitan
pemompaan minyak dari permukaan laut, penyimpanan dan pewadahan minyak serta air laut yang
terasosiasi. Teknik ini membutuhkan booms (pembatas untuk mencegah penyebaran minyak) atau
barrier yang tahan api. Namun, pada peristiwa tumpahan minyak dalam jumlah besar sulit untuk
mengumpulkan minyak yang dibakar. Selain itu, penyebaran api sering tidak terkontrol.
b. Penyisihan minyak, secara mekanis melalui dua tahap, yaitu melokalisir tumpahan dengan
menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan menggunakan
peralatan mekanis yang disebut skimmer.
c. Bioremediasi yaitu proses pendaur ulangan seluruh material organik. Bakteri pengurai spesifik
dapat diisolasi dengan menebarkannya pada daerah yang terkontaminasi. Selain itu, teknik
bioremediasi dapat menambahkan nutrisi dan oksigen, sehingga mempercepat penurunan polutan.
Adapun bioremediasi yang bisa diterapkan pada tumpahan minyak yaitu :
* Nutrient Enrichment
Ketika minyak terlepas dalam jumlah besar, kemampuan mikroorganisme untuk mendegradasi
petroleum dibatasi oleh kurang mencukupinya nutrien. Penambahan nitrogen,fosfor, dan nutrien lain
dimaksudkan untuk mengatasi kurangnya nutrien dan memungkinkanuntuk proses biodegradasi
petroleum pada laju yang optimal.
* Seeding with Naturally Occurring Microorganisms
Seeding (inokulasi) merupakan penambahan mikroorganisme pada suatu lingkungan
untuk menaikkan laju biodegradasi. Nutrien juga selalu disertakan seed culture
* Seeding with Genetically Engineered Microorganisms (GEM)
Alasan dibuatnya organisme ini adalah kemungkinan dapat didesain agar mampu mendegradasi
fraksi petroleum lebih efektif daripada spesies alami atau mampumendegradasi fraksi petroleum yang
tidak dapat didegradasi oleh spesies alami.
d. Penggunaan sorbent dilakukan dengan menyisihkan minyak melalui mekanisme adsorpsi
(penempelan minyak pada permukaan sorbent) dan absorpsi (penyerapan minyak ke dalam sorbent).
Sorbent ini berfungsi mengubah fasa minyak dari cair menjadi padat, sehingga mudah dikumpulkan
dan disisihkan. Sorbent harus memiliki karakteristik hidrofobik, oleofobik, mudah disebarkan di
permukaan minyak, dapat diambil kembali dan digunakan ulang. Ada tiga jenis sorbent yaitu organik
alami (kapas, jerami, rumput kering, serbuk gergaji), anorganik alami (lempung, vermiculite, pasir)
dan sintetis (busa poliuretan, polietilen, polipropilen dan serat nilon).
e. Dispersan kimiawi merupakan teknik memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet),
sehingga mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam tumpahan minyak. Dispersan
kimiawi adalah bahan kimia dengan zat aktif yang disebut surfaktan.
f. Washing oil yaitu kegiatan membersihkan minyak dari pantai.
Selain di laut, bioremediasi di lingkungan akuatik juga dapat dilakukan di tempat tambak. Dalam
hal ini digunakan campuran bakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi diantaranya Bacillus sp. dan
Saccharomyces sp., serta campuran dari Bacillus sp., Nitrosomonas sp. dan Nirrosobacter sp. pada
sistem budidaya udang sebagai agen bioremediasi senyawa metabolit toksik arnonia dan nitrit di
tambak udang. Penggunaan bakteri nitirifikasi dan denitrifikasi untuk berfungsi menjaga
keseimbangan senyawa nitrogen anorganik (amonia, nitrit dan nitrat) di sistem tambak. Pendekatan
bioremediasi ini diharapkan dapat menyeimbangkan kelebihan residu senyawa nitrogen yang berasal
dari pakan dan berupa dilepaskan berupa gas N2 1 N20 ke atmosfer. Peran bakteri nitrifikasi adalah
mengoksidasi amonia menjadi nitrit atau nitrat, sedangkan bakteri denitrifikasi akan mereduksi nitrat
atau nitrit menjadi dinitrogen oksida (N20) atau gas nitrogen (N2). Pemberian bakteri nitrifkasi dan
denitrifkasi sebagai agen bioremediasi ke dalam tambak udang diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan bakteri yang berperan dalam proses remineralisasi unsur nitrogen dan membantu
proses purifsi alarniah (selfpurification) dalam siklus nitrogen.

2.5 Perkembangan Teknologi Bioremediasi


Kelebihan teknologi bioremediasi ditinjau dari aspek komersil adalah relatif lebih ramah lingkungan,
biaya penanganan yang relatif lebih murah dan bersifat fleksibel. Teknik pengolahan limbah jenis B3
dengan bioremediasi umumnya menggunakan mikroorganisme (khamir, fungi, dan bakteri) sebagai
agen bioremediator. Pendekatan umum yang dilakukan untuk meningkatkan kecepatan
biotransformasi ataupun biodegradasi adalah dengan cara:
1. Seeding, atau mengoptimalkan populasi dan aktivitas mikroba indigenous (bioremediasi instrinsik)
dan/atau penambahan mikroorganisme exogenous (bioaugmentasi) dan
2. Feeding, atau dengan memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi (biostimulasi) dan
aerasi (bioventing).
Limbah cair dan air bawah tanah bisa tercemar melalui banyak cara tergantung pada materi yang
dibutuhkan oleh bioremediasi untuk pindahkan. Ada tiga teknologi bioremediasi air, yaitu :
a. Wastewater treatment (Pengolahan limbah cair)
Langkah-langkahnya air dari rumah tangga yang masuk ke dalam saluran air dipompa menuju
fasilitas pengolahan di mana feses dan produk kertas dibuang ke tanah dan disaring menjadi partikel
yang lebih kecil sehingga dihasilkan material berlumpur yang disebut sludge. Sludge dialirkan ke
dalam tangki pengolah anaerob yang mengandung bakteri anaerob yang akan mendegradasi sludge.
Bakteri ini menghasilkan gas karbon dioksida dan metana. Gas metana yang dihasilkan ini sering
dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan bakar untuk menjalankan peralatan pada pengolahan
sampah dengan menggunakan tanaman. Cacing-cacing kecil yang sering muncul pada sludge, juga
membantu menghancurkan sludge menjadi partikel-partikel kecil. Sludge ini kemudian dikeringkan
dan dapat digunakan sebagai lahan pertanian atau pupuk. Ilmuwan telah menemukan bakteri yang
disebut Candidatus, Brocadia, Anammoxidans yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi
ammonium pada suasana anaerob (sebagian besar produk yang terdapat dalam urin). Penting sekali
untuk menghilangkan amonium dalam limbah cair sebelum air dialirkan ke sungai atau laut karena
kadar ammonium yang terlalu tinggi memberikan dampak negatif bagi lingkungan,
b. Groudwater clean-up
Kasus yang biasanya terjadi adalah tumpahan gasolin, dimana tumpahan tersebut mencemari air
dalam tanah. Hal ini dapat ditangani dengan mengkombinasikan antara bioremediasi ex situ (bagian
atas permukaan tanah) dan bioremediasi in-situ (di dalam tanah).
a) Bioremediasi ex situ. Minyak dan gas dipompa keluar ke permukaan tanah menggunakan
bioreactor. Dalam bioreaktor terdapat bakteri yang tumbuh pada biofilm bakteri ini mendegradasi
polutan pupuk/nutrien dan oksigen ditambahkan pada bioreaktor
b) Bioremediasi in-situ. Air bersih hasil dari bioreaktor yang terdiri atas pupuk, bakteri dan oksigen
dikembalikan lagi di dalam tanah (sebagai air tanah).
c. Turning wastes into energi
Pada waktu proses bioremediasi, bakteri anaerobik menghasilkan soil nutrients dan metana. Gas
metana yang dihasilkan ini sering dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan bakar, sedangkan soil
nutrients digunakan sebagai pupuk. Contoh Bakteri anaerobik Desulfuromonas acetoxidans
merupakan bakteri anerobik laut yang menggunakan sulfur dan besi sebagai penerima elektron untuk
mengoksidasi molekul organik dalam endapan dimana bisa menghasilkan energi. Peluang tehnologi
bioremediasi kedepan adalah pengembangan green business yang berbasis pada teknologi
bioremediasi dengan system one top solution (close system) dan dengan pendekatan multiproses
remediation technologies, artinya pemulihan (remediasi) kondisi lingkungan yang terdegradasi dapat
diteruskan sampai kepada kondisi lingkungan seperti kondisi awal sebelum kontaminasi ataupun
pencemaran terjadi.
Usaha mencapai total grenning program ini dapat dilanjutkan dengan rehabilitasi lahan dengan
melakukan kegiatan phytoremediasi dan penghijauan (vegetation establishement) untuk lebih efektif
dalam mereduksi, mengkonrol atau bahkan mengeliminasi B3 hasil bioremediasi kepada tingkatan
yang sangat aman lagi buat lingkungan. Dengan keseluruhan rangkaian proses dari mulai limbah
dikeluarkan, bioremediasi, phytoremediasi dan pembentukan vegetasi adalah greening program yang
merupakan bentuk pengelolaan limbah B3 secara terpadu (integrated waste management). Biasanya
greening program juga merupakan salah satu bentuk aktifitas community development dari
perusahaan-perusahan. Untuk wilayah pesisir dan pantai greening program dapat berupa
penanaman kembali bibit mangrove dan vegetasi pantai lain ataupun program lain seperti artificial
reef, fish shelter ataupun reef transplantation. Bentuk disseminasi publik juga dapat dikemas dalam
bentuk pelatihan dan tranfer teknologi agar aplikasi bioremediasi kepada masyarakat sebagai share
holder (pola kemitraan), bersama-sama pemerintah dapat mengontrol kegiatan monitoring dan
evaluasi dari kegiatan bioremediasi dan rehabilitasi lahan.
Bioremediasi dapat berperan dalam pemulihan dampak negatif penambangan batu bara. Sofyan
(2009) mengemukakan bahwa beberapa dampak dari pertambangan batubara :
1. Lubang tambang: Pada kawasan pertambangan PT Adaro terdapat beberapa tandon raksasa atau
kawah bekas tambang yang menyebabkan bumi menganga sehingga tak mungkin bisa direklamasi
2. Air Asam tambang: mengandung logam berat yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan
jangka panjang
3. Tailing: teiling mengandung logam-logam berat dalam kadar yang mengkhawatirkan seperti
tembaga, timbal, merkuri, seng, arsen yang berbahaya bagi makhluk hidup.
4. Sludge: limbah cucian batubara yang ditampung dalam bak penampung yang juga mengandung
logam berbahaya seperti boron, selenium dan nikel dll.
5. Polusi udara : akibat dari (debu) flying ashes yang berbahaya bagi kesehatan penduduk
dan menyebabkan infeksi saluran pernapasan. Menurut logika, udara kotor pasti mempengaruhi
kerja paru-paru. Peranan polutan ikut andil dalam merangsang penyakit pernafasan seperti influensa,
bronchitis dan pneumonia serta penyakit kronis seperti asma dan bronchitis kronis.
Reaksi air asam tambang (Acid Mine Drainage/AMD) berdampak secara langsung terhadap
kualitas tanah dan air karena pH menurun sangat tajam. Hasil penelitian Widyati (2006) menunjukkan
bahwa kandungan sulfat pada tanah bekas tambang batubara PT. Bukit Asam di Sumatera Selatan
mencapai 60.000 ppm, pH 2,8 dan kandungan logam-logam jauh di atas ambang batas untuk air
bersih. Kualitas lingkungan perairan yang demikian dapat mengganggu kesehatan manusia dan
kehidupan lainnya. Disamping itu, kondisi tanah yang demikian degraded. Pada lahan bekas tambang
batubara PT. Bukit Asam Tbk. menunjukkan pH tanah mencapai 3,2 dan pH air berada pada kisaran
2,8. Menurunnya, pH tanah akan mengganggu keseimbangan unsur hara pada lahan tersebut, unsur
hara makro menjadi tidak tersedia karena terikat oleh logam sedangkan unsur hara mikro
kelarutannya meningkat (Tan, 1993 dalam Widyati, 2010). Menurut Hards and Higgins (2004) dalam
Widyati (2010) turunnya pH secara drastis akan meningkatkan kelarutan logam-logam berat pada
lingkungan tersebut.
Batu-baru ini pakar bioremediasi Institut Teknologi Bandung (ITB) telah menemukan bahwa
penggunaan teknologi Bioremesiasi telah terbukti sangat efektif untuk memulihkan tanah tercemar
crude oil (Edwan Kardena, 2010). Teknologi bioremediasi dengan menggunakan mikroba sebagai
pengurai bahan pencemar dari crude oil juga menjadi teknologi paling murah disamping ketersedian
mikroba yang sangat banyak ditemukan di alam. Penggunaan bioremediasi sudah harus menjadi
kewajiban bagi perusahaan minyak dan gas di Indonesia sebagaimana telah diimplementasikan
pertama sekali oleh perusahaan minyak Chevron di Amerika Serikat. Kementerian Lingkungan Hidup
telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 128/2003 yang sekarang menjadi payung hukum
penggunaan bioremediasi di Indonesia. KLH sangat ketat mengatur dan memantau setiap proyek
pemulihan lingkungan, termasuk dengan metode bioremediasi. Sebelum memberikan izin kepada
suatu perusahaan, perusahan tersebut terlebih dahulu harus mempresentasikan rencana dan
teknologi remediasinya.
Air Asam Tambang (AAT) adalah istilah umum yang digunakan untuk menyebutkan lindian,
rembesan atau aliran yang telah dipengaruhi oleh oksidasi alamiah mineral sulfida yang terkandung
dalam batuan yang terpapar selama penambangan. Untuk menganggulangi air asam tambang ini
biasanya menggunakan active dan passive treatment, yang masing-masing memiliki metode-metode
sendiri. Secara teknis, limbah minyak bumi bisa dibersihkan menggunakan bakteri Bacillus sp. ICBB
7859. Sementara limbah merkuri bisa menggunakan Pseudomonas pseudomallei ICBB 1512.
Sedangkan fenol menggunakan khamir Candida sp. ICBB 1167 dan Pseudomonas sp. Dalam bidang
pertanian, teknologi ini pernah di uji cobakan di Lembang. Pada daerah persawahan yang tercemar
oleh limbah pabrik tekstil yang mengandung kadmium. Unsur beracun terberat kedua setelah merkuri.
Setelah dibioremediasi dalam hitungan minggu, persawahan pun kembali dapat ditanami padi.
Contoh penggunaan teknologi bioremediasi yang dilakukan baru-baru ini adalah pembersihan
lingkungan tercemar minyak bumi dengan penambahan nutrisi serta pengendalian kelembaban dan
pengharaan yang dapat menurunkan 80-90% total pencemar minyak. Di lab mikrobiologi tanah dan
lingkungan Fakultas Pertanian UGM telah ditemukan empat isolat bakteri pendegradasi minyak bumi
yaitu isolat GMY 1 (belum teridentifikasi), isolat Paenibacillus GMD 1 yang mendegradasi senyawa
hidrokarbon poliaromatik serta Acetobacter calcoaticus dan Pseudomonas aeruginosa yang dapat
mendegradasi alkana (C15-C16).

Diposkan oleh Julian Pablo di 02.09


https://bioremediasil.wordpress.com/2014/12/31/38/

BIOREMEDIASI LOGAM BERAT DENGAN MENGGUNAKAN MIKROALGA DI


LINGKUNGAN PERAIRAN
Oleh :
Faishal Widiaputra Nugraha
26020112140077
Ilmu Kelautan B

RINGKASAN
Bioremediasi berasal dari dua kata yaitu bio dan remediasi yang dapat diartikan sebagai
proses dalam menyelesaikan masalah. Bioremediasi mempunyai potensi untuk menjadi salah
satu teknologi lingkungan yang bersih, alami, dan paling murah untuk mengantisipasi
masalah-masalah lingkungan.
Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang
kurang beracun atau tidak beracun (karbondioksida dan air) atau dengan kata lain
mengontrol, mereduksi atau bahkan mereduksi bahan pencemar dari lingkunga
Salah satunya dengan menggunakan mikroalge Chlorella sp. Kemampuan remediasi logam
berat oleh alga sangat baik bila di bandingkan dengan beberapa mikroba, jamur, karena
struktur dinding sel alga terbentuk dari berbagai serat metrik polisakarida.
Kemampuan Chlorella sp dalam menyerap logam berat ini didukung dengan kemampuan
beradaptasi, bertumbuh dan juga ekonomis untuk di jadikan Agen remediasi pada lingkungan
tercemar. Selain dapat digunakan juga untuk bioremediasi logam berat mikroalga chlorella sp
juga dapat di gunakan untuk sebagai prekursor biodiesel karena mengandung 20-50% lemak
Logam berat yang mencemari di daerah Teluk Buyat berasal dari limbah tailing perusahaan
tambang serta limbah penambang tradisional merupakan sebagian besar sumber limbah B3
(bahan berbahaya dan beracun) yang mencemari lingkungan. Berdasarkan studi kasus
mengenai pencemaran logam berat yang terjadi di Teluk Buyat, dapat diambil jalan alternatif
untuk mengurangi tingkat pencemaran logam berat yang terjadi dengan cara bioremediasi
menggunakan mikroalga Chlorella sp.

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga
pembuatan makalah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam pembuatan makalah
ini adalah bioremediasi logam berat dengan menggunakan mikroalga di lingkungan perairan.
Dalam penyusunan laporan praktek kerja lapangan ini penulis banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada Ir. Subagyo, Msi selaku dosen mata kuliah bioremediasi yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan makalah ini, dan kepada Ir. Sri Sedjati M.Si
selaku dosen wali yang telah membantu dalam memberikan pengarahan sehingga kegiatan
pembuatan makalah ini dapat berlangsung dengan baik.
Penghargaan yang terbesar penulis berikan kepada Ibu, Bapak, Farras serta teman teman
tercinta yang telah membantu penulis secara moril dan materil, serta dorongan semangat
dalam menyelesaikan laporan praktek kerja lapangan ini.
Ucapan terima kasih juga penulis berikan kepada teman-teman Albatross angkatan 2012,
terima kasih semuanya karena telah memberikan semangat dan dukungannya sehingga
makalah ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Sebagai penutup penulis berharap makalah ini kiranya dapat bermanfaat dan dapat
memberikan sumbangan pemikiran baru bagi ilmu pengetahuan.
Semarang, 31 Desember 2014
Penulis

DAFTAR ISI
Cover
Lembar Judul . i
Ringkasan . ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi. iv
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang. 1
1.2 Rumusan Masalah . 2
1.3 Tujuan 2
1.4 Manfaat 3
BAB II. LANDASAN TEORI . 4
2.1 Pengertian bioremediasi 4
2.2 Tujuan Bioremediasi 5
2.3 Jenis Mikroalga Yang Berperan Dalam Proses Bioremediasi .. 5
2.4 Proses Bioremediasi Dengan Menggunakan Mikroalgae . 5
2.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Bioremediasi .. 7
2.6 Kekurangan dan Kelebihan Bioremediasi 9
2.7 Contoh Studi Kasus Pencemaran Logam Berat.. 10
2.8 Pemanfaatan Bioremediasi Dalam Menanggulangi Logam Berat Di
Teluk Buyat . 12
BAB. III PENUTUP . 15
3.1 Kesimpulan 15
3.2 Saran . 15
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kita semua tahu bahwa Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang terus
membangun pada sektor-sektor industri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan Pembangunan di sektor industri tidak hanya memberikan nilai tambah bagi
ekonomi negara, tetapi di sisi lain berpotensi bagi kerusakan lingkungan akibat limbah yang
dihasilkannya.
Limbah-limbah domestik maupun limbah industri yang di buang ke lingkungan secara terus
menerus tanpa dikelolah dengan baik dapat mencemari lingkungan. Salah satu bahan
pencemaran yang berbahaya bagi lingkungan yang terdapat dalam limbah industri sekitar
adalah logam berat. Logam berat berasal dari industri-industri yang tidak mengatur dan
mengolah limbahnya sebelum di lepas ke lingkungan seperti limbah pertanian, emisi gas
buang kendaraan bermotor. Limbah yang mengandung logam berat jika masuk dalam rantai
makanan dapat membahayakan bagi kehidupan mahkluk hidup karena dapat menyebabkan
penyakit penyakit-penyakit degeratif.
Logam berat umumnya bersifat racun terhadap makhluk hidup walaupun beberapa
diantaranya diperlukan dalam jumlah kecil. Pencemaran logam berat merupakan
permasalahan yang sangat serius untuk ditangani, karena merugikan lingkungan dan
ekosistem secara umum. Logam berat sendiri sebenarnya merupakan unsur esensial yang
sangat dibutuhkan setiap makhluk hidup, namun beberapa di antaranya (dalam kadar tertentu)
bersifat racun. Di alam, unsur ini biasanya terdapat dalam bentuk terlarut atau tersuspensi
(terikat dengan zat padat) serta terdapat sebagai bentuk ionik. Dampak dari pencemaran
logam berat ini sangat berbahaya baik paa organisme perairan manusia dan lingkungan.
Kontaminasi logam berat di lingkungan perairan merupakan suatu permasalahan, karena
akumulasinya sampai pada rantai makanan dan keberadaannya di alam tidak mengalami
transformasi (persistent), sehingga menyimpan potensi keracunan yang laten (Notodarmojo,
2005). Keberadaan logam berat dalam tanah perlu mendapatkan perhatian yang serius karena
tiga hal, meliputi: 1) bersifat racun dan berpotensi karsinogenik; 2) logam dalam tanah pada
umumnya bersifat mobile 3) mempunyai sifat akumulatif dalam tubuh manusia (Notodarmojo,
2005).
Atas dasar uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan pemulihan suatu perairan yang
terkontaminasi logam berat pada lokasi bekas timbunan limbah padat industri agar perairan
yang tercemar tersebut dapat digunakan kembali untuk berbagai kegiatan secara aman. Salah
satu pilihan untuk mengatasi masalah kontaminasi oleh logam berat adalah bioremediasi
menggunakan mikroalgae. Tindakan remediasi perlu dilakukan agar perairan yang tercemar
dapat digunakan kembali untuk berbagai kegiatan secara aman.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penyusun menemukan beberapa
permasalahan dalam pembuatan makalah ini, yaitu diantara sebagai berikut :
1. Apakah pengertian bioremediasi ?
2. Apakah tujuan dari bioremediasi ?
3. Jenis mikroalgae yang berperan dalam proses bioremediasi ?
4. Bagaimanakah proses bioremediasi dengan menggunakan mikroalgae ?
5. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi bioremediasi ?
6. Apa sajakah kekurangan dan kelebihan bioremediasi ?
7. Studi kasus bioremediasi dengan menggunakan mikroalgae dalam menangani kasus
pencemaran logam berat ?

1.3 Tujuan
Mengetahui teknik bioremediasi dengan mikroalgae dalam menangani kasus pencemaran
logam berat di suatu wilayah perairan serta memberikan solusi alternatif dalam penanganan
masalah pencemaran logam berat di daerah tersebut melalui bioremediasi dengan mikroalgae.
1.4 Manfaat
Memberikan informasi tentang teknik bioremediasi dengan mikroalgae dalam menangani
kasus pencemaran logam berat di suatu wilayah perairan serta mensejahterakan masyarakat
dengan adanya kualitas air yang lebih baik dan aman untuk berbagai kegiatan.
II. LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Bioremediasi


Bioremediasi berasal dari dua kata yaitu bio dan remediasi yang dapat diartikan sebagai
proses dalam menyelesaikan masalah. Menurut Munir (2006), bioremediasimerupakan
pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi
dalam mengendalikan pencemaran. Bioremediasi mempunyai potensi untuk menjadi salah
satu teknologi lingkungan yang bersih, alami, dan paling murah untuk mengantisipasi
masalah-masalah lingkungan.
Menurut Ciroreksoko (1996), bioremediasi diartikan sebagai proses pendegradasian bahan
organik berbahaya secara biologis menjadi senyawa lain seperti karbondioksida (CO2),
metan, dan air. Bioremediasi merujuk pada penggunaan secara produktif proses biodegradatif
untuk menghilangkan atau mendetoksi polutan (biasanya kontaminan tanah, air dan sedimen)
yang mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat.
Jadi bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengatasi masalah lingkungan
dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang dimaksud adalah
khamir, fungi (mycoremediasi), yeast, alga dan bakteri yang berfungsi sebagai agen
bioremediator. Selain dengan memanfaatkan mikroorganisme, bioremediasi juga dapat pula
memanfaatkan tanaman air. Tanaman air memiliki kemampuan secara umum untuk
menetralisir komponen-komponen tertentu di dalam perairan dan sangat bermanfaat dalam
proses pengolahan limbah cair ( misalnya menyingkirkan kelebihan nutrien, logam dan
bakteri patogen). Penggunaan tumbuhan ini biasa dikenal dengan istilah fitoremediasi.
Bioremediasi juga dapat dikatakan sebagai proses penguraian limbah organik/anorganik
polutan secara biologi dalam kondisi terkendali.

2.2 Tujuan Bioremediasi


Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang
kurang beracun atau tidak beracun (karbondioksida dan air) atau dengan kata lain
mengontrol, mereduksi atau bahkan mereduksi bahan pencemar dari lingkungan.

2.3 Jenis Mikroalga Yang Berperan Dalam Proses Bioremediasi


Belakangan ini teknik remediasi lingkungan tersemar banyak menggunakan cara biologis
(bio-remediasi), karena pertimbanagn efek samping yang dihasilkannya dan biaya
operasional. Remediasi logam berat pada lingkungan oleh bakteri dan juga mikroalga sudah
banyak diteliti.
Salah satunya dengan menggunakan mikroalge Chlorella sp. Kemampuan remediasi logam
berat oleh alga sangat baik bila di bandingkan dengan beberapa mikroba, jamur, karena
struktur dinding sel alga terbentuk dari berbagai serat metrik polisakarida (Niczyporuk,
Bajguz, Zambrzycka, & ykiewiczb, 2012).

Gambar 1. Chlorella sp
Selain dapat digunakan juga untuk bioremediasi logam berat mikroalga Chlorella spjuga
dapat di gunakan untuk sebagai prekursor biodiesel karena mengandung 20-50% lemak
(Mata, Martins, & Caetano, 2010). Berdasarkan penjelasan di atas maka percobaan ini
dilakukan guna mengetahui Potensi Chlorella sp sebagai agen bioremediasi logam berat pada
lingkungan perairan. Potensi remediasi diukur berdasarkan kemampuan tumbuh dan
kemampuan menyerap logam berat yang diberikan dalam medium.
2.4 Proses Bioremediasi Dengan Menggunakan Mikroalgae
Proses utama pada bioremediasi adalah biodegradasi, biotransformasi dan biokatalis. Saat
bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi
polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut. Enzim mempercepat
proses tersebut dengan cara menurunkan energi aktivasi, yaitu energi yang dibutuhkan untuk
memulai suatu reaksi. Pada proses ini terjadi biotransformasi atau biodetoksifikasi senyawa
toksik menjadi senyawa yang kurang toksik atau tidak toksik. Pada banyak kasus,
biotransformasi berujung pada biodegradasi.
Beberapa mikroalga mempunyai kemampuan untuk menjadi agen remediasi logam berat
diantaranya adalah Nanochlorphis, Scenedesmus quadricauda dapat menyerap logam berat
diantaranya Cd, Hg, Cr, Pb dan As dan juga Chlorella sp, kemampuan serap logam berat oleh
Nannochloropsis sp lebih besar dibandingkan dengan Chlorella sp tetapi Chlorella memiliki
kemampuan tumbuh pada lingkungkungan tercemar lebih baik dari Nannochloropsis sp.
Kemampuan tumbuh Chlorella sp pada lingkungan tercemar karena Chlorella sp memiliki
Phytohormon dan Polyamine untuk adaptasi pada ekosistim air yang tercemar dengan logam
berat (Niczyporuk, Bajguz, Zambrzycka, & ykiewiczb, 2012). Kemampuan Chlorella
sp dalam menyerap logam berat ini didukung dengan kemampuan beradaptasi, bertumbuh
dan juga ekonomis untuk di jadikan Agen remediasi pada lingkungan tercemar. Selain dapat
digunakan juga untuk bioremediasi logam berat mikroalga chlorella sp juga dapat di gunakan
untuk sebagai prekursor biodiesel karena mengandung 20-50% lemak (Mata, Martins, &
Caetano, 2010) Berdasarkan penjelasan di atas maka penelitian ini dilakukan guna
mengetahui Potensi Chlorella sp sebagai agen bioremediasi logam berat (Cu, Cd, Cr, Zn)
pada lingkungan perairan. Potensi remediasi diukur berdasarkan kemampuan tumbuh dan
kemampuan menyerap logam berat yang diberikan dalam medium.
Secara umum, keuntungan pemanfaatan alga sebagai bioindikator dan biosorben adalah :
1. Alga mempunyai kemampuan yang cukup tinggi dalam mengadsorpsi logam berat
karena di dalam alga terdapat gugus fungsi yang dapat melakukan pengikatan dengan
ion logam. Gugus fungsi tersebut terutama gugus karboksil, hidroksil, amina, sulfudril
imadazol, sulfat dan sulfonat yang terdapat dalam dinding sel dalam sitoplasma.
2. Bahan bakunya mudah didapat dan tersedia dalam jumlah banyak.
3. Biaya operasional yang rendah.
4. Sludge yang dihasilkan sangat minim.
5. Tidak perlu nutrisi tambahan.

2.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Bioremediasi


Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim. Dengan demikian
mikroorganisme yang berpotensi menghasilkan enzim pendegradasi hidrokarbon perlu
dioptimalkan aktivitasnya dengan pengaturan kondisi dan penambahan suplemen yang sesuai.
Dalam hal ini perlu diperhatikan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi proses
bioremediasi, yang meliputi kondisi tanah, temperature, oksigen, dan nutrient yang tersedia.
a)Lingkungan
Proses biodegradasi memerlukan tipe tanah yang dapat mendukung kelancaran aliran nutrient,
enzim-enzim mikrobial dan air. Terhentinya aliran tersebut akan mengakibatkan terbentuknya
kondisi anaerob sehingga proses biodegradasi aerobik menjadi tidak efektif. Karakteristik
tanah yang cocok untuk bioremediasi in situ adalah mengandung butiran pasir ataupun kerikil
kasar sehingga dispersi oksigen dan nutrient dapat berlangsung dengan baik. Kelembaban
tanah juga penting untuk menjamin kelancaran sirkulasi nutrien dan substrat di dalam tanah.
b)Temperatur
Temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokaron adalah 30-40C. Ladislao, et. al. (2007)
mengatakan bahwa temperatur yang digunakan pada suhu 38C bukan pilihan yang valid
karena tidak sesuai dengan kondisi di Inggris untuk mengontrol mikroorganisme patogen.
Pada temperatur yang rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan volatilitas
alkana rantai pendek yang bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan meningkat
sehingga proses biodegradasi akan terhambat. Suhu sangat berpengaruh terhadap lokasi
tempat dilaksanakannya bioremediasi.
c)Oksigen
Langkah awal katabolisme senyawa hidrokaron oleh bakteri maupun kapang adalah oksidasi
substrat dengan katalis enzim oksidase, dengan demikian tersedianya oksigen merupakan
syarat keberhasilan degradasi hidrokarbon minyak. Ketersediaan oksigen di tanah tergantung
pada (a) kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah, (b) tipe tanah dan (c) kehadiran
substrat lain yang juga bereaksi dengan oksigen. Terbatasnya oksigen, merupakan salah satu
faktor pembatas dalam biodegradasi hidrokarbon minyak.
d) pH
Pada tanah umumnya merupakan lingkungan asam, alkali sangat jarang namun ada yang
melaporkan pada pH 11. Penyesuaian pH dari 4,5 menjadi 7,4 dengan penambahan kapur
meningkatkan penguraian minyak menjadi dua kali. Penyesuaian pH dapat merubah
kelarutan, bioavailabilitas, bentuk senyawa kimia polutan, dan makro & mikro nutrien.
Ketersediaan Ca, Mg, Na, K, NH4+, N dan P akan turun, sedangkan penurunan pH
menurunkan ketersediaan NO3 dan Cl . Cendawan yang lebih dikenal tahan terhadap asam
akan lebih berperan dibandingkan bakteri asam.
e)Kadar H2O dan karakter geologi.
Kadar air dan bentuk poros tanah berpengaruh pada bioremediasi. Nilai aktivitas air
dibutuhkan utk pertumbuhan mikroba berkisar 0.9 1.0, umumnya kadar air 50-60%.
Bioremediasi lebih berhasil pada tanah yang poros.
f)Keberadaan zat nutrisi.
Baik pada in situ & ex situ. Bila tanah yang dipergunakan bekas pertanian mungkin tak perlu
ditambah zat nutrisi. Untuk hidrokarbon ditambah nitrogen & fosfor, dapat pula dengan
makro & mikro nutrisi yang lain.
Mikroorganisme memerlukan nutrisi sebagai sumber karbon, energy dan keseimbangan
metabolisme sel. Dalam penanganan limbah minyak bumi biasanya dilakukan penambahan
nutrisi antara lain sumber nitrogen dan fosfor sehingga proses degradasi oleh mikroorganisme
berlangsung lebih cepat dan pertumbuhannya meningkat.
g)Interaksi antar Polusi.
Fenomena lain yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam mengoptimalkan aktivitas
mikroorganisme untuk bioremediasi adalah interaksi antara beberapa galur mikroorganisme
di lingkungannya. Salah satu bentuknya adalah kometabolisme. Kometabolisme merupakan
proses transformasi senyawa secara tidak langsung sehingga tidak ada energi yang dihasilkan
2.6 Kekurangan dan Kelebihan Bioremediasi
Kelebihan bioremediasi sebagai berikut :
1) Proses pelaksanaan dapat dilakukan langsung di daerah tersebut dengan lahan yang
sempit sekalipun.
2) Mengubah pollutant bukan hanya memindahkannya.
3) Proses degradasi dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang cepat.
4) Bioremediasi sangat aman digunakan karena menggunakan mikroba yang secara alamiah
sudah ada dilingkungan (tanah).
5) Bioremediasi tidak menggunakan/menambahkan bahan kimia berbahaya.
6) Teknik pengolahannya mudah diterapkan dan murah biaya.

Kekurangan bioremediasi sebagai berikut :


1) Tidak semua bahan kimia dapat diolahsecara bioremediasi.
2) Membutuhkan pemantauan yang ekstensif .
3) Membutuhkan lokasi tertentu.
4) Pengotornya bersifat toksik
5) Padat ilmiah
6) Berpotensi menghasilkan produk yangtidak dikenal
7) Dapat digabung dengan teknik pengolahan lain
8) Persepsi sebagai teknologi yang belum teruji
Sumber : Wisnuprapto, 1996

2.7 Contoh Studi Kasus Pencemaran Logam Berat


Pencemaran Logam Berat Di Teluk Buyat

Gambar 2. Peta Teluk Buyat


Teluk Buyat adalah teluk kecil yang terletak di pantai selatan Semenanjung Minahasa,
Sulawesi Utara, Indonesia. Secara administratif, teluk ini berada di Kabupaten Minahasa
Tenggara. Teluk Buyat berada di sisi tenggara lengan semenanjung Sulawesi bagian utara,
menghadap Laut Maluku. Di sekitar teluk ini tinggal sejumlah nelayan. Sejak tahun 1996,
Teluk Buyat digunakan sebagai daerah penimbunan untuk Mesel Gold Mine, dijalankan oleh
PT Newmont Minahasa Raya, perusahaan cabang Newmont Mining Corporation yang
memiliki saham 80%. Tailing dari tambang emas itu merupakan cadas halus dan emas
ditemukan di situ. Sejak tahun 1996, Newmont Mining Corporation di bawah cabangnya PT.
Newmont Minahasa Raya memanfaatkan teluk ini sebagai penimbunan tailing (limbah
pertambangan) untuk aktivitas pertambangan emasnya.
Pada tahun 2004, penduduk setempat di wilayah tersebut memprotes beberapa masalah
kesehatan tak lazim yang lebih lanjut mencurigai Newmont melanggar peraturan kadar
limbah pertambangan sehingga mencemari wilayah itu dengan bahan berbahaya. Walhi,
aktivis lingkungan Indonesia, mengklaim Newmont menimbun 2.000 ton tailing ke teluk itu
setiap hari. Pada tahun 2004, akhirnya aktivitas pertambangan ditutup sementara pemantauan
lingkungan pasca-penambangan terus berlangsung hingga tahun 2008. Jalur pipa dibangun
untuk menyalurkan tailing dari daerah pertambangan ke teluk yang memanjang sekitar 900 m
ke laut dan menimbun bahan intu pada kedalaman 82 m.
Pada bulan Juli 2004, beberapa lembaga swadaya masyarakat memulai kampanye mendakwa
PT Newmont Minahasa Raya mencemari Teluk Buyat dengan sengaja, yang menimbulkan
efek samping pada kesehatan warga setempat.
Pada pertengahan tahun 2004, kelompok nelayan setempat memohonkan penyelidikan
independen kepada Pemerintah Indonesia atas kadar limbah tambang Newmont di Teluk
Buyat. Nelayan setempat melihat jumlah ikan yang mati mendadak amat tinggi disertai
dengan pembengkakan yang tak biasa, hilangnya ikan bandeng muda dan spesies lain di
wilayah teluk. Mereka juga mengeluhkan masalah kesehatan yang tak biasa seperti penyakit
kulit yang tak dapat dijelaskan, tremor, sakit kepala, dan pembengkakan aneh di leher, betis,
pergelangan tangan, bokong, dan kepala. Penelitian itu menemukan beberapa logam berat
seperti arsen, antimon, merkuri, dan mangan yang tersebar di sana dengan kepadatan tertinggi
di sekitar daerah penimbunan.
Pada bulan November 2004, WALHI (LSM lingkungan) bersama dengan beberapa organisasi
nirlaba (Indonesian Mining Advocacy Network, Earth Indonesia, dan Indonesian Center for
Environmental Law) mengumpulkan laporan yang lebih menyeluruh atas keadaan Teluk
Buyat, menyimpulkan teluk itu dicemari oleh arsen dan merkuri dalam kadar yang berbahaya,
sehingga berisiko tinggi bagi masyarakat. Sampel endapan dasar Teluk Buyat menunjukkan
kadar arsen setinggi 666 mg/kg (ratusan kali lebih besar daripada Kriteria Kualitas Perairan
Laut ASEAN yang hanya 50 mg/kg) dan kadar merkuri rata-rata 1000 g/kg (standar yang
sama menetapkan 400 g/kg). Dibandingkan dengan sampel kontrol alami dari tempat yang
tak dipengaruhi penimbunan limbah pertambangan, studi itu juga menyimpulkan bahwa
kadar arsen dan merkuri itu tidak alami dan satu-satunya sumber yang mungkin adalah dari
penimbunan limbah pertambangan Newmont.
Merkuri dan arsen tertumpuk di berbagai organisme hidup di Teluk Buyat termasuk ikan
yang dimakan setiap hari oleh penduduk setempat. Kesehatan manusia berada dalam bahaya
dan laporan itu merekomendasikan konsumsi ikan harus dikurangi secara signifikan dan
mungkin relokasi penduduk ke daerah lain. Pada tahun 1994, AMDAL Newmont
menegaskan adanya lapisan termoklin pada kedalaman 5070 meter sebagai penghalang bagi
tailing untuk bercampur dan menyebar di Teluk Buyat. Walaupun demikian, WALHI tak
menemukan lapisan yang dimaksud.
Akibat kegiatan pertambangan skala besar oleh PT. Newmont Minahasa Raya (NMR),
ekosistem perairan laut di teluk Buyat rusak parah akibat buangan 2000 ton tailing setiap hari.
Bukan saja itu, kondisi masyarakat di sekitar Teluk Buyat yang mengantungkan hidupnya
dari hasil laut dan harus bertahan hidup di wilayah tersebut karena tekanan kemiskinan harus
menerima akibat dari pencemaran dan perusakan ekosistem Perairan Teluk Buyat.
Terkontaminasi logam berat arsen, lahan tangkapan ikan berpindah jauh ketengah laut, yang
semuanya itu menurunkan kualitas hidup sebagian masyarakat Desa Buyat tepatnya
masyarakat di dusun V Desa Buyat Pante.
Limbah yang akan mengakibatkan biaya tambahan bagi masyarakat akibat kegiatan
perusahaan yang seharusnya tidak keluar ke alam bebas, justru sengaja dikeluarkan melalui
pipa sepanjang 900 meter dari tepi pantai Teluk Buyat. Akibatnya menimbulkan biaya
pencemaran bagi masyarakat sekitar Teluk Buyat atau eksternal cost.
2.8 Pemanfaatan Bioremediasi Dalam Menanggulangi Logam Berat Di Teluk Buyat
Sebelumnya, dapat dilihat video tentang bioremediasi alga terlebih dahulu. Link Video
Kasus Teluk Buyat di Sulawesi Utara adalah contoh kasus keracunan logam berat. Logam
berat yang berasal dari limbah tailing perusahaan tambang serta limbah penambang
tradisional merupakan sebagian besar sumber limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun)
yang mencemari lingkungan. Limbah tailing merupakan produk samping, reagen sisa, serta
hasil pengolahan pertambangan yang tidak diperlukan (Sutjahjo 2010). Tailing hasil
penambangan misalnya penambangan emas mengandung bahan-bahan berbahaya dan
beracun seperti Arsen (As), Kadmium (Cd), Timbal (Pb), Merkuri (Hg), Sianida (CN) dan
lain-lain. Logam-logam yang berada dalam tailing adalah logam berat yang masuk dalam
kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Salah satu alternatif pencegahan pencemaran dengan logam-logam berat yang termasuk
dalam B3 tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, diantaranya bioremediasi,
yaitu proses pembersihan pencemaran di suatu tempat bisa dengan menggunakan mikroalga
(fitoplankton) untuk mengurangi tingkat pencemaran logam berat.
Bioremediasi merupakan proses degradasi secara biologis bahan organik menjadi senyawa
lain. Proses ini didasarkan pada siklus karbon, sehingga bentuk senyawa organik dan
anorganik didaur ulang melalui reaksi oksidasi dan reduksi. Proses bioremediasi bergantung
pada kemampuan organisme yang digunakan (mikroba, tanaman, atau hewan) dan sistem
yang dioperasikan pada jangka waktu tertentu (Citroreksoko 1996).
Bioremediasi memiliki beberapa kelebihan diantaranya, memanfaatkan agen biologi yang ada
di alam sehingga dapat menghemat biaya, dapat mencegah kerusakan lingkungan, penyisihan
buangannya permanen dan menghapus resiko jangka panjang, dan dapat digabung dengan
teknik pengolahan lain. Sedangkan kekurangannya, terdapat pengotoran toksik,
membutuhkan pemantauan yang ekstensif, berpotensi menghasilkan produk yang tidak
dikenal, tidak semua bahan kimia dapat diolah secara bioremediasi, dan adanya batasan
konsentrasi polutan yang dapat ditolerir oleh organisme (Citroreksoko 1996).
Teknik bioremediasi dapat dilakukan yaitu melalui pemanfaatan agen biologi berupa
tumbuhan air atau bakteri. Misalnya Microccocus, Corynebacterium, Phenylobacterium,
Enhydrobacter, Morrococcus, Flavobacterium, Bacillus, Staphylococcus,
dan Pseudomonas, yang dapat mendegradasi logam Pb (misalnya pada tailing dari hasil
kasus buyat), serta nitrat, nitrit, bahan organik, sulfida, kekeruhan, dan amonia di dalamnya
(Priadie 2012). Bioremediasi merupakan proses degradasi secara biologis bahan organik
menjadi senyawa lain. Proses ini didasarkan pada siklus karbon, sehingga bentuk senyawa
organik dan anorganik didaur ulang melalui reaksi oksidasi dan reduksi. Proses bioremediasi
bergantung pada kemampuan organisme yang digunakan (mikroba, tanaman, atau hewan)
dan sistem yang dioperasikan pada jangka waktu tertentu (Citroreksoko 1996).
Dalam makalah ini pemanfaatan mikroalga yang dapat menyerap logam berat yang akan
dibahas lebih lanjut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimental laboratorium yang kemudian diterapkan ke lapangan.
Mikroalga yang digunakan adalah Chlorella sp yang diperoleh dari stok murni dari
Laboratorium setempat dan yang kemudian dikultur. Kondisi lingkungan mempengaruhi
tumbuh dari Chlorella sp dimana untuk pertumbuhan terbaik Chlorella sp pada salinatas 25%,
Suhu 17, 20, dan 23 oC dan juga intensitas cahaya 4500 Lux.
Kondisi lingkungan yang ada di teluk Buyat terkadang tidak sesuai dengan kondisi
lingkungan untuk hidup Chlorella sp. Maka dari itu bagaimana caranya supaya Chlorella
sp mampu bertahan hidup di kondisi lingkungan yang terdapat di Teluk Buyat.

Gambar 3. Alga Chlorella sp sebagai salah satu alternatif bioremediasi logam berat di Teluk
Buyat
Dengan adanya teknik seperti itu, Chlorella sp di duga mampu menyerap logam berat yang
ada di Teluk Buyat. Selain itu penelitian tersebut mendapatkan hasil seperti penyerapan
logam berat tertinggi terlihat berturut turut adalah Cr sebesar 33% , Cu sebesar 29 %, Cd
sebesar 15% dan Zn sebesar 8% pada hari ke-7, dalam kondisi medium (salinitas 34%, pH 7
dan kandungan Oksigen terlarut 8 mg/L).
Pada beberapa jurnal lain meyebutkan bahwa penyerapan logam berat paling tinggi
oleh Chlorella sp adalah Cd dibandingkan dengan Pb dan Cu (Niczyporuk, Bajguz,
Zambrzycka, & ykiewiczb, 2012) tetapi pada percobaan ini penyerapan tertinggi justru
terjadi pada logam Cr dan Cu. (Niczyporuk, Bajguz, Zambrzycka, & ykiewiczb, 2012)
menyebutkan juga bahwa penyerapan logam berat dapat menurunkan tetapi tetapi pada
percobaan ini berbeda misalnya pada logam jenis Cr pada hari ke 5 pH 7.1 tetapi pada hari ke
7 terjadi kenaikan pH 7.2 ini juga terjadi pada perlakuan yang lain menyebutkan bahwa
kondisi lingkungan untuk pertumbuhan Chlorella sp adalah pada salinitas 15 dan 35% tetapi
untuk pertumbuhan terbaik Chlorella sp adalah pada 25% salinitas dan Alga juga bertumbuh
pada suhu 17, 20, dan 23oC tetapi alga akan bertumbuh lambat pada suhu 26, 29, 32 dan 14oC.

III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Logam berat yang mencemari di daerah Teluk Buyat berasal dari limbah tailing perusahaan
tambang serta limbah penambang tradisional merupakan sebagian besar sumber limbah B3
(bahan berbahaya dan beracun) yang mencemari lingkungan. Berdasarkan studi kasus
mengenai pencemaran logam berat yang terjadi di Teluk Buyat, dapat diambil jalan alternatif
untuk mengurangi tingkat pencemaran logam berat yang terjadi dengan cara bioremediasi
menggunakan mikroalga Chlorella sp. Kemampuan remediasi logam berat oleh
alga Chlorella spsangat baik bila di bandingkan dengan beberapa mikroba, jamur, karena
struktur dinding sel alga terbentuk dari berbagai serat metrik polisakarida. Meskipun tidak
semua logam berat dapat terdegradasi semua namun setidaknya dapat mengurangi logam
berat yang terdapat dalam perairan Teluk Buyat.
3.2 Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai cara penanggulangan
pencemaran logam berat yang terjadi di suatu wilayah perairan, sehingga kualitas air dan
ekosistem yang terdapat di perairan tersebut tetap terjaga.

REFERENSI
Anonim, 2013 . Diunduh dari http://idafitriani96.blogspot.com/2013/01/makalah-presentasi
mikrobiologi_3.html pada tanggal 30 Desember 2014 pukul 23:00 WIB
Anonim, 2013. Manajemen Kualitas Air. Diunduh
dari http://bambangpamungka.blogspot.com/2013/02/mk-manajemen-kualitas-air.html pada
tanggal 30 Desember 2014 pukul 23:05 WIB
Anonim, 2013. Bioremediasi Kualitas
Air https://akademiperikanan.wordpress.com/2009/03/31/bioremediasi-kualitas-air/ pada
tanggal 30 Desember 2014 pukul 23:05 WIB
Anonim, 2013. Bioremediasi Kualitas
Air http://kamriantiramli.wordpress.com/tag/bioremediasi/ pada tanggal 30 Desember 2014
pukul 23:06 WIB
Citroreksoko, P. 1996. Pengantar Bioremediasi. Prosiding pelatihan dan lokakarya: peranan
bioremediasi dalam pengelolaan lingkungan (Cibinong, 24-28 Juni 1996). Puslitbang
Bioteknologi LIPI, BBPT, dan Hanns Seidel Foundation: Cibinong, Bogor. Hal. 1-1 1.
Hardiani, Henggar, 2011. Bioremediasi Logam Timbal (Pb) dalam Tanah Terkontaminasi
Limbah Sludge Industri Kertas Proses Deinking. Bandung. Balai Besar Pulp dan Kertas.
Mata, T. M., Martins, A. A., & Caetano, N. S. (2010). Microalgae for biodiesel production
and other applications: A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews , 14 (1), 217-
232.
Niczyporuk, A. P., Bajguz, A., Zambrzycka, E., & ykiewiczb, G. B.
(2012). Phytohormones as regulators of heavy metal biosorption and toxicity in green alga
Chlorella vulgaris (Chlorophyceae). Plant Physiology and Biochemistry , 52, 52 65.
Notodarmojo, S. 2005. Pencemaran Tanah dan Air Tanah. Penerbit ITB. ISBN 979-3507-43-
8.
Priadie, Bambang. 2012. Teknik bioremediasi sebagai alternatif dalam upaya pengendalian
pencemaran air. Jurnal Ilmu Lingkungan 10(1): 135-145.
Sutjahjo, S.H. 2010. Dampak Negatif Kegiatan Pertambangan pada
Lingkungan.[http://www.metrotvnews.com/metromain/analisdetail/2010/09/03/72/Dampak-
Negatif-Kegiatan-Pertambangan-pada-Lingkungan].

LAMPIRAN
Untuk lebih menambah wawasan mengenai bioremediasi menggunakan alga, dapat dilihat
video (algae Bioremediation) di https://www.youtube.com/watch?v=Va1Roe4LpPc

Anda mungkin juga menyukai